Catatan dari Temu Sastrawan Indonesia:
Mencari Kritikus dan Pembaca Sastra
Oleh Isbedy Stiawan ZS
SUDARYONO—ia biasa menggunakan nama pena Dimas Arika Miharja—bukan saja seorang penyair (kreator sastra), kritikus sastra, esais, juga seorang akademisi. Ia pengajar di jurusan sastra di Universitas Jambi. Ia seorang doktor.
Artinya, sebagai pemegang S3 pada ilmu sastra, tentulah tak diragukan keilmusastranya. Maka ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jambi mendapuknya sebagai ketua penyelenggara Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi, 7-11 Juli lalu, sastrawan Indonesia banyak berharap dari perhelatan tersebut. Pastilah akan lain dari temu-temu sastrawan yang kerap digelar di Tanah Air.
Memanglah sejatinya demikian: dari sesi-sesi diskusi dan tema-tema yang disuguhkan cukuplah (akan) beragam. Para narasumber juga beragam: akademisi, redaktur budaya, sastrawan, kritikus, ahli sastra, penerbit (diwakili Yayasan Obor), dan dari lembaga hak cipta.
Tercatat narasumber seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noer, Ahda Imran (Pikiran Rakyat), Ahmadun Yosi Herfanda (Republika), Fadillah, Sunaryono Basuki (sastrawan dan akademisi/kritikus), Dr. Harris Effendi Thahar (cerpenis dan akademisi/kritikus), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (sastrawan dan akademisi/kritikus), dan lain-lain.
Kritik sastra kita memang berjalan di tempat. Sunaryono Basuki (Bali) dan Harris Effendi Thahar (Sumbar) saat membincangkan pencapaian estetika sastra, ternyata sama-sama berpandangan bahwa capaian estetika sastra Indonesia ditandai dengan “membanjirnya” sastra seks. Sunaryono Basuki Ks, misalnya, mencontohkan karya-karya sastra yang dilahirkan oleh Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu adalah capaian estetika sastra Indonesia dari ranah cerpen. Sunaryono, sayangnya tidak konsisten. Ia tak hanya membincangkan karya cerpen, namun melebar kepada karya-karya novel. Ia menyebut Tarian Bumi (Oka Rusmini), Dongeng Dirah (Cok Sawitri), Laskar Pelangi (Andrea Hirata), Ayat-Ayat Cinta (Habibburahman el-Sirazy) sebagai capaian estetika dari ranah cerpen.
Sedangkan Harris Effendi Thahar yang nyaris sepandangan dengan pembicara sebelumnya, juga menyebut Kuda Ranjang (Binhad Nurrohmat) sebagai capaian estetika karena berani melakukan pembaruan. Namun sebelumnya, pengarang Si Padang itu menyebut Acep Zamzam Noer, Joko Pinurbo, dan Afrizal Malna adalah penyair Angkatan 2000 yang juga telah melakukan pembaruan dalam puisi Indonesia. Ia juga menyebut beberapa penyair muda seperti Inggit Putria Marga, Fitri Yani, dan lain-lain yang memiliki capaian estetika.
Pertanyaan lalu muncul, bagaimana “nasib” para penyair yang tidak masuk dalam daftar makalah Harris Effendi Thahar? Apakah penyair Gus tf, Iyut Fitra, Mardiluhung, Nirwan Dewanto, dan lain-lain tidak memiliki capaian estetika?
Kuda Ranjang bukanlah pencapaian estetika puisi Indonesia. Binhad hanya “berani” tampil beda dalam mainstream perpusian Indonesia, yakni mengangkat persoalan yang dulunya dianggap tabu. Tetapi, apakah masalah seks tabu? Saya kira, sejak Ronggowarsito ihwal seks dalam sastra sudah sering digarap.
Oleh karena itu, mendapat kebenaran apa yang dinyatakan Afrizal Malna. Sejatinya sastrawan Indonesia tidak melakukan pembaruan, melainkan sekadar pemberontakan terhadap nilai-nilai yang dianggap usang ataupun sebelumnya dianggap tabu. Afrizal Malna menyayangkan para kritikus sastra kita hanya membaca dari dalam rumah berkaca. Artinya, berapa banyak para kritikus membaca karya sastra?
“Jangan-jangan kritikus sastra kita tidak membaca lagi karya-karya sastra yang di koran dan terbit dalam buku. Tetapi kemudian seolah-olah telah membaca, lalu membuat pernyataan. Pernyataan tanpa analisa yang mendalam,” ujar seorang sastrawan yang hadir dalam TSI 1 di Jambi.
Harris Effendi Thahar, buktinya hanya mengutip puisi Afrizal Malna dari buku Abad yang Berlari (puisi “Dada”), padahal puisi-puisi Afrizal yang banyak menghiasi lembar sastra koran justru berbeda dengan perpusian Indonesia. Hal yang sama dalam cerpen-cerpen Afrizal Malna, justru tidak tercatat oleh Sunaryono Basuki sebagai pencapaian estetika. Dan, ini diakui Sunaryono seusai dia turun dari meja pembicara: “Saya lupa memasukkan nama anda dalam makalah saya, padahal anda juga menulis cerpen dan cerpen-cerpen anda juga menarik,” ujar Sunaryono kepada Afrizal yang kebetulan saya berada dekat di antara mereka.
Pada akhirnya memang, tak ada kritikus sastra Indonesia yang benar-benar serius dengan profesi kritiknya. Kritikus sastra Indonesia, seperti kata Budi Darma, hanya kritik sepintas lalu. Sedang kata Afrizal, perlu adanya “membaca-menulis” dalam tradisi pembacaan karya sastra.
Dalam hal ini Sudaryono tak bisa sepenuhnya disalahkan. Panitia pelaksana TSI 1 Jambi sudah benar memilih narasumber. Hanya saja, tradisi membaca menulis—lagi-lagi meminjam pendapat Afrizal Malna dalam bincangnya—masih (seperti) main-main. Sehingga kita sering latah menderetkan nama-nama agar dibilang kita banyak membaca karya sastra. Padahal, kritik sastra yang berkembang sekarang, kritikus hanya membaca nama sastrawan!
Nah! Kalau boleh ingin mengritik panitia pelaksana. Di sini tempatnya, yaitu manakala panitia juga latah ingin menelurkan gagasan pembentukan wadah (komunitas) bagi sastrawan. Sepertinya komunitas adalah wajib dilahirkan dari suatu pertemuan sejenis TSI 1 Jambi. Sehingga harus “memasang perangkap” dengan dibuatnya sesi “Musyawarah Seniman”.
Saya orang yang paling apriori, bahkan menolak, adanya atau pembentukan wadah sastrawan. Pasalnya, sudah terlalu banyak komunitas di rumah seniman yang lahir. Tetapi, nyatanya, nasib seniman (sastrawan) tetap tidak bisa diangkat. Nasib sastrawan semacam Wiji Thukul tak tertolong. Penyair Tasikmalaya Saeful Badar karena puisi “Malaikat”nya yang dimuat Pikiran Rakyat hanya mendapat respon keprihatinan tanpa pernah ada pembelaan secara konkret sekiranya ia benar-benar “dilenyapkan”.
Itu sebabnya, Sosiawan Leak (Solo), yang juga sepandangan dengan saya soal komunitas, lebih menginginkan lembaga yang dapat membela sastrawan. Jika Munir saat dibunuh banyak lembaga membelanya mati-matian, maka bagaimana nasib Wiji Thukul dan Saeful Badar? Leak menghendaki lembaga yang mampu membela, mengadvokasi, dan dapat mensejahterakan sastrawan. Sebagaimana profesi-profesi lain seperti doktor, guru, dan sebagainya.
Dalam pandangan ini saya sepakat dengan Leak dan Triyanto Triwikromo. Maka ketika Triyanto melakukan dialog kecil saat pemandangan umum hasil rumusan “Musyawarah Seniman”, saya mengusulkan kalau memang wadah sastrawan adalah wajib bagi pelaporan kepada penyantun dana (Dinas Budpar Jambi), wadah itu diberi nama Aliansi Sastra Indonesia (ASI).
Karena hampir menyerupai AJI (Aliansi Jurnalis Independen), perjuangan ASI setidaknya harus mendekati AJI: advokasi, serikat, kebebasan, independen, dan kesejahteraan. Pembelaan, tentu harus dinomorsatukan. Terutama bagi sastrawan yang dizalimi, dicaci, dan dicela oleh komunitas tertentu dan sastrawan tertentu. “Seharusnya kita berpihak dan membela Ayu Utami yang dicela karena ia mendapat penghargaan Mastera. Tetapi mana?” ujar penyair Bambang Widiatmoko (Bekasi).
Memang tugas ASI harus berbeda dari komunitas-komunitas sastra yang ada atau sekelompok sastrawan yang mewarnai sastra Indonesia dengan cela dan caci, tetapi karyanya tak pernah tampak—terutama kualitasnya. Saya kira begitu. Saya kira…
Lampung, 14 Juli 2008
Sumber Radar Lampung, 19 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar