14 November 2008

Wesel dari Yem Belum juga Datang

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

SISA sepekan lagi Idul Fitri, wesel dari Yem belum juga sampai. Mungkin terlalu banyak orang mengirim uang dan kartu lebaran, petugas pos benar-benar sibuk sehingga lambat mengantar ke tujuan.

Sarmi khawatir apabila wesel dari anak pertamanya yang menjadi pembantu rumah tangga di Surabaya itu terlambat tiba. Ia tak bisa beli pakaian, mukena dan sajadah baru, juga baju koko buat suaminya. Sarmi juga tak bisa beli ketupat dan ayam, kue, serta… “Ah, apakah indah lebaran tanpa punya uang?” ia membatin.

Yem biasanya mengirim uang gajinya lebih dulu dengan wesel. Kemudian mudik dan sampai di rumahnya tepat malam takbiran. Karena ia selalu mendapat izin libur tidak seperti diterima para pekerja di perusahaan. Sehari jelang lebaran ia baru mendapat izin pulang dan tiga hari usai lebaran ia sudah harus kembali bekerja. Kalau tidak, majikan akan selekasnya mencari pembantu baru.

Selama ini tidak ada masalah dengan pengiriman wesel. Petugas pengantar pos akan menyerahkan secarik wesel pada 10 atau 7 hari jelang lebaran. Sarmi selekasnya ke kantor pos untuk mencairkan weselnya. Petugas kantor pos hafal dengan Sarmi, juga tanda tangannya yang layaknya tulisan kaki ayam.

Setelah uang didapat, Sarmi segera ke pasar. Ia memborong keperluan lebaran: termasuk mukena, sajadah, baju koko, kain sarung, kopiah. Sisa dari kiriman tersebut akan disimpan untuk makan beberapa hari selepas Idul Fitri. Begitulah cara Sarmi menggunakan uang kiriman Yem.

Sarmi bimbang. Perasaannya galau. Tinggal beberapa hari lebaran. Wesel dari Yem mengapa belum juga datang? Ia ingin menanyakan kepada petugas pos tiap liwat depan rumahnya. Cuma mulutnya tercekat. Tak ada keberanian untuk menanyakan perihal wesel dari Surabaya yang lambat diterimanya.

Mungkinkah Yem tak punya uang? Apakah Yem tak lagi bekerja sehingga tak bisa mengirim wesel ke kampung? Setiap hari ia tanyakan nasib Yem pada Mar—adiknya, bukliknya Yem, selalu dijawab: “Yem baik. Mungkin weselnya lambat sampai. Sabar mbakyu ya…”

Itulah. Sabar sampai kapan? Sarmi mungkin bisa saja bersabar, bahkan kalaupun kirian wesel dari Yem diterimanya setelah lebaran atau tidak sama sekali. Ia sudah terbiasa hidup miskin tanpa baju baru, kue, dan lauk ketupat pada hari Lebaran.

“Cuma mengapa Yem tak juga ada kabarnya?” tanyanya dalam hati. Pertanyaan itu sekaligus kegusaran Sarmi pada nasib Yem.

Untung suaminya selalu menghibur. Kalau tidak, Sarmi sudah berulang menangis dan mungkin tak sadar diri. “Sabar itu perlu bukne, supaya kita tidak sakit. Coba kalau sakit karena mikirin wesel, bisa lebih besar keluar uang.”
Diam-dian Sarmi membenarkan suaminya. Hanya saja, hati perempuan mana yang tidak akan gusar manakala mendapat masalah seperti dialaminya ini? Ibu mana yang tidak gelisah, ketika anaknya tak juga berkabar? Wesel yang pada tahun-tahun sebelumnya tak terlambat, kini entah pula nasibnya di mana?

Sarmi memang harus bersyukur bahwa Yem punya tanggung jawab pada keluarga. Usianya baru 16 tahun ketika hendak mencari pekerjaan di Surabaya, 5 tahun lalu. Ia dibawa buleknya yang sudah lebih dulu jadi pembantu rumah tangga di sana. Buleknya juga yang berjanji akan mencarikan majikan untuk Yem. “Majikanmu harus yang baik,” janji bulek waktu itu.

Yem memang mendapat pekerjaan di rumah majikan yang baik seperti dijanjikan bulek. Cuma 20 bulan ia bekerja di sana, tersebab majikannya dipindahkan tugas ke Singapura. Yem kemudian diantar ke rumah teman majikannya. Ia disambut baik di tempat bekerjanya yang baru. Bahkan ia disayang. Gajinya sedikit lebih besar dibanding saat di tempat majikan lama.

Gajinya tetap utuh ia terima setiap bulan. Majikannya juga yang memasukkan ke tabungannya, dan slip transfernya dibeirkan kepada Yem. Dan pada bulan Ramadhan tabungannya dikuras lalu dikirim ke ibunya dengan wesel. Yem hanya bawa uang seperlunya untuk mudik.

Itulah yang pernah diceritakan Yem pada ibunya saat ia mudik tahun lalu. Kini ia merindukan cerita lain dari anaknya itu. Bagaimana kota Surabaya yang cerita orang-orang sangat indah dengan gedung-gedung yang megah. Soal majikannya yang konon sangat baik, dan soal-soal lainnya.

“Yem, di mana kamu nak? “



SISA dua hari lagi puasa berakhir. Wesel tak ada tanda-tanda bakal sampai. Siang tadi ia memberanikan diri bertanya kepada petugas pos yang biasa mengantar surat-surat ke daerah itu, petugas pos hanya menggeleng.

“Barangkali masih di kantor? Belum sempat diantar ya, mas?” tanya Sarmi setelah petugas pos menghentikan motornya.

“Tak ada juga bu. Barangkali belum dikirim atau masih di kantor pusat…”

“Pasti sudah mas, soalnya anak saya tak mungkin terlambat. Kalau boleh saya tahu di mana kantor pusatnya?”

“Wah, jauh. Maksud saya barangkali masih di Jakarta. Tetapi tak mungkin juga. Soalnya ini hari terakhir, besok kantor sudah libur. Kalau sore nanti sampai, akan saya antar besok ya bu.”

Sarmi mengangguk. Hanya sejenak. Ia kembali gusar. Membayang wajah Yem di benaknya. Wajahnya mulai berubah. Benar-benar gelisah. Kekhawatiran Yem tidak mudik makin membayang. Tak mungkin Yem tidak memberi kabar.

Sampai malam hatinya mulai dirasuki rasa cemas. Wesel dari Yem sudah tidak lagi ia harapkan. Sudah sangat kecil kemungkinan bakal diterimanya besok pagi, hari penghabisan puasa. Tetapi bukan soal wesel kini yang mencemaskan Sarmi, melainkan nasib Yem.

“Pak, bagaimana Yem? Kok belum datang juga?” tanya Sarmi pada suaminya. Karena diam saja, Sarmi makin keras suaranya: “Pakne kok diam saja? Apa kau tak khawatir dengan nasib Yem?”

“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”

“Coba tanya ke Mar. Siapa tahu dia punya nomor telepon tempat Yem bekerja? Ayo pak, cepetan!”

Pakne Yem segera mengambil kain sarung. Menuju rumah Mar. Satu jam kemudian ia sudah kembali. “Mar juga gak punya nomor telepon tempat Yem kerja. Katanya sih, Yem sudah pindah kerja. Bukan di rumah yang dulu.”

“Ya…” suara Sarmi tercekat. Setelah itu rebah.

Sebentar tersadar saat azan subuh, lalu tak sadar lagi. Kali ini Sarmi benar-benar pingsan. Yem datang dengan mobil khusus membawa pasien sakit atau orang yang meninggal. Raungan sirine ambulans itu membangunkan warga sekampung. Yem ditandu tanpa bernyawa lagi.

Sarmi diberi tahu oleh petugas polisi yang mengantar jenazah anaknya, Yem mati karena tak kuat lagi mendapat siksaan berbulan-bulan dari majikannya. “Sabar bu, yang jelas pelakunya sedang kami periksa intensif. Ya, ini semua memang takdir. Tapi pihak kepolisian tidak akan pernah membiarkan kasus ini. Sewaktu-waktu ibu sebagai keluarga korban jika diperlukan pihak kepolisian, bisa bantu kami kan?” kata petugas polisi itu lagi.

Sarmi dan suaminya mengangguk.

“Saya mau dia dihukum yang berat, pak polisi!” teriak pakne Yem. Histeri. Lalu terjerembab, ia pingsan.

“Tent…” sigap menyambut tubuh orang tua itu. Membopongnya ke dipan bambu. “Percayakan pada pihak kepolisian, kasus penganiayaan ini tidak akan kami diamkan. Kasus penganiayaan pembantu sudah sering terjadi,” lanjut petugas itu lagi.

“Dihukum mati juga!” teriak Sarmi seraya mendekap Yem. Airmatanya sudah terlalu banyak tumpah. Kedua matanya lembab. Tubuhnya lemas. Wajahnya merah-pasi. Rambutnya tergerai acak.

Sarmi sudah lupa dengan wesel dari Yem. Jenazah putri sulungnya itu adalah kiriman terakhir yang diterimanya pagi Idul Fitri ini.*


Lampung, 2008

Tidak ada komentar: