15 November 2008

Kebudayaan Hilang

Kebudayaan Hilang dari Dinas Pendidikan?


Oleh Isbedy Stiawan ZS

Sastrawan, pemerhati seni dan budaya


MEMASUKI tahun 2008, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung “semakin langsing”. Selain Subdin Pemuda dan Olahraga yang menjadi instansi tersendiri, ternyata Subdin Kebudayaan di instansi tersebut telah marger ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung.

Ternyata “hilangnya” Subdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan, tidak menimbulkan reaksi dari kalangan seniman (apatah lagi budayawan) Lampung. Seakan kebudayaan tidak begitu penting di dalam pendidikan sekolah.

Lalu dengan cara apa siswa (generasi muda) dapat mengenal dan mengapresiasi kebudayaan (dan kesenian), jika instansi yang bertanggung jawab pada pendidikan telah meniadakan subdin kebudayaan? Apakah para siswa (SMP dan SMA) diharap mencari dan meraba sendiri dalam rangka mengapresiasi kebudayaan yang ada dan berkembang di Tanah Air? Apakah pengenalan kebudayaan diserahkan masing-masing siswa, keluarga, dan lingkungan di mana ia dibentuk?

Persoalan yang seharusnya disikapi dengan prihatin ini, layaknya tidak “berbunyi”. Berbeda ketika rencana Pemprov Lampung ingin meruislag GOR Saburai, reaksi penolakan sangat gencar. Akan tetapi, ketika kebudayaan ditiadakan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, tak ada satu pun reaksi penolakan yang datang dari seniman, budayawan, lembaga kesenian, dan lembaga kebudayaan (termasuk lembaga adat dan penyimbang adat).

Adakah itu semua indikasi bahwa masalah kebudayaan (budaya/adat) hanyalah “manis di bibir, tapi tak berakar di hati?” sebagaimana kebiasaan kita yang kerap menggembor-gemborkan jargon tanpa realisasi dalam kehidupan nyata. Provinsi Lampung memiliki jargon yang rancak: “mak ikam siapa lagi, mak ganta kapan lagi” untuk membangkitkan semangat membangun dan memajukan senibudaya di daerah ini.

Akan tetapi, sayang seribu sayang, jargon yang pernah muncul di banyak spanduk di jalan-jalan—bahkan dibentang di depan Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL)—tidak pula menggetarkan untuk kemudian peduli bagi pengembangan dan kemajuan senibudaya di daerah tercinta ini.

Buktinya jelas: (sekali lagi) tak ada satu pun suara keprihatinan dari kalangan budayawan dan seniman ketika pemerintah meniadakan Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Tak ada seorang pun dari lembaga adat maupun penyimbang adat dan lembaga kesenian) yang memberi saran kepada pemerintah, bahwa kebudayaan di instansi tersebut masih sangat penting dan diperlukan. Mengingat penanaman nilai-nilai budaya (di dalamnya kesenian) akan sangat tampak manfaatnya jika dilakukan sejak generasi muda di bangku sekolah (SMP dan SMA). Sedangkan di perguruan tinggi, mereka tinggal pendalaman.

Pengenalan, pengajaran, dan cara mengapresiasi kebudayaan sangat tepat dilakukan di usia sekolah. Karena itu, peran tersebut hanya bisa dilakukan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini Dinas Pendidikan. Sementara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak mungkin melakukannya. Pasalnya instansi tersebut tidak beurusan pada pendidikan/pengajaran, melainkan bagaimana menjadikan kebudayaan sebagai performa dan bisa “dijual” dalam pasar pariwisata.

Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana anak didik kita mendatang sekiranya mereka tak pernah dikenalkan sekaligus dibiasakan mengapresiasi kebudayaan yang berkembang banyak di Tanah Air. Suatu masa nanti, dengan “kebutaan”nya terhadap senibudaya milik etnis yang ada, akan sulit membangun rasa menghormati kebudayaan (adat) yang ada.

Padahal kita selalu mengkhawatirkan betapa arus globalisasi sangat mengancam generasi muda. Nilai-nilai budaya yang dimiliki generasi muda akan tergerus oleh kebudayaan yang datang dari luar. Bahkan, ancaman globalisasi dengan berbagai kebudayaan yang tak selaras dengan adatistiadat keIndoneasian, sudah sangat cepat sekali masuk hingga ke bilik-bilik privasi. Ancaman sekaligus tantangan itu, seharusnya dieliminir dengan mempertahankan nilai-nilai budaya Indonesia di dalam diri generasi muda.

Dan, saya kira hanya melalui dunia pendidikan itu semua bisa dilakukan. Sepertti yang saya ketahui selama ini ketika Subdin Kebudayaan masih ada di Dinas Pendidikan, para siswa diperkenalkan dan diberi workshop tentang berbagai kesenian dari berbagai budaya dan tradisi yang ada di Indonesia. Paling utama adalah pengenalan dan pengapresiasian kesenian dan kebudayaan Lampung.

Saya sering mengamati program-program apresiasi dan workshop yang dilakukan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan. Dari pengalaman siswa, saya menyimpulkan bahwa mereka terbantu dengan program di luar sekolah. Seperti untuk pengenalan situs dan kebudayaan, Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan menyelenggarakan Kemah Budaya di Pugungraharjo. Di tempat itu, siswa di samping mengenathui langsung situs purbakala juga mendapat wawasan seni dan budaya dari narasumber.

Begitu pula pelatihan tari, musik pengiring tari, sastra tutur (tradisional) Lampung seperti wawancan, ringget, dadi, dan banyak lagi. Termasuk pengenalan tehadap karya sastra modern dan tradisi seperti “Pertemuan Dua Arus”. Bahkan bantuan berupa alat-alat musik tradisional bagi sekolah yang memiliki sanggar seni.

Akhirnya, sebagai bangsa, kita tak ingin mengulangi kesalahan yang harus dibayar dengan ongkos besar. Yakni ketika pertikaian antaretnis jelang dan selepas reformasi. Padahal, jika saja apresiasi kebudayaan diperkenalkan sejak dini, kita akan tahu adat dan perilaku budaya orang lain.

Tetapi ini yang dilupakan tatkala rezim Orba berkuasa. Soeharto yang memiliki program transmigrasi, namun para transmigran yang dipindahkan dari Pulau Jawa ke daerah-daerah lain tak pernah dikenalkan budaya setempat. Kecuali para transmigran itu hanya dibekali parang, cangkul, uang, dan iming-iming hidup sejahtera di tempat baru. Akibatnya, pepatah yang manis dan sudah sangat kita hafal (“di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”) kerap diabaikan.

Marilah kita renung lagi: apakah keputusan menghilangkan Subdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan sudah final dan akan banyak manfaatnya bagi generasi muda? Saya tak mau “bertanya pada rumput yang bergoyang…” (*)

Tidak ada komentar: