16 November 2007

Memahami Global dengan "Lidah" Lokal


Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2007


Oleh Isbedy Stiawan ZS

Ubud Writers and Readers Festival masih dianggap penting. Karena itu, festival yang digelar setiap tahun pada September itu perlu dipertahankan. Alasannya, festival yang digagas Yayasan Saraswati dan melibatkan tak kurang 80 penulis dunia itu, sebagai festival berskala internasional. Pujian dari Harper’s Bazaar sebagai "satu dari enam festival literatur terbaik di dunia" bisa menjadi ukuran festival ini dijadikan pintu bagi para penulis Indonesia untuk go international.

Demikian kesimpulan dari diskusi kecil di sela-sela Ubud Writers and Readers Festival yang berlangsung 25-30 September 2007 bersama HIVOS di Toko-Toko Ubud, Jumat (28/9). Hadir dalam diskusi untuk memberikan masukan bagi panitia di tahun mendatang, antara lain Finlencia dari HIVOS, Ahmad Tohari, Marhalim Zaini, Debra H. Yatim, Ratih Kumala, Isbedy Stiawan Z.S., Wiratmadinata, dan Eka Kurniawan.

Ubud Writers and Readers Festival tahun ini memasuki penyelenggaraan kali keempat. Diikuti tak kurang 80 penulis dunia, antara lain Abé Barreto Soares (Timor Leste), Adam Skolnick (Amerika), Lee Hye-Kyung (Korea), Madeleine Thien (Kanada), Alexander Deriev (Swedia), Manuka Wijesinghe (Sri Lanka), Marele Day (Australia), Ann Lee (Malaysia), Azhar Abidi (Australia), Christopher Merrill (Amerika), Nury Vittachi (Hongkong), Patrick Gale (Inggris), E.B. Maranan, Angelo Suarez (Filipina), Giannina Braschi (Amerika), Rana Dasgupta (India), Iman Mersal (Mesir), Sema Kaygusuz (Turki), Susan Allen (Kanada), Tusiata Avia (New Zealand), dan Kiran Desai (India/Amerika).

Sedangkan dari Indonesia di antaranya Isbedy Stiawan, Debra H. Yatim, Marhalim Zaini, Ahmad Tohari, Ratih Kumala, Dorothea Rosa Herliany, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, dan lain-lain.

Ellen --panggilan Finlencia-- mengakui Ubud Writers Festival tahun ini sedikit lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tempat kegiatan tidak sebanyak dan tersebar seperti sebelumnya, sehingga para peserta dimudahkan dalam hal transportasi. Selain itu, dengan cara kurasi buku untuk menjaring para penulis bisa terukur kualitas peserta. "Saya kira panitia sudah bekerja maksimal. Namun, kalau ada kekurangan, itu biasa, dan perlu dimaklumi," ujar Ellen.

Meski pemilihan penulis --terutama dari Indonesia-- melalui kurasi buku, tenryata masih ada penulis yang diundang tanpa lewat "aturan" tersebut. Contohnya, Cok Sawitri (Bali) yang tak tergeser diundang sejak festival pertama, Dorothea Rosa Herliany, Ahmad Tohari, dan Debra Yatim. Bahkan, Tan Lioe Ie (penyair Bali) suatu ketika bertanya kepada saya (melalui SMS) mengapa para penulis luar Indonesia dipilih tidak melalui kurasi. "Jelas-jelas diskriminasi terhadap penulis Indonesia!" tandas Tan Lioe Ie.

Maka, untuk tahun-tahun depan, panitia Ubud Writers Festival harus konsekuen memberlakukan "aturan" kurasi untuk seluruh peserta. "Kurator bisa ditunjuk panitia atau lembaga semacam HIVOS terhadap individu penulis yang dianggap bisa mewakili semua kelompok yang kalau memang ada, sehingga hasil kurasinya tidak dilatari kedekatan atau kelompoknya saja," ujar Marhalim Zaini.

Usulan penyair Riau itu disetujui penulis yang hadir. Saya mengharapkan festival sekelas Ubud Writers Festival hendaknya dibebaskan dari kepentingan-kepentingan kelompok (komunitas) penulis yang ada. "Kalau ingin festival makin menjadi yang terbaik di dunia, harusnya dari penjaringan penulis sampai penentuan peserta yang akan hadir benar-benar selektif."

Sementara itu, Eka Kurniawan juga mengusulkan agar penulis yang telah diundang tidak boleh ikut pada tahun berikutnya. "Dengan demikian, dari festival ini juga bisa dijadikan forum untuk mencari bibit penulis baru," katanya.

Ratih Kumala sependapat dengan Eka. Ia masih melihat adanya penulis yang bisa diundang dua kali atau lebih ke festival ini. Hal itu akan menghambat kesempatan penulis lain. Apalagi kegiatan ini sudah berlabel sebagai festival penulis internasional. "Jadi, asumsinya juga harus meng-internasional," timpal Marhalim lagi.

Memang, soal bobot internasional itu masih mengganjal sebagian penulis Indonesia. Panitia masih berpikiran bahwa kesan internasional itu lebih didominasi pada penyajian makanan dan kesan "glamor" sebuah festival penulis. Contohnya, pada coctails party di Four Seasson Hotel. Acara malam ramah-tamah sebelum festival dibuka 26 September pukul 17.00 WITA itu hanya dihadiri sedikit penulis Indonesia. Kebetulan saya diminta membacakan dua puisi di acara itu. Namun, karena sedikitnya penulis Indonesia di acara itu, saya merasa "asing" di antara penulis luar negeri. Apalagi bahasa Inggris saya terbatas, sehingga membuat saya makin terpuruk di kumpulan para penulis manca negara itu.

Sajian makanan pun benar-benar selera bule. Nah, saya yang hendak masuk ke wilayah "global" dengan lidah "lokal" jelas sangat bermasalah. Lalu, pada dinner di Waroeng Arys atau Wine Testing and Readings di Casa Luna, sungguh lidah "lokal" tidak berselera mencicipi hidangan yang disajikan. Sambil bergurau, beberapa peserta dalam negeri berkata: "Bagaimana bisa mengenyangkan, makanan yang disajikan untuk lidah saja hanya numpang lwwat." Akibatnya, kami melanjutkan makan malam di tempat lain untuk memanjakan selera lidah lokal.


Kendala Komunikasi

Soal bahasa juga menjadi kendala komunikasi dalam Ubud Writers and Readers Festival. Sebab, tidak semua penulis Indonesia bisa berbahasa Inggris dengan baik. Yang fasih sebagai pendengar pun boleh dibilang bisa dihitung dengan jari. Padahal, bahasa komunikasi saat festival seperti itu sangatlah penting. Bagaimana mungkin kita bisa menggali persoalan kepenulisan (kesastraan) dari negara lain jika alat komunikasinya tidak dikuasai. Begitu pula sebaliknya, para penulis luar juga tak bisa "masuk" ke dalam persoalan sastra Indonesia apabila mereka tak memahami bahasa Indonesia atau tiadanya buku-buku sastra Indonesia yang telah ditranslit ke dalam bahasa Inggris, kecuali buku Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, buku Dorothea Rosa Herliany, dan kumpulan puisi Debra H. Yatim.

Itu sebabnya, Wiratmadinata (Aceh) yang membawa cukup banyak buku terbitan Tikar Pandan dalam bahasa Indonesia harus membawa pulang, karena tak terjamah pembeli. Sedangkan Marhalim Zaini yang berencana menjual buku kumpulan cerpen Amuk Tun Teja karyanya memutuskan untuk membagi-bagikan kepada teman daripada dipajang untuk dijual. Para penulis dan pembaca luar negeri lebih suka membeli buku-buku berbahasa Inggris. Sementara pada sesi seminar performance arts yang menghadirkan Wiratmadinata (Aceh), Angelo Suarez (Filipina), dan Miles Merrit (Australia), moderator justru meminta Wiratmadinata membacakan puisinya dalam bahasa Indonesia karena lebih indah (estetis). Tetapi, Wira kiranya lebih memilih puisinya dalam pengucapan bahasa Inggris.

Memang untuk sesi pembacaan puisi, panitia sudah menerjemahkan karya-karya sastra ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris melalui proyektor. Tetapi, untuk tahun mendatang saya mengusulkan adanya penerbitan buku para penulis Indonesia dalam bahasa Inggris. Misalnya, para penulis yang lolos seleksi kurasi diminta mengirimkan karya-karyanya (untuk puisi misalnya 40 judul puisi, cerpen lima judul, dan seterusnya) untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau Indonesia, kemudian diterbitkan oleh panitia dengan mencari sponsor. Buku-buku sastra yang sudah diterjemahkan itulah yang dipasarkan, sehingga karya-karya sastra para penulis Indonesia benar-benar memasuki dunia global dan dibaca para penulis dari luar.

Selain penerbitan buku sastra berbahasa Inggris, tak kalah penting, ke depan panitia tidak saja menyiapkan relawan penerjemah pada sesi-sesi diskusi. Ada baiknya, setiap peserta --baik dari Indonesia ataupun luar negeri yang bermasalah dengan bahasa Inggris-- dapat didampingi oleh satu penerjemah. Dengan begitu, percakapan di luar sesi diskusi yang kadang lebih bermanfaat untuk menjalin persahabatan dan membuka link internasional seperti diniatkan oleh festival ini, bisa terpenuhi. Ubud Writers and Readers Festival pun jadi tidak sia-sia lantaran sudah dianggap sebagai festival kelas dunia.



Sumber: Jawapos, Minggu, 07 Okt 2007

SAJAK-SAJAK ISBEDY STIAWAN ZS



Kau Meretas dalam Pekat

sudahkah kauturun gunung
sebelum kabut lenyap oleh
matahari pagi ini?

sebab kutahu semalam kau kembali
susuri leher pebukitan itu menuju
vila kecil di puncaknya, dan
kubiarkan punggungmu meretas
di dalam pekat;
hitam waktu

selalu kauburu kesunyian
seperti tak ingin disergap riuh
lalu rumah sunyi itu didirikan
di puncak paling sepi! menyulang
lengang

selalu kau memburu sepi
seperti tak ingin dilumat gaduh
lalu leher gunung itu pula
kaususuri sambil menugal silam

sudahkah bayangan lelaki itu
tertinggal di dalam senyap?

sebab semalam kulihat kau kembali
bangunkan kenangan-kenangan
yang sempat singgah tapi tak pernah
meninggalkan anganmu. padahal
waktu selalu berubah
dan meretas karena gerah,

tak berujud
tersebab dibalut kabut:
seperti vila itu
akan kembali sunyi
2005


Seperti Kematian

aku dapati kematian
tiap gali rahasia perempuan

serupa mendung
di wajahmu
aku hanya rasakan
aroma peluhmu

lalu mata,
bibir yang anggur
sebagai kanal dingin:
sesunyi pelataran ini
buatku mendesah

kugotong berwaktu-waktu
mencapai pendakian
dan membongkarnya
di kanal ini

tapi, sudah berapa jauh
aku ngembara,
berapa lubang kugali
mencari temu rahasia?

engkau, perempuan, rahasia
yang sulit diselami
seperti kematian
yang kurasakan
setiap petang…
2004, Lampung


Bagai Sepasang Kekasih

selepas gemuruh di pagi benderang itu
semua kenangan tentang lelaki suci
dan perempuan binal yang kaukisahkan
kembali menggayut di benakku:

bagai sepasang kekasih berenang
melawan gelombang; tanpa perahu,
tiada dermaga sebab telah runtuh
beberapa detik lalu…

mungkin kau adalah sisa
dari silsilah manusia
yang menulis tahilalat
di sejarah yang pekat

sebelum kota menjadi punah
menenggelamkan segala seranah
aku seperti sudah membaca sejarah
tentang orang-orang jadi ikan
dihanyutkan oleh bandang

selepas gaduh di pagi benderang itu
aku benar-benar kehilangan sejarah
tentang kota yang memendam seranah
kecuali tentang orang-orang
yang telah menjadi ikan
bergelimpang dalam bandang…
2004/2005

Sumber: KOMPAS, Minggu, 20 Februari 2005



Isbedy, 'literary pope' of Lampung


Oyos Saroso H.N.
Bandarlampung


No discussion about modern Indonesian literature in Lampung would be complete without touching upon Isbedy Stiawan ZS. The father of five, with two grandchildren, is now undeniably Lampung's literary icon.

He is the driving force for literary activities carried out by the new generation of Lampung writers. It is only apt, therefore, that noted Indonesian literary critic, the late HB Jassin, once called him "the literary pope of Lampung".

Unlike other regions in Sumatra, like West Sumatra province, for example, where modern literary activities began in the 1920s, such activities in Lampung generally did not begin until the 1970s following the emergence of young writers like Isbedy Stiawan, Asrori Malik Zulqornain, Iwan Nurdaya Djafar and Syaiful Irba Tanpa.

Of these four literary pioneers in Lampung, only Isbedy is still productive as a writer today. The other three, Asrori, Iwan and Syaiful, are now working as civil servants, Isbedy is a full- time writer. He spent only a short time working as a civil servant in the province's animal husbandry service.

Aged 47 now, Isbedy's strength as a writer is growing. In the past three years, for example, he has produced a great number of short stories and poems and published them in many different mass media.

"When my two grandchildren were born and I stopped working as a journalist, my enthusiasm to write surged uncontrollably. I do not wait for inspiration to hit me. Instead, I actively look for inspiration and create poetic moments," he said.

Throughout 2004, for example, four of his books were published. These included, Bulan Rebah di Meja Diggers (The Moon Lies Down on Diggers Table), an anthology of short stories published by Beranda in August, and Dawai Kembali Berdenting (Musical Instrument Strings Give the Twang Again), another anthology of short stories, published in November by Logung Pustaka.

Perempuan Sunyi (Women in Silence), another anthology of short stories, was published by Gama Media in December, and Dongeng Sebelum Tidur (Bedside Tales), stories for children, was published by Beranda in September.

The year 2005 has so far seen the publication of two of his collection of short stories, namely Selembut Angin Setajam Ranting (As Gentle as the Wind, As Sharp as the Twig, LP Publishing House, April) and Seandainya Kau Jadi Ikan (If You Turned into a Fish, Gramedia PustakaUtama, May), an anthology of short stories.

His new collection of short stories, Hanya untuk Satu Nama (Only for One Name, Bentang, Yogyakarta) will see the light of day in June.

As of now there are about 300 poems and 100 short stories to his credit. Aside from being published in nearly all print media publications in Indonesia, his stories and poems have been published in five anthologies of his poetic work and dozens of anthologies together with other poets' work.

Some of his poems have been broadcast on German radio station Deutsche Welle, performed as musically oriented poems by poet Geoff Fox of Australia and performed on the theatrical stage in Lampung.

"I will continue writing until my hand can no longer write and my mouth can no longer utter literary works. This will happen when the cultural editors in the mass media and the publishers reject my work.

"As long as my work is acceptable, I will continue to write. I live on writing. With my poems and short stories I feed my family," he said.

In the last four years, following his resignation as a journalist, he has relied completely on writing as a means of living to feed his family. He is very disciplined over how he manages his time.

"As a writer, I stick to a clear work schedule. Each day I write between 7:30 a.m. and noon and between 7:30 p.m. and 1 a.m. the next morning. Once I'm at my computer, ideas come freely to me. I don't plan the ending of my stories," he said.

Although he spends most days writing, Isbedy still sets aside some time to meet his fellow writers and fans. Sometimes he presents a paper at a seminar or gives a cultural address. At other times he does poetry readings and takes part in protest rallies at the provincial legislative assembly in an effort to persuade provincial legislators to pay more attention to budgetary allocations for the poor.

When the tsunami hit Aceh, he and a number of non-governmental organizations pioneered the establishment of Lampung Ikhlas (Sincerity of Lampung), an association made up of various non-governmental organizations and individuals, with the common purpose of distributing relief aid and sending volunteers to Aceh and North Sumatra.

"I live in the community. The characters in my stories are taken from the community. It is impossible for me to avoid social problems and live in an ivory tower," he said, explaining why he was involved in nonliterary activities.

Christian Heru Saputro, his friend and also a loyal reader of his works, has said that Isbedy is not choosy about the mass media he sends his stories to. "He sends them to literary journals and women's tabloids and radio stations. That's why his works are popular not only among the literati but also housewives and high-school students," he said.

Saputro also said that Isbedy's early poems contained a strong sufic element. In the years following reform, however, his works have centered more on social problems. The problems in his stories are derived from daily social problems, too.

"If you are to find his weaknesses, perhaps they are his stubbornness and his refusal to compromise. Besides, sometimes he is too strong when he lashes out at the regional administration. As a fellow member of the executive board of Lampung Arts Council, I'm often worried that the provincial budget is the source of finance for our council," said Saputro.

Isbedy began his work as a writer with hard work. In the late 1970s Isbedy tended his parent's cake stall and spent a lot of time reading there. Later, he recorded the experience in a story and sent it to RRI Tanjungkarang (the local radio station), to be broadcast on the station's youth program.

Although he was only a senior technical school graduate, young Isbedy never stopped learning. He learned how to write poems and short stories by himself. After a drama rehearsal, for example, he would discuss literary matters with his friend. That way he improved his creativity as a writer.

Although none of his five children followed in his footsteps as a writer, they nevertheless appreciate works of literature.

They often take things to read from his bookshelves.

Sumber: The Jakarta Post, 30 Mei 2005

Laut dalam Puisi Isbedy Stiawan ZS

Resensi Buku M. Arman AZ




Judul buku : Perahu di Atas Sajadah (kumpulan puisi islami)
Pengarang : Isbedy Stiawan ZS
Penerbit : Bukupop, Jakarta
Cetakan : Oktober 2006
Halaman : xii + 84 hlm.

Di awal tahun 1980-an, pemikiran sufisme menjadi tren dalam dunia perpuisian Indonesia. Puisi-puisi sufistik di masa itu ditandai dengan banyaknya "penyair-penyair sufi" seperti Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D. Rahman, Soni Farid Maulana, Isbedy Stiawan ZS, Mathori A. Elwa dan lainnya.

Zaman berubah dan dua dekade telah berlalu dari era sastra sufistik tersebut. Dari sejumlah nama penyair yang berada dalam gerbong sastra sufistik itu, salah satu yang masih setia bertahan dan tetap produktif hingga kini adalah Isbedy Stiawan ZS. Nyaris setiap minggu puisi atau cerpennya muncul di rubrik sastra media massa nasional dan daerah.

Pada perkembangannya, puisi-puisi Isbedy sepanjang tahun 90-an melepaskan diri dari label atau tren sufistik tahun 80-an. Puisi-puisinya sepanjang tahun 90-an jauh lebih padat, liat, dan sesekali terselip nuansa erotik. Kemudian, tahun 2000-an, puisi-puisi Isbedy cenderung bertipografi pendek-pendek, lebih "cair", dan "mudah ditafsir". Namun apalah arti bentuk atau ruangan; bukankah yang bermakna adalah isinya? Yang tak berubah dalam isi puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS adalah dominasi gaya ungkap naratifnya. Dari sinilah kemudian tercipta narasi liris, terjalin dialog tak langsung dari aku-lirik, oleh aku-lirik, dan untuk aku-lirik.

Oktober 2006, Isbedy Stiawan ZS kembali meluncurkan buku kumpulan puisinya berjudul "Perahu di Atas Sajadah". Yang membuat buku ini sedikit berbeda, selain langkanya penerbit yang berani menerbitkan kumpulan puisi, seluruh puisi yang terangkum dalam buku ini adalah puisi islami (saya lebih suka menyebutnya puisi religius).

Apakah Perahu di Atas Sajadah ini merupakan buah dari klangenan Isbedy pada era puisi sifistik tahun 80-an? Dalam pengantar buku ini, Isbedy memaparkan secara singkat bahwa meskipun puisi-puisinya mengikuti fenomena yang terus berubah, namun dia mengakui masih rindu mengekspresikan "kerinduan Illahi" ke dalam puisi-puisinya.

Buku kumpulan puisi religius ini dipilah menjadi dua bagian, yaitu "Perahu" dan "Di Atas Sajadah". Cermatilah semua puisi yang ada di bagian "Perahu". Jika jeli, kita akan memergoki kata "laut" dalam setiap puisi, bahkan di setiap halamannya. Rasanya kurang tepat jika ini disebut suatu kebetulan atau kesengajaan. Sebab jika menengok kembali beberapa kumpulan puisi Isbedy sebelumnya (Aku Tandai Tahi Lalatmu, Menampar Angin, Kota Cahaya, Salamku Pada Malam), kita juga akan menemukan banyak kata serupa.

Tanda (berupa benda, tempat, setting ruang, dan waktu) menjadi ciri khas puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS, sastrawan yang lahir dan besar di Lampung ini. Namun semua tanda itu bukan menjadi sekedar latar atau sesuai dengan arti referensialnya saja. Tanda-tanda itu, dalam puisi Isbedy, telah mengandung gagasan, makna, atau citraan baru, yang tentu saja memerlukan tafsir baru untuk menangkap pesan yang tersembunyi didalamnya.

Lantas, mengapa laut yang mendominasi puisi-puisi Isbedy? Mungkin kita dapat secuil petunjuk dari beberapa puisi dalam buku ini: Laut telah lahir dalam tubuhku/ini waktu aku mesti memasuki gemuruh ombakmu/malam yang lengang parasmu yang selalu kukenang/dimana kulabuhkan rinduku ini? (Laut Lahir Dalam Tubuhku). Atau bisa juga ditemukan petunjuk lain, seperti: Hanya pada keluasan laut/aku bisa tahu batas pantai/maka kularungi perahu dalam diri/menyerpihi badai demi badai (Perahu Meninggalkan Pantai). Laut dan segala yang berkaitan dengannya (pantai, ombak, perahu, dermaga, mercu suar) menjadi semacam clue (penanda/petunjuk) dalam mayoritas puisi-puisi Isbedy. Barangkali kerinduan Illahi yang coba di jelaskan Isbedy itu pun bisa kita temukan dalam puisinya: Engkau maha-laut/bagiku berlayar/malam malam (Perahu Meninggalkan Pantai).

Kumpulan puisi Perahu di Atas Sajadah ini memuat 35 puisi Isbedy yang dibuatnya selama dua dekade terakhir (1980-2000an). Ada dua puisi yang lumayan panjang, yaitu Khalwat (I-XXX) dan Perahu Meninggalkan Pantai (1-10). Usai ber-"Perahu di Atas Sajadah", awal tahun 2007 Isbedy akan meluncurkan dua buku puisi lagi, yaitu "Lelaki yang Membawa Matahari" dan "Laut Akhir". Ah, lagi-lagi laut.

Isbedy seakan tak kehabisan energi untuk menafsirkan laut ke dalam puisi-puisinya. Entah itu laut dalam makna fisik ataupun dalam makna batin. Seperti perahu yang merindukan dermaga, seperti ombak yang tak letih mencari pantai, mungkin begitulah Isbedy dan ihwal "laut"-nya. Sebagaimana tertulis dalam bait berikut: Bahkan sudah/berkali kuinjak pantai/belum juga kukenal/warna pasir/rasa pantai (Belum Kukenal Warna Pantai).

Sampai kapan Isbedy akan menjadikan laut sebagai rajah dalam puisi-puisinya? Hanya dia sendiri yang tahu, sebagaimana yang dia tuliskan: Pelaut sejati/tahu kapan mati/seperti puisi/sembunyikan arti (Seperti Pelaut). ***

BIODATA PENULIS
M Arman AZ lahir di Telukbetung, 30 Mei 1977. Menulis Cerpen, cerita anak, esai dan resensi di Lampung Post, Trans Sumatera, Republika, Kompas, Hai, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Nova, Suara Karya, Sinar Harapan, Annida, Kartini, Riau Post, Majalah Sastra Tepak (Riau), dan majalah Sastra Horison. Kini berdomisili di Jalan Hasanudin No 42/74, Telukbetung, Bandarlampung - 35211.

Sumber: Suara Larya, Sabtu, 6 Januari 2007

Ngobrol Bersama Isbedy Stiawan ZS

Nyaris tak ada bedanya, antara pemusik Peterpan dan Isbedy Stiawan Zs. Kita bisa disergap kapan saja, dan di mana saja. Bukalah koran minggu sejumlah media. Anda akan kepergok dengan karyanya, entah puisi, esay atau cerita pendek (cerpen). Kami pernah beberapa kali menemukan kasus ia muncul dengan sejumlah karya di sejumlah media dalam hari bersamaan. Baru-baru ini, Bang Is, kami menyebutnya, langsung melepas dua buku, seperti menjadi "tahilalat" bagi penulis produktif ini. Buku yang pertama adalah buku kumpulan puisinya, Kota Cahaya (Grasindo, 2005), dan yang masih anget adalah kumpulan cerpen Hanya untuk satu Nama (Bentang, 2005). Ia sempat memberi kabar, kalau buku kumpulan puisinya yang memuat 100 puisinya akan segera terbit dengan judul Dari Dunia Lain, lalu entah kenapa judul yang beraroma gentayangan itu dirubah menjadi Kota Cahaya.

Seorang rekan kami yang bekerja di Harian Koran Tempo selalu "mudik mingguan" ke Bandar Lampung. Tapi, ia kesulitan bertemu dengannya, lantaran ia kelihatan begitu sibuk menulis. Kami pikir itu anggapan karena ia selalu tepat jadwal untuk menulis lantaran pilihan hidupnya kini 100 persen hidup dari menulis. Bre Redana dari Harian Kompas menjuluk: "Si Hebat dari Lampung" ketika kami bertanya perihal pengarang kelahiran Tanjungkarang, 5 Juni 1958 ini.

Dengan beberapa tahap proses pewawancaraan ini, dan membuat serakan obrolan ini dengan lanturan dan sejumlah garnish di sana sini-yang semoga masih enak dikunyah- kami menyajikannya untuk Anda, pembaca Sriti.com yang baik… ***

*) Bagaimana Anda melihat diri sendiri di mata para pembaca sastra kita?

Masyarakat pembaca lebih mengenal sebagai penyair (penulis puisi), padahal karya sastra pertama sekali dimuat media massa nasional justru cerita pendek pada 1979: sebuah cerpen bertema sosial wong cilik-pedagang kaki lima yang berhadapan dengan petugas ketertiban umum (tibum).

Tetapi selepas 1981-an beralih menulis puisi. banyak memublikasikan puisi-puisi di Pelita, Yudha Minggu, Swadesi, ataupun Simponi, juga Harian Merdeka. Itu sebabnya ketika Forum Puisi Indonesia 83-sebuah forum penyair Indonesia-yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, dimana penyair yang ikut waktu itu antara lain Afrizal Malna, Kriapur (alm), Oewik Sanuri Emwe (alm), BY Tand, dan lain-lain, memberanikan diri menyaksikan forum itu. Beberapa penyair peserta forum sudah mulai mengenal. Dan saat itu bertekad, jika DKJ mengadakan forum sejenis pada beberapa tahun mendatang, harus diundang. "Semangat" itulah yang memicu untuk produktif dan kreatif.

Merambah media Berita Buana yang gawang budayanya dipegang penyair Andul Hadi WM (kebetulan pula penyair ini adalah Ketua Komite Sastra DKJ). Dan ketika Forum Puisi Indonesia 87 digelar, salah satu penyair asal Lampung yang diundang bersama beberapa penyair Lampung lainnya. Forum ini "membaptis" -bersama beberapa penyair Indonesia: Acep Zamzam Noer, Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana, untuk menyebut beberapa nama-sebagai penyair yang menampakkan kematangan dan "penyair masa depan". Penilaian ini dikemukakan oleh Sutardji Calzoum Bachri dan Abrar Yusra yang bertindak sebagai pembahas puisi-puisi para penyair Forum Puisi Indonesia 87. Dari forum ini sebuah puisi dimuat Horison tanpa saya mengirimkan ke majalah sastra tersebut. Pada 1989 kembali diundang DKJ untuk membacakan puisi bersama dua penyair Lampung.

*) Pada saat itu, Anda mulai "menyergap" pembaca dengan sejumlah tulisan?

Sebenarnya pada kurun ini saya tidak saja terfokus pada penulisan puisi. Karena "kebutuhan hidup" tersebab saya baru beberapa tahun menikah, membuat harus menulis apa saja: puisi, cerpen, esai, resensi buku, pengulas puisi-puisi anak-anak di Eska Kecil Suara Karya dan halaman anak-anak Pelita. Saya harus ambil/memilih peran "tukang" menulis. Tetapi, karena puisi-puisi dipublikasi di media massa bergensi seperti Berita Buana (Abdul Hadi WM), Pelita (HS Djurtatap), Suara Karya (Ateng Winarno) dan termasuk harian Terbit, membuat pembaca sastra menempatkan sebagai penyair tinimbang cerpenis ataupun esais.

*) Proses "ketenaran" Anda sebagai penulis itu apakah tergolong lambat atau cepat?

Sebagai sastrawan sebenarnya tergolong paling lamban "melambung-lambung" alias tenar. Dibanding Dorothea Rosa Herliany, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noer, Soni Farid Maulana, atau pun Jamal D. Rahman yang juga alumni Forum Puisi Indonesia 87, kesastrawanan tidak secepat melejitnya nama-nama penyair itu. Kalau "keberhasilan" penyair diukur dari undangan sastra di negara-negara Eropa, maka tak pernah mendapat kesempatan itu. Bahkan untuk pertemuan Mastera, pun tak pernah "mencicipi". Baru pada 1999 diundang Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Malaysia dan Dialog Utara VII di Thailand.

Sepanjang kepenyairan, saya baru memiliki dua buah kumpulan puisi yang diterbitkan oleh sebuah penerbit. Ini jelas "menyiksa" hati saya, meski saya maklum bahwa penerbit memang tak mau gulung tikar hanya karena menerbitkan kumpulan puisi. Kedua buku puisi saya yang telah beredar adalah Aku Tandai Tahilalatmu (Gama Media Yogyakarta, Januari 2003) dan Menampar Angin (Bentang Yogyakarta, Oktober 2003). Pada tahun itu pula, saya mendapat "angin segar". Ternyata penerbit Syaamil Bandung mau menerbitkan cerpen-cerpen saya, dan penerbitan buku cerpen ini sebelum kedua buku puisi saya itu terbit.

Saya pun mulai menimbang-nimbang. Ternyata penerbitan buku prosa lebih cepat mulus ketimbang puisi. Saya juga mulai kembali menekuni cerpen yang sempat untuk sementara saya tinggalkan, karena "suntuk" menekuni penulisan puisi.

Dari sini dapat diambil benang merah atas pertanyaan mengapa saya menulis cerpen? Karena memang selain hendak menunjukkan bahwa saya memang bermula dari menulis cerpen, juga karena saya ingin membuktikan kalau saya pun mampu menulis cerpen: tidak hanya puisi, sehingga pembaca tak terfokus satu saat memandang saya yakni hanya penyair.

*) Bagaimana dengan proses cerpen?

Di sisi berikutnya adalah menulis cerpen karena seksi. Karya-karya cerpen kita yang telah dimuat media massa lalu dihimpun dan ditawarkan ke penerbit, kebanyakan penerbit dengan cepat menerima. Mungkin juga ini karena booming karya prosa sedang melanda Indonesia? Boleh jadi. Saya buktikan ini, beberapa penerbit yang awalnya saya tawarkan manuskrip kumpulan puisi kemudian melayangkan surat penolakan sambil menawarkan kalau saya punya kumpulan cerpen atau novel dipersilakan mengirimkan untuk kemudian mereka akan pertimbangkan. Ketika saya kirim, tak terlalu lama saya menunggu sudah mendapat jawaban akan diterbitkan.

*) Dari segi penghasilan, mana yang lebih bisa diandalkan?

Jadi kalau kini saya menulis cerpen juga, disebabkan "lebih menjanjikan". Selain itu, ini yang terpenting, sangat menantang saya. Dalam menulis cerpen, saya harus banyak memiliki "tabungan" kata dan kalimat, harus banyak memahami seluk-beluk alur cerita, penokohan, beserta konflik-konfliknya. Memang awalnya saya menganggap menulis cerpen untuk jeda saja, ketika saya sudah merasa jenuh dan kehabisan ide lantara terlalu produktif menulis puisi. Maka saya harus istirahat dulu menulis puisi sehingga puisi-puisi saya tak monoton atau tiada peningkatan kualitas.

Ternyata mememang cerpen "lebih menjanjikan" ketika booming prosa di pasaran dan penerbit berbondong-bondong lebih besar perhatiannya menerbitkan buku cerpen ketimbang puisi. Dengan demikian, penulis cerpen seakan merayakan pesta booming itu. Kenapa tidak, saya juga turut merayakan pula. Ditambah lagi cerpen-cerpen saya mulai diterima oleh media massa bergengsi seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Horison, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan media lainnya. Padahal, sebelumnya saya minder sekali mengirimkan cerpen.

Berbeda jika saya menawarkan puisi ke media-media tersebut. Bahkan, dengan nada canda, Triyanto Triwikromo (Suara Merdeka) tak mengakui saya sebagai cerpenis. "Kalau pun Anda mengirim cerpen tak akan kumuat, sebab kekuatanmu ada di puisi." Tetapi, belakangan cerpen-cerpenku lolos seleksi Suara Merdeka yang kita tahu Triyanto sangat ketat untuk meloloskan karya sastra. Begitu pula, tentunya, ketika Nirwan Dewanto meloloskan cerpen "Mata Elangmu Nyalang" di Koran Tempo. Cerpen ini mungkin kedua atau ketiga yang saya kirim ke Koran Tempo.

*) Anda sering menyergap pembaca cerpen koran di Hari Minggu, bagaimana dengan produktivitas yang luar biasa ini?

Produktivitas menulis cerpen memang saya akui cukup tinggi belakangan ini, itu tak lepas dari menyambut "perayaan" booming prosa di Tanah Air. Tetapi saya juga tergolong produktif melahirkan puisi. Kalau kemudian saya lebih dikenal sebagai penyair:, mungkin predikat itu sudah demikian menyatu dalam diri saya sejak lama. Dan, terus terang, saya justru merasa percaya diri disebut penyair ketimbang cerpenis. Boleh jadi suatu waktu saya akan meninggalkan dunia cerpen. Hanya untuk saat ini belum.

Dan, kalau bertahun-tahun saya geluti kepenyairan, namun saya hanya bisa menerbitkan dua buku puisi, berbeda dengan cerpen. Sampai kini, sudah 6 kumpulan cerpen saya diterbitkan: Ziarah Ayah (Syaamil, 2003), Bulan Rebah di Meja Diggers (Beranda, Agustus 2004), Dawai Kembali Berdenting (Logung Pustaka, November 2004), Perempuan Sunyi (Gama Media, Desember 2004), Selembut Angin Setajam Rantinmg (Lingkar Pena Publishing House, April 2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (Gramedia, Meil 2005), dan Hanya untuk Satu Nama (Bentang Pustaka, Agustus 2005), dan sebuah kumpulan cerita anak Dongeng Sebelum Tidur (Beranda, September 2004).

Artinya, cerpen memang benar-benar mendapat perhatian lebih. Ini yang membuat saya sedikit "banting setir" dari puisi ke prosa. Tentu saya tak pernah untuk mengabaikan penulisan puisi. Saya masih menulis puisi, ketika saya benar-benar ingin menulis puisi. Frekuensi keseriusan dalam menulis puisi saat ini benar-benar saya tingkatkan, sehingga saya tak hendak melahirkan puisi yang "sekadar" atau hanya memainkan tipografi namun tidak bermakna. Atau memainkan gambar, tetapi bahasa yang digunakan milik orang atau mencaplok dari yang ada: dasri puisi atau ayat kitab suci. Ditambah lagi, saya tidak punya kemampuan menciptakan sensasi-sensasi di dalam sastra demi popularitas.

*) Dengan tidak bisa "menghindar" - nya dari cerpen Anda, begitu banyak bertebaran di sejumlah media. Apakah tidak ingin membuat citra diri semacam mengkhususkan untuk media besar macam Kompas, Koran Tempo, Republika, atau Media Indonesia saja? Kalau saja cerpen itu dimuat di sana akan menjadikan cerpen Anda menjadi cerpen "kelas satu"…

Saya tak pernah berpikiran adanya "sastra kelas dua" ataupun "sastra nomor wahid" hanya karena alasan media yang memuatnya. Saya beranggapan, tidak semua karya yang dimuat Kompas, Koran Tempo (Kortem) ataupun Media Indonesia (MI) tidak lagi cacat kualitasnya. Para redaktur media berkelas itu juga manusia, karena itu ada kalanya mereka jenuh dan menururnkan karya yang tak berkualitas. Tetapi, ada juga karya yang bagus bisa ditemukan di Tabloid NOVA, bukan?

Jadi, saya berkesimpulan media bukan ukuran kualitas sebuah karya sastra. Akan tetapi, karya itu sendiri yang berbicara meski ia dimuat di media massa yang mungkin saja tidak diperhitungkan oleh pembaca. Kalau Kompas, Kortem, MI banyak pembacanya, memang harus diakui. Kalau ketiga media massa itu kerap menurunkan karya-karya berkualitas dan menjadi perhitungan pembaca sastra, juga ada benarnya dan harus diakui kebenarannya. Tetapi, kalau media massa tersebut pastilah menurunkan karya-karya sastra berkualitas, belum tentu. Apalagi sampai menomor duakan karya sastra yang tidak muncul di tiga media massa itu.

*) Mengapa menulis cerpen?

Dalam menulis cerpen, saya banyak belajar dari mengamati berbagai karakter (tokoh) orang yang ada di sekitar saya. Saya dapat lebih memasuki setiap karakter tokoh, seting, atau alur cerita. Saya bisa bebas memainkan bahasa-sesungguhnya berperan penting bagi karya sastra-ketika menulis cerpen. Sementara dalam puisi, kewajiban saya ialah memadatkan imajinasi yang berkeliaran-berkelindan ke dalam kalimat-kalimat sebisa mungkin ekonomis sehingga tak kelewahan.

Saya juga ingin menghidupkan tokoh-tokoh dalam cerpen saya seakan benar-benar hidup. Tokoh-tokoh itu bisa saja saya, teman, orang tua, istri, ibu, atau pun anak. Tokoh-tokoh itulah, setelah cerita itu jadi, kembali berdialog dan berdiskusi dengan saya betapa pentingnya hidup lurus dan bersih. Betapa indahnya menengok hidup yang acap berzigzag. Tokoh-tokoh dalam cerita itu juga seperti membuka mata dan hati saya kembali: "kok ada ya tokoh seperti ini? Memang ada!" bisik tokoh-tokoh itu.

Selain itu, ini yang terpenting, sangat menantang. Saya harus banyak memiliki "tabungan" kata dan kalimat, harus banyak memahami seluk-beluk alur cerita, penokohan, beserta konflik-konfliknya. Memang awalnya saya menganggap menulis cerpen untuk jeda saja, ketika saya sudah merasa jenuh dan kehabisan ide lantara terlalu produktif menulis puisi. Maka saya harus istirahat dulu menulis puisi sehingga puisi-puisi saya tak monoton atau tiada peningkatan kualitas.

*) Bisa dibilang ini ‘banting stir’ dalam proses selanjutnya?

Ini yang membuat saya sedikit "banting setir" dari puisi ke prosa. Tentu saya tak pernah untuk mengabaikan penulisan puisi. Saya masih menulis puisi, ketika saya benar-benar ingin menulis puisi. Frekuensi keseriusan dalam menulis puisi saat ini benar-benar saya tingkatkan, sehingga saya tak hendak melahirkan puisi yang "sekadar" atau hanya memainkan tipografi namun tidak bermakna. Atau memainkan gambar, tetapi bahasa yang digunakan milik orang atau mencaplok dari yang ada: dari puisi atau ayat kitab suci. Ditambah lagi, saya tidak punya kemampuan menciptakan sensasi-sensasi di dalam sastra demi popularitas.

*) Hidup total dari menulis, bisa diceritakan?

Sebagaimana saya katakan sebelumnya. Saya memilih profesi menulis setelah media massa tempat saya bekerja yang kedua bangkrut. Awalnya saya bekerja jurnalis di sebuah media terbitan lokal. Namun karena kami "melawan" pimpinan, 67 karyawan termasuk saya dipecat tanpa pesangon hingga kini. Saya mulai kecewa pada "dunia kapitalis" media massa, yang sesungguhnya sempat "menjara" kreativitas saya sebagai sastrawan lantaran rutinitas kerja. Tak kurang 5 tahun saya jalani rutinitas yang amat monoton ini, ditambah 2 tahun ini di media yang baru.

*) Ada semacam pencerahan, begitu?

Nah, ketika media tempat saya bekerja di ambang kebangkrutan, hati saya berontak. Imajinasi-imajinasi kepenyairan saya mulai meminta tempat untuk diperhatikan. Maka saya menulis puisi, mungkin sekitar 5 atau 7 puisi, yang kemudian saya kirimkan ke "Bentara" Kompas. Mengapa puisi itu saya kirim ke Kompas? Alasanya sederhana sekila: redakturnya adalah Sutardji! Jelas ada kebanggan tersendiri jika lolos dari "tangan besi" penyair O Amu Kapak itu. Kenyatannya memang 3 puisi lolos, bahkan mendapat pujian (catatan) khusus dari SCB (baca: Hijau Kelon & Puisi 2002, penerbit Buku Kompas, 2002).

Sejak itu saya merasakan "nasib baik" mulai berpihak pada saya. Dan ketika media massa tempat saya bekerja benar-benar gulung tikar pada 2001 itu, saya pun memilih total pada profesi sastrawan.

Tentu saja pilihan ini bukan tak ada sebab. Saya pernah kecewa pada media massa sebelum di Trans Sumatera yang bangkrut. Saya bersama 60-an jurnalis dan karyawan pers dipecat karena melakukan unjuk rasa pada pimpinan, dan sialnya sampai kini tanpa pesangon. Lalu salah seorang redaktur media massa yang saya tinggalkan itu amat "menganiaya" saya, sangat tendensius dalam setiap penulisan tentang saya. Teringat saya pada Sade yang menyatakan seniman semakin ditekan, maka ia makin produktif berkarya. Kreativitas seniman tak akan bisa dihadang-bahkan oleh senjata meriam sekalipun, kecuali waktu itu sendiri yang menghentikannya.

Maka, dengan "dendam kreatif" itulah saya melangkah dan melaju. Saya lupakan media lokal yang terbit di Lampung. Saya mengerahkan seluruh keahlian saya untuk melahirkan karya sastra yang bermutu. Ketika sebuah cerpen saya dimuat Kompas, terbayang bagi saya inilah awal saya merengkuh apa yang saya cita-citakan. Ditambah lagi dengan cerpen saya yang dimuat Koran Tempo yang kita tahu redakturnya amat selektif pada kualitas karya, begitu pula Suara Merdeka yang redakturnya adalah salah satu cerpenis terbaik yang dimiliki Indonesia. Belakangan sebuah cerpen saya pun dimuat Media Indonesia yang juga redakturnya kita tahu tak sembarang menurunkan karya sastra.

*) Nulis cerpen setiap hari?

Entah mengapa, atau karena energi apa, sehingga akhir-akhir ini saya memang demikian produktif menulis cerpen. Mungkinkah karena memang saatnya saya harus produktif, disebabkan saya tak lagi "diatur" oleh kapitalis melainkan "diatur" oleh diri sendiri (dan "kebutuhan") di mana kapan saya harus produktif menulis dan kapan saya mesti istirahat. Saya juga ingin "istirahat", akan tetapi "panggilan" untuk menulis cerpen begitu besar sehingga mengalahkan "kehendak untuk" istirahat. Apalagi adanya "tuntutan" pihak yang menghendaki saya mati bersastra, maka "kehendak" untuk hidup pun makin besar. Tersebab inilah saya pun produktif. Tersebab sentuhan-sentuhan estetika yang demikian layaknya air bah membuat saya tak mati-mati (kreatif).

Soal apakah setiap hari saya menulis cerpren, saya kira tidak juga. Ada beberapa cerpen saya yang masih terbengkalai. Tetapi, kini puisi-puisi saya kembali mengalir lagi. Puisi-puisi yang dimuat Kompas (24 Juli 2005), 3 puisi di antaranya ada terbaru dan saya kirim ke redaksi pada 19 Juli 2005. Sejak cerpen saya terakhir diterbitkan Media Indonesia berjudul "Batu itu Tak Terbang ke Langit" saya belum lagi melahirkan cerpen.

Terkadang saya bisa menyelesaikan satu cerpen sehari, bahkan tak sampai 3 jam untuk merampungkan cerpen pernah saya lakukan. Misalnya, "Gelombang Besar di Kota itu" (Jawa Pos) tak sampai 2 jam saya selesaikan, dan hanya 2 hari dari saya kirimkan (31 Desember 2004) sudah dimuat (2 Januari 2005). Atau "Ibu Berperahu Sajadah" (Horison, Maret 2005) saya selesikan 4 jam. Tetapi, cerpen "Kupu-Kupu di Jendela" cukup lama mengendap di Communicator 9210 i saya atau sebelum terjadi musibah tsunami di Aceh dan baru bisa saya rampungkan dalam penerbangan Pekanbaru-Jakarta pada 30 Januari 2005 dan kemudian cerpen ini dimuat Suara Pembaruan.

Sampai kini saya belum bisa menyelesaikan beberapa cerpen dalam sehari, tetapi kalau puisi saya cukup sering dapat melakukannya. Namun demikian, tak menutup kemungkinan, kalau saya tak salah ingat saya pernah dalam sehari bisa menulis 2 cerpen. Hanya saya lupa kedua cerpen itu.

*) Bagaimana dengan proses regenerasi cerpen kita saat ini?

Regenerasi itu alami saja. Dan, khasanah sastra Indonesia kini memang "dikuasai" yang muda-muda meski yang sastrawan tua tetap berkarya. Bersaing sehat saja. Ratih Kumalasari dan Yetti A.Ka saya kira karya-karyanya bagus: ini subyektif saja, saya menyenangi karya-karya kedua cerpenis itu.

*) Soal proses kreatif dalam menulis, apakah faktor mood itu sangat berpengaruh?

Sebagaimana manusia biasa, kejenuhan adalah hal wajar. Begitu pula tidak ada (mendapatkan) mood. Cerpen yang saya kerjakan cukup lama sekali, contohnya adalah "Kupu-Kupu di Jendela" yang pertama saya tulis November 2004, kemudian saya lanjutkan pada Desember bertepatan tsunami di Aceh juga tak selesai. Baru sekembali saya membaca puisi atas undangan Dewan Kesenian Riau, 30 januari 2005, saya bisa merampungkan di atas pesawat.

Cerpen ini tak diawali dengan mood. Saya hanya mau menulis dan membicarakan soal kupu-kupu di jendela yang kemudian tak lagi sering hinggap. Saya hanya memainkan narasi-narasi, imaji-imaji mengenai kupu-kupu yang sudah migrasi entah ke mana itu. Saya tentu amat merindukan kupu-kupu yang warna sayapnya amat indah itu. Saya tak sedang membicarakan persoalan Aceh, ihwal tsunami yang banyak menelan korban itu, tak juga mau bicara soal ladang ganja dan seterusnya. Saya hanya mau menulis tentang kupu-kupu di jendela (rumah saya). Tetapi, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh saya tergerak untuk menarik cerpen ini ke persoalan tersebut. Tak juga selesai. Buntu. Mood lenyap untuk sekadar merampungkan. Dan, ketika di pesawat itu saya tergerak lagi untuk menulis, ketika saya dengan leluasa memandang awan dari jendela pesawat yang bagai buih yang menggiurkan untuk bunuh diri! Itu sebabnya suana di pesawat itu tanpa sengaja masuk ke dalam narasi cerpen "Kupu-Kupu di Jendela" itu: "HANYA awan memutih. Bagai wajahmu yang pasi. Bertumpuk antara serakan tubuh. Aku masih mencari kupu-kupu itu. Kini. Kupu-kupu yang pernah hinggap di bibir jendela kamarku. Dulu sekali.//Ah, aku tak berani mengenangmu kembali. Di angkasa ini aku hanya menyaksikan serakan awan; diam. Atau berjalan pelan. Bagai timbunan tanah yang mengubur tubuhku, juga tubuhmu sayang.//Biarlah ia tak akan pernah hinggap di jendela kamarku. Warnanya telah berganti putih, sebagaimana awan yang kulirik dari jendela pesawat ini. Tanpa terlihat kota-kota itu. Seakan mengajakku ingin bermain dalam kelembutannya."

*) Bisa diceritakan bagaimana caranya menangkap ide?

Ide menulis cerpen, bagi saya, bisa dari mana saja. Ketika tsunami di Aceh, saya dapat menulis beberapa cerpen antara lain "Gelombang Besar di Kota itu", "Ibu Berperahu Sajadah", "Perempuan yang Berenang saat Bah", "Kupu-Kupu di Jendela", dan "Seandainya Kau Jadi Ikan".

Artinya, dari satu peristiwa, saya menulisnya dari ragam sudut pandang dan masalah. Dari cerpen-cerpen itu pun, saya tak melakukan sewarna dalam cara mengungkapkannya.

Kemudian cerpen "Tikus" (dalam Seandainya Kau Jadi Ikan, Gramedia, Mei 2005), sesungguhnya ide itu datang dari yang ada di rumah saya. Beberapa bulan terakhir ini-bahkan sampai kini-di rumah saya banyak sekali tikus. Seperti mereka bersarang di dalam rumah saya. Jika malam menjelang, bayangkan gaduhnya tikus-tikus itu terutama di dapur. Dari sedikit ide itu saya lalu kembangkan ke persoalan rukun tetangga (masyarakat) hingga ke persoalan bangsa: "para tikus" yang juga sudah bersarang di gedung kantor legislatif dan eksekutif. Dari persoalan tikus di dalam rumah yang sejatinya persoalan sepele, akhirnya menjadi masalah bersama. Sebab ketika ketua RT mengadakan rapat untuk membasmi tikus, muncul beragam gagasan. Sampai-sampai ada ide seluruh warga "diwajibkan" memelihara kucing demi memburu tikus. Selesai? Tidak. Sebab kucing-kucing itu kawin dan beranakpinak. Begitulah seterusnya: setiap gagasan muncul selalu timbul masalah baru. Sampai akhirnya, aku tak lagi dipusingkan oleh tikus. Yang penting tidak menggangguku selagi bercinta dengan istri!

*) Soal penolakan naskah, bisa diceritakan?

Saya pikir setiap penulis, siapa pun ia, pasti akan berhadapan dengan penolakan dari redaktur/editor sebuah media massa/penerbit. Perasaannya, ya tak ada perasaan apa-apa. Ya. Tugas saya sebagai penulis merasa selesai begitu karya rampung dan dikirimkan ke redaksi media massa/penerbit. Setelah itu tugas redaktur untuk meloloskan atau menolak karya saya. Jadi, alhamdulillah, sampai kini saya tak pernah kecewa jika tulisan saya ditolak. Sebab saya percaya benarpada kredibilitas seorang redaktur untuk meloloskan atau menolak, dengan melalui pertimbangan kualitas dan keburukan karya kita.

Saya selalu berprasangka baik pada redaktur/editor, mereka sudah bekerja keras untuk mempertimbangkan karya saya. Mereka tentu obyektif. Kecuali ia tak obyektif, like and dislike atas pribadi (dan karya) saya, mungkin saya akan kecewa dan akan menyatakan (semacam sumpah): tak akan mengirim ke media itu selagi redakturnya tidak obyektif. Sebagaimana ditolak, ketika dimuat pun saya punya perasaan sama: biasa-biasa saja. Meski demikian, saya tak akan pernah lupa begitu ada kabar dari teman saya di Jakarta (terutama yang paling baik memberi informasi isi media massa Jakarta setiap minggu adalah Kurnia Effendi dan Zen Hae) bahwa di koran itu atau anu memuat karya saya, mengucapkan "Alhamdulillah" sebab akan tertutupilah kebutuhan hidup keluarga saya. Hahahaha….

*) Anda kelihatan sangat digandrungi oleh banyak Redaktur Seni media massa…

Saya setuju-setuju saja. Sebab, ketika saya memilih jadi penulis sebagai jalan hidup saya, saya juga ingin sekali menjadikan profesi ini sebagai "dunia yang tenteram dan damai" kepada siapa pun. Karena itu pula, saya tak pernah ingin berkarib-karib terlalu rapat dengan satu (redaktur) media. Sebagai sesama manusia, para redaktur itu adalah sahabat saya. Tetapi ketika posisi saya sebagai penulis dan mereka redaktur, yang saya harapkan, marilah jaga profesional masing-masing. Itu sebabnya saya pernah amat berang, ketika ada seorang penulis (Lampung) yang menuding saya karena dekat Korrie Layun Rampan dan memiliki link kuat di KSI sehingga puisi-puisi saya masuk Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Sungguh pikiran ini amat picik. Saya katakan, silakan tanya pada "bos" KSI waktu itu, Wowok Hesti Prabowo, apakah saya tercatat sebagai anggota KSI? Tanya pula Korrie soal apakah ada kedekatan saya yang amat kental sehingga ia memilih puisi-puisi saya?

Ini juga berlaku pada semua media massa. Saya tak memiliki kekuatan yang penuh untuk menundukkan para redaktur itu, selain kekuatan karya-karya saya sendiri. Karena itu pula, karya-karya saya bisa diterima, misalnya oleh Koran Tempo, Kompas, Horison, Republika, Jawa Pos, Suara Mwerdeka, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Nova, sampai Annida, Sabili, dan Noor.

Saya hanya memercayai pada karya. Dan, karyalah yang akan mengantar apakah diterima atau ditolak oleh suatu media. Jadi, bukan karena link-link atau kubu, yang membuat karya kita diterima atau tak diterima jika sebaliknya. Ya, saya pikir enjoy saja dalam menulis ini. Atau meminjam pendapat teman-teman penyair di "Komunitas Berkat Yakin" (Lampung), ya rock n roll saja dalam berkesenian ini.

*) Soal selera para redaktur Seni Budaya itu, bisa diceritakan…

Saya tak pernah mau tahu dan terlalu jauh memasuki agar supaya tahu tentang "selera" redaksi (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan juga media lainnya), karena "selera" sifatnya relatif. Kita bisa buktikan cerpen-cerpen yang dimuat Kompas sebulan saja, bisa kita dapati empat perbedaan yang mencolok. Bagaimana mungkin saya mesti menyamakan gaya saya dengan cerpenis Hamsad Rangkuti, Seno, Triyanto Triwikromo hanya untuk dimuat suatu media? Jadi yang saya percaya pada redaksi soal "selera" ini, adalah "selera" kualitas.

Dengan "selera" begitu, barulah saya memilah ketika suatu cerpen saya rampung akan saya kirim ke media mana. Bukan terlebih dulu dalam benak saya adalah media, baru saya menulis cerpen. Ketika cerpen "Mata Elangmu Nyalang" jadi, saya memutuskan untuk mengirimnya ke Koran Tempo karena saya menganggap cerpen ini layak dikirim ke sana. Atau "Batu itu Tak Terbang ke Langit" jadi, saya memilih Media Indonesia untuk saya tawarkan, dan bukan media lainnya. Alasan saya, cerpen itu (ini menurut saya sebagai penulisnya) sudah cukup kuat dan pantas ditawarkan ke MI (Media Indonesia). Di samping itu, cerpen saya belum pernah dimuat MI karena itu saya merindukan pula cerpen saya dimuat di sana. Ternyata dimuat, bahkan amat cepat waktunya sejak saya mengirimkannya.

*) Ada proses tambal sulam untuk cerpen yang ditolak?

Saya tak pernah dan tak akan melakukan tambal sulam untuk sebuah cerpen (ataupun puisi), hanya karena ditolak suatu media massa. Cerpen atau puisi yang ditolak media A, maka cerpen/puisi itu pula apa adanya akan saya kirim ke lain media. Kecuali saya pernah melakukan copy paste untuk beberapa cerpen saya, hanya karena dianggap redaksi kepanjangan.

Saya pernah melakukan dua kali untuk cerpen saya yang akan dimuat Nova. Karena kepanjangan sementara cerpen saya sudah lolos seleksi, Redaksi meminta kesediaan saya untuk memanggas sampai karakter yang dimintanya. Akhirnya saya copy paste untuk melakukan editing (tepatnya pemangkasan). Cerpen ‘kopian’ yang sudah dipangkas itulah yang saya kirimkan untuk dimuat, sedang yang aslinya tak saya lakukan. Cerpen dalam file inilah nanti yang akan saya muat jika ingin menerbitkan kumpulan cerpen. Saya juga pernah sekali melakukan pemangkasan panjang cerpen saya yang akan dimuat Republika (cerpen "Perempuan yang Berenang saat Bah").

*) Tentang cerpen remaja. Apa tidak berniat menulis cerita remaja?

Kebetulan sekali, mungkin karena memang saya tak ahli, saya tidak pernah mencipta cerpen remaja. Jadi, saya tak akan mampu menyesuaikan mood menulis cerpen remaja atau untuk orang dewasa. Saya hanya menulis dan sementara di hadapan saya, saya membayangkan seolah-seolah yang akan membaca saya adalah masyarakat umum tanpa dibedakan oleh usia atau kelas intelektualnya. Karena memang saya benar-benar tak ahli menulis cerpen untuk konsumsi remaja, maka itu ketika Kurnia Effendi meminta saya menulis novel remaja untuk sebuah majalah remaja sampai kini satu kata pun belum tergores. Padahal, deadline-nya bulan depan. Maafkan ya Kurnia, sampai hari ini saya belum dapat memenuhi permintaan Anda.

*) Untuk novel, bagaimana?

Kalau rencana selalu ada, tapi merampungkan novel yang sampai kini belum ada. Hahaha....

*) Bisa ceritakan perbedaan menulis cerpen, atau puisi…

Menulis puisi lebih sulit dari menulis prosa. Tetapi, tak berarti menulis prosa pun dianggap gampang. Bahkan, cerpen-cerpen saya yang dinilai realisme itu pun, menurut Yanusa Nugroho: "justru sebaliknya, dimanfaatkannya energi itu untuk membuat semuanya kembali pada keseharian. Di tengah lautan yang serba ingin ‘berbeda’, yang melanda dunia sastra kita saat ini, percayalah "menjadi sehari-hari" adalah sesuatu yang tidak mudah."

Sedang soal novel, sampai saat ini saya belum pernah merampungkan novel. Meski ada tidak file bertuliskan novel di komputer dan communicator 9310 i saya, tapi entah kapan bisa saya selesaikan. Saya benar-benar tak bisa, karena itu untuk apa saya paksakan?

Soal "beda rasa" memang terasa sekali pada saat menulis puisi. Karena puisi-puisi saya belakangan ini amat berbeda dengan gaya, stil, atau cara ungkapnya dibanding puisi-puisi saya terdahulu yang cenderung naratif dan prosaik-memanjang ke samping kanan. Dengan kalimat-kalimat pendek, tipografi pendek-pendek, saya mesti selektif memilih kata di mana kata merupakan kekuatan puitik pula bagi sebuah puisi. Sehinga saya mesti memeras seluruh apa yang miliki-baik ide, diksi, kekuatan puitik dst.nya-pada saat saya menuangkan ide menulis puisi. Sementara menulis cerpen, saya lepaskan "tabungan" kata dan kalimat yang saya miliki agar cerpen menjadi mengalir, terjaga ceritanya, dan tetap memiliki kekuatan (kualitas).

*) Ada saran untuk para pembaca muda yang ingin mulai menulis?

Saya tak punya banyak saran bagi penulis pemula, selain siap disiplin terhadap waktu, pikiran, dan pilihan untuk menjadi penulis. Jangan sampai mengabaikan disiplin itu…

*) Terakhir sedang mengerjakan 'proyek' tulisan apa?

Baru saja menyelesaikan 100 puisi pilihan yang akan diterbitkan Penerbit Grasindo. Buku 100 puisi pilihan itu yang semulai berjudul "Dari Dunia Lain", akhirnya menjadi Kota Cahaya itu, menurut Bapak Pamusuk Eneste tak lama lagi terbit.

Saya juga baru merampungkan penyusunan ulang dan ditambah beberapa puisi terbaru saya untuk kumpulan puisi "Kembali Ziarah" (terbit pertama kali 1996) yang akan diterbitkan ulang oleh Penerbit Gama Media Yogyakarta. Kabarnya, penerbit itu mau menerbitkan ulang buku puisi saya itu, karena pihak penerbit "mengintip" bahwa buku tersebut lolos untuk buku proyek di Depdiknas. Makanya mereka meminta izin untuk mencetak ulang. Mudah-mudahan saja "proyek" ini tak ada aral.

Terakhir masih "memulung" sejumlah cerpen saya yang belum masuk antologi, untuk dihimpun dalam kumpulan cerpen. Saya hendak menawarkan kembali ke penerbit, yang sampai kini belum saya tetapkan penerbit mana. Inilah "proyek-proyek" kecil saya, dari sisa hidup saya masih tersedia ini.

*) Sekarang bergiat di areal ‘politik’ juga?

Di Dewan Kesenian Lampung saya sebagai Ketua Program, suatu jabatan setelah Ketua Umum dan Ketua Harian. Kalau memang "jabatan" di Dewan Kesenian sebagai kancah "politik", maka saya hanya terlinat di dunia politik yang satu ini, sebab saya tak terlibat di partai meski ada juga yang (pernah) menawarkan. Sebagai "kancah politik" itulah, saya melihat Ratna Sarumpaet dkk. Dari DKJ sepertinya hendak mempolitisasi Dewan Kesenian Indonesia. Artinya, saya sebenarnya tidak "menggugat DKI" karena dalam kongres di Papua saya sudah kalah ketika saya menolak lahirnya DKI.

Tetapi, di kongres itu saya mengusulkan agar pengurus jangan dipilih semata dari peserta kongres karena tidak mewakili seniman Indonesia. Kalau kongres tetang menghendaki DKI, maka usul saya bentuk dululah "rumahnya". Sayangnya, Ratna dkk tampak "ambisius" untuk "menguasai DKI", maka ia berupaya agar DKI tetap gol dengan pengurusnya adalah orang-orangnya. Caranya, ia manupulasi tim formatur yang di kongres diputuskan adalah para ketua-ketua dewan kesenian se-Indonesia, lalu hanya yang hadir saja. Tetapi, ketika banyak peserta yang sudah pulang pada hari menjelang penutupan digelar lagi sidang yang memutuskan bahwa formatur terdiri dari 11 ketua DK ditambah 2 SC: Agus Sarjono dan Jamal D. Rahman. Ini kan akal-akalan: kedua SC ini adalah orangnya Ratna. Karena itu Ratna dengan mulus "mengendalikan" tim formatur yang lain. Konon, pengurus DKI itu sudah ada di tangan Ratna, hanya ketika kita tanya ke tim formatur mereka akan menjawab: belum.

Selain itu, DKI ini ditengarai akan menjadikan senatralistik bagi dunia kesenian. Ini yang membahayakan, di sampiang akan dijadikan "perpanjangan tangan" SBY untuk mengontrok kesenian dan seniman. Padahal yang kami inginkan, seperti juga pernah dikatakan Ketua Umum Dewan Kesenian Riau Taufik Ikram Jamil, bahwa DKI hendaknya bersemangat federal dan bersifat koordinator-informatif. Kepengurusan harus mencerminkan presidium. Kalau ini bisa, DKR akan mendukung. Ini yang saya tahu dari Riau. Saat ini mereka embargo terhadap tim formaturnya, sementara Sumatera Barat mencabut tim formatur dan dukungannya terhadap DKI. Begitu pula Jawa Tengah yang telah "mengadili" tim formaturnya ke DKI karena tidak becus. Sedangkan Jatim sudah sejak di Papua menolak DKI. Belum lagi penolakan yang saya tahu datang dari Bali, Sumatera Utata, Kepulaun Riau, dan lain-lain. Jadi, kalau Ratna masih ngotot membentuk DKI, jelas tidak memiliki alasan yang kuat. Karena itu, SBY juga tak akan segegabah menandatangani SK kepengurusan DKI karena gejolak penolakan terhadap DKI lebih besar dibandingkan yang setuju.

Selain itu, kongres di Papua itu juga sebenarnya cacat hukum. Tidak ada kongres di dalam tubuh dewan kesenian, tapi yang lazim adalah musyawarah. Dan, Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia di Yogyakarta yang merekomendasikan di Papua, tidak sedikit pun berniat mengganti menjadi kongres apalagi ada rekomendasi tentang terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia/Nasional, tetapi di tata tertib kongres di Papua tersebut butir tentang terbentuknya DKI. Sekali lagi, ini jelas akal-akalan SC yang notabene dari DKJ. Saya memaklumi ambisius Ratna Sarumpaet dkk untuk membentuk DKI, karena tak lama lagi mereka akan meninggalkan DKJ karena masa jabatannya berakhir. Nah, ibarat kereta yang hampir sampai di stasiun ternyata mereka telah menyiapkan kereta lain untuk membawanya dengan fasilitas yang tentunya tidak kecil. Saya kok meragukan niat mereka untuk mensejahterakan seniman dengan terbentuknya DKI, karena dari hari pertama kongres saya sudah mencium aroma politik yang sangat kuat. ***

* Wawancara oleh Chusnato

** Diolah oleh Sjaiful Masri dan Taofik Hidayat






Sumber: Sriti.com, Edisi 11/24/2005