22 November 2008

Kritik: "5 cm." bagi Mimpi dan Idealisme


Oleh Isbedy Stiawan ZS



AYU Utami melalui Saman dan diikuti Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet) seakan mengawali fenomena sastra seks di tanah air. Kemudian para perempuan ayu dan dari kalangan selebritas beramai-ramai menulis karya sastra dan diterbitkan, fenomena sastra seks sedikit bergeser. Muncullah istilah yang popularitasnya hingga ke luar negeri, yakni sastra wangi.

Tentu dari genre sastra itu (kalau boleh menyebutnya demikian), ada hikmah bagi ranah sastra Indonesia. Karya sastra—terutama cerpen dan novel—booming di pasaran. Penerbit memburu para penulis dan bukan sebaliknya seperti sebelumnya. Penerbit-penerbit kecil pun bermunculan dan ikut bersaing dengan penerbit-penerbit sekelas grup Gramedia/Kompas dalam meramaikan pasar buku sastra.

Tetapi “bulan madu” dunia sastra itu tak lama. Pasaran buku sastra menurun, seiring kembali menjauh para “perempuan wangi” dan dari kalangan selebritas meluncurkan karya hinga kembali menyepinya minat masyarakat pada bacaan sastra.

Tatkala Ayat-ayat Cinta diluncurkan dan “meledak” di pasaran, masyarakat—terutama awam—seakan dimelekkan kembali pada bacaan karya sastra. Novel Ayat-ayat Cinta yang bernapaskan islami itu diserbu hingga mengantar buku tersebut menjadi best seller.

Kita seakan tersadar oleh strum novel Habiburrahman: sastra islami meski bertabur dakwah di dalamnya apabila dikemas semenarik mungkin, kesan dogmanya pun tak lagi terasa. Apalagi, kemudian Ayat-ayat Cinta diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Andrea Hirata melalui Laskar Pelangi seperti mendapat “wangsit”, novel yang diklaim sebagai pengalaman hidupnya dan mengangkat dunia pendidikan itu, selain booming dan best seller, juga telah dilayarlebarkan.

Kedua novel di atas, sejatinya tidaklah seberat novel-novel yang dinilai berkelas sastra. Temanya biasa saja—bahkan terlalu suci bagi seorang tokoh Fahri di Ayat-ayat Cinta dan taklah menonjol bagi tokoh Ikal dalam Laskar Pelangi. Tapi yang jelas tokoh utama di dalam kedua novel itu, sama-sama masih memunyai idealis dan cita-cita. Itulah “kata kunci” untuk sukses dan yang selalu dijaga dan digantungkan.

Dan idealis(me) itu pulalah yang dirayakan oleh Donny Dhirgantoro, penulis novel 5 cm, yang hendak kita bincangkan kesempatan ini. Kata kuncinya ialah, kalimat ini: “ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda, kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.” (378)

Ke 5 sahabat yang selalu menyebut dirinya “Power Ranger” itu sangat menjunjung idealisme. Mereka mencintai bangsa dan negaranya tidak semata berdemo di jalan atau menduduki gedung DPR/MPR, melainkan: “Yang berani nyela Indonesia… ribut sama gue,” Ian tersenyum ke teman-temannya. (349)

Atau kita kutip pernyataan Riani: “Dan selama ribuan langkah kaki ini, selama hati ini bertekad, hingga semuanya bisa terwujud sampai di sini, jangan pernah sekali pun kita mau menyerah mengejar mimpi-mimpi kita… Saya Riani, saya mencintai tanah ini dengan seluruh hati saya.” (349)

“Saya Zafran, saya mencintai negeri indah dengan gugusan ribuan pulaunya sampai saya mati dan menyatu dengan tanah tercintai ini.” (348)

Idealisme yang tertanam di jiwa para “Power Ranger” itu, memang terbilang naif di zaman di mana generasi mudanya berpikir hanya bagaimana ia bisa berhura-hura; hidup hanya untuk hari ini; dan seterusnya. Kesadaran yang memang akan dianggap nganeh sekiranya ada generasi muda berbicara: “Apakah kita sudah menjadi manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain?”/”Bukan manusia yang selalu mementingkan diri sendiri, manusia yang selalu mencintai dirinya sendiri.” (323)

Kritik terhadap KKN, dimulai dari diri sendiri: menolak perilaku KKN: “Ya, tapi seenggaknya kita mencoba jangan sampe sedikit pun kita KKN.”/”Karena kita dulu yang teriak-teriak anti KKN bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis sendiri, jadi manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakan-teriakan kita waktu zaman reformasi itu buat apa? Betul nggak, Ta?” (190)


Perjalanan 5 sahabat
Novel 5 cm. ini bercerita tentang perjalanan persahabatan 5 orang sejak masih SMA hingga mahasiswa. Mereka Genta, Zafran, Ian, Riani, dan Arial. Seperti Harry Potter dan Power Ranger saja, atau lazimnya dalam cerita-cerita anak-anak.

Selama 7 tahun tak pernah berpisah dan tiada hari tanpa berjumpa: diskusi, debat, nongkrong, nonton, ke kafe, yang bagai de ja vu itu, akhirnya membuat mereka tiba pada titik jenuh: bosan. Lalu mereka memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama jeda itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka lebih kaya dari sebelumnya.

Pertemuan setelah tak jumpa selama 3 bulan dirayakan bukan di tempat tongkrongan mereka sebelumnya, melainkan di puncah Mahameru. Tepat pada saat Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya: 17 Agustus!

Dalam perjalanan sejak di Stasiun Senen hingga Lempuyangan, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan, terutama sosial, yang didapati mereka. Misalnya soal pungli kondektur kereta api saat di jalan, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai tarif resmi, dan banyak lagi. Semua pengalaman itu, sekali lagi, makin mendewasakan mereka.

Novel best seller ini memang dapat mengayakan batin dan pikiran kita. Meski pun di sana-sini, bahkan hampir setiap halaman dipenuhi oleh kutipan lirik lagu sebagai penyedap untuk menarik kesukaan banyak pembaca muda, tidak mengurangi arti pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Donny sangat piawai untuk tidak terjebak dituding “mendoktrin” P4 kepada pembaca—tak cuma generasi muda!—ketika bicara soal kecintaan pada bangsa, negara, dan tanah air. Realis dan logis. Doktrin P4 tak disampaikan dalam seminar atau sarasehan, tetapi di puncak Mahameru.

Tak sedikit generasi muda menyukai petualangan mendaki gunung. Bahkan beberapa puncak seperti Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Rinjani dan banyak lagi, kerap didaki oleh pecinta alam den para pendaki. Entah sekadar menancapkan merah putih ataupun melakukan upacara detik-detik proklamasi pada 17 Agustus. Tradisi generasi muda itu dipakai Donny untuk menjadikan novelnya tidak hilang logika cerita.

Meski, berhamburan nama-nama dan sekaligus buah pemikitran serta perenungan sejumlah tokoh dunia semacam Alfred Nobel, Einstein, Sade, Plato, Socrates, Frank Sinatra (dan ah keliwat banyak jika dideretkan di sini) terkesan kelewahan. Bahkan menunjukkan seakan-akan penulisnya banyak melahap buku bacaan. Rasanya, sekelas mahasiswa umumnya, sulit (bukan tak ada sama sekali) kita pergoki mahasiswa ideal seperti ke 5 tokoh dalam novel 5 cm. ini.

Donny seperti tak sabar untuk tidak menghambur-hambur seluruh yang telah dibacanya. Pembeberan nama-nama dan juga pemikiran-pemikitan para tokoh dunia, meski bernilai bagi pembobotan novel ini, terkesan dipaksaan karena “nafsu” sang penulis.

Pengutipan lirik-lirik lagu yang kerap seluruhnya, menunjukkan kalau penulis 5 cm. benar-benar sangat hafal dan menguasai. Bayangkan ke 5 tokoh yang bersahabat itu amat fasih menyanyikan lagu-lagu yang ada dan tahu persis siapa pencipta atau yang memopularkannya. Sehingga, mungkin abai atau memang disengaja karena Donny amat berjarak dengan dunia penyair apatah lagi pada puisi, sehingga pemeranan Zafran yang seorang penyair yang selalu bimbang tak satu pun puisi ditonjolkan—bahkan sekiranya ada karya Zafran. Kecuali Zafran mengatakan saat menelepon Dinda (Arinda, kembaran Arial) bahwa ia sedang membuat puisi pesanan.

Karena Zafran justru kerap mendendangkan lirik-lirik lagu tinimbang membacakan puisi, layaknya penyair. Memang kelengahan ini tidak membuat nilai novel ini berkurang. Tetapi, selayaknya seorang dalang, pengarang mesti pula melakukan observasi untuk memberi bobot setiap tokoh-tokohnya dan (juga) seting.

Terus terang untuk seting, Donny sangat menguasai. Membaca biografi di halaman akhir buku ini, mahfum: ia dilahirkan sekaligus dibesarkan di Jakarta. Entah melalui observasi lebih dulu atau memang penulis 5 cm. adalah seorang pendaki, yang jelas seting pendakian Mahameru sangatlah dikuasai. Pembaca benar-benar diajak secara lebih dekat pada situasi pendakian: diperkenalkan daerah-daerah seperti Tumpang, Ranu Pane, Ranu Kumbolo, Arcopodo, Kalimati. Bagi yang belum (tak) pernah mendaki Semeru, jelas nama-nama ini suplemen bagi wawasan pengetahuan juga.


Pengisahan dan bahasa
Pengisahan dalam novel ini mengalir bagai air: bermula dari ketinggian, sungai, dan memuara di lautan. Tiada aral tak ada pula hambatan. Pembaca seolah dibuai mengikuti air yang mengalir itu. Sejak bab 1 hingga 10, walaupun setiap bab pastilah dimulai oleh kalimat—entah itu berbahasa Indonesia ataupun Inggris. Bagi saya tak ada masalah—kecuali bagian "sepuluh tahun kemudian.. "

Tetapi, nanti dulu, kendati tak ada masalah sebenarnya tak lepas dari masalah. Pertama saya ingin mengatakan pada Donny, bagian "sepuluh tahun kemudian" itu sangat dipaksakan. Kalau pun bagian itu dihilangkan, tak akan membuat nilai plus novel ini berkurang—apatah lagi hilang.

Dengan adanya bagian itu pada Bab 10, 5 cm kembali jadi cair padahal pembaca sudah disuguhkan keasyikan dengan berbagai permainan tokoh, kisah, sikap, dan perenungan. Menjadi cair lainnya, Donny justru ingin membenarkan dugaan-dugaan sementara yang ada dalam benak pembaca. Misalnya kalau Riani tak akan mencintai Genta karena ia sangat menyenangi Zafran. Atau Zafran tak akan jadi dengan Dinda meski adik kembar Arial ini selalu diburu cintanya oleh penyair yang selalu bimbang ini. Begitu pula Arial akhinya akan jadi dengan Indy meskipun awalnya ia males-males nanggapi SMS cewek yang ditemui pertama kali di fitnes. Hanya Ian yang tak diberi gambaran dengan siapa ia akan melabuhkan cintanya, dan Genta yang sepertinya misterius bisa menikah dengan Citra yang sekantor dengan Riani sebab tiada pernah dijelaskan di mana pertama kali mereka berjumpa. Hal yang sama bagaimana bisa Arinda dinikahi Dhenik, fotografer dan pendaki, kalau selama di perjalanan mendaki dan menuruni puncak Mahameru tak sekalipun berdialog.

Begitu pula, usia anak-anak mereka yang nyaris tak bejarak—kecuali anak Dhenik-Arinda—membuat saya bertanya-tanya: apakah ke 5 sahabat itu berdekatan tanggal pernikahannya?

Pengisahan antara Ian dengan komputernya yang selalu setia menemaninya saat-saat merampungkan skripsi yang menghabiskan beberapa halaman, rasanya—menurut saya—berlebihan: apalagi isi dialog (tepatnya: perdebatan) antara Ian dan komputernya tak begitu istimewa. Sayangnya, Donny melakukan “kealfaan” yang sama tatkala mengutip seluruh isi SMS, chatting, percakapan telepon antara Zafran dan Dinda, maupun bisikan jahat dan bisikan baik, serta saat Ian menyebarkan kuiseioner: bagian-bagian ini benar-benar melelahkan.

Lalu soal bahasa yang apa adanya, bahasa pergaulan anak muda, satu sisi bahwa demi menarik minat baca dari kalangan remaja dan masyarakat umum (awam) memanglah bisa dikatakan strategi. Dan itu terbukti: 5 cm. hanya 3 tahun dari terbitan pertama kini sudah cetakan ke 12 (November 2008).

Akan tetapi, jika dicermati dengan menggunakan kacamata berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sulit bisa kita harapkan. Kalau untuk dialog, saya kira tak ada masalah. Tak mungkin segenerasi ke 5 mahasiswa itu berbahasa Indonesia berstandard, atau Mas Gembul harus berbahasa layaknya kaum intelektual dan pembaca pidato-pidato. Cuma jika pada narasi, penulis masih menggunakan bahasa anak remaja bahkan untuk suara pun mesti pula diutarakan dalam bentuk tulisan serta masih ditemukan kesalahan tanda baca, apakah mungkin penulis novel 5 cm. belum akrab berbahasa yang baik (dan benar)?

Saya menemukan sejumlah kata “sepilas”, sumpah kalau saya mengerti maksudnya. Saya coba cari dalam kamus (saya memiliki Tesaurus Bahasa Indonesia, Eko Endarmoko, Gramedia, 2006), tapi tidak pula saya dapati kata itu. Setahu saya sekaligus saya akrabi, ialah kata “sekilas”. Mungkin saya yang salah karena keterbatasan pemilihan kata-bahasa saya, karenanya saya mohon maaf dan sudilah Donny berbagi ilmu.


5 cm. dari mimpi dan cita-cita, selebihnya…
Terus terang novel karangan Donny Dhirgantoro ini layak dibaca, walaupun digarap teenlit—artinya novel ini tidak tunduk pada bahasa Indonesia standard (baik dan benar)—dan sebagai novel popular. Novel 5 cm. juga tak berpretensi disebut karya sastra, karena penuh oleh referensi dari banyak pemikiran dan perenungan para tokoh dunia. Donny juga, sepertinya, tak punya pretensi bukunya ini disebut bernapaskan religius (islam), nasionalis, ataupun supaya memeroleh julukan merayakan idealisme yang memang nyaris lenyap dari jiwa masyarakat kita.

Donny hanya ingin, seperti dikatakannya yang saya dapati di google, “Saya tidak akan pernah berhenti dan tidak mau berhenti memberikan yang terbaik bagi 5 cm dan bagi apa saja yang saya lakukan di kehidupan ini setiap hari. Saya akan terus memberikan kehidupan yang terbaik dari diri dan saya tidak akan pernah berhenti….”

Oleh karena itu, barangkali, liwat 5 cm. ini Donny sekadar menanamkan satu benih pengertian bahwa kita harus memunyai mimpi, cita-cita, cinta, dan tekad (keyakinan) menjaganya jika hendak sukses: atau setidaknya bukan sekadar seonggok daging yang bisa berbicara, berjalan, dan punya nama.

Dan 5 cm. adalah sepenggal cita-cita, mimpi, atau keinginan yang harus selalu digantungkan dekat kening. Atau orang bijak memberi nasihat: apa yang diraih sesungguhnya tak jauh dari apa yang dipikirkan. Mengutip 5 cm. Donny dan sekaligus napas sesungguhnya dari novel ini, bahwa “setiap kamu punya mimpi atau keinginan ataupun cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu...jangan menempel. Biarkan dia menggantung.... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu, sehingga ia nggak pernah lepas dari mata kamu.”

Setelah itu, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363)

Akhirnya, apakah ketika langkah kita 5 cm. dari gedung ini menuju pulang, selesai pula mimpi-mimpi, cita-cita, tekad, keinginan-keinginan kita?

• bumi kemiling, ester20, beringinraya: 02.50, 20.11.08


(disampaikan pada Bedah Buku “5 cm.” oleh Pers Kampus PILAR Fakultas Ekonomi Universitas Lampung bekerja sama dengan penerbit Grasindo di Museum Lampung, Jumat 21 November 2008)

18 November 2008

Kumcer: SEANDAINYA KAU JADI IKAN



Isbedy Stiawan ZS

Kumpulan Cerpen
SeandainyaKau Jadi Ikan




(diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Mei 2005)






isi


Pedro Calzomanovic, Tamu di Warung Minuman­­­­­___
Mereka Hendak Merobohkan Pohon Tua___
Kami Dirampok untuk Kedua Kali___
Tukang Cerita___
Orang-Orang Kota___
Mak… Aku Pulang___
“Seroewan”____
Parang___
Tikus___
Terompet___
Muli___
Gelombang Besar di Kota itu___
Seandainya Kau Jadi Ikan___




1.
Pedro Calzomanovic,
Tamu di Warung Minuman





KALAU saja ia harus mati sekarang, ia ingin mengembuskan napas terakhir di kamar tidur di lantai dua rumahnya. Tidak perlu dimakamkan di pekuburan. Sekaligus menyempurnakan kesepiannya. Sebagai mumi, ia ingin masyarakat yang hendak mengenang kejayaannya sebagai sastrawan besar mengunjunginya.

Malam semakin letih. Tetapi, lelaki yang rambutnya mulai banyak ditumbuhi warna putih belum juga ada tanda hendak beranjak dari warung minuman itu. Sejak berpisah dengan Larasati, isterinya, sepuluh tahun silam, kegemaran bertandang ke sana dilakukannya setiap malam. Ia selalu mengambil tempat duduk itu, di pojok ruangan menghadap kota tua di bawah sana, dengan lembaran koran edisi hari itu. Halaman demi halaman koran yang dipegang seperti dia kuliti amat cermat. Tak pernah tertinggal barang sehalaman, bahkan untuk lembar iklan dan perjodohan.

Jika koran itu selesai dibaca—dan biasanya selalu habis begitu ia hendak meninggalkan warung minuman itu—ia tinggalkan di atas meja, lalu pelayan warung akan melipatnya dengan rapi untuk kemudian ditaruk di bawah meja kasir. Sebulan atau tiga bulan kemudian, pelayan warung itu akan membawa tumpukan koran itu ke penjual koran bekas. Lelaki itu tak pernah menanyai, pelayan warung itu pun tak merasa kesal harus menunggunya keluar dari warungnya meski pelanggan lain sudah pulang sejak tadi.

Pelayan warung itu maklum. Ia sedang tak berhadapan orang sembarangan. Pedro Calzomanovic, nama lelaki yang berusia 63 tahun itu, dikenal sastrawan besar di republik ini. Nama itu ia ketahui dari beberapa pengunjung warung itu. Meski pun pada masa sekolah dulu ia pernah membaca karya sastra dari lelaki itu, namun tidak mengenal orangnya. Kini ia berhadapan langsung dengan sang sastrawan, terkadang malah berdialog jika Pedro Calzomanovic meminta atau menanyakan sesuatu kepadanya.

“Apa kau sudah lihat perempuan pirang yang datang ke sini kemarin malam itu?” tanya Calzomanovic sambil menggerakkan ekor matanya, menyapu isi ruangan.

“Maksud Tuan, perempuan yang duduk di sebelah sana. Yang bergaun warna merah, di lehernya melilit selendang hitam?” pelayan warung balik bertanya.

Lelaki itu mengangguk. Pelayan itu menggeleng. Setelah itu terdengar desah lelaki yang tetap membiarkan rambutnya panjang sebahu, berikal. Sesekali saja dia mengenakan topi atau mengikat rambutnya bagian belakang. Saking akrabnya pelayan warung itu dengan sang sastrawan, dia tahu kalau Pedro acap membawa alat musik suling yang diselipkan di pinggangnya. Dan pelayan warung itu mafhum jika alat musik itu dimainkan, bisa dipastikan peniupnya sedang riang. Meski itu tak selamanya benar. Sebab, suara tiupan lebih mencerminkan dari perasaan hati si peniup suling. Seperti beberapa menit berlalu. Lelaki itu memainkan tiupan yang menyayat. Tentulah hatinya berduka.

“Sudah dua malam ini saya menanti dia datang lagi kemari, tapi saya yakin mimpi saya tak akan menjadi kenyataan. Saya terlalu dibawa mimpi, perasaan yang boleh jadi tidak rasional. Tetapi, bukankah hati, kadang lebih banyak tak berakal?” Calzomanovic kemudian berujar, setelah beberapa kejap terdiam. Menatap kosong ke kursi yang tiga malam lalu diduduki perempuan berambut pirang.

Entah, apakah karena perempuan yang ditunggunya sejak dua malam kemarin tak juga datang, membuat tiupan sulingnya malam ini menyayat? Pelayan warung itu tak berani jauh bertanya masalah itu. Ia tidak ingin karena pertanyaannya membuat pelanggan tersinggung, lalu tak lagi berkunjung. Bila itu terjadi, alamat warungnya akan ditinggal pengunjung. Apalagi ditinggal lelaki yang kini di hadapannya, itu tidak boleh terjadi. Karena kegemaran sang sastrawan setiap malam ke warung minuman itu, pelanggan bertambah dan yang datang selalu berganti.

“Mungkin sore tadi dia sudah datang. Maksudku dia datang sebelum saya ke sini?” Pedro melanjutkan.

Pelayan warung menggeleng. “Saya mengenal persis orang yang berkunjung ke tempat ini, Tuan. Jadi, tidak mungkin kalau saya tak melihat perempuan yang dimaksud Tuan kalau dia sudah datang pada sore tadi.”

“Ah, kenapa aku tidak mendekatinya malam itu? Tidak kutanyakan namanya, alamatnya, dan siapa orang tuanya? Aku seperti mengenal sekali keluarganya…” ujar lelaki itu. Seperti menggumam, tapi terdengar jelas oleh pelayan warung.

“Tuan mengenal perempuan itu? Siapa dia, Tuan?”

“Saya seperti mengenal dia, tapi belum tentu saya kenal betul dia. Baru samar-samar. Itulah bodohnya saya, kenapa waktu itu saya tidak mendekatinya dan mengajaknya bicara?”

“Sudah telanjur, Tuan. Mudah-mudahan masih ada waktu lain, Tuan jumpa dia lagi.”

“Ya, hanya itu harapan saya!”

Dan, lelaki itu setiap malam selalu datang ke warung minuman di atas bukit yang menghadap kota tua. Mengambil kursi yang selalu ia tempati, seperti tempat duduknya itu ia bawa dari rumah. Setelah duduk beberapa menit, datanglah pelayan warung dengan sebotol sprite dan segelas es. Itu minuman pertama. Selanjutnya semangkuk sup kaki sapi, secangkir kopi ginseng, dan beberapa jam kemudian sekaleng atau dua kaleng bir.

Pedro Calzomanovic amat akrab dengan warung minuman itu. Setiap ia datang pada pukul 18.00, pelayang warung akan menyambut di depan pintu. Tersenyum. Sesekali bercakap sebenatar untuk selanjutnya menyilakan “tamu khususnya” menuju kursi. Duduk tenang. Menghidupkan sebatang rokok. Membuka koran seraya diselingi membaca buku karya sastra. Tak jarang pula merekam suaranya sendiri dengan tape rekaman kecil. Entah untuk apa ia lakukan semua itu. Yang jelas, di mata pelayan warung itu, apa yang dilakukannya sudah menjadi rutinitas. Lalu, pada pukul 24.00 atau lebih sedikit ia permisi meninggalkan tempat duduknya seraya mengucapkan sesuatu kepada kursinya. Seperti merapal puisi.

Terkadang pelayan warung itu prihatin melihat sastrawan besar yang pada usia senja harus menanggung kesepian. Seperti cerita Calzomanovic, sejak ia bercerai dengan Larasati kini ia tinggal bersama dua anak lelaki yang sudah besar. Ia mengambil tempat tidur di lantai dua rumahnya. Untuk tidak mengganggu ketenteraman kedua anaknya, ia membuat tangga khusus: tak harus melalui dalam rumah.

“Aku sangat menyukai cara seperti itu. Dengan begitu, aku tak mengganggu orang. Saya juga tak mau diusik orang lain,” kata Pedro seperti kepada rekan karibnya. Sang pelayan warung cuma mengangguk-angguk. “Sejak dulu aku selalu ingin lain dan tak suka mengusik orang. Bahkan dalam berkesenian, estetika harus tampil beda. Aku muak dengan seniman muda sekarang, yang mereka lakukan hanya daur ulang. Para seniman tuanya sama saja, hanya melakukan pengulangan. Tidak mencerahkan!” imbuh dia tanpa memedulikan apakah lawan bicara mengerti maksud yang diucapkannya.

“Kau tahu? Untuk suatu kreativitas dan demi kesenimananku, Larasati kuceraikan. Aku suka haha haha. Seniman besar harus berani membuat kejutan, melakukan di luar rencana dan akal sehat orang kebanyakan. Jangan seperti kebanyakan seniman besar kita, mereka berada di bawah ketiak istri-istrinya. Bagaiamana bisa memerdekan dan membebaskan daya hidup kreativitasnya!” kata dia lagi.

Sang pelayan warung kembali hanya mengangguk-angguk. Tersenyum. Akan tertapi, dalam hati, pelayan warung itu berkata lain: “Tetapi, kenapa kau selalu merasa kesepian di tempat ini? Menghibur diri dengan sulingmu, atau membaca puisi keras-keras, merekam suaramu, merapal bait-bait puisi, menenggelamkan kekusutan pikiranmu dalam lembar-lembar koran. Sesuatu yang kontradiktif.”

Dan pelayan warung itu meninggalkan Pedro setelah menyerahkan minuman atau makanan yang dipesannya. Ia kembali sibuk dengan melayani pelanggan lain. Begitulah, setiap pelanggan memiliki karakter masing-masing. Ia hafal benar. Karena itulah, ia masih tetap dipertahankan oleh pemilik warung. Kalau tidak, tentu ia sudah lama dipecat dari tempat itu.



PEDRO CALZOMANOVIC meninggalkan warung minuman dengan langkah gontai.. Selain karena keletihan yang sangat, beberapa menit lalu ia telah menghabiskan empat kaleng bir di sana. Malam sudah semakin letih. Ia susuri jalan beraspal. Sepi. Lampu-lampu jalan yang redup karena ditimpa hujan sejak sore tadi memercik cahaya keperakan. Genangan air di aspal jalan memantulkan pecahan yang lain.

Lelaki berusia 63 tahun itu terus membawa kedua kakinya, sambil sesekali kepalanya bergerak ke segala arah. “Taik! Mana pula taksi ini!” ia menggerutu. Terus melangkah. Berhenti di halte. Menggeraikan rambutnya yang dipenuhi bintik-bintik air hujan. Ia sendiri di tempat perhentian itu.

“Habis harapanku. Perempuan pirang itu tak akan kujumpai lagi!” Calzomic bergumam. Dua pekan berada di warung minuman itu, perempuan yang pernah dilihatnya di sana tak lagi singgah. Perempuan misterius. Mungkin ia tak sengaja singgah di warung itu, bukan pelanggan tetap. Dia berpikir. Cuma Pedro seperti sangat akrab dengan wajah perempuan berambut pirang, perokok, dan selendang hitam yang melilit di lelehrnya. Namun, wajah siapa?

Ia mengingat-ingat semua orang yang penrah dikenalnya. Dari sastrawan, pelukis, seniman teater, sampai ke orang film. Satu persatu wajah mereka ia ingat kembali dengan teliti dan detail. Ah, ya! Tiba-tiba ia tersenyum. Riang. Dia kini iangat dengan seorang sutradara film terkenal. “Apa mungkin dia anak sutradara besar itu?” Pedro Calzomavic ragu. Ah, persetan dengan perempuan pirang itu. Ia meyakinkan diri untuk membuang jauh wajah perempuan yang ditemui di warung minuman dua pekan lalu.

Tak ada taksi lewat. Tak ada lagi bis kota rute ke rumahnya. Ia kesal. Beranjak dari halte itu, ia kembali susuri jalan yang basah itu. Demi membunuh kesepiannya, ia tarik suling dari dalam jaketnya. Ia memainkan alat musik itu. Sesekali ia merapal kalimat-kalimat yang dia rekam dengan tape kecilnya.

“Ahhaaa… sebuah puisi! Ya, ini puisi bagus. Ya, teruslah imajinasi, mengalirlah…” Pedro tertawa-tawa. Meniup suling keras-keras. Malam semakin peyot. Embun bersama-sama rintik hujan luruh, dan itu terasa sekali saat mengenai rambutnya. Ia mengambil topi dari tas yang senantiasa di jinjingnya. Pedro mengetatkan jaketnya. Terus merafal baris-baris kata…

senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi
lembab dalam renyai lebam dalam sepi
sayap dalam gapai langit dalam cari
resap dalam duhai riang dalam nyeri wau!1

Ia tenggak gerimis
orang yang sadar hakikat takkan mabuk bulan—
bulan kecewa
menarik gerimis
kembali ke pelepuk purnama2


Ia terus merapal baris-baris kalimat itu. Berulang. Lalu menambah dengan kata dan kalimat yang lain. Jadi puisi panjang. Jadi kias besar dan luas. Sepanjang malam yang terpuruk oleh letih. Seperti keletihannya sendiri saat itu. Ia bayangkan kamar tidurnya di lantai dua, juga kini letih dan sepi. Mungkin spreinya tetap tak teratur ketika ia tinggalkan sore kemarin. Selimut tergeletak di lantai. Celana dalam bergelantung di belakang kursi kerjanya. Ia teringat komputernya yang belum dimatikan. “Ah, tentu Bahdar telah mematikannya.” Gumam.

Sekaleng bir dia buka. Sekali tegak tumpas airnya. Tubuhnya kembali hangat. Pedro makin gontai menyeret kedua kakinya yang seperti ada bandul beban itu. Ia tak abai terus mengumpat taksi yang tak juga lewat. Menyeberang di bawah jembatan penyeberang. Menundukkan tubuhnya ketika dekat pagar pembatas jalan. Melewati jalan kecil itu, sebentar lagi ia sampai ke rumahnya.

Ia ingin langsung merebahkan tubuhnya begitu sampai di kamar tidur. Ia mau penat yang mendera dirinya segera pulih begitu matanya terpejam. Bahkan kalau Tuhan memungkinkan, ia ingin segera napasnya berakhir. Di tempat tidurnya, di lantai dua rumahnya. Tak perlu pemakaman. Biar genap kesepiannya. Sebagai mumi, ia ingin masyarakat yang hendak mengenang kejayaannya sebagai sastrawan besar mengunjunginya.

Pedro tetaplah sastrawan besar tak terkalahkan. Batinnya berteriak. Malam penuh teriakan. Pada usianya 63 tahun ini, semua ia telah tinggalkan. Ia keluar dari sebuah penerbitan harian, juga sebuah majalah seni. Ia hendak menghabiskan sisa-sisa kebesarannya tanpa disibuki oleh membaca karya-karya orang lain yang hendak diterbitkan. Biarkan seniman lahir tanpa campur tangannya. Lahir tanpa bidan atau pun dokter bedah. Menjadi dirinya sendiri, bukan seperti dia atau lainnya.

Dia menggerutu, meracau, merapal kalimat-kalimat puitik. Bagai seekor kucing ia mengiau di malam senyap itu. Ia menjelma jadi herman, jadi rusdi, jadi orang-orang besar: seniman dunia. Menguasai dan mengangkangi semesta.



“APA kau sudah lihat perempuan pirang itu datang?” Pedro Calzomavic bertanya. Pelayan warung itu mengangguk. Tersenyum. “Ke mana dia sekarang, jam berapa dia kemari?”

“Mungkin tak kembali lagi. “Tuan terlambat, dia pergi pukul delapan tadi!” jawab sang pelayan.

“Sial!” ia menggerutu. “Aku ketiduran seharian!”

“Tuan menulis puisi lagi?”

Pedro menggeleng. “Aku sampai di rumah subuh, aku semalam pulang tanpa taksi. Tak ada taksi. Aku langsung tidur dan baru bangun pukul delapan malam tadi. Tapi, aku ada lahir puisi. Masih dalam rekaman kaset ini. Aku meracau sepanjang jalan, merapal baris-baris puisi panjang. Ini kubawa kalau kau mau mendengar puisi terbaruku!” ujar Calzomavic menawarkan tape rekaman.

Sang pelayan menggeleng. “Terima kasih, Tuan. Saya masih kerja malam ini. Bolehlah malam nanti kudengar kalau tamu sudah tak ada lagi,” kata pelayan warung itu.

Pedro mengangguk. Tersenyum. Ia senang jika karyanya ada yang mau membaca atau mendengar. “Baik. Baik. Malam nanti kita dengar bersama-sama…”

Sang pelayan warung menjauh. Menyerahkan minuman kepada tamu lain. Sekejap kemudian, ia menemui Pedro dan menyerahkan semangkuk sup kaki dan sepiring nasi putih.

“Perempuan itu masih mengenakan pakaian, seperti dia datang pertama kali?” Pedero bertanya begitu pelayan warung telah meletakkan makanan ke meja.

“Tidak, Tuan. Saya lihat tadi dia mengenakan celana jins, kaus warna merah dan dibalut jas hitam…”

“Selendang hitamnya masih dililit di lehernya?”

Pelayan warung mengangguk tegas.

“Aku menyesal tak bisa melihat kecantikannya malam ini…” seperti bergumam Pedro berujar.

“Bahkan lebih cantik dari pada malam pertama dia datang, Tuan. Perempuan itu tadi pakai kacamata hitam, wah benar-benar cantik!”

“Aku sudah menduganya begitu. Dia memang jelmaan bidadari, pantaslah karena perempuan itu lahir dari sutradara film besar dan dari rahim seorang ibu yang cantik pula!”

“Tuan sudah tahu siapa perempuan itu?” pelayan warung itu meminta kepastian.

Pedro menggeleng.

“Lalu, dari mana Tuan bisa berkata begitu?”

“Saya cuma menduga. Hati saya mengatakan begitu,” jawab Pedro santai membuat pelayan warung itu menggerakkan bibirnya berbentuk huruf “O”.

Meski begitu, Pedro tetap kecewa tak menemu langsung. Ia berharap malam ini perempuan itu datang lagi, entah untuk sesuatu apa: siapa tahu barangnya tertinggal di kursi atau meja tempatnya duduk. Namun, Pedro meragukan angannya itu. Kalau ada barangnya tertinggal, sudah sejak tadi pelayan warung memberi tahu dia. Cuma, bisa saja urusan lain yang boleh jadi tak masuk akal?

Kenapa tidak, batin Pedro, kalau Tuhan menghendaki apa pun bisa terjadi. Tak ada kamus masuk akal ataukah tidak bagi Tuhan. “Eh, apa kau punya bayangan kalau perempuan itu bakal datang lagi malam ini?”

Pelayan warung itu tak mengira mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ia agak gelagapan. Bagaimana mungkin ia mengira sesuatu di luar kemampuannya? “Saya bukan peramal Tuan, jadi tak bisa menjawab pertanyaan Tuan. Maaf…”

“Ini bukan soal ramal-meramal. Biarpun aku lahir dari tradisi mantera dan perdukunan, saya tak percaya peramal atau dukun. Aku hanya ingin jawabanmu dari buah dugaanmu…”

“Juga tak bisa, Tuan. Sungguh. Maaf.”

Pedro kemudian diam. Ia mengambil alat musik kesayangannya. Sebuah pipa setenless yang dilubangi enam buah di atas dan sebuah lubang di bagian bawah. Kemudian ia meniup dari ujungnya. Terdengar instrumen: ode yang perih tentang kulit hitam yang terpinggir3 Ah tidak, sebuah senandung kesepian, kekecewaan, sia-sia!

“Menyedihkan…” ia mendesis.

Pelayan warung makin tak mengerti.

“Kalau kau sedang berlayar di lautan, kau sudah tak punya harapan hidup. Sebab, seorang pelaut harus punya keahlian mengira-ngira, dan itu tak kaumiliki. Apakah itu tak menyedihkan?” Pedro menjelaskan. Terkekeh.

“Itu sebabnya, Tuan, saya bekerja di sini. Kalau saya bisa mengira-ngira, tentu saya menjadi pelayan bar di kapal pesiar. Hehehe…” pelayan itu menjawab sambil melepas tawa.

Keduanya pun tertawa. Lepas. Malam makin terasa lelah. Seseorang—begitu pelayan warung itu hendak menutup jendela dan mematikan lampu-lampu di taman—seperti ajaib sudah berada di ambang warung itu. Terpaku. Kedua bola matanya yang indah menumbak Pedro. Menyayat dari ujung rambut hingga ke tumit sepatu.

“Tuan Pedro Calzomanovic?” perempuan pirang itu bertanya yakin. “Untung saya kembali ke warung ini. Perasaan saya menduga Tuan masih ada di tempat ini…”

Calzomanovic menggangguk. Tersenyum. Berbisik kepada pelayan warung. “Apa kubilang, kita harus punya keahlian mengira-ngira, maka kita tak akan mati cepat!” Pelayan itu tertawa, Pedro juga terkekeh.

“Senang sekali jumpa dengan Tuan. Saya sudah lama belajar dari karya-karya sastra Anda yang memang sejak kecil sudah saya kagumi. Kini saya ingin belajar langsung dari Tuan…” kata perempuan pirang itu. “Ini karya-karya saya. Setumpuk cerita pendek. Saya tak tahu harus dikirim ke media mana, tak kenal rimba penerbit. Saya mau sebelum karya-karya saya ini dilempar ke media, Tuan berkenan membacanya lebih dulu dan memberi pengantar atau kritik. Terima kasih, permisi…” lanjut perempuan pirang itu menyerahkan setumpuk cerita pendeknya, setelah itu berlalu.

Pedro Calzomanovik terlongo. Ia harus membaca lagi karya orang. Padahal, enam bulan lalu, ia seperti sudah bersumpah tak ingin membaca karya sastra pengarang muda sebagaimana ia lakukan saat menjabat redaktur. Sialnya, ia tak punya keberanian menolak. Ia juga tak punya kekuatan untuk seakadar bertanya nama, alamat, siapa keluarganya, dan sejak kapan mulai menulis sastra.

Malam kian menampakkan letihnya. Pelayan warung itu sangat lambat menutup jendela, menurunkan kordin, dan menutup pintu. Ia juga kelihatan letih. Bekerja seharian. Ditambah lagi menunggu beberapa jam kemudian selepas jam kerja karena Pedro Calzomanovic belum juga beranjak dari kursinya. Selepas Pedro pergi, ia melipat koran dan meletakkan di bawah meja kasir. Seperti biasa…



Lampung, 20-21 April 2004





2.
Mereka Hendak
Merobohkan Pohon Tua


buat Hudan Hidayat



DI kampung saya, tumbuh pohon yang sudah amat tua. Mungkin usia pohon itu sudah lima puluhan tahun, atau barangkali lebih. Kemudian kami namakan Pohon Tua. Meski batangnya tampak merapuh, anehnya tak satu warga pun berani menebangnya. Pohon itu tumbuh persis di tengah kampung, dekat alun-alun, di depan pendapa. Meski batangnya tampak keropos dan berlubang sebesar tubuh manusia, pohon tua itu tak juga roboh. Lebih aneh lagi, meski musim kemarau, daun-daunnya selalu hijau.

Warga kampung sangat mempercayai pohon tua itu bertuah: mendatangkan rezeki dan memberikan kesejahteraan serta aman bagi warga kampung. Mungkin itu penyebabnya, tak ada warga yang berani menebangnya. Padahal, pohon tua itu tak lagi membuat kampung kami menjadi indah. Malah mengganggu pandangan. Anak-anak nakal kerap bersembunyi di balik pohon itu jika dimarahi orang tuanya. Atau bila malam hari, pohon itu ramai dikunjungi pasangan remaja, sebagai tempat berkencan.

Pak Warki, warga yang agak muda usianya di anatara kami, pernah menguslkan agar pohon tua itu ditebang saja. Pohon itu tak akan memberikan manfaat apa-apa, alih-alih mendatangkan berkah. Itu bidah, takhayul, syirik, katanya. Tetapi, usulan Pak Warki dibantah habis-habisan oleh kalangan tua. Menurut para orang tua, pohon itu sudah ada di situ sebelum Warki lahir dan menjadi warga di kampung ini.

Jadi, kata para orang tua, jangan coba-coba memengaruhi warga untuk merobohkan pohon tua itu, “Selain itu, pohon tua itu penyejuk kampung ini. Matahari tertahan sinarnya oleh rimbunan daunnya,” kata seorang dari para orang tua.

Hanya Pak Warki tak kehabisan akal membujuk warga agar pohon itu dorobohkan. Dia mengundang anak-anak muda ke rumahnya. Termasuk saya, tetapi saya beralasan hendak mengunjungi keluarga yang sedang sakit. Saya dengar dari salah seorang generasi muda yang ikut rapat di rumah Pak Warki, mereka sepakat akan menebang pohon tua itu. Alasannya kalau pun tak ditebang, pohon yang sudah tua itu akan roboh sendiri. Dan itu akan membahayakan, bisa membawa korban nyawa.

“Bayangkan jika anak Bapak sedang asyik bermain di bawahnya, tiba-tiba pohon tua itu roboh dan menimpa mereka? Bagaimana, kan yang rugi kita semua….” Kata Pak Daman, suatu ketika berjumpa dengan saya.

“Pohon tua itu sudah tidak produktif lagi. Sudah menjadi masa lalu…” sambung Sam, pemuda yang dikenal berpikiran maju. “Sebagai masa lalu, pohon itu tak lagi pantas tumbuh hingga sekarang. Orang yang berpikiran moderat akan membutuhkan sesuatu peremajaan, yang lain…”

“Tak ada suatu benda di dunia ini yang memberikan berkah kepada kita, kecuali Tuhan. Lalu, kenapa kita percayai pohon itu akan menyelamatkan, menenteramkan, dan memberkahi hidup kita?” Pak Warki menambahkan. “Pohon tua itu, seperti mahluk hidup lainnya, secara kodrat akan tumbang, akan roboh. Mati. Tak akan pernah bisa abadi…”

“Sekarang saja, ia sudah tak produktif. Ia hanya mengulang, mendaur apa-apa yang pernah dikerjakannya pada tahun-tahun awal tumbuh. Daun-daun menganti yang rontok, adalah daun-daun masa lalu. Ia tak bisa mengokohkan akar, batang, ataupun cabang yang terus menua,” Pak Warki bilang lagi.

“Karena itulah, kami berkesimpulan pohon tua itu sudah waktunya ditebang, dirobihkan. Kalau tidak sekarang akan membahayakan jika tumbang sendiri. Bagus kalau tengah malam. Kalau di bawah pohon itu banyak orang, bagaimana?” masih kata Pak Warki. “Kami sudah sumbangan dana untuk membayar penebang pohon yang berpengalaman.”

Saya tak ikut cakap. Saya termasuk orang yang diam-diam bimbang: antara mendukung atau menentang merobohkan pohon tua itu. Namun, dukungan dan menolak itu sampai kini tak saya utarakan kepada kedua belah pihak.

Bagi saya, pohon tua itu punya sejarah panjang bagi kampung kami. Pohon tua itu yang membatasi kampung kami dengan kampung seberang. Bahkan, pohon tua itu telah menyelamatkan kedua kampung yang pernah bertikai. Di bawah pohon itulah wakil kampung kami—waktu itu saya salah seorang yang ditunjuk sebagai wakil—bertemu dan bermusyawarah dengan wakil kampung seberang untuk menghentikan pertikaian. Kedua wakil kampung sepakat, pohon tua itu adalah batas wilayah kampung.

“Barangsiapa di antara kami yang menyerang kampung tetangga melebihi batas pohon itu, ia berhak disalahkan dan hukum boleh dibunuh.” Itulah isi “Kesepakatan Pohon Tua”, dua puluh tahun lalu. Sejak itu, memang tak pernah lagi terjadi peperangan antara kampung kami dan kampung seberang.

Lalu kenapa sekarang mereka hendfak merobohkan pohon tua itu? Bahkan beberapa warga dari kampung seberang juga telah menyatakan kesepakatan untuk membantu merobohkannya? Apa alasan mereka hendak merobohkan pembatas itu? Seperti orang-orang Jerman Barat dan Jerman Timur saja yang merobohkan tembok Berlin? Entahlah, saya tak tahu. Pasalnya, alasan mereka beragam. Warga yang satu dengan warga lainnya, punya asalan berbeda.

Jika sampai hari ini mereka belum juga merobihkan pohon tua itu, disebabkan para tetua dari kedua kampung tetap menolak. Para tetua dari kampung seberang, malah lebih ngotot: apa pun alasannya pohon tua itu jangan ditebang. “Yang berani merobohkannya akan berhadapan dengan pedang!” kata para tetua dari kampung seberang. Saya maklum kalau mereka amat menentang, sebab yang hendak menebang pohon itu mayoritas dari kampung sini.

Sementara para tetua dari kampung saya, juga menyatakan hal serupa meski agak merendah. “Pohon itu telah menyimpan banyak kenangan dan sejarah, terutama pernah dijadikan tempat musyawarah perdamaian antarkampung. Jadi kalau pohon itu dorobohkan, bukan tak mungkin pertikaian akan terulang. Dan, itu akan berjatuhan korban lagi di kedua belah pihak…”

Tetapi, Pak Warki dan kroninya, terus berupaya menghasut warga agar setuju pohon tua itu dirobohkan. Niat itu didukung oleh generasi muda dari kampung seberang. Mereka—wakil dari kedua kampung—telah berkali-kali mengadakan pertemuan, sosialisasi, dan memberikan pengertian kepada para tetua. Wakil dari kedua kampung yang setuju, menyatakan bahwa dengan tak adanya pohon itu maka batas antarkampung yang selama ini telah memisahkan, bisa tak ada lagi halangan. Warga kampung sini bisa berkunjung dan bersilaturahmi ke kampung sana. Begitu sebaliknya. Tidak seperti selama ini, meski sudah menyatakan damai, tapi karena ada pohon pembatas itu, tak ada warga yang berani meliwati pohon tua itu. Lebih baik melalui kampung lain, jika hendak ke pasar atau ke alun-alun apabila ada keramaian.

*

SEMENTARA dari kalangan tua di kedua kampung yang menolak pohon itu ditebang, juga melakukan musyawarah tandingan. Saya ikut dalam kelompok tandingan itu. Kesimpulannya, kami siap berkalang tanah jika dari generasi muda bertekad menebangnya. Pohon tua itu, bagaimana pun punya sejarah besar bagi kedua kampung. Bahkan, ada seorang warga yang mengusulkan di dekat pohon tua itu dibangun semacam tempat pertemuan serbaguna. Geduang itu—orang menyebutnya pendopo, selain untuk menyimpan benda-benda sejarah yang ada di dua kampung yang pernah bertikai ini, jugsa sebagai tempat pertemuan, dan lain sebagainya.

Tetapi, kesepakatan para tetua kampung ditolak kelompok pertama. Justru dnegan membiarkan pohon itu ada di sana, luka lama karena pertikaian antarkampung akan terus menghantui. Padahal, sekadang sudah masa reformasi dan demokrasi. Tak ada lagi pembatas-pembatas wilayah yang akan mersak kemajuan. Dengan merobihkan pohon tua itu, persahabatan kedua kampung bukan lagi cuma basa-basi. Bukan perdamaian yang hanya disepakati di meja musyawarah, melainkan meniscaya. Selama ini, menurut kelompok yang hendak merobohkan pohon itu, perdamaian kedua kampung masih malu-malu. Terbukti warga di sini masih enggan bersilaturahmi ke kampung sana, begitu sebaliknya. Yang paling terasa bahwa perdamaian kedua kampung masih semu, misalnya ada orang tua yang menolak keras anaknya menikah atau dinikahi oleh warga dari kampung seberang pohon, padahal hasil musyawarah sejak kesepakatan ditandatangani maka kedua kampung sudah menjadi bersaudara.

Pak Warki kembali menemui para tetua. Ia memohon kerelaaan kami untuk tidak lagi menentang keinginan mereka. Kali ini bahkan ia memberikan konsekuensi-konsekuensi dari pelaksanaan penebangan pohon itu. Misalnya, mereka akan menanggung seluruh biaya dari akibat penebahan itu. Pihaknya juga akan membangun gedung sebagai museum dan tempat pertemuan kedua kampung di bekas pohon itu. Daerah sekitar itu juga akan dijadikan alun-alun yang cukup besar untuk pasar malam, tempat upacara, dan lapangan untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha. Kata Pak Warki ada seorang dermawan yang siap menginvestasi uangnya ke pekerjaan mulia ini. “Ia telah menyiapkan dananya…” ujarnya yang diamini kelompoknya.

“Kami mau tanya apa imbalan untuk dermawan itu?” kata seorang tetaua kampung.

Pak Warki menggeleng. “Sepeser pun ia tak meminta imbalan. Lillahita’ala.”

Entah kenapa, karena ada seorang tetua yang selama ini amat ngotot untuk menolak penebangan pohon itu tiba-tiba menyatakan setujua, akhirnya membuat lainnya ikut mendukung. Maka siang itu juga, pohon tua itu mulai dirobohkan. Sepuluh penebang pohon berpengalaman dikerahkan untuk melakukannya.

Sebelum dimulai, seorang tetua yang kami segani mengusulkan agar dilakukan upacara kecil-kecilan. Memotong ayam warna hitam, membuat nasi kuning, telor ayam kuning. Setelah berdoa di bawah pohon tua itu, sepertiga dari makanan itu ditaburkan di sekitar pohon, dan dua pertiganya boleh disantap.

Saya memrotes. Prosesi seperti itu justru bid’ah. “Itu syirik. Tuhan bisa mengutuk kampung ini karena kita mensekutukan Tuhan,” kata saya berapi-api. Sayangnya, saya berdiri sendiri. Tak ada yang mendukung. Upacara itu tetap dilakukan. Akhirnya saya mundur dari majelis upacara tersebut.

Tetapi, ya ampun! Sudah dua minggu, pohon tua itu belum juga bisa dirobohkan. Padahal seluruh daunnya sudah dirontokkan. Pohon itu kini seperti pria berkepala pelontos. Jangankan batangnya ditebang, cabangnya pun tak bisa digergaji. Menurut salah seorang penebang, pohon itu sudah seperti besi. Alat penebang tak sanggup melawannya. Para penebang berpengalaman itu nyaris putus asa karena beberapa orang telah menyatakan mundur dari proyek tersebut. Pak Warki tak kehabisan akal, ia mencari beberapa penebang pohon lain untuk menambah kekuatan yang ada.

Meski penebang pohon sudah lebih banyak dari sebelumnya, pohon tua itu tetap saja tak bisa dirobohkan. Berbagai akal dan upaya dikerahkan. Saya merasakan kalangan muda di bawah komando Pak Warki dan Pak Dule dari warga seberang, mulai kehabisan daya. Mereka juga kelihatan mulai putus asa. Hanya, untuk menghentikan pekerjaan tersebut jelas tidak mungkin. Selain kepalang sudah menyatakan berani, juga akan menuai malu dari kalangan tetua.

Itu sebabnya, sejak tiga hari lalu penebangan dilakukan sampai larut malam. Bahkan pekerjaan yang dilakukan kemarin, dilanjutkan hingga pagi tadi. Pak warki tak henti-henti mengobarkan semangat kepada para penebang: pekerjaan mereka tidak akan sia-sia. Pak Warki mengundang orang pintar untuk memberi semacam ajian agar pohon tua itu mau menyerah. Sekiranya ada mahluk halus penunggu pohon, diminta segera pindah.

“Pohon itu sudah cukup lama hidup di dunia ini, mungkin sudah seratus tahun. Mintalah kerelaan dia untuk menyerah, Mbah. Mohon pula penunggunya untuk rela pindah ke pohon lain,” kata Pak Warki kepada orang pintar yang sengaja diundang dari Jawa.

Meski sudah dilakukan jejampi, pohon tua itu tetap tak mau menyerah. Pohon itu seperti tak rela harus dirobohkan oleh generasi muda bau kencur. Hal itu disampaikan pohon tua itu kepada Mbah Darmo, orang pintar yang diminta nasihatnya.

Pak Warki tak percaya pada Mbah Darmo. Keesokan hari, ia panggil orang pintar lainnya. Seperti juga Mbah Darmo, Pak De juga mendapat “bisikan” bahwa pohon tua itu tak mau dirobohkan. Masih menurut Pak De yang sesungguhnya syirik, penghuni pohon itu tak mau pergi dari sana. Siapa yang nekad hendak merobohkan pohon itu akan kualat: tak selamat dan kehidupannya akan melarat, kata Pak De menirukan bisikan mahluk halus di pohon tua itu. Tidak itu saja, Pak De juga dibisiki akan mengancam dengan mencabut nyawa terhadap orang yang hendak menebang pohon tersebut. “Nah, terserah apakah warga di sini mau tetap nekad?” kata Pak De.

Mungkin karena malu kalau berhenti, maka kelompok Pak Warki tak menggubris nasihat Pak De. Mereka tetap nekad ingin merobohkan. Seluruh media massa juga setiap hari memberitakan keinginan generasi muda itu untuk menumbangkan pembatas kedua kampung kami. Kelompok Pak Warki menilai dnegan tetap tumbuhnya pohon yang telah berusia hampir seratus tahun itu, justru kedua kampung yang sebenarnya telah berdamai seakan semu. Buktinya, warga kedua kampung jangankan salinmg bertandang, meliwati pohon tua itu saja tak pernah. “Mudah-mudahan dengan tak ada lagi pembatas itu, kenangan pahit saat bertikai dan musyawarah untuk berdamai benar-benar konkret.”

Sayangnya, sampai hari ke-15 pohon itu tak juga roboh. Batangnya sulit ditaklukkan oleh alat gergaji mesin. Kerasnya bagai besi. Itulah yang sebenarnya telah membuat kelompok Pak Warki cemas, kecewa, bahkan nyaris frustrasi.

“Ini pohon macam apa? Seumur hidupku baru sekarang aku mendapatkan pohon yang tak dapat ditebang, kerasnya melebihi besi!” Pak Warki emosi. Tampak dari wajahnya ia juga sangat putus asa.

Pohon tua itu memang keterlaluan, pikirku. Ia begitu ngeyel, angel, dan sejenisnya. Sudah tahu tak diperlukan lagi keberadaannya, masih juga tak mau tumbang. Bahkan pohon itu seakan makin memperkuat tubuhnya laksana besi. Tidak itu saja, daun-daun yang kemarin dulu digunduli, kini mulai tampak kembali bertunas. Seakan meledek Pak Warki dan kroninya.

“Eh, anak muda bau kencur jangan sok hebat, sok jadi algojo ye? Kalau tak bisa menandingi keberadaan saya, jangan gerah lantas hendak merobihkan saya? Cari dong cara lain, misalnya… ya pokoknya dengan cara yang intelektual, berkualitas gitulah!”

Saya merasakan pohon tua itu ingin banyak mengejek anak-anak muda yang dikomandoi Pak Warki. Suatu malam, saya bermimpi bagaimana pohon itu memburiti anak-anak mudai itu: “Kalau enggak bisa mengalahkan kualitasku, jangan sebar fitnah begitu. Saingi saaya dengan fair, misalnya dengan menanam pohon lain yang lebih hebat, kuat, dan berbatang kawat. Bukan seperti cara kalian yang tak bebrobot. Malah terkesan kekanak-kanakan!”

Saya ceritakan mimpi saya itu kepada Pak Warki dan kawan-kawan. Saya juga ceritakan hasil mimpi saya kepada para tetua. Pak Warki dan pendukungnya, makin mencak-mencak. Ia merangsek pohon tua itu dengan berbagai alat besar dan modern. Mereka juga mengundang buldozer untuk merobohkan dari akar. Tetapi, jangankan tumbang, lagi-lagi pohon itu bergeser pun tidak. Beberapa di antara mereka malah jatuh korban: patah tangan, kaki, tergilas buldozer, dan kesurupan!

Sedangkan para tetua, termasuk saya yang menolak pohon itu dorobohkan seperti memeroleh angin kemenangan. Namun dalam kegembiraan itu, terbersit berita ada oknum yang hendak memanfaatkan dari tumbangnya pohon itu.


DI rumah Mbah Yoso, malam kemarin, kami menerima laporan dari seorang warga tentang ada oknum di balik penebangan pohon yang sudah menjadi bagian dari kampung kami.

“Mereka keblinger karena ada iming-iming uang cukup besar! Ada warga seberang yang memolitisi mereka, ingin memanfaatkan mereka, agar menebang pembatas kampung. Dengan tak adanya pohon itu lagi, ia bisa keluar-masuk kampung kita., Hasil investigasi saya, dermawan itu sebenarnya ingin mengawini perawan dari kampung sini!” kata Kang Idi.

“Kok pohon jadi sasaran? Kalau mau menikahi gadis di sini, ya lamar saja!”

“Itulah masalahnya. Karena masih adanya pohon tua itu, sepertinya perdamaian antarkedua kampung masih terhalang. Termasuk soal cinta…”

“Siapa dermawan yang mendanai penebangan itu?”

“Akbar Hidayat!”

“Apa??” serentak kami terlongo. “Dia kan sudah bersitri dua?”

“Itulah masalahnya. Mungkin dia pikir, dengan uang bisa mendapatkan apa saja yang diinginkan!”

“Ooo… Kalau begitu anak-anak muda itu dipolitisir!”

“Ya.”

Di luar sana kami dengar Pak Warki berteriak-teriak kepada anak-anak muda yang mengelilih pohon itu dengan berbagai alat tebang modern. “Ayo, bangkitkan lagi semangat kalian. Kita satukan semangat untuk merobohkan pohon ini, pohon yang telah mengekang kebebasan kita berkomunikasi dan berekspresi. Kita harus bisa merobohkannya, sehingga kita tak lagi dibatasi!”

“Hayooo… rambate rata hayo… rambate rata hayo…” suara pemantik semangat itu berulang-ulang dikumandangkan.

Dari ruang musyawarah ini, kami terus mendengar teriakan Pak Warki yang berdiri di podium demi membakar semangat rekan-rekannya. Teriakan itu disambut dengan teriakan pula, dengan desah pula, dengan kesia-siaan pula. Sebab pohon itu sampai kini masih tetap kokoh, berproduksi. Menunaskan daun hijau, melahirkan ranting-ranting baru. Kalau saja ia bisa kawin, pasti pohon tua itu akan melahirkan sepuluh atau bahwa seratus anak pohon lainnya.



Lampung, Maret 2002 (koreksi ulang, 15 April 2003)






3
Kami Dirampok untuk Kedua kali



IA, kami cap si anak hilang, telah pulang. Sasar langkah ke pelukan bunda akhirnya dapat terbaca. Karena suluh jua, lantaran ingat selalu pada petuah. Maka ia tak tertulah, dapat menghindar teluh.

“Kau anak hilang. Para Mamak, Datuk, dan tetua adat di sini telah menganggapmu berkalang. Hanya tak tahu di mana nisanmu, karena tiada kabar hingga tak kami jumpa jasadmu,” kata Mamak Sau.

Kalau dia mati tertembak, begitulah kami membincangi si anak hilang itu, tentulah polisi memberi tahu. Kalaulah ia mati anjing karena, misalnya, dihajar massa sebab mencopet lalu di mana ia ditemukan? Sebab tak ada yang pernah melihat jasadnya, tiada yang dengar kabar tentang kematiannya. Sehingga bisa kutegaskan bahwa ia masih hidup. Meski di mana ia menetap, tiada yang tahu. Sebab itu kami ikrarkan ia sudah mati. Kami tak lagi penting apakah dimakamkan ataukah mayatnya dibuang di belantara.

Tapi kini, ketika kami benar-benar merindukan kepala desa, ia datang tak terduga. Bagai petir menyambar ilalang, demikian cepat tak terkira. Tiba-tiba ia sudah berdiri tegap di hadapan kami. Tersenyum. Mata menghujam. Kedua tangannya bersidekap di dadanya yang bidang. Bagai Ratu Adil yang kehadirannya amat dirindukan semua orang. Kabar kedatangannya tersiar cepat ke seluruh desa.

“Wahai si Anak Hilang, ke mana merantau tiada kabar? Kami kira kau telah berkalang, tapi tak tahu makamnya…” kata Mamak Sau lagi.

“Saya belumlah jadi, merantau masih selangkah. Malu hamba berkirim kabar. Apa kata handaitaulan mendengar saudaranya gagal di rantau? Pergi tak ada salam, pulang hanya membawa selembar pakaian,” jawab Bardji, si anak hilang, merendah diri.

“Kalau begitu, kau berani pulang tentu banyak bawaan…” sela Datuk Karim.

“Taklah Datuk. Cuma cukup buat makan setahun dua tahun dengan tujuh anak kalaulah sudah beristri,” jawab Bardji.

“Kau belum berbini?” tanya Mamak Sau terheran-heran. “Apa di perantauan tak ada gadis yang cantik dan sopan?”

“Banyak, Mamak,” ujar Bardji, lalu sejenak berhenti. “Hanya sulit cari bini yang taat pada agama.”

“Yang benar? Apa orang kota sudah banyak yang kafir? Datuk tak yakin itu…”

“Begitulah kenyataannya, Datuk, Mamak. Lagipula saya ingin berbini orang sini, biar buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Biar adat terus meranting…”

“Hahaha… kau pintar kini, Bardji. Budaya dan adat haruslah dilanjutkan.”

“Ya, Datuk. Itu sebabnya saya kembali, tak rela diri ini dirajam adat. Saya tak bisa hidup dengan adat orang lain,” kata Bardji hikmat. Wajahnya menghormat, badannya tetap ditegapkan.

“Segeralah kau lamar Halimah anak Hasan untuk kau nikahi,” lanjut Datuk cepat. Layaknya ucapannya itu sebagai sabda.

“Benar apa yang dikatakan Datuk, Bardji. Peraturan menjadi kepala desa haruslah sudah berbini. Kalau kau berkenan ikut pemilihan nanti, syarat itu harus kau penuhi dulu!” Mamak Sau menambahkan.

“Baik Mamak. Terima kasih Datuk. Tapi saya belumlah kenal Halimah, bagaimana…” ujar Bardji hati-hati.

“Tak perlu kenal. Dulu juga kami berbini tak tahu rupa gadisnya. Kami dijodohkan dan kami menerimanya, ternyata cocok. Buktinya rumah tangga kami bahagia. Tidak seperti anak kota yang harus berpacaran dulu, tapi rumahtangganya tidak lama,” jelas Mamak Sau seperti tahu apa yang ada di benak Bardji.



BARDJI, si anak hilang yang dikira telah mati berkalang, akhirnya menikahi Halimah. Bardji amat bersyukur, karena gadis pilihan tetua itu tak mengecewakannya. Halimah memang cantik. Tak sia-sia Datuk Karim dan Mamak Sau menjodohkan dia dengan anak gadis Hasan itu. Bardji bahagia. Ia gelar pesta tiga hari tiga malam. Mengundang orkes melayu dengan Rina yang cantik tak alang menjadi penyanyinya. Lalu dia bawa Halimah berbulan madu ke kota selama sepekan.

Sebulan kemudian ia mulai sibuk menyiapkan diri untuk pemilihan kepala desa. Ada tiga calon yang siap: dua calon baru dan satunya kepala desa lama yang kembali mencalonkan diri. Bardji dapat dukungan dari tetua dan tokoh adat. Ia juga dianggap lebih cakap menjadi pemimpin, bahkan jika dibanding dengan kepala desa sebelumnya . Para tetua dan tokoh adat juga menghendaki pemimpin baru, kepada desa yang baru sehingga mampu melakukan perubahan, dan kalau dapat masih muda serta cerdas. Profile itu hanya ada pada diri Bardji, bukan kedua calon lainnya. Bardji juga mendapat dukungan dari kalangan muda. Karena itu wajar jika kemudian Bardji terpilih dengan mendapat suara terbanyak. Ia pun menjadi kepala desa kami. Para Datuk dan Mamak yang diwakilkan Datuk Karim dan Mamak Sau bertepuk riuh. Kalangan muda mengadakan pesta—bahkan sampai atraksi membotakkan kepala—hingga mabuk.

“Kini kau kepala desa kami. Jadikan kampung ini makmur. Hapus korupsi di sekitarmu, jangan beri ampun para rentenir yang mencekik warga!” pesan Datuk Karim.

Bardji mengangguk.

“Ingat pula Bardji, kampung kita ini masih terisolir dari kampung lain. Kalau dapat bantuan dari pemerintah kota, selesaikan dulu jalan yang terbengkalai,” Mamak Sau juga mengingatkan.

“Baik Mamak. Terima kasih Datuk. Saya akan selalau ingat pesan para orang tua di sini,” jawab Bardji kemudian.

Lalu pertemuan di balai desa malam itu selesai. Bardji memberi amplop pada kami yang ikut rapat begitu keluar. Kubuka amplop pemberiannya sesampai di rumah. Sungguh aku terpana memandangi lima lembar uang 100 ribu yang menyembul dari dalam amplop itu.

“Bardji memang sukses di rantau. Ia sudah jadi orang kaya. Pantas ia siap mencalonkan diri menjadi kepada desa!” Aku membatin.

Aku menduga. Jangan-jangan Datuk Karim dan Mamak Sau mendapat uang lebih banyak. Bukankah kedua orang tua itu yang berkeras agar Bardji ikut dalam pemilhan kepala desa? Beliau juga yang mengatur perkawinan Bardji dengan Halimah. Konon pula, Datuk Karim dan Mamak Sau yang menemui Hasan. Entah apa pula yang dicakapkan kedua tetua kami itu saat bertemu orang tua Halimah, sehingga Hasan rela menyerahkan anaknya dikawini Bardji.

Bardji bukan asing lagi di kampung kami. Usianya enam tahun di atasku. Semasa kanak-kanak, ia sudah dikenal bandel. Kerap mencuri buah di ladang. Menangkapi ayam di kandang orang, lalu dipotong untuk dimakan atau dijual dan uangnya dibelikan rokok atau segelas arak. Begitu menginjak remaja, ia dikenal makin berandal. Tak jarang ia membuat keributan dengan remaja kampung lain. Ia pun kerap melarikan sepeda yang diparkir di pasar pekan. Sepeda pun dijual, dan uangnya dihabiskan berpesta dengan kawan-kawan. Dan sekian keonaran lainnya.

Entah sebab apa, ia tinggalkan desa. Merantau ke lain kota. Kepada kedua orang tuanya pun ia tak bersalam sewaktu hendak pergi. Ia tak melayat begitu bapaknya meninggal dunia. Orang desa tak tahu di mana ia berada, sehingga tak dapat mengirim kabar duka. Bardji tak tampak sedih begitu pulang hanya mendapati makam bapaknya yang sudah sangat kering tanahnya. Kutahu ia memang ziarah, tapi cuma sekejap. Tidak membaca Yaasin, tiada membawa kembang tujuh warna dan sebotol air. Kini tinggal ibunya yang sudah jompo. Mungkin tak lama lagi akan menyusul suaminya.

Kutanya padanya, kenapa ia tak tampak bersedih atas kematian bapaknya? “Yang sudah tiada tak bisa dikembalikan. Tapi bukan berarti abang tak sedih? Cuma untuk apa diratapi?” katanya.

Lalu kutahu darinya, selama di perantau sebenarnya ia tak punya pekerjaan tetap. “Selama di rantau, rezeki abang nih seperti rezeki macan. Sekali dapat bisa dimakan beberapa bulan, tapi sekali tempo tak dapat apa-apa,” ceritanya. “Kalau lagi apes, nyawa abang pun bisa melayang,” dia menambahkan.

“Memangnya abang bekerja apa dan di mana?” tanyaku tak mengerti.

“Sudah kukatakan kerjaku seperti macan mencari makan, apa kau tak mengerti juga?” suaranya agak keras. Ia memandangku dengan sorot mata yang tajam. Aku seperti dikuliti, disileti. Aku takut…

Kalau kepulangan Bardji langsung mendapat simpati para tetua di desa kami, mungkinkah karena uang? Datuk Karim dan Mamak Sau, siapa pun tahu kalau keduanya dapat dibayar. Cuma karena mereka adalah tetua dan tokoh adat, kami amat menghormati. Apa yang keluar dari mulutnya, itu berarti titah yang mesti dijalani dan dibela. Selama ini, syahdan, keduanya banyak bermain di belakang setiap pemilihan kepala desa. Baru kini terang-terangan, mengaku sebagai tim sukses Bardji. Dan memang, tak sia-sia.



DUA tahun sudah Bardji jadi kepala desa kami. Enam bulan pertama dia menduduki kantor desa, ia sering menerima warga—terutama yang mendukungnya saat pemilihan dulu—kapan pun, sekaligus menjamu. Karena itu, setiap malam kantor desa acap ramai: main kartu, catur, atau sekadar ngobrol. Bardji juga sering membeli gorengan, pesuruh kantor sibuk membuatkan kopi.

Tapi begitu masuk bulan ke sebelas, kami sudah jarang melihat bardji di kantor jika kami bertandang. Akhirnya, makin berkurang orang yang ingin bermain di kantor desa. Macam-macam anggapan tentang Bardji kemudian bermunculan. Lama-lama menjadi gosip.

Karena sejak awal aku bukanlah pendukung fanatik (ah, tepatnya aku hanya ikut-ikutan), perubahan Bardji itu tak membuatku kecewa. Aku, dan beberapa warga lain yang punya sikap yang sama, bisa mencari tempat baru untuk berkumpul. Sedang bagi Datuk Karim dan Mamak Sau, sungguh perubahan Bardji itu sangat mengecewakannya. Setidaknya, mereka tak mendapatkan lagi minum kopi dan gorengan secara gratis saban malam. Tak itu saja, hilangnya penghasilan yang didapat dari Bardji.

“Aku kecewa, menyesal sekali. Mengapa kita mendukung Bardji. Kalau tahu begini…” kata Datuk Karim, malam terakhir aku bertemu di kantor desa dengannya, Mamak Sau, dan pendukung fatanik Bardji lainnya.

“Datuk menyesal?” Mamak Sau terperanjat. Menatap tajam ke Datuk Karim.

Datuk mengangguk. “Kenapa kita tak dukung Andun, orangnya jelas saleh, sudah kaya sejak muda karena mendapat harta warisan orang tuanya yang memang kaya. Jadi tak mungkin lagi ia mau mencari kekayaan dari kepala desa. Nah, si Bardji, berapa banyak hartanya?”

“Tapi dia pernah bilang, uangnya bisa dimakan oleh 7 anak selama 2 tahun. Datuk masih ingat apa yang dicakapkannya waktu dia baru datang?”

“Ya, tapi itu bualnya. Sialnya, kita percaya saja. Tadinya aku curiga, tapi Mamak Sau…”

“Jangan pula kesalahan ditumpahkan pada saya, Datuk. Saya juga diyakinkan oleh Dasri, dia datang ke rumahku malam hari dan mengabarkan kalau Bardji sudah kembali dari rantau membawa uang banyak…” potong Mamak Sau dengan nada tinggi. Ia tampak tersinggung oleh ucapan Datuk Karim.

“Astaghfirullah, kita lupa!” Tiba-tiba suara Datuk Karim setengah berteriak. “Ke mana perginya Dasri? Sejak Bardji jadi, ia malah menghilang.”

“Dia sudah kembali ke kota, Datuk, Mamak,” kataku memberanikan diri terlibat dalam percakapan mereka.

Kami tahu Dasri adalah teman Bardji sejak anak-anak, dan Bardji menyusul Dasri yang lebih dulu meninggalkan kampung. Konon mereka kembali bertemu di perantauan, bahkan keduanya sangat akrab layaknya sepasang kekasih. Bardji pulang tidak sendiri seperti pengakuannya, tapi bersama-sama Dasri dan beberapa temannya. Kemudian Bardji menyebarkan orang-orangnya, dan salah satunya Dasri yang menemui Mamak Sau dan Datuk Karim. Sedangkan Faisal mendatangiku.

“Dari siapa kau tahu, Jang?” Datuk mencecarku. Di kampungku, mereka yang usianya jauh di bawah dari lawan cakapnya akan dipanggil Bujang atau Ujang—dan biasanya cukup disebut Jang.

“Dasrilah, Datuk. Saya jumpa malam itu sebelum paginya dia berangkat ke kota. Dia hanya katakan kalau ia berhasil mengantar Bardji menjadi kepala desa. Karena itulah yang diimpikan Bardji sejak lama…” aku menjelaskan seperti yang diucapkan Dasri.

“Cuma itu?” desak Mamak Sau.

“Ternyata Dasri yang mengatur semuanya. Dia desainer politik Bardji,” jawabku.

Lalu kuungkapkan apa yang kudapat dari Dasri. Malam itu sebenarnya ia datang bersama Bardji. Ia segera ke rumah Mamak Sau, ia beri kabar seolah ia melihat Bardji baru kembali dari perantauan. Tentu saja dengan cerita kesuksesan Bardji yang membawa banyak uang. Mamak Sau segera keluar untuk menemui Bardji. Pada malam itu pula Dasri menyambangi Datuk Karim, dan mengatakan hal yang sama.

“Ya ya, aku baru ingat sekarang. Karena cerita Dasri itulah aku temui Bardji, dan kulihat Mamak juga baru tiba di tempat itu. Saya menemui Bardji, karena Dasri katakan kalau Mamak sudah menemui Bardji dan akan mendukung Bardji.”

“Wah, Dasri juga katakan apa yang disampaikan pada Datuk. Persis. Itu sebabnya saya segera menemui Bardji…” kata Mamak Sau. “Nah Datuk, jadi bukan karena saya. Tapi Dasri,” lanjut Mamak tegas. “Terus, apalagi yang kau tahu dari Dasri?”

Aku menarik napas sekejap. Kulihat Datuk dan Mamak seperi tak sabar mendengar ceritaku. “Sebenarnya Bardji sudah berbini di perantauan…” kataku berbisik. “Bahkan dua.”

“Apa?” suara Datuk dan Mamak bersamaan.

“Kata Dasri, kepulangannya ke kota malah diberi uang banyak sekali oleh Bardji. Katanya sebagai tanda terima kasih,” ceritaku lagi.

“Ternyata kau lebih tahu banyak apa yang kami tak ketahui, Jang. Kenapa tak kau kasih tahu kami jauh hari?” tampak Datuk menampakkan tak suka padaku.

“Saya hanya kebetulan tahu. Kalau Dasri tak cakap, saya pun sama seperti Datuk dan Mamak. Tapi saya juga tak berani memberi tahu pada siapa pun, saya takut dicap menyebar fitnah…” jawabku khawatir, takut dimaki kedua tetua kampung itu.

Sejak itu Mamak dan Datuk jarang keluar rumah. Mungkin malu. Ia tak lagi menemui Bardji untuk sekadar memberi wejangan. Bardji mulai sering berada di kota. Sementara Halimah ditelantarkan di kampung. Kini ke mana-mana Bardji dikawal dua orang yang tampangnya seram, konon preman dari kota.

Ia buat peraturan baru layaknya pemerintahan di kota, ia tetapkan besar pajak bagi sawah, ladang, kebun, ternak, pabrik penggilingan, dan lain-lain. Kami merasa tercekik. Kehidupan kami makin menderita dibanding saat kami dipimpin kepala desa sebelumnya.

Kami dirampok untuk kedua kali. Itulah yang kini dirasa setiap warga. Kekayaan yang ada di kampuing kami telah diangkut Bardji ke kota liwat kakitangannya. Tak ada lagi sisa selain ampas. Di sana, ia bangun rumah mewah, beli mobil, dan simpan di bank. Dan sialnya, kami cuma punya mimpi hidup makmur dan sejahtera.
Lampung, 28 September 2004


Catatan:
Teringat pernyataan Taufik Ikram Jamil pada acara Cakrawala Sastra Indonesia di DKJ yang lebih kurang begini: “Kami harus sombong, agar kami tak dirampok kedua kali.” (baca Kharul Jasmi, Republika, 26 September 2004). Karena pernyataan itu, mengilhami cerpen ini.





4.
Tukang Cerita



“Aku hanyalah tukang cerita. Bagaimana mungkin aku tak mengisahkan tentangmu. Orang-orang yang sangat dekat, yang mengusik, dan rasanya layak kuceritakan. Meski aku tidak tahu untuk apa dan kepada siapa cerita ini kurangkai…”


TUKANG cerita itu, yang datang setahun sekali saban Idul Fitri, akan membuka obrolannya seperti itu. Karena sering kami dengar, maka menjadi klise. Cuma kami tak lagi peduli dengan pembuka percakapannya, kami hanya selalu menanti apa yang diceritakan setelah kata pembuka itu.

Ia dikenal sebagai keluarga tukang cerita. Dari kakek-kakeknya dulu sampai cucu kesekian yakni dirinya dikenal sebagai tukang cerita di kampung kami. Kepandaian yang diterima secara turun-temurun. Laiknya keahlian tukang pijat atau dukun.

Bonhid, demikian kami memanggil tukang cerita langganan kami setiap tahun. Kami tak tahu namanya secara persis, sehingga panggilan itu akhirnya melekat menjadi namanya. Sialnya, dari anak-anak sampai orang tua memanggilnya Bonhid. Bukan tanpa sebab panggilan itu melekat menjadi nama tukang cerita itu.

Kalau aku tak salah (semoga benar!), begini ceritanya. Pada suatu kali mudik Lebaran, ia menemui kami di warung Mak Ijah. Sore hari menjelang berbuka puasa. Ia mengabil tempat duduk paling pojok, persis berhadapan denganku. Ia adalah teman mainku sewaktu kecil, bahkan sangat karib. Tetapi, setelah urban ke kota besar, mulai tampak perubahan. Terutama banyak bersuara dan sedikit sekali diam. Seperti pemain bola asal Belanda Ruud Gullit, dadanya kerap dibusungkan jika duduk atau jalan. Bila sedang bicara, rambutnya yang agak panjang digerak-gerakkan. Suranya, ah Anda tahu dengan penyair Sutardji Calzoum Bachri? Demikianlah…

“Kau sudah lain sekarang. Aku ikut senang kau sudah banyak perubahan…” aku membuka percakapan.

“O tentu, itu harus,” ujarnya seraya membusungkan dadanya, juga menggerakkan rambutnya. “Orang yang tak pernah mengalami perubahan, dia stagnan: m-a-t-i. Kau pun kini kulihat juga sudah berubah…”

“Ah, yang betul? Dari dulu juga aku seperti begini,” aku membantah. Kupikir tak ada perubahan berarti dalam diriku. Aku tetap setia tinggal di kampung, hidup dari kebun kopi, hanya punya satu istri, dan rumah tak begitu mewah. “Jadi, apa yang menurutmu yang berubah dariku? Rasaku tak ada…”

“Siapa bilang tak ada?” ia balik bertanya. Sengaja ucapannya itu tak ia teruskan, sepertinya menungguku bereaksi. Tetapi karena aku diam, ia melanjutkan: “Sewaktu kecil kau tak biasa duduk di warung seperti ini. Soalnya, kau tak pernah diberi jajan…” lalu ia tertawa, tepatnya terkekeh. Dan, orang-orang yang berada di warung Maj Ijah ikut terssenyum.

“Ah, kukira perubahan apa. Kau bisa saja. Kalau itu namanya bukan perubahan, tapi…” jawabku agak malu.

“Apa pun istilahnya. Kau tetap sudah berubah sekarang. Jangan-jangan, kau juga sudah biasa membayar makanan teman. Bukan begitu?” ujarnya kemudian meminta persetujuan yang lain. Tiada tanggapan…

“Kalau soal itu, kau pun sudah berubah,” kataku sekejap kemudian tak mau kalah.

“Apa?”

“Kau sudah senang memelihara rambut. Dadamu selalu membusung. Kau sudah banyak cakap!”

“Orang seperti kita ini kalau hidup di kota tak banyak cakap, tak akan dianggap orang. Kita harus pandai, setidaknya bisa ngomong kalau mau ditanggapi orang lain,” jawabnya santai.

“Jadi itu salah satu keahlianmu, sehingga kau bertahan sebagai urban di kota?”

“Aku merantau ke kota. Bekerja di kota dan kau tahu sendiri sekolahku tak baik, makanya aku mesti keahlian lain. Ya itu, harus ahli bicara…”

Setelah itu untuk beberapa kejap kami terdiam. Mak Ijah mulai menyiapkan beberapa gelas kopi untuk berbuka puasa. Kami memandangi kepulan asap dari gelas berwarna hitam itu. Terbayang sejenak lagi, kopi di dalam gelas itu akan tandas begitu suara adzan terdengar dari surau.

Sebetulnya aku ingin mengetahui yang dimaksudnya “ahli bicara” itu. Siapa tahu teman sepermainanku ketika kecil itu, kini di kota sudah menjadi juru bicara seorang menteri atau pejabat eksekutif. Jangan-jangan ia kini jadi staf ahli di sebuah depatemen. Jangan-jangan… Aku menggumam.

“Sepertinya kau heran, kawan!” ia mengusik lamunanku. Aku mengangguk. Ingin sekali mendapati jawaban darinya. Tetapi sampai kami berbuka, apa yang kuharapkan tak kuperoleh. “Tak perlu serius berpikir, kawan. Yang jelas, aku banyak tahu orang-orang di kampung kita ini di kota. Apa pekerjaan mereka, bagaimana kehidupannya di kota. Cuma mereka tak pernah tahu soal diriku. Itulah kemenanganku…” ia pun tertawa lagi.

“Kau tahu banyak para perantau dari kampung kita ini?” segera kupotong pembicaraannya.

Sungguh, aku ingin sekali tahu. Ini amat menarik. Alasannya, sebagai orang kampung yang tak pernah ikut merantau ke kota, aku hanya tahu secara kasatmata keberhasilan mereka yang merantau ke kota saat mereka mudik. Ada pulang dengan membawa kenderaan mewah penuh dengan oleh-oleh dan bahkan memboyong pembantunya. Ada yang mudik meski dengan kenderaan umum, tapi bawaannya lebih dari tiga tas. Sehingga dengan kepulangan para perantau yang kelihatannya sukses itu, membuat warga lain tertarik dan coba-coba mengikuti jejak mereka. Akhirnya kampung kami menjadi sepi selama 10 bulan lebih, dan akan kembali riuh begitu mereka mudik pada Lebaran seperti sekarang.

“Ya seperti kukatakan tadi, aku banyak tahu mereka di kota. Apa pernah aku bohong?” katanya meyakinkan kami.

Tak seorang pun bereaksi. Baik menggeleng ataupun menganggukkan kepala. Sulit bagiku mengingat kembali tentang temanku ini semasa kecil, apalagi untuk mengingatnya apakah ia selalu jujur pada kami?

“Kau masih kenal si Murad itu kan? Itu lo, warga di ujung jalan itu yang setiap mudik selalu ganti merek dan warna mobil? Nah, dia itu…” ia kemudian melanjutkan.

“Ya, kenapa dia. Kenapa?” tanyaku tak sabar.

“Kenapa?” tanya Murtadi.

“Memangnya kenapa?”

“Aku tak enak menceritakannya pada kalian, apalagi sekarang ini masih puasa…”

“Maksudmu?”

“Nanti saja kalau sudah berbuka,” ujarnya.

“Ya, sudah kau buka puasa bersama di sini saja,” pintaku. Mutridi dan yang lainnya menyetujui.

“Biarlah aku buka di rumah saja. Aku lupa membawa dompet, lain halnya kalau Mak Ijah percaya memberiku utang,” jawabnya. Karena kulihat ia hendak bangkit, segera kucegah dan kukatakan padanya aku yang membayar makanannya. Ia pun mengangguk.

Entah mengapa, sejak itu warga di sini memanggilnya Bonhid. Apakah karena ia sering ingin mengutang (bon) di warung Mak Ijah, meski akhirnya yang membayar adalah kami. Seperti biasa ia menjanjikan cerita menarik tentang warga kampung kami di perantauan. Karena cerita-cerita dia pula, kami banyak tahu para perantau dari kampung ini. Sehingga kami tak pernah lagi silau oleh cerita-cerita kesuksesan mereka di kota. Sebab, Bonhid yang mengaku ceritanya lebih valid akan mengcounternya.

“Jadi, kalian jangan cepat silau kalau mendengar cerita kesuksesan mereka. Aku tahu semua mereka di kota, apa yang dilakukan, kerjanya, dan juga kehidupannya sehari-hari. Seperti Murad itu, aku tahu dia kan menyewa mobil,” ceritanya suatu kesempatan dulu. Karena ceritanya itu, kami ikhlas berpatungan untuk membayar yang dia makan dan minum dari warung Mak Ijah.



BONHID akhirnya dirindukan warga. Setiap menjelang Lebaran, kami selalu menunggu kehadirannya. Kangen kami tak terkira. Masing-masing warga, saling mencari informasi tentang diri Bonhid. Siapa yang lebih dulu mengetahui soal Bonhid—baik pulang atau pun belum—akan segera memberi kabar pada yang lain. Akhirnya kami punya kepandaian baru: dapat bercerita.
Seperti ada kesepakatan tak tertulis, setiap kami tak sekadar memberi kabar soal keberadaan Bonhid. Akan tetapi, informasi yang kami peroleh harus dilisankan sebaik mungkin dengan gaya yang memikat. Misalnya, Murtadi yang menjadi orang pertama mengetahui keberadaan Bonhid, menuturkan begini: “Seusai subuh tadi, kudengar deru mobil yang berhenti di ujung jalan itu. Aku segera membuka pintu rumah. Kulihat dalam kesamaran kabut, memang ada mobil yang berhenti. Lalu ada yang turun dari kenderaan. Segera kuhampiri, dan ternyata Pak Zul bersama keluarganya. Kutanya, mana warga kita yang lain apakah ikut mudik? Menurut Pak Zul, ia adalah orang pertama yang mudik. Mungkin yang lain menyusul, termasuk si penjual cerita itu. Nah, demikianlah informasi dariku. Artinya, mudik tahun ini Bonhid pasti pulang.”

Demikian, kami akhirnya pandai bercerita. Kami haruis merangkai kata dan kalimat tentang kabar yang kami peroleh, sekecil apa pun akhirnya menjadi cerita yang lumayan panjang.




“AKU dikutuk menjadi pencerita. Kupasang telingaku supaya tak abai mendengar apa pun, bahkan bisik sekalipun. Segala erang dan ucapan yang lamat-lamat kucatat tanpa sedikit pun cacat. Lalu, bagaimana bisa aku tak mengisahkan lagi semua yang kurekam dan kucatat itu? Dari orang-orang yang sangat dekat, yang mengusik, dan layak kukisahkan. Sekali lagi kutegaskan, aku telah dikutuk jadi pencerita,” Bonhid, suatu kesempatan memberi alasan mengapa ia suka menceritakan para perantau dari kampung kami.

Katanya lagi, kesempatan lain: “Aku tidak ingin generasi muda kita menjadi silau dengan yang namanya kota, dengan orang-orang yang mengaku sukses hidup di kota. Padahal bulshit! Aku tahu apa yang sesungguhnya pekerjaan mereka di kota…”

Bonhid mengaku, betapa menyiksanya kutukan itu. Ketika harus menjadi pembisik1) setiap kau alpa, menjadi penutur bila kau menghendaki kisah dan sejarah sesungguhnya. Seperti suatu waktu—entah siang ataukah malam (ah, aku tak begitu peduli pada penanda hari!)—kau membawa seekor kunang-kunang, menyusuri tepian pantai. Kakimu yang jenjang, betismu yang riang, sesekali berkecipak oleh ombak. Kau tuju sebuah bangunan—mungkin vila ya?—di seberang sungai kecil, menyerupai payau itu. Kau bersijingkat dan melompati sungai kecil itu. Sampailah kau di ambang bangunan itu.

Seseorang, entah siapa, menyambutmu. Sekadar bicara kemudian meninggalkan orang itu. Kucatat setiap gerakmu, sedetail mungkin. “Tapi begitu ia mudik, ia bercerita kalau ia bekerja di tempat itu dengan gaji yang aduhai. Padahal, dari pakaiannya yang seronok dan mickup yang berlebihan, semua orang tahu kalau dia menjadi gundik seorang pejabat di kota,” cerita Bonhid sewaktu mengisahkan Cekmin—janda muda anak salah seorang tokoh masyarakat yang disegani di kampung kami—yang di kota berganti nama menjadi Mince.

Begitu pula ketika Bonhid bercerita soal Murad. Ini menurut kisah dia, kalau Murad yang tak pernah abai membagi-bagikan kain kepada para orang tua yang sudah jompo atau berderma ke musala, dan berinfak lebih besar saat Lebaran, sebenarnya di kota adalah penadah kenderaan curian.

Mengenai cerita soal Murad ini, kami sempat membantah. Tak seorang pun percaya kalau Murad sebagai penadah barang curian. Alasannya sederhana, mengapa bertahun-tahun ia jalani profesinya itu tak pernah tertangkap? Memangnya Murad memiliki ilmu kudu dan menghilang, sehingga sepakterjangnya tidak pernah tercium polisi?

“Apa yang tak bisa dilakukan di kota, kawan! Seperti tak tahu orang kota saja. Mereka juga ingin kaya, kepolisian mau juga kebagian hasil. Ya Murad tahu kelemahan orang kota itu. Setiap bulan dia kirim upeti ke polisi, apa sulitnya?” jelas Bonhid tenang. “Bagi Murad kebagian sedikit, tak apa asal dia aman. Toh yang sedikit-sedikit bagian itu, kalau dikumpulkan bisa jadi…”

“Bukit,” sergah Murtadi.

“Betul! Rupanya kau masih ingat peribahasa itu hehehe…” Bonhid menyeringaikan gigi-giginya.




SAMPAI hari terakhir Ramadan, kami belum melihat Bonhid. Kami, terutama sekali aku, mulai gelisah. Kuperintahkan anak tertuaku untuk mendatangi rumah Bonhid. Tak lama kemudian, Arza—anakku itu—pulang sambil menarik bahunya ke atas dan mengembangkan kedua tangannya. “Tak ada Ayah, mungkin tahun ini tak mudik, begitu kata keluarganya tadi,” Arza memberi laporan.

Rio, anak Murtadi, juga menimpal. Katanya, “Bonhid terancam gagal mudik. Kata Pak Daniel, dagangan obat miliknya tidak laku. Orang sudah banyak yang tahu berobat di rumah sakit bisa pakai jalur dana gakin, obat-obatnya gratis…”

O! Aku terbengong mendengar laporan itu. Setelah itu, tulang kakiku terasa semutan. Lemas.


Lampung, 22 Oktober 2004; 22.51




5.
Orang-Orang Kota



KAMPUNGKU sudah biasa didera sepi. Ditinggal oleh warganya bekerja di kota. Dilupakan untuk beberapa bulan lamanya, dan akan disinggahi beberapa hari. Itulah saat mudik pada lebaran Syawal.

Aku salah satu saksi apa pun yang bergeliat di kampungku ini. Sejak anak-anak hingga setua ini (kini usiaku 67 tahun) aku seperti dukutuk menjadi penjaga kampung. Aku tak pernah merantau, bahkan hanya batas kota Kabupaten.

Para perantau itu jika pulang akan memasukkan barang-barang serbakota ke dalam rumahnya. Rumah-rumah yang dulunya berupa rumah panggung kini berlantai satu atau sekalian bertingkat. Alasan mereka, mengikuti rumah-rumah yang ada di kota. Karena itu, yang masih mempertahankan keaslian rumang panggung, hanya orang-orang tua seperti aku.

“Kota membuat mereka lupa pada akar,” kataku geram suatu kesempatan mengobrol dengan para orang tua. Rumah-rumah warga yang merantau ke kota sudah mulai tampak mewah, tetapi selalu sepi. Lampu penerang selalu redup, karena baru dihidupkan semuanya ketika mereka mudik. “Untuk apa rumah harus diubah, itu kan sama saja menghancurkan tradisi!”

“Tapi kita tak bisa protes. Itu rumah mereka, mau diapakan pun urusan dia. Paling bisa kita mengajak warga yang belum berbuat agar tetap mempertahankan rumah panggungnya,” jawab Adin Yulizar yang masa mudanya pernah merantau juga, namun pulang setelah kedua tangannya buntung karena kecelakaan di pabrik dan harus diamputasi.

Aku maklum. Karena aku juga tak punya alasan protes ataupun mencegah mereka merenovasi rumahnya agar kelihatan “mengkota”, sebab itu urusan selera. Hanya aku prihatin: apakah semua yang berbau kota pantas ditancapkan di kampung ini? Kukira tidak kan? Bayangkan para nenek kini sering didandani dengan pakaian perempuan kota, juga berhias wajah. Melihat para nenek yang berlagu seperti anak muda itu, aku hanya tersenyum-senyum dari balik gordin rumahku.

“Yang salah itu anaknya, cucunya,” kata Adin1) Yulizar lagi, sewaktu kami ngobrol di musaha usai salat tarawih.

Kami pandangi rumah-rumah yang tampak seperti rumah di kota yang selalu gelap itu. Tak lebih tiga titik penerang yang dihidupkan setiap malam. Seperti rumah hantu, aku bergumam. Dan, selama sebelas bulan kami menyaksikan kampungku yang tampak tak bergeliat itu. Sepi…

Selama sebelas bulan pula para perantau itu meninggalkan kampungnya, rumahnya, keluarganya, dan jiran-jirannya. Mereka pergi seperti tanpa salam, dan kembali pun tiada sungkem. Mereka datang hanya untuk beriang. Mereka pulang cuma memamer kesuksesan.

Ah ah… kami para orang tua tak punya hak protes. Kampung ini tak memberi apa-apa bagi kehidupan dan kebahagiaan. Kami hanya mengandalkan tanah yang tak lagi subur untuk berladang dan berkebun. Tongkat dan kayu (tak lagi bisa) jadi tanaman.2) Sementara listrik sudah masuk, kotak-kotak ajaib sudah masuk ke setiap rumah, bahkan “panci besar” sudah dipasang di beberapa rumah di kampungku.

Aku meyakini sekarang bahwa segala sesuatu akan mengalami perubahan. Kami tak dapat ngotot mempertahankan keaslian tradisi yang telah menjadi turun-menurun. Bahkan adat atau budaya pun akan mengalami akulturasi. Tak bisa tidak. Itu sebabnya, kami para orang tua, hanya menikmati perubahan yang terjadi di kampungku. Seperti kami menikmati matahari yang berjalan dari Timur ke Barat. Karenanya, kalau ada yang hendak tahu mengenai perubahan kampungku, hendaknya bertanya pada kami—para orang tua. Kami bisa jadi saksi dan museum bagi sejarah perubahan kampung ini yang ditinggal merantau oleh warganya.



KAMPUNGKU sudah biasa didera sepi. Ditinggal oleh warganya bekerja di kota. Dilupakan untuk beberapa bulan lamanya, dan akan disinggahi beberapa hari. Itulah saat mudik pada lebaran Syawal.

Sejak dua hari lalu atau sepekan menjelang Syawal, para perantau mulai berdatangan. Asa yang membawa mobil sendiri, dan tak sedikit pula yang menggunakan kenderaan umum. Beberapa rumah mulai tampak terparkir mobil, aku tak tahu apa nama dan jenisnya. Inilah saatnya kampungku akan terasa hidup. Mulai ada napas kehidupan. Dan, setiap malam—seperti tahun-tahun lalu, terdengar riuh. Anak-anak kota itu akan berlarian di luar rumah menyalakan kembang api atau menghidupkan petasan. Atau deru kenderaan mereka akan berhenti di kejauhan malam.

Suara mobil mereka itulah yang mengusik telingaku setiap malam, menjelang lebaran Syawal. Tetapi aku tak bisa protes, meskipun tidurku harus terganggu. Orang setuaku ini mestinya tidur agak siang, namun karena deru mobil-mobil para perantau itu, kadang aku baru dapat lelap setelah sahur dan salat subuh. Lalu akankah aku mendiamkan semua ini?

Lagi-lagi Adin Yulizar mengingatkan bahwa kita tak bisa berbuat banyak. Mereka sudah biasa hidup di kota seperti itu. Mereka hanya membawa kebiasaan di kota, dan mungkin tak lagi akrab pada nilai-nilai ke-kampung-an. “Jadi percuma saja meminta mereka sadar apalagi protes agar menghormati orang lain. Malah kita dianggap dengki, tak suka pada kesuksesan mereka…” lanjut Adin Yulizar.

Aku memaklumi. Dan memang, para orang tua selalu dituntut untuk memaklumi apa yang dilakukan orang muda. Kami harus maklum pada perubahan, meski dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai lama. Apa boleh buat…

Seusai salat di mushala subuh ini, darahku bergolak kencang. Emosiku naik drastis. Kedua tanganku bergetar dengan kepalan tinju yang mengencang. Di teras depan pagar mushala, kudapati banyak botol dan kaleng bekas minuman alkohol. Juga kulit kacang yang berserakan di mana-mana.

“Astaghfirullah!” aku menggumam. “Orang-orang kota itu sudah keterlaluan, meracuni kampung. Menyampahi kampung!” emosiku menanjak. Tetapi, kutuju pada siapa kemarahanku ini? Aku tak tahu siapa yang mabuk-mabuk di depan mushala ini semalam? Boleh jadi, anak tertuaku yang juga merantau, masuk kelompok mereka?

Kubenahi botol-botol yang sudah kosong itu, kukumpulkan kaleng-kaleng bekas minuman alkohol itu. Aromanya menyengat. Dengan tanganku ini, kumasukkan bekas minuman para pemabuk itu ke dalam karung goni. Kuingin kedua tanganku ini juga jadi saksi. Siapa tahu kau akan menulisnya menjadi skripsi. Betapa perubahan tak bisa diredam, tapi juga buahnya amat memrihatinkan!


Lampung, 23 Oktober 2004





6.
Mak… Aku Pulang



KALAU aku punya keinginan pulang, bukan semata kangen dengan Mak—tapi karena tradisi, sekadar menjalani (semacam prosesi) ritual tahuan.

Ritual tahunan? Ah! Kukira tak hanya itu saja. Lantas apa? Sudah empat tahun ternyata aku tak pulang—atau, orang-orang urban lebih sering menyebut mudik: pulang saban menjelang Lebaran. Jika karena ingin menjalani ritual tahunan, mengapa tiga tahun jumpa Lebaran setelah aku merantau, aku tak pernah pulang. Padahal jelas Mak sangat rindu, dan aku amat kangen bertemu Mak: sungkem padanya di saat hari yang bahagia itu.

Lalu soal apa aku tak pulang selama empat tahun di perantauan, dan kini tiba-tiba aku ingin sekali pulang? Meski kukatakan tadi, bukan karena semata rindu pada Mak—tapi hendak menjalani (semacam prosesi) ritual (yang menurut banyak orang malah sakral) tahunan menjelang Syawal.

Tradisi pulang (mudik) menjelang Lebaran, konon memang terjadi di seluruh dunia. Karena itu, alasan apa kau tak pulang? Padahal mudik seperti dianggap wajib oleh para perantau? Demikian Paman Bowo bertanya padaku, tahun pertama aku merantau.

Aku diam sejenak. Sebenarnya aku ingin mengatakan, aku tak mau kalau kepulanganku justru akan mengecewakan Mak. Ia pasti bertanya: “Mar, kau sudah berubah sekarang. Kau kurus, tetekmu tampak membesar…”

Pantaskah kujawab seperti ini: “Ah, biasa-biasa saja Mak, tak ada yang berubah kok.”

Apakah Mak akan percaya?



BUKAN aku tak rindu pada Mak, pada Teh Rat (kakak sepupu, keponakan Mak), juga kedua adikku yang kini menginjak remaja. Tentunya aku amat kangen. Juga rinduku dengan kampung; tempatku lahir dan besar. Siapa tak rindu dengan semua yang telah memberi kenangan itu?

Cuma masalahnya, inilah ceritanya! Selepas SMP, Mak tak mampu lagi membiayaiku sekolah lebih tinggi. Abah sudah sakit-sakitan, dan beberapa bulan kemudian meninggal. Sayangnya Abah tidak mewariskan sawah sebagai kekayaan kami. Tidak sejengkal tanah pun kami miliki, setelah Mak jual karena untuk membayar berobat Abah di rumah sakit Kabupaten. Tinggal kini yang ada hanyalah rumah kami.

Mak kemudian memintaku agar tak bermimpi sekolah lebih tinggi. Tetapi, kata Mak yang masih kuingat waktu itu menjelang kami tidur, aku harus mau diajak Paman Bowo ke Jakarta. “Pamanmu tahu kau pantas bekerja apa di sana. Mak sudah temui dia agar mau mengajak dan mencarikanmu pekerjaan di sana. Jadi babu pun tidak apa, dan harus ikhlas kau terima,” ujar Mak yang kulihat matanya mulai kuyu. Lalu Mak menguap dan tak lama sudah lelap di sebelahku.

Semalaman aku tak dapat memejamkan mata. Ruang sekolah seakan terbakar di benakku. Lalu, Jakarta, ah jangankan pernah kusinggahi, membayangkan pun (juga dalam mimpi) belum pernah. Kini, pekan depan, aku harus merantau ke Jakarta. Jadi urban. Seperti banyak orang dari kampungku yang ramai-ramai menuju Jakarta atau kota besar lainnya. Katanya, “Hidup di kota besar lebih menjanjikan. Kita bisa kerja apa saja.” Sungguh, waktu itu aku tak faham maksudnya. Aku masih berusia 8 tahun. Jadi, aku tak tahu maksud yang menjanjikan itu.

Paman Bowo menggandengku menuruni tangga rumah, setelah aku mengucap salam dan mengecup kening Mak. Aku rasakan kening Mak dingin saat kukecup. Tetapi aku tak merasa sedang mencium jenazah. Mata Mak berkaca-kaca. Mak melambai, namun tampak terkulai. Seperti berjarak.

Apakah Mak tidak ikhlas melepasku? Mak mengkhawatirkan keselamatanku, meski Paman Bowo—sebagaimana dikatakan Mak—akan menjamin nasibku kelak di Jakarta. Lalu, mengapa Mak berat sekali melepas kepergianku pagi tadi? Mengapa sebaliknya kini Mak yang ragu, bukan aku?

Sebetulnya sudah berkali-kali, bahkan sempat aku merengek, agar Mak tidak menitipkan aku pada Paman Bowo ke Jakarta. Kalau Mak tak sanggup melanjutkan sekolahku ke SMA aku ikhlas, asal aku tak keluar dari rumah ini. Tidak meninggalkan kampung kelahiranku ini. Aku bisa bekerja jadi petani di ladang orang. Namun Mak tetap membujukku supaya aku bekerja di Jakarta. Dengan begitu dapat membantu Mak yang tak mungkin punya penghasilan lagi, juga membantu biaya sekolah kedua adikku.



MAK tak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaanku. Dan memang, Mak tak boleh tahu. Tidak kuizinkan seorangpun—juga Paman Bowo yang kemudian paling kubenci di dunia ini—mengabarkan pada Mak tentang kerjaku di Jakarta.

Ketika aku minggat dari kosku yang dicarikan paman, kutinggalkan surat: “Jangan coba-coba Paman kasih tahu Mak, ingat saya tak main-main!” Lalu, saya menumpang di rumah teman yang baru beberapa hari berkenalan. Temanku itu, Neli, bekerja di tempat hiburan malam di kawasan Gatot Subroto.

Aku mulanya cari pekerjaan, jadi babu sekali pun, namun sayangnya hingga beberapa bulan berikutnya aku tetap menganggur. Aku mulai bimbang: apakah aku pulang saja ke kampung, atau menemui Paman Bowo lagi?

Aku pun menimbang-nimbang. Jika aku pulang, apakah tidak membuat Mak kecewa karena aku hanya membawa oleh-oleh kisah kegagalan di Jakarta. Aku tak memiliki apa-apa selain kepunyaanku yang kubawa dari kampung. Itu pun sudah ada yang berkurang. Dan kalau aku kembali ke Paman Bowo, sama artinya kuserahkan diriku menjadi sapi perah lagi. Aku hanya memeroleh sepertiga dari hasil kerjaku. Sungguh tidak adil!

Pertimbangan lain, aku harus bertahan di rumah temanku ini sampai mendapat pekerjaan. Aku mesti mengubah nasibku di sini, apa pun pekerjaanku nanti. Bagaimana pun caranya aku harus keluar dari kesulitan hidup sebagai perantau.

Itu sebabnya Mak, aku tak mau pulang. Tiga tahun lebih kulupkan ritual mudik itu. Empat tahun akhirnya. Aku juga sengaja tak memberi kabar. Aku tak lagi berhubungan dengan Paman Bowo. Aku, dengan sadar Mak, masuk ke lembah ini: lumpur yang nista…

Rindukah aku pada Mak? Siapa orangnya tak punya kangen pada Mak, orang yang telah melahirkannya? Tetapi aku juga kecewa. Kalau Mak tak mengantarkan diriku pada Paman Bowo, tidak demikian jalan hidupku. Tak mungkin.

Benarkah hidupku akan begini? Siapa dapat menjamin? Boleh jadi, Tuhan telah menentukan takdirku seperti ini. Tuhan yang sudah mengatur semuanya. Apakah aku akan menjadi istri dari lelaki kaya, jadi gundik, babu, atau hanya jadi pelacur semacam yang kujalani sekarang?



AKU jadi pelacur. Ah, sebutan yang tak pernah kuimpikan sebelumnya. Pekerjaan yang amat Mak benci, tentunya. Cuma apa lancung?

Mataku masih layu. Semalaman aku menemani lelaki (maaf, aku tak mampu meneruskan bagian ini, sakit sekali mengenangnya), dan pagi-lagi sekali aku tinggalkan dia yang masih kelelahan di dalam kamar. Kukuras isi kantongnya, kubawa lari dompet, jam tangan berlapis emas, dan telepon genggamnya yang berharga mahal. Kucampakkan nomor kartunya di selokan depan hotel itu. Aku pun menyetop taksi, menuju terminal.

“Ya, malu pulang kampung,” jawabku ketika sopir taksi menanyakan apakah aku akan mudik Lebaran.

“Sudah kangen dengan orang tua, ya Mbak? Wah enak ya punya kampung halaman. Kalau saya…”

“Emangnya Abang enggak punya kampung halaman? Gak mudik?”

“Ada sih, cuma jauh. Di Pematang Siantar. Butuh berhari-hari kalau pulang. Naik pesawat, dari mana uangnya. Lagipula istri saya orang Jakarta,” kata sopir taksi.

“Enak. Gak perlu capek-capek, berimpitan, antre…”

“Sekali-sekali ingin juga sih mudik, Mbak.”

Aku tak menyahut. Setiap orang kiranya punya kerinduan mudik. Orang rindu pulang. Karenanya benar peribahasa yang pernah dikatakan guru bahasa di SMP dulu: “Sejauh-jauh bangau terbang, kembalinya ke kubangan”

Ya! Kalau kampung adalah kubangan, maka aku akan kembali dan mandi di sana lagi. Jika Mak adalah dermaha, aku pun akan berlabuh lagi di pangkuannya. Betapa sebetulnya aku pernah kecewa, hanya tak dapat kulupakan Mak yang melahirkan dan telah menyusuiku sewaktu kecil.



DAN Mak telah berdiri di tangga rumah. Seperti mengembangkan tangannya bagiku melabuhkan rindu. Tampak Mak kini sangat tua. Rambutnya sudah penuh oleh warna putih. Tubuhnya pipih. Mak menyambutku berlinang airmata.

“Jangan nangis Mak, aku tak tahan,” aku membatin. Kupandang wajah Mak, dari ujung rambut hingga kaki. Mak membalas.

“Kau pulang juga akhirnya, Mar?” suara Mak tersekat. Lirih.

Aku mengangguk. Pelan. “Ya, Mak… aku pulang. Boleh?” Entah mengapa ucapan itu hampir meluncur dari mulutku.

Mak lalu mengangguk. Tersenyum. Ah, aku mendapatkan tanda lain dari senyumnya. Adakah rahasia yang Mak sembunyikan? Kemudian aku mengambil tangan Mak, menciumnya. “Maafkan Mar, Mak. Baru sekarang bisa pulang. Mar…”

“Mak sudah memaafkanmu,” jawab Mak pendek, membelai rambutku yang tergerai. “Pamanmu semalam menemui Mak, dia cerita tentangmu. Dia juga bilang sudah lama tak bertemu denganmu. Ke mana saja kau, mengapa kamu pergi diam-diam dari pamanmu?”

Sebetulnya aku hendak menjelaskan yang sesungguhnya. Ingin kuceritakan sebenarnya yang terjadi, dari versiku. Cuma apakah itu penting bagi Mak, juga untukku sendiri?

Lama aku menimbang. Ketika beberapa lama aku terdiam dalam pelukan Mak, Paman Bowo menaiki tangga rumahku. Ia datang tak sendirian. Bersama seorang lelaki berambut cepak dan tubuh kekar. Aku bisa menebak. Segera kuhampiri Paman Bowo dan kuludahi dia. “Cuiiihh!”

Lalu gunting yang selalu ada di saku bajuku dan sejak tadi kugenggam erat, kutancapkan ke dada paman. Ia terhuyung bersimbah darah, selanjutnya terjerembab di lantai rumah panggungku.

“Mak aku pulang, Cuma tak tidur di rumah, maafkan Mar…” lirihku, lebih tepatnya: mengguman. Aku menuruni anak tangga, diikuti langkah lelaki itu. Ke Kantor Polisi. Maghrib menjelang. Takbir pun berkumandang…



Lampung, 24-25 Oktober 2004





7.
“Seroewan”




/satu/
DEMI kesucian Ramadhan, Pemerintah Kota menyeru warga, pengusaha makan, dan tempat-tempat hiburan, demikian:




SEROEWAN
Diseroekan kepada warga bahwa demi kesoetjian
di boelan Ramadhan soepaja dapat menghormati jang berpoeasa.
Para pengoesaha makan dan tempat hiboeran soepaja
menoetoep kegiatannja selama boelan soetji ini.
Barangsiapa tiada mengindahkan seroewan ini,
pemerintah tak segan-segan
membekoekan idjin oesahanya.
- Pemerintah Kota -


Seruan itu kemudian disebarkan ke seluruh kota pemerintahan, ditempel di sejumlah tempat dan tembok, dibacakan di radio, dan diiklankan oleh seluruh media massa. Warga pun menaati maklumat Pemerintah Kota, saling hormat-menghormati antara yang menjalani ibadah puasa dengan yang tidak. Begitu pula sepanjang siang di bulan Ramadhan, rumah-rumah makan dan warung makan pinggir jalan tutup. Tempat-tempat hiburan pada malam hari sepi dan gelap.

Karenanya kehidupan di Pemerintahan Kota menjad tenteram dan damai. Karena saling hormat-menghormati sesama pemeluk agama berlainan itu, tak ada gesekan yang berakibat gedung-gedung terbakar dan luluh-lantak atau tewas di jalan karena chaos. Tempat-tempat hiburan pun tidak harus diserbu warga atau dirazia petugas, karena kedapatan tetap menjalani aktivitasnya.

Maka warga muslim bisa khusyuk menjalani ibadah puasanya. Sementara warga yang tak berpuasa, tetap menghormati dengan tidak mengumbar nafsunya di keramaian. Lalu ke mana para perempuan penghibur, hidung belang, dan tauke tempat-tempat hiburan? Tak seorang warga pun di Pemerintah Kota ini yang mengetahui, selain punya jawaban yang sama jika ditanya seperti itu: “Istirahat! Cuma iblis yang tak pernah kenal istirahat untuk berbuat maksiat!”

Bertahun-tahun, berabad-abad lamanya bahwa tersiar ketentaraman dan kedamaian di Pemerintah Kota hingga ke penjuru dunia. Bahwa Pemerintah Kota bisa hidup damai dan tak penrah terjadi gejolak antarpemeluk agamanya, membuat negara kecil di bagian Anuland itu ke sohor—bahkan negara-negara berpenduduk muslim paling banyak menjadi iri.

Akhirnya Pemerintah Kota dijadikan percontohan sebagai negara yang damai, tiada gejolak—apalagi teror bom, warganya (baik muslim dan nonmuslim) hidup bersisian dalam hal-hal sosial (duniawi) dan tegas dalam urusan akidah (di sini izinkan saya meminjam pendapat muslim yang mengutip dari ayat Alquran; 109: lakum dienukum waliyadien). Sebagai percontohan negara yang damai, maka berbagai negara yang juga merindukan kedamaian dan ketenteraman berdatanganlah ke Pemerintah Kota. Negara-negara itu mengadakan studi banding (mungkin meniru para anggota Dewan yang kerap latah memanfaatkan istilah ini) ke Pemerintah Kota. Silih-berganti negara-negara dari luar itu berdatangan, yang katanya (sekali lagi!) hendak studi banding!

Maka Pemerintah Kota tak henti menyambut para tamu yang terhormat itu, membuat jamuan makan di Istana Pemerintah Kota, mengajak tamu mengunjungi tempat-tempat wisata di seluruh Pemerintah Kota. Bayangkan, dulu Pemerintah Kota amat tak peduli dengan objek-objek wisata yang sesungguhnya memang amat potensial akhirnya memperhatikannya secara serius. Pada anggaran pembangunan tahun berikutnya, dialokasikan dana untuk mempercantik objek-objek wisata. Tempat-tempat hiburan, karena saran dari beberapa negara yang nonmuslim saat studi banding, akhirnya diperbanyak lagi—terutama di sekitar kawasan pantai.

Meski demikian, puji beberapa kepala negara yang telah studi banding ke Pemerintah Kota, hidup damai dan tenteram yang tercipta di negara kecil ini karena pemimpinnya yang tegas menindak segala bentuk pelanggaran—baik dilakukan oleh para pejabat maupun warga sipil! “Cuma ini saja kuncinya. Saya pikir ada kiat lain yang rumit!” kata pemimpin negara dari bagian Asia yang dikenal para pemimpinnya amat korup, saat diwawancarai pers.

Namun pemimpin dari negara bagian Asia tetap pesimis kalau kiat yang diperolehnya dari studi banding itu diterapkan di pemerintahannya. Soalnya korup sudah menjadi ideologi bangsanya. “Agak sulit, karena kami sudah biasa hidup korup. Anak-anak kecil pun pandai korupsi kalau disuruh ke warung oleh orang tuanya, ahli mengganti-ganti angka di rapor sekolahnya!” kata sang pemimpin negara itu tersenyum malu-malu.

Pemerintah Kota selanjutnya sibuk menerima para tamu dari negara lain. Tak bisa menolak. Sebab menolak berarti menghancurkan anggapan dunia bahwa negera ini juga tersohor karena keramahan dan sopan santunnya. Para tamu luar negeri akhirnya keluar-masuk ke negara Pemerintah Kota…



/dua/
PADA beberapa tahun terakhir ini, entah pada seratus tahun ke berapa dari seruan Pemerintah Kota yang dicetak dan disebar ulang saban ingin memasuki bulan Ramadhan, tidak lagi tampak ditempel di tembok dan papan pengumuman rumah ibadah dan sekolah. Hanya sekali sehari menjelang Ramadhan dibacakan di radio dan dipasang di halaman iklan media cetak (untuk iklan media cetak, itu pun nyaris terimpit berita selebriti dan iklan minuman beralkohol! Pengelola media cetak memberi alasan: “Kami tak lagi punya halaman khusus untuk memuat seruan Pemerintah Kota.”)

Perubahan ini berpengaruh ke seluruh kehidupuan di Pemerintah Kota. Para muslim berpuasa dengan rasa khawatir, sementara yang beragama lain sudah berani terang-terangan makan di keramaian. Para pengusaha makanan, inilah yang meraka anggap sebuah demokrasi, bebas membuka usahanya pada siang hari sepanjang Ramadhan. Tak perlu penutup kain sehingga yang terlihat dari luar hanya kaki-kaki para pembeli (“Masak malunya pada orang, tapi tak punya malu dengan Tuhan!” kata pengelola rumah dan warung makan itu.). Kemudian pusat-pusat hiburan tak juga mau kalah. “Kalau hanya kami saja yang dilarang, Pemerintah Kota tidak adil!” Argumentasi para pengusaha tempat hiburan itu sangat ampuh. Pemerintah Kota gamang.

Inilah awal dari ketidakpercayaan warga pada Pemerintah Kota. Kehidupan beragama mulai goyah. Negara mengambil jarak—bahkan memisahkan sama sekali—antara urusan agama dengan negara. Agama hanya ritual di rumah-rumah warga dan tempat-tempat ibadah. Agama tidak berkenan mencampuri urusan negara, demikian sebalilknya (Cuma Pemerintah Kota sering mengawasi pelaku agama!).

Maka warga kini sering mengawasi langsung dari seruan Pemerintah Kota yang sesungguhnnya masih berlaku itu. Sebab tangan Pemerintah Kota tak lagi sampai menjamah atau menjewer para pengelola rumah makan dan tempat hiburan. “Akhirnya kami yang menjaga seruan itu. Tangan kami yang menjewer para pengelola itu jika kedapatan melanggar. Ternyata banyak sekali pusat-pusat hiburan itu melanggar seruan Pemerintah Kota!” kata pemimpin organisasi warga, setelah mengobrak-abrik tempat hiburan pada malam ke-10 bulan Ramadhan.

Organisasi Warga itu juga menangkapi lebih dari 20 perempuan penghibur dan lelaki hidung belang di sejumlah penginapan dan hotel di kota Pemerintah Kota. “Artinya ini apa? Pemerintah tak lagi dihormati, seruan Pemerintah Kota tidak dihargai dan tak ditakuti lagi. Para pengusaha sekarang sudah pada berani!”

Jadi Anda lebih berani dari para pejabat? “Kami hanya takut pada Allah!” jawab pemimpin Organisasi Warga. Lalu atas nama Tuhan kota-kota di Pemerintah Kota dijaga demi kesucian dari segala bentuk maksiat. Sementara kelompok lain, juga mengatasnamakan Tuhan, melawan organisasi itu yang dianggap telah berbuat makar. Padahal, kata kelompok lain ini, Islam datang sebagai rahmat bagi semesta alam. Muslim adalah ibarat lebah yang tak pernah merusak setiap hinggap, tapi baru menyengat jika terganggu.

Sungguh! Analogi itu diucapkan oleh orang yang tak mengerti agama! Seru pemimpin Organisasi Warga seraya menguti suatu ayat.

Demikianlah saudara, kota ini tak lagi tenteram dan damai. Setiap bulan Ramadhan kami dicekam ketakutan, karena setiap waktu bisa jadi korban karena pertikaian antara penjaga kesucian Ramadhan dan pembela hak-hak mencari nafkah warga.



/tiga/
NAH, saudara, kalau suatu ketika kau datang ke kota di Pemerintah Kota ini, kau akan diajak guide dari Dinas Pariwisata ke suatu tempat. Itulah objek wisata terbaru yang dibangun oleh Pemerintah Kota. Daerah itu khusus kawasan hiburan. Dekat pantai, tak jauh dari pelabuhan laut internasional.

Tetapi, aku tak hendak menceritakan bagaimana kawasan hiburan itu tetap beroperasi sepanjang Ramadhan. Meski aku tahu kalau pengelolanya membayar keamanan kepada pejabat di Pemerintah Kota, dan beberapa pejabat juga kerap ke sana. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa kalau suatu waktu Anda berkunjung ke sana dan melihat sebuah bangunan yang sengaja dibiarkan tinggal tiang tembok dan warna hitam: itulah rumahku.

Tentu kau akan heran, bangunan tak beratap dan berdinding itu bagaimana bisa jadi tempat tinggalku. Apakah aku bisa bebas dari hujan, matahari, dan angin? Hahaha (maaf saya boleh tertawa?).

Baiklah. Lalu perempuan guide itu berceeritalah padaku. Seratus tahun yang lalu, sejak seruan Pemerintah Kota tak lagi punya kekuatan hukum di mata warga, tersebutlah kawasan ini menjadi salah satu pusat hiburan terbesar di dunia (ternyata tidak saja memiliki salah satu keajaiban di dunia) yang tak hanya dikunjungi warga asli namun juga datang dari berbagai mancanegara.

Pada siatu malam di bulan Ramadhan, sekelompok orang yang menamakan diri Antimaksiat mendatangi kawasan hiburan itu. Dengan personel yang banyak dan amat kuat, kelompok itu menutup paksa tempat-tempat hiburan di sana. Entah bagaimana, Putri Khayali (nama seorang perempuan penghibur di sana) terjebak dan tak mampu menghindar dari amukan massa itu. Entah siapa pula, apakah benar anggota dari kelompok yang mendatangi kawasan hiburan itu atau orang-orang yang sengaja menyelundup ke dalam kelompok Antimaksiat itu, sejumlah lelaki bermata merah dengan beringas dan bengis memerkosa Putri Khayali di tempat itu juga. Setelah itu tubuhnya disiram minyak lalu dilempar percikan korek api. Putri Khayali sekejap saja hangus terbakar. Gosong. Arang.

Putri Khayali tidak sendiri. Ada 10 perempuan lain yang senasib dengan Putri Khayali. Dan lebih dari 50 lainnya kini hidupnya syok: traumatik dan ada pula yang sinting selama hidupnya. Para perempuan yang traumatik itu selalu berteriak dan menjerit ketakutan begitu melihat lelaki bermata merah, berwajah beringas dan bengis.

Bangunan itu—sesungguhnya bekas tempat hiburan—sengaja dibiarkan oleh pengelola kawasan hiburan seperti apa adanya. Sementara tempat-tempat hiburan lain yang rusak ataupun hangus terbakar kembali direnovasi. Para pengelola menganggap gedung itu sebagai kenangan dan tak boleh terulang. Selain itu, bangunan itu kini dianggap tempat tinggal Putri Khayali dan teman-teman senasibnya. Pernah bangunan itu hendak direnovasi, tetapi baru didatangkan para buruh ke sana tiba-tiba beberapa di antara mereka kesurupan: kemasukan makhluk halus. Suaranya mirip Putri Khayali, Ica Sonabari, Leni Anica, dan lain-lain. Mereka mengusir para pekerja. Meminta agar bangunan itu jangan direnovasi. Biarkan seperti pascakebakaran. “Kami juga ingin bangunan ini sebagai tempat hiburan kami…” kata Putri Khayali yang meminjam mulut salah seorang buruh, setelah itu tertawa. Terkekeh.

Maka itu bangunan kosong-melompong itu kini bernama “Putri Khayali Discotique” apabila kausinggah ke kawasan hiburan di Pemerintah Kota. Dan oleh Pemerintah Kota, bangunan itu masuk dalam daftar objek-objek wisata. Bangunan itu (kau pernah tahu dengan Taman Sukadasa Ujung—tempat peristirahatan keluarga raja di Karangasem, di kawasan timur Bali? Seperti itu pula bangunan bekas tempat hiburan itu) kini menjadi objek wisata yang juga banyak dan sering didatangi wisatawan.

Setiap warga di Pemerintah Kota ini pasti tahu di mana letaknya bangunan yang telah menjadi sejarah dan wisata itu, termasuk nama jalan dan nomor, serta berapa luas area bangunan “Putri Khayali Discotique” itu. Terutama setiap malam-malam tertentu di bulan Ramdhan, tempat itu banyak dikunjungi orang. Para peziarah itu, begitu mereka selalu beri alasan, datang untuk mengenang dengan caranya yakni bersenang-senang: kadang hingga mabuk. Saat-saat seperti itu, konon Putri Khayali dan teman-temannya yang mati di sana, juga ikut berpesta. Aku sendiri tak pernah ke sana saat anak-anak muda itu berpesta. Jadi, kebenaran cerita ini tak satu pun warga yang berani menjamin. Orang akan selalu menjawab “Dari dia” dan seterusnya, jika ada yang bertanya “Dari mana kamu tahu?”



/empat/
KALAU kini kau berkunjung ke Pemerintah Kota maka tak akan kaudapati “Seroewan” yang disebarkan setiap bulan Ramadhan. Pemerintah Kota meski tanpa susulan “Seroewan” baru, dengan sendirinya telah mencabut seruan yang dibuat beratus tahun lampau.

Lalu bagaimana tempat-tempat hiburan pada bulan Ramdhan, apakah tetap buka? Sebagaimana usia maksiat yang sudah amat amat menua, sebagaimana iblis yang dikutuk Sang Pencipta dengan tidak mengalami kematian bahkan ia terus lahir dan lahir selama dunia berputar, demikianlah tempat-tempat hiburan itu akan tetap dikunjungi. Dengan main kucing-kucingan dengan aparat keamanan, para pengelola amat mudah membuka dan menutup usahanya. Soalnya, mereka juga membayar oknum aparat keamanan untuk sekadar membocorkan kapan ada razia dan kapan sengaja dibiarkan.

Maka sekelompok orang, wajahnya tradisional, lokal. Menggunakan peci. Sarung panjang dari kain batik*), dan ada yang pakai sorban--berjanggut. Malam hari. Hibuk musik. Asap pekat dan lekat. Turun dari mobil. Berdiri di ambang. Saling tarik. Lalu, lalu, gemuruh dari benda-benda yang beterbangan. Menghantam apa saja. Entah siapa yang mulai, entah dari kelompok mana.

Kaca-kaca pecah. Terdengar teriakan-teriakan:

“Hancurkan!”

“Ganyang!”

“Bakar! Ayo, bakar!”

“Bunuh ci…”

Entah siapa yang bergerak. Entah siapa yang mengumbar amarah. Malam hari. Beberapa hari lagi masuki Syawal: Idul Fitri. Seperti tahun-tahun yang lalu, tahun-tahun yang lalu lagi. Api dan kepulan asap berlangsung di sana. Suasana panik, amat amok.



Lampung, 20-25 Oktober 2004




8.
Parang



SUNGGUH! Jangankan melihat parang (tajam dan mengkilap lagi), melihat pisau silet saja aku amat takut. Pernah aku menyaksikan ayahku terluka oleh silet saat mencukur kumis dan jambangnya. Mungkin karena abai atau melamun, pipi ayah terkelupas oleh silet itu. Darah pun mengaliri pipi ayah. Aku segera menutup mata, tak berani melihat warna darah.

Tetapi, justru ayah cuma tersenyum. Ia mengambil kapas kemudian mengelap darah yang ada di pipinya. Ayah berkata, “Luka adalah hal biasa. Setiap orang pasti akan mengalami, lalu mengapa kau takut?”

Bagi ayah memang hal biasa. Aku membatin. Tetapi, tidak bagiku. Luka dan darah sangat menakutkan. Kekerasan amat kuhindari. Itu sebabnya, aku bersyukur bahwa aku hidup dalam lindungan keluarga yang selalu damai. Ayah selalu bertutur lembut, dan ibu tak pernah lepas dari senyum.

Tetapi, nasihat ayah tidak mengubah ketakutan pada benda yang dapat melukai. Sampai kini aku masih trauma. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak ingin mengiris bawang atau sayuran dengan pisau. Lebih fatal lagi, setiapkali melihat darah tubuhku segera gemetar. Lemas. Bahkan aku pernah pingsan manakala anak lelakiku satu-satunya bocor di kepalanya karena jatuh. Untunglah, tetangga sebelah membawa Rio ke puskemas terdekat. Aku siuman setelah Rio pulang dengan perban menempel di kepalanya.

Traumatikku yang akut itu, membuatku tak berani menonton film-film keras: perkelahian atau pertikaian yang menggunakan senjata tajam—juga pistol. Aku juga akan menghindar jika di jalan kusaksikan terjadi kecelakaan.

Itu sebabnya, semasa remaja dulu aku pernah membayangkan ingin mendapatkan suami seperti ayah. Selalu kutepis khayalku pada lelaki yang kejam pada perempuan, kubuang jauh-jauh begitu anganku tertuju pada suami yang selalu menganiaya istrinya. Seperti tetanggaku sebelah dulu, yang setiap hari menindas dan menindak istrinya.

Pernah kukatakan pada ibu, kalau aku berada pada posisi seperti perempuan tetangga sebelah tentu secepatnya aku angkat kaki dari rumah. Apakah cuma lelaki itu seorang di dunia dapat dijadikan suami? Memangnya perempuan tak boleh melawan? “Lebih baik aku hidup menjanda, daripada dianiaya terus!” aku menggerutu.

“Setiap orang tak sama nasibnya. Mungkin perempuan itu bernasib seperti itu, punya suami yang suka menindas…” ujar ibu lembut. Membelai rambutku. Nasihat ibu merasuki batinku.

Hanya saja aku tetap tak sepakat dengan pendapat ibu. Nasib dapat kita ubah, kalau kita mau keluar dari sana. Cuma hal itu tak sanggup kuucapkan. Aku bahagia melihat rumah tangga ibu. “Aku ingin suamiku seperti ayah. Aku ingin punya suami, selembut ayah,” ujarku pelan. Ibu tersenyum. Katanya kemudian, “Amin.”
Pada kesempatan lain kukatakan pada ayah, mengapa lelaki sering menindas istri? Ayah tertawa, setelah itu membantah. Ia tak sependapat pada anggapan bahwa lelaki identik superior dan suka menindas perempuan. “Kamu hanya melihat satu kasus. Padahal banyak lelaki atau suami yang sangat menyayangi perempuan…”

“Maksudnya, seperti ayah?”

Ayah mengangguk. Tersenyum.

“Ayah pengecualian. Jangankan menganiaya ibu, berkata kasar pun tidak pernah. Ayah malah selalu mengalah…”

“Tapi, bukan berarti ayah kalah kan?”

Kini aku yang tersenyum. Aku mengangguk. Tentu ayah, tentu. Ayah tidak akan pernah kalah di hadapan ibu. Ayah hanya menempatkan diri sebagai suami yang menyayangi dan menjaga cinta. Aku menggumam. Ayah memang lelaki idolaku. Membuatku selalu ingin dekat dan rindu pelukannya.

“Suamiku kelak, kuharap seperti ayah…” desisku.

“Kau sudah berpikir rumah tangga?” ayah mendelik.

Wajahku menunduk. Aku enggan menatap mata ayah.

“Maafkan Niken, ayah…”

Tiba-tiba ayah terbahak. “Ooo tak apa-apa, ayah tidak marah,” ujar ayah kemudian. “Itu artinya, kau sudah besar. Jika seseorang sudah berbicara soal rumah tangga, pertanda ia sudah layak dikatakan dewasa…”

Dan memang dua tahun kemudian, setamat SMA aku dijodohkan dengan lelaki yang tak jauh dari rumahku. Bahkan, jika diurut masih ada pertalian saudara. Keluargaku dengan keluarganya boleh dikata masih bersaudara, meski sudah amat jauh. Kala itu aku berpikir, kini atau kelak aku akan tetap berumah tangga. Lelaki ini atau lelaki lain, tetaplah aku akan menjadi istri. Tak mungkin berubah aku jadi suami, jika perjodohan ini kutunda…



PARANG sepanjang 30 sentimeter kini menari di depan mataku. Bagai tangan seorang penari, ia meliuk sekaligus mengancam. Aku benar-benar dicekam ketakuan yang sangat. Ini bukan yang pertama kali—mungkin sudah berpuluh kali. Barangkali hanya karena takdir, aku belum mati di ujung parang itu. Dan, karena takdir pula, kiranya aku tak mampu keluar dari jeratan setan ini.

Pernah aku lari ke rumah orang tuaku. Beberapa minggu lamanya. Tetapi, lelakiku menjemput, dan orang tuaku tak sanggup mencegah. Ibu berkata padaku, bagaimana pun kini kau sudah menjadi milik suamimu. “Ibu dan juga ayahmu, hanya dapat berdoa kalian bisa rukun, saling menyayangi dan mencintai…”

Ah! Ibu tak mengerti bagaimana pedihnya hatiku sebagai perempuan. Ibu tak pernah merasakan menjadi istri yang setiap waktu terancam jiwanya. Ibu biasa terlindung oleh kelembutan dan kasihsayang ayah. Tidak seperti aku, anakmu yang malang ini. Ayah juga tak mampu menyelami lautan hatiku yang dalam. Hanya dapat berenang di permukaan. Sebab ayah tak pernah memperlakukan ibu sekasar yang kualami kini. Ayah yang periang mengisi hari-harinya selalu dengan riang. Ayah dan ibu, sekali lagi kuakui, adalah pasangan ideal. Impian setiap orang. Meski, kata ibu dulu sekali, “Setiap orang tak sama nasibnya.”

Mungkin nasibku harus seperti ini, ibu? Begitu ibu, kutafsir ucapanmu dulu kala aku remaja. Entahlah. Aku memang bukan juru tafsir suatu kata menjadi peristiwa nyata. Aku bukan ahli dalam hal menujum nasib orang, apalagi untuk diriku sendiri.

Entah mengapa, yang pasti, aku dapatkan suami yang dingin dan keras. Hanya karena Rio seorang—anak lelakiku, membuat rumah tanggaku masih dapat kupertahankan. Tetapi kelak, bila Rio sudah agak besar dan kedua orang tua kami sudah tiada, tentu akan kutinggalkan perahu ini. Aku akan melompat ke bahtera dan merenanginya bersama Rio. Di pulau mana pun aku bisa singgah, walau lelah. Di kanal mana pun aku bisa sejenak istirahat, meski hatiku penat.

Bahwa sampai kini Isman masih jadi suamiku, semata demi keutuhan hubungan kedua orang tua kami. Padahal sudah beberapa tahun ini kami tak lagi tidur seranjang. Bahkan Isman acap tidak tidur rumah ini. Suatu kesempatan aku pernah meminta cerai, tetapi Isman berkeras tak ingin melepas.

“Kita berpisah, kalau di antara kita ada yang mati,” tandasnya. “Kalau belum ada yang mati, sampai kapan pun kau tetap istriku. Jadi kau jangan macam-macam!”

“Aku istrimu? Apa buktinya kau adalah suamiku, secara badani dan batiniah kita sudah tak menyatu lagi?” bantahku.

Ia berang. Mendorongku ke ranjang, melempar asbak yang hampir mengenai wajahku. Aku terisak karena tak ingin terdengar oleh tetangga. Rio mendekat dan memeluk erat tubuhku. Isman menarik lengan Rio, menyuruhnya keluar kamar. Setelah itu kembali ia menghampiriku dengan parang. Parang yang mengkilat dan tajam itu yang selalu dipakainya untuk mengancamku. Tubuhku gemetar. Aku benar-benar ketakutan.

Jangankan parang, diancam dengan pisau silet saja aku tak berani. Aku tak sanggup membayangkan parang itu mengenai tubuhku, menyayat kulitku lalu darah mengucur dari badanku. Jangankan darah manusia, ayam yang terpotong pun aku tak berani melihat darahnya. Sekarang, akankah aku harus melihat kucuran darah, darahku sendiri?

O tidak! Cuma saat tengah malam ini, bagaimana aku dapat keluar dari rumah ini? Rumahku sendiri, rumah yang kubangun dari seluruh gajiku sebagai pegawai negeri. Meski belakangan ini tak lagi kurasakan kenyamanan, selain seperti berada di kawah neraka paling bawah.

Isman masih mengancam. Parang sepanjang 30 sentimeter tergenggam erat di tanganya. Aku tak berkutik. Tetapi aku juga tetap bergeming. Pikiranku, kalau memang harus mati kapan pun bisa: sekarang atau kelak sama saja. Sama persis kala aku harus memutuskan bahwa sekarang atau nanti, aku akan kawin. Pilih Isman ataukah lelaki lain, tetaplah aku sebagai istri. Tak akan pernah berubah, misalnya aku menjadi suami. Jadi, bahwa aku siap dan pasrah pada kematian, semata karena aku tak lagi berpikir soal waktu.

Kalau pun harus menimbang, tiada lain hanyalah soal Rio. Kalau kumati, siapa perempuan yang berkenan menjadi ibu bagi Rio? Ia akan kehilangan perhatian dan kasih sayang, sebagaimana anak ayam kehilangan induk. Kutepis segera bayangan kematian dari benakku. Segera kubangkit dari ranjang. Aku harus melawan, harus bisa keluar dari kamar yang seakan dipenuhi oleh maut.

Parang sepanjang 30 sentimeter itu masih di depan mataku. Hanya tak lagi mengayun-ayun selayaknya jemari seorang penari. Mata Isman kini tertuju ke selengkanganku yang terbuka. Segera ingin kututup pakaianku yang tadi melindungi kedua pahaku. Namun, Isman segera mendekat. Kembali kuberingsut ke tengah ranjang.

“Kau masih cantik, Niken…”

Aku membuang wajah.

“Kenapa kau selalu menjauh dariku. Bukankah aku belum menceraimu, jadi kau masih tetap istriku?” Isman mendekat.

“Jangan, Isman. Aku kasihan dengan Rio, kalau kau membunuhku…” Aku benar-benar ketakutan. Khawatir sekali, jika ia mengayunkan parangnya ke tubuhku. Aku mengiba, terus beraharap agar suamiku tidak berlaku bodoh. Membunuhku. Bagaimana Rio kelak? Kusebut-sebut nama Rio. Anakku memanggil-manggilku. Kami terpisah oleh pintu kamar yang terkunci.

“Perilakumu menyakitkan,” kembali kudengar suara Isman, di antara suara gemeretak giginya. “Untuk apa kau berhubungan dengan lelaki itu, kau selalu mengirim pesan dari ponselmu. Aku tahu, sudah kubaca semuanya…”

Mendengar itu jantungku berpacu kencang. Bukan tak mungkin, kemarahannya makin memuncak. Aku lupa menghapus semua pesan singkat di telepon genggamku, aku benar-benar abai tidak segera menyembunyikan ponselku. Kini sudah tak ada lagi alasan, mengapa aku mengirim pesan singkat tentang rumah tanggaku. Aku teringat pesan pertama yang kukirm pada Hary: “Dia ada di sini, dekat denganku. Tapi, menurutku, terasa amat jauh. Meski dia selalu bilang hanya soal jarak.”

Pesan singkat itu kukirim pada sepotong malam. Setelah itu, beberapa pesan lain antara kami saling bersahut. Hanya dengan pesan-pesan singkat itu, aku merasa terhibur. Hanya dengan “mengobrol” liwat pesan singkat di ponsel, kesepianku terobati. Dan, Hary—lelaki pengusaha yang kukenal ketika ia menjadi rekanan dalam proyek di kantorku, membalas setiap pesan singkat yang kulayangkan padanya.

Hary sering menasihatiku supaya aku tetap tabah. Kadang pesan singkatnya penuh dengan semangat hidup. Katanya dalam pesan singkat, “Kuharap suatu kelak, jarak itu dapat kembali merapat…”

Tetapi, aku tak yakin kami bisa kembali menyatu. Cintaku sudah layu. Kasihsayangku sudah menguning oleh musim garing. “Hidup saja ada mendaki dan ada lurah, begitu pula cinta?” Hary memberiku semangat. Dan, sejak itu aku semakin akrab dengan Hary. Pada hari-hari tertentu, kami janji bertemu. Mengelilingi kota dengan mobil yang dibawa sendiri oleh Hary. Kami mampir di swalayan dan makan siang. Sebatas itu. Kemudian aku diturunkan di tempat kami biasa bertemu. Hubunganku dengan Hary, membuat hariku terasa hidup. Aku bisa melupakan kekalutan dan kekusutan rumah tanggaku. Aku bisa lupa sejenak pada kesepianku…

“Untuk apa kaukirim pesan seperti itu? Itu sama saja kautelanjangi rumah tangga kita ini…” Isman kembali berucap. Suaranya menggelegar, hatiku berdebar-debar.

Ingin kucoba jelaskan bahwa dengan mengirim pesan singkat itu kepada Hary, setidaknya aku telah melepas sumbat di dadaku. Sumbat itulah, entah apa namanya, yang selama ini membuatku sesak. Lalu, salahkah aku mencabut barang sedikit sumbat yang ada itu sehingga dengan begitu aku bisa bernafas?

“Tidak untuk apa-apa,” jawabku memberanikan diri. “Sebab kalau aku bisa mengadu padamu, tak mungkin aku kirim pada lain orang?”

Suamiku, entah mengapa, kini menatapku dengan mata setengah layu. Ia mendekatiku pelan-pelan. Kedua bola matanya terus tertuju ke pahaku yang setengah terbuka. Tangannya menempel di pahaku. Meraba. Membelai. Aku terpejam…



SUNGGUH! Sudah dua tahun ini aku tak mencium aroma keringat dan mulut suamiku. Wajar kalau kini aku sangat merindukan. Kubiarkan ia makin mendekat, meraba, dan membelai kulitku. Kupejamkan mataku. Kuhikmati setiap inci jemarinya bermain di tubuhku. Sampai dia terlelap di atas perutku, dengan parang yang tergenggam di tangan kirinya tampak terkulai di sisi ranjang. Parang itu tak lagi menari…



Lampung, 21 Desember 2004; 13.22








9.
Tikus




SEJAK plafon kamar mandiku rusak karena usia dan kami sering lupa menutup pintunya sewaktu malam, kini rumahku seperti jadi sarang tikus. Setiap malam, tikus-tikus itu (lebih dari sepuluh ekor) keluar dari persembunyian untuk mencari makan. Apa saja yang ada di dapur dilahapnya. Tak jarang piring, dandang, periuk, wajan, berhamburan ke lantai karena tersenggol.

Kini kami tak bisa sembarang menaruh makanan. Nasi yang tersisa—kebiasaan keluargaku tak pernah nasi yang dimasak habis pada malam hari—untuk kami buat nasi goreng keesokan paginya, mesti ditutup rapat lalu ditindih dengan batu penggiling cabai. Istriku pernah menyimpan makanan di lemari, besok pagi ia mendapatkan lemari sudah terbuka dan isinya ludes digerayangi tikus.

Sejak lima bulan ini akhirnya kami dibuat pusing. Setiap malam dari dapur terdengar berisik. Ada saja yang jatuh ke lantai. Belum lagi suara cericit anak tikus itu. Sialnya lagi tikus-tikus itu keliwat usil dan centil. Anak tertuaku yang suka tidur di lantai di ruang tengah karena keasyikan nonton televisi ataupun belajar, kerap diusili. Katanya, anak tikus sampai melintas di mukanya. Atau jari kakinya digelitiki dengan gigi tikus. Ihh... mendengar cerita anakku itu, justru istriku yang geli dan jijik.

Kukira bukan saja usil dan centil, kataku pada tetangga sebelah yang juga kesal karena ulah para tikus itu. Para tikus sekarang sudah pintar, menyesuaikan zaman. Ketika ia terheran-heran dengan ucapanku, kujelaskan kalau tikus sekarang sudah tak mempan diperangkap. Aku sudah menyiapkan berbagai bentuk perangkap tikus, tapi tak satu ekor pun yang masuk. Padahal, umpannya tak kalah menggiurkan dengan sisa makanan yang biasa dilahapnya.

“Sepertinya, para tikus itu tahu kalau umpan itu hanya untuk memerangkapnya. Jadi, disentuh pun tidak. Didekati juga tidak,” kataku kesal.

“Saya pernah membeli lem tikus. Kata orang-orang, itu perangkap paling ampuh. Eh, ternyata tak seekor pun yang terkena...”

“Benar, pak. Tikus itu malah pintar. Saya pernah juga melakukannya. Tapi keesokan pagiku, saya lihat di atas lem sudah berserakan kertas koran. Rupanya lem itu ditutup oleh tikus dengan koran, sehingga tetap leluasa bercengkerama di dapur,” jelasku lagi. Tak urung kami pun tertawa.

Beberapa tetangga penrah mengusulkan membeli racun tikus. Tetapi, para ibu menolak. Alasannya, kalau tikus-tikus itu diracuni maka pekerjaan akan bertambah. Mencari bangkai tikus di sudut-sudut tersempit di dalam rumah. Selain itu, bangkai tikus baunya tiada tandingan. Dampaknya juga sangat besar terhadap anak-anak.

“Kalau tak sengaja masuk mulut anak kita, bagaimana?” ujar istriku.

“Tikus yang memakan racun tidak mati seketika, tapi ia lari ke balik lemari atau ke bawah tempat tidur. Dia mati di sana, kan rumah kita akan kebauan bangkai tikus,” usul istri pak Maman.

Alhasil usul membasmi tikus dengan racun gagal. Usulanku yang dulu juga kini tak berlaku lagi. Aku pernah menyorongkan usul bahwa tikus yang tertangkap agar ekornya dipotong atau kepalanya dicat putih. Setelah itu dilepas. Maka tikus-tikus yang lain tak akan berani lagi memasuki rumah kita. Ini pernah kulakukan dan terbukti. Cuma hanya beberapa bulan bertahan, kini makin banyak tikus menyerbu rumah kami. Sialnya untuk memerangkap seekor tikus, sekarang sulitnya minta ampun. Bagaimana kami bisa menggunting ekor atau mengecat kepalanya?

Kata istriku kesal, “Para tikus sekarang pandai. Mereka tak ingin terjerembab dua kali dalam lubang yang sama. Maka itu perangkap apa pun yang dipasang dan seekor tikus telah terjebak, maka yang lain akan menghindar. Setidaknya dia tak mau lagi meliwati jalan yang dipasang perangkap, tetapi makanan tetap dicurinya.”

Aku tak membantah. Apa yang dikatakan istriku benar. Percakapan mengenai tikus akhirnya menjadi menu setiap hari di keluargaku, juga hampir smeua di perumahan sederhana ini. Maklum antara satu tembok rumah dengan tembok rumah lainnya berdempetan. Genting antarrumah pun kerap menyatu. Jangankan gaduh tikus yang terjadi di sebelah rumah, kadang suami-istri yang sedang bercinta pun terdengar. Maka itu, bukan mustahil apabila tikus yang ada di blok lain bisa gampang mencapai rumahku di blok paling atas.

Aku smepat memelihara seekor kucing. Awalnya lumayan praktis.Setiap hari dua sampai tiga ekor tikus diterkam kucing. Cukup kucing peliharaanku menunggu di depan pintu kamar mandi. Begitu tikus muncul dari lubang pembuangan air kotor yang tak lagi ada penutupnya, segera kucing tersebut menerkam. Tak ayal tikus itu pun menggelepar-gelepar di mulut kucing, untuk kemudian tak lagi bergerak. Kalau sudah begitu aku bersorak. “Mampus kau, tikus! Tak berdaya kau dengan si manis!”

Kucing itu membawa bangkai tikus ke luar rumah. Ia mengunyahnya hingga tak bersisa. Setelah itu, si manis masuk lagi dan menunggui mangsa yang lain. Begitu seterusnya, beberapa hari lamanya. Cuma pada malam hari, si manis tak kuberi masuk. Aku khawatir dia berak. Nah, pada malam harilah para tikus itu merajalela.

“Sekali-sekali si manis kita biarkan masuk, bagaimana?” istriku memberi usul.

Aku menimbang. Tapi kemudian aku bimbang. Siapa yang akan membuang kotoran si manis, kalau dia berak di dalam rumah? “Kau mau yang membung taik kucing itu kalau dia berak?” tanyaku.

Istriku menggeleng. Kucing itu pun tak kami izinkan masuk pada malam hari. Namun, si manis tidak pernah protes jika kuberi pintu pada siang hari. Si manis seperti setia sebagai algojo para tikus. Aku pun suka dan sayang padanya. Kuberi makan dengan piring khusus, minum susu dengan gelas spesial. Kuberi tempat istirahat di gudang, jika si manis terlihat mengantuk.



SEJAK aku memelihara kucing dan hewan ini dianggap ampuh membasmi tikus, mulailah warga lain mengikuti jejakku. Ada yang memelihara sampai tiga ekor, namun paling banyak hanya seekor. Alasannya, sama denganku, tidak ingin direpotkan mengurus kucing. “Tidak efektif,” kata mereka yang hanya memelihara seekor kucing. “Kalau bukan karena benci pada tikus, malas memelihara hewan.”

Tetapi, kemudian kami justru direpotkan oleh kucing. Para kucing itu sembarang mengumbar berahi. Akibatnya lahirlah berpuluh-puluh anak kucing. Memang tikus-tikus itu makin takut dan migrasi entah ke mana. Sementara anak-anak kucing itu setiap malam mengganggu tidur kami. Suaranya berisik, gaduhnya amat mengusik. Kami pun mulai kewalahan untuk mengantisipasi mengurangi komunitas kucing di perumahan ini.

Kepala RT mengundang kami rapat di rumahnya. Intinya mencari solusi mengurangi kucing yang ada, selain itu membatasi kucing yang akan beranak. Untuk mengurangi habitat kucing, rapat memutuskan agar membuang sebagian kucing yang ada ke lain kampung. Setiap keluarga diwajibkan membawa dua sampai tiga ekor kucing yang ada untuk dipindahkan ke kampung lain. Aku membawa tiga ekor kucing sewaktu pergi ke kantor. Di dekat gerbang kantor kulepas ketiga ekor kucing tersebut. Sementara pak Arza, tetangga sesebelah, mengangkut lima ekor kucing ke dalam mobilnya. Katanya, kucing-kucing itu ia buang di pembuangan sampah.

“Saya yakin kucing itu tidak akan mati di sana. Sebab dengan gampang dia cari makan,” ceritanya. “Kalau kucing yang Pak Is bawa kemarin, dibuang di mana?” sambungnya kepadaku.

“Saya lepas di dekat kantor,” jawabku. “Saya juga opitimis, kucing itu tak akan mati. Sebab di dekat kantor saya, banyak warung makan.”

Kepala RT senang sekali mendengar laporan kami. Ia sendiri membawa dua ekor, dan seperti ceritanya, kedua ekor kucing itu ia berikan pada penjual hewan. “Ketika saya berikan dua ekor kucing saya, pedagang hewan itu senang sekali. Bapak-bapak tahu kan, kucing-kucing saya keturunan bagus? Warna bulunya pun indah. Kucing peranakan...” ucap Kepala RT membanggakan kucing miliknya.

“Tapi kan, tetap hewan juga? Kalau merepotkan dan selalu menggangu, tak ada harganya lagi...” sindirku.

“Iya sih... Tapi, sebetulnya saya sayang membuangnya. Saya sudah kadung menyayangi,” balas Kepala RT. “Cuma itu tadi, kita sudah sepakat mengurangi kuantitas kucing yang ada.”

Kami hanya bisa mengurangi, tapi kesulitan membatasi kucing itu untuk bercinta ataupun beranak. Seorang tetangga punya ide: untuk membatasi kucing itu tidak bercinta, kucing-kucing yang adea harus dipisahkan menurut kelaminya. Bayangkan, kami harus meneliti setiap kucing peliharaan kami hanya untuk memastikan apakah ia perempuan ataukah kucing jantan. Sungguh suatu pekerjaan yang memerlukan waktu yang tak sedikit. Lebih repot memikirkan gangguan tikus sebelumnya. Akhirnya sebatas kemampuan kami, kami pisahkan kucing jantan dengan kucing betina. Keduanya tidak boleh bertemu pandang hingga berakibat keduanya jatuh cinta. Cuma apakah kami harus setiap waktu mengawasi? Ketika kami lengah, kucing jantan pun mendekati yang betina. Mereka pun kawin. Tak lama kemudian, lahirlah anak-anak kucing yang baru.

Ketika ada warga mengusulkan, setiap anak kucing—baik yang baru sehari lahir atau pun sudah beberapa hari—harus segera diasingkan (tepatnya dibuang), banyak warga yang tidak sepakat. “Terlalu kejam. Bagaimana kalau manusia baru lahir harus dipisah dari ibunya? Tak terbayangkan...”

Pak RT menengahi. Ia tetap sependapat bahwa kamia harus mengurangi anak kucing. Jangan disamakan antara anak hewan dengan manusia. “Kita kan sedang mencari solusi untuk mengurangi kucing yang terus membengkak di perumahan ini. Kita sudah membuang kucing yang dewasa, ternya itu belum cukup. Maka ada usul kita harus memindahkan anak-anak kucing itu ke tempat lain....”

“Apa bedanya memindahkan dengan membuang, Pak RT?” Pak Zuhri bertanya.

“Ya, jelas beda dong pak Zuhri. Sebutannya saja sudah tidak sama...” sela Pak Dudi, pejabat di Dinas Peternakan Provinsi L.

“Tapi, maknanya sama kan? Memisahkan anak kucing itu dengan induknya?”

“Ya, kalau itu memang benar....” Pak Dudi membela diri. “Atau pak Zuhri punya ide yang lebih hewani??”

Yang ditanya menggeleng.

Para warga pun sepakat. Memindahkan—tepatnya mebuang—anak kucing yang sudah keliwat banyak di perumahan kami ini. Kami pun mengarungi anak-anak kucing itu, membawa ke suatu tempat masing-masing. Ada yang membawa dan melepaskan di dekat kantor, dekat pembuangan sampah, melepasnya di dalam kebun, meninggalkan anak kucing di dalam belantara, dan seterusnya. Kami kini direpotkan oleh urusan kucing yang terus menerus berkembangbiak.

Lalu, bagaimana tikus-tikus yang dulu menyerbu rumah kami? Seluruh warga nyaris melupakan. Kami tak lagi membincangkan para tikus yang menyebalkan itu. Apalagi, kami seperti tak lagi mendengar suara gaduh tikus di loteng. Suara langkah tikus saat meliwati asbes atau atap seng rumah kami, sudah tak lagi kami dengar. Aku bahkan tak lagi melihat tikus yang berkeliaran di dapur lalu mengobrak-abrik tempat cucian piring.

“Kau sadar kalau rumah kita tak ada lagi tikus?” istriku seperti mengingatkan aku kembali, setelah cukup lama melupakan perangai tikus di rumahku.

Aku mengangguk.

“Iya ya, aku juga sudah lama tak melihat tikus? Migrasi ke mana mereka?” Aku balik bertanya.
Istriku menggeleng.

Tapi, sepekan kemudian setelah percakapanku dengan istri malam itu, serombongan tikus memasuki rumahku lagi. Segerombolan tikus lainnya ke rumah warga lainnya. Keesokan pagi, kami kembali membincangkan kehadiran para tikus itu. Kali ini kami tak punya usul ataupun gagasan untuk mengusir tikus.

Berkali-kali Kepala RT mengundang rapat membahas masalah ini, tak satu pun warga datang. Kami sudah capek, banyak di antara kami yang frustrasi, dan akhirnya pasrah. “Sudah kodratnya, tadir tikus, menggerogoti makanan orang lain...” kata pak Dudi.

“Biar pun berulang-ulang dibasmi, yang lain akan lahir dan datang,” aku menambahkan. Aku benar-benar kesal, tapi juga sudah malas membincangkan tikus.

Dan memang, sekarang ini musim tikus sedang datang. Para tikus itu tak cuma menyerbu dan mencuri makanan di rumah-rumah kami, tapi bersarang dan beranak-anak di semua gedung kantor dan legislatif. Menggerogoti apa yang dilihat dan bisa dimakan...



SEJAK plafon kamar mandiku rusak karena usia dan kami sering lupa menutup pintunya sewaktu malam, kini rumahku seperti jadi sarang tikus. Setiap kami lengah, tikus-tikus itu (tak terhitung jumlahnya) keluar dari persembunyiannya. Mencari makananan: entah sia ataukah yang tertutup rapi. Apa saja yang ada di dapur dilahapnya. Tak jarang, piring-dandang-periuk-wajan, berhamburan ke lantai karena tersenggol.

Cuma sekarang, aku malas mengusirnya. Percuma suaraku menggebah, atau menyiapkan perangkap dan memasang jerat racun, akan tetap gagal. Tikus-tikus itu amatlah pandai. Seperti tahu akan diperdaya. Karena itu, kubiarkan tikus-tikus itu berkeliaran. Aku tumpas keinginan untuk membasminya dari dalam diriku. Bahkan, aku tak ingin mencegahnya ketika tikus itu pergi dan kembali. Bersarang di loteng, di gudang, maupun di dalam gedung kantor.

“Yang penting tidak mengganggu kita saat sedang bercinta. Jadi, biarkan saja...” bisikku di telinga istriku, ketika kulihat seekor tikus—amat besar—melompat dari plafon kamar tidurku. Aku makin rapat memeluk istriku...



Lampung, Oktober—23 Desember 2004; 00.48






10.
Terompet



TIDAK seperti biasa, Sisi yang meneleponku. Ia memintaku—tentu amat mengharap—agar menemaninya jalan di malam Tahun Baru. Bukan semata karena ia kalau segera kusanggupi, tapi disebabkan Nina. Aku ingin menghiburnya, aku sudah amat rindu berjalan dengannya.

“Nina menyuruhku meneleponmu. Ia mengharap sekali kau mau menemani kami. Yang terpenting ia ingin kau ada di sisinya saat ia merayakan ulang tahun…” ujar Sisi. Nina lahir pada 31 Desember pukul 19.00, dan kini di usia ke 13 ia minta dirayakan bersamaku. “Katanya, ia telah mengundang teman-teman sekolah.”

Aku pikir apa salahnya membahagiakan putriku yang tengah masuki usia remaja? Selama ini, sejak aku berpisah dengan Sisi, aku cuma mengucapkan ulang tahun melalui telepon. Atau menyuruh office boy mengantarkan kue ulang tahun buat Nina. Dan, sesekali membawanya ke pantai atau tempat bermain di mal.

Tetapi, apakah mungkin Rosa mengizinkan aku menemani Nina dan Sisi? Di malam Tahun Baru lagi? Bukankah ia tahu, karena aku selalu terbuka dan bercerita, kalau malam Tahun Baru punya kenangan tersendiri bagi aku, Sisi, dan Nina? Meski sekarang Sisi bukan lagi istriku. Kami bercerai sewaktu Nina berusia 7 tahun.

Nina memang butuh figur seorang ayah. Dan itu, tentu hanya ada pada diriku. Sayangnya, aku begitu sibuk dengan tugas di kantor. Ditambah lagi kini aku sudah berkeluarga. Rosa yang dulu anak buahku di kantor, kini menjadi istriku. Dari Rosa aku memang belum memeroleh anak, padahal usia perkawinan kami sudah 3 tahun. Meskipun tanpa anak, rumah tanggaku tetap bahagia. Aku sangat mencintai Rosa, begitu sebaliknya. Bagi Rosa, demikian selalu ia utarakan, perkawinan tak harus membuahkan anak. “Rumah tangga adalah soal cinta dan kasih sayang,” katanya suatu kesempatan.

Aku mengangguk. Memeluknya dan berbisik, “Rumah ini sudah terasa indah dan nyaman, karena setiap hari cinta dan kasih sayang selalu bertunas.” Apalagi Rosa tetap bekerja, menjadi wanita karier, di lain perusahaan. Kesibukan itulah yang kemudian seperti mengubur impian kami untuk memiliki anak.

Lalu apakah itu cukup bagi Rosa mengizinkan aku jalan bersama Sisi? Meski di antara kami ada Nina sebagai pembatas? Perempuan mana yang bakal mengikhlaskan suaminya pergi dengan mantan istri atau kekasihnya? Aku harus ekstra hati-hati, mesti menjaga perasaan Rosa sehingga ia tidak tersinggung. Cemburu. Betapa pun aku tak akan mungkin kembali kepada Sisi. Tetapi, jalan bersama orang yang pernah hidup di hati, tentu amat rentan.

“Apa? Kau mau jalan bersama Sisi?” Rosa mendelikkan kedua matanya. Aku amat faham, itu pertanda ia amat tidak suka. Padahal aku sudah sangat hati-hati mengutarakan maksudku. Aku juga sengaja mengajaknya makan malam di sebuah restoran kesukaannya. Itu pun didahului dengan mengajaknya mengelilingi kota. Bahkan semula aku hendak masuk ke bioskop 21, namun Rosa mengaku malas menonton film Indonesia yang dirasa rendah kualitasnya.

“Jujur saja kalau mau bernostalgia!” suaranya meninggi. “Sudah pergilah, aku bisa pulang sendiri!”

“Jangan cepat marah begitu, Rosa. Dengar aku dulu, aku belum selesai bicara,” kataku menenangkan istriku. “Kalau bukan karena peremintaan Nina, sumpah aku tak akan mau. Untuk apa aku jujur dan minta padamu, kalau aku sengaja ingin jalan dengan dia,” lanjutku. Sengaja aku menyebut Sisi dengan “dia” suapaya Rosa memaklumi kalau aku dengan mantan istriku sekarang sudah tak ada lagi yang harus dicurigai.

“Ya, sekalian nostalgia kan?” potong Rosa. “Siapa pun tahu kalian berkenalan di malam Tahun Baru. Lalu sewaktu belum bercerai, kau sering mengajaknya jalan-jalan pada malam Tahun Baru. Alasannya, mengenang malam pertama perkenalan. Iya kan?”

“Ya. Apa yang kau katakan benar. Tapi, itu dulu sebelum kau menjadi istriku…”

“Kau sendiri tak pernah mengajakku, aku ini kan istrimu?” Rosa makin protes.

“Kalau begitu kau ikut bersama kami,” ujarku segera. Aku mulai digayuti perasaan emosi. Kenapa tiba-tiba Rosa demikian sentimentil? Kutahu ia perempuan tegar selama ini. Lalu ada apa sekarang ia cemburu, justru pada Sisi yang semua orang tahu kalau sudah kuceraikan. “Kau terlalu cemburu, Rosa!” imbuhku tanpa dapat kutahan kata itu meluncur.

“Jelas aku cemburu! Karena aku tahu ia bekas istrimu. Karena kau sengaja ingin mendekatinya kembali liwat Nina. Aku tahu malam Tahun Baru amat spesial bagi kalian dulu. Ditambah Sisi masih belum menikah lagi…” Suara Rosa memberondong.

“Terus apa lagi. Apa lagi yang akan kaukatakan? Ayo keluarkan, ucapkan. Sampai kau puas,” kata-kataku meninggi. “Tapi, perlu kauketahui, aku paling tak suka mengenang-ngenang masa silam. Dan, sejak kau jadi istriku, aku sangat mencintaimu, aku menyayangimu. Itu sebabnya aku selalu terbuka, sekecil apa pun, walau harus berisiko…”

“Pokoknya aku tak mengizinkan kau jalan bersama dia! Aku juga tak sudi menemani kalian!” kata Rosa setelah bebera jenak terdiam.

“Aku tak jalan dengan dia. Tapi karena Nina, ia amat mengharapkan aku menemaninya merayakan ulang tahunnya. Bagaimana pun Nina tak bisa dipisahkan dariku. Ia anakku…”

“Aku tahu. Aku juga tidak lupa kalau kau sudah anak sewaktu menikahiku,” ia memotong.

“Apa maksudmu, Rosa?” aku tersinggung. “Kenapa kau begitu kasar?”

Ia diam. Aku segera mengajaknya meninggalkan restoran kesukaannya ini. Membayar apa yang kami makan pada kasir. Suasana makan malam kami kali ini koyak-moyak. Sepanjang jalan pulang benar-benar hening. Wajah Rosa selalu berpaling ke kiri. Berkali-kali aku ingin memulai percakapan, tapi selalu saja gagal. Rosa sengaja tak memberi ruang untuk sebuah percakapan.
Kota BL terasa lengang. Mobil kupacu kencang. Rosa menentang, “Aku belum ingin mati. Tapi, kalau pun mati tak ada yang menangisi kematianku. Lain kau, ada yang menangis dan menyesali…”

“Siapa yang mau mati?”

“Kalau begitu, pelankan sedikit mobil ini…”

Kembali ia memandang ke samping. Tiang listrik yang bercat hitam, bagai tubuh lelaki legam yang tengah berpacu ke belakang. Aku menatap ke depan. Habis sudah harapanku agar Rosa mengizinkan aku menemani Nina merayakan ulang tahun di Malam Tahun Baru.



SISI kembali menelopnku. Ia ingin mendapat kepastian apakah aku bisa menemani Nina pada malam tahun baru, dua hari mendatang? “Nina selalu bertanya padaku. Kalau kau ingin bicara padanya, Nina di sebelahku,” kata Sisi siang ini, ke tepelon kantorku.

“Ya, biar aku bicara pada Nina,” ujarku cepat. “Hallo sayang… kamu sehat kan? Bagaimana ulangan, pasti nilaimu bagus-bagus kan. Anak papa…”

“Papa mau kan nemenin Nina, sekali-sekali Pa,” ia merajuk. “Nina kangen jalan ama papa dan mama di malam Tahun Baru. Nina pingin sekali ulang tahun Nina dirayain bersama papa dan mama. Papa bisa kan? Papa mau kan?” Nina memberondong, yang intinya mendesakku agar menemaninya di malam tahun baru.

“Ya, ya! Tentu, sayang! Papa akan usahakan…”

“Yang pasti dong, pa?” desak putriku.

“Ya! Papa janji, pasti!” jawabku. Tetapi setelah ucapanku itu meluncur, aku kembali teringat Rosa yang sudah jelas-jelas tak memberi izinku. Aku mendesah. Menghenyakkan punggungku ke kursi, setelah meletakkan gagang telepon. Kuputar kursiku…

Dulu aku biasa mengajak jalan Nina berkeliling kota di malam Tahan Baru. Sejak ia berusia setahun. Tentu bersama mamanya, Sisi, yang kala itu masih menjadi istriku. Aku sendiri yang menyetir mobil, Sisi duduk di sebelah kiriku sambil menggendong Nina yang kadang terlelap.

Sebenarnya bukan kami ingin menghibur Nina, tapi setiap malam Tahun Baru kami punya kerinduan bernostalgia. “Bukankah kita berkenalan di malam Tahun Baru?” kenangan itu selalu diungkapkan Sisi setiap menjelang pergantian tahun, setelah kami berkeluarga. “Waktu itu kau bersama teman-temanmu dengan mengendarai mobil, sedang aku dengan teman-temanku juga dengan kenderaan. Kita bertemu di tepi pantai. Kau menggangguku dengan terompetmu yang diteriakkan dekat di telingaku…”

“Tapi, waktu itu kau bukannya marah. Malah tersenyum. Amat menggodaku,” selaku. “Padahal aku sudah siap dimarahimu, waktu nitu.”

“Soalnya kau gan…”

“Kau juga cantik, itu sebabnya aku menggosdamu.”

Lalu kami tertawa. Bahagia sekali. Mengelilingi Kota BL ini, kota yang pernah mendapatkan Adipura. Kami ulang mengelilingi kota di malam Tahun Baru setelah berumah tangga. Aku melamar Sisi setelah tiga tahun kami berpacaran. Dua tahun berumah tangga, kami dikaruniai anak yang kami beri nama Nina Sekarningrum. Saat Nina berusia setahun, aku dan Sisi nekat membawanya keluar pada malam Tahun Baru.

Bahagianya kala itu. Nina yang belum mengerti apa-apa, tetap kubelikan terompet. Tentu saja tak lama kuberikan ke Nina, terompet itu sudah lecek dan kucel. Sisi hanya tersenyum-senyum dengan terompetnya. “Ada-ada saja kau, anak sekecil ini ngerti apa?” Lalu meneriakkan terompetnya dekat telingaku, seperti hendak balas dendam. Melihatku kaget, segera berderai tawanya.

“Ya ngerti. Buktinya terompet itu dirusaknya,” jawabku sekenanya.

Ah, entah mengapa kenangan-kenangan itu tiba-tiba datang. Padahal aku tidak mengundangnya. Seperti selalu sering kukatakan, aku selalu melupakan masa lalu—juga di dalamnya kenangan-kenangan. Aku tak punya masa lalu, dan aku selalu optimis pada masa depan. Begitu rumah tanggaku dnegan Sisi hancur, aku tak pernah mengingatnya. Kalaupun harus menganggapnya, tak lebih ia hanyalah ibu dari anakku. Tiada kenangan yang mesti kutiti lagi, tiada angan yang dapat kuurai…

“Sisi sudah meneleponmu tadi siang?” Rosa membuyarkan lamunanku. Aku tak segera menyahut. Kutatap wajahnya. Kini ingin sekali kumasuki seluruh tubuhnya. Mencari apa yang tersembunyi dari ucapannya. Tetapi gagal. Ternyata aku belum tahu banyak tentangnya, aku seperti masih berjarak justru dengan istriku sendiri. Beginikah hidup rumah tangga: sebuah rumah yang dihuni oleh dua manusia dari sejarah yang berbeda namun hidup di bawah satu atap? Terkadang, ada banyak yang tak terselami.

“Sebelumnya ia meneleponku. Minta izinku…”

“Apa jawabmu?”

“Aku diam. Segera kututup telepon,” jawab Rosa ringan. “Aku yakin setelah itu dia meneleponmu. Benar kan?”

Aku mengangguk. “Tapi dia tak bilang kalau baru saja menghubungimu, tapi kau tak mau menerimanya,” jawabku. Aku masih memandang wajah Rosa.

“Kukira ia mengadu…”

“Dugaanmu meleset kali ini,” kataku segera. Terdengar ketus.

“Dia masih mengharapmu menemaninya?”

“Aku diminta menemani Nina yang berulang tahun. Kebetulan malam tahun baru. Aku bicara dengan Nina…”

“Tapi, yang menghubungimu Sisi kan?”

Aku kembali mengangguk. “Cuma menghubungi dan ia bilang, ‘Nina selalu bertanya padaku. Kalau kau ingin bicara padanya, Nina di sebelahku.’ Lalu kujawab, biar aku bicara pada Nina. Hanya itu, tidak lebih.”

“Hanya itu? Bohong!”

“Kau masih tak percaya? Kamu seperti mengenalku baru kemarin saja!” aku membentak. “Aku tak pernah berlebihan bicara padanya, aku tahu batas. Masih juga kau tak faham?”

“Aku tetap tak mengizinkan kau pergi esok malam. Pokoknya, tidak!” ucap Rosa. Kemudian meninggalkan aku di ruag tengah sendirian. Ia masuk ke kamar tidur. Mengunci dari dalam.

Kuketuk pintu kamar. Sekali dengan pelan, dua kali sedikit keras. Ketika tak ada tanda Rosa akan membuka, kuketuk pintu kamar dengan punggung tanganku. Cukup keras. Namun Rosa tetap tak membuka.

“Kau memberi izin atau tidak, aku tetap akan pergi. Aku bukan berurusan dnegan dia, tapi ingin menemani Nina, sebab sebagai papanya aku berkewajiban membahagiakannya!” kataku keras. Aku yakin, Rosa mendengar suaraku.

Benar. Ia membuka pintu. Melempar bantal dan guling.

“Tidurlah kau di kursi!” lalu kembali menutup pintu kamar.




AKU tak pulang ke rumah. Dari kantor aku makan malam dulu di restoran kesukaan Rosa. Setelah itu menuju rumah Sisi. Nina sudah menanti di depan rumah dan menyambut kedatanganku. Kulihat ia bahagia sekali begitu melihatku turun dari mobil. Kupeluk anakku yang kini sudah remaja itu. Kucium kedua pipinya dan keningnya. Ia juga balas menciumku: pipi dan keningku.

“Sudah siap, sayang?”

Nina mengangguk riang. “Papa belum mandi?”

“Kenapa, bau?”

Kembali Nina mengangguk. “Papa mandi dulu ya. Nina siapin handuk, sabun, sikat gigi.”

Nina segera menarikku ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Setelah itu kuganti pakaian yang sengaja kubawa dari dalam tas. Sisi sudah menunggu di ruang tengah, begitiu aku keluar dari kamar Nina.

“Maaf aku numpang mandi di kamar Nina. Aku tadi tidak sempat pulang dulu, dari kantor langsung ke sini,” kataku pada Sisi.

“Istrimu tak mengizinkan? Kalau belum makan, baiknya makan dulu. Sudah kusiapkan. Ajak Nina…”

Tiga pertanyaan Sisi itu, kujawab dengan menggelengkan kepala.

“Kalau begitu kita pergi sekarang,” Nina mencairkan suasana.

“Cemburu itu penting, itulah tanda cinta. Jadi aku tak menyalahi istrimu…” kata Sisi yang duduk di kursi belakang, setelah mobilku berada di jalan utama. “Dan itu yang kulakukan dulu…”

“Sudahlah, tak usah bicara soal masa silam,” ujarku agar suasana romantis dan sentimentil tidak terjadi malam ini. Lalu kualihkan pada Nina, “Ke mana kita malam ini sayang? Mau dirayakan di mana cara ulang tahunmu? Papa siap ke mana pun Nina minta…”

Nina menunjuk sebuah kafe di Hotel Indra Puri. Aku segera menyetujui, meski Sisi setengah mencegah. “Kenapa harus di sana, Nina? Pasti mahal. Lagipula, kamu kan sudah janji sama mama tak mau membebani papa. Tempat itu juga tidak pas buat kita…”

“Ah, mama sekali-sekali. Lagian papa tidak keberatan. Iya kan, pa?” Nina protes pada Sisi.

“Ya, enggak apa sekali-sekali. Tapi, janji ya, kita hanya sebentar di sana?”

“Oke deh, Pa,” jawab Nina sambil mencium pipiku. Ternyata Nina sudah memesan tempat. Terbukti begitu kami sampai, sekitar sepuluh orang teman sekolahnya sudah lebih dulu tiba. Duduk di beberapa meja yang di atasnya menyalala 13 lilin. Nina disambut dengan nyanyian “Selamat Ulang Tahun” dari teman-temannya. Sejurus kemudian, ia meniup lilin-lilin itu. Prosesnya cepat sekali. Tak lama keluar makanan yang juga telah dipesan Nina.

“Uang dari mana Nina bisa bayar tempat ini?”

Ia pun tertawa. “Hiii… papa mau tahu aja!”

“Jelas dong! Dari mana sayang?” aku berbisik di telinganya.

“Tabungan Nina. Kemarin Nina ambil di ATM…”

“Kalau begitu papa ganti.”

“Enggak usah Pa… Papa sudah bisa datang saja, Nina senang sekali.” Dalam hati aku tetap akan mentransfer uang ke tabungannya.

Setelah selesai, kami tinggalkan tempat itu. Kukira usai perayaan ulang tahun aku bisa segera pulang, tapi Nina mengajakku menemaninya menghabisi malam Tahun Baru. Aku tak dapat menolak. Aku memang sangat menyayanginya. Ingin menghiburnya.

Dan, mobil pun melaju di jalan utama Kota BL ini. Di simping Tugu Gajah kubeli tiga terompet. Satu untuk Nina, yang lain untukku dan Sisi. Tak dapat kuelak, kenangan masa silam pun kembali kutiti—bahkan dengan sendiri kenangan itu mengurai.

Suara terompet dari dalam mobilku saling bersahutan. Nina meniup, aku menyambut, dan Sisi membalas. Begitu sebaliknya. Terus menerus. Hingga aku lupa, ternyata aku tak mampu mencegah masa lalu agar tak masuk dalam kenanganku. Aku larut ke dalam kenangan yang indah sewaktu aku masih bersama Sisi dan Nina…

Ah! Mengapa roda kehidupan ini seperti berulang dan datang? Aku berkeras hendak mengubur kenangan itu, tapi sekeras itu pula kenangan itu mendesakku. Kupandangi Nina yang duduk di sebelahku. Ia tampak sekali bahagia. Tak henti-henti, sejak di Hotel Indra Puri tadi, ia mengumbar senyum. Nina memang manis. Cantik.

Dan, sesekali kucuri pandang ke Sisi yang duduk di belakang liwat spion. Ia pun tak kurang riangnya. Terompet selalu berada di antara bibirnya yang dipoles listik warna ungu. Dalam hati aku mengagumi kecantikannya yang belum pudar. Cuma aku tak sampai hati bertanya, kenapa ia belum juga menikah lagi? Mungkin ia sudah bertekad hendak membesarkan Nina seorang diri, sambil tetap menjadi wanita karier. Oleh karena itu, kembali kulirik Nina. Ia membalasku sambil meniup kencang-kencang terompetnya ke dekat telingaku. Aku pun tak mau kalah. Kuarahkan corong terompetku ke wajah anakku itu, dan segera kutiup keras-keras. Dan Sisi membalas, mengarahkan terompetnya ke Nina.

Nina protes. “Ih curang. Nina dikeroyok. Nina dikeroyok. Kalau berani sendiri-sendiri dong…” Ia terus protes. Kami tertawa. Berderai.

Malam sudah meninggi. Konpoi kenderaan makin menambah. Suara terompet terdengar di mana-mana dan dari arah mana-mana. Saling bersahut. Balas-membalas. Kami larut, aku terlena. Kami seperti menarik kembali waktu yang telah lenyap di masa silam. Seperti ingin kembali memeluknya. Itu sebabnya, ketika Nina memintaku mengarahkan mobil ke arah Timur—ke tepi pantai—aku segera mengangguk. Aku lupa kalau Rosa sekarang mungkin tak bisa tidur di rumah, memainkan perasaan perempuannya. Atau mungkin sudah terlelap di luar kamar?

Aku tak bisa bayangkan, aku tak mampu mengangankan. Hidup memang sulit diduga. Karena itu, aku tak mau menyesali kenapa aku mau menemani anakku dan Sisi, kalau sudah dapat kutahu akan berakhir di rumah sakit ini. Kami harus menjalani rawat inap beberapa hari. Aku cuma ingat mobilku tergelincir lantaran ingin menghindari tabrakan dengan bis luar kota. Aku hanya luka-luka di kedua lenganku, keningku karena terkena pecahan kaca. Sementara Sisi, tangannya patah, kepalanya bocor karena benturan atap mobil. Sedang Nina paling parah: kedua kakinya patah dan aku psimis ia bisa berjalan tanpa kursi roda.

Aku menangis, memeluk tubuh Nina. Berkali-kali aku pingsan di sisi ranjang Nina. Aku baru terbangun ketika Rosa membelai kepalaku. “Kau tak apa-apa? Aku tahu kalian di sini, tadi aku ditelepon dokter…”

Aku memandang Rosa. Aku mengharap sekali ia mau memaafkan aku. Rosa mengangguk, tersenyum. Kemudian kembali membelai kepalaku. Setelah itu, ia berbalik ke Nina. Mencium anakku (tentu anaknya pula bukan?) dengan segenap kasih sayang. Ia leburkan tangannya ke tubuh Nina. “Kau anak baik, Nak. Mama juga mencintaimu…”

Dalam keadaan terisak, kudengar Rosa membisikkan sesuatu ke telingaku. Kudengar jelas sekali: “Kalau kau masih mencintaiku, dan demi Nina… aku ikhlas jadi istri pertamamu.”



Lampung, 27 Desember 2004; 01.25







11.
Muli



SEPERTI pagi kemarin, ia duduk di balik jendela. Menyisir rambutnya yang kelihatan panjang sepinggang. Sebuah cermin kecil di tangan kiri berada di depan wajahnya. Pandangnya hanya satu arah, tapi entah tertuju pada apa.

Seperti gambar dalam bingkai. Hidup. Tangannya bergerak, menggerakkan sebatang sisir di kepalanya. Wajahnya mematut-matut di cermin. Olesan warna ungu di dibirnya, ah! bagai segaris pelangi. Sudah lebih 20 menit ia di sana. Setiap pagi, entah sejak pagi kapan dimulai.

Hujan baru reda. Sisa-sia air masih menggantung di ujung daun. Angin mati. Matahari tertutup awan. Tetapi ia tidak terusik. Berdiri di depan jendela. Menyisir rambutnya yang sepinggang. Selalu murung meski wajahnya dipoles bedak putih dan bibirnya bagai pelangi. Ungu.

Perempuan manis. Masih menampak kecantikannya, betapa pun umur nyaris hendak menguburnya. Juga senyum yang tak pernah tampak. Ah, adakah yang ia pikirkan. Di balik sisir dan rambut panjangnya. Di dalam bedak di wajahnya, lipstik berwarna ungu di bibirnya? Rahasia. Seperti cinta dan hidup ini.




NAMANYA Muli.1) Entah apakah masih ada kelanjutan dari namanya yang amat pendek itu? Aku tahu namanya itu dari ibu kos—pemilik rumah yang kutempati ini, perempuan itu punya kebiasaan menyisir rambut di jendela itu. Setiap pagi. Namun, ibu kos sendiri tidak tahu sejak kapan kebiasaan perempuan bagai gambar di dalam bingkai itu. Bahkan, memperkirakan usianya pun tak tahu.

“Mungkin ia berusia 31 tahun!”

“Saya malah memperkirakannya baru 26.”

“Ah, keliru! Ibu pernah dengar dari tetangga sebelah rumahnya itu, pada Januari nanti ia berusia 33. Cuma ibu tak yakin kalau melihat dari wajahnya. Ibu menaksir ia berusia 31 tahun!”

“Tapi, apakah ia pernah bersuami? Maksud saya, apakah ia sudah berkeluarga? Saya tak pernah melihat suaminya…”

“Entahlah. Ibu hanya dapat kabar, ia pernah berumah tangga.”

“Maksudnya, dia sekarang janda?”

Ibu kos menggeleng. Kemudian menjelaskan kalau ia tak mengetahui banyak tentang perempuan itu. Rambutnya sepinggang. Hitam mengkilap. Bercahaya. Bagai ada sinar di sana. Terkadang menyerupai pelangi. “Hanya yang ibu tahu, sejak ibu menempati rumah ini setahun lalu, setiap pagi ia selalu berdiri di depan jendela itu. Menyisir rambutnya. Basah. Beberapa menit, kadang menghabisi satu jam.

“Hanya untuk menyisir?”

“Ya.”

Sungguh. Aku benar-benar aneh. Ia pasti perempuan aneh. Menyisir rambutnya membutuhkan waktu lebih dari 30 menit. Fantastis. Aku meyakini kebenaran penjelasan ibu kos. Beberapa hari ini memang selalu kulihat ia menyisir rambut di situ. Lama sekali. Pelan sekali. Seperti penenun kain tradisional. Demikian telaten dan hati-hati. Seperti sekali menggoreskan batang sisir di rambutnya, adalah satu benang yang tersulam.

“Hanya untuk menyisir.,” ibu kos menegaskan. “Cermin yang dipegangnya di depan wajahnya, sebenarnya tidak dimanfaatkan. Ia sudah pakai bedak dan lisptik jika berdiri di jendela itu.”

“Apakah ia pernah pindah dari sana? Misalnya di jendela di lantai satu, sebelah kiri rumahnya itu?” tanyaku kemudian, ingin lebih tahu banyak.

Mendesah. “Setahu yang ibu lihat, belum pernah. Ia selalu mengambil tempat di jendela atas itu. Berdirinya pun persis di tempat itu. Tak pernah bergeser, mungkin seinci pun tidak. Ia seperti tahu pada posisinya, setiap pagi…”

Aneh. Aku mendesis. Kalaulah ia perempuan biasa, tentu tak akan mampu selalu tahu di mana posisi ia harus berdiri. Setiap pagi. Mungkinkan dulunya ia adalah penari, pemain teater, pemusik, atau pelukis? Selalu tampil di panggung pertunjukan, sehingga tahu posisi panggung? Kalau kulihat performance, ia penari. Gerakan tangannya saat menyisir rambutnya menampakkan talenta seorang penari. Tetapi, bisa pula ia pemusik. Bahkan pemain teater atau pelukis. Ah, ia demikian tak cela sebagai seniman!

Lalu hening. Kubiarkan ibu kos meneruskan percakapannya. Tak lagi kuperhatikan, juga isi yang dibincangkan. Aku makin asyik memandang perempuan di dekat jendela, di lantai dua rumah itu. Pandangnya datar. Monoton. Matanya redup. Cuma rambutnya selalu menguar cahaya. Berbinar-binar. Kesempurnaan itu dipadu dengan warna ungu lipstik di bibirnya. Alis mata legam. Bola mata yang bulat.

Muli. Nama nan indah. Simpel. Berkesan tegas. Seperti orangnya. Seperti yang kurasa, beberapa hari ini yang menguar dari aura gestrue-nya. Tetapi, mengapa tiada senyum di wajahnya? Apa yang selalu menari di benaknya? Semacam kupu-kupukah di sana? Ah, ya! Bola matanya bergerak. Laksana perempuan Bali yang tengah memainkan satu nomor tari. Tanganya bergerak. Bagai memetik dawai.

Muli. Nama yang sulit dilupakan. Ia abadi. Seabadi nama-nama di semesta. Kalau ia mati, mungkin jasadnya akan lenyap di kalang tanah. Tapi namanya? Kenangan-kenangan yang ia sulam setiap pagi di dekat jendela itu? Sulit dihapuskan. Bagaimana batang sisir itu mengurai helai-helai rabut yang legam itu, senantiasa teringat. Setidaknya olehku. Anganku akan selalu berpulang: ke perempuan yang berdiri di dekat jendela, setiap pagi itu. Layaknya gambar di dalam bingkai. Hidup. Estetis.

Ia tak pernah terusik. Sudah berulang kulakukan sesuatu demi mengalihkan pandangnya. Kutiup seruling yang kuperoleh dari pemberian teman di Bandung. Tak juga ia melihatku. Kumainkan salung2 yang dikirim Mefry—temanku yang seniman di Padang, ia bergeming. Keesokan paginya, kumainkan cetik3 yang konon pada zaman silam dapat didengar hingga ratusan kilometer jika dipukul, tapi kali ini tetap saja ia tak tertarik: setidaknya memalingkan wajahku kepadaku. Aku mulai jengah. Cara apa lagi yang mesti kulakukan untuk menggerakkan bola matanya tertuju padaku? Habis akalku. Kesempatan ini.

Pada pagi lain, aku dapat akal. Kuambil sebuah puisi dari kumpulan puisi di lemari pustaka pribadiku. Kubaca dengan suara keras. Aku membayangkan seorang Rendra atau Sutardji saat membaca puisi di atas panggung:

menatap matahari
di rumah panggung
jemari kaki mengecup
ujung tangga

tanah pun menjelma
jadi sungai
tempat kalian
mengadu ikan

di depan pintu
ujung tangga
ia menunggu
perjaka
--atau bunda?—

habis sesan
dilempar ke sungai
melahirkan gabus

ia tetap menunggu
waktu lari kencang
halaman berubah

tapi, ia tak cuma
menghitung hari
--setiap hari—
lalu dipinang
atau melajang
ditumbuhi uban

rumah panggung
menyimpan kenangan
ditinggal menganai
merantau…

ia sabar menanti
usungan orang mati
minta makam di kampung ini!4

Perempuan itu tak bereaksi. Tanganya masih memegang sebatang sisir, mengurai rambutnya. Di depan cermin kecil…



SELALU kurindu perempuan itu. Andainya satu pagi ia tak muncul di dekat jendela rumahnya, barangkali aku akan merasa kehilangan. Akan kutanya pada ibu kos: mengapa pagi ini di jendela itu tiada Muli? Ibu kos tentu segera mencari tahu dari tetangga sebelah rumah perempuan itu. Apa pun kabar yang diperoleh ibu kos, pasti diteruskan padaku. Tetapi sampai pagi ini, aku masih melihat ia berdiri di dekat jendela itu. Menyisir. Di depan cermin kecil. Bagai gambar di dalam bingkai. Rambutnya tampak berbinar. Namun, matanya nanar. Seperti pagi-pagi kemarin.

Aku selalu mengharap ia ada di jendela itu. Setiap pagi. Sehabis aku mandi, mengeringkan rambut dengan handuk. Membaca lembar-lembar koran pagi. Ah, aku tak pernah tuntas membaca koran di tanganku. Seperti tak akan pernah tuntas aku membaca perempuan di jendela itu. Tersembunyi rahasia. Misteri. Jangan-jangan setiap perempuan di dunia akan menutup rahasianya rapat-rapat. Tiada lelaki yang mampu memasukinya.

Aku ingin membaca ihwal perempuan itu. Tapi selalu gagu dan gagal. Rahasia membeku. Kristal. Perempuan itu tetap bagai gambar di dalam bingkai. Berlipstik warna ungu, wajah putih oleh bedak. Rambut selalau basah dan bercahaya. Binar. Ada pelangi yang menguar dari seputar perempuan itu.

Dan, setiap pagi pula kumainkan seluruh alat musik tradisional. Dengan begitu, kuharap ia mau memandangku. Tersenyum. Mengajak bercakap. Kalau pun tidak, cukuplah dengan bahasa tubuh. Isyarat. Aku tentu mengerti. Sebab pengalaman berteman seorang tunawicara (rungu), cukup untukku memahami bahasa mereka. Hanya saja, benarkah perempuan di jendela itu tak bisa bicara? Entahlah.

Sekarang, pagi ini, ia ingin mengikat rambutnya. Satu ikatan sudah dilakukan. Entah berapa ikatan ia buat? Dua, tiga, empat, ataukah lebih? Akan seperti ia jika rambutnya diikat menjadi sepuluh? Wow! Sudah dua ikatan. Betapa cantik. Anggun. Aku mengingat-ingat sejumlah perempuan kesohor di dunia, pernah mengikat rambutnya. Tokoh Juliet dalam William Shakespeare-kah? Perempuan dalam lukisan Jeihan? Leonardo? Aku buka-buka majalah perempuan, kucari para Ratu di dunia ini. Tak temu juga.

Baiknya kuangankan, perempuan itu adalah Ratu Balqis. Ia memang layak disematkan Ratu.

“Tapi, namaku Muli!” seperti kudengar ia protes.

“Aku hanya mengangan-angan. Sekiranya kau Ratu…”

“Tidak mungkin. Sangat tak masuk akal.”

“Lalu…” anganku mampat. Muli meninggalkan jendela. Seperti gambar yang dikeluarkan dari bingkainya. Entah kenapa, aku benar-benar kehilangan. Demikian merindukan.




BAGAIMANA dapat aku melupakan Muli. Perempuan itu selalu mengusik setiap pagi, ketika ia berdiri di dekat jendela. Menyisir rambutnya yang panjang hingga pinggang (Aku tahu rambutnya sepinggang, ketika suatu kesempatan ia ke halaman rumah berjemur di bawah matahari. Ah, rambutnya sungguh indah, seperti di dunia ini hanya Muli yang memiliki rambut seindah itu).

Itu sebabnya, aku benar-benar merasa kehilangan ketika pagi ini aku tak melihatnya berdiri di dekat jendela. Ke mana Muli sepagi ini? Mungkinkah ia sudah melakukan kebiasaannya, dan aku yang terlambat? Kulihat jam. Kupikir aku kesiangan bangun. Tidak juga, ini waktu Muli seharusnya ada di sana. Aku menggumam.

Lantas kubayangkan sisirnya yang menari di helai-helai rambutnya. Kuingat-ingat cermin kecil berwarna merah muda yang selalu di tangan kirinya. Juga lipstik ungu yang menghiasi kedua bibirnya. Rambutnya yang hitam sepinggang, bagai uraian kain sutra. Matanya yang kosong namun padat dan berbinar. Alismatanya bagai barisan ulat bulu.

Muli. Nama yang singkat dan indah. Tetapi, mulai pagi ini nama itu hanya abadi dalam anganku. Ia tinggal kenangan. Tak akan kembali, barangkali, pada pagi-pagi berikutnmya. Meski aku tak akan bosa menantinya di ambang pintuku ini. Memandang ke jendela rumahnya di lantai dua itu.

“Kau pasti kecewa. Pagi ini kau tak melihat Muli di jendela itu…” ibu kos mengusikku, membuyarkan lamunanku.

Aku memandang wajahnya. Ingin sekali kuperoleh kabar dari ibu kos yang sangat baik itu. Aku menanti. Lama. Aku mulai gelisah. Kuhisap rokokku tak beraturan.

“Ibu perhatikan kau amat gelisah. Ada apa sebenarnya denganmu, Tom?” ibu kos justru bertanya lain.

“Aku… aku…”

“Cakapmu pun kini gelagapan. Kau simpati dengan Muli?” ibu kos langsung membongkar perasaanku.

Aku mengangguk. “Saya memang simpati, bu. Tapi, belum tentu aku mencintainya kan? Aku hanya mengangguminya. Hanya penasaran, sepertinya Muli menyimpan misteri?” jawabku kemudian.

“Kau benar,” kata ibu kos itu segera. “Muli memang perempuan mistri. Ia menyimpan rahasia…”

“Maksud ibu?” aku makin dirundung penasaran. Kunanti ucapan ibu kos yang lainnya.

“Semalam Muli dibawa keluarganya kembali ke rumah sakit jiwa. Ia harus menjalani pengobatan secara intensif. Kemarin sore, waktu kau di kantor, ia mengamuk. Melempar barang-barang di rumahnya, menimpuk televisi hingga pecah. Melempar pesat telepon ke luar rumah sampai berantakan. Kaca lemari pecah. Menggunduli rambutnya… Ibu yang melihatnya saja tak sampai hati. Ibu terharu…”

Kulihat ada cairan di pipinya. Perempuan paruh baya itu tak sanggup menahan kesedihannya. Berhenti untuk beberapa jenak lamanya.

Setelah menghapus airmata di pipinya dengan punggung tangannya, ibu kos itu melanjutkan ceritanya. Katanya, Muli memang sejak dua tahun lalu mengidap kelainan jiwa. Tepatnya sejak ia diceraikan suaminya yang pergi entah ke mana. Dulu, sewaktu ia remaja, adalah penari dan koreografer andal. Banyak nomor tari ia cipta dan mainkan. Di berbagai panggung pertunjukan. Lalu kariernya terhenti sejak ia menikah. Suaminya sangat mendikte agar ia meninggalkan dunia kesenian itu. Ia tinggalkan, meski tidak seluruhnya. Di rumah ia membuat sanggar dan memberi pelatihan tari bagi remaja. Muridnya sangat banyak. Itulah yang membuatnya abai pada rumah tangganya. Suaminya pun protes. Menceraikan dan lari bersama anak asuhannya.

“Sejak itu Muli shock. Jiwanya terguncang. Pikirannya kalut…”

“Karena itu jiwanya terganggu?” aku menyela.

Ibu kos mengiyakan. “Sakitnya makin gawat. Makanya ia dibawa pulang oleh keluarganya ke rumahnya itu. Ditempatkan di lantai atas, supaya ia tidak mengganggu.”

Itu sebabnya, setiap pagi aku seperti melihatnya sedang menari. Ia menyisir pun, mematut wajahnya di depan cermin pun, layaknya sedang memainkan satu nomor tarian. Ia seniman sejati. Demikian estetetis. Aku amat merindukan, selalu kuingin memandangnya. Jadi, bagaimana bisa kulupukan Muli?



Lampung, 28-29 Desember 2004






12
Gelombang Besar di Kota itu



MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu memulai kisah malam ini.

Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada penonton yang menangis histeri) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15 cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang berkisah.

Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika Khidir membawa “muridnya” menimba ilmu dari kehidupan ini. Berkali-kali “sang guru” mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan: “Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan bijaksana!”

Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit dicermati oleh kanak-kanak. “Setelah lampung perahu itu dilubangi, guru dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah. Sungguh menyiksa!”

Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita adalah soal gelombanmg besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti kiamat.

Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penarang rusak. Mereka sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total. Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan kapal besar pun terdampar di jantung kota.

Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan gelombang maha dahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.



KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal, sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga, tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memrihatinkan. Lapar ditumpukan alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.

Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak. Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan. Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kuang. Langit pekat setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat. Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip, takut diberondong para serdadu.

“Tidak boleh ada keriangan di kota itu,” kisah ibu, mungkin inilah cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan kami dan cucu-cucunya. “Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara dentuman…”

Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu. Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan, pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah yang berkuasa.

Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan menjadi makin cekam.

Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat. Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan. Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah. Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.

Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia…

Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah—tapi cuma beberapa shaf atau kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha mengubahnya, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.

Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab Tuhan milik para orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.

Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling memengaruhi. Dan, selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu berkisah yang masih terngiang di telingaku.

Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah) daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong. Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek. Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.

Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering telepon, tapi artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?

Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan asap rokok.

Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?

Barangkali, kalau saja, Khidir tak melubangi lambung perahu itu tentulah banyak orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan smapai membusuk. Pertolongan sulit memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama dan tak bertanda? Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.

Pertanyaan itu hingga kini, dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu sekali lahir banyak orang suci dan pahlawan…

(kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita—FLP Aceh—yang menjadi korban dalam musibah itu; dan Azhari yang tentu kini merasa luka karena keluarganya wafat: din saja yang selamat namun hatinya tentu terluka, maskirbi dan keluarga yang belum tertemukan, dan lain-lain)


Lampung, 31 Desember 2004







13
Sendainya Kau Jadi Ikan



“SUNGGUH, aku ingin jadi ikan. Begitu kota-kota jadi laut, aku akan berenang-renang di atasnya,” suatu kesempatan kau mengatakan keinginanmu itu. Aku cuma tersenyum, setelahnya menggeleng.

Keinginanmu yang gila itu, waktu itu kuanggap begitu, berkali-kali kaukatakan. Di setiap pertemuan, di setiap percakapan. Tak mengenal tempat: kamar kosku, rumah kontrakanmu, kantin pabrik tempat kita bekerja, KFC, mall, bahkan saat kita menonton film.

“Keinginanmu itu benar-benar gila!” sergahku. Betapa tidak? Ketika banyak orang menghendaki jadi sebenar-benar manusia, justru kauingin jadi ikan—hewan air. Padahal, Putri Duyung dalam sinetron yang dimainkan Ayu Azhari selalu merindukan dirinya berubah jadi manusia. “Tidak masuk akalku. Absurd!” tekanku kemudian.

Tetapi, ya tetapi, justru kudengar kau tertawa. Berderai. Membuat tubuhmu berguncang. Aku emosi. Marah. Tadinya, kuingin mencengkeram lehermu lalu mencekik hingga mampus. Tetapi urung. Aku tak ingin menodai tanganku dengan kematian orang, apalagi kau adalah temanku. Apa yang akan kujawab jika polisi menginterogasiku? Jawaban apa jika Tuhan menghisabku kelak di lain tempat?

Maka itu, kubatalkan keinginanku mencekik lehermu. Tapi tak urung, kutinju dadamu—tentu tidak dengan tenaga maksimal. Sedikit merintih, lalu kau tertawa lagi. Makin berderai. “Kaupikir keinginanku menjadi ikan, gila? Tak masuk akal? Absurd?” ujarmu.

Aku mengangguk. Makin kesal.

“Seperti Nuh sewaktu membikin perahu, waktu itu tidak musim penghujan dan jauh dari tepi laut. Kaum Nuh mengolok dan meneriaki Nuh sebagai orang gila. Bahkan putra kandungnya menganggap ayahnya itu sudah gila. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?” lanjutmu. “Perahu yang tak begitu besar itu telah menyelamatkan orang-orang beriman, yang percaya pada risalah yang dibawa Nuh. Dan putra Nuh terseret bah, tenggelam, dan mati entah di mana…”

Aku ingin membantah: sesungguhnya kau bukan Nuh. Karena itu, mukjizat apa yang akan kauterima jika keinginanmu menjadi ikan tercapai? Adakah setelah kaujadi ikan, bah akan datang, kota ini kemudian menjadi lautan mahaluas dan mahadalam? “Tidak kan? Tidak akan kota ini menjadi lautan. Tak akan airlaut tumpahnya sampai ke kota ini. Lantas, untuk apa kau memimpikan jadi ikan?” kataku. Memberondongnya dengan pertanyaan.

Kau menjawab, bahwa sebenarnya kau sudah bosan hidup sebagai manusia. Terlalu banyak manusia yang sejatinya bukan manusia. Mereka punya otak tapi tak pernah digunakan untuk berpikir tentang kebesaran Tuhan. Mereka punya hati tapi tak pernah untuk berzikir. Manusia punya mata, tapi apa yang selalu dilihatnya? Mereka punya tangan hanya digunakan untuk mengambil bukan miliknya. Zakar mereka ditancapkan ke sembarang orang. Vagina mereka dibiarkan terbuka untuk semua orang. Kedua kaki yang diberikan Tuhan, dilangkahkan ke tempat-tempat asing dan gelap.

“Aku merasakan bahwa dosaku sebagai manusia, sudah begitu menggunung. Tak dapat dihapus saking banyaknya. Oleh karenanya, untuk apa kupertahankan diri sebagai manusia. Bukankah hanya hewan dan benda-benda di bumi ini yang bebas dari pertanyaan Tuhan pada hari akbar nanti? Aku tak mampu membayangkan ketika kakiku melangkahi titian rambut yang dibelah tujuh itu, dan di bawahnya kobaran api yang amat panas. Aku tak akan sanggup, apalagi membayangkan!” katamu.

Aku sudah malas berbantahan. Kau terlalu ngotot mempertahankan keinginanmu. Daripada aku makin kesal lalu berang dan keinginan mencekik lehermu jadi kenyataan, persoalan akan rumit. Apa alasanku membunuh sahabat, ketika polisi bertanya? Tetapi ya tetapi, toh kau tak akan pernah menjadi ikan. Tuhan tak juga mengubahmu dari manusia ke ikan. Ini bukan zaman sihir nenek jahat?

Hanya saja sejak berbantahan yang nyaris berkelahi itu, kau tak lagi mengunjungi kamar kosku. Aku tahu kau pasti marah. Tapi, aku tahu juga kau sengaja tak menemuiku karena hendak menghindar agar tidak beradu fisik denganku…



KAU tetap tak jadi ikan. Itu kutahu, suatu malam, kau meneleponku. Entah dari kota mana. Sejak kau keluar dari pekerjaan empat tahun lalu, praktis komunikasi kita pun terputus. Tahu-tahu kau menelepon malam ini. Membuat aku terkejut. Suaramu parau, bahkan lebih tepatnya kukatakan lirih sekali. Ada apa sebenarnya, kawan?

“Aku kecewa. Amat kecewa…” tekanmu. “Sampai kini tak juga berubah jadi ikan. Masih manusia…”

“Syukurlah. Tuhan mendengar permintaanku…”

“Maksudmu?” kau menyela. Penasaran. Suaramu meninggi.

“Aku meminta, tepatnya berharap atau berdoa, agar Tuhan tak mengabulkan keinginanmu. Kubayangkan apa jadinya kalau doamu itu dikabulkan, dan kau menjadi seekor ikan?”

“Bagus itu. Aku bisa berenang, bahkan sampai lautan maha besar. Sekiranya terjadi banjir atau bah, aku berenang dan bisa menyelematkan diri…”

“Ngaco kau!” teriakku dari telepon ini. “Kau pikir semudah itu mahluk bisa menyelamatkan diri pada saat banjir? Baru dikirim gemuruh gelombang saja, mahluk-mahluk yang ada di bumi ini sudah panik. Lari pontan-panting mencari perlindungan. Berteriak ketakutan. Ikan pun tak akan bisa menyelematkan diri, kalau banjir itu berbentuk bah amat dahsyat!” kataku lagi.

“Tapi, setidaknya kepanikan seekor ikan tidak sama dibanding kepanikan yang dialami manusia. Ikan panik karena aneh saja melihat air tiba-tiba menjadi bah. Sedang manusia karena ingin menyelamatkan diri, tak mau segera mati… mungkin karena banyaknya dosa!” katamu membuka perdebatan lagi.

“Sudahlah, aku malas berdebat. Aku tak ingin berbantahan denganmu, nanti darah tinggiku naik lagi,” kataku bergurau. “Sekarang kau mau apa meneleponku malam-malam ini? Kau di mana kini? Sudah dapat pekerjaan lagi…?”

“Ah, dari dulu kau memang malas diajak dialog… aku sudah dapat pekerjaan lagi, jadi satpam. Itu sebabnya aku teleponmu, mau mengabarkan bahwa aku sudah bekerja lagi…”

“Sudah punya istri?”

“Dari dulu aku sudah janji kan? Tak mau berumah tangga. Perempuan dilahirkan untuk merepotkan lelaki, dan aku tak mau repot-repot mengurus istri. Lebih santai sebagai lajang,” jawabmu tertawa. Berderai.

“Husstt! Kalau bicara tu pakai otak ya?” selaku. “Kau pikir perempuan hanya merepotkan kita? Justru karena dia, sebenarnya lelaki terbantu.”

“Siapa bilang? Apa dalilnya?” potongmu segera.

“Aku malas gunakan dalil. Aku yang bilang!” aku menegaskan. “Tapi, ngomong-ngomong, kau di mana sekarang?”

“Di Aceh!” jawabmu cepat. Lalu, kudengar tawamu. Keras sekali. Aku yakin tubuhmu pasti berguncang, seperti kebiasaanmu saat tertawa seperti itu. Meski aku ikut tertawa (tapi tidak sekeras temanku itu), entah mengapa kepalaku menggeleng. Aku seperti tak bisa memercayai kalau temanku itu, kini sudah berada di provinsi paling ujung Pulau Sumatera. Sejak kapan ia pindah ke sana, dengan apa dia bisa sampai di sana, siapa yang mengajak? Bukankah di Kota J ini ia mampu cari pekerjaan lain, asalkan sungguh-sungguh? Untuk apa sampai ke Aceh kalau cuma jadi satpam? Aku membatin.

“Kenapa kau?” kau membuyarkan lamunanku. “Aneh ya, aku sudah di Aceh? Para tenaga kerja kita sampai ke luar negeri, kau merasa tak aneh. Kau tak acuh. Aceh kan masih Indonesia kawan?”

“Aku tahu. Aceh memang masih Indonesia! Tapi, di sana itu belum aman. Kau bisa tewas, entah oleh tentara RI atau diberondong gerilyawan GAM. Jangan-jangan kau nyambi pengirim ganja ke J ya?” ucapku beberapa kejap terdiam.

“Aku malah tak pernah melihat ganja di sini. Aku tak tahu mana yang ganja itu. Kalau soal GAM, aku memang pernah jumpa. Tapi, GAM yang pernah mengobrol denganku sangat baik dan santun. Bukan pembunuh seperti yang kita baca selalu di media massa. Sungguh, aku bukan berpihak pada GAM lo…”

Lalu hubungan telepon putus. Seperti sengaja ada yang memutuskan. Aku tak tahu apakah ia menggunakan pesawat telepon kantornya lalu ketahuan pimpinannya, maka ia segera memutuskan hubungan. Atau barangkali ia menggunakan warung telepon, dan merasa tagihan sudah besar maka ia putuskan percakapan segera. Jangan-jangan di sebelahnya ada intel dari tentara atau GAM? Segala kemungkinan bisa terjadi.




SUDAH sepekan aku menunggunya menelepon. Setiap aku tiba di kantor, selalu kutanyakan ke bagian penerima telepon apakah temanku dari Aceh telah meneleponku. Petugas telepon selalu menggeleng.

Aku mulai dimabuk perasaan rindu padanya. Kalau saja aku memiliki nomor telepon atau handphone-nya, sudah sejak sepekan lalu kutelepon. Sayangnya, aku lupa menanyakan nomor telepon atau handphone dia sewaktu menelepon dulu. Inilah kebodohanku yang pertama dan nyata!

Tak pernah kubayangkan kalau kemudian aku benar-benar kehilangan informasi tentangnya. Komunikasi dengan temanku yang dulu amat ingin menjadi ikan, benar-benar terputus. Padahal saat sekarang ini, aku benar-benar ingin tahu nasibnya, sesudah gempa dan tsunami menghajar Aceh yang menewaskan lebih dari 80 ribu jiwa dan puluhan ribua lainnya dinyatakan hilang. Aku tak tahu apakah temanku itu termasuk yang tewas ataukah yang dinyatakan hilang (sebenarnya keduanya nasibnya sama)?

Dari layar televisi, kusaksikan puluhan ribu mayat bergelimpangan. Dilempar dan diseret air hitam yang sangat deras setinggi 8 meter. Lalu membusuk. Tumpukan barang, puing bangunan, rongsokan kenderaan, timbunan sampah. Lalat. Ulat. Bangkai ikan, anjing, ayam… Bau busuk menyengat. Tangisan. Wajah duka dan pilu karena ditinggal sanak keluarga. Wajah-wajah yang muram dan putus asa yang mengais ingin menemukan mayat sanak keluarganya.

Seandainya kau jadi ikan—artinya keinginanmu terwujud, tentu tak akan berdebar-debar perasaanku setiap menyaksikan penayangan berita di televisi atau saat membaca koran. Dan, sungguh! Aku tak mau mengira-ngira. Sekarang aku hanya menanti kabar bahwa kau selamat. Karena semua orang tak akan mau mati seperti itu: digulung oleh air bah yang sangat dahsyat. Kalau Anda mengetahui keadaan temanku itu, aku mohon kabarilah aku…


Lampung, 31 Desember 2004—02 Januari 2005



Tentang Publikasi Tulisan

“Pedro Calzomanovic, Tamu di Warung Minuman”, antologi cerpen Komunitas Wartawan Kebudayaan (2004)
“Mereka Hendak Merobohkan Pohon Tua”, antologi cerpen Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, Agustus 2003)
“Kami Dirampok untuk Kedua Kali”, Riau Pos (2004)
“Tukang Cerita” (belum dipublikasi)
“Orang-Orang Kota” (belum dipublikasi)
“Mak… Aku Pulang”, Riau Pos, 7 November 2004 dan Radar Lampung, 17 November 2004
“Seroewan”, Suara Merdeka, 7 November 2004
“Parang” (belum dipublikasi)
“Tikus” (belum dipublikasi)
“Terompet”, Kompas, 16 Januari 2005
“Muli”, antologi cerpen untuk peduli Aceh, Januari 2005
“Gelombang Besar di Kota itu”, Jawa Pos, 2 Januari 2005
“Seandainya Kau Jadi Ikan”, Suara Merdeka, 16 Januari 2005






Note:
1 “Khotbah di Bukit Sajak”, Sutardji Calzoum Bachri, Hijau Kelon & Puisi 2002, Kompas, 2002
2 “Malam”, idem.
3 kalimat ini dipetik dari puisi “Kami Mencari Alamat” dalam Aku Tandai Tahi Lalatmu Isbedy Stiawan ZS (Gama Media Yogyakarta, 2003).
1) tokoh pembisik bagi Vasili dalam “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov
1) Adin (bahasa Lampung) berarti kakak/mas/abang
2) lirik lagu yang dilantunkan grup band Koes Plus
*) baris puisi “Halaman Api” Afrizal Malna dari Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (hal.47)
1) Gadis/perempuan dari bahasa Lampung, seperti orang Minang yang kerap memberi nama anak perempuannya dengan Gadis.
2 sejenis suling, alat musik tradisional dari Sumatera Barat..
3 alat musik tradisional Lampung (terutama dari desa Kenali, Lampung Barat) terbuat dari bamboo (sejenis kulintang) atau disebut juga kulintang pering (kulintang bambu).
4 puisi “Muli” karya Isbedy Stiawan ZS dalam Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media Yogyakarta, Januari 2003, hal.88). catatan: sesan, bahasa Lampung berarti bawaan keluarga anak perempuan usai menikah dan dibawa oleh suami; menganai (bahasa Lampung) berarti bujang atau lelaki.