15 November 2008

Peranan DKL dalam Pengembangan Kesenian (di) Lampung *)

Oleh Isbedy Stiawan ZS




DEWAN Kesenian Lampung (DKL), sebagaimana dewan kesenian yang tersebar hampir di setiap daerah di Tanah Air, dibentuk atas dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5.A tahun 1993 untuk membantu pemerintah dalam memajukan dan mengembangkan (kegiatan) kesenian.

Di Lampung, DKL dibentuk dan pengurusnya dikukuhkan Gubernur Lampung—saat itu—Poedjono Pranjoto pada September 1993. Artinya, DKL saat ini sudah mendekati usia 15 tahun. Ibarat manusia, tengah meminang masa remaja. Tetapi untuk ukuran suatu organisasi, usia tersebut sudah (seharusnya) banyak yang telah dikerjakan.

Hanya saja, persoalan kesenian sekaligus mengurus kegiatan kesenian di negara yang kurang memiliki sense of cultuter terlihat bukan saja minimnya gedung pertunjukan seni, namun juga politic will dari pemerintah bagi kemajuan kesenian dan nasib seniman yang sangat kurang. Dampak itu sangat terasa di tubuh dewan kesenian yang notabene sebagai perpanjangantangan pemerintah karena dikukuhkan dan didanai oleh pemerintah.

Era Soekarno, banyak buku-buku sastra dan budaya di luar Lekra diberangus, dan para seniman/budayawan pencetus Manikebu diburu dan dimasukkan ke bui. Lalu, sikap pemerintahan Orde Lama itu seakan berlanjut pada era Soeharto: kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, saat itu, para pakar budaya berulang mengusulukan masalah kebudyaaan hendaknya diurus oleh departemen tersendiri.

Sampai Soeharto diturunkan “secara paksa” oleh gerakan reformasi pada 1998, Departemen Kebudayaan yang dipimpin seorang menteri sebagaimana diharapkan para pakar budaya tidak pernah terlahir dari rahim Orde Baru. Bahkan, sejarah mencatat, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa masalah kebudayaan dimarginalkan. Sikap refresif pemerintahan Soeharto terhadap keberlangsungan kesenian sangat terasa. Banyak seniman diburu dan dicekal, tak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan.

Sejak era Soeharto pula, kalau tak salah, kebudayaan disatukan dengan pariwisata yang dikepalai oleh seorang menteri: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan—di dalamnya kesenian, adat istiadat, dll.—dipandang tak lebih sebagai kata benda. Maka kebudayaan didekati dengan teknik “penyelamatan budaya”, “pewarisan nilai-nilai budaya”, dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.1)

Kebudayaan, pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara, dan apabila hasil kebudayaan tak mampu dijual di pasar pariwisata dengan sendirinya akan mati—atau sekadar dilestarikan. Akibatnya, kesenian tradisi, bagaimana upayanya direvitaslisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan mancanegara. Terutama sekali kesenian tradisi di Bali, dan daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata (DTW) diangkat hanya untuk dijual di depan para bule yang dikemas melalui festival-festival (dan pekan) kesenian setiap tahun dengan anggaran (APBD) yang tak kecil pula dikucurkan. Belum lagi, di dalamnya, kesenian-kesenian yang diperlombakan atau dipertandingkan.

Sehingga kesenian (karya seni) yang serius dan yang dinilai mencerahkan, kalau tidak dibiarkan hidup sendiri maka akan dikucilkan. Terutama kesenian semacam teater, senirupa, dan sastra. Jika tidak dibiarkan, tentulah dicurigai karena dinilai dapat mengganggu stabilitas negara. Padahal, apakah ada bukti bahwa karya seni mampu menggerakkan massa untuk merongrong kekuasaan?

Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan (di dalamnya ada kesenian) akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Betapa pun, di saat daerah memiliki otonomi sendiri, ternyata kepercayaan yang dikasih setengeh-tenggah oleh pusat makin membuat segalanya tergantung “paket” dari pusat. Jangan heran ketika Depdiknas memangkas direktorat kesenian dan memargerkan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah pun latah harus menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Bisa dibayangkan, 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak dididik di SMA yang dianggap potensial untuk dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing pada kebudayaannya sendiri. Pasalnya, sebagaimana sudah saya singgung di atas, Departemen (Kementerian) Kebudayaan dan Pariwisata hanya berpandangan bagaimana “menjual” kebudayaan di pasar pariwisata. Bukan menjadikan,sejatinya inilah yang diharapkan kita, kebudayaan sebagai transformasi nilai-nilai, norma, dan penanda.

Kebuadayaan massa menjadi cepat terserap dan diterima oleh generasi muda—dari kalangan SMA—ketimbang pemahaman dan penghargaan (apresiasi) pada kebudayaan yang lahir dari rahim budaya-budaya yang beragam dan menjadi kebanggaan lantaran sesuai dengan kepribadian bangsa.

Pemerintah pusat yang kurang peduli pada kebudayaan, kemudian “terpaketkan” ke daerah-daerah. Dari gubernur hingga bupati/walikota terlihat sekali tidak memiliki rumusan strategi kebudayaan dan politik kebudayaan. Hal ini bisa dibuktikan berapa rupiah dikucurkan dari APBD untuk memfasilitasi, menghidupi, dan mengembangkan kesenian (kebudayaan) dibanding anggaran untuk politik.

Minimnya kepedulian pemerintah, dalam hal ini Pemda Provinsi Lampung, terhadap kesenian bisa dibuktikan di DKL, lembaga yang dibentuk untuk membantu gubernur dalam memajukan kesenian, nyatanya pernah tidak mendapat kucuran dana APBD beberapa tahun. Selain itu, pernah dianggarkan di dalam APBD tidak lebih Rp100 juta. Dengan dana sekecil itu, juga pengalaman dengan dana nol rupiah, DKL yang nyaris megap-megap hidupnya tetap melakukan “kewajibannya” mengembangkan kesenian di Lampung.

Memang pemerintah bukan “sinterklas”, tapi kesenian bukan semata sebagai benda yang harus diukur dan dinilai dengan materi. Kesenian adalah juga harus dipandang sebagai karya kreasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai filosofi dan simbol-simbol (penanda)—atau meminjam seorang Ocatavio Pazz sebagai “suara lain” dari zaman—karenanya ia hanya bisa dihayati dalam pembelajaran proses “menjadi” sehingga tak mungkin dapat dihargai oleh materi (uang). Dus kesenian macam ini tidak akan memberi (menyumbang) bagi dunia pariwisata.

Di sinilah, sesungguhnya peran yang diambil—dilakoni—DKL dalam pengembangan kesenian (di) Lampung. DKL tidak melakukan apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan dan Taman Budaya, meskipun adakalanya bisa saja sama objeknya. Karena visi dan misi yang berbeda antara DKL dan instansi pemerintah yang juga mengurus bidang kesenian (kebudayaan), maka sasaran dan output bisa saja tidak sama. Sebab bila Dinas Kebudayaan dan Pariwisata “berpandangan” bagaimana kesenian (dan kebudayaan) mempunya nilai jual di dunia wisata, sementara (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan beriorientasi kepada anak didik (SMA) sedangkan Taman Budaya mungkin menjadikan dirinya sebagai laboratorium kesenian. Maka DKL akan menempatkan dirinya untuk fasilitator, katalisator, serta menyediakan “ruang” kreasi secara bebas dan independen.

DKL—terdiri dari 7 komite plus Penelitian dan Pengembangan (Litbang): Senirupa, Musik, Sastra, Film, Tari, Teater, dan Seni Tradisi—setiap tahun (anggaran) memproyeksikan kegiatan kesenian, baik tingkat Lampung, regional, maupun nasional. Selain itu menggadangkan program unggulan DKL seperti Lampung Arts Festival (Festival Kesenian Lampung) dan program unggulan komite.

Misalnya Komite Sastra pernah menghelat Kongres Cerpen Indonesia 3 tahun 2003, Temu Penyair se- Sumatera-Jawa-Bali, Temu Penyair Ujung Pulau. Di samping anugerah terhadap karya terbaik (puisi dan cerpen) tingkat nasional melalui Krakatau Award. Kini yang sedang berlangsung Lomba Menulis Cerpen Mini se-Provinsi Lampung—selain, tentu saja, penerbitan buku (antologi) cerpen dan puisi karya sastrawan Lampung. Sementara Komite Musik pernah mendatangkan musisi nasional dan luar negeri, kemudian Komite Senirupa menggagas Pameran Senirupa se-Sumatera dan se-Nasional. Di samping itu, Komite Tari pernah menggelar pertemuan koreografer nasional serta tetap mengembangkan seni tari di basis sendiri.

Komite Seni Tradisi, baru-baru ini, menggelar Lomba Berbalas Pantun dan meluncurkan CD/VCD sastra tutur (tradisi) Lampung. Sedangkan Komite Musik, selain pernah merilis album CD/VCD lagu-lagu Lampung dalam irama keroncong, dan kini tengah siap mengikuti Suraba Fill Musik (SFM), 18-22 Juni 2008. Lalu Komite Teater melalui program pembinaannya dan pengembangan berupaya terus mencari (dan melahirkan?) bibit aktor dan sutradara dengan gelar festival teater dan monolog. Begitu pula Komite Film yang selain memproduksi film independen (indie), juga mengadakan Festival Film Indie (independen) dalam rangka mengembangkan dan memajukan minat para sineas muda di Lampung.

Tentu akan membutuhkan banyak halaman dan akan menyita waktu, apabila seluruh program DKL yang telah dilakukan sepanjang 15 tahun disertakan dalam tulisan ini. Bahkan untuk tiga terakhir belakangan ini saja, tatkala perhatian Gubernur Lampung pada pengembangan kesenian di daerah ini sudah lumayan baik, membutuhkan berlembar-lembar halaman jika harus dimasukkan seluruh program DKL yang pernah dilaksanakan.

(Saya, sepatutnya di sini, mohon maaf dan dimaklumi apabila terlupa atau abai memasukkan program yang telah dilaksanakan masing-masing Komite di DKL. Tak ada maksud saya meniadakan satu komite dan mengeksis(tensi)kan komite yang lain).

Lalu, bagaimana melihat seni (di) Lampung dalam peta seni di Indonesia? Bukan maksud hati “air laut asin sendiri”, tetapi realitasnya bahwa kesenian (di) Lampung sudah diperhitungkan keberadaannya di kancah nasional. Sejumlah seniman Lampung dikenal di tingkat nasional—terlepas apakah itu merupakan bagian kerja pengembangan dari DKL ataukah berjuang secara individu, harus diakui bahwa DKL punya andil setidaknya menumbuhkan dan membuka ruang-ruang kreativitas individu seniman. Misalnya, sekadar menyebut untuk beberapa nama seperti Subardjo, Salvator Yen Joenaedy, Joko Irianta, Pulung Swandaru, Eddy Suherli, Dana E. Rachmat, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Achmad Zilalin, Imas Sobariah, Abdul Salam, M. Arman A.Z., Ibrahim (Boim), Budi P. Hutasuhut, Oyos Saroso H.N., Edy Samudra Kertagama, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, Dahta Gautama, Sapril Yamin, Sutarko, I Nyomaan Arsana, M. Harri Jayaningrat, Ipung, Ponco Pujiraharto, Djuwita Novrida, Nani Rahayu, Gandung Hartadi, Rusli A. Syukur, Liza, Ahmad Jusmar, dan lain-lain.

Musim Anggur
Barangkali, tiga tahun belakangan, kesenian (di) Lampung tengah menikmati musim anggur. Semenjak daerah ini dipimpin Sjachroedin ZP, dunia kesenian (kebudayaan) di daerah ini bagai memanen. Itu sebabnya, salah seorang kolega saya di eksekutif melontarkan gurauan: “enak ya sekarang seniman, sudah dapat uang saku transfortasi pun ditanggung, lalu jalan pun bersama gubernur Sjachroedin.” Lontaran gurauan itu ketika rombongan seniman dari DKL dan Majelias Penyimbang Adat Lampung (MPAL) anjangsana ke Cirebon dan Banten. Untuk lontaran gurauan teman saya di eksekutif itu, saya cuma menjawab: “Ya ada waktu, sekarang inilah, seniman (budayawan) diwonge oleh pemerintah, jangan hanya eksekutif dan olahragawan.”

Mengelola lembaga kesenian semacam DKL memang harus ada strategi. Entah ini bagian dari strategi dan berpolitik (jangan dibaca bermain politik) para seniman Lampung, ketika mendapuk Syafariah Widianti (Atu Ayi)—kita tahu kakak dari gubernur Sjachroedin ZP—sebagai ketua umum DKL periode 2007-2010. Sebab sejak kepemimpinan Atu Ayi, selain anggaran DKL di APBD lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, juga mendapat perhatian plus dari Pemprov Lampung. Inilah yang saya maksud musim anggur.2)

Mengelola kesenian (dan seniman) tentu berbeda mengurus organisasi lain, karena “watak” seniman yang ditengarai “individualistis”, “bebas”, dan acap “sulit diorganisir (bukan “sulit diatur”). Akan tetapi, seniman mempunyai elan vital, tanggung jawab, dan kerap sampai lupa waktu jika dihadapkan suatu pekerjaan. Jelas ini modal tak ternilai untuk mendapatkan hasil kerja yang tak saja selesai melainkan sukses.

Dan, Atu Ayi, yang terbilang amat mobile dengan berbagai urusan di luar lembaga DKL, tak bisa dipungkiri mengimbas pada DKL. Bukan kinerja ketua umum itu yang kurang, tetapi waktu untuk bersama-sama merancang, menggulirkan program, dan menikmati (mengapresiasi) program-program yang ditaja DKL kadang-kadang luput. Kecuali jika Atu Ayi benar-benar ada waktu luang dari berbagai kesibukannya, ia bisa turut memberi kata sambutan dan membuka kegiatan.

Mobilitas Ketua Umum DKL yang tinggi di luar DKL itu juga, jika tidak disadari oleh seluruh pengurus DKL, bisa memperlambat program yang semula sudah dijadwalkan. Misalnya, satu komite telah mengagendakan kegiatan di bulan Anu, namun karena kesibukan Ketua Umum akhirnya dana tersendat. Otomotasi program pun akan bergeser jadwalnya. Dan, seterusnya.

Sehingga, sampai kini, program-program DKL yang sudah diplot waktu dan tempatnya tidak bisa disusun dalam kalender kegiatan pada tahun berjalan. Padahal, dengan kalender kegiatan yang sudah terjadwal (baku) akan dijadikan acuan oleh masyarakat penikmat kesenian. Bahkan Lampung Arts Festival sekiranya bisa dibakukan kalendernya, niscaya akan dihadiri tidak saja masyarakat di sini melainkan penikmat seni dari luar Lampung. Hal yang sama pada Krakatau Award yang sejak digagas tidak pernah absen, ternyata dua tahun terkahir ini absen. Padahal, Krakatau Award yang sempat “disumbangkan” untuk menyemarakkan Festival Krakatau, sudah menjadi ikon bagi DKL di ranah sastra Indonesia. Sayang apabila Krakatau Award benar-benar “dibunuh” untuk selamanya.

Karena itu, ke depan DKL juga dapat merumuskan (rencana) strategi pengembangan kesenian demi kemajuan berkesenian sekaligus seniman Lampung bagi daerah dan nasional. Misalnya, lembaga ini dapat menciptakan “father-father” di masing-masing jurai (komite) seni. DKL juga berupaya mengusul dan meyakinkan Pemprov Lampung untuk memberi penghargaan bagi seniman (budayawan) berprestasi atau karena jasanya memberi inspiring bagi kehidupan kesenian di Lampung.

Saya, sebenarnya menunggu, apa yang (akan) dilakukan DKL (juga MPAL, LKDL) terhadap seorang Udo Z. Karzi—penulis puisi berbahasa Lampung—yang dianugerahi Rancage 2008 dari Yayasan Kebudayaan Rancage karena bukunya Mak Dawah Mak Dibingi di Bandung, 14 Juni 2008. Ternyata, sampai tulisan ini saya buat tidak ada, bahkan untuk sebuah ucapan selamat di media massa.

Kemudian DKL—melalui Komite Seni Tradisi dan Komite Musik—bisa menggagas alat musik cetik (kulintang pering) dipatenkan sebagai alat musik khas Lampung. Dan, kreatornya yakni Sapril Yamin didapuk, misalnya, sebagai Rajo Cetik atau apalah namanya. Bahkan, dalam bincang-bincang saya dengan Sapril Yamin, saya mengidamkan Komite Seni Tradisi (kebetulan Sapril sebagai ketua komitenya) merilis album (CD/VCD) nomor-nomor instrumen dari alat musik (beberapa) cetik. Kemudian setiap nomor instrumen diberi judul. Ah, seandainya impian saya ini direalisasikan Komite Seni Tradisi di tahun-tahun mendatang, setidaknya DKL telah mempromosikan, mensosialisasikan, mengapresiasikan secara luas instrumen cetik. Dengan demikian, cetik akan dikenal masyarakat luas sebagai alat musik khas tradisi Lampung. Persoalannya kan adalah politic wil dan apakah kita mau?
Itu saja.*
/bumi lampung, 18 juni 2008





*) disampaikan pada Seminar Kebudayaan Lampung yang ditaja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung di Hotel Kurnia II Bandarlampung, 20 Juni 2008
1) Oyos Saroso H.N., Kesenian di Ladang Anggur¸ Jung Foundtaion-Dinas Pendidikan Provinsi Lampung (April 2008), hlm. 2
2) istilah ini, sesungguhnya, diinspirasi dari esai Oyos Saroso H.N., “Kesenian di Ladang Anggur” (Jung Foundation dan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung), namun beda penggunaannya. Terima kasih rekan Oyos.

Tidak ada komentar: