15 November 2008

Panen Sastra di Lahan Kering Kritik(us)

Esai Isbedy Setiawan ZS


DUNIA penciptaan karya sastra di Lampung bagai jamur yang tak hanya tumbuh di saat musim hujan. Tak terduga-duga, ada saja “lahir” sastrawan (penyair dan cerpenis) dari daerah ini. Dan, kampus sangat subur memberi lahan lahirnya sastrawan.

Dua kali Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional)—di Makassar dan Jambi—mengantar mahasiswa Lampung sebagai juara pertama penulisan puisi: Hendri Rosevelt (Makassar) dan Agit Yoga Subandhi (Jambi), Didi Arsyandi sebagai juara kesatu leomba penulisan lakon (drama). Sebelumnya, saat Lampung jadi tuan rumah, penyair Inggit Putria Marga menyabet peringkat pertama.

Tampaknya kampus memberi lahan besar bagi pertumbuhan dunia sastra di daerah ini. Hampir semua sastrawan terkini adalah lahir dari kampus. Sebut saja Inggit Putri Marga (lulusan FP Unila), Jimmy Maruli Alfian (alumnus FH Unila), Ari Pahala Hutabarat (FKIP Unila), M. Arman AZ (Unila), Lupita Lukman (Unila), Hendri Roosevelt (IAIN Radin Intan). Sebelumnya, “trisula penyair Lampung” muncul dari Unila: Iswadi Pratama (FISIP), A.J. Erwin (FE), dan Panji Utama (FP).

Lalu barisan berikut, Anton Kurniawan (Bahasa Inggris Bahasa dan Seni FKIP), Dyah Merta (Bahasa dan Sastra Unila), Fitri Yani (FKIP Unila), Arya Winanda (alumni FP), Yessi F. Sinubulan (FE), Didid Arsyandi (Fak MIPA Biologi), dan Agit Yoga Subandhi (FH Unila).

Jamur yang tumbuh tak hanya di saat musim hujan itu, layaknya Lampung memiliki bibit unggul yang baik dan pupuk berkelas wahid. Karena itu, seakan bicara soal sastra Indonesia belum dikatakan lengkap apabila tak menyertakan sastrawan Lampung.

Seorang Nirwan Dewanto menyebut Lampung sebagai Negeri Penyair, sementara F. Rahardi mengklaim daerah ini sebagai “lumbung puisi” dan yang bisa mengalahkan atau menyamainya hanya Bali, Yogya, dan Jatim. Bukti nyata tak pernah ditinggalkan, hampir setiap kegiatan sastra di Tanah Air pasti sastrawan Lampung diundang.

Ada dua kata atau sebutan yang menarik dibincangkan dalam kesempatan ini: “negeri penyair” dan “lumbung puisi” yang di lontarkan kedua pengamat/kritikus sastra tersebut.

Barangkali, bicara kuantitas, Lampung terbanyak dibanding daerah-daerah lain. Memang kuantitas tidak harus sesanding dengan kualitas.
Leksikon Seniman Lampung (DKL-Logung Yogya, 2005), misalnya, menyebut tidak kurang dari 36 sastrawan Lampung.

Media masa lokal dan nasional, tiap pekan di isi oleh karya sastrawan Lampung. Lampung Post, satu-satunya media yang menyediakan halaman sastra dengan honorarium yang lumayan, kerap dibanjiri karya-karya sastrawan daerah di samping penulis sastra dari luar.

Saya melihat Lampung Post masih objektif menempatkan sastrawan Lampung dengan dari luar. Kalaupun karya sastrawan daerah ini memang belum layak, Lampost akan menurunkan karya dari sastrawan luar.

Kompetitif ini membangkitkan semangat para sastrawan Lampung untuk terus melahirkan karya sastra terbaiknya. Memang, dalam dunia sastra, kualitas karya lebih utama daripada nama seseorang. Sastrawan baru muncul tidak sertamerta takut dengan sastrawan yang jam terbangnya lebih dulu. Sastrawan senior juga, suatu masa, bisa melahirkan karya lebih buruk dibanding yang baru muncul.

Kompetitif tersebut, sayangnya, hanya ditentukan oleh satu tangan: redaktur media massa. Sehingga redaktur, akhir-akhir ini, bertugas sebagai kritikus pertama sebelum sampai ke hadapan pembaca. Karena ia penentu dimuat atau dibuang ke tong sampah.

Tugas “kritikus media” memang tak punya pertanggungjawaban di atas kertas di hadapan pembaca (audiens). Ia bertanggung jawab hanya kepada karya, dan mungkin kepada redaktur pelaksana/pemimpin redaksi, selebihnya tidak lagi dituntut.

Tugas redaktur memang berbeda dengan tugas kritikus. Pertanggungjawabannya juga sangat berbeda. Dan, dunia sastra Indonesia, setelah ditinggalkan H.B. Jassin tak lagi punya kritikus sastra. Kalaupun dianggap ada, hanya berapa gelintir? Sebut saja Dami N. Toda, Faruk HT, Suminto A. Sayuti, Maman S. Mahayana, Melani Budianta, Sunu Wasono tidak begitu aktif menulis kritik sastra. Sementara nama lain, antaralain Nirwan Dewanto, F. Rahardi, Hasif Amini, Joko Pinurbo, Bandung Mawardi bagai sepintas lalu menggeluti kritik sastra.

Karena itu, melimpahnya karya sastra di Tanah Air tak sebanding dengan telaah kritik sastra. Minimnya kritikus sastra, membuat karya sastra (cerpen dan puisi) seperti berjalan tanpa rambu. Pembaca meraba dalam memasuki sebuah karya sastra. Apresiasi semacam ini bukan saja makin menjauhkan pembaca kepada sastra atau karya sastra kehilangan identitas di mata pembaca, melainkan karya sastra tak pernah booming di masyarakat.

Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri tak akan bisa dinikmati seperti saat ini jika saja Dami N. Toda tidak menelaah secara mendalam. Atau puisi-puisi Chairil Anwar tak akan sepopular sekarang sekiranya H.B. Jassin tak serius menelaah, atau Areif Budiman masuk ke dalam “pertemuannya” dengan puisi-puisi si “penyair binatang jalang” itu. Begitu seterusnya, termasuk puisi-puisi Afrizal Malna, Joko Pinrubo, dan lainnya.

Ranah sastra Indonesia memang kehilangan kritikus sastra. Nasib sama juga menimpa dunia sastra di Lampung. Bagaimana tidak aneh, daerah ini cukup banyak sastrawan namun tak ada sama sekali kritikus sastra. Di Lampung, ibarat panen sastra (justru) di lahan kering kritik(us).

Semula saya berharap banyak pada Asarpin dan Damanhuri yang kerap memasuki wilayah kritik sastra. Tetapi, kedua penulis ini—alumnus IAIN Radin Intan—tidak ansich dan “sepenuh hati” menyiapkan diri sebagai kritikus sastra. Tulisan-tulisannya (esainya) lebih banyak bicara persoalan sastra dan tak masuk ke teks sastra, baik sebagai apresiasi ataupun penelaahan mendalam Kedua esais (kolomnis) tersebut, bahkan acap mengapresiasi karya sastra berdasar tema-tema tertentu. Sehingga sastra tak lagi punya otonomi dan multidimensional.

Memang tak ada salahnya. Tetapi, sastra hanya bisa bicara satu dimensi. Otonomi sastra terpecah ke dalam wilayah-wilayah pembicaraan yang diingini penelaaah. Sementara sastra, galibnya memiliki multiinterpretasi akhirnya menjadi bermakna tunggal.

Selain kedua esais tersebut, sebenarnya bisa berharap banyak dan apalagi secara keilmuan sangatlah kredibel, misalnya Oyos Saroso H.N., Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, dan M. Arman A.Z. (cerpenis). Sayangnya, mereka juga kreator sastra, sehingga dikhawatirkan subyektivitasnya terganggu. Kesibukan mereka sebagai penulis karya sastra saja amatlah menyita, bagaimana bisa memiliki waktu untuk menelaah.

Itulah sebabnya, nama-nama terakhir ini lebih banyak terlihat sebagai penyair dan cerpenis, tinimbang kritikus sastra. Oyos Saroso malah disibukkan oleh profesi jurnalis di The Jakarta Post. Sedangkan Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat, keluar masuk di dalam dua kamar: sastra dan teater.

Dari persoalan yang cenderung dilematis itu, sementara karya sastra (tetap) membutuhkan kritik—setidaknya memberi apresiasi antara karya kepada pembaca—dan dunia sastra di Lampung terbentur oleh minim (tepatnya tidak ada) kritukus sastra. Dengan demikian, membanjirnya karya sastra tak diimbangi oleh kritik sastra yang memadai pula.

Bisa kita lihat, hanya berapa kritik sastra yang masuk ke meja redaktur media di daerah ini—taruhlah Lampun Post—jika dibandingkan dengan karya cerpen dan puisi yang diterima? Dan, berapa kritik sastra yang benar-benar mengkritisi karya sastra yang termuat di Lampung Post sebulan saja?

Esai yang muncul tidak substansial mengkritisi karya sastra, oleh karena itu sulit digolongkan sebagai karya kritik sastra. Bahkan yang muncul justru acap tidak membicarakan karya sastra, melainkan persoalan kesenian di luar kesenian. Istilah ini, pernah popular dengan sebutan “merumpi di dunia kesenian (sastra)”.

Saya dan teman-teman “redaktur tamu” Sastra Milik Siswa (SMS) di tabloid remaja Warna kerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Lampung kerap kesulitan mencari pembahas (kritikus) karya sastra siswa SMA itu. Sehingga harus berputar para pembahas yang ada.

Padahal daerah ini punya FIKP yang memiliki jurusan Bahasa dan Sastra, juga ada jurusan Sastra Inggris (Teknokrat), dan Bahasa dan Sastra (STKIP). Namun alangkah sulitnya mendapati kritikus sastra, dan nama-nama yang dulunya sangat dekat dan pernah menulis kritik seperti Kahfi Nazaruddin, M. Fuad, Edi Suyanto (pengajar di Bahasa dan Sastra FKIP Unila) ataupun Sutjipto tidak lagi terlihat kritik (sastra)nya. Apatah lagi berharap dari mahasiswa dan pengajar Teknokrat dan STIKP, ibarat “menunggu godot”.

Sayang memang, mengapa kritikus sastra tak bisa lahir di lahan subur kepenyairan Lampung? Mengapa “negeri penyair” atau “lumbung puisi” namun tak mampu menumbuhkan kritikusnya? Apakah kritikus sastra tak diperlukan, ketika karya sastra sudah menjamur? Padahal suburnya lahan menanam padi, tak sertamerta pupuk tak lagi dibutuhkan?

Mengamati media yang membuka rubrik sastra seperti Lampung Post, kiranya lahan kritik masih terbuka lebar dan ini menjadi peluang berharga bagi—seharusnya—mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP dan perguruan tinggi lain. Karena selama ini belum pernah ada, lalu apa yang dilakukan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra kita?

Jangan sampai FKIP, STKIP, ataupun Teknokrat yang mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra cuma untuk melahirkan pendidik yang tampaknya pandai bersastra jika di depan kelas (siswa). Itu pun sebatas periodesasi dan teoritis. Karya sastra dilihat dengan menggunakan kacamata kuda. Pilihan ganda untuk menelaah karya sastra, dan bukan bagaimana menarasikan apa yang dirasa dari hasil tasfir sebuah karya sastra.

Mahasiswa Bahasa dan Sastra (FKIP/STKIP) bukanlah “kecelakaan” sebab tak mampu atau tak diterima di fakultas lain. Begitu pula sarjana sastra (SS) tak lebih rendah dengan sarjana-sarjana (ilmu) lainnya. Sebab kalau begitu, taklah mungkin Taufiq Ismail, Asrul Sani (dokter hewan), Putu Wijaya (SH), Nirwan Dewanto (insinyur), Jimmy Maruli Alfian (SH), Inggit Putria Marga (SP), Iswadi Pratama (FISIP) menjadi sastrawan.

Lalu, mengapa mahasiswa Bahasa dan Sastra (termasuk pengajar, berarti lebih mumpuni) dan sarjana sastra, justru menjauh dari dunia sastra dan kadang tak nyambung membicarakan sastra? Kesalahannya di mana?*


Kemiling, 3110.08




*)
Tulisan ini dari bahan bincang untuk mahasiswa baru jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP Universitas Lampung, 1 November 2008.


Tidak ada komentar: