DAFTAR ISI
NYANYI SUNYI ………………………………………..
Tubuh Tanpa Ruh ………………………………………..
Malam-Malam Mengaji ………………………………….
Solilokui Patung …………………………………………
Improvisasi I …………………………………………….
Improvisasi II ……………………………………………
Di Tepi Laut …………………………………………….
Pada Akhirnya Aku Kembali Sendiri …………………….
Epitaph ……………………………………………………
Doa Jenazah ……………………………………………..
Sajak ke 27 ……………………………………………….
Perjalanan Pelaut ………………………………………..
Laut Membawa Jasadku ………………………………….
Pada Ketinggian Matahari ………………………………..
Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu ……………………..
Membaca Bahasa Sunyi …………………………………..
Telah Kujalani Kekerasan Batu …………………………..
Aku Lebih Dulu Menulis Nama-Nama ……………………
Pernahkah ………………………………………………….
Ciuman Penghabisan ………………………………………
MENANDAI TAHILALAT ………………………………
Interior Pantai ………………………………………………
Dunia Botol …………………………………………………
Ingin Kusuarakan ……………………………………………
Bebatuan itu Merintih ……………………………………….
Panorama dari Pantai Panjang ……………………………….
Sehabis Menari ……………………………………………….
Dari Kaveling 2 Meter Persegi ……………………………….
Saatnya Aku Mengerti ………………………………………..
Surat-Surat Cinta …………………………………………….
Matahari Pejam ………………………………………………
Dongeng Menjelang Kelahiran ……………………………….
Aku Tandai ……………………………………………………
Aku Masih Rasakan …………………………………………..
Tengah Malam, Telepon Berdering …………………………..
Requiem ………………………………………………………
Kembang Rumput …………………………………………….
Selembar Peta ………………………………………………
Bila Pelayaranku Sampai ………………………………………
Aku Menanam Diri ……………………………………………
Batas Bayang dan Diri …………………………………………
Gerimis Jatuh di Kota yang Rapuh …………………………….
Menyusun Sisa Perjalanan ……………………………………
Telah Kulepas Pakaian Sunyiku ……………………………….
DARI CERITA YANG LAIN …………………………
Silam: Kenangan Luka …………………………………
Di Ambang ……………………………………………..
Luka di Bibirku …………………………………………
Pohon di Depan Rumah ………………………………..
Ziarah Adam di Bumi ………………………………….
Lelaki yang Melepas Mantel saat Hujan Siang itu ……..
Tak Perlu Teluh ………………………………………..
Sebaris Pantai ………………………………………….
Episoda Luth …………………………………………..
Dunia Mimpi ………………………………………….
Selembar Pagi …………………………………………..
Lelaki Penunggu Mercusuar ……………………………
Percintaan Pelangi ………………………………………
Catatan Suatu Hari ……………………………………..
Perjalanan Kedua ……………………………………….
Metamorfosa Malam ……………………………………
Paling Kelam …………………………………………..
Lambungku Ada Makam ……………………………….
Tentang Alamat Lama ………………………………….
Sesabit Bulan ……………………………………………
Pelaminan Begitu Lengang ………………………………
Mati di Laut Mana ………………………………………
Ketika Bukit Masih Menjulang …………………………
Kabut Asap ……………………………………………..
Pesta Kemilau ………………………………………….
Seperti Memecahkan Serpihan Kaca ……………………
Lirik Lirih ……………………………………………….
Tangan yang Memanjang ……………………………….
Sebelum Jadi Kisah …………………………………….
Sampai Aku Terjaga dan Menemukanmu ……………..
Mata Pelangi ……………………………………………
Beratuskali Aku Mati ………………………………….
Awan tak Hanya Mengabarkan …………………………
Kususuri Masalalu …………………………………….
Asap dari Kuburku ……………………………………
Aku Masuki Kolammu ……………………………….
Dulu Aku Minta Mati di Laut ………………………….
Seperti Kematian ……………………………………….
Pagi: Cerita yang Lain …………………………………
Di Dalam Sajak ………………………………………..
Risalah Ini……………………………………………..
Kau Meretas dalam Pekat …………………………….
Bagai Sepasang Kekasih ………………………………
Esok Fajar Kita Bertemu ………………………………
Perjamuan Senja ………………………………………
Menjauhi Ambang …………………………………….
Di Pantai Berpasir Maut Berdesir …..………………….
Sebelum Ingatan Lebur ……………………………….
Hujan: Dari Cerita yang Lain ………………………….
Kata Penutup …………………………………………..
Biografi Singkat ……………………………………….
KATA PENYAIR
Sekitar dua tahun lalu saya berniat menghimpun seratus puisi pilihan dari seratusan lebih puisi yang telah saya buat selama ini. Niat tersebut karena usulan dari teman-teman penyair di Lampung: Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan Oyos Saroso HN. Namun keinginan itu tak kesampaian: puisi-puisi yang telah saya kumpulkan dan ketik di komputer, karena teknis akhirnya raib dari mesin ketik canggih itu. Untuk sementara, saya pun melupakan keinginan menghimpun seratus puisi pilihan.
Ketika Pamusuk Eneste menyarankan agar manuskrip kumpulan puisi Perjalanan ke Dua yang saya tawarkan ke Penerbit PT Grasindo diganti menjadi seratus puisi pilihan yang berisi puisi-puisi saya sejak dulu hingga kini, saya membuka kembali puisi-puisi lama di arsip, kliping, atau pun antologi. Untunglah dokumentasi saya cukup baik—ini karena isteri saya sangat peduli pada pendokumentasian—akhirnya dapat dengan mudah saya telusuri. Sedangkan untuk puisi-puisi terkini tak menjadi masalah karena filenya masih rapi. Setelah berkali-kali pasang-copot untuk menggenapkan seratus puisi, maka kumpulan pilihan puisi ini lalu saya beri judul Kota Cahaya.*)
*
Puisi pembuka yang saya buat 1984 berjudul “Tubuh Tanpa Ruh” adalah persembahan bagi almarhum D. Zauhudi (penyair
Puisi pembuka ini—ditambah beberapa puisi berikutnya, dapat ditarik “benang merah” tentang “konsep” kepenyairan awal saya. Maka itu bagian pertama ini sebagai “nyanyi sunyi”. Kenapa demikian? Kepenyairan saya diawali dengan puisi-puisi sufistik; puisi yang menyuarakan kematian, merindukan “pertemuan” pada sang Khalik, atau kehendak untuk menjelajah ke alam batin yang transendental, dan selingkarnya. Puisi-puisi berjenis ini, waktu itu (1980-an), mendapat tempat yang baik. Bahkan, puisi-puisi sufistik atau juga acap disebut puisi religius, puisi transendental, sastra universal, dan seterusnya, menjadi trend pada saat itu. Dan, pada waktu bersamaan muncul pula “selera” sastra kontekstual.
Sebagai penyair yang hidup di antara “sastra universal” versus “sastra kontekstual” itulah, saya berada dan silih masuk-keluar di antara dua trend itu. Karena saya sangat percaya puisi yang baik akan tetap kontekstual sekaligus universal. Tak mungkin sastrawan hidup di awang-awang, sebab sastrawan akan bergeliat di dalam teks-teks yang terjadi di sekitarnya. Dan puisi adalah “suara lain” dari sang penyair—meminjam pendapat Paz, sebuah suara yang akan melampaui zamannya.
Perkembangan kemudian, meski saya tak meninggalkan sepenuhnya “aliran” puisi sufistik (religius/transendental), namun saya juga “membebaskan” sudut pandang ke beragaman tema. Misalnya, sebagai manusia yang tak bisa lepas hidup bersosial, saya mesti menyuarakan ketimpangan yang ada itu. Apalagi profesi saya sebagai jurnalis yang setiap hari disuguhi ragam berita, makin menajamkan “penciuman” saya pada kehidupan. Namun saya tak cuma mencatat ihwal kehidupan yang ada, karena itu saya harus “memberi nilai” dan “menandai” apa yang saya baca, lihat, dan rasakan dalam kehidupan ini.
Dalam kurun waktu “menandai” ini, kebetulan sekali saya banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota/provinsi baik itu diundang dalam pertemuan sastra atau sekadar pakansi. Dari “pengembaraan” itu saya banyak mendapat sentuhan untuk menulis puisi, saya juga dapat “menandai” berbagai fenomena yang ada di Tanah Air. Saya bersyukur dalam kurun ini, saya sempat membuat manuskrip Negeri Sepatu yang sempat saya panggungkan di Taman Budaya Lampung bersama komunitas musik (Komunitas Seribu Bulan—KSB) pada tahun 1999—setahun jatuhnya rezim Soeharto. Sedangkan puisi-puisi lain, di antaranya masuk dalam Bentara harian Kompas yang waktu itu dijaga oleh Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu puisi, “Aku Tandai”, saya masukkan dalam kumpulan ini pada bagian “Menandai Tahilalat”.
Kenapa idiom “tahilalat” yang saya pilih? Ketika Soeharto semasa kepemimpinannya menggelar program “jawanisasi
Bagian akhir kumpulan puisi ini saya namai “Dari Cerita yang Lain”. Inilah puisi-puisi yang saya anggap “mewakili” fase terkini, suatu fase dimana hanya tiga tahun lagi usia saya mencapai separuh abad. Apakah puisi-puisi dalam fase terkini ini telah matang, dewasa, dan telah memenuhi pencapaian kepenyairan saya, semua berpulang kepada pembaca yang menilai. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa tiga tahun belakangan ini saya amatlah produktif.
*
Dari tiga fase kepenyairan saya selama 21 tahun (1984-2005), tampak perbedaan sekaligus perubahan yang jelas sekali. Perubahan bukan pada tema, sebab tema sejak dulu sampai kapan pun akan tetap ditulis oleh setiap sastrawan. Tetapi saya melakukan perubahan pada struktur, style, diksi, dan idiom yang baru dan segar. Terutama pada struktur (style) terjadi perubahan yang jelas sekali. Pada puisi-puisi paling terkini, saya telah meninggalkan narasi yang melebar ke samping, dan saya lebih menyukai puisi-puisi dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek yang saya anggap efektif. Selain itu, saya percaya sekali bahwa perubahan bagi seorang seniman adalah niscaya untuk menghindari stagnasi. Jika saya tak melakukan perubahan, mungkin kepenyairan saya sudah lama mati.
Dan, tugas saya hanya menulis ketika sentuhan puitik datang. Meskipun sejak awal memilih dunia kepenyairan, saya tidak punya pretensi macam-macam: misalnya ingin dikenal, memburu ketenaran, atau mengharap puji-pujian, atau apalah sebutannya. Seperti juga saya tak bisa berharap banyak bahwa profesi kepenyairan dapat menggantungkan hidup saya. Meski saya sangat percaya, profesi kepenyairan pernah dan telah menghidupi saya. Terbukti, sampai kini saya tidak menggelandang, melunta, mengemis, apalagi menjaja idealisme!
Sebagaimana saya katakan di atas, saya telah melakukan berkali-kali “pasang-copot” puisi untuk kumpulan ini. Pertama, saya mendapatkan 137 puisi tapi saya harus “taat aturan” bahwa kumpulan puisi ini hanya menghimpun 100 puisi. Lalu saya melakukan seleksi lagi, tentu secara subyektif menurut suasana dan selera saya, yang kemudian saya dapatkan 102 puisi. Sampai akhirnya saya dapatkan 100 puisi pilihan. Namun, entah sengaja atau karena subyektif saya menyukainya, penutup dari kumpulan ini sebagai puisi ke 100 adalah “Hujan: Dari Cerita yang Lain”.
Saya terpana ketika membaca kembali puisi tersebut. Entah mengapa saya seperti sedang menyusuri “… lorong yang terasa jauh/--alangkah jauh--//di pipimu kulihat bentangan hujan/seperti sayap-sayap burung/yang menanti pemurung/meluruh sebagai sepi…//… aku tenggelam.” Namun demikian, mudah-mudahan saja, puisi terakhir ini bukan sebagai “alamat lain”. Ah! Pikiran saya sudah dirasuki ihwal yang rahasia itu…
*
Akhirnya, kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Pamusuk Eneste dari Penerbit PT. Grasindo yang sudah memberi kesempatan bagi saya untuk menyusun puisi-puisi lama yang sempat tersimpan di kardus di bawah ranjang anak saya. Juga kepada isteri saya, Adibah Jalili, yang karena merasa pentingnya dokumentasi maka puisi-puisi lama saya tersimpan rapi padahal beberapakali kami pindah rumah. Lalu takzim saya sekaligus saya persembahkan kumpulan puisi ini bagi anak-anak saya: Mardiah Novriza (beserta suaminya, Muhammad Zamzari), Arza Setiawan, Rio Fauzul, Khairunnisa, Abdurrobbi Fadillah, dan kedua cucu saya: Zahra Putri Balqis dan Yahya Ayas Al-Indisyi—tak terbilang memberi ruang untuk saya berpuisi!
Tak lupa pula teman-teman dekat saya yang banyak mendukung dan membantu, seperti Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, Oyos Saroso HN, M. Arman AZ, Daniel HG, Syaiful Irba Tanpaka, Hary Jayaningrat, Maman S. Mahayana, Ibnu Khalid, Firman Seponada, Heru Saputro, Budisantoso Budiman, Jauhari Zailani, Jamal D. Rahman, Edy A. Effendi, Zen Hae, Ari Hutabarat, Satmoko Budisantoso, Raudal Tanjung Banua, Asma Nadia, Hudan Hidayat, Jimmy Maruli Alfian, R. Krisman, Marko Universal-Sel, dan banyak lagi yang sulit disebutkan di sini. Karena perhatian merekalah, saya masih ada di ranah sastra ini. Setelah itu, adalah pembaca sebab tanpa Anda maka puisi-puisi dalam kumpulan ini akan selamanya membisu…
Bandar Lampung, 14 Juli 2005 Isbedy Stiawan ZS
*) catatan Editor: Sebelum Kota Cahaya ditetapkan, kumpulan puisi ini telah mengalami beberapa kali ganti judul, antara lain Dari Dunia Lain, Sepasang Kekasih dan beberapa judul alternatif yang diinventarisasi editor dan penyair.
NYANYI SUNYI
TUBUH TANPA RUH
-bagi almarhum D.Z
tubuh itu
tanpa ruh. nyebarkan duka
melayat bunga dari seluruh kampung
(dari sini perjalanan masih panjang
bagi tubuh tanpa ruh
yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan
biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)
tubuh itu
tanpa ruh
bekukan hujan di awan
sepanjang hari
sementara dari kamar
netes kenang; siapa bisa
menghapus gambar tangan
di dada?
12/7/1984
MALAM-MALAM MENGAJI
hayat ngembara
lentera di tangan mercukan jalan setapak
kaki-kaki basah oleh keringat
persis ketika harap pun sampai
dan tak kembali-kembali lagi
1984
SOLILOKUI PATUNG
aku kayu tak bernilai. kau lukai dengan
pisau sehabis diasah. dari hari ke hari perih
kutahan. terus kau sileti aku jadi garis-garis
jadi bentuk jadi rupa. rupa yang kau inginkan!
aku kayu tak bernilai. aku patung berharga
gadis yang dirindu. tercipta dari serpihan
sembah. tuhanmu
23/11/1984
IMPROVISASI I
pungutlah sisa kehidupan yang terbuang itu
sebab hanya yang tersisa bagianmu. santan
dan ampas telah terpisah sebelum liurmu tumpah
dari lambung dan menyungai ke langit itu. tempat
kelaparan bermuara. mendupakan hidup
yang tertapa. untukmu: tak lebih
senasib ahasveros dalam zaman pasar ini
mengembara tak kenal…
1985
IMPROVISASI II
tak perlukah kita tertawa dan bermanja? sejenak saja
demi melupakan periuk yang telanjur terbalik di dapur. dan
anak-anak mengunyah daun jambu untuk obat
pengempis perut kembung
kalau aku boleh tertawa dan bermanja, kalau aku boleh
menidurkan kecompangan ini di perutmu itu. kalau aku
boleh membuka album perkawinan kita. sebenarnya kita
masih punya keceriaan. tapi benarkah keceriaan
dan kebahagiaan itu milik kita? Kita
belum memiliki sepenuhnya—desismu
soalnya kau belum mau merajakan ketenangan. Dan
menjajakan senyum yang tak setiap orang memilikinya.
Ombakkanlah itu setiap saat. Tuhan beserta orang yang sabar
1985
DI TEPI LAUT
kita pernah bermain layang-layang di sini
rambutmu yang tersibak angin adalah benangnya
aku ulur kau biar terbang menyilang cakrawala
tapi kendali tak sudi kulepaskan. Tak sudi
betapa bodohnya aku, benang di tangan putus
kulihat kau terbang sendiri
tanpa bisa kuraih kembali. Tanpa bisa
di tepi laut ini
kunanti layang-layangku yang putus
kunanti kau hadir kembali menemaniku
bercakap-cakap pada karang
1984/1985
PADA AKHIRNYA AKU KEMBALI SENDIRI
pada akhirnya aku kembali sendiri juga. aroma
pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi
mendadar kengerian jiwaku. o, adakah yang lebih sepi selain
diurbaniskan seperti begini?
aku kembali sendiri juga pada akhirnya. tak berkawan
tak berfamili. didedah oleh pikuk musik jazz
dan bau pupur itu, bau pupur itu. o!
EPITAPH
ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari
yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan
ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup
lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya
menyilang langkah
18.11.1986
DOA JENAZAH
aroma dupa dan wangi sayur yang ditawarkan
dari sudut-sudut rumah ini kuharap jangan
dihidangkan di atas piring kerandaku
lalu turunkan muatan! buka palka
dan kuburkan kepasrahanmu. beri jalan aku
kembali kepada-Nya. tanpa asap dupa
tanpa pesta!
1984/1986
SAJAK KE 27
(Ulang tahun Adibah Jalili)
siapakah yang membangunkan tidurmu? ini hari genaplah
engkau menjaga arloji dari kepecahan dan
mempertahankan siklus bulan bintang serta matahari
dari gerhana atau cerita yang amat purba itu…
siapakah yang menyapa lenamu? kuyakini ini hari
engkau masih tetap menghembuskan balon sepenuh hati
menjauhi pohon mawar yang berduri itu…
: Dekaplah waktu! Ciumlah Aku!
4 Mei 1986
PERJALANAN PELAUT
karena laut mengajarkan rahasia badai
aku pun setia berlayar. dari pulau asing
ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut
dan lalu meninggalkan ratusan rumah
yang memendam kesepian
rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,
laut yang terapit oleh pulau-pulau
di mana tubuhku sesekali dibaringkan?
dari pulau asing ke pulau asing
aku pahami rahasia badai, aku tebarkan
benih pelaut. sementara pada kedalaman laut
kubur mengajarkan rahasia paling akhir
1987
AKU BACA LEMBARAN-LEMBARAN KORAN
(Satu Amsal)
aku baca lembaran-lembaran koran. dan pada setiap kolom
kusimak dunia yang terluka oleh bibirmu! bahkan hingga
ke halaman sebelah ada pisaumu bermandi
darah terkapar atau cinta yang diujudkan pada iklanmu
sia-sia membaca rahasia duniamu. dan pada setiap
kolom aku mengukur luas kubur atau kaveling penawaran
atau bahasa sanjungmu. lantas bibirmu, lisptickmu yang
merah merayuku untuk merobek!
kecuali dendam, ya Allah
aku melihat tubuhku tersayat di setiap
lembaran-lembaran koran. tak bergerak,
aku membacanya. aku menyimaknya
aku membaca lautan darah. aku membaca musim-musim
kemarau yang membantai taman bunga. pada setiap kolom
dan halaman anyir bibirmu menusuk nuraniku. tapi
karena bibirmu pula aku kasmaran dan patah hati
1987
LAUT MEMBAWA JASADKU
laut membawa jasadku
ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan, menyimpan riuh jam
tanah pun basah, melumpurkan langkah
yang berhenti pada gerbang-Mu
kau pun tersedu. hujan turun
mengabarkan ketajaman pisau padaku, dan
laut tak henti membawa jasadku
ke makam-makam sunyi-Mu untuk ditanamkan!
o aku sendiri dalam kematian ini
di semesta sempurna ketiadaanku
1987
PADA KETINGGIAN MATAHARI
pada ketinggian matahari
rumput-rumput berkeringat. tangannya
menggapaimu gelisah. hari yang penuh
pembantaian merebahkan nyalinya
hanya jerit. hanya jerit yang menggema
di padang-padang kerontang itu
kemudian senyap
kemudian senyap
sungai pun menerbangkan batu-batu
1987
AKU HANYA KERAK DI LIANG BUMIMU
Aku hanya kerak di liang bumimu
menunggu sampai musim bertukar.
Tubuhku hitam terpanggang, menahan
derita sepanjang kehendakmu
Di liang bumimu aku menjadi kerak
terlempar dari segala cuaca
sampai musim esok datang
sampai waktumu tak lagi kudengar dentingnya
Dan kota-kota makin jauh dariku
Aku tenggelam dan menghuni di dasar yang sunyi
sementara matahari tak terbit dari bola matamu
15-16 September 1987
SURAT
seribu
dirapatkan, tapi tak lunas juga
rinduku padamu
pranko demi pranko direkatkan, dan
pada muka sampul alamatmu kutulis
tapi tuturku terasa kelu bagimu
tak hanya
di perjalanan; lalu mimpi bermuka-muka.
oh aku menggali keasingan kotaku, aku menggali
kesunyian kotamu bersama ribuan
yang kutulis dan kukirim!
26/12/1987
MEMBACA BAHASA SUNYI
Seperti kayu aku ikhlas dibakar
dari waktu ke waktu. tubuhku hitam
menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu
di dasar tungku kehidupan-Mu
Aku membaca bahasa sunyi
Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu
Pada setiap sujud kusebut ketiadaan
melengkapkan arti gerimis yang gugur
di taman-taman atasnama kedamaian
Aku membaca bahasa sunyi
sehabis bara menggenapkan tubuhku
menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku lebur dalam zikir panjang
mengaji rahasia tangan-Mu
Seperti kayu
aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara
dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku terus-terusan sujud menciumi tanah
O telah kubaca bahasa sunyi
di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak
pernah menawarkan istirahat atau kedamaian
Begitu bara membakar hingga aku lebur
ke dalam sujud dan zikir
ke dalam sujud dan zikir
1989
TELAH KUJALANI KEKERASAN BATU
Telah kujalani kekerasan batu. dalam diam
kusimpan gemuruh air. lalu keheningan pun
bagian dari napasku
Aku kini menanggung beban matahari. dalam keras tanah
kuterjemahkan detak lumut dan arus air pun kuterjemahkan
menjadi buih bagi semangat zikirku
telah kujalani kekerasan batu. dalam zikir
kunyanyikan gemuruh air!
1988
AKU LEBIH DULU MENULIS NAMA-NAMA
Aku lebih dulu menulis nama-nama di bumi ini
sebelum telapakmu kemudian kukenal menciptakan
jalan lain menuju stasiunku. Lihatlah nama-nama
semesta ada dalam jari-jariku begitu kupanggil
satu persatu. juga pada pasir laut rahasia
ciptaanku terpatri,
mengekalkan langkah dan namaku. Tapi kau masih
juga menentang, menghanguskan nama-nama di bumi
dengan api yang kau ambil dari bukit yang jauh itu
Dan ketika telapakmu kukenal kemudian serta menulis
nama-nama di sepanjang perjalanan, alam bagai kehilangan
mataku. Kegelapan pun merestui dan bumi makin
payah menapaki surga. Melenyap dari kerling
tanpa kutahu di tahun kapan dapat bebas
dari kehadiranmu
1988
PERNAHKAH
pernahkah kau rasakan; tiba-tiba punggung kita
terluka, tapi tak kenal pisau siapa? lalu darah
tak pula menandai dan detik-detik melangkah
seperti biasa
pernahkah kau rasakan; ketika tiba-tiba punggungmu
tertusuk, tapi kau hanya melihat bayang-bayang pisau
yang menyelinap dalam kelam? sedang aku hanya
memandangmu tanpa kata
aku pernah merasakan; ketika punggungku terluka, tapi
tak mampu membaca makna pada runcing pisaumu
yang mandi darahku!
1988
CIUMAN PENGHABISAN
saat ciuman penghabisan kuterima
pada sujud yang panjang, tiba-tiba getar
lembutmu menggoyangkan langit. Aku baca namaku
di
terus aku mengatas, mendaki puncak segala
puncak
tangga mana yang kutuju? aku telah sampai
pada ciuman penghabisan. di dalam sujud yang
panjang kusetubuhi keabadian. pada puncakmu
aku pun makin lupa dengan gaduh bumi
yang cuma menawarkan nama-nama
saat ciuman penghabisan kuterima
tiba-tiba panggilan lembutmu membuka
jalan satu-satunya untuk kutempuh. aku baca
diriku di
yang kau rindu
1990
SEPERTI SEMUT
MATAHARI PEJAM
Matahari telah lama pejam. Lidahku
kelu menghafal nama-nama sungai,
dan jalan
Di sini begitu telanjang. Mataku luka!
Laut yang memuntahkan beribu gelombang
Seakan membawaku ke tengah lautan
Begitu jauh. Amboi! Mana jalan pulangku?
Kaukah yang menyimpan kasurku? Rumah yang
menidurkan ketentramanku mengapung
Bagai selancar dihidupkan gelombang:
Timbul dan tenggelam
Anak-anak. Tak usahlah membaca zaman
Hidup di sini begitu kejam
Terlunta-lunta di antara pasir
Dan kafe-kafe yang dihidupkan
oleh botol-botol alkohol
Kuta, Juni 1998
DONGENG MENJELANG KELAHIRAN
-adjll
sebuah cinta kuledakkan di dalam hatimu
jadilah ia yang mengeram di batinku
dan mengarus di darahku
laksana perahu ia pun menyinggahi
negeri demi negeri: cinta kita bersama
Kita telah sampai di pantai. Matamu jadi sampan, menyimpan
sobekan layar. Kau sulap
batang bakau jadi kemudi, dan kau biarkan aku merana di tepi
pantai ini. Tak mungkin
nuh akan kembali setelah kecewa mengenang putranya. Serupa
aku kini yang tak ingin
mengingat betapa jauh perjalanan telah dilintasi. Kau lihat,
kedua telapak kakiku
pecah-pecah, tak lagi bisa menulis silsilah
ombak dulu juga yang menghapus segala sejarah. Kenangan
kenangan tak bertanda,
tanda tanda yang tak terbaca. Serupa buku tanpa lagi punya
halaman
Kita telah berada di tepi pantai. Rambutmu jadi nyiur, wajahmu
menyimpan angin. Ombak
menanti kita berlayar di tubuhnya. Menggapai gemuruh,
memeluk pulau pulau-Nya.
Sebab, di laut ini aku jadi imam bagimu. menegakkan hati setiap
ombak menyapa. Dan,
sobekan layar jadi sajadah
berwaktu waktu kita sujud. Meniupkan takbir
Kita telah sampai. Jangan lupa melayari ruh. sampan yang
menjelma dari matamu
membelah rahasia. Di mana mesti kupulangkan makanan ini,
sebab mihrab milik Imran
tinggal kenangan?
“Di mana pun kau melangkah, di situ mihrab kepunyaan-Nya,”
katamu. Dari wajahmu,
angin melajukan sampan. Kulintasi pulau demi pulau…
“O, bila pelayaranku ini sampai?”
Aku kehilangan tanya
2002-08-23
AKU MENANAM DIRI
DARI CERITA YANG LAIN
TANGAN
pulau mencair dalam tanganku
seperti sebuah peta terbakar
di bawah gerimis: kaukah yang memberi
nama atau bercak?
seperti tiada lagi album terbuka
kupeluk kenangan sungsang
“aku telah kehilangan pulau
utuk kita bercumbu,” bisikmu
celana dalamku menjelma peta
membentuk pulau baru
tanpa nama dan bercak
yang jauh dari gemuruh laut
kupeluk. kusetubuhi tangan
berlumur darah
mencipta sejarah
alamat yang kelam
payau menumbuh pohon
laut dan pasir hitam
terlihat malaka
di pelupuk mata
dari selat baru
aku melayarkan rindu!
Bengkalis, 19/1—Lampung, 27/1/2003
SILAM: KENANGAN LUKA
jalan akan berakhir
di ujung sembilu
selesai mengiris kelamin
darah pun mencair
menggenapkan tubuhmu
memanggil-manggil ruhku
ayo, siapa berani berdusta
kau pasti kawin, beranak,
dan melunta-lunta
di sepanjang jalan
yang jauh dari tepi
dan ke taman sepi itu
(taman yang pernah melontar
sepasang kekasih
sehabis bercinta)
kita mengulang percintaan
lalu terlontar lagi
memanggul batu
mengelilingi
telanjang…
kita mengadu ayam
sebagai perjudian
tergelincir atau meniti
rambut dibelah tujuh
dan ke taman sepi itu
barangkali kita tak
akan sampai
tiada
tanda. Juga suara air
yang hadir setiap waktu
dalam angan-angan
: barangkali kita mesti bikin
kelamin lain biar mati
lelaki dan perempuan
di taman ini
dikubur di sini!
2002/2003
DI AMBANG
celupkan kakimu ke sungai ini
airnya akan membawa anganmu
ke dalam istana tua
raja yang berdiri di ambang
melesatkan tulang dan bawang
ke tubuhmu yang lekang
di sungai ini kau menulis prasasti
suaranya sampai ke laut cina
melampaui sriwijaya dan pagaruyung
yang mengendap juga ke dalam buku
“inilah
menyantap tubuh manusia
yang mengambang di sungai
laksana gabus
yang juga dilempar ke sini
jadi cerita sampai kini,” katamu
dan museum tak pernah henti
menyuarakan
diselimuti kabut dan kemelut
oleh perebutan ulayat
yang tak habis-habis
sampai orang-orangnya terpinggir
ke dekat gigir
aku pun teringat
makam bapak ada di sini
setelah bertahun-tahun
ngembara mencari raja
matinya di sini jua
jauh dari istana
seperti para pengembara
yang terbang jauh
di kampung juga ia jatuh
menelan teluh!
sungai yang keruh
orang-orang ngembara
tinggal sepi menanti
menjaga sejengkal tanah
untuk makam kami
di antara deru
dan kesunyian
yang dibangun
oleh waktu yang berlari
memburu dunia
celupkan kakimu ke sungai ini
airnya akan membawa anganmu
ke dalam istana tua
raja yang berdiri di ambang
melesatkan tulang dan bawang
bagi pendatang
kusematkan persaudaraan
dari rahim ibu
yang sama
bersila di lamban 1
dalam satu kata
“ini
kita dilahirkan,
jaga sampai
raja benar-benar tiba.”
sebagaimana dalam cerita
tertulis di lontar
entah itu legenda?
tapi, darah kita
sewarna
dilahirkan dari
ibu yang satu
di dalam sesat agung 2
2002/2003
LUKA DI BIBIRKU
kau tahu luka
bibirku pagi ini
ditikam suhu yang
datang dan pergi?
sariawan ini makin
merapatkan bibirku
untuk mengulang-ulang
kalimat dari dongeng
saban malam
tentang tanah lantak
air berbuncah
dari halaman-halaman
yang kaukabarkan
menghapus keriangan
saatnya aku
meminum cuka
dari perasan waktu
yang kautunjam
ke dalam rumah
untuk sekian hari
jadi siput
di tanah hitam
ah, luka di bibirku ini
begitu damai
menyimpan sangsai!
2003
LIDO LAKES RESORT
: pagi
janggutku melebur
oleh dingin puncak ini
melayar ke danau
lido. berahi tumbuh
di dalam tubuh
janggutku bersayap
ingin terbang ke vila-vila
di puncak
seperti bendera
kelamin berkibar
di pasar-pasar
kau tentu tahu
aku ikut melepuh
karena dingin
selalu berlabuh
di rumah panggung:
aku makin ngungun…
cigombong, 9 januari 2004
POHON DI DEPAN RUMAH
pohon yang kutanam semasa kecil
di depan rumahku, masih melambai
daun-daunnya bagi pulangku
setelah lama kutinggalkan
halaman yang penuh runtuhan
daun dan ranting, jadi tanda
kerinduanku seperti
masa kanak-kanak dulu
pohon di depan rumah
masih menandai jalan
pulangku. menyapu halaman,
menyerpihi runtuhan daun:
mengecup kerinduan
seperti masa kanak-kanak
aku menulis lagi kenangan
ke dalam anganku
tentang pohon yang kini
selalu melambai setiapkali
aku lupa jalan pulang
pohon di depan rumah
selalu memanggilku
setiapkali aku terbenam
entah di
seperti rinduku padamu
yang menungguku
meski berkali-kali
aku selalu lupa membawa
kenangan
- juga ciuman
sebab pohon
-- juga kau –
muara ciuman
setiapkali rindu
yang membuatku
ingin pulang!
23 Desember 2003
ZIARAH ADAM DI BUMI
selepas malam terakhir
kautancapkan kecupan
aku pun menangisi luka
yang bersisa di tubuh
sampai tahun mengulang
tak juga hilang
demikian. selepas malam
terakhir itu, usai kecupanmu
tertancap dan membekas
di tubuhku. aku pun
menangisi luka masa lalu
sepanjang ziarah adam
di bumi…
ke padang-padang
tiada nama ini juga
aku menapaktilas
silsilah membekas
di kitab alastu
wahai, kau yang telah
menancapkan kecupan
hingga luka di tubuh
dan kini tengah kutangisi
mungkinkah kaupamit
untuk tak kembali?
selepas malam terakhir
kautancapkan kecupan
langitku menghitam!
desember 2003
LELAKI YANG MELEPAS MANTEL
SAAT HUJAN SIANG ITU
lelaki itu melepas mantelnya saat hujan siang itu
ia mencari payung yang pernah ia lempar
di masa kanak-kanak ke dalam semak, mungkin
di belantara itu atau dekat ladang petani
payung itu sudah hilang beberapa tahun lalu
ketika kau menuju jalan dalam lautan orang
meneriaki perubahan. dan mantel itu masih
membungkus tubuhmu di saat panas dan hujan
sampai kau pulang membawa bendera kemenangan
lalu cakrawala benderang. kau menepi dari
keramaian, menutup payung dan melempar
ke dalam semak yang tak kita tahu di mana
hingga lelaki itu melepas mantelnya
saat hujan siang itu
melepas seluruh pakaiannya
menantang belati hujan
2003
TAK PERLU TELUH
kaukah yang masuk ke dalam mimpiku? tak bisa kupercaya
kau dapat membuka pintu tidurku, tanpa merusak
kunci-kuncinya
padahal dengan doa kubuatkan dinding dan kunci yang kuat
agar tak seekor semut pun mampu merayap
kaukah yang tersenyum di depan mimpiku? gigi-gigimu yang
keras seperti mengancamku. sudah lama kuinginkan
payung hitam
itu mengenderai waktuku. jalan panjang, pohon nan rindang
berkelebat dari dunia yang lain
mungkin bukan kau yang mengusik mimpiku. kau hanya datang
lalu masuk ke dalam tidurku. di depan halaman mimpiku
kau masih saja lupa tentang namaku. tubuhku yang rapuh
tak perlu lagi teluh
karena seperti daun ia akan luruh
mendahului waktu itu sendiri
2002/2003
SEBARIS PANTAI
mungkin ini pertemuan terakhir
usai sebaris pantai kau jejaki
dalam lembar kertas itu
lalu ombak kembali
ke dalam dunianya
mungkin melepas
rahasia pertemuan
atau merayakan perpisahan
di tubuh mahalaut
bermahkota rumput
dan duduk di kursi
membayangkan sebagai
pengantin atau raja
yang menitah pantai
jadi barisbaris puisi
di sini aku membacanya
dengan lidah terpotong
2 November 2003
EPISODA LUTH
terkapar kelamin
ditikam uban
maka bumi kehilangan
para bocah yang bernyanyi
tentang hidup
tanah kehabisan bekas kaki
laut dilupakan oleh kapal
bumi terbalik di tanganmu
menyisakan erang
terbayang luth
sibuk mencari istrinya
ke balik tanah
ke dalam gusar
kelamin ini juga
yang membalikkan bumi
sampai kehilangan
hidup para bocah
setelah terkapar kelamin
apakah kini bumi
tetap dijaga para bocah?
kelamin tetap saja mati
ditikam helai-helai uban
2003
DUNIA MIMPI
hingga kini tak pernah
ada ikrar yang mencatat
sejarah pertemuan ini
lalu kita ciptakan kamar
di sembarang waktu
untuk menyatukan mata
yang selalu berkeliaran
di waktu seperti ini,
pernahkah kau tidur
bersama peri, kawin
lalu beranak peri?
suatu masa
ia menjelma ular
dan merayu ayah
selingkuh dengan buah itu
bunda yang ada di kamar itu
meratapi kekhilafan ayah
hingga melunta di rimba
memanggil namamu
suatu masa
ular jelmaan itu
berumah di kelamin ayah
mematuki bunda demi bunda
di sembarang kamar
seperti di dalam kandang
yang kau baca
pada gulungan film
suata masa
ular yang bersarang
di kelamin ayah
menjelma kita…
2003
SELEMBAR PAGI
selembar pagi melambai
kamar penuh suara
wajahku berwarna
melipat-lipat selimut
ke balik semak ranggas
tubuh siapa menghitam
di gantung langit?
gaduh jalan-jalan
(juga di pasar tani biasa
kuantar istri setiap minggu)
sampai juga lenguh
sepotong daging
terdiam di sebalik semak
tak tahu kaukah
semalam mengusikku
sebelum menembus pekat?
rumah berwarna hitam
jalan-jalan jadi legam
di antara kematian
tak bertanda
melipat-lipat selimut
sebelum igau memikat!
Feb—Juni 2003
KOTA CAHAYA
(tanjungkarang-telukbetung)
(satu)
sebuah
aku pun singgah. jika diperkenankan aku
hendak mendirikan rumah di sini
dengan pintu atau jendela menghadap
pantai. dan tanganmu jadi sampan,
rambutmu layar. sesekali merapat
di kaca kamarku. seperti tetesan embun
yang mencair: mutiara dalam mimpiku
pecahan-pecahan bintang yang merantau
sepanjang malam akan rebah di
juga sisa perjalananku penuh luka
sekejap lelap di pelukanmu. dalam mimpiku
segalanya jadi mutiara,
sampan yang kembali
menetap abadi
sebuah
aku pun singgah. jika kauperkenankan
aku akan menjaganya dari pecahan sodom
dan gomora yang kacau
aku bangun rumah di
jendela dan pintunya menatap pantai.
tanganmu menjelma sampan
dari senyummu layar membentang
di dalam reruntuhan waktu
melelapkan hasrat
mengawinkan
untuk aku singgah
dan menetap abadi
lampung, 12-24 juli 2003
(dua)
aku ingin
bercahaya. di dadamu kupahat
rumah yang baru. Jendela dan
pintunya menatap matahari yang terbit
dan lelap. seperti keluh akan sampai
ke dalam getarmu
begitulah, sayang, akan kupangkas
segala bernama rumput
yang menyimpan maut
dari wajahmu kusisir
dalam getar si remaja
mencabuti uban:
tinggal igau
dan aku merantau ke dalam
menggali senyum abadi
amboi, jangan pula kaubalikkan
- izinkan aku di sini
menetap-tatap! –
lampung, 25 Juli 2003
(tiga)
gairah apa yang memilih
bagian pengembaraanku
segala tempat telah kurantau
tak juga memukau
kini aku kembali ke
sejarah purba yang tersimpan
perjalanan adam mencari cinta
di segala semesta
gairah apa yang melahirkan
ketika siang yang rusuh?
aku tatap parasmu
membayang
aku pun menyusuri
liku-sungaimu
amboi, gairah apa
yang menggetarkan hasrat ini?
lampung, 25 Juli 2003
LELAKI PENUNGGU MERCUSUAR
adakah rindu akan kembali pulang?
kapal-kapal tak ada tanda mau berlabuh,
ombak selalu saja mengirim sepi
ke pulau ini. mercusuar memandang
kelam dan senyap
malam merayap
seperti malam-malam lalu
di mana rindu disimpan
ketika melaju sampan
menembus pekat lautan
lampu-lampu menyala
memberi tanda kapal-kapal
yang mendedah laut pekat
adakah rindu bisa pulang?
setiap malam sampan
membelah lautan
waktu kian hitam
gigil berlabuh
“aku anak pantai
dikirim ke pulau ini
menghitung kapal-kapal
yang melaju atau
sampan yang pergi jauh
tanpa kenal labuh,” katamu
dan malam
tak pernah memulangkan
rindu ke pantai
seperti kapal-kapal itu
seperti sampan
yang pergi dan datang
setiap malam
dengan tubuh
rapuh
setiap liwat
seperti melambai
mengibarkan kelamin
yang baru menombak sepi!
PERCINTAAN PELANGI
maka aku gotong
sepimu ke ranjang
melepas baju yang
sungsang
siang dan malam
kuserpihi sepi
kurajut keramaian
dalam deru dan desah
kita petualang itu
yang tiba di
sehabis-habis berkelahi
lalu menanam berahi
waktu ke waktu
dari penerbangan
dari perjalanan-mabuk
kita warnai percintaan
di bawah pelangi
wahai, bidadari
kau kutuk aku jadi adam
di
rumah singgah
untuk sekejap
melabuhkan angan
seperti anak binal
yang dibiarkan tenggelam
: aku mengutuk lelaki
yang membiarkan
perempuan di rumah
mati dipangkas
kelamin sendiri
(tapi dari waktu ke waktu
kita susun percintaan
pelangi…)
17 Agustus 2003
CATATAN SUATU HARI
mungkin kau sudah lupa
sepekan lalu aku menjemputmu
toko buku yang riuh
di siang yang gaduh
(kau membeli sebuah buku
cara memasak kata-kata)
dan aku menerbangkan anganmu
ke dalam ruang tanpa lampu
menerjemahkan seribu waktu
menyisir seluruh tubuh
membubuhi nama-nama
pada deru dan napas
setapak, selepas…
sore kelabu
jam yang membeku
dinding makin abu-abu
kau melepas hasrat
meninggalkan baju
di pembaringan
bagai busur
telontar jauh
menancap di binalku
yang lama dikendali
matahari kehilangan cahaya
peluh tenggelam dalam gigil
anganmu binal
hasratku bebal
ah, di selangkanganku
kota-kota sekarat
tak puas menjilat-jilat
bayangan senja melepuh
oleh seribu teluh
“sekali lagi, sekali lagi
kau tumpahkan jampi
ke tubuhku ini,” bisikmu,
dan ranjang makin geliat
menumpahkan hasrat
jadi banjir
menenggelamkan waktu
mungkin kau akan mencatat
peristiwa dahsyat ini
dalam kenangan
meski akan rapuh
di tinggal bunga
kembali mengatup
tapi jam tak pernah lupa
selalu berbisik
tentang hidup sejenak ini
juni-juli 2003
PERJALANAN KE DUA
jika ini malam seprei
kembali kuncup
karena ranjang
menuju lautan
maka catatlah itu
sebagai perjalanan kedua
setelah berhari-hari
diselimuti badai
atau pantai yang
sesaat tak disinggahi
ombak sekadar mengecup
dan melepas rindu
(kadang kita lupa
pada rindu
seperti ombak
kepada pantai:
tak pernah tercatat
meski begitu letih
merengkuh cinta)
tapi, kini lupakan
tahun-tahun luka
dan khianat
juga dendam
seprei ini sudah jadi lautan
dan ranjang kembali geliat
kecuplah darah di bibir
meski terasa anyir
setelah itu muntahkan
di lautan
alangkah lama
kita susun kenangan
jalan setapak
di antara ilalang
atau balong
di utara pematang
mungkin kita sudah lupa
di sini sepasang ikan
pernah berenang
sebelum pindah
ke ranjang
mengukur panjang seprei
maka jika malam ini
kaukecup geliat ranjang
simpanlah kehangatan itu
sebagai kerinduan pantai
pada kegaduhan ombak
dan kita akan kembali
melaut. melepas kain
mengibarkan angin
sampai di pelabuhan
yang Satu:
dalam diri
bersayap cinta
15-11-2003
METAMORFOSA MALAM
malam melepas dan
menutup kelambunya
lalu bagai bintang, embun
menghias pintunya
lepas pakaianmu
biar kumasuki
untuk menguliti
rahasia mahakelammu
setelah itu tutup kembali
maka bintang-bintang
serupa kancing di pintumu
akan menulis kalimat
dari tahun yang tua
usah kenang mula matahari
tumbuh dan runtuh
setelah
dan sepasang kekasih melata
dari pengusiran pertama
masuk ke dalam kelambu
malam, embun makin
genapkan rahasia
mahakelammu
menumbuh surga dari
serpihan bintang
menulis kalimat-kalimat
dari tahun yang tua
kini di mana?
menyusuri
tertutup oleh rahasia
tahun-tahun bimbang
kini mau ke mana?
2002/2003
PALING KELAM
sekelam apa ketika parasmu lesap
gambar dalam kenangan terbakar
dan ranjang percintaan tinggal puing?
aku jadi tahu langkah
tak pernah meninggalkan getar
dan peluh dari percintaan yang agung
hanya menyisakan pulau-pulau
“lupakan segala pertemuan,
segala tawa dan perih,” bisikku
gambar dalam kenangan itu
tak akan pernah lagi tersenyum
memandang puing ranjang
pulau-pulau yang hilang
atau parasmu yang kini menggenang
lupakan riang percintaan
untuk waktu paling kelam!
2003-09-17
LAMBUNGKU ADA MAKAM
lambungku mengiris
langkah menuju
rumah dan keluarga
hingga patah-patah
lambungku melukis
peta pemakaman
lubang-lubang menganga
bagi maut yang meraja
mungkin di lambungku
tertanam seribu jarum
yang kaukirim kemarin
untuk mengantarku
pesiar ke kota-kota
berlampu. ah,
seribu cahaya yang
membuatku mimpi
jadi permaisuri
di
aku menanti sang raja
yang akan membawaku
ke pelaminan atau taman
: antara bercumbu
dan kecupan!
di lambungku kini
sembunyi seribu makam
bagiku (nanti) kunjungi
lampung, des. 2003
TENTANG ALAMAT LAMA
sore ini
hujan kembali datang
dari tubuhmu
memburu langkahku
sebelum jalan
menjadi cair
tanpa payung
atau pun jas hujan
kutembus pisau air
yang runtuh
di kepalaku
bagai anak panah
aku pun melesat
dalam kenangan sesat
tentang alamat lama
yang kusimpan di saku
ah, alamat lama
yang membuatku
makin risau
menempuhnya
18 Desember 2003
SESABIT BULAN
sesabit bulan
lesat ke rimbun bambu
tiang-tiang bagan
bagi perangkap ikan
rumah nelayan
melayar ke pantai-pantai
menggusur rumah liliput
yang ada sejak tahun-tahun suram
kini menyisakan kenangan
ditinggal cangkang
para nelayan
mengunyah mimpi
dari laut sepi
di bawah sesabit bulan
yang merajam ranjang
seekor elang menancap
melarikan ikan
ke dekat bulan
dan membuang tulang
ke hati para nelayan
mengecup malam
sesabit bulan
meneteskan darah
ke pantai-pantai
mana kampung
kenapa lengang?
PELAMINAN BEGITU LENGANG
setelah menanam kutuk
lahir peri dari rahimmu
lalu melunta di kamar-kamar
matikan lampu
yang tumbuh di dinding
“aku kunti dari segala peri
menyasapkan petualang
yang datang dan pergi
menjilati tubuhku,
menancapkan kelamin.”
kudengar rintihmu
sepanjang malam
dari bilik kamar
yang samar
setelah itu tawamu
tak lagi sampai menggoda
untuk menjerat
syahwat kami
di pohon kapuk
kau menggantung
dengan kelamin buntung
dan perut kembali bunting
oleh ratusan peri
yang kehilangan mata
matahari bukan lagi
yang datang kemarin
tapi pelaminan
begitu lengang
ditinggal para lelaki
mencari ibu segala peri
(melebihi parasmu)
untuk dikawini
“selamat tinggal pohon kapuk
dilupakan karena lapuk.”
kudengar rintihmu
ditinggal para lelaki
Lampung, 8 November 2003
MATI DI LAUT MANA
di kamar gelap ini
kau menjelma jadi boneka
rebah di sudut ranjang
menatap langit-langit hitam
napasmu jadi lautan
menggelombang syahwat
mengantar kapal ke pelabuhan
dalam getar arloji
kukirimkan pula napasku
jadi gelombang
menggerakkan layar syahwat
memutarkan kelamin
menuju pelabuhan
sebentar. pantai serasa masih
di benak. tubuh masih
mengekalkan bau pasir. Aku
belum berani meninggalkan
bau sungai dan wangi tanah
gelap. kabut luruh. kamar
makin pekat, dan kau menjelma
jadi boneka di sudut ranjang
tapi, bukan aku di sisimu
bukan perahu ini
entah kau akan mati
di laut mana?
2003-11-10
KETIKA BUKIT MASIH MENJULANG
aku mabuk dalam putaran matamu
kehilangan cahaya. jalan tanpa lampu
memasuki bajumu yang merah
ah, sepasang bukit masih menjulang
dalam anganku yang binal
sudah lama siang bukan
milik bersama. hari-hari lupa,
bunga-bunga sunyi
kini mengelopak:
memeram segala tapak
yang menjauh
dan dekat
tapi, kau masih hafal tentang
sepasang bukit yang lama ditinggal
dan perahu tua terdampar,
anak yang tenggelam
setelah hujan besar
aku lupa, mataku nanar
pada sepasang bukit
yang masih menanti
dijejaki, sepulang ini
ah, senyummu
memancar
dari balik bukit itu
selepas hujan
saat air surut
tapi, kenapa kita
tinggalkan anak binal itu?
2002-2003
KABUT ASAP
kutembus kabut asap di depan mataku
pada siang telanjang. sepasang bukit
menghadang di antara timbunan pohonan
dan ibu tersedu menjemput anak yang mati
setelah orang-orang tiba di sini
jam-jam jadi hitam
taman penuh kembang payung
dan pohonan makin tunduk
mengucap-ucap luka
yang kautabur di tanah ini
kabut asap di depan mataku
selalu jadi saksi
orang-orang menembus dunia
entah ke mana
entah sampai di mana?
08 Juni 2003
PESTA KEMILAU
Sebuah malam
kutitipkan di parasmu
rambutmu yang terikat
mencatat namaku
cintaku tertunda
malam melesat jauh
Aku datang saat
waktu risau
ranjang berkarat
ditinggal tubuh
selalu saja aku terlambat
menangkap isyarat
dan getar malam…
Sebuah malam,
setiap malam
aku menunggu
butir embun
luruh dari parasmu
dan namaku yang
tercatat di rambutmu
mengurai sebagai jalan
: aku pun menitinya
menuju taman
atau tertanam di ranjang
seperti ibu-bapakku
yang kawin
di musim hujan
pesta kemilau
semalaman
kau tak juga
memberi sehelai waktu
untuk mewarnai ubanku
Sebuah malam
tak pernah datang
menitipkan pelangi
atau kembang matahari
sore hari
saat laut berombak
hingga ke bibir pantai
memukuli batu-batu
juga dinding pembatas
: duduk kita
menghitung tapak senja
Sebuah malam
kembali lari
dan aku tak sabar
mengejar…
esok ketika kubangun
tubuhmu kaku
dalam pelukan batu!
03 September 2003
TUBUH BASAH
tubuh basah
waktu mendesah
daki jalan gelap
bagai kuda berpacu
paculah, pacu
jalan berbatu ini
agar segera sampai
di puncak
usah pandang
masa silam
yang mencipta
perkelahian-perkelahian
di jalan ini
percayakan pada kuda
agar sampai
di segala puncak
tubuh basah
hujan dalam diri
selimut menanti
untuk kita bergumul
sekali lagi
sekali lagi
muntah ludahmu
hilang lidahku
ke sungai-sungai
mencipta benih
bagi pohon
untuk para peri
dan dari tubuhmu
mendesis ular
dari masa lalu
yang pernah kutangkap
ular itu kini mendekam
dalam hati kita
melata di jalan
menuju puncak
30-06-2003
SEPERTI MEMECAHKAN SERPIHAN KACA
menata pantai
seperti memecahkan
serpihan kaca
matahari memar
di bibir ombak
di sebaris pantai
aku meruap
nama-nama yang
telah jadi kenangan
kian berbaris
di wajah pasir
anak-anak pantai
yang setiap pagi
mengecup asin laut
tenggelam ke dalam pasir
aku menubuhkan nama
dari sebaris pantai
lalu meniupkan ombak
ke dalam benakmu
menimbun kenangan
ke paling dalam
2004
LIRIK LIRIH
ke mana pantai pergi
setelah ombak menjilat?
deburnya yang selalu datang
tak akan pernah dikenang
dia pergi sebagai siponggang:
- lengang…
ke mana ombak pergi
setelah pantai menampik?
matahari akan luruh
dari balik bakau
melepas senyap
kembali ke dalammu
akhirnya kita selalu
bersua di bibir pantai
menjilati ombak
dengan segenap debar
bayangan yang membuih
akan kaucatat jadi lirik lirih
dalam degup sendat
ke mana debar pergi
setelah maut meniti?
23 juli 2004
TANGAN YANG MEMANJANG
selalu ibu cuma tersnyum
menyaksikan tangan yang
masuk ke kamar. seperti
seekor ular, desisnya
terdengar berahi
tangan yang memanjang
itu, kulihat tumbuh mata. o
tidak sepasang, dan
cahayanya samar bahkan
pekat
menyerupai tangan iblis
yang kutemukan dalam
kamar yang lain
lalu kau membawa
ke jalan-jalan
menulis janji
di tangan yang
memanjang itu
seperti memberi
garis tegas
ke dalam kitab
dan berahi itu
kini bercahaya
di perut ibu,
menggoda…
2003-2004
SEBELUM JADI KISAH
akankah kaupinjam lagi langkahku?
orang-orang masih lalulang
sepagi ini matahari tersenyum
kulihat kau masih mengulum
entah kabut, entah embun
dan masih bukit itu juga
kau akan tuju,
aku akan capai
berbasuh angin
rindu yang amat ingin
kau bersemayam di puncak itu
sedang aku menggeliat,
sambil menuruni lereng
kembali selepas lengking
akan kaupinjam lagikah langkahku?
kunaiki puncak itu,
bukit yang kaucipta semalaman
dengan beribu mimpi
sebelum jadi kisah
sebagai silam
12 September 2004
SAMPAI AKU TERJAGA
DAN MENEMUKANMU
aroma malam mengantarku
memasuki jiwamu. tidak
seperti lelaki itu
terdampar di perutmu
lalu berdoa agar badai
menyelamatkannya
dan, tiap waktu
lalu kauhafalkan
doa itu di telingaku
aku pun mengucapnya
dekat di mulutmu
sambil mengeja laut-laut
yang pernah disinggahi
tiap pulau kaumainkan
tifa. ah, tidak! kurasa
itu suara harpa,
serupa gemuruh ombak
yang membelai jiwamu
ah, ya! kurasa kautengah
menari. aku lupa gerakanmu
cuma kuhapal sekali
saat kakimu berputar
di atas perutku
kauusir badai
ombak landai
tiap waktu
kuusung lantai
ke atas kakimu
lalu kaumenari
kauhapalkan doa itu
di telingaku. aku pun
mengingatnya
di mulutmu. dan, badai
makin menjauh. jauh
cuma waktu
tak pernah pergi
tiap detaknya
mengulum malam
tidurlah, adin, tidurlah
aku selalu menjaga
tiap detak
merangkak
di perutku badai
akan segera reda
secepat ombak
sampai ke tepi
aku tak akan
berhenti menari
dan doa kutiupkan
ke telingamu
sampai aku terjaga
dan menemukanmu
di lain lantai!
Lampung 2004
adin: kakak (bahasa Lampung)
MATA PELANGI
kaubiarkan sebelah matamu
meninggalkan rumah-nya
mengembara ke dalam
kelamin semesta
seperti hujan
naiki pelangi
melesapkan angan
di setiap ingin
seperti gelisahmu
di subuh tadi
memanggil-manggil
yang jauh
sebagai suluh
lalu sebelah matamu
lari tanpa pasangan
mencari liang tak berperi
merayakan keriuhan
para lelaki
di balik hujan
5 Agustus 2004
BERATUSKALI AKU MATI
beratuskali aku mati
belum juga dibuat nisan
namaku kembali silam
sehabis hujan
kukira aku sudah sampai
pada kematian pertama
nama yang tertera
saat janji dibaca
tapi mataku kembali
membuka halaman
dan kelindan awan
berbaris minta diucap
entah waktu mana lagi
akan benar-benar
menutup mataku,
usaikan ucapku
nisankukah itu
yang belum selesai?
26 September 2004
AWAN TAK HANYA MENGABARKAN
selalu saja aku menyebutmu mawar. kau
datang entah dari pulau mana. awan tak
hanya mengabarkan, hujan
juga tak membilang
ada yang hilang
begitu kau pulang,
tapi sulit kuucapkan
karena begitu dalam kenangan
selalu saja kusebut kau mawar. datang
dari rimba dan kembali ke laut lepas
hanya tak juga sempat kutulis
: kenangan menjadi karat
aku selalu saja menyebutmu,
meski aku lupa namamu
(maafkan abaiku
pada igaku yang cuma satu!)
02 Oktober 2004
KUSUSURI MASALALU
(lagi-lagi kenangan). kususuri
masalalu. di sini matahari
telah lesap, hingga sulit
nemukan jejakku kembali…
ke mana pipiku
yang kau tampar
saat matahari memar?
di mana kau sembunyikan
jejakku yang terpeta
di sepanjang bumi itu?
pohon-pohon hilang
rumpun. daun-daun
luruh. menghapus
arah:
mengatup rumah
bagiku pulang
11 Oktober 2004
ASAP DARI KUBURKU
bayang-bayang. ah, terlalu
jauh jarak silam dengan
kini. tinggal samar
di mataku yang nanar
kuingin kembalikan
jarak hingga parak
antara pandangan
dan bayang
seperti perahu
dengan lautmu
yang selalu ingin
karam di pantai
sebelum angin
inginnya mengempaskan
tubuhku tanpa batas!
ah, terlalu jauh jarak
pantai dengan laut
seperti titik kecil
di bola mataku
muara pun lesap
di tenggorokanku kini
mengepul asap
dari kuburku
jauh di pantai
Selat Sunda-Lampung, 10-17 Oktober 2004
AKU MASUKI KOLAMMU
mata ikan itu mengatup
di kaca akuarium
sebelum fajar
hanya sekejap geliat
kemudian terbang
dengan siripnya
dan aku pun berenang
masuki kolammu
bersayap tangan
tapi, jangan
kau keringkan airku
selagi aku jadi ikan…
17 Oktober 2004
DULU AKU MINTA MATI DI LAUT
aku ingin lari dari laut
sejak ia tak lagi
memberi kehangatan
dulu aku minta mati di laut
dalam gemuruh gelombang
dilempar ke pulau tak bernama
tapi kini aku berharap di ranjang
kuhabiskan hidupku
dikubur dengan namaku di nisan
aku bukan perenang ulung
sebab itu aku menolak
sewaktu kau mengajakku,
suatu sore kelabu,
dengan penuh rayu
di ranjang aku mau berenang,
kataku dengan rayuan pula,
biar matiku menyediakan
sejengkal tanah untuk nisan
yang menulis nama dan kenangan
lalu ilalang membuat cantik istanaku
juga wangi bunga yang selalu meruap
kau tertawa. di laut pun kita mati
ada nisan yang mengekalkan
nama, katamu. sebab karang
sudah lama pula rindu
pada nama-nama
maka marilah ke laut
berenang hingga ke lumut
aku akan menepis maut
jika datang memagut,
lanjutmu sambil melambai
tapi sayang, kumau
ranjang jadi lautan
aku berenang dan terkubur
di bawah nisan
mengekalkan ihwalku
23 November 2004
SEPERTI KEMATIAN
aku dapati kematian
tiap gali rahasia perempuan
serupa mendung
di wajahmu
aku hanya rasakan
aroma peluhmu
lalu mata,
bibir yang anggur
sebagai kanal dingin:
sesunyi pelataran ini
buatku mendesah
kugotong berwaktu-waktu
mencapai pendakian
dan membongkarnya
di kanal ini
tapi, sudah berapa jauh
aku ngembara,
berapa lubang kugali
mencari temu rahasia?
engkau, perempuan, rahasia
yang sulit diselami
seperti kematian
yang kurasakan
setiap petang…
2004
PAGI: CERITA YANG LAIN
hendak pergi ke mana lagi pagi ini
dengan pakaianmu warna-warni?
hujan belum reda,
tanah basah,
cuaca kabut
dan anak-anak masih berselimut
mungkin masih ingin meneruskan
mimpinya. dengkurnya,
aduhai, seperti dalam
pelukan bunda…
rambutmu yang rapi
alismu bagai pelangi
dan bibirmu berwarna hati
seperti hendak menahan hujan
lalu langkahmu ingin mengayun
“hello…”
pintu mulai terkuak
anak-anak berdahak
(ah, tidak!
Mereka mendengkur
Memeluk kembali mimpi
yang sempat terhenti)
tapi,
tanah masih basah,
cuaca berkabut
dan rambutmu yang rapi
menggegas pagi…
hendak pergi ke mana lagi pagi ini
dengan pakaianmu warna-warni?
--lalu aku cuma menatapmu berlalu
seperti pagi tak berkabut,
tanah garing—dan
senja kelak kau pulang
hati berang:
pakaianmu basah
suaramu mendesah
“jangan tegur,
aku letih!”
ah,
anak-anak menutup rapat
tubuhnya dengan selimut
di luar cuaca makin berkabut
dan pohon sewarna lumut
Maret-April, 2005
DI DALAM SAJAK
kuberikan selampir tangan
kauterima sedepa angan…
maka apa lagi yang bisa kutulis
tentang kampung
yang beranjak dan berbiak?
di dalam sajak-sajak
angan selalu berbiak
langkah selalu hendak
beranjak,
tapi ke mana?
ohoi…
kampung kian mutung
ditandangi para pemurung
masuk dengan sembunyi-
sembunyi
saat malam kehilangan waktu
baiknya bawakan api
dari diri yang dengki
sebab yang datang
berawal malu-malu
lalu menanam tipu
--ah, tidak!-- tiada
lagi perdu di sini
kebun telah jadi halaman
juga taman-taman…
melepas sajak-sajak
seperti mengulur layangan,
angan terus berbiak
--benih dari kelaminmu--
lalu menebar rayu
: hutan sasar
17 April 2005
RISALAH INI…
serampung sore, matahari keperekan,
kau pun datang. ragu-ragu…
lancip dagu
setajam garpu
menujah senja!
Lagi ada yang luka
sore ini saat matahari
keperakan. dan kau
datang berwajah malu-malu
tapi, diam-diam
mengalungkan belati
ke lambung hari
apakah ini petaka? tak cuma bencana
yang datang berkali-kali: selepas pagi
atau serampung sore, saat
matahari berwarna perak
dan aku dengan maut tak lagi berjarak
seperti buih dengan air,
“ah tidak, sebagaimana ombak
dan pantai….”
minggu pagi,
gereja belum kembali sepi
atau kau belum melipat sajadah
sehabis duha
ada kudengar serapah
dari ceruk lautan
tiba-tiba datang
: geram?
selepas pagi ini
usai satu risalah
2004/2005
KAU MERETAS DALAM PEKAT
sudahkah kauturun gunung
sebelum kabut lenyap oleh
matahari pagi ini?
sebab kutahu semalam kau kembali
susuri leher pebukitan itu menuju
kubiarkan punggungmu meretas
di dalam pekat;
hitam waktu
selalu kauburu kesunyian
seperti tak ingin disergap riuh
lalu rumah sunyi itu didirikan
di puncak paling sepi! menyulang
lengang
selalu kau memburu sepi
seperti tak ingin dilumat gaduh
lalu leher gunung itu pula
kaususuri sambil menugal silam
sudahkah bayangan lelaki itu
tertinggal di dalam senyap?
sebab semalam kulihat kau kembali
bangunkan kenangan-kenangan
yang sempat singgah tapi tak pernah
meninggalkan anganmu. padahal
waktu selalu berubah
dan meretas karena gerah,
tak berujud
tersebab dibalut kabut:
seperti
akan kembali sunyi
2005 BAGAI SEPASANG KEKASIH
selepas gemuruh di pagi benderang itu
semua kenangan tentang lelaki suci
dan perempuan binal yang kaukisahkan
kembali menggayut di benakku:
bagai sepasang kekasih berenang
melawan gelombang; tanpa perahu,
tiada dermaga sebab telah runtuh
beberapa detik lalu…
mungkin kau adalah sisa
dari silsilah manusia
yang menulis tahilalat
di sejarah yang pekat
sebelum
menenggelamkan segala seranah
aku seperti sudah membaca sejarah
tentang orang-orang jadi ikan
dihanyutkan oleh bandang
selepas gaduh di pagi benderang itu
aku benar-benar kehilangan sejarah
tentang
kecuali tentang orang-orang
yang telah menjadi ikan
bergelimpang dalam bandang…
ESOK FAJAR KITA BERTEMU
tapi,
selain rindu aku ingin
pula jumpa. di paling
depan aku menunggu
berita yang lain
ihwal kembalinya adam
jumpa hawa setelah
bertahun-tahun
mengembara
sehabis perpisahan
usai perang itu
di sini,
kulihat kau jalan sendiri
menembus halaman sepi
usai hari kematian
di bawah guyur hujan
tanpa payung
dan,
aku berlari memburumu
cari perteduhan
tapi di halaman kosong ini
mana rumah singgah
kenapa tiada pohon rindang?
bagai merpati
hilang kekasih
kukepakkan sayapku
menuju belantara
mungkin esok fajar
kembali kita bertemu
dengan nama yang lain
juga asing
mungkin
Januari-Maret 2005
PERJAMUAN SENJA
“selamat malam
lalu tidurlah
sambil mengingat
perjamuan senja,”
katamu sebelum
ke peraduan
meski kau lupa
atau sengaja
pergi tanpa
lepas kecupan
di pipi waktu
yang kian beku
setelah itu,
“selamat malam
dan tidurlah
sambil mengingat
perjamuan senja
di altar sepi.”
hanya lambai
mungkin abai
tak melepas
kecupan sebelum
ia berlalu
ke dalam lengang
makin ragu…
28 Februari 2005; 11.43
KOTA PENUH SARANG LABALABA
peduli apa pada nama
tanganmu merangkai
sarang laba: pekat
di setiap panggil
hingga hilang gema
aku buru tanda
(tapi lelaki itu selamat
dari rencana pembunuhan
oleh sulaman liur labalaba
sebelum masuk, setelah
mereka kehilangan jejak)
mengintip berbagai goa
tak juga jumpa bunda
menimang buah kasih
-Kekasih Tuhan-
terlunta di setiap dinding
mengabarkan para hewan
hilang di hutan-hutan
peduli apa pada nama
kau hanyalah pecundang
pulang dengan gamang
untuk mengenali
penuh sarang
labalaba: lengang
setiap kau panggil
andai kau pulang
tanpa pongah
lampulampu
bercahaya di wajahmu,
kata bunda
yang kini kehilangan
Cinta…
28 Februari 2005
MENJAUHI AMBANG
“jangan datang
selagi aku belum
berbenah.”
aku terpana lalu
melupakan jalan
menuju rumahmu
kertas alamat
kubuang di parit
tak jauh dari rumahmu
tiada lagi kalam
aku telah lupa
membaca harapan
wajahmu memburam
bergoyang di daunan
seperti perjaka
yang lupa merias
rambutku kusut
dipenuhi uban
: hilang cahaya…
“jangan datang
sebelum aku berbenah
dan meninggalkan
kamar pengantin ini.”
aku bimbang
menjauhi ambang…
05 Maret 2005
DI PANTAI BERPASIR MAUT BERDESIR
perahu menuju
setelah kayuh patah
badai yang datang
dari pulau seberang
tenggelamkan pulau
batas antara laut
di manakah maut?
di pulau bersumur minyak
nafsu berbiak
tangan mencakar
dendam mengancam
di pantai berpasir
maut berdesir
tak cukup mercusuar
jadikan tanda
jika memancar kematian
setiap waktu
sebab itu,
jangan lengah
sepicing abai
angin pun kering
setelah dua pulau
semayam di putingmu
hilang, akankah
bukit-bukitmu
runtuh
lalu, mau menari
di mana jemariku?
di pantai berpasir
maut berdesir
12 Maret-20 April 2005
SEBELUM INGATAN LEBUR
sebelum ingatan
tentang masa kecil
lebur dalam mesin-waktu
baiknya tulis di dalam
matamu,
mulutmu,
juga di rambutmu
yang tak lama lagi memutih
sebelum ingatan
melarung
masa kecil yang murung
baiknya jadikan hutan
yang tumbuh
di alismu,
dagumu,
juga dalam kelaminmu
biar jadi rimba
tak lenyap
oleh gempa!
20 April 2005
HUJAN: DARI CERITA YANG LAIN
/satu/
langkahmu menjauh
ingin menanam hujan
di dalam akar pepohon
lalu menulis dingin di dahan
“kau tahu hari sudah
amat jauh dari rembulan, tapi
warna perak rambutmu
masih melambai…”
aduhai, jangan lupakan
ciuman sebelum pagi datang
ketika kau merapat di bantal
ketiak pagi meruap amis
dari keringat waktu
saat hujan bercampur garam
dan tenggelam di bawah pohon
Tapi, beri aku parit
untuk mengalirkan bau tubuhmu,
ketiak yang dipenuhi keringat
saat siang pekat
dan usah ulangi perjalanan
hujan telah menanam usiamu
di akar, di batang, di dahan
yang akan tumbuh esok
sebelum terbit matahari
selagi hujan menanam waktu
dari cerita lain
rahasia
/dua/
demikianlah. hujan berwarna putih
pagi ini ke pelukku; di matamu cuaca
berkabut, dan jalan menyusut
kususuri lorong yang terasa jauh
--alangkah jauh—
di pipimu kulihat bentangan hujan
seperti sayap-sayap burung
yang menanti pemurung
meluruh sebagai sepi…
ah! aku tenggelam
24 April-15 Mei 2005; 23.25
Kata Penutup
Memaknai Sunyi, Memasuki Kota Cahaya
Catatan Suminto A. Sayuti
Seratus biji sajak Isbedy yang dihimpun dalam antologi ini, yang terdiri atas tiga kumpulan: Nyanyi Sunyi, Menandai Tahi Lalat, dan Dari Cerita yang Lain, seperti diisyaratkan melalui judul kumpulan pertama dalam antologi ini, Nyanyi Sunyi, umumnya menampilkan suasana “sunyi dan terasing” sebagaimana dapat kita simak pada salah satu sajaknya berikut ini.
PERJALANAN PELAUT
karena laut mengajarkan rahasia badai
aku pun setia berlayar. dari pulau asing
ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut
dan lalu meninggalkan ratusan rumah
yang memendam kesepian
rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,
laut yang terapit oleh pulau-pulau
di mana tubuhku sesekali dibaringkan?
dari pulau asing ke pulau asing
aku pahami rahasia badai, aku tebarkan
benih pelaut. sementara pada kedalaman laut
kubur mengajarkan rahasia paling akhir
Suasana “sunyi dan terasing” yang mengedepan dalam hampir semua sajaknya itu diekspresikan melalui bangunan citra-citra natural. Mungkin, hal itu menandai kegelisahan dan kegundahan si aku lirik, yang boleh jadi identik dengan diri sang kreator, dalam merambah berbagai fase kehidupan: “…berlayar dari pulau asing/ ke pulai asing.” Rumah, bahkan “ratusan rumah,” ternyata hanya sesuatu yang “memendam kesepian,” hanya sebagai tempat ”istirah bagi kejenuhan kapal.” Karenanya, gelisah terus-terusan datang menghardik, dan yang tersisa cuma gumam tanya dalam diri: “di mana tubuhku sesekali dibaringkan?”
Dalam kumpulan ini yang disyairkan Isbedy adalah sesuatu yang dekat dengan dirinya sendiri: diri sebagai sesosok manusia yang konkret. Kecenderungan tematiknya adalah manusia dan kemanusiaan dengan seluruh problematiknya, dan Isbedy menaruh perhatian yang lebih pada “sunyi dan terasing,” untuk mempersoalkan nasib dan teka-teki hidup-mati, sebuah pertanyaan panjang yang tidak pernah menemu jawaban pasti sepanjang hidup manusia, atau paling tidak yang dihadapi oleh manusia lirik, sang penyair sendiri, Isbedy .
Dalam kumpulan ini Isbedy berbicara tentang manusia konkret, yang dalam bahasa Concrad Aiken “manusia dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraka di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, berikut keyakinan-keyakinan dan keragu-raguannya.” Sajak-sajak Isbedy merupakan proses sekaligus hasil pendedahan jagat cilik manusia, yakni soal penjelajahan batin yang terlunta, soal penempuhan lekuk-liku kehidupan, soal duka cita yang berkelit kelindan, yang tampaknya telah begitu dahsyatnya meneror diri penyair. Semacam terdapat “luka kehidupan” yang membekas terlampau dalam sehingga suasana sajaknya menjadi begitu dipenuhi oleh kegetiran, kepedihan, dan kemurungan yang sempurna. Baca saja sajak berikut ini.
Akan tetapi, dengan memilih dunia sunyi yang kemudian dijelajahinya, pada akhirnya Isbedy mendapatkan “sesuatu,” yakni keyakinan bahwa“…Tuhan beserta orang yang sabar” (sajak “Improvisasi II”), walaupun bayang-bayang kesendirian selalu saja menghantui setiap saat: “pada akhirnya aku kembali sendiri juga. Aroma/ pupur dari kamar sebelah, dari kota-kota yang tak pernah sunyi/ mendadar kengerian jiwaku. o, adakah yang lebih sepi selain/ diurbaniskan seperti begini?// aku kembali sendiri juga pada akhirnya. tak berkawan/ tak berfamili. didedah oleh pikuk musik jazz/ dan bau pupur itu, bau pupur itu. o!” (sajak “Pada Akhirnya Aku Kembali Sendiri”).
Bagi Isbedy, sajak adalah kesunyian karena adanya keyakinan bahwa eksistensi seorang manusia pada hakikatnya merupakan pencapaian puncak kesadaran pada saat ia berada dalam cengkeraman sunyi. Karena apa? Karena, pada saat itulah ia menjadi sadar diri bahwa ”Aku hanya kerak di liang bumimu” yang hanya bisa ”menunggu sampai musim bertukar” (sajak ”Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu”). Dan karenanya, harus ikhlas pula menerima derita apapun bentuknya:”Tubuhku hitam terpanggang, menahan/derita sepanjang kehendakmu,” termasuk ”...terlempar dari segala cuaca/... /sampai waktumu tak lagi kudengar dentingnya.”//Dan kota-kota makin jauh dariku/Aku tenggelam dan menghuni di dasar yang sunyi/sementara matahari tak terbit dari bola matamu.”
Memaknai sunyi, bagi Isbedy, akan berarti pula memaknai eksistensi secara sadar, karena melalui aktivitas memaknai dan “membaca bahasa sunyi,” kesadaran diri dalam posisi imanen dan Yang Lain dalam posisi transenden, akan diperoleh. Muara akhirnya adalah sikap pasrah dan ikhlas karena sadar diri itu.
MEMBACA BAHASA SUNYI
Seperti kayu aku ikhlas dibakar
dari waktu ke waktu. tubuhku hitam
menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu
di dasar tungku kehidupan-Mu
Aku membaca bahasa sunyi
Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu
Pada setiap sujud kusebut ketiadaan
melengkapkan arti gerimis yang gugur
di taman-taman atasnama kedamaian
Aku membaca bahasa sunyi
sehabis bara menggenapkan tubuhku
menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku lebur dalam zikir panjang
mengaji rahasia tangan-Mu
Seperti kayu
aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara
dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku terus-terusan sujud menciumi tanah
O telah kubaca bahasa sunyi
di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak
pernah menawarkan istirahat atau kedamaian
Begitu bara membakar hingga aku lebur
ke dalam sujud dan zikir
ke dalam sujud dan zikir
Derita awal manusia jugalah yang menjadi sebab musabab derita si aku lirik. Dia jugalah yang kemudian harus menanggung dan menempuh hidup penuh kegetiran dan derita. Dan karena berurusan dengan derita dunia, sepanjang itu pula Tuhan akan menjadi bayangan yang selalu menguntitnya. Karenanya, pengembaraannya “ke padang-padang/ tiada nama.” adalah sebuah “ziarah,” yakni upaya “menapaktilas/ silsilah,” yang “membekas/ di kitab alastu.” Kita baca selengkapnya:
ZIARAH ADAM DI BUMI
selepas malam terakhir
kautancapkan kecupan
aku pun menangisi luka
yang bersisa di tubuh
sampai tahun mengulang
tak juga hilang
demikian. selepas malam
terakhir itu, usai kecupanmu
tertancap dan membekas
di tubuhku. aku pun
menangisi luka masa lalu
sepanjang ziarah adam
di bumi…
ke padang-padang
tiada nama ini juga
aku menapaktilas
silsilah membekas
di kitab alastu
wahai, kau yang telah
menancapkan kecupan
hingga luka di tubuh
dan kini tengah kutangisi
mungkinkah kaupamit
untuk tak kembali?
selepas malam terakhir
kautancapkan kecupan
langitku menghitam!
Selanjutnya, dalam sajak yang berjudul “Batas Bayang dan Diri” diungngkapkan bahwa ”rumah cuma angan-angan/ yang sepi menanti” dan “Selebihnya sunyi.” Ekspresi ini dapat diperhitungkan sebagai sebuah matriks, yakni yang menjadi semacam teks dasar bagi penciptaan semua sajak Isbedy dalam antologi ini.
Tentu saja, sebagai seorang kreator, masalah yang dihadapi Isbedy tidak semata-mata berhenti pada terminal penciptaan. Isbedy niscaya tidak hanya berhenti pada sekadar pencarian dan penemuan nilai-nilai estetis yang kemudian dituangkan dalam sajak, di setiap kemungkinan penciptaan yang tersedia. Kepenyairan tidak sesederhana itu. Kepenyairan senantiasa menuntut hal yang jauh lebih kompleks dari itu.
Seorang penyair adalah seseorang yang sadar bahwa ia bukanlah seorang pekerja yang sekadar menghidupkan dan menjalankan tradisi kreatif bersajak. Karenanya, menjadi seorang penyair adalah menjadi seseorang yang senantiasa sadar akan motivasi apakah yang menjiwai sajaknya, apa yang diungkapkannya, apa yang menjadi visinya, dan bagaimanakah relevansi teks kreatif ciptaannya itu dalam konteks ruang dan waktu berikut berbagai kemungkinan yang sekiranya dapat timbul sebagai akibat itu semua.
Seorang penyair yang telah menempatkan diri pada suatu pola kepenyairan tertentu, ia senantiasa tampil dengan keutuhan ekspresi dalam setiap karyanya. “Sosok pribadi” (pinjam istilah Subagio Sastrowardoyo) -nya jelas karena idealismenya akan benar-benar terasa bertumpu pada sebuah landasan yang bersifat pribadi. Kematangan dalam mengelola gagasan serta kejelasan tendensi yang tercakup dalam ungkapan puitik seorang penyair menjadi suatu hal yang spesifik bagi dirinya: sebuah idiosinkrasi.
Seperti sudah dikemukakan, sajak-sajak Isbedy umumnya bersuasanakan sunyi ataupun terasing. Sebuah “nyanyi sunyi.” Dengan demikian, sajak-sajak yang diciptakannya memperlihatkan intensitas yang hakiki sebagai cermin kesunyian dan keterasingan. Isbedy berupaya memaknai sunyi itu, apa dan di manapun situasi itu melekat pada sesuatu yang menjadi objek pilihannya. Bahkan seringkali objek pilihannya begitu sederhana. Akan tetapi, objek-objek yang sebenarnya sederhana itu menjadi berdaya tarik sendiri karena sering dipenuhi oleh bayangan sosok kita dalam menerima suatu gejala alam. Terlebih lagi karena pilihan bentuk lirik yang menjadi pilihan Isbedy. Walaupun sajak-sajaknya menggunakan lirik persona pertama, “aku,” seringkali, karena keberhasilan dalam membangun suasana sajak dalam keseluruhannya, lirik tersebut bisa saja menandai persona lain. Karenanya, sajak-sajaknya menjadi semacam “ingatan” yang sengaja ditawarkannya kepada khalayak pembaca, yang seringkali kurang berminat dalam membaurkan diri pada objek-objek lingkungan, atau proses yang sederhana dalam hidup keseharian yang menjadi pilihan Isbedy tersebut. Kita baca dua sajak berikut ini.
SEPERTI SEMUT
Sajak-sajak di atas sesungguhnya hanya bertolak dari hal keseharian yang sederhana, soal “semut” dan “daun gugur,” yang sering luput dari perhatian kita. Akan tetapi, dalam sajak di atas kedua hal yang sederhana itu oleh penyair dijadikan amsal “nasib manusia.” Semut dan daun gugur tidak berhenti sebagai gejala mimesis, tetapi diposisikan sebagai sesuatu yang semiosis; yang ikonis ditransformasikan menjadi simbolis. Dengan cara demikian, makna sajak pun menjadi terkedepankan, apalagi Isbedy menempatkan kedua hal itu dalam konstelasi “nyanyi sunyi” kegelisahan spiritual: ”hatiku gemetar/ memandang namaku/ yang mencari-cari rumah/ akhirku”(sajak “Ada Daun Gugur”); ”menghitung-hitung perbukitan yang didaki/ rasanya baru kemarin kita dilahirkan” (sajak ”Seperti Semut”).
Intensitas penghayatan lingkungan yang mengkondisikannya secara individual bagi Isbedy telah menjadi sumber inspirasi kreatif penciptaan sajak-sajaknya, yang umumnya diekspresikan melalui bangunan citra yang melaluinya si aku lirik mengidentifikasikan diri. Intuisi kreatifnya dalam menjelajahi objek-objek yang berada di sekitarnya, yang kadang begitu sederhana, seringkali mampu menghadirkan suatu proses timbal balik antara penyair dan pembacanya. Terdapat kesan yang mendalam tatkala mencermati sajak tersebut. Dengan bentuknya yang sederhana, seringkali sejumlah sajak Isbedy mampu mengajak kita untuk bersegera melihat hakikat diri, melihat hakikat eksistensial kita sebagai manusia. Simaklah misalnya sajak pendek berikut ini.
EPITAPH
ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari
yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan
ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup
lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya
menyilang langkah
Kolokasi kata-kata yang membangun sajak di atas sederhana saja. Akan tetapi, di balik kesederhanaan itu tersedia ruang bagi siapapun yang membacanya secara sungguh-sungguh untuk melakukan refleksi diri. Sajak di atas membawa kita untuk kembali merenungkan persoalan sangkan paran, sesuatu yang sering hilang begitu saja di tengah hibuk keseharian kita. Sajak di atas mengingatkan kita tentang ketidakberdayaan kita ketika saat akhir tiba, saat “ketika tanah ditimbunkan…” dan “ sebongkah kayu ditancapkan…” Kematian itu, siapa bisa menolak, bahkan “ada yang tak sempat berucap.” Jadi untuk apa kita sombong dan takabur ketika disadari bahwa kita cuma sebuah “patung” yang hanya mampu ber-“solilokui” (sajak “Solilokui Patung”). Bahkan kita pun tak berdaya ketika ”..............kau lukai dengan/ pisau sehabis diasah.” Kita hanya bisa menahan ”perih” itu ”dari hari ke hari,” hanya bisa menerima nasib kita sebagaimana adanya: ”terus kau sileti aku jadi garis-garis/ jadi bentuk jadi rupa. rupa yang kau inginkan.” Ya, kita memang cuma ”...kayu tak bernilai.“
Selamat dan salam budaya.
Kertodadi-Pakembinangun: 31 Agustus 2005
-endorsement-
Dengan rangkaian citra yang membaurkan alam benda dan alam batin, perjalanan dalam ruang dan waktu, sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS sering memerikan sesosok manusia yang meradang oleh haru-biru dunia namun merindu terpukau rahasia sunyi di baliknya. Kata-kata lembut dan keras bisa bertemu, kadang seperti berbenturan, menyuarakan getar gairah maupun kecemasan, kepedihan maupun kekhusyukan. (Hasif Amini, redaktur puisi Kompas, 2005)
Saya seperti menemukan anak saya yang hilang pada puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS. Saya juga melihat ada maut mengendap di sana . Maut yang diolah dengan kekuatan metapor dan bahasa penyair sejati. Jalinan kata dan peristiwa dalam puisi Isbedy, membuat puisinya sangat berkedalaman. Di tangannya, kata-kata hidup dan berbiak-biak jadi pecahan-pecahan semesta: rumput yang menyimpan maut. Di puncak kepenyairannya, ia telah mengalami kematangan, meninggalkan roman picisan atau seks yang kehilangan bunyi—seperti banyak diteriakkan seniman belakangan ini. (Hudan Hidayat, cerpenis/novelis, 2005)
Puisi-puisi Isbedy amat romantis, kata-katanya pun sangat jernih. Sebuah puisi tentang senar gitar yang putus atau dering telepon yang memanggil itu saja, tetaplah sebuah puisi yang baik ketika penulisnya mampu mengomunikasikan perasaan dengan pembacanya. Inilah salah satu yang kusuka dan kukagumi dari puisi-puisi Isbedy: keberhasilannya berkomunikasi. (Djenar Maesa Ayu, cerpenis/novelis, pada Aku Tandai Tahi Lalatmu, 2003)
1 bahasa Lampung berarti rumah
2 rumah besar untuk musyawarah adat bagi orang Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar