15 November 2008

Bangun Spiritual Berkesenian?

Esai Isbedy Stiawan ZS

Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini. Namun, realitas di Lampung berkarya karena “pesanan”, untuk perlombaan, seremoni, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada tradisi.

SAYA tinggalkan Hotel Panghegar meski masih semalam mendapat gratis menginap di hotel berbintang 5 itu. Saya memilih bermalam di rumah kos teman di kompleks CCL (Center Culture Ledeng) Bandung. Selain udaranya amat dingin, di kompleks itu ada arena berkesenian dan (kebetulan) Jumat malam (25/7) Teater Q dari Tegal mementaskan “Titik Koma”.

Tetapi, di sini, saya tidak hendak membincangkan pementasan teater yang sarat “pesan sponsor” HIV/AIDS tersebut sehingga terkesan cair. Di CCL itu saya berjumpa seorang perupa yang kerap melakukan pameran instalasi dan pernah magang pada Tisna Sanjaya. Ia menyebut namanya, Yudi A.B., tatkala berkenalan di sela-sela pementasan Teater Q. Percakapan lebih luas ihwal kesenian, terutama senirupa dan sastra juga ihwal seniman “perahu retak” Tisna Sanjaya, dilanjutkan keesokan harinya

Tatkala cuaca pagi masih sangat dingin, Yudi datang membawa beberapa kilo bibit padi, jagung, dan kedelai. Karena sebelumnya di Lampung tidak biasa menyaksikan seniman melakukan hal seperti itu (semula saya menganggap ia melakukan kerja rangkap untuk menghidupi dirinya sehari-hari selain dari kesenian, sebagaimana dilakukan para seniman lain yang acap menggarap ranah politik di kala pilkada), membuat saya ingin tahu lebih banyak darinya.

Yudi A.B.—lulusan FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung—mengurai rencanana berkeseniannya. Ia sedang menggarap agriculture grafis, yaitu satu karya grafis di atas ladang pertanian. Atau, ia menyebut, kolase. Bibit padi, jagung, dan kedelai yang ia beli itu akan disebar di lahan sawah seluas seperempat hektar di kawasan Lembang. Proses “untuk menjadi” butuh 3 bulan. Bibit tanaman yang gagal itulah kelak dijadikan grafis di ladang. Untuk karya grafis di atas ladang pertanian tersebut, ia juga menyiapkan kamera foto dan video. Hasil jepretan itu nantinya yang akan dijadikan karya kolase agriculture grafis. Karya berkesenian Yudi bisa dilihat 4 atau 5 bulan mendatang. Betapa panjang (prosesnya), bukan?

Ini satu contoh dari proses kerja seniman instalasi Yudi A.B. Ia harus menyiapkan dirinya 4 bulan untuk menghasilkan karya grafis. Itu pun ia bisa saja dihadang kegagalan, sekiranya tak sebulir benih ditanam tak menumbuh sebagaimana diharapkan. Apa yang diinginkan dari Yudi untuk agriculture grafis di ladang pertanian di kawasan Lembang berhawa dingin itu? Bagi Yudi berkesenian adalah menyerap sebanyak-banyaknya persoalan yang terjadi dan (akan terjadi). Berkesenian bukan hanya urusan (“kepuasan”) batin, imajinasi, dan seabrek popularitas estetika, melainkan hendak berdialog melalui kesenian.

Artinya, melalui karya grafis di ladang pertanian (agriculture grafis) tersebut, setidaknya Yudi ingin mempertanyakan (tepatnya menggugat) kepada penguasa tentang import beras sementara di lumbung kekurangan beras. Ia ingin menyoal harga tempe yang sempat melonjak, justru kedelai banyak dihasilkan dari lahan di negeri ini. Termasuk pula masalah jagung yang maish menjadi paforit masyarakat.

Sepenggal perjumpaan saya dengan Yudi A.B. di pojok bedeng CCL Bandung, akhir Juli lalu, sangat pas mengawali pewacanan kesenian di Lampung yang dilontarkan kawan Ari Pahala Hutabarat (Teater dan Usaha Menjadi Lebih Rasional, di harian ini, 27 Juli 2008) dan Iswadi Pratama (Kesenian di Lampung: Rasional, Spiritual atau ‘Libidinal’? pada Lampung Post, 3 Agustus lalu) yang bertolak dari Festival Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12-13 Juli 2008.

Agaknya, “kemarahan” direktur artistik dan sutradara KoBer atas penampilan 11 aktor/aktris peserta monolog memang beralasan. Sebagai salah satu tim pengamat (juri) pada Festival Monolog tersebut, Ari Pahala Hutabarat seakan mendapatkan betapa minimnya pengetahuan berkesenian para peserta tentang naskah dan keaktoran. Sedangkan Iswadi Pratama, sutradara di Teater Satu, memeroleh gambararan betapa sesungguhnya aktor/aktris di daerah ini malas atau enggan berproses. Mereka—bahkan juga banyak seniman di Lampung—ingin cepat jadi tanpa melampaui proses; ingin tampil di panggung tanpa pernah mengolah laku dan suara. Kese-jadi-an instan seperti ini yang acap “dipelihara” banyak seniman daerah ini.

Sejatinya bukan puncak keberhasilan adalah segalanya, tetapi berporses dan berproses untuk menjadi sesungguhnya mutiara berharga. Hanya kita—para seniman—sering cuai pada persoalan proses atau (ketekunan/disiplin) berlatih. Sehingga, dianggap wajar, dari 23 peserta awal yang telah terdaftar pada Festival Monolog akhirnya hanya 11 melenggang ke atas panggung. Selebihnya menggugurkan diri dengan berbagai alasan: tak punya waktu latihan, banyak kesibukan di luar kesenian, dan sebagainya.

Dalam hal ini panitia festival tak sepenuhnya disalahkan, hanya alasan “mengapa hanya 11 peserta yang ikut?” dan “apakah disebabkan publikasi yang kurang?” yang sempat terlontar dari rekan-rekan pengurus DKL. Saya bantah anggapan itu untuk membela kerja panitia.

Persoalan, sekali lagi, terletak pada ketiadaan disiplin dan ketekunan untuk melampaui proses yang sejatinya sangatlah penting bagi seorang seniman. Tiadalah Putu Wijaya, N. Riantiarno, Sutardji Calzoum Bachri, Ratna Majid, Goenawan Mohammad, Affandi, Sardono W. Kusumo, Garin Nugroho—untuk menyebut beberapa nama, meraih prestasi seperti terlihat kini, tanpa melalui proses (kerja) yang panjang; disipilin dan tekun.

Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini tatkala kita mulai tancapkan kehendak melenggang di jalan kesenian. Sebab, sebagaimana profesi, awal dan muara adalah kerja dan kerja bagian tak terpisah dari ibadah. Sedangkan ibadah tentulah berurusan dengan spirit(ual), maka menjadi tak terbantah lontaran Iswadi Pratama dalam tulisannya tersebut. Baik Ari Pahala maupun Iswadi Pratama, bukan kebetulan, saya tahu persis proses (kerja/kreatif) sebagai seniman untuk “menjadi lebih rasional” dan berprestasi seperti sekarang ini.

Artinya menggeluti ranah kesenian bukan dengan niat setengah-setengah atau “sepintas lalu” (Budi Darma), sekadar (Sutardji Calzoum Bachri). Melainkan berani “mengejami diri hingga berdarah-darah” (Emha Ainun Nadjib), “mengharu-biru” (Taufiq Ismail), dan setia siap menjadi “binatang jalang” (Chairil Anwar) ataupun manusia “no maden” (Iwan Simatupang)--dalam arti spiritual.

Realitas berbalik mencermati seniman (berkesenian) di Lampung. Berkarya karena “pesanan”, untuk event perlombaan, seremoni suatu perhelatan, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada kebudayaan tradisi dengan dalih mak kham siapa lagi, mak ganta kapan lagi. Atau berkesenian secara komunitas (kelompok) yang nyaris mengedepankan hura-hura lalu mengenyampingkan spiritual, berkesenian instan yang menyihir generasi-wangi.

Aduhai, apakah hanya sebegitu (ber)kesenian kita hari ini? Apakah kesenian kita melulu “menadah” tangan pada pemerintah setiap hendak produksi? Ternyata seorang Yudi A.B. menyiapkan benih untuk ditaman bagi karya grafisnya di ladang pertanian, tanpa mengajukan lebih dulu proposal ke pemerintah atau lembaga terkait. Ia berjuang dan (harus) membongkar koceknya sendiri untuk menyiapkan proses agriculture grafisnya.

Tetapi banyak seniman daerah ini hanya untuk satu produksi yang terbilang instan, berlembar-lembar jutaan bisa ditangguk dari pemerintah. Digunakan “manajemen kedekatan (emosional)”, misalnya, melibatkan salah satu tokoh yang memiliki kedekatan pada penguasa untuk memuluskan urusan di birokrasi. Dan, masih banyak cara lain menembus jalan pintas, dengan mencuaikan proses spiritual tadi.

Apakah berkesenian seperti ini masih tetap bermartabat? Jawabnya, bisa “ya”, karena ukurannya sangatlah relatif. Tetapi, kalau cara-cara seperti ini terus ditularkan, akan menjadi virus bagi pertumbuhan kesenian yang diidamkan. Konon di Malaysia, seseorang bisa melahirkan sebuah karya seni (sastra), ia bisa diakui sasterawan negare dan berbagai fasilitas dimudahkan atau mendapat dispensasi/diskonisasi. Karena itu, konon pula, Malaysia banyak “seniman negara” yang mendapat diskon bila menginap di hotel, mendapat keringan fasilitas dari negara, dan seterusnya: termasuk tidak kesulitan mengunjungi undangan ke luar negeri.

Indonesia memang tidak sama dengan Malaysia. Meski tak ada “seniman negara”, bukan berarti tak adanya seninan-seniman (di Lampung saja) yang memiliki “kedekatan sangat kental” pada kekuasan (penguasa). Apalagi sejarah tak bisa dilupakan, betapa kedetakan Lekra pada partai dan penguasa saat itu. Begitu pun sejarah akan terus berulang, dan kini secara kasatmata bisa dilihat “peran” (beberapa) seniman dalam politik—terutama menjelang Pilgub Lampung 3 September. Adalah rahasia umum, sejumlah seniman daerah ini yang sementara meninggalkan kekreatorannya dan lebur dalam hirukpikuk Pilgub. Entah sekadar sebagai pendukung ataupun telibat menjadi tim sukses (TS) salah satu kandidat pilgub. Mereka tetap membawa-bawa diri seniman, tetapi entah disimpan di mana spiritualitas kesenimanannya?

Ah, saya tak hendak berlama-lama mengurai persoalan ini. Akan menjadi bertele-tele dan terkesan ceriwis bin nyinyir bin iri, pabila dipanjang-panjangkan musabab ini.


Peran akademisi dan krtisi
Persoalan mendasar kesenian di Lampung sebenarnya minimnya peran akademisi dan kritisi—baik dari jalur luar maupun dalam kampus. Padahal, manakala karya-karya seni lahir cukup banyak (di Lampung banyak lahir karya senirupa, sastra, teater, dan film), tetapi tak sebanding lahirnya kritik seni.

Iswadi Pratama meyebut, “mengapa setelah Anshori Djausal, hampir tidak ada lagi kaum cerdik—pandai dari sekian banyak perguruan tinggi di daerah ini yang—tak perlulah ikut berdebu bersama seniman—mau berbagi wacana dan pengetahuan?” Walaupun saya masih menambahkan nama Damanhuri, Asarpin (alumnus IAIN Radin Intan), dan (sesekali) Oyos Saroso H.N. (jebolan UNJ, d.h. IKIP Rawamangun) masih mau berbagi di ranah kesenian. Tetapi, memang yang diidamkan Iswadi ialah kehadiran kritisi dan cerdik-pandai yang mau berbagi ilmu di ranah kesenian di Lampung belum sebanding, karena itu ia menganggap “hampir tidak ada lagi…”

Ironi memang. Tatkala Unila ada jurusan bahasa dan seni, sedang dari “kawah” itu tak lahir seorang pun kritikus seni. Manakala Unila menyediakan jurusan yang identik pada urusan sastra dan kesenian, sudah bertahun-tahun ada hanya terlahir segelintir seniman: Ari Pahala Hutabarat, Dyah Merta--dan beberapa nama lainnya, cuma untuk seorang atau dua kritikus seni saja tidak bisa.

Karena itu, usah heran apalagi harus marah, jika Iswadi mengatakan hampir tidak melihat seorang pengamat politik, rektor, dekan, dosen—misalnya—asyik nonton teater, pameran lukisan, pentas tari, konser musik, pemutaran film, diskusi sastra. Kenapa harus heran? Alasan apa untuk membuat kita berang? Dalam sejarah pemilihan presiden—apatah lagi pilgub maupun pilbup/pilwalkot serta penjaringan legislatif—di negeri ini, tak ada keharusan seseorang sekadar untuk mengerti-mengapresiasi kesenian.

Maka tengoklah anggaran yang disediakan untuk kesenian jauh di bawah bagi menghidupi olahraga. Hal ini disebabkan minimnya di lembaga eksekutif dan legislatif punya kepedulian (apresiasi) terhadap kesenian. Lalu, di sisi lain, tidak banyaknya seniman yang menjadikan kesenian sebagai etos kerja, spiritual hidup, selain—barangkali—hanya untuk tujuan yang pragmatis, sesaat, rangkap, dan cita-cita yang kabur itu. Berkesenian lantaran “panggilan massa”, bukan sapaan jiwa (spirit).

Jadi, mau apalagi, begitulah kesenian kita saat ini. Meskipun, yakinlah, di lahan tandus pun kesenian (seniman) yang memiliki spiritual dan setia berproses, tetaplah akan tumbuh (lahir). Betapa pun, sekiranya, Dewan Kesenian di Indonesia ini ditiadakan. Ataupun, barangkali, media massa dan ruang-ruang berkesenian ditutup maka kesenian (seniman) akan tetap muncul. Demikian suratan…


Tidak ada komentar: