05 Maret 2009

Puisi ISBEDY STIAWAN ZS

Cerita Lama Belum Selesai


AKU berdiri di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur
julang ke angkasa: lambaian pohon terasa dekat, dan anginnya
membelai rambutku. tubuhku goyang, jiwaku kini guncang

"ah, aku sudah amat rindu padamu. anak-anak yang ditinggal
dan jauh dari telapak tanganku. pasti kau pun rindu."

"aku memang rindu. hanya berapa waktu kali perama kau
lepaskan sandal di depan rumah. setelah itu aku pun lupa,
tak pernah lagi mengingat rindu rindu."

di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur aku berdiri,
memandang rumah yang dulu pernah jadi tempat lelapku
tiap malam aku ingin tidur, atau siang saat perutku menggeremang

"kini aku tak bisa lagi menikmati rumah itu, setiap kali rinduku
ingin menarik langkahku. tubuhku sudah amat batu!"

"tapi, aku tak pernah menginginkanmu kembali pulang
sebab aku sudah biasa tidur tanpa lebih dulu kau mendongeng."


*

HANYA serpihan kalimat janji yang masih tertulis di buku yang
ada tanda tanganmu dan tanda tanganku. juga foto masa remaja

aku lalu jadi peziarah, seperti ahasveros tapi tak pernah sasap. karena
kangenku akan selalu berumah. pangkuan cinta yang terbangun dari
khianat. jadi benar, katamu, sekali berdusta maka akan selamanya
ingin berbohong

maka aku mengelana. di jalan-jalan kuludahi kebohongan, perempuan
yang dirajam sebab ia pernah mendustai kekasihnya dengan sebiji
buah. setelah itu, ia ajak kekasihku menuruni lereng setelah melepas
baju dari balutan taman

"kita pun telanjang....."


*

DI suatu masa kita pernah dipertemukan. lalu kita bersua tiap waktu, di meja
saling bertatap. di ranjang kita pun bertempur. "anjing! apakah tak ingin kau
bawaku ke bak-bak sampah itu hingga lupa makanan yang baik?"

tahu apa dengan makanan yang bersih, sedangkan daging mentah lagi busuk
pernah menemani piringku. entah di rumah makan mana atau warung kecil
di mana, aku dan kau satu piring menikmati lezatnya daging yang membusuk

dan seorang pengumpul sampah--ah, barangkali juga pengemis--menadah,
sambil lidahnya menjulur dan meleleh liurnya...



AKU ingin kau seperti dulu lagi. menyambut setiap aku datang dengan senyuman,
dan membukakan pakaianku. melepas sepatuku lalu meletakkan di tempatnya,
sangat rapih. menjemur baju kausku karena basah oleh keringat atau membuangnya
di tempat cucian.

dan menanggalkan celana dalamku kemudian mencuci bersama pakaian dalammu,
dan esok pagi akan melambai di tali jemuran. menantang terik matahari. hingga
sore ketika kau pulang, jemuran itu pun kering. "kita harus berhemat, tukang cuci
belum dibayar. gadaikan barangku, apa yang masih bisa dihargai," kataku.

kau mendelik. pegawai pegadaian tertidur sejak pagi. kantor ini sudah tutup
sejak lama. krisis global. orang-orang akan kehilangan uangnya. buku tabungan
terbakar, atau dihanyutkan banjir tiap hujan datang

"bencana selalu mengancam. sedikit lengah akan habis barang kita, juga nyawa
yang sudah berpuluh-puluh tahun kita pertahankan. kita tepis tiap maut
mau mengintai," katamu

apalah artinya nyawa kita? maut tak juga merindukan diri kita: biar pun kita
tinggalkan tanah ini, air ini, udara ini--juga hutan belantara ini--tak akan ada
yang rindu

"lalu apakah kita mentimun bengkok? sekedar buah jengkol atau petai?"


*

AKU sudah kehabisan ingin. padahal tumpukan kata hingga jadi kalimat
masih kusimpan dalam tabungan. dan setiap kuingin menulis sapa atau cacian
akan datang kata-kata minta dikenakan. tak perlu mengais lagi dari kamus
yang telah kujadikan semacam buku tabungan

tapi aku sudah kehabisan ingin menulis. sebab puisi-puisi sudah bertaburan
sebagai promosi ataupun kampanye. iklan sabun mandi, pesan moral tentang
bangsa dan pemimpin.

apakah kau tahu, hari ini hingga esok, presiden datang? membuat jalan-jalan sepi,
pasar mati, tempat hiburan makin gelap: "awas ada intel mengawasimu."

beri satu kata, akan kusudahi jadi puisi yang ditimbun kata-kata


*

AKU tak bisa meneruskan inginku.

kini tanganku amat letih. eksim yang menggerogoti jari-jariku makin perih,
berdarah dan membuat jari tanganku kaku

aku mau memejamkan mataku. meski hanya sesaat. setelah suara pertama
ayam jantan berkokok, segera pula kutinggal kursi ini yang telah menerima
badanku

aku tak mau dilihat orang, pasti aku malu. sebab itu kuingin secepatnya
membangunkan ayam jantan dan kusuruh ia bersuara:

"Sangkuriang, kau kalah. Tak bisa membangun istana. Maka tak rela
kau jadi suamiku, anakku..."

2009

Puisi-Puisi ISBEDY STIAWAN ZS

Tak Punya Kunci Rumah

sesuatu yang kubisikkan ke telingamu sebelum air mengalir, gunung
tegak, laut berombak, pohon jelma hutan, dan langit memayung,
akhirnya jadi lembaran-lembaran sejarah. sebuah buku lalu
dibaca seperti sejarah kita kali pertama tercipta

tidak pula kuingat ketika sekali waktu kau menawarkan buah manis
dari pohon dalam taman itu. lalu aku cicip dan kurasa amat sepat:
apakah buah itu yang dulu ditampik setelah ia diusir, atau sejenis
kurma yang selalu jadi oleh-oleh tiap keluarga kembali ziarah

seperti kenangan kita yang selalu dicerca sebab tak punya perjanjian,
di mana pun menetap atau istirahat: orang-orang akan datang,
lalu meneriaki sebagai pengembara tak punya kunci rumah!

2009




Hanyut ke Mana Pelaminan

surat itu juga yang kuterima darimu, sejak kita jauh dan jalan-jalan
makin memisahkan bayang kita.

sudah kulupakan segala ihwal jalan
menuju rumah, halaman yang dulu selalu kurapihkan jika rumputan
menjalar, dan mengembali tiap tumpahan pupur atau parfum
sehabis kau bersolek

meski aku sangat ingin kembali, mengingat setiap langkah lukaku
dari rumah dan kembali ke rumah. sebab di tiap langkah itu
aku selalu mencium warna perkawinan

tapi hanyut ke mana pelaminan itu?
--aku mau berperahu—


2008/2009




Dari Tumpukan Kalender

aku menemukanmu di antara tumpukan kalender, tahun yang jauh
dari milikmu. sesiang yang penuh matahari. di halaman
depan, sebuah kursi tua, sepiring pempek model dan segelas
kopi hitam. –seperti kopi kesukaan para abang becak, candamu—sambil
menelepon teman permainan,

janji nonton film di 21 malamnya: “aku ikut kalau kau perkenankan,
dan tiga lembar tiket akan kupesan,” aku berharap agar bisa lagi
bersamamu.

(sayang tiket sudah habis, dan kau tetap sumringah). seperti ingin
mengajakku berkeliling supermarket ini, tapi di sini tak bisa banyak waktu
dan tempat santai.
kemudian aku mengajakmu ke kafe, kau pun
mengangguk. “tunggu aku di sana, pesan meja untuk tiga kursi. juga menu
makanan,” katamu. hanya aku belum hafal menu kesukaanmu

“tunggu saja aku di kafe. aku pasti datang.”

(selepas menikmati kudapan dan minuman, aku mengajakmu pulang
bersama. dan kau biarkan temanmu, lalu memilihku untuk pulang bersama
menembus malam…)

2009




Tak Kusebut Bunga

tak bisa kusebut ini bunga ketika kau petik tangkainya lalu kau buang
dalam nyala api. kurasakan kini aroma sangit dari wajah kuyup oleh
air mata. juga sedu dan sendu; --masih tinggal sebutir peluru lagi
yang belum kaucabut dari tubuhku-- tapi aroma bunga tak sesedap
senyap, bau asap, amis tubuh, anyep wajah-wajah yang menunduk
mengelilingi pembaringan.

‘ah, wajah Tuhan seperti membayang. wajah lain yang selalu
menggoda, merayu agar meninggalkan pembaringan yang amat
kukasihi. terbang. tapi, ke mana sedang sayap aku tak punya.
sedang jalan sudah lama membelokkan aku jadi sasap,” aku mengadu,

jangan sedih lalu merajuk. “tiga dara yang berdiri menatapmu dari
balik jendela di lantai dua itu, tak akan pernah beranjak sebelum
kau berlagak. daun-daun kelapa sebagai rumbai, mengarakmu pergi.”

kita memang tak pernah akan sama. di pembaringan ini saja, kau menatapku
layaknya bukan sebagai teman kencan. hanya seteru, dan kau akan
membunuhku!

“maka tujahlah aku, hisaplah darahku jika kau haus karena air
sudah habis dari sumur-sumur bor ataupun minyak yang kian kering
sebab dialirkan ke tangki-tangki bendera lain negeri!”

aku sudah lupakan kau
maka izinkan aku lelap di pembaringan ini
tanpa lagi mengingatmu, meski suatu kali
kau pernah duduk di sebelahku…


2009





Kini Kau Memanggil-manggil Aku

berilah ucap atau sekadar maaf, apabila aku pernah membiarkanmu
terdiam di bangkumu. atau, entah di suatu hari kapan, aku telah
menyakitimu: sebentar lagi aku akan pergi, dengan kenderaan
paling akhir, di saat jam terakhir; kala orang-orang sudah sepi,
dan waku semakin menepi.

hanya malam juga lampu-lampu jalan, selalu akan mencatat
kepergian atau kebersamaan. setelah itu, seperti juga lampu
yang akan padam, aku pun akan sampai

tapi tak perlu lambai.
sebab setiap tangan yang telah
letih, tentu terkulai. –aku pun menghirup wangi nyiur,
harum bunga malam— tapi, tak ada bau kematian,
bahkan anyir darah dari sebuah lubang karena sebutir peluru
tak juga memberi kenangan;

aku tak boleh pergi?

--kini kau memanggil-manggil aku—


2009




Sebentar lagi Bersua

ini orang tak juga mau pergi!

sudah berapa waktu kita bersitegang, dan beberapa kali
waktu pecah; kursi retak, pembaringan patah, kasur
dan bantal amatlah kusut

aku ruwet sekali, katamu
biarkan aku sergap sakit hatimu, biarkan aku lumpuhkan
kepalamu yang penuh tanah, -ah, jangan asingkan aku
pada kesetiaan yang membetahkan hingga berlama-lama
di meja ini (bukan, pembaringan!)-

ini orang tak juga mau mengalah!

lembar-lembar namamu sudah kuhapus dari pohon-pohon,
dari tiang-tiang listrik, tembok-tembok di kota;
sebentar lagi kita akan bersua…

2009





Dayung

Jika kau tak bisa lelap hanya karena tiada belaiku,
Aku akan datang membawakan perahu
Saat laut pasang, angin menegang

Aku tak pernah akan lupa memanggul dayung

2009




Jalan ke Pemakaman

perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun
lalu tersenyum. “aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak
lagi membuatku ingin selalu mengenangmu.”

tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua
pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah
ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. “dan jalan
ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai
ke perumahan itu.”

sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang
pemberianmu, jadi setaman…


2009





Lupakan Perjalanan

“jangan sakiti aku,” harapmu, setelah beberapa malam kau lelap sendiri
sementara aku terus-terusan mencecap embun, dan menyusuri kelam
sejumlah jalan. kota semakin berkabut, jalan-jalan basah, dan orang-orang
terdengar batuknya.

ah, dua kanak-kanak tak bisa lagi menahan lelahnya—juga kantuk—lalu
di tepi jalan, di bibir trotoar, ia pun lelap. berpeluk lutut, berselimut
rekat. “akan kulindungi adikku dari sengat dingin, juga embun, dan
debu dari roda kenderaan. malam semakin meruncing.”

jalan pagaralam susut, meski warung-warung tetap memancarkan sinar. dan
aku menyeret letih ke pembaringanmu, kekasih!

lupakan dua kanak-kanak itu, sambil menyimpan sakit hati


2009




Setelah Kota dan Dirimu Kutinggalkan

setelah kota ini kutinggalkan, kaupun ingin menjamah bayangku. aroma
tubuh yang terbungkus angin, masih sempat kau hirup: --aduhai, berangkatlah
selagi keringat belum basah di ketiakmu. sebelum...-- makan siang di terminal,
entah tak bernama, mencecap nasi dan ikan asin sambil mengingatmu yang
terpaku ketika kutinggalkan kotamu,

di tepi jalan kau melambai, aku sangsai: memandangmu kelu, tubuhmu
berpeluh.

meski bebera jam tadi kau telah ingatkan aku agar tak lupa pada sandal yang
kuletakkan di depan pintu, tetap saja aku lupa. kini sepasang sandal di kakiku
pernah pula menemanimu berhari-hari. tapi, mungkin di kota lain setelah ada
pemberhentian, akan kuganti sandal di kakiku dengan sepatu. aku pasti seperti
mempelai saat bersepatu, walau aku tak lagi memiliki mahar.

lalu akan kutunai dengan apa segala cinta dan kesetiaanmu?





Epitaph

sudah lama aku tak melihatmu, aku juga tak lagi membaca namaku yang
tertulis di wajahmu. tiap kau sebut namaku, hilang pula kenanganku
pada lembar wajahmu, pada kesturi ketiakmu.

halaman rumahmu selalu tertutup, taman-taman tak bermekar
namaku terbakar. aku semakin pada namaku sendiri yang terpampang
di pagar halaman, sementara kau membaca biografiku

“isbedy… wafat pada hari jumat, jam 14.00, tanggal 5 bulan 6 tahun…”


2009