04 Desember 2008

KOTA CAHAYA


Isbedy Stiawan ZS

KOTA CAHAYA

seratus puisi pilihan





(diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, Oktober 2005)



DAFTAR ISI

Kata Penyair ……………………………………………

NYANYI SUNYI ………………………………………..

Tubuh Tanpa Ruh ………………………………………..

Malam-Malam Mengaji ………………………………….

Solilokui Patung …………………………………………

Improvisasi I …………………………………………….

Improvisasi II ……………………………………………

Di Tepi Laut …………………………………………….

Pada Akhirnya Aku Kembali Sendiri …………………….

Epitaph ……………………………………………………

Doa Jenazah ……………………………………………..

Sajak ke 27 ……………………………………………….

Perjalanan Pelaut ………………………………………..

Aku Baca Lembaran-Lembaran Koran …………………..

Laut Membawa Jasadku ………………………………….

Pada Ketinggian Matahari ………………………………..

Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu ……………………..

Surat ……………………………………………………….

Membaca Bahasa Sunyi …………………………………..

Telah Kujalani Kekerasan Batu …………………………..

Aku Lebih Dulu Menulis Nama-Nama ……………………

Pernahkah ………………………………………………….

Ciuman Penghabisan ………………………………………

MENANDAI TAHILALAT ………………………………

Seperti Semut ………………………………………………

Interior Pantai ………………………………………………

Dunia Botol …………………………………………………

Ada Daun Gugur ……………………………………………

Ingin Kusuarakan ……………………………………………

Bebatuan itu Merintih ……………………………………….

Panorama dari Pantai Panjang ……………………………….

Sehabis Menari ……………………………………………….

Dari Kaveling 2 Meter Persegi ……………………………….

Saatnya Aku Mengerti ………………………………………..

Surat-Surat Cinta …………………………………………….

Matahari Pejam ………………………………………………

Dongeng Menjelang Kelahiran ……………………………….

Aku Tandai ……………………………………………………

Aku Masih Rasakan …………………………………………..

Tengah Malam, Telepon Berdering …………………………..

Requiem ………………………………………………………

Kembang Rumput …………………………………………….

Selembar Peta ………………………………………………

Bila Pelayaranku Sampai ………………………………………

Aku Menanam Diri ……………………………………………

Batas Bayang dan Diri …………………………………………

Gerimis Jatuh di Kota yang Rapuh …………………………….

Menyusun Sisa Perjalanan ……………………………………

Telah Kulepas Pakaian Sunyiku ……………………………….

DARI CERITA YANG LAIN …………………………

Tangan …………………………………………………..

Silam: Kenangan Luka …………………………………

Di Ambang ……………………………………………..

Luka di Bibirku …………………………………………

Lido Lakes Resort ………………………………………

Pohon di Depan Rumah ………………………………..

Ziarah Adam di Bumi ………………………………….

Lelaki yang Melepas Mantel saat Hujan Siang itu ……..

Tak Perlu Teluh ………………………………………..

Sebaris Pantai ………………………………………….

Episoda Luth …………………………………………..

Dunia Mimpi ………………………………………….

Selembar Pagi …………………………………………..

Kota Cahaya ……………………………………………

Lelaki Penunggu Mercusuar ……………………………

Percintaan Pelangi ………………………………………

Catatan Suatu Hari ……………………………………..

Perjalanan Kedua ……………………………………….

Metamorfosa Malam ……………………………………

Paling Kelam …………………………………………..

Lambungku Ada Makam ……………………………….

Tentang Alamat Lama ………………………………….

Sesabit Bulan ……………………………………………

Pelaminan Begitu Lengang ………………………………

Mati di Laut Mana ………………………………………

Ketika Bukit Masih Menjulang …………………………

Kabut Asap ……………………………………………..

Pesta Kemilau ………………………………………….

Seperti Memecahkan Serpihan Kaca ……………………

Lirik Lirih ……………………………………………….

Tangan yang Memanjang ……………………………….

Sebelum Jadi Kisah …………………………………….

Sampai Aku Terjaga dan Menemukanmu ……………..

Mata Pelangi ……………………………………………

Beratuskali Aku Mati ………………………………….

Awan tak Hanya Mengabarkan …………………………

Kususuri Masalalu …………………………………….

Asap dari Kuburku ……………………………………

Aku Masuki Kolammu ……………………………….

Dulu Aku Minta Mati di Laut ………………………….

Seperti Kematian ……………………………………….

Pagi: Cerita yang Lain …………………………………

Di Dalam Sajak ………………………………………..

Risalah Ini……………………………………………..

Kau Meretas dalam Pekat …………………………….

Bagai Sepasang Kekasih ………………………………

Esok Fajar Kita Bertemu ………………………………

Perjamuan Senja ………………………………………

Kota Penuh Sarang Labalaba …………………………..

Menjauhi Ambang …………………………………….

Di Pantai Berpasir Maut Berdesir …..………………….

Sebelum Ingatan Lebur ……………………………….

Hujan: Dari Cerita yang Lain ………………………….

Kata Penutup …………………………………………..

Biografi Singkat ……………………………………….

KATA PENYAIR

Sekitar dua tahun lalu saya berniat menghimpun seratus puisi pilihan dari seratusan lebih puisi yang telah saya buat selama ini. Niat tersebut karena usulan dari teman-teman penyair di Lampung: Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan Oyos Saroso HN. Namun keinginan itu tak kesampaian: puisi-puisi yang telah saya kumpulkan dan ketik di komputer, karena teknis akhirnya raib dari mesin ketik canggih itu. Untuk sementara, saya pun melupakan keinginan menghimpun seratus puisi pilihan.

Ketika Pamusuk Eneste menyarankan agar manuskrip kumpulan puisi Perjalanan ke Dua yang saya tawarkan ke Penerbit PT Grasindo diganti menjadi seratus puisi pilihan yang berisi puisi-puisi saya sejak dulu hingga kini, saya membuka kembali puisi-puisi lama di arsip, kliping, atau pun antologi. Untunglah dokumentasi saya cukup baik—ini karena isteri saya sangat peduli pada pendokumentasian—akhirnya dapat dengan mudah saya telusuri. Sedangkan untuk puisi-puisi terkini tak menjadi masalah karena filenya masih rapi. Setelah berkali-kali pasang-copot untuk menggenapkan seratus puisi, maka kumpulan pilihan puisi ini lalu saya beri judul Kota Cahaya.*)

*

Puisi pembuka yang saya buat 1984 berjudul “Tubuh Tanpa Ruh” adalah persembahan bagi almarhum D. Zauhudi (penyair Banjarmasin), dan telah dimuat oleh media daerah di Mataram, NTB (?). Sebenarnya, sebelum 1984 saya sudah menulis puisi. Cukup banyak puisi saya yang telah dipublikasikan. Namun kesulitan saya mendapatkan dokumentasi atau kliping, kumpulan pilihan puisi ini akhirnya saya buka dengan puisi bertitimangsa tahun 1984 (saya hanya menemukan satu puisi bertitimangsa 1982).

Puisi pembuka ini—ditambah beberapa puisi berikutnya, dapat ditarik “benang merah” tentang “konsep” kepenyairan awal saya. Maka itu bagian pertama ini sebagai “nyanyi sunyi”. Kenapa demikian? Kepenyairan saya diawali dengan puisi-puisi sufistik; puisi yang menyuarakan kematian, merindukan “pertemuan” pada sang Khalik, atau kehendak untuk menjelajah ke alam batin yang transendental, dan selingkarnya. Puisi-puisi berjenis ini, waktu itu (1980-an), mendapat tempat yang baik. Bahkan, puisi-puisi sufistik atau juga acap disebut puisi religius, puisi transendental, sastra universal, dan seterusnya, menjadi trend pada saat itu. Dan, pada waktu bersamaan muncul pula “selera” sastra kontekstual.

Sebagai penyair yang hidup di antara “sastra universal” versus “sastra kontekstual” itulah, saya berada dan silih masuk-keluar di antara dua trend itu. Karena saya sangat percaya puisi yang baik akan tetap kontekstual sekaligus universal. Tak mungkin sastrawan hidup di awang-awang, sebab sastrawan akan bergeliat di dalam teks-teks yang terjadi di sekitarnya. Dan puisi adalah “suara lain” dari sang penyair—meminjam pendapat Paz, sebuah suara yang akan melampaui zamannya.

Perkembangan kemudian, meski saya tak meninggalkan sepenuhnya “aliran” puisi sufistik (religius/transendental), namun saya juga “membebaskan” sudut pandang ke beragaman tema. Misalnya, sebagai manusia yang tak bisa lepas hidup bersosial, saya mesti menyuarakan ketimpangan yang ada itu. Apalagi profesi saya sebagai jurnalis yang setiap hari disuguhi ragam berita, makin menajamkan “penciuman” saya pada kehidupan. Namun saya tak cuma mencatat ihwal kehidupan yang ada, karena itu saya harus “memberi nilai” dan “menandai” apa yang saya baca, lihat, dan rasakan dalam kehidupan ini.

Dalam kurun waktu “menandai” ini, kebetulan sekali saya banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota/provinsi baik itu diundang dalam pertemuan sastra atau sekadar pakansi. Dari “pengembaraan” itu saya banyak mendapat sentuhan untuk menulis puisi, saya juga dapat “menandai” berbagai fenomena yang ada di Tanah Air. Saya bersyukur dalam kurun ini, saya sempat membuat manuskrip Negeri Sepatu yang sempat saya panggungkan di Taman Budaya Lampung bersama komunitas musik (Komunitas Seribu Bulan—KSB) pada tahun 1999—setahun jatuhnya rezim Soeharto. Sedangkan puisi-puisi lain, di antaranya masuk dalam Bentara harian Kompas yang waktu itu dijaga oleh Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu puisi, “Aku Tandai”, saya masukkan dalam kumpulan ini pada bagian “Menandai Tahilalat”.

Kenapa idiom “tahilalat” yang saya pilih? Ketika Soeharto semasa kepemimpinannya menggelar program “jawanisasi Indonesia” melalui proyek transmigrasi, sejatinya ada yang tak terpikirkan oleh pemerintah: yakni masalah budaya! Masyarakat Jawa yang ditransmigrasikan hanya dibekali cangkul dan parang untuk membabat belantara hingga menjadi ladang dan tempat tinggal, sementara budaya setempat menjadi terabaikan. Sehingga lambat-laun, ongkos yang harus dibayar sangatlah mahal. Pertikaian antaretnis terjadi di mana-mana. Kekerasan berlangsung di hampir pelosok Tanah Air. Saya merasakan, masyarakat tak bisa lagi “menandai” bahwa kita sebangsa, setanahair, dan sebahasa. Tanda itu ialah tahilalat: sebuah tanda yang sesungguhnya telah akrab sejak kanak-kanak tentunya. Lalu puisi-puisi lain di dalam Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan yang diterbitkan oleh Lembaga Advokasi Perempuan dan Antikekerasan DAMAR Lampung (Juli 2001) dan Negeri Sepatu, tidak saya sertakan dalam kumpulan ini karena saya merasa puisi-puisi terpilih ini sudah mewakili.

Bagian akhir kumpulan puisi ini saya namai “Dari Cerita yang Lain”. Inilah puisi-puisi yang saya anggap “mewakili” fase terkini, suatu fase dimana hanya tiga tahun lagi usia saya mencapai separuh abad. Apakah puisi-puisi dalam fase terkini ini telah matang, dewasa, dan telah memenuhi pencapaian kepenyairan saya, semua berpulang kepada pembaca yang menilai. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa tiga tahun belakangan ini saya amatlah produktif.

*

Dari tiga fase kepenyairan saya selama 21 tahun (1984-2005), tampak perbedaan sekaligus perubahan yang jelas sekali. Perubahan bukan pada tema, sebab tema sejak dulu sampai kapan pun akan tetap ditulis oleh setiap sastrawan. Tetapi saya melakukan perubahan pada struktur, style, diksi, dan idiom yang baru dan segar. Terutama pada struktur (style) terjadi perubahan yang jelas sekali. Pada puisi-puisi paling terkini, saya telah meninggalkan narasi yang melebar ke samping, dan saya lebih menyukai puisi-puisi dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek yang saya anggap efektif. Selain itu, saya percaya sekali bahwa perubahan bagi seorang seniman adalah niscaya untuk menghindari stagnasi. Jika saya tak melakukan perubahan, mungkin kepenyairan saya sudah lama mati.

Dan, tugas saya hanya menulis ketika sentuhan puitik datang. Meskipun sejak awal memilih dunia kepenyairan, saya tidak punya pretensi macam-macam: misalnya ingin dikenal, memburu ketenaran, atau mengharap puji-pujian, atau apalah sebutannya. Seperti juga saya tak bisa berharap banyak bahwa profesi kepenyairan dapat menggantungkan hidup saya. Meski saya sangat percaya, profesi kepenyairan pernah dan telah menghidupi saya. Terbukti, sampai kini saya tidak menggelandang, melunta, mengemis, apalagi menjaja idealisme!

Sebagaimana saya katakan di atas, saya telah melakukan berkali-kali “pasang-copot” puisi untuk kumpulan ini. Pertama, saya mendapatkan 137 puisi tapi saya harus “taat aturan” bahwa kumpulan puisi ini hanya menghimpun 100 puisi. Lalu saya melakukan seleksi lagi, tentu secara subyektif menurut suasana dan selera saya, yang kemudian saya dapatkan 102 puisi. Sampai akhirnya saya dapatkan 100 puisi pilihan. Namun, entah sengaja atau karena subyektif saya menyukainya, penutup dari kumpulan ini sebagai puisi ke 100 adalah “Hujan: Dari Cerita yang Lain”.

Saya terpana ketika membaca kembali puisi tersebut. Entah mengapa saya seperti sedang menyusuri “… lorong yang terasa jauh/--alangkah jauh--//di pipimu kulihat bentangan hujan/seperti sayap-sayap burung/yang menanti pemurung/meluruh sebagai sepi…//… aku tenggelam.” Namun demikian, mudah-mudahan saja, puisi terakhir ini bukan sebagai “alamat lain”. Ah! Pikiran saya sudah dirasuki ihwal yang rahasia itu…

*

Akhirnya, kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Pamusuk Eneste dari Penerbit PT. Grasindo yang sudah memberi kesempatan bagi saya untuk menyusun puisi-puisi lama yang sempat tersimpan di kardus di bawah ranjang anak saya. Juga kepada isteri saya, Adibah Jalili, yang karena merasa pentingnya dokumentasi maka puisi-puisi lama saya tersimpan rapi padahal beberapakali kami pindah rumah. Lalu takzim saya sekaligus saya persembahkan kumpulan puisi ini bagi anak-anak saya: Mardiah Novriza (beserta suaminya, Muhammad Zamzari), Arza Setiawan, Rio Fauzul, Khairunnisa, Abdurrobbi Fadillah, dan kedua cucu saya: Zahra Putri Balqis dan Yahya Ayas Al-Indisyi—tak terbilang memberi ruang untuk saya berpuisi!

Tak lupa pula teman-teman dekat saya yang banyak mendukung dan membantu, seperti Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, Oyos Saroso HN, M. Arman AZ, Daniel HG, Syaiful Irba Tanpaka, Hary Jayaningrat, Maman S. Mahayana, Ibnu Khalid, Firman Seponada, Heru Saputro, Budisantoso Budiman, Jauhari Zailani, Jamal D. Rahman, Edy A. Effendi, Zen Hae, Ari Hutabarat, Satmoko Budisantoso, Raudal Tanjung Banua, Asma Nadia, Hudan Hidayat, Jimmy Maruli Alfian, R. Krisman, Marko Universal-Sel, dan banyak lagi yang sulit disebutkan di sini. Karena perhatian merekalah, saya masih ada di ranah sastra ini. Setelah itu, adalah pembaca sebab tanpa Anda maka puisi-puisi dalam kumpulan ini akan selamanya membisu…

Bandar Lampung, 14 Juli 2005 Isbedy Stiawan ZS

*) catatan Editor: Sebelum Kota Cahaya ditetapkan, kumpulan puisi ini telah mengalami beberapa kali ganti judul, antara lain Dari Dunia Lain, Sepasang Kekasih dan beberapa judul alternatif yang diinventarisasi editor dan penyair.

NYANYI SUNYI

TUBUH TANPA RUH

-bagi almarhum D.Z

tubuh itu

tanpa ruh. nyebarkan duka

melayat bunga dari seluruh kampung

(dari sini perjalanan masih panjang

bagi tubuh tanpa ruh

yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan

biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)

tubuh itu

tanpa ruh

bekukan hujan di awan

sepanjang hari

sementara dari kamar

netes kenang; siapa bisa

menghapus gambar tangan

di dada?

12/7/1984

MALAM-MALAM MENGAJI

hayat ngembara padang kelam

lentera di tangan mercukan jalan setapak

kaki-kaki basah oleh keringat

persis ketika harap pun sampai

dan tak kembali-kembali lagi

1984

SOLILOKUI PATUNG

aku kayu tak bernilai. kau lukai dengan

pisau sehabis diasah. dari hari ke hari perih

kutahan. terus kau sileti aku jadi garis-garis

jadi bentuk jadi rupa. rupa yang kau inginkan!

aku kayu tak bernilai. aku patung berharga

gadis yang dirindu. tercipta dari serpihan

sembah. tuhanmu

23/11/1984

IMPROVISASI I

pungutlah sisa kehidupan yang terbuang itu

sebab hanya yang tersisa bagianmu. santan

dan ampas telah terpisah sebelum liurmu tumpah

dari lambung dan menyungai ke langit itu. tempat

kelaparan bermuara. mendupakan hidup

yang tertapa. untukmu: tak lebih

senasib ahasveros dalam zaman pasar ini

mengembara tak kenal…

1985

IMPROVISASI II

tak perlukah kita tertawa dan bermanja? sejenak saja

demi melupakan periuk yang telanjur terbalik di dapur. dan

anak-anak mengunyah daun jambu untuk obat

pengempis perut kembung

kalau aku boleh tertawa dan bermanja, kalau aku boleh

menidurkan kecompangan ini di perutmu itu. kalau aku

boleh membuka album perkawinan kita. sebenarnya kita

masih punya keceriaan. tapi benarkah keceriaan

dan kebahagiaan itu milik kita? Kita

belum memiliki sepenuhnya—desismu

soalnya kau belum mau merajakan ketenangan. Dan

menjajakan senyum yang tak setiap orang memilikinya.

Ombakkanlah itu setiap saat. Tuhan beserta orang yang sabar

1985

DI TEPI LAUT

kita pernah bermain layang-layang di sini

rambutmu yang tersibak angin adalah benangnya

aku ulur kau biar terbang menyilang cakrawala

tapi kendali tak sudi kulepaskan. Tak sudi

betapa bodohnya aku, benang di tangan putus

kulihat kau terbang sendiri

tanpa bisa kuraih kembali. Tanpa bisa

di tepi laut ini

kunanti layang-layangku yang putus

kunanti kau hadir kembali menemaniku

bercakap-cakap pada karang

1984/1985

PADA AKHIRNYA AKU KEMBALI SENDIRI

pada akhirnya aku kembali sendiri juga. aroma

pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi

mendadar kengerian jiwaku. o, adakah yang lebih sepi selain

diurbaniskan seperti begini?

aku kembali sendiri juga pada akhirnya. tak berkawan

tak berfamili. didedah oleh pikuk musik jazz

dan bau pupur itu, bau pupur itu. o!

Padang, 1985/1986

EPITAPH

ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari

yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan

ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup

lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya

menyilang langkah

18.11.1986

DOA JENAZAH

aroma dupa dan wangi sayur yang ditawarkan

dari sudut-sudut rumah ini kuharap jangan

dihidangkan di atas piring kerandaku

lalu turunkan muatan! buka palka

dan kuburkan kepasrahanmu. beri jalan aku

kembali kepada-Nya. tanpa asap dupa

tanpa pesta!

1984/1986

SAJAK KE 27

(Ulang tahun Adibah Jalili)

siapakah yang membangunkan tidurmu? ini hari genaplah

engkau menjaga arloji dari kepecahan dan

mempertahankan siklus bulan bintang serta matahari

dari gerhana atau cerita yang amat purba itu…

siapakah yang menyapa lenamu? kuyakini ini hari

engkau masih tetap menghembuskan balon sepenuh hati

menjauhi pohon mawar yang berduri itu…

: Dekaplah waktu! Ciumlah Aku!

4 Mei 1986

PERJALANAN PELAUT

karena laut mengajarkan rahasia badai

aku pun setia berlayar. dari pulau asing

ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut

dan lalu meninggalkan ratusan rumah

yang memendam kesepian

rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,

laut yang terapit oleh pulau-pulau

di mana tubuhku sesekali dibaringkan?

dari pulau asing ke pulau asing

aku pahami rahasia badai, aku tebarkan

benih pelaut. sementara pada kedalaman laut

kubur mengajarkan rahasia paling akhir

1987

AKU BACA LEMBARAN-LEMBARAN KORAN

(Satu Amsal)

aku baca lembaran-lembaran koran. dan pada setiap kolom

kusimak dunia yang terluka oleh bibirmu! bahkan hingga

ke halaman sebelah ada pisaumu bermandi

darah terkapar atau cinta yang diujudkan pada iklanmu

sia-sia membaca rahasia duniamu. dan pada setiap

kolom aku mengukur luas kubur atau kaveling penawaran

atau bahasa sanjungmu. lantas bibirmu, lisptickmu yang

merah merayuku untuk merobek!

kecuali dendam, ya Allah

aku melihat tubuhku tersayat di setiap

lembaran-lembaran koran. tak bergerak,

aku membacanya. aku menyimaknya

aku membaca lautan darah. aku membaca musim-musim

kemarau yang membantai taman bunga. pada setiap kolom

dan halaman anyir bibirmu menusuk nuraniku. tapi

karena bibirmu pula aku kasmaran dan patah hati

1987

LAUT MEMBAWA JASADKU

laut membawa jasadku

ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi

ditanamkan, menyimpan riuh jam

tanah pun basah, melumpurkan langkah

yang berhenti pada gerbang-Mu

kau pun tersedu. hujan turun

mengabarkan ketajaman pisau padaku, dan

laut tak henti membawa jasadku

ke makam-makam sunyi-Mu untuk ditanamkan!

o aku sendiri dalam kematian ini

di semesta sempurna ketiadaanku

1987

PADA KETINGGIAN MATAHARI

pada ketinggian matahari

rumput-rumput berkeringat. tangannya

menggapaimu gelisah. hari yang penuh

pembantaian merebahkan nyalinya

hanya jerit. hanya jerit yang menggema

di padang-padang kerontang itu

kemudian senyap

kemudian senyap

sungai pun menerbangkan batu-batu

1987

AKU HANYA KERAK DI LIANG BUMIMU

Aku hanya kerak di liang bumimu

menunggu sampai musim bertukar.

Tubuhku hitam terpanggang, menahan

derita sepanjang kehendakmu

Di liang bumimu aku menjadi kerak

terlempar dari segala cuaca

sampai musim esok datang

sampai waktumu tak lagi kudengar dentingnya

Dan kota-kota makin jauh dariku

Aku tenggelam dan menghuni di dasar yang sunyi

sementara matahari tak terbit dari bola matamu

15-16 September 1987

SURAT

seribu surat ditulis seribu kota

dirapatkan, tapi tak lunas juga

rinduku padamu

pranko demi pranko direkatkan, dan

pada muka sampul alamatmu kutulis

tapi tuturku terasa kelu bagimu

tak hanya surat. kabar yang sia-sia

di perjalanan; lalu mimpi bermuka-muka.

oh aku menggali keasingan kotaku, aku menggali

kesunyian kotamu bersama ribuan surat

yang kutulis dan kukirim!

26/12/1987

MEMBACA BAHASA SUNYI

Seperti kayu aku ikhlas dibakar

dari waktu ke waktu. tubuhku hitam

menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu

di dasar tungku kehidupan-Mu

Aku membaca bahasa sunyi

Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu

Pada setiap sujud kusebut ketiadaan

melengkapkan arti gerimis yang gugur

di taman-taman atasnama kedamaian

Aku membaca bahasa sunyi

sehabis bara menggenapkan tubuhku

menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu

aku lebur dalam zikir panjang

mengaji rahasia tangan-Mu

Seperti kayu

aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara

dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu

aku terus-terusan sujud menciumi tanah

O telah kubaca bahasa sunyi

di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak

pernah menawarkan istirahat atau kedamaian

Begitu bara membakar hingga aku lebur

ke dalam sujud dan zikir

ke dalam sujud dan zikir

1989

TELAH KUJALANI KEKERASAN BATU

Telah kujalani kekerasan batu. dalam diam

kusimpan gemuruh air. lalu keheningan pun

bagian dari napasku

Aku kini menanggung beban matahari. dalam keras tanah

kuterjemahkan detak lumut dan arus air pun kuterjemahkan

menjadi buih bagi semangat zikirku

telah kujalani kekerasan batu. dalam zikir

kunyanyikan gemuruh air!

1988

AKU LEBIH DULU MENULIS NAMA-NAMA

Aku lebih dulu menulis nama-nama di bumi ini

sebelum telapakmu kemudian kukenal menciptakan

jalan lain menuju stasiunku. Lihatlah nama-nama

semesta ada dalam jari-jariku begitu kupanggil

satu persatu. juga pada pasir laut rahasia

ciptaanku terpatri,

mengekalkan langkah dan namaku. Tapi kau masih

juga menentang, menghanguskan nama-nama di bumi

dengan api yang kau ambil dari bukit yang jauh itu

Dan ketika telapakmu kukenal kemudian serta menulis

nama-nama di sepanjang perjalanan, alam bagai kehilangan

mataku. Kegelapan pun merestui dan bumi makin

payah menapaki surga. Melenyap dari kerling

tanpa kutahu di tahun kapan dapat bebas

dari kehadiranmu

1988

PERNAHKAH

pernahkah kau rasakan; tiba-tiba punggung kita

terluka, tapi tak kenal pisau siapa? lalu darah

tak pula menandai dan detik-detik melangkah

seperti biasa

pernahkah kau rasakan; ketika tiba-tiba punggungmu

tertusuk, tapi kau hanya melihat bayang-bayang pisau

yang menyelinap dalam kelam? sedang aku hanya

memandangmu tanpa kata

aku pernah merasakan; ketika punggungku terluka, tapi

tak mampu membaca makna pada runcing pisaumu

yang mandi darahku!

1988

CIUMAN PENGHABISAN

saat ciuman penghabisan kuterima

pada sujud yang panjang, tiba-tiba getar

lembutmu menggoyangkan langit. Aku baca namaku

di sana bersama orang-orang yang kau restui

terus aku mengatas, mendaki puncak segala

puncak

tangga mana yang kutuju? aku telah sampai

pada ciuman penghabisan. di dalam sujud yang

panjang kusetubuhi keabadian. pada puncakmu

aku pun makin lupa dengan gaduh bumi

yang cuma menawarkan nama-nama

saat ciuman penghabisan kuterima

tiba-tiba panggilan lembutmu membuka

jalan satu-satunya untuk kutempuh. aku baca

diriku di sana menari bersama orang-orang

yang kau rindu

1990

MENANDAI TAHILALAT

SEPERTI SEMUT

seperti semut yang mendaki perbukitan

betapa jauh dan melelahkan perjalanan ini

tapi dengan dada yang menyala dan senantiasa

menyimpan bahasa-Nya

berangkat juga hewan ini ke kandang

menghitung-hitung perbukitan yang didaki

rasanya baru kemarin kita dilahirkan

seperti semut yang mendaki perbukitan

berangkat juga aku ke sana

membawa rerumputan

menghadap lurus arah matahari

1993

INTERIOR PANTAI

rinduku seperti rindu laut pada pantai. tak ada

waktuku untuk melupakanmu, karena aku akan terus

datang dan menyapamu. meski kemudian aku harus menjauh

ke samudera luas,

membaca desah angin dan riak gelombang

rinduku padamu seperti rindu laut pada pantai. siapa

mampu mencegahku untuk sampai padamu melepas

rindu? seperti laut melepas rindunya di pantai,

aku pun mengurai benang-benang rinduku di maha pantaimu

laut yang liar dan ganas pun tunduk

di pangkuan pantai!

27 Mei 1993

DUNIA BOTOL

menghadapi dunia botol yang disuarakan radio

laut dalam diriku seakan berbusa. perahu mana

yang dapat kuyakini untuk menyeberangkanku

ke pulau itu? sedang angin tak menentu

hatiku tiba-tiba tak percaya pada laut

dan pulau menjadi samar di mataku. tapi aku

tak pernah henti mengunyah botol, karena

radio selalu mengantarkannya ke mejaku

sebenarnya aku sudah mati di meja ini

berkali-kali. tapi dalam

dunia botol yang dikirimkan radio

kuburku belum juga diazankan!

1994

ADA DAUN GUGUR

ada daun gugur

dekat pintu rumahku

dan warna kuningnya

mengabarkan dunia yang pecah

lewat tanah-tanah

hatiku gemetar

memandang namaku

yang mencari-cari rumah

akhirku

ada daun gugur

dekat jendela kamarku

dan warna terbakarnya

memandangku dingin

Surabaya 1994

INGIN KUSUARAKAN

ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya

telinga dan kata-kata. bahkan lampu-lampu taman ini

akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa

lain. lalu dinding memagar tubuhku,

kesepian yang mendekam!

ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung

tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah

memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi

kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu

cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku

merokok limbah serta mengunyah beton!

ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi

punya suara. seribu iklan memadati halaman

demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah

anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana

kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.

kemudian hening…

ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa

granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan

burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga

di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecemasan

1994

BEBATUAN ITU MERINTIH

lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari

memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai

yang mengalirkan darahnya

kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana

lagi kusimpan kesumat ini?

begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku

bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba

ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara

yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa

aku seperti tak mencium aroma manusia?

lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang

garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini

dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara

merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar

dengan maut di malam sunyi itu

inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari

ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan

udara telah membawa senyum dan tangis pelayat

ke dalam doa yang beterbangan

lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum

yang dinyanyikan sungai, kecuali taman

menjelma tiba-tiba

1995

PANORAMA DARI PANTAI PANJANG

matahari merah di atas gelombang

menerbangkan pasir hitam

ke wajahku yang gagu memandang ketinggian-Mu

ini pantai amat panjang

membuatku lelah menyisir perjalanan

aku telah jadi kanak-kanak kembali

bermimpi tentang pelayaran

atau bercanda dengan ketajaman ombak

yang menikam tangga usiaku

dari pohon-pohon cemara itu

kusaksikan wajahku sendiri yang menari

bagi bungakarang di laut-Mu

di pantai panjang ini

betapa sulit kueja langkahku

bahkan pada surya yang mulai ke peraduan

kualiri saja mimpiku

dan berlayar…

Bengkulu, 1995

SEHABIS MENARI

sehabis menari perempuanku menggaris langit

jadi padang baru. demikianlah! aku pun ingin terus menari

bersamamu

dan di padang yang luas itu kubangun rumah buat

ibadah kita: lalu di dalamnya kita saksikan

matahari datang dan pergi. tafakur kita…

sehabis menari perempuanku menghiasi rumah keabadian

itu jadi taman yang benderang. inilah

sembahyang kita yang agung, sayang. hiruplah susu

yang mengalir dari sungai-sungai itu. sebab duri

telah jadi mawar dalam setiap napas kita

menarilah terus, perempuanku. sebab inilah ibadah

kita yang agung dan terakhir. tapi diamkan irama

gendang dalam batin alam

sambil pelan-pelan kita nyanyikan bahasa Tuhan

setiap gerak napas kita

November 1996

DARI KAVELING 2 METER PERSEGI

(Membaca Teater Kita)

belati itu, ranjang yang bergoyang itu

sudah jadi televisi yang berjalan ke panggung. lantas

aku jadi luka melihat peradaban instan yang kautawarkan!

lantas sejarah terus berulang. terus berulang

ditulis dari dalam rumah, bahkan dari balik kelambu

ketika lelaki dan perempuan itu menyulamnya

dan kita mengenakannya, membawanya ke jalan-jalan.

kemudian menulisnya di lembar-lembar koran

juga di rol film yang diputar di bioskop maupun

kaca televisi!

belati itu, darah itu, persetubuhan itu

mengulang-ulang dalam layar kaca dan bioskop

hingga jadi bahasa lain dari peradaban

yang juga diam-diam telah memasuki

kaveling demi kaveling yang aku dan kau

sama-sama merasakannya

lantas belati itu, percintaan itu

makin jadi bahasa sehari-hari

begitu anak-anak televisi jadi konser besar!

Surabaya-Lampung, 1996

SAATNYA AKU MENGERTI

buat ibuku Ratminah

sisakan garam dari tubuhmu, ibu. sudah bermalam-malam

kukeringkan air laut menajamkan pisau usiaku

tapi kenapa aku lebih suka menikmati garam yang diulang

dari tubuhmu?

aku tak pernah jadi perahu di lautmu, ibu. padahal

telah kurekam beribu-ribu ayatmu di hatiku. jadi lembar-

lembar kitab yang terbuka: tapi wajahmu selalu hilang dan

datang

seperti gambar televisi yang tak mampu kubaca

ibu, ingin kukeringkan air laut dari tubuhmu hingga jadi garam

biar

lauk hari-hariku punya rasa. ingin kuperas garam dari tubuhmu

dengan sejuta matahari yang kupetik dari pohon-Nya

saatnya kini aku mengerti garam dari tubuhmu sangat kurindu.

padahal

laut yang bergelora dari sela-sela hatimu mulai menepi, dan

aku kembali ziarah ke dalam mimpi-mimpi besarmu

yang belum juga seluruhnya rampung!

ibu,

aku ingin kembali ziarah ke dalam pangkuan lautmu. seperti

perahu

yang masuk ke galangan lantaran telah karat. sebab peradaban

telah membuatku makin jauh dari lidah asin-manismu

Madura, Juni 1996

SURAT-SURAT CINTA

jangan tikam aku jika lukanya tak sampai di tubuhmu. sudah

berabad-

abad kutahan perihku pada waktu yang tak pernah lagi beri

canda. lantaran cinta aku selalu tersenyum setiap punggungku

kau tujah. dan darahnya akan selalu kukenang sebagai

persahabatan kita.

inilah isbedy yang tak pernah menulis surat-surat dendam.

karena

cinta-Nya, apa yang bernama luka hanyalah peristiwa. lalu

pada setiap lembar buku yang tertulis

hanyalah cinta. hanyalah cinta!

jangan tikam aku jika darahnya tak sampai ke anyirmu. sudah

sering

kudendangkan perdamaian hingga kau pulas dengan senyum

demi

senyum; inilah yang kusuratkan setiap waktu. meski aku tak

mengerti

pembantaian masih saja berlangsung. di setiap nurani…

inilah isbedy! tak pernah sangar meski wajah telah berdarah

sebab senyum lelaki pertama yang terbunuh itu telah sempurna

mengecat sudut-sudut nurani. ya inilah isbedy

yang tak henti mengirim surat-surat cinta padamu…

Juli 1996

MATAHARI PEJAM

Serasa aku tak berada di kampung sendiri

Matahari telah lama pejam. Lidahku

kelu menghafal nama-nama sungai, kota,

dan jalan

Di sini begitu telanjang. Mataku luka!

Laut yang memuntahkan beribu gelombang

Seakan membawaku ke tengah lautan

Begitu jauh. Amboi! Mana jalan pulangku?

Kaukah yang menyimpan kasurku? Rumah yang

menidurkan ketentramanku mengapung

Bagai selancar dihidupkan gelombang:

Timbul dan tenggelam

Anak-anak. Tak usahlah membaca zaman

Hidup di sini begitu kejam

Terlunta-lunta di antara pasir

Dan kafe-kafe yang dihidupkan

oleh botol-botol alkohol

Kuta, Juni 1998

DONGENG MENJELANG KELAHIRAN

-adjll

sebuah cinta kuledakkan di dalam hatimu

jadilah ia yang mengeram di batinku

dan mengarus di darahku

laksana perahu ia pun menyinggahi

negeri demi negeri: cinta kita bersama

kini kalau aku datang kepadamu

karena aku benar-benar kasmaran

pada aroma dadamu yang seputih

kapas itu…

malam-malam begini, kadang kubayangkan

kau mengganggu dengkurku sambil

mengartikan makna kegelapan

dan kesunyian masih selalu

khusyuk bertasbih

bagi semesta

bagi Ia!

johorbaharu, malaysia, april 1999

AKU TANDAI

aku tandai tahilalatmu dari dunia kanak-kanak

yang tak akan pernah terhapus bilangan. sampai hapal benar

aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal

tubuhku sendiri

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita

petik dulu, kini telah pula jadi pohon:

menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai

menggores tanda di tubuhmu—tahilalat itu—yang

senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

tahilalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu

akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiap kali aku tertidur

meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan

gerakmu dalam gerakku pula. lalu aku menari di antara

tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini

ya. aku tandai tahilalatmu yang masih kukenang dari

dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,

sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga

besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis

dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

2001

AKU MASIH RASAKAN

aku masih rasakan bekas hujan

sore tadi. langit mulai gemerlap

di sudut lorong itu aku melihatmu

bercakapcakap dengan butiran air

yang menempel di selembar daun

itu juga hidup, kataku. tapi kau

tetap tak percaya. permainan

dari filmfilm fantasi masih menggodamu

lantas dengan cara apa aku meyakinkanmu

agar kau tersenyum saat melihat butiran air itu

pulang ke asal

agak sulit aku jelaskan padamu

bahwa kita seperti butiran air itu

bahwa kita juga ada di atas daun itu

diamdiam menunggu tergelincir

2001

TENGAH MALAM, TELEPON BERDERING

: scb

tengah malam telepon darimu berdering. aku

berbenah. juga kamar dan ranjang yang

penuh noktah dan kusut

tunggu sebentar aku hendak ke kamar

mandi dulu. setelah itu menjemputmu

namun kau berang. tak sabar menantiku

sikat gigi dan basahi rambut. aku ingin

kencing dulu, teriakku. tentu kau dengar

ocehanku. tapi kau tetap ingin segera!

apa yang bisa kuberikan padamu, jawaban-

jawaban yang membuatmu tersenyum?

tengah malam dering telepon darimu

memanggilku untuk segera datang

tak harus berias aku akan menerimamu,

katamu. aku kini sungguh cemas!

Akhir April—Awal Mei 2001

REQUIEM

baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati

jalan ini. mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan

cinta dan segala yang dicinta

namun matahari yang redup tetap merekam segala langkah

dan gumam. wajah-wajah yang menantang jalan itu kian

tampak pasi, menatap masa depan yang juga legam. baru saja

gerimis menghapus segala kenangan yang dibangun

di antara keringat dan semangat hidup abadi!

jika matahari tak juga menyala, kau boleh mencatatnya

sebagai requiem. namun sejarah akan terus berulang. terus

berulang. sebagaimana tangis dan tawa yang pertama

ditanamkan

ke tubuh manusia. begitulah…

lalu rumah akan kembali sunyi. namun percayalah, matahari

akan

tetap menepati janji. terbit dari balik jendela atau pintu rumah

ini, memberikan segala kesetiaan. layaknya jarum jam yang tak

pernah

mengaku kalah meski beribu kali mendaki dan tergelincir

mungkin setelah gerimis ini benar-benar reda, baru kau rasakan

hidup dan kematian akan berulang. sampai jalan-jalan sungguh-

sungguh patah

27 Juli 2001

KEMBANG RUMPUT

akhirnya aku terbungkus oleh kembang rumput

lelap di sudut taman; di luar pot

di luar jendela langit menghitam

matahari diam

lautan setenang

batu karang

tanah masih merah, menyebarkan

aroma kemenyan. para pelayat menunduk

dengan pakaian hitam

menoleh sesaat. lalu beranjak

sambil membunuh air mata

dan kembali menghidupkan boneka boneka

di keriuhan kota

akhirnya aku bagai kembang rumput

meranggas ke dasar tanah. menutup payung

payung hitam jubah hitam selendang hitam

menunggu air mata kedua

Februari 2002

SELEMBAR PETA

: hanya amsal

di depanku selembar peta terbuka. Kucari tempat-tempat

yang pernah ada dalam benakku, kota-kota yang menyimpan

kenangan bersamamu. Tapi yang kubaca sisa luka dan wajah

yang sulit kutandai. Tahilalat yang pernah kurajah di tubuhmu

sudah terhapus perjalanan waktu. aku bagai menerka-nerka

hidup yang misteri, kelamin yang asing di tengah orang-orang

lalu kucari lagi tanda atau lambang atas isyarat di tubuhmu

yang terbuka, seperti kubaca peta yang membentang ini. Aku

dirikan podium untukmu, kukirim boneka dan topeng ke dalam

tubuhmu: menarilah bersama waktu yang terus berputar,

sayang, menari dengan irama bossanova!

Sebab, katamu suatu waktu, hidup adalah permainan.

Masuklah

ke dalamnya, atau terbuang dari halaman peta ini. Ah,

kusaksikan

kau pun melangkah ke dalam laga itu, memburu lawan

dan darah makin menggenang di halaman peta ini

Khidir! Khidir! Jangan kau bocorkan lagi perahu ini

jangan kau bunuh lagi anak tak berdosa itu

jangan…

(jangan kau tanya yang tak kupahami)

dkl enggal, 29 Agustus 2002

BILA PELAYARANKU SAMPAI

Kita telah sampai di pantai. Matamu jadi sampan, menyimpan

sobekan layar. Kau sulap

batang bakau jadi kemudi, dan kau biarkan aku merana di tepi

pantai ini. Tak mungkin

nuh akan kembali setelah kecewa mengenang putranya. Serupa

aku kini yang tak ingin

mengingat betapa jauh perjalanan telah dilintasi. Kau lihat,

kedua telapak kakiku

pecah-pecah, tak lagi bisa menulis silsilah

ombak dulu juga yang menghapus segala sejarah. Kenangan

kenangan tak bertanda,

tanda tanda yang tak terbaca. Serupa buku tanpa lagi punya

halaman

Kita telah berada di tepi pantai. Rambutmu jadi nyiur, wajahmu

menyimpan angin. Ombak

menanti kita berlayar di tubuhnya. Menggapai gemuruh,

memeluk pulau pulau-Nya.

Sebab, di laut ini aku jadi imam bagimu. menegakkan hati setiap

ombak menyapa. Dan,

sobekan layar jadi sajadah

berwaktu waktu kita sujud. Meniupkan takbir

Kita telah sampai. Jangan lupa melayari ruh. sampan yang

menjelma dari matamu

membelah rahasia. Di mana mesti kupulangkan makanan ini,

sebab mihrab milik Imran

tinggal kenangan?

“Di mana pun kau melangkah, di situ mihrab kepunyaan-Nya,”

katamu. Dari wajahmu,

angin melajukan sampan. Kulintasi pulau demi pulau…

“O, bila pelayaranku ini sampai?”

Aku kehilangan tanya

2002-08-23

AKU MENANAM DIRI

Tinggal pakaian selembar di tubuh, ketika kutinggalkan rumah

yang

menabung sunyi. Tiada tangan memberi salam, tiada sapa bagi

lambaian;

maka selamat tinggal kenangan kenangan dan akan kupahat

di batu

nisan. Tapi, di pemakaman mana sisa kenangan, lambaian, atau

salam

kutancapkan jadi prasasti

Entahlah apa aku akan kembali menemui rumah sunyiku.

Menyalami

tangan dan membalas lambaian dengan ucap, padahal tiada

perempuan menunggu

serta anak-anak yang sibuk mencaricari petak umpet di beranda.

Aku luruhkan

pakaianku yang tinggal selembar lalu melempar ke liang.

Tak ada mata, aku telanjang

menantang bulan muncul di sela mataku

Serupa seorang petualang, berabad-abad aku mencari alamat

rumah. Aku rindukan

lambaianmu, mengenang salam yang kau ikrarkan setiap

pagi dan petang

sebelum pintu rumah tertutup dan lampu menyala.

Alangkah perih! Kurayu gemuruh

badai agar tersenyum pada perahu yang melintas. Dadaku

telah menyimpan

dendamnya. Tanganku sampai memeluk pantai

dalam telanjang. Kutinggalkan pakaian selembar di tubuh,

ketika kau diamkan

aku dalam rumah yang menabung sunyi. Aku sendiri

membaca peta, mengurai

alamat tak tercatat. Pecah ucap ke dalam igau dan mimpi

Aku tengah menanam diri

dini hari, 23 Agustus 2002

BATAS BAYANG DAN DIRI

batas apa antara bayang dan diri? Langkah yang saling kejar

tapi tak pernah tahu di mana akhir. Rumah cuma angan-angan

yang sepi menanti. Ahasveros masih juga berkelana

ke dalam benak

atau sisyphus yang selalu gagal mencapai puncak

menggotong ada-Mu. Jalanan belukar. Bayang dan diri

saling kelahi

siapa dulu yang mesti sampai. Tapi, rindu makin mengental

membangun terjal. Sisyphus yang dungu! Tak kautolak juga

titah itu, sebelum uban menyemai di usiamu

batas apa antara matahari dan diri? Usia memburu langkah

dan menyalib bayang. Jalan menciut. Rumah cuma didatangi

bila rindu. Selebihnya sunyi,

tertutup. Pintu dan jendela terbakar oleh

pengembaraan bayang-bayang. Di sini matahari

telah berlalu!

2002

GERIMIS JATUH DI KOTA YANG RAPUH

Senja kering. Lampu saat padam. Kulihat parasmu

menunduk, membuang senyum! Ah! Ini kali baru dimulai

cerita tentang sesuatu yang gelap. Jalan penuh pagar dan

ratusan mulut senapan menganga ketika

gerimis jatuh

di dalam kota yang rapuh

Barangkali, seperti senja yang lain, kota akan

selalu mencatat keluh ini dan merekam parasmu yang

tertunduk. Lantas, malam-malam panjang akan

melelapkanmu. Di antara riuh nyamuk dan kipas angin…

Barangkali, seperti senja yang kemarin, kau

hanya sekali tersenyum. Sesudah itu, gerimis akan

mewarnai parasmu. Gerimis akan merekam suara

belati yang melangkah di tubuhmu,

sampai ke paling gumam:

diam, diam…

Karena itu, sebelum lampu kembali menyala

dan kaca jendela mengirimkan kabar dari dunia lain

peluklah kegelapan ini. Kecuplah keraguan ini. Senja

yang melangkah, yang kering!

10-16 Maret 2002

MENYUSUN SISA PERJALANAN

memahami malam berkabut, jalan mengabur

kulihat engkau tetap menempuh

seperti semut hitam yang mendaki batu legam

menyerpih kelam demi kelam

tak sampai pada subuh engkau sudah melepuh

dibakar gigil yang mengalir. seperti lahar

yang mengangkangi ladang-ladang

yang sesaat lagi berbunga

ah! engkau cuma menyusun sisa

perjalanan ini. tapi, sia-sia menjadikannya

bilangan. bahkan sebagai kisah

yang akan engkau kenang ketika uban

memahami malam berkabut, jalan mengabur

kulihat engkau mencabuti uban

dan menanamnya di atas batu hitam

menantang kelam

1 Maret 2002

TELAH KULEPAS PAKAIAN SUNYIKU

Akhirnya pakaian kesunyian di tubuhku bertahuntahun

akan kulepas. Bulan

depan, seorang pangeran tanah seberang meminang

dan akan membawaku

naik istana impian. Kulihat bulan rekah dan bintang

selalu memainkan mata

untukku, hingga terkenang tahuntahun kesunyian

ditambah dua belas

bulan tualang dari kamar ke kamar

di sejumlah kota atau tempat…

mohon restu, kataku. Kukirim ke sejumlah teman dan

kekasih lama, di kota kelahiran yang

menanam jasad bunda. Di kota yang membuatku terlelap

dan terlunta: kehilangan jalan.

Tapi, kota juga yang menapaskan matahari yang

sempat redup dalam dadaku. Menari aku

dalam bayangan Tuhan, seperti musa yang mengajari

bagaimana mencintai-Nya. Akhirnya

akan kulepas pakaian kesunyian dan pencarian. Serupa

hawa aku akan tersungkur

di bawah kaki Pangeran! Terimalah kekurangan segala, bisikku. Kukirim mohon restu

dan ikhlas dari kalian yang pernah mencapai hatiku

Lupakan harihari kenangan. Hapus pulaupulau yang

membuatku mabuk, coret jalanjalan

yang membuat kalian lupa keabadian. Pelaminan

dan istana impian akan selalu

bercahaya dengan getar Cinta. Lalu kenang beratus ciuman

yang pernah kuikhlaskan

melekat dalam cintamu. Tapi, usah kau jadikan

sejarah karena silsilah tak lagi menandai

kita. Lampu kamar, bahkan telah benderang

Akhirnya akan kuhidupkan lampion dalam tubuhku.

Aku akan setia menanti pangeran

yang tiba dan melabuhkan perahu letihnya. Serupa dermaga

tua kuterima sauh,

betapa pun perih!

sudah cukup lama kukenakan pakaian sunyiku.

Aku siap dilamarmu kini!

Pakaian pengantin. Kursi pelaminan, ranjang

perkawinan terasa bersinar

dalam mataku. Aku sepenuhnya akan melangkah,

melupakan tanah

bunda. Mengenang gerimis yang menyambut pestaku

Telah kulepas pakaian sunyiku, Pangeranku!

23 Agustus 2002

DARI CERITA YANG LAIN

TANGAN

pulau mencair dalam tanganku

seperti sebuah peta terbakar

di bawah gerimis: kaukah yang memberi

nama atau bercak?

seperti tiada lagi album terbuka

kupeluk kenangan sungsang

“aku telah kehilangan pulau

utuk kita bercumbu,” bisikmu

celana dalamku menjelma peta

membentuk pulau baru

tanpa nama dan bercak

yang jauh dari gemuruh laut

kupeluk. kusetubuhi tangan

berlumur darah

mencipta sejarah

alamat yang kelam

payau menumbuh pohon

laut dan pasir hitam

terlihat malaka

di pelupuk mata

dari selat baru

aku melayarkan rindu!

Bengkalis, 19/1—Lampung, 27/1/2003

SILAM: KENANGAN LUKA

jalan akan berakhir

di ujung sembilu

selesai mengiris kelamin

darah pun mencair

menggenapkan tubuhmu

memanggil-manggil ruhku

ayo, siapa berani berdusta

kau pasti kawin, beranak,

dan melunta-lunta

di sepanjang jalan

yang jauh dari tepi

dan ke taman sepi itu

(taman yang pernah melontar

sepasang kekasih

sehabis bercinta)

kita mengulang percintaan

lalu terlontar lagi

memanggul batu

mengelilingi kota

telanjang…

kita mengadu ayam

sebagai perjudian

tergelincir atau meniti

rambut dibelah tujuh

dan ke taman sepi itu

barangkali kita tak

akan sampai

tiada

tanda. Juga suara air

yang hadir setiap waktu

dalam angan-angan

: barangkali kita mesti bikin

kelamin lain biar mati

lelaki dan perempuan

di taman ini

dikubur di sini!

2002/2003

DI AMBANG

celupkan kakimu ke sungai ini

airnya akan membawa anganmu

ke dalam istana tua

raja yang berdiri di ambang

melesatkan tulang dan bawang

ke tubuhmu yang lekang

di sungai ini kau menulis prasasti

suaranya sampai ke laut cina

melampaui sriwijaya dan pagaruyung

yang mengendap juga ke dalam buku

“inilah kota dimana orangnya

menyantap tubuh manusia

yang mengambang di sungai

laksana gabus

yang juga dilempar ke sini

jadi cerita sampai kini,” katamu

dan museum tak pernah henti

menyuarakan kota yang kini tua

diselimuti kabut dan kemelut

oleh perebutan ulayat

yang tak habis-habis

sampai orang-orangnya terpinggir

ke dekat gigir

aku pun teringat

makam bapak ada di sini

setelah bertahun-tahun

ngembara mencari raja

matinya di sini jua

jauh dari istana

seperti para pengembara

yang terbang jauh

di kampung juga ia jatuh

menelan teluh!

kota tua,

sungai yang keruh

orang-orang ngembara

tinggal sepi menanti

menjaga sejengkal tanah

untuk makam kami

di antara deru

dan kesunyian

yang dibangun

oleh waktu yang berlari

memburu dunia

celupkan kakimu ke sungai ini

airnya akan membawa anganmu

ke dalam istana tua

raja yang berdiri di ambang

melesatkan tulang dan bawang

bagi pendatang

kusematkan persaudaraan

dari rahim ibu

yang sama

bersila di lamban 1

dalam satu kata

“ini kota dimana

kita dilahirkan,

jaga sampai

raja benar-benar tiba.”

sebagaimana dalam cerita

tertulis di lontar

entah itu legenda?

tapi, darah kita

sewarna

dilahirkan dari

ibu yang satu

di dalam sesat agung 2

2002/2003

LUKA DI BIBIRKU

kau tahu luka

bibirku pagi ini

ditikam suhu yang

datang dan pergi?

sariawan ini makin

merapatkan bibirku

untuk mengulang-ulang

kalimat dari dongeng

saban malam

tentang tanah lantak

air berbuncah

dari halaman-halaman

yang kaukabarkan

menghapus keriangan

saatnya aku

meminum cuka

dari perasan waktu

yang kautunjam

ke dalam rumah

untuk sekian hari

jadi siput

di tanah hitam

ah, luka di bibirku ini

begitu damai

menyimpan sangsai!

2003

LIDO LAKES RESORT

: pagi

janggutku melebur

oleh dingin puncak ini

melayar ke danau

lido. berahi tumbuh

di dalam tubuh

janggutku bersayap

ingin terbang ke vila-vila

di puncak

seperti bendera

kelamin berkibar

di pasar-pasar

kau tentu tahu

aku ikut melepuh

karena dingin

selalu berlabuh

di rumah panggung:

aku makin ngungun…

cigombong, 9 januari 2004

POHON DI DEPAN RUMAH

pohon yang kutanam semasa kecil

di depan rumahku, masih melambai

daun-daunnya bagi pulangku

setelah lama kutinggalkan

halaman yang penuh runtuhan

daun dan ranting, jadi tanda

kerinduanku seperti

masa kanak-kanak dulu

pohon di depan rumah

masih menandai jalan

pulangku. menyapu halaman,

menyerpihi runtuhan daun:

mengecup kerinduan

seperti masa kanak-kanak

aku menulis lagi kenangan

ke dalam anganku

tentang pohon yang kini

selalu melambai setiapkali

aku lupa jalan pulang

pohon di depan rumah

selalu memanggilku

setiapkali aku terbenam

entah di kota mana

seperti rinduku padamu

yang menungguku

meski berkali-kali

aku selalu lupa membawa

kenangan

- juga ciuman

sebab pohon

-- juga kau –

muara ciuman

setiapkali rindu

yang membuatku

ingin pulang!

23 Desember 2003

ZIARAH ADAM DI BUMI

selepas malam terakhir

kautancapkan kecupan

aku pun menangisi luka

yang bersisa di tubuh

sampai tahun mengulang

tak juga hilang

demikian. selepas malam

terakhir itu, usai kecupanmu

tertancap dan membekas

di tubuhku. aku pun

menangisi luka masa lalu

sepanjang ziarah adam

di bumi…

ke padang-padang

tiada nama ini juga

aku menapaktilas

silsilah membekas

di kitab alastu

wahai, kau yang telah

menancapkan kecupan

hingga luka di tubuh

dan kini tengah kutangisi

mungkinkah kaupamit

untuk tak kembali?

selepas malam terakhir

kautancapkan kecupan

langitku menghitam!

desember 2003

LELAKI YANG MELEPAS MANTEL

SAAT HUJAN SIANG ITU

lelaki itu melepas mantelnya saat hujan siang itu

ia mencari payung yang pernah ia lempar

di masa kanak-kanak ke dalam semak, mungkin

di belantara itu atau dekat ladang petani

payung itu sudah hilang beberapa tahun lalu

ketika kau menuju jalan dalam lautan orang

meneriaki perubahan. dan mantel itu masih

membungkus tubuhmu di saat panas dan hujan

sampai kau pulang membawa bendera kemenangan

lalu cakrawala benderang. kau menepi dari

keramaian, menutup payung dan melempar

ke dalam semak yang tak kita tahu di mana

hingga lelaki itu melepas mantelnya

saat hujan siang itu

melepas seluruh pakaiannya

menantang belati hujan

2003

TAK PERLU TELUH

kaukah yang masuk ke dalam mimpiku? tak bisa kupercaya

kau dapat membuka pintu tidurku, tanpa merusak

kunci-kuncinya

padahal dengan doa kubuatkan dinding dan kunci yang kuat

agar tak seekor semut pun mampu merayap

kaukah yang tersenyum di depan mimpiku? gigi-gigimu yang

keras seperti mengancamku. sudah lama kuinginkan

payung hitam

itu mengenderai waktuku. jalan panjang, pohon nan rindang

berkelebat dari dunia yang lain

mungkin bukan kau yang mengusik mimpiku. kau hanya datang

lalu masuk ke dalam tidurku. di depan halaman mimpiku

kau masih saja lupa tentang namaku. tubuhku yang rapuh

tak perlu lagi teluh

karena seperti daun ia akan luruh

mendahului waktu itu sendiri

2002/2003

SEBARIS PANTAI

mungkin ini pertemuan terakhir

usai sebaris pantai kau jejaki

dalam lembar kertas itu

lalu ombak kembali

ke dalam dunianya

mungkin melepas

rahasia pertemuan

atau merayakan perpisahan

di tubuh mahalaut

bermahkota rumput

dan duduk di kursi

membayangkan sebagai

pengantin atau raja

yang menitah pantai

jadi barisbaris puisi

di sini aku membacanya

dengan lidah terpotong

2 November 2003

EPISODA LUTH

terkapar kelamin

ditikam uban

maka bumi kehilangan

para bocah yang bernyanyi

tentang hidup

tanah kehabisan bekas kaki

laut dilupakan oleh kapal

bumi terbalik di tanganmu

menyisakan erang

terbayang luth

sibuk mencari istrinya

ke balik tanah

ke dalam gusar

kelamin ini juga

yang membalikkan bumi

sampai kehilangan

hidup para bocah

setelah terkapar kelamin

apakah kini bumi

tetap dijaga para bocah?

kelamin tetap saja mati

ditikam helai-helai uban

2003

DUNIA MIMPI

hingga kini tak pernah

ada ikrar yang mencatat

sejarah pertemuan ini

lalu kita ciptakan kamar

di sembarang waktu

untuk menyatukan mata

yang selalu berkeliaran

di waktu seperti ini,

pernahkah kau tidur

bersama peri, kawin

lalu beranak peri?

suatu masa

ia menjelma ular

dan merayu ayah

selingkuh dengan buah itu

bunda yang ada di kamar itu

meratapi kekhilafan ayah

hingga melunta di rimba

memanggil namamu

suatu masa

ular jelmaan itu

berumah di kelamin ayah

mematuki bunda demi bunda

di sembarang kamar

seperti di dalam kandang

yang kau baca

pada gulungan film

suata masa

ular yang bersarang

di kelamin ayah

menjelma kita…

2003

SELEMBAR PAGI

selembar pagi melambai

kamar penuh suara

wajahku berwarna

melipat-lipat selimut

ke balik semak ranggas

tubuh siapa menghitam

di gantung langit?

gaduh jalan-jalan

(juga di pasar tani biasa

kuantar istri setiap minggu)

sampai juga lenguh

sepotong daging

terdiam di sebalik semak

tak tahu kaukah

semalam mengusikku

sebelum menembus pekat?

rumah berwarna hitam

jalan-jalan jadi legam

di antara kematian

tak bertanda

melipat-lipat selimut

sebelum igau memikat!

Feb—Juni 2003

KOTA CAHAYA

(tanjungkarang-telukbetung)

(satu)

sebuah kota cahaya lahir di wajahmu

aku pun singgah. jika diperkenankan aku

hendak mendirikan rumah di sini

dengan pintu atau jendela menghadap

pantai. dan tanganmu jadi sampan,

rambutmu layar. sesekali merapat

di kaca kamarku. seperti tetesan embun

yang mencair: mutiara dalam mimpiku

pecahan-pecahan bintang yang merantau

sepanjang malam akan rebah di kota ini

juga sisa perjalananku penuh luka

sekejap lelap di pelukanmu. dalam mimpiku

segalanya jadi mutiara,

sampan yang kembali

menetap abadi

sebuah kota cahaya lahir di wajahmu

aku pun singgah. jika kauperkenankan

aku akan menjaganya dari pecahan sodom

dan gomora yang kacau

aku bangun rumah di sana

jendela dan pintunya menatap pantai.

tanganmu menjelma sampan

dari senyummu layar membentang

di dalam reruntuhan waktu

kota jadi semerah-dadu

melelapkan hasrat

mengawinkan kota

untuk aku singgah

dan menetap abadi

lampung, 12-24 juli 2003

(dua)

aku ingin kota yang lahir di wajahmu

bercahaya. di dadamu kupahat

rumah yang baru. Jendela dan

pintunya menatap matahari yang terbit

dan lelap. seperti keluh akan sampai

ke dalam getarmu

begitulah, sayang, akan kupangkas

segala bernama rumput

yang menyimpan maut

dari wajahmu kusisir kota cahaya

dalam getar si remaja

mencabuti uban:

kota yang tua dan kacau

tinggal igau

dan aku merantau ke dalam

kota cahaya ini

menggali senyum abadi

amboi, jangan pula kaubalikkan

kota ini, perempuan luth?

- izinkan aku di sini

menetap-tatap! –

lampung, 25 Juli 2003

(tiga)

gairah apa yang memilih kota cahaya ini

bagian pengembaraanku

segala tempat telah kurantau

tak juga memukau

kini aku kembali ke kota kelahiran

sejarah purba yang tersimpan

perjalanan adam mencari cinta

di segala semesta

gairah apa yang melahirkan kota cahaya ini

ketika siang yang rusuh?

aku tatap parasmu

membayang kota terbuka

aku pun menyusuri

liku-sungaimu

amboi, gairah apa

yang menggetarkan hasrat ini?

lampung, 25 Juli 2003

LELAKI PENUNGGU MERCUSUAR

adakah rindu akan kembali pulang?

kapal-kapal tak ada tanda mau berlabuh,

ombak selalu saja mengirim sepi

ke pulau ini. mercusuar memandang

kelam dan senyap

malam merayap

seperti malam-malam lalu

di mana rindu disimpan

ketika melaju sampan

menembus pekat lautan

lampu-lampu menyala

memberi tanda kapal-kapal

yang mendedah laut pekat

adakah rindu bisa pulang?

setiap malam sampan

membelah lautan

waktu kian hitam

gigil berlabuh

“aku anak pantai

dikirim ke pulau ini

menghitung kapal-kapal

yang melaju atau

sampan yang pergi jauh

tanpa kenal labuh,” katamu

dan malam

tak pernah memulangkan

rindu ke pantai

seperti kapal-kapal itu

seperti sampan

yang pergi dan datang

setiap malam

dengan tubuh

rapuh

setiap liwat

seperti melambai

mengibarkan kelamin

yang baru menombak sepi!

Padang—Lampung, 13—17 Agustus 2003

PERCINTAAN PELANGI

maka aku gotong

sepimu ke ranjang

melepas baju yang

sungsang

siang dan malam

kuserpihi sepi

kurajut keramaian

dalam deru dan desah

kita petualang itu

yang tiba di padang ini

sehabis-habis berkelahi

lalu menanam berahi

waktu ke waktu

dari penerbangan

dari perjalanan-mabuk

kita warnai percintaan

di bawah pelangi

wahai, bidadari

kau kutuk aku jadi adam

di padang ini mencari

rumah singgah

untuk sekejap

melabuhkan angan

seperti anak binal

yang dibiarkan tenggelam

: aku mengutuk lelaki

yang membiarkan

perempuan di rumah

mati dipangkas

kelamin sendiri

(tapi dari waktu ke waktu

kita susun percintaan

pelangi…)

17 Agustus 2003

CATATAN SUATU HARI

mungkin kau sudah lupa

sepekan lalu aku menjemputmu

toko buku yang riuh

di siang yang gaduh

(kau membeli sebuah buku

cara memasak kata-kata)

dan aku menerbangkan anganmu

ke dalam ruang tanpa lampu

menerjemahkan seribu waktu

menyisir seluruh tubuh

membubuhi nama-nama

pada deru dan napas

setapak, selepas…

sore kelabu

jam yang membeku

dinding makin abu-abu

kau melepas hasrat

meninggalkan baju

di pembaringan

bagai busur

telontar jauh

menancap di binalku

yang lama dikendali

matahari kehilangan cahaya

peluh tenggelam dalam gigil

anganmu binal

hasratku bebal

ah, di selangkanganku

kota-kota sekarat

tak puas menjilat-jilat

bayangan senja melepuh

oleh seribu teluh

“sekali lagi, sekali lagi

kau tumpahkan jampi

ke tubuhku ini,” bisikmu,

dan ranjang makin geliat

menumpahkan hasrat

jadi banjir

menenggelamkan waktu

mungkin kau akan mencatat

peristiwa dahsyat ini

dalam kenangan

meski akan rapuh

di tinggal bunga

kembali mengatup

tapi jam tak pernah lupa

selalu berbisik

tentang hidup sejenak ini

juni-juli 2003

PERJALANAN KE DUA

jika ini malam seprei

kembali kuncup

karena ranjang

menuju lautan

maka catatlah itu

sebagai perjalanan kedua

setelah berhari-hari

diselimuti badai

atau pantai yang

sesaat tak disinggahi

ombak sekadar mengecup

dan melepas rindu

(kadang kita lupa

pada rindu

seperti ombak

kepada pantai:

tak pernah tercatat

meski begitu letih

merengkuh cinta)

tapi, kini lupakan

tahun-tahun luka

dan khianat

juga dendam

seprei ini sudah jadi lautan

dan ranjang kembali geliat

kecuplah darah di bibir

meski terasa anyir

setelah itu muntahkan

di lautan

alangkah lama

kita susun kenangan

jalan setapak

di antara ilalang

atau balong

di utara pematang

mungkin kita sudah lupa

di sini sepasang ikan

pernah berenang

sebelum pindah

ke ranjang

mengukur panjang seprei

maka jika malam ini

kaukecup geliat ranjang

simpanlah kehangatan itu

sebagai kerinduan pantai

pada kegaduhan ombak

dan kita akan kembali

melaut. melepas kain

mengibarkan angin

sampai di pelabuhan

yang Satu:

dalam diri

bersayap cinta

15-11-2003

METAMORFOSA MALAM

malam melepas dan

menutup kelambunya

lalu bagai bintang, embun

menghias pintunya

lepas pakaianmu

biar kumasuki

untuk menguliti

rahasia mahakelammu

setelah itu tutup kembali

maka bintang-bintang

serupa kancing di pintumu

akan menulis kalimat

dari tahun yang tua

usah kenang mula matahari

tumbuh dan runtuh

setelah padang tercipta

dan sepasang kekasih melata

dari pengusiran pertama

masuk ke dalam kelambu

malam, embun makin

genapkan rahasia

mahakelammu

menumbuh surga dari

serpihan bintang

menulis kalimat-kalimat

dari tahun yang tua

kini di mana?

menyusuri padang

tertutup oleh rahasia

tahun-tahun bimbang

kini mau ke mana?

2002/2003

PALING KELAM

sekelam apa ketika parasmu lesap

gambar dalam kenangan terbakar

dan ranjang percintaan tinggal puing?

aku jadi tahu langkah

tak pernah meninggalkan getar

dan peluh dari percintaan yang agung

hanya menyisakan pulau-pulau

“lupakan segala pertemuan,

segala tawa dan perih,” bisikku

gambar dalam kenangan itu

tak akan pernah lagi tersenyum

memandang puing ranjang

pulau-pulau yang hilang

atau parasmu yang kini menggenang

lupakan riang percintaan

untuk waktu paling kelam!

2003-09-17

LAMBUNGKU ADA MAKAM

lambungku mengiris

langkah menuju

rumah dan keluarga

hingga patah-patah

lambungku melukis

peta pemakaman

lubang-lubang menganga

bagi maut yang meraja

mungkin di lambungku

tertanam seribu jarum

yang kaukirim kemarin

untuk mengantarku

pesiar ke kota-kota

berlampu. ah, kota

seribu cahaya yang

membuatku mimpi

jadi permaisuri

di kota sana

aku menanti sang raja

yang akan membawaku

ke pelaminan atau taman

: antara bercumbu

dan kecupan!

di lambungku kini

sembunyi seribu makam

bagiku (nanti) kunjungi

lampung, des. 2003

TENTANG ALAMAT LAMA

sore ini

hujan kembali datang

dari tubuhmu

memburu langkahku

sebelum jalan

menjadi cair

tanpa payung

atau pun jas hujan

kutembus pisau air

yang runtuh

di kepalaku

bagai anak panah

aku pun melesat

dalam kenangan sesat

tentang alamat lama

yang kusimpan di saku

ah, alamat lama

yang membuatku

makin risau

menempuhnya

18 Desember 2003

SESABIT BULAN

sesabit bulan

lesat ke rimbun bambu

tiang-tiang bagan

bagi perangkap ikan

rumah nelayan

melayar ke pantai-pantai

menggusur rumah liliput

yang ada sejak tahun-tahun suram

kini menyisakan kenangan

ditinggal cangkang

para nelayan

mengunyah mimpi

dari laut sepi

di bawah sesabit bulan

yang merajam ranjang

seekor elang menancap

melarikan ikan

ke dekat bulan

dan membuang tulang

ke hati para nelayan

mengecup malam

sesabit bulan

meneteskan darah

ke pantai-pantai

mana kampung

kenapa lengang?

PELAMINAN BEGITU LENGANG

setelah menanam kutuk

lahir peri dari rahimmu

lalu melunta di kamar-kamar

matikan lampu

yang tumbuh di dinding

“aku kunti dari segala peri

menyasapkan petualang

yang datang dan pergi

menjilati tubuhku,

menancapkan kelamin.”

kudengar rintihmu

sepanjang malam

dari bilik kamar

yang samar

setelah itu tawamu

tak lagi sampai menggoda

untuk menjerat

syahwat kami

di pohon kapuk

kau menggantung

dengan kelamin buntung

dan perut kembali bunting

oleh ratusan peri

yang kehilangan mata

matahari bukan lagi

yang datang kemarin

tapi pelaminan

begitu lengang

ditinggal para lelaki

mencari ibu segala peri

(melebihi parasmu)

untuk dikawini

“selamat tinggal pohon kapuk

dilupakan karena lapuk.”

kudengar rintihmu

ditinggal para lelaki

Lampung, 8 November 2003

MATI DI LAUT MANA

di kamar gelap ini

kau menjelma jadi boneka

rebah di sudut ranjang

menatap langit-langit hitam

napasmu jadi lautan

menggelombang syahwat

mengantar kapal ke pelabuhan

dalam getar arloji

kukirimkan pula napasku

jadi gelombang

menggerakkan layar syahwat

memutarkan kelamin

menuju pelabuhan

sebentar. pantai serasa masih

di benak. tubuh masih

mengekalkan bau pasir. Aku

belum berani meninggalkan

bau sungai dan wangi tanah

gelap. kabut luruh. kamar

makin pekat, dan kau menjelma

jadi boneka di sudut ranjang

tapi, bukan aku di sisimu

bukan perahu ini

entah kau akan mati

di laut mana?

2003-11-10

KETIKA BUKIT MASIH MENJULANG

aku mabuk dalam putaran matamu

kehilangan cahaya. jalan tanpa lampu

memasuki bajumu yang merah

ah, sepasang bukit masih menjulang

dalam anganku yang binal

sudah lama siang bukan

milik bersama. hari-hari lupa,

bunga-bunga sunyi

kini mengelopak:

memeram segala tapak

yang menjauh

dan dekat

tapi, kau masih hafal tentang

sepasang bukit yang lama ditinggal

dan perahu tua terdampar,

anak yang tenggelam

setelah hujan besar

aku lupa, mataku nanar

pada sepasang bukit

yang masih menanti

dijejaki, sepulang ini

ah, senyummu

memancar

dari balik bukit itu

selepas hujan

saat air surut

tapi, kenapa kita

tinggalkan anak binal itu?

2002-2003

KABUT ASAP

kutembus kabut asap di depan mataku

pada siang telanjang. sepasang bukit

menghadang di antara timbunan pohonan

dan ibu tersedu menjemput anak yang mati

setelah orang-orang tiba di sini

jam-jam jadi hitam

taman penuh kembang payung

dan pohonan makin tunduk

mengucap-ucap luka

yang kautabur di tanah ini

kabut asap di depan mataku

selalu jadi saksi

orang-orang menembus dunia

entah ke mana

entah sampai di mana?

08 Juni 2003

PESTA KEMILAU

Sebuah malam

kutitipkan di parasmu

rambutmu yang terikat

mencatat namaku

cintaku tertunda

malam melesat jauh

Aku datang saat

waktu risau

ranjang berkarat

ditinggal tubuh

selalu saja aku terlambat

menangkap isyarat

dan getar malam…

Sebuah malam,

setiap malam

aku menunggu

butir embun

luruh dari parasmu

dan namaku yang

tercatat di rambutmu

mengurai sebagai jalan

: aku pun menitinya

menuju taman

atau tertanam di ranjang

seperti ibu-bapakku

yang kawin

di musim hujan

pesta kemilau

semalaman

kau tak juga

memberi sehelai waktu

untuk mewarnai ubanku

Sebuah malam

tak pernah datang

menitipkan pelangi

atau kembang matahari

sore hari

saat laut berombak

hingga ke bibir pantai

memukuli batu-batu

juga dinding pembatas

: duduk kita

menghitung tapak senja

Sebuah malam

kembali lari

dan aku tak sabar

mengejar…

esok ketika kubangun

tubuhmu kaku

dalam pelukan batu!

03 September 2003

TUBUH BASAH

tubuh basah

waktu mendesah

daki jalan gelap

bagai kuda berpacu

paculah, pacu

jalan berbatu ini

agar segera sampai

di puncak

usah pandang

masa silam

yang mencipta

perkelahian-perkelahian

di jalan ini

percayakan pada kuda

agar sampai

di segala puncak

tubuh basah

hujan dalam diri

selimut menanti

untuk kita bergumul

sekali lagi

sekali lagi

muntah ludahmu

hilang lidahku

ke sungai-sungai

mencipta benih

bagi pohon

untuk para peri

dan dari tubuhmu

mendesis ular

dari masa lalu

yang pernah kutangkap

ular itu kini mendekam

dalam hati kita

melata di jalan

menuju puncak

30-06-2003

SEPERTI MEMECAHKAN SERPIHAN KACA

menata pantai

ke dalam benakku

seperti memecahkan

serpihan kaca

matahari memar

di bibir ombak

di sebaris pantai

aku meruap

nama-nama yang

telah jadi kenangan

kian berbaris

di wajah pasir

anak-anak pantai

yang setiap pagi

mengecup asin laut

tenggelam ke dalam pasir

aku menubuhkan nama

dari sebaris pantai

lalu meniupkan ombak

ke dalam benakmu

menimbun kenangan

ke paling dalam

2004

LIRIK LIRIH

ke mana pantai pergi

setelah ombak menjilat?

deburnya yang selalu datang

tak akan pernah dikenang

dia pergi sebagai siponggang:

- lengang…

ke mana ombak pergi

setelah pantai menampik?

matahari akan luruh

dari balik bakau

melepas senyap

kembali ke dalammu

akhirnya kita selalu

bersua di bibir pantai

menjilati ombak

dengan segenap debar

bayangan yang membuih

akan kaucatat jadi lirik lirih

dalam degup sendat

ke mana debar pergi

setelah maut meniti?

23 juli 2004

TANGAN YANG MEMANJANG

selalu ibu cuma tersnyum

menyaksikan tangan yang

memanjang itu, dari luar

masuk ke kamar. seperti

seekor ular, desisnya

terdengar berahi

tangan yang memanjang

itu, kulihat tumbuh mata. o

tidak sepasang, dan

cahayanya samar bahkan

pekat

menyerupai tangan iblis

yang kutemukan dalam

kamar yang lain

lalu kau membawa

ke jalan-jalan

menulis janji

di tangan yang

memanjang itu

seperti memberi

garis tegas

ke dalam kitab

dan berahi itu

kini bercahaya

di perut ibu,

menggoda…

2003-2004

SEBELUM JADI KISAH

akankah kaupinjam lagi langkahku?

orang-orang masih lalulang

sepagi ini matahari tersenyum

kulihat kau masih mengulum

entah kabut, entah embun

dan masih bukit itu juga

kau akan tuju,

aku akan capai

berbasuh angin

rindu yang amat ingin

kau bersemayam di puncak itu

sedang aku menggeliat,

sambil menuruni lereng

kembali selepas lengking

akan kaupinjam lagikah langkahku?

kunaiki puncak itu,

bukit yang kaucipta semalaman

dengan beribu mimpi

sebelum jadi kisah

sebagai silam

12 September 2004

SAMPAI AKU TERJAGA

DAN MENEMUKANMU

aroma malam mengantarku

memasuki jiwamu. tidak

seperti lelaki itu

terdampar di perutmu

lalu berdoa agar badai

menyelamatkannya

dan, tiap waktu

lalu kauhafalkan

doa itu di telingaku

aku pun mengucapnya

dekat di mulutmu

sambil mengeja laut-laut

yang pernah disinggahi

tiap pulau kaumainkan

tifa. ah, tidak! kurasa

itu suara harpa,

serupa gemuruh ombak

yang membelai jiwamu

ah, ya! kurasa kautengah

menari. aku lupa gerakanmu

cuma kuhapal sekali

saat kakimu berputar

di atas perutku

kauusir badai

ombak landai

tiap waktu

kuusung lantai

ke atas kakimu

lalu kaumenari

kauhapalkan doa itu

di telingaku. aku pun

mengingatnya

di mulutmu. dan, badai

makin menjauh. jauh

cuma waktu

tak pernah pergi

tiap detaknya

mengulum malam

tidurlah, adin, tidurlah

aku selalu menjaga

tiap detak

merangkak

di perutku badai

akan segera reda

secepat ombak

sampai ke tepi

aku tak akan

berhenti menari

dan doa kutiupkan

ke telingamu

sampai aku terjaga

dan menemukanmu

di lain lantai!

Lampung 2004

adin: kakak (bahasa Lampung)

MATA PELANGI

kaubiarkan sebelah matamu

meninggalkan rumah-nya

mengembara ke dalam

kelamin semesta

seperti hujan

naiki pelangi

melesapkan angan

di setiap ingin

seperti gelisahmu

di subuh tadi

memanggil-manggil

yang jauh

sebagai suluh

lalu sebelah matamu

lari tanpa pasangan

mencari liang tak berperi

merayakan keriuhan

para lelaki

di balik hujan

5 Agustus 2004

BERATUSKALI AKU MATI

beratuskali aku mati

belum juga dibuat nisan

namaku kembali silam

sehabis hujan

kukira aku sudah sampai

pada kematian pertama

nama yang tertera

saat janji dibaca

tapi mataku kembali

membuka halaman

dan kelindan awan

berbaris minta diucap

entah waktu mana lagi

akan benar-benar

menutup mataku,

usaikan ucapku

nisankukah itu

yang belum selesai?

26 September 2004

AWAN TAK HANYA MENGABARKAN

selalu saja aku menyebutmu mawar. kau

datang entah dari pulau mana. awan tak

hanya mengabarkan, hujan

juga tak membilang

ada yang hilang

begitu kau pulang,

tapi sulit kuucapkan

karena begitu dalam kenangan

selalu saja kusebut kau mawar. datang

dari rimba dan kembali ke laut lepas

hanya tak juga sempat kutulis

: kenangan menjadi karat

aku selalu saja menyebutmu,

meski aku lupa namamu

(maafkan abaiku

pada igaku yang cuma satu!)

02 Oktober 2004

KUSUSURI MASALALU

(lagi-lagi kenangan). kususuri

masalalu. di sini matahari

telah lesap, hingga sulit

nemukan jejakku kembali…

ke mana pipiku

yang kau tampar

saat matahari memar?

di mana kau sembunyikan

jejakku yang terpeta

di sepanjang bumi itu?

pohon-pohon hilang

rumpun. daun-daun

luruh. menghapus

arah:

mengatup rumah

bagiku pulang

11 Oktober 2004

ASAP DARI KUBURKU

bayang-bayang. ah, terlalu

jauh jarak silam dengan

kini. tinggal samar

di mataku yang nanar

kuingin kembalikan

jarak hingga parak

antara pandangan

dan bayang

seperti perahu

dengan lautmu

yang selalu ingin

karam di pantai

sebelum angin

inginnya mengempaskan

tubuhku tanpa batas!

ah, terlalu jauh jarak

pantai dengan laut

seperti titik kecil

di bola mataku

muara pun lesap

di tenggorokanku kini

mengepul asap

dari kuburku

jauh di pantai

Selat Sunda-Lampung, 10-17 Oktober 2004

AKU MASUKI KOLAMMU

mata ikan itu mengatup

di kaca akuarium

sebelum fajar

hanya sekejap geliat

kemudian terbang

dengan siripnya

dan aku pun berenang

masuki kolammu

bersayap tangan

tapi, jangan

kau keringkan airku

selagi aku jadi ikan…

17 Oktober 2004

DULU AKU MINTA MATI DI LAUT

aku ingin lari dari laut

sejak ia tak lagi

memberi kehangatan

dulu aku minta mati di laut

dalam gemuruh gelombang

dilempar ke pulau tak bernama

tapi kini aku berharap di ranjang

kuhabiskan hidupku

dikubur dengan namaku di nisan

aku bukan perenang ulung

sebab itu aku menolak

sewaktu kau mengajakku,

suatu sore kelabu,

dengan penuh rayu

di ranjang aku mau berenang,

kataku dengan rayuan pula,

biar matiku menyediakan

sejengkal tanah untuk nisan

yang menulis nama dan kenangan

lalu ilalang membuat cantik istanaku

juga wangi bunga yang selalu meruap

kau tertawa. di laut pun kita mati

ada nisan yang mengekalkan

nama, katamu. sebab karang

sudah lama pula rindu

pada nama-nama

maka marilah ke laut

berenang hingga ke lumut

aku akan menepis maut

jika datang memagut,

lanjutmu sambil melambai

tapi sayang, kumau

ranjang jadi lautan

aku berenang dan terkubur

di bawah nisan

mengekalkan ihwalku

23 November 2004

SEPERTI KEMATIAN

aku dapati kematian

tiap gali rahasia perempuan

serupa mendung

di wajahmu

aku hanya rasakan

aroma peluhmu

lalu mata,

bibir yang anggur

sebagai kanal dingin:

sesunyi pelataran ini

buatku mendesah

kugotong berwaktu-waktu

mencapai pendakian

dan membongkarnya

di kanal ini

tapi, sudah berapa jauh

aku ngembara,

berapa lubang kugali

mencari temu rahasia?

engkau, perempuan, rahasia

yang sulit diselami

seperti kematian

yang kurasakan

setiap petang…

2004

PAGI: CERITA YANG LAIN

hendak pergi ke mana lagi pagi ini

dengan pakaianmu warna-warni?

hujan belum reda,

tanah basah,

cuaca kabut

dan anak-anak masih berselimut

mungkin masih ingin meneruskan

mimpinya. dengkurnya,

aduhai, seperti dalam

pelukan bunda…

rambutmu yang rapi

alismu bagai pelangi

dan bibirmu berwarna hati

seperti hendak menahan hujan

lalu langkahmu ingin mengayun

hello…”

pintu mulai terkuak

anak-anak berdahak

(ah, tidak!

Mereka mendengkur

Memeluk kembali mimpi

yang sempat terhenti)

tapi,

tanah masih basah,

cuaca berkabut

dan rambutmu yang rapi

menggegas pagi…

hendak pergi ke mana lagi pagi ini

dengan pakaianmu warna-warni?

--lalu aku cuma menatapmu berlalu

seperti pagi tak berkabut,

tanah garing—dan

senja kelak kau pulang

hati berang:

pakaianmu basah

suaramu mendesah

“jangan tegur,

aku letih!”

ah,

anak-anak menutup rapat

tubuhnya dengan selimut

di luar cuaca makin berkabut

dan pohon sewarna lumut

Maret-April, 2005

DI DALAM SAJAK

kuberikan selampir tangan

kauterima sedepa angan…

maka apa lagi yang bisa kutulis

tentang kampung

yang beranjak dan berbiak?

di dalam sajak-sajak

angan selalu berbiak

langkah selalu hendak

beranjak,

tapi ke mana?

ohoi

kampung kian mutung

ditandangi para pemurung

masuk dengan sembunyi-

sembunyi

saat malam kehilangan waktu

baiknya bawakan api

dari diri yang dengki

sebab yang datang

berawal malu-malu

lalu menanam tipu

--ah, tidak!-- tiada

lagi perdu di sini

kebun telah jadi halaman

juga taman-taman…

melepas sajak-sajak

seperti mengulur layangan,

angan terus berbiak

--benih dari kelaminmu--

lalu menebar rayu

: hutan sasar

17 April 2005

RISALAH INI…

serampung sore, matahari keperekan,

kau pun datang. ragu-ragu…

lancip dagu

setajam garpu

menujah senja!

Lagi ada yang luka

sore ini saat matahari

keperakan. dan kau

datang berwajah malu-malu

tapi, diam-diam

mengalungkan belati

ke lambung hari

apakah ini petaka? tak cuma bencana

yang datang berkali-kali: selepas pagi

atau serampung sore, saat

matahari berwarna perak

dan aku dengan maut tak lagi berjarak

seperti buih dengan air,

“ah tidak, sebagaimana ombak

dan pantai….”

minggu pagi,

gereja belum kembali sepi

atau kau belum melipat sajadah

sehabis duha

ada kudengar serapah

dari ceruk lautan

tiba-tiba datang

: geram?

selepas pagi ini

usai satu risalah

2004/2005

KAU MERETAS DALAM PEKAT

sudahkah kauturun gunung

sebelum kabut lenyap oleh

matahari pagi ini?

sebab kutahu semalam kau kembali

susuri leher pebukitan itu menuju

vila kecil di puncaknya, dan

kubiarkan punggungmu meretas

di dalam pekat;

hitam waktu

selalu kauburu kesunyian

seperti tak ingin disergap riuh

lalu rumah sunyi itu didirikan

di puncak paling sepi! menyulang

lengang

selalu kau memburu sepi

seperti tak ingin dilumat gaduh

lalu leher gunung itu pula

kaususuri sambil menugal silam

sudahkah bayangan lelaki itu

tertinggal di dalam senyap?

sebab semalam kulihat kau kembali

bangunkan kenangan-kenangan

yang sempat singgah tapi tak pernah

meninggalkan anganmu. padahal

waktu selalu berubah

dan meretas karena gerah,

tak berujud

tersebab dibalut kabut:

seperti vila itu

akan kembali sunyi

2005 BAGAI SEPASANG KEKASIH

selepas gemuruh di pagi benderang itu

semua kenangan tentang lelaki suci

dan perempuan binal yang kaukisahkan

kembali menggayut di benakku:

bagai sepasang kekasih berenang

melawan gelombang; tanpa perahu,

tiada dermaga sebab telah runtuh

beberapa detik lalu…

mungkin kau adalah sisa

dari silsilah manusia

yang menulis tahilalat

di sejarah yang pekat

sebelum kota menjadi punah

menenggelamkan segala seranah

aku seperti sudah membaca sejarah

tentang orang-orang jadi ikan

dihanyutkan oleh bandang

selepas gaduh di pagi benderang itu

aku benar-benar kehilangan sejarah

tentang kota yang memendam seranah

kecuali tentang orang-orang

yang telah menjadi ikan

bergelimpang dalam bandang…

2004/2005

ESOK FAJAR KITA BERTEMU

tapi,

selain rindu aku ingin

pula jumpa. di paling

depan aku menunggu

berita yang lain

ihwal kembalinya adam

jumpa hawa setelah

bertahun-tahun

mengembara

sehabis perpisahan

usai perang itu

di sini,

kulihat kau jalan sendiri

menembus halaman sepi

usai hari kematian

di bawah guyur hujan

tanpa payung

dan,

aku berlari memburumu

cari perteduhan

tapi di halaman kosong ini

mana rumah singgah

kenapa tiada pohon rindang?

bagai merpati

hilang kekasih

kukepakkan sayapku

menuju belantara

mungkin esok fajar

kembali kita bertemu

dengan nama yang lain

juga asing

mungkin

Januari-Maret 2005

PERJAMUAN SENJA

“selamat malam

lalu tidurlah

sambil mengingat

perjamuan senja,”

katamu sebelum

ke peraduan

meski kau lupa

atau sengaja

pergi tanpa

lepas kecupan

di pipi waktu

yang kian beku

setelah itu,

“selamat malam

dan tidurlah

sambil mengingat

perjamuan senja

di altar sepi.”

hanya lambai

mungkin abai

tak melepas

kecupan sebelum

ia berlalu

ke dalam lengang

makin ragu…

28 Februari 2005; 11.43

KOTA PENUH SARANG LABALABA

peduli apa pada nama

tanganmu merangkai

sarang laba: pekat

di setiap panggil

hingga hilang gema

aku buru tanda

(tapi lelaki itu selamat

dari rencana pembunuhan

oleh sulaman liur labalaba

sebelum masuk, setelah

mereka kehilangan jejak)

mengintip berbagai goa

tak juga jumpa bunda

menimang buah kasih

-Kekasih Tuhan-

terlunta di setiap dinding

mengabarkan para hewan

hilang di hutan-hutan

peduli apa pada nama

kau hanyalah pecundang

pulang dengan gamang

untuk mengenali kota

penuh sarang

labalaba: lengang

setiap kau panggil

andai kau pulang

tanpa pongah

lampulampu kota

bercahaya di wajahmu,

kata bunda

yang kini kehilangan

Cinta…

28 Februari 2005

MENJAUHI AMBANG

“jangan datang

selagi aku belum

berbenah.”

aku terpana lalu

melupakan jalan

menuju rumahmu

kertas alamat

kubuang di parit

tak jauh dari rumahmu

tiada lagi kalam

aku telah lupa

membaca harapan

wajahmu memburam

bergoyang di daunan

seperti perjaka

yang lupa merias

rambutku kusut

dipenuhi uban

: hilang cahaya…

“jangan datang

sebelum aku berbenah

dan meninggalkan

kamar pengantin ini.”

aku bimbang

menjauhi ambang…

05 Maret 2005

DI PANTAI BERPASIR MAUT BERDESIR

ke pulau mana lagi

perahu menuju

setelah kayuh patah

badai yang datang

dari pulau seberang

tenggelamkan pulau

batas antara laut

di manakah maut?

di pulau bersumur minyak

nafsu berbiak

tangan mencakar

dendam mengancam

di pantai berpasir

maut berdesir

tak cukup mercusuar

jadikan tanda

jika memancar kematian

setiap waktu

sebab itu,

jangan lengah

sepicing abai

angin pun kering

setelah dua pulau

semayam di putingmu

hilang, akankah

bukit-bukitmu

runtuh

lalu, mau menari

di mana jemariku?

di pantai berpasir

maut berdesir

12 Maret-20 April 2005

SEBELUM INGATAN LEBUR

sebelum ingatan

tentang masa kecil

lebur dalam mesin-waktu

baiknya tulis di dalam

matamu,

mulutmu,

juga di rambutmu

yang tak lama lagi memutih

sebelum ingatan

melarung

masa kecil yang murung

baiknya jadikan hutan

yang tumbuh

di alismu,

dagumu,

juga dalam kelaminmu

biar jadi rimba

tak lenyap

oleh gempa!

20 April 2005

HUJAN: DARI CERITA YANG LAIN

/satu/

langkahmu menjauh

ingin menanam hujan

di dalam akar pepohon

lalu menulis dingin di dahan

“kau tahu hari sudah

amat jauh dari rembulan, tapi

warna perak rambutmu

masih melambai…”

aduhai, jangan lupakan

ciuman sebelum pagi datang

ketika kau merapat di bantal

ketiak pagi meruap amis

dari keringat waktu

saat hujan bercampur garam

dan tenggelam di bawah pohon

Tapi, beri aku parit

untuk mengalirkan bau tubuhmu,

ketiak yang dipenuhi keringat

saat siang pekat

dan usah ulangi perjalanan

hujan telah menanam usiamu

di akar, di batang, di dahan

yang akan tumbuh esok

sebelum terbit matahari

kini diamlah

selagi hujan menanam waktu

dari cerita lain

rahasia

/dua/

demikianlah. hujan berwarna putih

pagi ini ke pelukku; di matamu cuaca

berkabut, dan jalan menyusut

kususuri lorong yang terasa jauh

--alangkah jauh—

di pipimu kulihat bentangan hujan

seperti sayap-sayap burung

yang menanti pemurung

meluruh sebagai sepi…

ah! aku tenggelam

24 April-15 Mei 2005; 23.25

Kata Penutup

Memaknai Sunyi, Memasuki Kota Cahaya

Catatan Suminto A. Sayuti

Seratus biji sajak Isbedy yang dihimpun dalam antologi ini, yang terdiri atas tiga kumpulan: Nyanyi Sunyi, Menandai Tahi Lalat, dan Dari Cerita yang Lain, seperti diisyaratkan melalui judul kumpulan pertama dalam antologi ini, Nyanyi Sunyi, umumnya menampilkan suasana “sunyi dan terasing” sebagaimana dapat kita simak pada salah satu sajaknya berikut ini.

PERJALANAN PELAUT

karena laut mengajarkan rahasia badai

aku pun setia berlayar. dari pulau asing

ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut

dan lalu meninggalkan ratusan rumah

yang memendam kesepian

rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,

laut yang terapit oleh pulau-pulau

di mana tubuhku sesekali dibaringkan?

dari pulau asing ke pulau asing

aku pahami rahasia badai, aku tebarkan

benih pelaut. sementara pada kedalaman laut

kubur mengajarkan rahasia paling akhir

Suasana “sunyi dan terasing” yang mengedepan dalam hampir semua sajaknya itu diekspresikan melalui bangunan citra-citra natural. Mungkin, hal itu menandai kegelisahan dan kegundahan si aku lirik, yang boleh jadi identik dengan diri sang kreator, dalam merambah berbagai fase kehidupan: “…berlayar dari pulau asing/ ke pulai asing.” Rumah, bahkan “ratusan rumah,” ternyata hanya sesuatu yang “memendam kesepian,” hanya sebagai tempat ”istirah bagi kejenuhan kapal.” Karenanya, gelisah terus-terusan datang menghardik, dan yang tersisa cuma gumam tanya dalam diri: “di mana tubuhku sesekali dibaringkan?”

Dalam kumpulan ini yang disyairkan Isbedy adalah sesuatu yang dekat dengan dirinya sendiri: diri sebagai sesosok manusia yang konkret. Kecenderungan tematiknya adalah manusia dan kemanusiaan dengan seluruh problematiknya, dan Isbedy menaruh perhatian yang lebih pada “sunyi dan terasing,” untuk mempersoalkan nasib dan teka-teki hidup-mati, sebuah pertanyaan panjang yang tidak pernah menemu jawaban pasti sepanjang hidup manusia, atau paling tidak yang dihadapi oleh manusia lirik, sang penyair sendiri, Isbedy .

Dalam kumpulan ini Isbedy berbicara tentang manusia konkret, yang dalam bahasa Concrad Aiken “manusia dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraka di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, berikut keyakinan-keyakinan dan keragu-raguannya.” Sajak-sajak Isbedy merupakan proses sekaligus hasil pendedahan jagat cilik manusia, yakni soal penjelajahan batin yang terlunta, soal penempuhan lekuk-liku kehidupan, soal duka cita yang berkelit kelindan, yang tampaknya telah begitu dahsyatnya meneror diri penyair. Semacam terdapat “luka kehidupan” yang membekas terlampau dalam sehingga suasana sajaknya menjadi begitu dipenuhi oleh kegetiran, kepedihan, dan kemurungan yang sempurna. Baca saja sajak berikut ini.

REQUIEM

baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati

jalan ini. mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan

cinta dan segala yang dicinta

namun matahari yang redup tetap merekam segala langkah

dan gumam. wajah-wajah yang menantang jalan itu kian

tampak pasi, menatap masa depan yang juga legam. baru saja

gerimis menghapus segala kenangan yang dibangun

di antara keringat dan semangat hidup abadi!

jika matahari tak juga menyala, kau boleh mencatatnya

sebagai requiem. namun sejarah akan terus berulang. terus

berulang. sebagaimana tangis dan tawa yang pertama

ditanamkan

ke tubuh manusia. begitulah…

lalu rumah akan kembali sunyi. namun percayalah, matahari

akan tetap menepati janji. terbit dari balik jendela atau pintu rumah ini, memberikan segala kesetiaan. layaknya jarum jam yang tak pernah mengaku kalah meski beribu kali mendaki dan tergelincir

mungkin setelah gerimis ini benar-benar reda, baru kau rasakan hidup dan kematian akan berulang. sampai jalan-jalan sungguh-sungguh patah

Akan tetapi, dengan memilih dunia sunyi yang kemudian dijelajahinya, pada akhirnya Isbedy mendapatkan “sesuatu,” yakni keyakinan bahwa“…Tuhan beserta orang yang sabar” (sajak “Improvisasi II”), walaupun bayang-bayang kesendirian selalu saja menghantui setiap saat: “pada akhirnya aku kembali sendiri juga. Aroma/ pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi/ mendadar kengerian jiwaku. o, adakah yang lebih sepi selain/ diurbaniskan seperti begini?// aku kembali sendiri juga pada akhirnya. tak berkawan/ tak berfamili. didedah oleh pikuk musik jazz/ dan bau pupur itu, bau pupur itu. o!” (sajak “Pada Akhirnya Aku Kembali Sendiri”).

Bagi Isbedy, sajak adalah kesunyian karena adanya keyakinan bahwa eksistensi seorang manusia pada hakikatnya merupakan pencapaian puncak kesadaran pada saat ia berada dalam cengkeraman sunyi. Karena apa? Karena, pada saat itulah ia menjadi sadar diri bahwa ”Aku hanya kerak di liang bumimu” yang hanya bisa ”menunggu sampai musim bertukar” (sajak ”Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu”). Dan karenanya, harus ikhlas pula menerima derita apapun bentuknya:”Tubuhku hitam terpanggang, menahan/derita sepanjang kehendakmu,” termasuk ”...terlempar dari segala cuaca/... /sampai waktumu tak lagi kudengar dentingnya.”//Dan kota-kota makin jauh dariku/Aku tenggelam dan menghuni di dasar yang sunyi/sementara matahari tak terbit dari bola matamu.”

Memaknai sunyi, bagi Isbedy, akan berarti pula memaknai eksistensi secara sadar, karena melalui aktivitas memaknai dan “membaca bahasa sunyi,” kesadaran diri dalam posisi imanen dan Yang Lain dalam posisi transenden, akan diperoleh. Muara akhirnya adalah sikap pasrah dan ikhlas karena sadar diri itu.

MEMBACA BAHASA SUNYI

Seperti kayu aku ikhlas dibakar

dari waktu ke waktu. tubuhku hitam

menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu

di dasar tungku kehidupan-Mu

Aku membaca bahasa sunyi

Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu

Pada setiap sujud kusebut ketiadaan

melengkapkan arti gerimis yang gugur

di taman-taman atasnama kedamaian

Aku membaca bahasa sunyi

sehabis bara menggenapkan tubuhku

menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu

aku lebur dalam zikir panjang

mengaji rahasia tangan-Mu

Seperti kayu

aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara

dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu

aku terus-terusan sujud menciumi tanah

O telah kubaca bahasa sunyi

di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak

pernah menawarkan istirahat atau kedamaian

Begitu bara membakar hingga aku lebur

ke dalam sujud dan zikir

ke dalam sujud dan zikir

Derita awal manusia jugalah yang menjadi sebab musabab derita si aku lirik. Dia jugalah yang kemudian harus menanggung dan menempuh hidup penuh kegetiran dan derita. Dan karena berurusan dengan derita dunia, sepanjang itu pula Tuhan akan menjadi bayangan yang selalu menguntitnya. Karenanya, pengembaraannya “ke padang-padang/ tiada nama.” adalah sebuah “ziarah,” yakni upaya “menapaktilas/ silsilah,” yang “membekas/ di kitab alastu.” Kita baca selengkapnya:

ZIARAH ADAM DI BUMI

selepas malam terakhir

kautancapkan kecupan

aku pun menangisi luka

yang bersisa di tubuh

sampai tahun mengulang

tak juga hilang

demikian. selepas malam

terakhir itu, usai kecupanmu

tertancap dan membekas

di tubuhku. aku pun

menangisi luka masa lalu

sepanjang ziarah adam

di bumi…

ke padang-padang

tiada nama ini juga

aku menapaktilas

silsilah membekas

di kitab alastu

wahai, kau yang telah

menancapkan kecupan

hingga luka di tubuh

dan kini tengah kutangisi

mungkinkah kaupamit

untuk tak kembali?

selepas malam terakhir

kautancapkan kecupan

langitku menghitam!

Selanjutnya, dalam sajak yang berjudul “Batas Bayang dan Diri” diungngkapkan bahwa ”rumah cuma angan-angan/ yang sepi menanti” dan “Selebihnya sunyi.” Ekspresi ini dapat diperhitungkan sebagai sebuah matriks, yakni yang menjadi semacam teks dasar bagi penciptaan semua sajak Isbedy dalam antologi ini.

Tentu saja, sebagai seorang kreator, masalah yang dihadapi Isbedy tidak semata-mata berhenti pada terminal penciptaan. Isbedy niscaya tidak hanya berhenti pada sekadar pencarian dan penemuan nilai-nilai estetis yang kemudian dituangkan dalam sajak, di setiap kemungkinan penciptaan yang tersedia. Kepenyairan tidak sesederhana itu. Kepenyairan senantiasa menuntut hal yang jauh lebih kompleks dari itu.

Seorang penyair adalah seseorang yang sadar bahwa ia bukanlah seorang pekerja yang sekadar menghidupkan dan menjalankan tradisi kreatif bersajak. Karenanya, menjadi seorang penyair adalah menjadi seseorang yang senantiasa sadar akan motivasi apakah yang menjiwai sajaknya, apa yang diungkapkannya, apa yang menjadi visinya, dan bagaimanakah relevansi teks kreatif ciptaannya itu dalam konteks ruang dan waktu berikut berbagai kemungkinan yang sekiranya dapat timbul sebagai akibat itu semua.

Seorang penyair yang telah menempatkan diri pada suatu pola kepenyairan tertentu, ia senantiasa tampil dengan keutuhan ekspresi dalam setiap karyanya. “Sosok pribadi” (pinjam istilah Subagio Sastrowardoyo) -nya jelas karena idealismenya akan benar-benar terasa bertumpu pada sebuah landasan yang bersifat pribadi. Kematangan dalam mengelola gagasan serta kejelasan tendensi yang tercakup dalam ungkapan puitik seorang penyair menjadi suatu hal yang spesifik bagi dirinya: sebuah idiosinkrasi.

Seperti sudah dikemukakan, sajak-sajak Isbedy umumnya bersuasanakan sunyi ataupun terasing. Sebuah “nyanyi sunyi.” Dengan demikian, sajak-sajak yang diciptakannya memperlihatkan intensitas yang hakiki sebagai cermin kesunyian dan keterasingan. Isbedy berupaya memaknai sunyi itu, apa dan di manapun situasi itu melekat pada sesuatu yang menjadi objek pilihannya. Bahkan seringkali objek pilihannya begitu sederhana. Akan tetapi, objek-objek yang sebenarnya sederhana itu menjadi berdaya tarik sendiri karena sering dipenuhi oleh bayangan sosok kita dalam menerima suatu gejala alam. Terlebih lagi karena pilihan bentuk lirik yang menjadi pilihan Isbedy. Walaupun sajak-sajaknya menggunakan lirik persona pertama, “aku,” seringkali, karena keberhasilan dalam membangun suasana sajak dalam keseluruhannya, lirik tersebut bisa saja menandai persona lain. Karenanya, sajak-sajaknya menjadi semacam “ingatan” yang sengaja ditawarkannya kepada khalayak pembaca, yang seringkali kurang berminat dalam membaurkan diri pada objek-objek lingkungan, atau proses yang sederhana dalam hidup keseharian yang menjadi pilihan Isbedy tersebut. Kita baca dua sajak berikut ini.

ADA DAUN GUGUR

ada daun gugur

dekat pintu rumahku

dan warna kuningnya

mengabarkan dunia yang pecah

lewat tanah-tanah

hatiku gemetar

memandang namaku

yang mencari-cari rumah

akhirku

ada daun gugur

dekat jendela kamarku

dan warna terbakarnya

memandangku dingin

SEPERTI SEMUT

seperti semut yang mendaki perbukitan

betapa jauh dan melelahkan perjalanan ini

tapi dengan dada yang menyala dan senantiasa

menyimpan bahasa-Nya

berangkat juga hewan ini ke kandang

menghitung-hitung perbukitan yang didaki

rasanya baru kemarin kita dilahirkan

seperti semut yang mendaki perbukitan

berangkat juga aku ke sana

membawa rerumputan

menghadap lurus arah matahari

Sajak-sajak di atas sesungguhnya hanya bertolak dari hal keseharian yang sederhana, soal “semut” dan “daun gugur,” yang sering luput dari perhatian kita. Akan tetapi, dalam sajak di atas kedua hal yang sederhana itu oleh penyair dijadikan amsal “nasib manusia.” Semut dan daun gugur tidak berhenti sebagai gejala mimesis, tetapi diposisikan sebagai sesuatu yang semiosis; yang ikonis ditransformasikan menjadi simbolis. Dengan cara demikian, makna sajak pun menjadi terkedepankan, apalagi Isbedy menempatkan kedua hal itu dalam konstelasi “nyanyi sunyi” kegelisahan spiritual: ”hatiku gemetar/ memandang namaku/ yang mencari-cari rumah/ akhirku”(sajak “Ada Daun Gugur”); ”menghitung-hitung perbukitan yang didaki/ rasanya baru kemarin kita dilahirkan” (sajak ”Seperti Semut”).

Intensitas penghayatan lingkungan yang mengkondisikannya secara individual bagi Isbedy telah menjadi sumber inspirasi kreatif penciptaan sajak-sajaknya, yang umumnya diekspresikan melalui bangunan citra yang melaluinya si aku lirik mengidentifikasikan diri. Intuisi kreatifnya dalam menjelajahi objek-objek yang berada di sekitarnya, yang kadang begitu sederhana, seringkali mampu menghadirkan suatu proses timbal balik antara penyair dan pembacanya. Terdapat kesan yang mendalam tatkala mencermati sajak tersebut. Dengan bentuknya yang sederhana, seringkali sejumlah sajak Isbedy mampu mengajak kita untuk bersegera melihat hakikat diri, melihat hakikat eksistensial kita sebagai manusia. Simaklah misalnya sajak pendek berikut ini.

EPITAPH

ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari

yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan

ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup

lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya

menyilang langkah

Kolokasi kata-kata yang membangun sajak di atas sederhana saja. Akan tetapi, di balik kesederhanaan itu tersedia ruang bagi siapapun yang membacanya secara sungguh-sungguh untuk melakukan refleksi diri. Sajak di atas membawa kita untuk kembali merenungkan persoalan sangkan paran, sesuatu yang sering hilang begitu saja di tengah hibuk keseharian kita. Sajak di atas mengingatkan kita tentang ketidakberdayaan kita ketika saat akhir tiba, saat “ketika tanah ditimbunkan…” dan “ sebongkah kayu ditancapkan…” Kematian itu, siapa bisa menolak, bahkan “ada yang tak sempat berucap.” Jadi untuk apa kita sombong dan takabur ketika disadari bahwa kita cuma sebuah “patung” yang hanya mampu ber-“solilokui” (sajak “Solilokui Patung”). Bahkan kita pun tak berdaya ketika ”..............kau lukai dengan/ pisau sehabis diasah.” Kita hanya bisa menahan ”perih” itu ”dari hari ke hari,” hanya bisa menerima nasib kita sebagaimana adanya: ”terus kau sileti aku jadi garis-garis/ jadi bentuk jadi rupa. rupa yang kau inginkan.” Ya, kita memang cuma ”...kayu tak bernilai.“

Selamat dan salam budaya.

Kertodadi-Pakembinangun: 31 Agustus 2005

-endorsement-
 
Dengan rangkaian citra yang membaurkan alam benda dan alam batin, perjalanan dalam ruang dan waktu, sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS sering memerikan sesosok manusia yang meradang oleh haru-biru dunia namun merindu terpukau rahasia sunyi di baliknya. Kata-kata lembut dan keras bisa bertemu, kadang seperti berbenturan, menyuarakan getar gairah maupun kecemasan, kepedihan maupun kekhusyukan. (Hasif Amini, redaktur puisi Kompas, 2005)
Saya seperti menemukan anak saya yang hilang pada puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS. Saya juga melihat ada maut mengendap di sana. Maut yang diolah dengan kekuatan metapor dan bahasa penyair sejati. Jalinan kata dan peristiwa dalam puisi Isbedy, membuat puisinya sangat berkedalaman. Di tangannya, kata-kata hidup dan berbiak-biak jadi pecahan-pecahan semesta: rumput yang menyimpan maut. Di puncak kepenyairannya, ia telah  mengalami kematangan, meninggalkan roman picisan atau seks yang kehilangan bunyi—seperti banyak diteriakkan seniman belakangan ini.  (Hudan Hidayat, cerpenis/novelis, 2005)
Puisi-puisi Isbedy amat romantis, kata-katanya pun sangat jernih. Sebuah puisi tentang senar gitar yang putus atau dering telepon yang memanggil itu saja, tetaplah sebuah puisi yang baik ketika penulisnya mampu mengomunikasikan perasaan dengan pembacanya. Inilah salah satu yang kusuka dan kukagumi dari puisi-puisi Isbedy: keberhasilannya berkomunikasi. (Djenar Maesa Ayu, cerpenis/novelis, pada Aku Tandai Tahi Lalatmu, 2003)




1 bahasa Lampung berarti rumah

2 rumah besar untuk musyawarah adat bagi orang Lampung

Tidak ada komentar: