23 November 2008

Kumcer: DAWAI KEMBALI BERDENTING



Isbedy Stiawan ZS



(Diterbitkan oleh Logung Pustaka, November 2004)




I S I

1. Mungkin Karina………………………………..
2. Biar Waktu Bawa Kami Mengalir…………………
3. Karena Sepi yang Sama…………………………..
4. Dawai Kembali Berdenting………………………
5. Ibu Peri Selalu Datang
6. Mudik…………………………………………….
7. Rendezvous………………………………………
8. Surat dari Ibu……………………………………..
9. Pembunuh………………………………………..
10. Tamu…………………………………………….
11. Sang Pengarang………………………………….
12. Sesungguhnya Saya Masih Menunggu……………
13. Perempuan yang Menyembul dari Semak Malam…
14. Bila Ada Waktu Singgahlah ke Kotaku…………..
15. Dusun itu Kini Asing…………………………..
16. Mas……………………………………………
17. Keluarga Ed…………………………………..




1. Mungkin Karina…


MUNGKIN Karina masih mencintai Mas Andre, itu sebabnya Karina masih bertahan hidup sendiri. Meskipun entah berapa pria yang mengharap bisa berlabuh di hati Karina, namun selalu saja Karina katakan pelabuhan dalam hati ini sudah terisi. Sudah penuh…

Pernah seorang pria separo usia datang pada Karina. Zainudin, nama pria itu, sudah mempunyai istri dan tiga orang anak yang sudah besar. Ia kaya. Pengusaha beberapa rumah makan di kota ini. Pertemuan kami tak terduga, di sebuah supermarket. Karina membawa Obi yang merengek minta jalan-jalan ke supermarket. Setelah berputar-putar, Obi mengajak ke tempat mainan anak-anak. Tentu saja Karina menolak, lantaran tak punya uang kalau ia meminta mainan. Obi makin merajuk, akhirnya Karina tak bisa lagi membujuk.

Dan, benar. Obi minta mobil-mobilan yang bisa dinaikkan. Harganya Rp350 ribu. Sungguh, mana mungkin Karina punya uang sebesar itu? Namun, Obi tetap merengek. Bahkan, menangis dan tak mau keluar supermarket kalau belum membawa mobil-mobilan itu. Karina tak bosan membujuknya, lembut sekali. Dasar Obi, wataknya seperti Mas Andre: keras. Ia tak mau pergi. Karina benar-benar kewalahan melihat ulah Obi. Saat itulah muncul Zainudin, pria yang Karinaka katakan tadi. Ia melihat Obi yang masih menangis terduduk dekat mobil-mobilan, dan Karina yang terus membujuknya.

“Anaknya?” Zainuddin bertanya.

Karina mengangguk. “Obi minta dibelikan itu,” jawab Karina sambil menunjuk mobil-mobilan. “Tapi, saya lupa membawa…”

“Ya, sudah ambil saja…”

“Maaf, saya enggak bawa uang. Dan, bagaimana caranya saya harus membayar. Papanya…”

“Saya tak mengutangi Ibu. Ambilah mobil-mobilan untuk Obi, saya akan membayarnya,” kata pria itu smabil merogoh uang dan membayar di kasier.

“Tapi…”

“Sudahlah. Yang penting Obi diam dan Ibu bisa pulang segera,” tukas pria itu.

Begitulah Mas Andre, tiga bulan dari pertemuan tak terduga itu kami bertemu lagi. Pertemuan yang kali kedua ini, Zainudin menyilakan kami naik mobilnya. Saya, entah kenapa, tanpa curiga apa pun menaiki mobilnya. Saya juga tak menolak ketika memasuki rumah makan termegah di kota BL. Obi amat dekat dengan dia, Zainudin pun sangat sayang pada Obi. Setelah pertemuan kedua itu, ia kerap mengunjungi kami di rumah. Ia membawa bermacam mainan untuk Obi.

Pria yang satu ini sangat lain, Mas Andre. Ia sabar, telaten, dan tak pernah mengungkapkan sesuatu hal menyangkut asmara. Setiap ke rumah ia langsung mencari Obi dan bermain di halaman depan, sesudah menyapa Karina sekadarnya. Kemudian keduanya asyik bercengkerema berjam-jam. Paling-paling Karina keluar memberi makan Obi, atau menawarkan Zainudin makan bersama. Namun, ia selalu menolak kalau diajak makan bersama di rumah. Ia selalu mengatakan sudah makan di warung, atau sudah makan di rumah sebelum menemui Obi. Ah, selalu yang dikatakannya kalau ke rumah ini, hendak menemui Obi. Bukan Karina, Mas Andre…

Mungkin karena Karina masih mencintai Mas Andre, Karina tak mau gegabah mengatakan bahwa Karina tertarik pada Zainudin setelah melihat tutur dan sifat dia selama ini. Ia bukan seperti pria lain yang selama ini menggoda Karina: terlalu norak. Zainudin begitu sopan, selalu menunduk setiap beradu pandang dengan Karina. Terutama kepada Obi, dia sangat sayang. Mungkin karena Zainudin tak lagi punya anak seusia Obi. Atau dia memakai kata-kata bijak: “Sayangilah anaknya, jika kau hendak memperoleh perhatian dari ibunya.”

Tetapi, biarpun Zainudin tidak begitu, Karina sudah simpati padanya. Perasaan itu terasa ketika kali pertama berjumpa di supermarket. Ia sabar membujuk Obi agar tak lagi menangis, lalu membawa mobil-mobilan ke lantai dasar, dan menyetop taksi untuk mempersilakan kami pulang. Begitu teratur dan penuh rima.

Sudahlah Mas Andre, Karina tak mau menceritakan dia lagi. Karina juga sudah bosan melapor kepada Mas Andre. Bukankah Mas Andre sudah memilih yang terbaik menurut Mas Andre? Memilih hidup bersama Adelia ketimbang Karina?

*

KARINA tak bisa menolak, ketika Zainudin melamar. Karena ia begitu baik kepada kami. Ia katakan dengan tulus bahwa ia ingin menjaga dan memberi kasih sayang kepada Obi. “Kalaupun kamu tak menerima cinta saya. Kalaupun kamu masih mencintai Andre, papa Obi, tak apa bagiku. Aku hanya ingin menjaga dan memberi kasih sayangku pada Obi. Aku sudah begitu dekat, rasanya sulit untuk dipisahkan…”

“Mungkin hanya perasaanmu. Dulu juga, sebelum kamu mengisi kekosongan kami, Obi terbiasa hidup tanpa orang tua. Ia terbiasa hidup dengan kasih sayang seorang mama…” kata Karina tenang.

“Ya. Keterpaksaan membuat seseorang tak bisa berbuat apa-apa, menerima apa adanya. Seperti seseorang yang terlempar di suatu tempat tak berpenghuni, ia akan mencintai kesendirian dan kesunyian itu. Tetapi, begitu ada yang menemaninya, maka ia tak mungkin bisa melepaskan diri: kembali ke semula. Begitu pula aku dan mungkin Obi.”

Ah, Karina egois. Sesungguhnya Karina juga tak bisa ditinggal oleh Zainudin. Cukuplah Mas Andre membawa cinta Karina dan menguburnya dalam-dalam ketika Adelia datang. Apa manfaatnya Karina menanti Mas Andrea dan tetap mengharapkan cinta Karina tak layu, sementara lahannya sudah direbut orang lain?

“Kamu mesti realistis, Karina. Obi akan terus membesar, remaja, dan dewasa. Dalam pertumbuhannya kelak, dia butuh kasih sayang, perhatian, dan cinta dari seorang Papa. Kamu juga tak bisa lama-lama menyendiri tanpa suami. Sekarang kau memang tak ada masalah, tapi suatu ketika kau membutuhkan teman seorang pria: suamimu,” kata Zainudin.

Zainudin memulai lagi. “Aku memang sudah berumah tangga. Tapi, itu bukan menjadi soal bagi saya untuk menikahimu. Menurut syar’I atau hikum, saya dibolehkan. Kamu mau tahu? Istriku lumpuh…” Seetelah mengucapkan itu, Zainudin tak mampu melarang air matanya turun. Karenina terharu.

Maka Zainudin menikahi Karina. Ia memboyong kami ke rumah baru yang baru dibelinya di kompleks perumahan. Rumah besar, dua lantai. Sebuah rumah yang megah di antara rumah-rumah lain di kompleks perumahan tersebut. Karina juga dibelikan sebuah mobil merk Fanther dan seorang supir. Karina bahagia. Karina bahagia. Tetapi, bukan materi seperti itu yang membuat Karina bahagia. “Hubungan Zainudin dengan Obi semakin lengket. Obi sangat manja pada Zainudin yang kini dipanggilnya Papa.”

Pernikahan itu mendapat restu dari istri Zainudin. Meski ia tak pernah menemui Karina, ia membolehkan Zainudin untuk tiga hari di rumah Karina dan selebihnya di tempatnya. Zainudin tak menjadikan Karina layaknya boneka.

Ia sangat sayang, amat mencintai Karina. Rumah tangga Karina begitu harmonis. Itulah yang membuat tetangga seperti iri. Gosip mungkin sudah tak terhitung menerpa rumah tangga Karina. Untunglah Zainudin sudah dewasa menerima goncangan seperti itu. Pernah tetangga depan memfitnah Karina sering ke luar mencari lelaki lain selain Zainudin. Ya ampun! Apa ia pikir Karina pelacur? Inilah fitnah terbesar yang Karina terima setelah berumah tangga dengan Zainudin. Untungnya Zainudin tak acuh, ia percaya kalau Karina tak akan melakukan seperti dituduhkan tetangga itu.

Zainudin memang memberikan kebebasan pada Karina. Setiap ia tak berada di rumah, Karina dibolehkan cari-cari kesibukan. Itu sebabnya uang yang diberikan Zainudin, Karina gunakan untuk berdagang kecil-kecilan. Karina belikan pakaian dan berbagai perhiasan perempuan, kemudian Karina tawarkan kepada teman-teman Karina. Lumayan hasilnya, meski tak seberapa dibanding yang Karina terima dari Zainudin. Namun, pekerjaan itu telah mampu membunuh kesepian Karina jika Zainudin tak pulang.

Zainudin hanya berpesan, “Karina harus ada di rumah kalau saya datang.”

Tentu saja Karina mengangguk. Sebagai istri memang demikianlah. Mesti meriangkan suami, harus menyediakan dan mengurus suami. “Entah kenapa, Karina kini menemukan kembali cinta Karina pada diri Zainudin. Kendati usianya jauh sekali di atas Karina. Tak apa, karena Karina bahagaia…”

Zainudin adalah pria sekaligus suami yang harus Karina hormati dan sayangi. Itulah tugas Karina. Sebab Zainudin tak memperolehnya pada istri pertamanya. Menurut Zainudin, istri pertamanya selain suka merongrong, bermewah-mewah, kini lumpuh pula.

Sementara anak-anaknya hanya bisa menghambur-hamburkan uang. Anak pertama sudah berkeluarga, namun keperluan rumah tangganya selalu minta dipenuhi Zainudin. Anak kedua, perempuan, suka berada di luar rumah: mabuk-mabukan, mengonsumsi ekstasi. Sedang anak lelakinya yang bungsu adalah pembalap. Suka gonta-ganti motor.

“Mereka hanya menganggapku pencetak uang, penyedia materi. Tak ada kasih sayang, yang sejatinya sangat kubutuhkan. Saya kecewa pada istri dan anak-anak saya,” kata Zainudin suatu malam.

Karina bilang, “Mungkin sudah tadir begitu. Atau kau salah mendidik sebelumnya, dan beginilah resikonya.”

Zainudin mengangguk. Ia terisak. Ia berharap sekali pada diri Karina untuk mencintainya secara tulus. Karina sendiri memang sangat mencintai dan menyayanginya. Sepuenuh hati. Setulus-tulusnya.

Karina percaya masih ada perempuan yang ditakdirkan sebagai istri kedua, namun tetap mencintai suaminya. Karina tak percaya bahwa sitri kedua selalu membawa petaka bagi keluarga suami. Tidak. Tak semua istri kedua selalu ingin menghancurkan rumah tangga istri pertama. Karina tak menganggap Mbak Sinta sebagai rival. Kalau Mbak Sinta menganggap Karina telah merebut cinta Zainudin dari hatinya, itu karena takdir. Karina pasrah pada takdir, pada ketentuan Tuhan. Tetapi, apakah itu cukup? Tidak. Sesekali Mbak Sinta meneror Karina. Ia katakan sejak Karina menjadi istri Zainudin, jatah belanja ke rumahnya selalu berkurang. Karina juga pernah difitnah mau jadi istri Zainudin karena menunggu warisan. Ya, ampun! Apakah senista itu diri Karina?

Karena tak tahan fitnah dan kecurigaan itu, Karina datangi Mbak Sinta. Karina katakan apa adanya. Pikiran buruk semacam itu tak pernah terbayang dalam angan Karina. “Kalau pun hari ini Zainudin mau menceraikan Karina, saya sudah siap. Artinya, Karina tak begitu berharap banyak dari Zainudin apalagi harta…”

Zainudin melerai pertengkaran kami. Mbak Sinta menyadari. Sejak itu, ia tak lagi mengumbar fitnah pada diri Karina. Zainudin juga dibolehkan menginap di rumah Karina. Cinta memang membutuhkan pengorbanan, perasaan, dan kesedihan. Karina mengguman.

*

KAFE DIGER’S pukul 19.00. Kota Telukbetung di bawah sana bagaikan dilumuri cahaya: begitu benderang. Sementara di kejauhan, Teluk Lampung dalam keremangan tetap nampak. Lampu-lampu dari perahu nelayan dari puncak ini bagai gemerlap bintang. Sesekali sorot lampu yang ditembakkan mobil membuat siluet nan indah.

Karina bersama Obi sekarang. Menikmati santapan roti bakar, pisang bakar, dan juice alopokat. Di meja yang menghadap Kota Telukbetung di bawah langit penuh bintang. Kafe Diger’s terus didatangi pengunjung. Makin malam, semakin ramai. Malam ini kafe yang terletak di kawasan Garuntang menghadirkan musik live. Karina suntuk di rumah beberapa hari ini, itulah yang mengantar Karina dan Obi ke tempat ini. Zainudin sudah enam hari tak pulang. Entah apa pula yang terjadi di rumah Mbak Sinta.

Obi asyik menyantap pisang bakar. Sesekali matanya menatap kota di bawah sana. Ia berlang bertanya tentang lampu kecil di tengah Teluk Lampung. Obi tak bisa membedakan antara bintang di langit dengan kerlip lampu dari perahu nelayan. Setiap Karina katakan itu adalah lampu perahu nelayan, Obi selalu membantah: “Itu bintang, Mama. Bintangnya lagi jatuh ke bumi…”

“Obi salah. Mana mungkin bintang jatuh. Bisa hancur bumi kalau ditimpa bintang,” Karina ingin menjelaskan sesungguhnya. “Tetapi, cahaya yang Obi lihat itu adalah lampu dari perahu nelayan. Dan, yang cahayanya kelap-kelip itu adalah mercusuar. Rambu-rambu bagi kapal dan perahu agar tidak kesasar.”

“Memangnya kapal bisa kesasar, Mama?”

“Ya, tentu saja bisa. Apalagi pada malam hari, di lautan kan gelap. Mobil saja bisa kesasar kalau tak tahu jalan…” Karina menjawab.

Karina tergagap ketika melihat pria menggandeng seorang perempuan menuruni tangga kafe. Sungguh harmonis. Saling merapat. Tangan sang lelaki menggayut di bahu perempuan, dan tangan kiri sang perempuan melingkar di pinggang lelaki itu. Karina ingin menyembunyikan wajahnya dengan kertas daftar menu, namun keburu lelaki itu mengetahui dan menyapanya.

“Hai, Karina…”

“Hai… ju…ga…”

“Obi….”

Obi memandang lelaki itu aneh. Lelaki, yang menurut Obi, masih asing. Tetapi, kenapa lelaki itu mengenal Obi? Karina melihat wajah Obi berubah: curiga, bertanya-tanya, dan memburat keasingan. “Mama, siapa Om itu? Kok kenal sama Obi??”

“Dia, dia…” Karina ingin menjelaskan, namun tak mampu. “Sudahlah, kita pulang Obi. Sudah malam, nanti Papa menunggumu di rumah…”

“Tunggu sebentar Karina…” Lelaki itu menahan Karina. “Kenalkan, ini Lili Andriawati… Dia…”

Karina menjabat tangan Lili. Kemudian memandang lekaki itu. Dalam sekali. Seperti hendak membor hingga ke dasarnya. Lalu, Karina berbisik: “Kau campakkan ke mana lagi Adelia, hah??!” Kemudian Karina menarik tangan Obi. Ingin meninggalkan lelaki dan perempuan itu.

Tapi, lelaki itu kembali menahan. “Justru aku yang dicampakkannya. Ia ternyata tak mencintaiku. Ia hanya ingin mendapatkan kepuasan dariku. Setelah itu ia tinggalkan aku. Ia berselingkuh dengan teman sekantorku. Teman akrabku yang kerap bermain ke rumah…”

“Ya, seperti Adelia kepadaku. Kar…”

“Tak ada karma itu. Tetapi, aku percaya Tuhan akan membalas baik-buruk seseorang meskipun sebesar debu," potong lelaki itu.

“Lalu, siapa perempuan ini?” Karina bertanya. Menatap lelaki yang berdiri di depannya.

“Lili calon istriku…”

“Begitu cepatnya kau mendapatkan perempuan?”

Lelaki itu tertunduk. “Kamu memang buaya, Andre!!” Karina tak mampu menahan kebenciannya. Karina ingin lebih keras lagi mengucapkan itu, kalau saja bukan di kafe yang ramai. Misalnya di rumah atau di tempat yang tidak mengganggu orang lain, tentu Karina akan berteriak sekeras-kerasnya, bahkan berulang: “Kamu memang buaya, Mas Andre! Kamu memang buaya, Mas Andre!”

Lalu, Karina permisi pada lelaki itu. Kemudian kepada Lili. Ia tinggalkan Kafe Diger’s yang memberi kenangan lain. Ketika meninggalkan kafe itu, dari panggung pertunjukan seorang penyanyi melantunkan tembang “Pupus” hit Dewa:

Aku tak mengerti apa yang sedang kurasa
Rindu yang tak pernah begitu hebatnya
Aku mencintaimu lebih dari yang kutahu
Meski kau tak akan pernah tahu

Aku persembahkan hiduku untukmu
Telah kurelakan hatiku padamu
Namun kau masih bisu diam seribu bahasa
Dan hati kecilku bicara

Tiba-tiba bayangan Andre menggoda Karina. Bayangan yang pernah ada di benaknya itu kini mengusik lagi. Tetapi, ini kali bukan karena rindu, bukan karena kesepian, ataupun cinta. “Karena Karina benci padanya. Benciiiii!”

Sungguh, Karina sangat merindukan kehadiran Zainudin malam ini. Rindu dekapan dari lelaki yang kini sangat dicintainya. Zainudin telah menanam benih kasih di lahan yang memang kerontang. Begitu pula Obi, sudah merindukan lelaki itu. “Papa kok enggak pulang-pulang, Mama.” Jawaban apa yang hendak diucapkan Karina, setiap Obi bertanya tentang Zainudin?


Lampung, 24 September 2002






2. Biar Waktu Bawa Kami Mengalir


sekelam apa ketika parasmu lesap
gambar dalam kenangan terbakar
dan ranjang percintaan tinggal puing? 1


KALAU aku tidak biasa ke tempat hiburan itu, tiada pernah aku mengenal Gus. Lelaki tampan itu—malam itu ia datang bersama dua rekannya—telah membuatku terheran-heran. Penampilannya tak pantas berada di dalam ruang remang-remang, penuh asap, dan bau alkohol itu. Gus yang pertama kali kulihat , sangatlah lugu. Sehingga, terkesan ia terlalu lucu berada di tempat itu.

Wajahnya kelimis. Rambut tersisir rapi dibelah kiri. Pakaiannya necis: baju lengan panjang warna putih, celana biru, bersepatu hak warna hitam. Tiada terselip rokok di jarinya. Duduk bersender ke dinding bagian sudut kiri ruang itu. Segelas teh botol di depannya. Sementara kedua rekannya, lelaki semua, asyik dengan minuman alkohol. Ada tiga botol di atas meja.

Sengaja aku liwat di depan mereka. Berhenti persis di dekat Gus. Tak ada reaksi. Aku sempat menggerutu. Sombong benar lelaki ini. Aku mulai berpolah. Sebenarnya klise. Rokok yang masih terselip di bibirku sengaja kujatuhkan. Mengenai celana Gus.

“Maaf.” Sambil tanganku seolah mengelap abu rokok di celana Gus. Ia tersenyum. Sebentar. Lalu asyik dengan dirinya sendiri. Ah, tepatnya tak acuh. Kemudian aku permisi kepada kedua rekannya. Duduk di kursi kosong yang ada di dekatnya.

“Kau ajak lagi dua temanmu ke mari,” teman Gus yang kemudian kutahu bernama Yur, memintaku memanggil dua temanku yang lain. Icha dan Ema untuk menemani mereka.

“Dyah,” kataku memperkenalkan diri pada Gus dan kedua rekannya. Akhirnya aku menemani Gus. Sementara Ema bersama Yur, dan Icha mendekati Ucok.

Gus tak banyak berkata. Cuma sesekali berujar, itu pun setelah aku memulai. Kutanya, “Ada masalah, bang?” Gus menggeleng. Aku yakin dia menyembunyikan perasaannya. Gus pasti sedang ada masalah. Tetapi, mungkinkah soal pekerjaan? Masalah rumah tangganya? Habis bertengkar dengan istri di rumah, misalnya?

Ah, untuk apa Gus ke mari kalau di sini tetap berduka? Ingin menghapus kekesalan? Di sini bukan tempatnya. Ruang seperti ini untuk bersenang-senang. Mabuk-mabuk. Bukan untuk menenangkan pikiran. Aku membatin. Tiba-tiba aku seperti memasuki batin Gus. Seperti hendak membaca segala masalah pribadinya.

Sudah tiga jam, hanya tiga pertanyaan Gus kepadaku. Yang pertama, setelah kami saling kenalan, dia bertanya rumahku. Lalu, apakah aku karyawan tetap di sini. Terakhir dia menanyakan batas waktu kerjaku di tempat itu. Baru sekali ini selama tiga tahun aku berada di tempat hiburan itu, mendapat pertanyaan seperti itu dari tamu. Tiga pertanyaan yang kupikir singkat, namun sulit kulupakan sampai kapanpun karena mengesankan.

Hanya untuk pertanyaan soal rumahku, aku berdusta. Soal tempat tinggal, kupikir adalah masalah privasi. Kepada siapa pun tak akan pernah kuberi tahu. Aku akan selalu mengatakan, “Dekat sini juga, saya kos bersama teman-teman.”

Para tamu tempat hiburan ini, tak boleh tahu alamatku sebenarnya. Aku hanya bisa ditemui di sini. Aku tak mau diantar sampai dekat rumahku. Segera aku minta diturunkan di suatu tempat, lalu jalan sebentar untuk kemudian naik kenderaan menuju rumahku. Atau aku minta diantar ke tempat kos Icha, Ema, Yuni, atau siapa pun lainnya. Dari sana aku naik taksi atau diantar ojek motor.

Gus tak curiga ketika kukatakan tempat tinggalku dekat dari situ. Ia pun tak banyak tanya soal teman-temanku satu kost. “Kalau abang dari mana?” aku bertanya.

“Dari K. Saya diajak Ucok ke sini…”

“Baru sekali ini ke tempat ini?”

“Bahkan di tempat hiburan mana pun, saya tak pernah,” jawab Gus. Entah mengapa aku tak merasakan bahwa Gus tengah mendustaiku. Ia jujur. Itulah yang kurasakan. Baru sekali ini, malam itu, aku bisa meyakini apa yang dikatakan seorang tamu. Hatiku menyimpulkan kalau aku tidak sedang dibohongi lelaki.

Aku mengangguk. Berdecak. Aku mengagumi Gus. Tetapi, kenapa malam ini ia pasrah terjerumus ke tempat seperti ini? Adakah Ucok, teman yang diakui Gus yang membawanya ke mari, sengaja hendak menjerumuskannya? Atau tak sengaja, misalnya keduanya satu kantor, sepulang lembur kerja iseng-iseng mampir ke tempat hiburan.

Ah, ah. Sulit aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kubikin sendiri dalam anganku. Aku menawarkan Gus untuk merokok. Ia mengambil sebatang. Tak lama dihidupkan, sudah ia bunuh rokoknya di liang asbak.

“Enggak biasa ngerokok, bang?” aku basa-basi. “Memang sebaiknya jangan coba-coba kalau tak terbiasa. Kalau kecanduan kan berabe… seperti saya ini. Wah, sudah tak bisa diberhentikan,” lanjutku.

Gus tersenyum. Batuk. Mungkin karena asap rokok.

“Sesekali saya merokok, tapi tak kecanduan. Kapan saja mau berhenti, ya bisa. Saya henya ingin mengurangi merokok, apalagi di ruang seperti ini…” katanya mulai lancar bicara. Gus terpancing oleh. Pikirku.

“Ooo… apalagi di kantor, ya bang? Kerjanya di ruang ber-AC kan? Kata orang sih, merokok di ruang AC lebih besar risiko berbahayanya daripada di ruang terbuka. Benar ya, bang?”

“Merokok di mana pun ya tetap berisiko bahaya,” jawab Gus. “Itu menurut ahli kesehatan. Memang begitu. Cuma kadang kita tak peduli dengan peringatan seperti itu. Buktinya rokok terus diproduksi, malah nama merek baru bermunculan. Artinya, masyarakat tidak memedulikan peringatan semacam itu.”

Gus diam. Mengambil minuman teh botol dan menyeruputnya. Habis sekali sedot. Ia memesan dua botol lagi. Minta gelas berisi pecahan es. “Minum ini pun di malam seperti ini, juga berisiko. Tapi, kan saya tak peduli,” kata Gus. Lalu tertawa. Aku ikut tersenyum.

Aku mengajak Gus turun ke arena. Joget. Ucok dan temannya sudah asyik berdansa ditemani Ema dan Icha. “Yuk, ke situ…” Gus menggeleng. “Biarlah kita menonton mereka saja di sini,” Gus memberi alasan. Aku mengangguk.

Kuambil sebatang rokok A-Mild hijau. Beberapa kali kuhisap dan kubuang asapnya ke udara, membentuk lingkaran-lingkaran. Kepalaku kurebahkan di kursi, membiarkan pandanganku seakan menujah langit-langit ruang diskotek itu.

“Sudah berapa lama kau di sini?” Gus membuyarkan lamunanku.

Bayangan Maya, anakku yang masih berusia dua tahun dan kini kuyakin terlelap di sisi neneknya di rumah, tiba-tiba buyar. Aku baru saja membayangkan Maya berlar-lari mengejarku dan papanya. Di tepi pantai. Ah, anak yang seharusnya masih memeroleh kasih sayang seorang bapak, harus terampas. Bahkan, ia tak pernah tahu kalau aku adalah mamanya. Sekecil itu ia harus menerima kebohongan. Ia harus memanggilku “kakak”, sedang kepada neneknya dia memanggil “mama”.

“Betapa kejamnya orang dewasa,” aku bergumam. Sering menanam kebohongan sejak dini kepada anak-anak. Sang nenek, figur yang selama ini menjadi teladan seorang cucu, pada zaman kini sudah luntur. Nenek—juga kakek—acap meracuni para cucu dengan kebohongan-kebohongan. Apa mau jadinya calon anak bangsa itu kelak, jika sejak kecil terbiasa menerima ajaran seperti itu?

“Kau dengar?” Gus mengingatkanku. “Sudah berapa lama kau bekerja di tempat ini?” ia mengulang.

Aku gelagapan. Memandang wajah Gus. Di bola matamu, aku seperti mendapatkan bahwa pertanyaannya serius. Tak basa-basi. Apalagi untuk sekadar ingin mengejek.

“Mungkin tiga tahun, aku lupa” jawaku jujur. “Sebetulnya aku jengah dengan hidup di tempat ini. Tapi mau apa lagi? Aku tak punya keahlian. Aku tak punya koneksi bekerja di instansi…”

“Kau punya ijazah apa?”

“Administrasi. Aku pernah kuliah di swasta…”

“Pernah?”

Aku mengangguk. “Kukatakan pernah, karena aku tak bisa memanfaatkan ijazahku. Setelah lulus aku menganggur.”

“Kau sudah menikah?”

“Pernah…”

“Maksudmu?” Gus heran.

“Aku juga pernah punya anak. Kini berusia dua tahun. Tidur sama ibuku di rumah…”

“Maksudmu, kau bercerai?”

Aku menggeleng. “Kami menikah di bawah tangan. Suamiku punya istri. Anggota dewan 2dan kami berkenalan di tempat ini. Ia menginginkan anak dariku, lalu kami menikah. Tapi, ia kini dipenjara karena mengonsumsi narkoba. Tertangkap saat razia di tempat hiburan.”

Kulihat Gus menggelengkan kepalanya.

“Aku serius. Tidak bohong… abang tak percaya?”

“Justru saya percaya, makanya saya menggeleng. Kenapa masih ada anggota Dewan berkeliaran ke tempat seperti ini?”

“Ini soal individu, soal oknum,” kataku menjelaskan. “Siapa pun orangnya, bisa saja berada di tempat ini.”

Gus mengangguk. “Seperti saya, tiba-tiba berada di sini. Tiba-tiba berkenalan denganmu. Mengobrol. Megetahui sedikit tentang hidupmu, rumah tanggamu. Maksudku suamimu. Siapa nyana?”

Kini aku yang mengangguk. Gus mengesankan dalam diriku. Hanya itu…




AKU tak ingat lagi sejak tahun kapan aku mengenal dan kecanduan dengan dunia hiburan malam ini. Seperti aku tak tahu lagi pertam kali aku merasakan minuman beralkohol. Juga nama-nama narkoba lainnya. Aku benar-benar sudah lupa.

Yang masih kuingat, aku datang ke mari saat merayakan ulang tahun teman kuliahku. Di saat itu aku berkenalan dengan Her, yang kutahu kemudian adalah anggota Dewan dari fraksi pemenang pemilu. Sejak itu ia kerap menjemputku di kampus dan mengajakku bersenang-senang. Her kemudian menikahiku. Ia ingin mempunyai anak dariku. Alasannya, “Sudah sepuluh tahun aku beristri, belum juga ada anak.”

Aku menerima. Kami menikah. Kiranya Her berbohong. Ia sudah punya anak tiga dari istri pertamanya. Her juga masih biasa ke tempat-tempat hiburan, menggandeng perempuan, dan mengonsumsi narkoba. Setahuku sudah dua kali ia terjaring razia selama aku menjadi istrinya. Yang terakhir amat parah. Polisi menemukan lima puluhan butir pil ekstasi di saku celananya. Bersama teman kencannya.

Aku kecewa. Tak kujenguk. Kuputuskan sepihak. “Kita pisah, ceraikan aku. Tak bisa aku hidup denganmu seperti ini,” kataku pendek dalam surat untuk Her di sel kepolisian. Aku pun memutuskan untuk menerima bantuannya. Maya jadi tanggunganku sepenuhnya. Enam bulan pertama aku masih bisa, karena tabunganku. Tetapi, tahun kedua aku mulai kesulitan. Ibuku juga mulai ingin lepas tangan.

“Makanya kau kembali ke tempat ini?” Gus bertanya. Memulai perbincangan. Ini kedatangannya yang ketujuh.

Mengangguk. Aku menunduk, seperti tak berani memandang wajah Gus. “Apa boleh buat, Maya harus makan…” kataku pelan.

“Tapi, kau pernah bilang, kau jengah dengan kehidupan seperti ini?”

“Benar. Cuma aku tak bisa keluar dari sini. Aku tak punya keahlian apa-apa.”

“Punya rencana bersuami lagi?” kata Gus tegas.

Aku memandang wajahnya. Dalam. “Setiap perempuan di sini punya rencana seperti itu. Soalnya, apakah itu mungkin? Apakah ada yang mau memperistri perempuan seperti kami?”

“Mungkin saja. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” Gus kembali menegaskan kata-katanya.

Malam-malam berikut, seminggu dua kali, aku menemani Gus di ruang penuh asap, bau alkohol, dan remang-remang ini. Dari setiap pertemuan itu, aku bisa mencukupi kebutuhan Maya sepekan atau lebih. Ah, indahnya hidup jika tak diusik keinginan yang sesungguhnya terbentang misteri.

Sayangnya, sejak aku dikecewakan Her, hatiku sudah tertutup untuk menjadi istri kedua. Sedang Gus sudah beristri, seperti juga yang pernah diakui Her, perkawinannya belum diberi anak. Apakah Gus juga berdusta? Tak kuasa aku menjawabnya. Biarlah waktu membawa kami mengalir.


Lampung, 2003-10-10; 11.03






3. Karena Sepi yang Sama


KESEPIANLAH yang kini selalu menderaku. Aku gumun. Sudah habis tujuh batang rokok terkubur di liang asbak. Hanya 30 menit. Kini yang kedelapan kunyalakan, sekejap kemudian asapnya sudah mengudara.

Malam terasa rapuh.
Udara bercampur embun mulai luruh.

Vivi, perempuan yang kutemukan di sebuah ruang diskotek, berkali-kali hendak mengajakku bicara. Soal apa saja. Katanya. Juga cinta, kesunyian, rumah tangga. Atau soal perselingkuhan? Dia meyakinkan. Kisah satu ini sangat aneh. Perselingkuhan bukan karena kecewa atau menjemukan. Justru kehidupan cinta mereka amat harmonis. Keduanya saling mencinta. Karena itu, perselingkuhannya dilakukan dengan sadar

“Lelakinya berkencan dengan kekasih lamanya semasa sekolah. Sementara istrinya bermain belakang dengan mantan kekasihnya saat di kampus,” katanya. Tersenyum seperti menertawai sesuatu yang aneh dan komedian.

Aku tak acuh. Kisah yang tak menarik. Seperti sinetron-sinetron Indonesia yang hanya menjual cinta dan keretakan rumah tangga. Kuanggap Vivi mengada-ada. Tetapi, ia seperti tahu apa yang ada dalam benakku. Ia menegaskan. Apa yang dikatakannya adalah kenyataan. Bukan roman apalagi dipetik dari sinteron. “Aku tak suka baca roman, juga tak menyenangi sinetron lokal,” Vivi makin meyakinkan.

Tak peduli dengan alasannya. Aku malas saja mendengar kisah, apalagi beraroma roman atau telenovela murahan seperti itu. Apa amanatnya yang akan kupetik? Untuk ujarannya pun saja aku sudah tak suka.

Vivi terdiam. Untuk beberpa kejap lamanya. Malam menggelayut. Terasa rapuh. Embun luruh, gemintang masih bertaburan di langit sana. Pintu-pintu bungalow beberapa di antaranya masih terbuka. Lelampu masih menyala. Menandakan penghuninya belum lelap di peraduan.

Kupikir lebih indah menikmati kota tua di bawah sana. Kota yang pernah terbenam air ketika meletus Krakatau pada 1883 lalu. Kota, di mana sisa-sisa dari kedahsyatan gunung Krakatau yang meletus. Di kota tepi teluk itu hingga kini masih menyimpan kenangan: sebuah pelampung mercusuar di lautan, rangka kapal di dekat Sumur Putri yang kini habis dipreteli orang karena tak dilindungi.

“Lebih asyik menikmati kota di bawah sana. Lihatlah lelampu itu, seperti sayap kunang-kunang yang menyala, bertengger di reranting. Laut tak bertanda, hitam. Padahal, jika siang hari warna birunya tentu mengasyikkan…”

Vivi bereaksi. Memalingkan wajahnya ke arah yang kutuju. Cuma mengangguk sekali. Kedua bola matanya nan indah tak berkedip. Bagai zoom kamera tengah membidik objek. “Bukankah lebih indah dan mengasyikkan, ketimbang kisahmu tadi?”

Diam. Matanya bercahaya. Parasnya seperti digayuti bulan. Pandanglah sedikit lama, kataku pelan, keindahan seperti ini akan sulit kita jumpai. Malam-malam yang lain. Di kota yang gaduh.
*

Sebungkus rokok pertama ludes. Kurobek lagi bungkus yang lain. Sebatang rokok telah terselip di bibirku. Kunyalakan. Vivi ikut menyalakan rokok putihnya yang keduabelas. Kami akan berada di tempat ini selama dua malam. Senin subuh kami kembali menyusuri jalan menurun.

Keindahan selalu abadi. Menjadi kenangan yang sulit sekali dlupakan. Itu sebabnya mengapa seniman selalu merekam abadi keindahan dalam karya-karyanya. Agar tak dilupakan orang yang menikmati. Keindahan, begitu abadi dari waktu itu sendiri. Vivi mengurai. Entah kepada siapa.

“Kau penyuka karya seni?” Aku seperti dibangunkan begitu orang bicara soal kesenian. Betapa tidak, semasa lajang aku banyak berkawan dengan seniman. Meski aku kuliah di teknik, aku lebih senang menggerayangi fakultas desainer interior dan senirupa.

“Tapi, belum sebagai pelaku,” dia menjawab. Ringan sekali. “Di dinding rumahku ada beberapa karya lukis terpajang. Aku pernah berteman dengan seniman lukis, mereka memberi. Ada juga yang kubeli. Aku merawatnya, seperti penyayang binatang kepada hewannya.”

“Kau suka karya sastra?” aku bertanya lagi. Kupikir membincangkan karya seni jelas lebih mengasyikkan. Bisa menghadirkan perdebatan. Aku juga ingin tahu apakah perempuan yang kini di hadapanku adalah pengagum karya-karya sastra, bukan cuma lukisan yang cenderung menjadi latah sebagian banyak pejabat dan perempuan karier di kota.

“Suka juga,” katanya bersemangat. “Amat suka. Terutama puisi. Aku punya koleksi buku-buku Tagore, Iqbal, Gibran, Marquez, Paz, dan… ah aku lupa beberapa yang lain. Juga para penyair Indonesia, Arab…”

“Alasanmu suka?” pancingku.

“Entahlah, sulit sekali kujelaskan. Yang jelas sejak SMA aku suka dengan seni. Mungkin karena soal tawaran hidup dari seniman? Ah, aku juga tak tahu.” Vivi terdiam. Seperti merenung. Tepatnya berpikir. Sebenarnya bukan alasan itu yang kuperlukan. Aku hanya hendak mengalihkan pembicaraan: dari soal selingkuh ke ihwal lain.

“Aku juga banyak koleksi karya dan buku seni,” kataku kemudian. Terus terang.

“Wow! Kalau begitu kita satu selera, ya?” Vivi seperti hendak berteriak. Lalu kami tertawa. Malam terasa kian rapuh oleh tikaman embun. Gemintang masih bertaburan di langit sana.

Vivi mengajakku ke peraduan. Aku menolak halus. Malam yang indah seperti ini, terlalu sayang dilepas. Setelah fajar barulah lelap hingga matahari sepenggala. Ketika perut terasa bergolak. Lapar dan makan. Mandi dan duduk lagi seraya menghadap matahari. Bungalow ini bukan untuk tidur.

Kembali sebatang rokok ia nikmati. Kami mengobrol lagi. Soal pertemuan kami yang tanpa sengaja. Soal rumah tanggaku yang belakangan ini terasa goyah. Ihwal suami Vivi yang menikahi sekretaris di kantornya. Ah, kehidupan ini mengapa seakan kacau? Bagai sinetron yang berkecambah di layar kaca.

“Itulah kenapa aku sering habiskan malamku di tempat hiburan. Aku tak tahan kesepian jika berada di rumah…” Vivi membuka percakapan. Ranjangku seperti terlalu luas untuk kutiduri sendirian…”

“Kau belum punya anak?”

Menggeleng. “Perkawinanku sudah lima tahun. Mungkin karena itu pula, suamiku menikah lagi. Tapi, sudah dua tahun ia menikah toh istrinya belum memberinya anak.”

“Dia masih memberimu nafkah?”

“Kami belum bercerai. Sepekan atau dua minggu sekali tidur di rumahku. Soal kebutuhanku tak menjadi soal. Suamiku tetap memberiku uang, kami juga tetap bercinta,” jawab dia. “Aku menerima pilihannya. Cuma aku kadang merasa sunyi, ketika ia tak tidur bersamaku.”

“Kau habiskan sepi malam-malammu di tempat hiduran itu?”

“Tak juga. Kalau malas keluar, kuulang membaca puisi-puisi itu. Atau membaca puisi baru. Merawat dan memandangi lukisan koleksiku,” ia menjelaskan. “Cuma dua bulan terakhir ini aku malas membaca, bosan merawat dan memandang lukisan. Aku habiskan malamku di tempat hiburan, sampai kita bertemu malam ini…”

Aneh. Aku mendesis.

“Maksudmu? Apa yang aneh?”

“Perjumpaan kita. Sampai kini aku masih bertanya-tanya, mengapa kau seperti tak khawatir ketika kuajak bermalam di bungalow ini?”

“Karena penampilanmu tak meyakinkan kau sebagai penjahat atau pembunuh. Hatiku mengatakan, kau asyik sebagai kawan mengobrol.”

“Hanya itu?”

“Untuk sementara baru cuma itu,” jawab Vivi pendek. Sebatang rokok kembali kami nyalakan. Malam sudah berganti fajar…

**

KAMI terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul 15.00. Vivi masih terlelap dengan pakaiannya semalam. Tubuhnya menghadap tembok. Pakaian di tubuhku pun tak kurang. Masih melekat. Bahkan kaus kakiku masih melekat.

“Kau sudah bangun?”
`
“Yang kau lihat, bagaimana?” aku balik bertanya. Menggoda. Duduk di kursi di sudut ruangan. Menikmati segelas kopi, roti bakar, dan mie goreng. Beberapa menit tadi pelayan mengantarkan makanan ke kamar kami.

Vivi tersenyum. Menelisik tubuhnya. Memegangi pakaiannya. Terutama kancing-kancingnya.

“Kenapa? Ada yang hilang buah kancingmu?” tanyaku.

Vivi menggeleng. Menggeleng lagi. “Kau… kau…”

“Kita sama-sama terlelap. Kedua mata kita terpejam….”

Lalu kami tertawa. Keras sekali.

“Kalau saja malam nanti kita lalui seperti ini, betapa kenangan ini akan menjadi abadi. Akan selalu terpancar seperti agungnya sebuah karya seni. Indah tiada terkalahkan,” ia berujar. Duduk. Melekatkan punggungnya di dinding.

Aku mengiyakan.

“Kita jumpa dari kesepian yang sama. Kita datang dari kemiripan perasaan. Kita bersama dari angan kerinduan yang sama…” jawabku meyakinkan dia.

Vivi mengangguk.

“Agar kenangan benar-benar abadi seperti keindahan karya seni, sebaiknya jangan biarkan malam nanti datang saat kita di sini,” Vivi berujar setelah kami terdiam beberapa kejap. Ia bangkit dari pembaringan, mengambil roti bakar, kemudian menyeruput kopi. “Kita jangan rusak indahnya kenangan ini, seperti kita tak ingin merusak keindahan dari sebuah karya seni…”

Aku setuju. Kuacungi dua jari jempol padanya. Segera kenderaanku meluncur, menuruni lereng bebukitan itu. Meninggalkan bungalow. Entah mengapa kami tak saling meninggalkan janji untuk berjumpa lagi, di waktu yang lain…

Lampung, 2003-10-11; 10.50





4. Dawai Kembali Berdenting


“HAI, saya Novitasari. Saat ini saya sibuk dan tak bisa diganggu. Hubungi saja lain kali.”

Sudah lima hari ini, handphone isteriku setiap dihubungi dijawab dengan voice mail seperti itu. Aku benar-benar kesal. Padahal, ia sendiri membuat kesepakatan bahwa keadaan apa pun di antara kami (maksudnya pertengkaran) jangan sampai tidak mengaktifkan handphone. Berulang-ulang, mungkin setiap permenit kuulang, jawaban tetap saja begitu. Aku yakin bukan karena singal eror, tapi Novi memang enggan kuhubungi. Ia seperti menutup dialog denganku.

Ini yang pertama kali isteriku minggat dari rumah. Kukatakan minggat karena ia tidak permisi, kecuali surat yang dia tinggalkan pada Minah saat aku di kantor. Semalaman kami bertengkar. Aku emosi hingga melempar dan menghancurkan barang-barang di rumah. Sampai-sampai kami makan sahur masing-masing. Aku pun ke kantor tak diantar sampai depan pintu dan memeroleh ciuman, suatu kebiasaan kami sejak menikah 9 tahun lalu.

Surat Novi singkat saja. “Aku pulang. Ica dan Obi kubawa serta, sekalian berlibur di rumah neneknya. Aku hendak menenangkan pikiran, instrospeksi. Mungkin di antara kita ada yang salah menafsirkan kesetiaan.”

Setelah kubaca, surat itu kubiarkan terbentang di kasur. Sampai kini suratnya belum bergeser. Sejak itu aku dilayani Minah: berbuka dan sahur. Kenapa ia tak menyuruhku menjemput? Apakah Novi benar-benar berang padaku sehingga tak mau kembali ke rumah ini? Begitu besar dan tak ada ampunan lagikah bagi kesalahanku?

Tiket sialan! Aku menggerutu dan memaki ketololanku. Kenapa aku teledor memasukkan tiket pesawat di dalam saku celanaku? Kenapa tak kubuang saja agar tak meninggalkan jejak? Novi menemukan di saku celanaku dua tiket pesawat Jakarta—Medan pergi-pulang atas namaku dan Anggie. Aku tak bisa membela atau memberi alasan seperti yang kulakukan selama ini. Dan baru kini aku percaya kebenaran pepatah bahwa “sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh jua” atau “sepandai-pandai menutup selingkuh akan tercium baunya” yang berkali-kali kubantah setiap Daniel menasihatiku dengan pepatah itu.

“Suatu saat kau akan tahu keampuhan pepatah itu,” kata temanku.

Lalu kujawab, tentu saja, dengan kesombonganku. “Bodoh saja lelaki itu kalau bisa ketahuan istri. Kau tahu perempuan diciptakan karena untuk dibohongi lelaki.”

Kini pepatah yang seperti sudah menjadi warisan setiap anak manusia itu seperti menunjukkan tuahnya. Ia menjadi pisau bermata seribu yang kini telah menancap di wajahku dan di hatiku yang bersemayam kesombongan. Aku tak berkutik apalagi sampai mencari-cari alasan soal tiket pesawat itu. Lidahku kelu. Bibirku terkatup. Suaraku membisu. Dan, itu Novi jadikan senjata untuk memutil dan mengiris-iris kelelakianku.

“Pantas kamu selalu menyapaku dengan ‘sayang’ hanya untuk mengatakan kalau kau sudah tak sayang lagi padaku. Kamu hanya berpura-pura agar terlihat masih mencintai dan setia padaku, sementara di luar kamu adalah bajingan! Siapa Anggie itu, perempuan lacur itu. Biar aku labrak!” katanya dengan amat berang.

“Diam kau! Kamu sudah keterlaluan!” aku membentak sambil melempar lampu duduk ke dinding. Lalu pecahan bokhlam buyar di lantai.

“Aku tak mau diam. Kamu yang sudah keterlaluan,” ia tak mau kalah. “Diam-diam ternyata kamu main perempuan lain. Kamu berselingkuh. Apakah itu harga dari kepercayaanku selama ini, membiarkanmu pergi ke kota demi kota menghadiri undangan berbagai seminar dan pertemuan? Jadi bukan aku, tapi kamu yang keterlaluan!”

Aku diam. Sungguh aku tak bisa lagi beralibi, justru di hadapan isteriku yang selama ini terlalu sering kubohongi. Novi, perempuan yang amat diam, yang tak pernah menuntut banyak padaku, yang seakan selalu nrimo, kiranya begitu keras dan tegas. Aku jadi benar-benar malu.

Ataukah selama ini, sesungguhnya dia tahu segala perselingkuhanku di luar rumah? Karena belum ada bukti, ia diam. Aku yakin perasaan perempuan sangat sensitif. Hanya tergantung perempuannya, apakah akan ia tunjukkan secara terang-terangan, membabi-buta? Boleh jadi itu. Boleh jadi.

Aku tak berani menatap Novi yang menampakkan keberangannya. Matanya merah. Bibirnya selalu bergetar. Tangannya gemetar. Aku menghadapinya dengan dingin. Duduk di sofa. Membuka-buka koran harian. Kuharap dengan sikapku begitu, emosi istriku akan turun. Malam terus menanjak larut. Dari corong masjid di ujung gang masih terdengar orang bertadarus.

Ternyata istriku tak juga diam. Ia menyerocos. Mengatakan aku lelaki dan suami tak tahu untung. Semasa karierku di bawah, aku selalu mesra dengan mengajaknya makan bersama di warung lesehan yang ada di kotaku. Aku juga sering meminta uang padanya untuk membeli rokok. Istriku yang bekerja di instansi pemerintah, kuakui pangkat dan gajinya melebihi penghasilanku. Kini? Karierku jalan lempang. Menaik terus. Kini aku dipercaya memegang salah satu anak perusahaan. Dan, karier itulah yang kemudian memperkenalkan aku dengan banyak perempuan. Awalnya hanya stafku. Kemudian aku berani berkenalan dengan seorang mahasiswi, lalu perempuan-perempuan lain.

Ah! Aku mendesah. Perempuan seperti dongeng di dalam surga. Merayu bagai desis ular yang mencelakakan lelaki pertama untuk memakan buah terlarang sampai terlempar ke bumi. “Tapi, kan mengasyikkan? Selingkuh itu nikmat. Cobalah kau rasakan…” kata Idhan menggodaku. Aku pun termakan. Aku coba-coba memberanikan diri. Aku terjerumus.

Anggie. Perempuan kelima yang kukenal di sebuah kafe ini adalah seorang penyanyi. Aku bertemu dan berkenalan dalam suatu kongres nasional. Waktu itu, pada malam perkenalan dan hiburan, selain para seniman nasional yang mengisi acara, Anggie ikut di dalamnya. Aku pun berkenalan. Makin intim karena kami saling menelepon. Maklum kami lain kota: aku di BL dan Anggie di JK. Suatu hari, kami berjanji untuk sama-sama menghadiri seminar di Medan.

Pertautan usiaku dengan Anggie berbeda 22 tahun. Meski aku 23 tahun di atasnya, hubungan kami tetap mengasyikkan. Ia mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di kota JK.

Anggie memang menarik. Membuatku amat tertarik padanya. Ia energik. Periang. Agresif dan selalu menunjukkan kemesraan setiap kami bertemu. Itulah yang tak lagi kudapatkan dari Novi. Istriku selalu menolak setiap kuajak berkencan. Alasannya macam-macam: kurang sehat, capek, atau alasan yang sulit kuterima yaitu mengantuk. Aku kehilangan gairah jadinya.

Terkadang muncul pikiran negatifku pada Novi. Aku mencium aroma perselingkuhan padanya. Meski telah beranak dua, ia masih tampak cantik dan anggun. Ditambah lagi ia terbuka untuk berteman pada siapa pun. Kebiasaannya berorganisasi sejak masih sekolah sampai di tempat bekerjanya tetap dijaga. Bukan tak sering telingaku ini masuk isu kalau istriku sering makan siang bersama teman lelaki sekantornya. Tapi, aku malas menyoalnya. Aku tulikan pendengaranku. Aku membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Aku membalas dendam? Entahlah.

“Karena itu, kamu berselingkuh?” tanya Daniel pada suatu kesempatan. “Mestinya tidak kau lakukan itu. Kau selidik dulu kebenaran tentang istrimu. Siapa tahu isu itu hanya untuk memecah keharmonisan rumah tanggamu. Jangan berbuat nekat seperti itu yang membuat masalah jadi runyam.”

“Ah, kau tahu apa Dan? Urusan berpacaran saja kau belum lampaui, sudah menasihati orang yang sudah berkeluarga,” selaku sambil tertawa. Sekali lagi, aku mengacuhi nasihatnya.

“Payah! Apa karena aku lajang lalu kau anggap aku tak punya pandangan soal rumah tangga?” Lalu ia meninggalkan ruang kerjaku.

“Sekarang jelas, kau memang berselingkuh! Kau juga sengaja menyimpan tiket itu di sakumu untuk menyakiti hatiku.” entak istriku. Aku terjaga dari lamunanku. “Oke, oke… kau pikir hanya lelaki saja yang bisa??”

“Maksudmu?”

“Sudahlah. Kita bukan pengantin baru lagi, buat apa sih setiap malam harus mesra-mesra?” jawabnya.

“Tapi, kau kan belum jadi perempuan peyot?” tanyaku menggelegar. “Kalau deganku kau selalu beralasan, tapi kesibukanmu di kantor kau asyik-asyik saja. Jangan-jangan kau…” Hampir saja aku keceplosan menudingnya kalau ia telah berselingkuh.

Tapi, tak urung Novi pun curiga dan balik berujar: “Kau menuduhku berselingkuh ya? Mana buktinya, mana? Kalau kau sudah jelas, tiket pesawat itu!”

“Sudah! Kamu memang selalu ingin menang sendiri! Kamu memang sudah tak bisa menghangatkan aku lagi. Aku muak dengan alasanmu…” kataku kian berkeras.

“Ya sudah kalau itu maumu. Carilah perempuan yang kamu suka. Tapi, ingat, jangan sentuh aku lagi!!”

“Baik. Baik…” kataku tak mau kalah.

Sejak itulah, pagi-pagi sebelum aku terbangun, Novi sudah pergi. Pulang ke rumah orang tuanya. Ia mengambil izin lebih dulu. Membawa kedua anakku. Sejak kepergiannya, aku merasakan kesepian yang sangat. Tiada dawai yang berdenting. Rumahku menjadi hening.

Anggie yang semula kuharapkan bisa memainkan dawai dalam jiwaku, justru berbuah memuakkan. Betapa tidak? Ia tak berbeda dengan pelacur yang banyak kuketahui. Hanya untuk memuaskan napsunya, ia buru para lelaki. Hanya sekali telepon, padahal lelaki itu baru ia kenal, ia langsung menyambangi meski dengan ongkos sendiri. Malam ini ia bersama Wahyu di sebuah hotel di kota J, dan esok malam lagi ia berterus terang sedang berkencan dengan lelaki yang lain. Begitu seterusnya. Apakah tidak menjijikkan? Apa bedanya dengan pelacur? Karena itu, ia tak mungkin bisa memainkan dawai dalam jiwaku. Tak mungkin. Aku putuskan untuk melupakannya.

Aku merasa ada yang hilang dari notasi-notasi dawai itu. Entah apa? Mungkinkah aku kangen pada kedua anakku? Ya ya, tiba-tiba saja wajah Ica dan Obi bermain di pelupuk mataku. Begitu dekat. Amat dekat. Mungkin hanya karena anaklah, rumah perkawinan kadang tetap terjaga meski pondasi-pondasinya tak lagi kokoh. Kini kurasakan itu…

*

“SEBAIKNYA kau jemput istrimu. Aku yakin dia sangat mengharapkan itu,” kata Daniel ketika kuceritakan perihal rumah tanggaku. Katanya lagi, kini kau baru memercayai keampuhan pepatah lama setelah kau merasakan kebenarannya.

“Sudahlah, terpenting sekarang kau susul keluargamu. Kasihan anak-anakmu. Aku yakin mereka sangat merindukan ayahnya. Apalagi, kecurigaanmu pada Maya selama ini tidak terbukti kebenarannya. Dia perempuan sekaligus istri yang baik…” Daniel menambahkan.

“Tapi, aku malu. Lelaki pantang menjemput perempuan yang sudah kabur drai rumah. Apa kata orang?” kataku menunjukkan harga diriku sebagai lelaki.

“Persetan dengan orang lain. Apa mereka prihatin kalau rumah tanggamu hancur? Jangan-jangan menertawai dan mensyukuri hancurnya rumah tangga orang,” kata Daniel lagi. “Yang bisa menolong rumah tanggamu, hanya kau. Bukan teman atau pun orang tua kalian. Sudahlah kubur saja gengsi yang tidak berguna itu. Ini urusan kehormatan dan keutuhan rumah tanggamu.”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, segera tinggalkan kantor. Kau jemput keluarga. Bukankah setiap orang yang sudah berkeluarga tak pernah berharap dawainya berhenti berdenting?”

Bukan, bukan soal itu saja Niel, tapi aku merasakan Novi sudah tidak mencintaiku lagi. Aku ragu-ragu menggumamkan itu. Dia sering makan bareng teman sekantornya. Apa itu bukan selingkuh, Daniel, kalau mereka makan dan pergi bareng setiap jam kantor? Boleh jadi sewaktu aku di luar kota, istriku akan makin bebas jalan…

“Kau masih ragu juga?” sergah Daniel menghancurkan lamunanku. “Terserah kau, Yono, mau ikut saranku atau tidak seperti dulu kau menolak pepatah itu. Ingat, saat-saat yang fitri di hari Lebaran, banyak hikmah dan berkah yang bisa kita peroleh. Aku amat memercayai itu…”

Daniel kemudian pergi, menyisakan senyum tulus dalam benakku. Ia juga siap membantu pekerjaanku selama aku cuti ke rumah mertuaku.

*

AKU masih sangat letih dan mengantuk ketika Ica, anak tertuaku, membangunkan subuh ini. Aku sampai di rumah mertuaku pada pukul 03.00. Tak sempat ke kamar mandi aku langsung rebah di kursi panjang. Bahkan aku tak punya waktu lagi membawa masuk pakaianku di mobil yang kuparkir di halaman depan.

Baru kali ini dalam hidupku bermalam Lebaran di jalan. Perjalanan memang agak lengang, namun gema takbir dan tahmid yang kudengar dari kubah masjid atau dari pawai kenderaan setiap kota yang kuliwati seperti dawai yang membangkitkan keterharuanku. Ah! Aku menangis di sepanjang perjalanan semalam. Menangis lantaran tahu pada dosaku yang amat besar. Aku juga terlalu sering membohongi istriku yang dulu kunikahi setelah kupertaruhkan kesetian dan cintaku.

Ah. Ah. Apakah karena karierku yang kini terus membaik di kantorku, membuat kesetiaanku pada Novi dan kedua anakku mulai terkikis? Begitu cepatkan jabatan dan uang menggeser hati seseorang? Adakah kesetiaan itu sesungguhnya? Apakah cinta akan abadi? Bukankah kesetiaan dan cinta seperti juga karier, suatu ketika akan naik dan ketika yang lain akan menurun. Atau sebaliknya?

Karena aku tak bangkit juga, Ica kembali mengguncang-guncang tubuhku. “Papa bangun. Subuh. Emangnya papa enggak denger azan tuh. Kita salat lebaran sama mama di lapangan. Ayo pa bangun, nanti kesiangan…” suara Ica memberondongku.

“Ya sayang, sebentar…” kataku sambil menarik tubuh anakku merapat lalu kucium pipinya. “Mana Obi? Eh, Ica gemuk ya di sini?” kembali kucium dan kupeluk tubuhnya. Aku sangat kangen.

Aku tak melihat istriku. Maka kutanya pada Ica. “Mama mana?” Dengan berbisik pula, ia menjelaskan kalau mamanya masih salat di kamar nenek. Aku mengangguk. Menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku ambil kain sarung dan sajadah. Aku gelar sajadah di ruang tamu, aku pun salat subuh. Selesai salat aku lanjutkan bertakbir, bertahmid, dan bertasbih. Aku benar-benar khusyuk sampai butiran air yang dingin tak terasa mengalir dari kedua mataku.

Entah terlelap lagi ataukah aku benar-benar khusyuk melafazkan takbir di subuh yang fitri ini, kiranya ibu mertuaku sudah berulang menyapaku. Obi menyadarkan aku dengan memukul bahu kananku. “Papa, papa…” Aku tergagap. “Nih nenek dari tadi manggil papa, ketiduran ya?”

“Oh, Obi sudah bangun. Sudah mandi juga ya? Wah, anak papa yang ganteng ini memang hebat!” kataku lalu mememeluk dan menciumnya. Lalu berdiri dan menyambut tangan ibu dan mencium tangannya. “Maafkan saya, bu, maafkan Yono…” Aku menangis. Aku sungkem…

“Ibu sudah dengar semua. Novi cerita banyak. Cuma enggak semua yang diceritakannya, ibu percayai. Ibu yakin kau pun pasti ada benarnya. Mana mungkin orang selalu salah terus. Iya kan…?”

Aku hanya mengangguk. Tanpa ekspresi. Ibu tersenyum. Ah, senyum ibu mertuaku itu bagai embun yang jatuh di dawai lalu membunyikan dentingnya. Menyejukkan, melindungi.

“Ya, bu. Saya salah. Terlalu mencemburui Novi, padahal tak ada bukti. Sekarang saya mau meminta maaf padanya. Apa dia mau? Mana Novi?” harapku tulus.

“Ibu yakin Novi pemaaf. Tak ada kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Allah saja pengampun, mengapa manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Apalagi di hari Lebaran ini, di hari yang fitri ini, kita mesti murah memberi maaf,” ujar ibu. Lalu ia memanggil Novi dan menyuruhnya untuk mencium tanganku. “Novi, kau juga harus minta maaf pada suamimu, karena kau meninggalkan rumah tanpa izin.”

Sekejap kemudian kami pun berpelukan. Bertangisan. Takbir, tahmid, dan tasbih dari berbagai corong mik berkumandang seperti ikut memetik dawai yang sempat tak berdenting. Aku, Novi, dan kedua anakku beriringan ke tanah lapang. Melaksanakan salat Idul Fitri. “Allahu Akbar La ilah hailallah Waullahu Akbar Walillah ilhamd…”

Sungguh kami seperti hidup kembali.*


Lampung, 4-8 November 2003






5. Ibu Peri Selalu Datang


IBU peri itu datang lagi. Bocah perempuan berusia 7 tahun itu mengadu. Mendengar cerita Sisi itu lagi, Mama Linda seakan tersengat hewan pengantup. Badannya menggigil. Dadanya bergoncang, amarahnya mengembang. Lagi-lagi ibu peri itu yang dikatakan, gumam Mama Linda. Tetapi, tak urung hatinya berujar, benarkah ada ibu peri, benarkah ibu peri sering bertandang ke rumah ini?

Kalau benar ibu peri sering datang dan selalu ada di rumah ini, alamat apa yang bakal diterima Mama Linda? Akankah posisinya sebagai ibu Sisi tergeser oleh ibu peri? Jangan-jangan semua itu permainan Sisi untuk menyingkirkannya? Ia pandangi dengan amat dalam bocah perempuan yang kini berada di hadapannya. Tetapi, Sisi seakan ingin meyakinkan dirinya, kalau ia baru saja berjumpa ibu peri. Hati Mama Linda pun gusar, matanya kian nanar.

Ibu peri berwajah cantik namun terlihat bengis memang selalu datang untuk menemui Sisi. Seperti kemarin lalu, kemarin malam, atau siang tadi sewaktu ia tidur. Hanya, setiap kali ia ceritakan soal kedatangan ibu peri pada Mama Linda, selalu ditepis bahwa ibu peri itu tidak ada dan tokoh itu hanya ada di dalam cerita-cerita misteri. Berkali ia yakinkan Mama Linda, setiap kali itu pula ia menuai kecewa.

Setiap datang ibu peri selalu berubah-ubah wajah. Sesekali merupai Ibu Anita, guru sekolah yang baik hati. Pada kali lain mirip Fra, sekretaris papa yang cantik namun tampak seram. Dan kesempatan berikutnya, serupa Mama Linda yang cantik dan baik hati. Atau ibu peri datang seperti Ida yang manis tapi perangainya menyerupai Nenek Lampir.

“Jadi, kamu jangan percaya ada ibu peri di dunia ini,” Mama Linda menegaskan. “Kamu masih percaya kalau ibu peri yang datang dan selalu datang?” lagi Mama Linda berujar. Ia tak ingin Sisi diracuni cerita-cerita misteri seperti itu.

Bocah perempuan itu seperti hendak mengatakan sejelas-jelasnya bahwa ia selalu didatangi ibu peri. Sisi ingin mengatakan kalau ia tidak berbohong atau teracun oleh cerita-cerita misteri dan hantu. Ibu nan cantik namun bengis beberapa kali mendatanginya. Ibu yang secara lihatan lembut dan penyayang, namun seperti hendak mengisap darah waktu ia terlelap.

Dalam hati ia ingin mengatakan, “Sayang Mama Linda enggak bisa lihat ibu peri. Ibu peri juga tak mau dilihat orang dewasa. Padahal, ia selalu datang ke rumah ini. Makan di meja itu. Masuk ke kamar Sisi dan sesekali tidur. Ia sayang sama Sisi, ibu peri sering bawakan Sisi permen. Tapi kalau lagi marah ibu peri lebih bengis dari ibu tiri…”

Ibi tiri? Bibir Mama Linda bergetar mengulang itu. Cuma segera ia mengontrol dirinya. “Sudah, kamu tidur lagi. Sore bangun dan belajar. Mama Linda mau ke rumah Tante Lis ada pertemuan arisan. Dan, menjelang magrib Mama Linda baru pulang. Kalau papa datang lebih dulu, katakan saja Mama Linda pergi. Kamu mengerti?”

Sisi mengangguk. Pelan. Sebetulnya ia ingin protes: Mama Linda egois. Tak mau mendengar cerita Sisi.. Mama Linda tidak seperti teman-teman Sisi di sekolah. Mira, Rum, Imas, Hesti, Anggi, atau pun Rhe yang selalu mau mendengar cerita Sisi. Bahkan mereka percaya kalau ibu peri itu memang ada. Dan, mereka selalu mengingatkan: “Hati-hati sama ibu peri, kelihatannya baik tapi sebenarnya jahat!” Hampir bersamaan.

Sisi diam. Ia selalu menyimpan setiap pesan teman-temannya itu. Itu sebabnya, ia tetap curiga dan waspada setiap ibu peri mendatanginya saat ia tidur. Sisi tak pernah lengah sekejap pun. Sampai-sampai ibu peri heran, lalu membujuknya agar jangan takut.

“Sisi termakan hasutan teman-teman ya? Atau Mama Linda yang cerita kalau ibu peri jahat? Percayalah nak, ibu peri baik sekali. Bukankah sudah ibu buktikan setiap datang membawa oleh-oleh?” suara ibu peri lembut. Aroma yang keluar dari mulutnya harum bagai kesturi. Angin pun di dalam kamar tidurnya menjadi wangi dan sejuk.

Ibu peri menawarkan diri memasakkan untuk Sisi. Makanan yang lezat-lezat. Sisi senang dan lahap memakannya. Ibu peri juga bawa es krim. Setelah kenyang, Sisi tertidur di paha ibu peri. “Kok, ibu peri enggak jahat?” Itulah pertanyaan Sisi setiap kali didatangi ibu peri.

Terbukti sampai kini Sisi masih baik-baik. Itulah yang membuat teman-temannya percaya kalau ibu peri tidak jahat seperti dalam cerita-cerita yang mereka dengar. Karena itu, mereka ingin bertemu ibu peri yang mendatangi Sisi. Mereka ingin dibuatkan makanan lezat-lezat, es krim yang enak, chiken, Mc Donald, dan sebagainya.




“MAMA, kenapa ibu peri enggak datang-datang?” tanya Anggi, suatu malam, menjelang tidur. Ini malam sudah sepekan ia berharap didatangi ibu peri. Ia ingin dalam tidur bertemu ibu cantik yang baik itu seraya bercengkerama, juga dimasaki, makan bersama, dibawakan es krim seperti Sisi. Ah, betapa indahnya. Ya! betapa senangnya ditemani ibu peri ketika mama sibuk arisan dan pertemuan-pertemuan lain dengan ibu-ibu di kantor papa?

“Mama dengar enggak sih?” bocah itu kembali menegaskan. Kesal.

“Husst… Anggi ini omong apa?!” suara mama meninggi tiba-tiba. Anggi kaget. Wajahnya segera menunduk. Mengkerut. Takut. “Ibu peri hanya akan datang pada anak-anak yang diasuh ibu tiri. Apa Anggi mau punya ibu tiri, ha?!” masih dengan nada tinggi.

Anggi mau protes. Mama pasti tak suka dengan ibu peri, takut disaingi kalau sering menemui Anggi. Memang ia sering nonton serial “Bidadari” di televisi yang ada tokoh ibu peri, di sana ibu peri amat sayang pada anak yang tak lagi punya ibu namun selalu dijahati ibu tiri. Tapi, ibu peri yang ini lain. Hanya ia tak berani mengatakan itu pada mama. Melihat wajah mama yang tak bersahabat, ia urungkan niat protesnya.

Ia kembali memejamkan mata. Mama membelai rambut Anggi. Menarik selimut hingga ke bagian atas tubuhnya. Lalu mama keluar dan tidur di kamar sebelah. Setelah suara pintu ditutup, Anggi melepas selimutnya. Duduk menghadap lemari rias. Menghujamkan wajahnya ke cermin. Ia berharap dari wajahnya yang ada di di dalam cermin itu muncul ibu peri. Seperti ibu peri yang datang pada Sisi. Akan tetapi, sudah beberapa menit ia melangut menghadap cermin itu tak juga ibu peri datang.

“Jangan-jangan ibu peri sekarang lagi ke rumah Sisi?” ia membatin. “Mungkin mama benar, ibu peri tak akan mau datang pada anak yang masih punya ibu kandung.”

“Kamu masih percaya kalau ibu peri pasti datang?” suara mama yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu kamar. Menggeleng. Menatap Anggi dengan pandangan iba. “Jangan berharap ia tak akan pernah datang.”

“Tapi, ma, Sisi kawan Anggi sering didatangi ibu peri? Kata dia, ibu peri itu baik suka bawa oleh-oleh, suka masakin makanan yang enak, bikin es krim, dan…”

“Bohong!” mama setengah berteriak. Anggi tercekat. “Kawanmu itu mengarang. Ibu peri itu rekaan, hanya ada dalam dongeng. Supaya anak-anak takut.”

“Kok Sisi bilang benar? Dia juga bilang ibu peri itu tidak menakutkan?”

“Ingat Anggi, sekali lagi kamu cerita ibu peri, akan mama bawa kamu tidur dengan bik Inah di belakang. Mau?!” mam mengancam. Anggi makin ketakutan. Ia rebahkan tubuhnya ke ranjang, menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya.

Ibu peri tak pernah lagi ia impikan. Mungkin Sisi sering didatangi ibu peri karena ia anak tiri. Angin yang diantarkan alat pendingin ruangan ini makin cepat membawanya lelap.

“Aku tidak bohong kalau ibu peri benar-benar datang,” Sisi selalu meyakinkan teman-temannya agar ceritanya bukan karangan.




IBU peri datang lagi. Kali ini tidak seperti biasa, wajahnya tak ceria. Ada apa gerangan, wahai ibu peri? Ia juga tak membawakan oleh-oleh makanan lezat untuk Sisi. Padahal, Sisi amat mengharapkan ibu peri membawakan makanan. Soalnya, sejak siang tadi ia tak diberi makan oleh Mama Linda sebagai hukuman, karena ia tetap cerita kalau ibu peri selalu datang.

Mama Linda benar-benar marah. Ia sudah menghukum Sisi tidak boleh ke sekolah kalau masih cerita soal ibu peri, namun Sisi tetap menceritakan. Ia juga telah dihukum di dalam kamar mandi selama dua jam siang kemarin, tetap saja ia cerita setiap didatangi ibu peri. “Hukuman apa lagi buatmu ha?!” Mama Linda mengancam. Lalu ia diancam tidak diberi makan seharian kalau masih cerita soal ibu peri.

“Mama Linda selalu enggak percaya sih? Sisi tidak bohong, Ma. Sumpah!” ia memelas agar Mama Linda mau memercayai ceritanya.

“Pokoknya Mama Linda tidak percaya. Titik. Kamu jangan ngarang soal ibu peri. Tak ada ibu peri itu, hanya dongeng!” tegas Mama Linda. “Awas kamu, kalau papamu pulang akan Mama Linda adukan. Kamu sudah melawan.” Ancaman itu tak membuatnya gamang.

Saat mendengar Mama Linda menyebut papa, tiba-tiba ia amat merindukan lelaki berusia 46-an tahun itu yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Hanya dua atau tiga bulan sekali pulang dan itu pun hanya sehari. Setelah itu kembali suntuk dengan pekerjaannya di pabrik gula.

“Ibu peri juga tanya papa. Ia ingin melihat papa. Tapi, setiap papa pulang malah ibu peri tak pernah datang,” ujar Sisi lagi.

“Karena ibu peri itu bohong. Sudah berkali-kali Mama Linda katakan, kalau benar ibu peri ada kenapa tak datang pada saat papa ada. Kenapa Mama Linda tidak pernah melihatnya?”

Karena Sisi terus-terusan mendesak agar Mama Linda memercayai ceritanya, akhirnya ia dihukum tidak diberi makan hari itu. Ia sekolah tanpa sarapan pagi. Begitu pulang tiada makanan tersaji di meja. Bik Iyah diancam pecat kalau ketahuan mengasih makan Sisi. Perutnya mulai keroncongan. Perih. Ia tak berani mencuri makan, sebab Mama Linda selalu siaga di ruang tengah. Wajahnya pucat.

“Ibu peri jahat! Tak bawa makanan buatku. Kenapa tak bawa, ibu peri? Aku lapar sekali…” Sisi mengiba. “Kenapa wajah ibu peri tak ceria, kenapa?”

Ia mulai percaya omongan Mama Linda, kalau ibu peri memang jahat. Hanya tampak luar saja yang manis, lembut, dan cantik. Kini ia membuktikan wajah ibu peri bengis; jahat. Sisi hendak menghindar ketika ibu peri ingin mendekati dan hendak membelainya. Ia juga tak mau diajak mengobrol kala ibu peri mau menggerakkan bibirnya. Ia kian mengingsut ke tepi ranjang. Menepis tubuh ibu peri begitu ingin rebah di sisinya.

Sisi meracau. Ia terus-terusan menghardik dan mencaci ibu peri. Besok pagi di sekolah, ia berjanji tak akan bercerita tentang pertemuannya dengan ibu peri. Tak akan dia katakan bahwa ibu peri baik hati. Teman-temannya yang mulai terpengaruh karena ceritanya dan membuat ulah yang sama di rumahnya masing-masing, esok akan ia ceritakan kejahatan ibu peri.

Kini tubuh Sisi amat panas. Terdengar meracaunya. Ia mengusir ibu peri. Suaranya sampai ke kamar sebelah, kamar tidur Mama Linda. Segera Mama Linda menemui Sisi. Dari ambang pintu Mama Linda menyaksikan Sisi menggerak-gerakkan tangannya, seakan mengusir dan menolak. Tapi, Mama Linda tak melihat sesuatu pun di sana.

“Jangan-jangan ia bermimpi lagi didatangi ibu peri,” batinnya. Pelan-pelan Mama Linda mendekati Sisi. Memegangi tubuhnya. Anak itu terasa panas. Pucat. Ia segera teringat kalau seharian Sisi belum makan.

“Sisi, bangun. Bangun, nak!” kata Mama Linda. “Bik Iyah, sini cepat ambil sekalian makan di meja!” imbuhnya memanggil pembantu Bik Iyah.

Bik Iyah datang dengan sepiring nasi, ayam goreng, dan sop semangkuk. “Kasihan Sisi, dia lapar…”

Mama Linda cuma mengangguk.

“Seharian tak makan. Untung tidak pingsan,” lanjut Bik Iyah.

Mama Linda kembali mengangguk. Pelan. Ia menyesal telah menghukum Sisi seperti itu. Anak itu pasti tak tahan kelaparan. Tapi, apa boleh buat, hukuman sudah dijatuhkan. “Sudah bik jangan bicara terus. Saya menyesal. Tak akan lagi menghukum Sisi. Saya amat sayang padanya,” ucap Mama Linda pada bik Iyah. “Habisnya Sisi macam-macam ceritanya. Sudah saya bilang jangan cerita soal ibu peri, tak ada itu. Hanya dalam cerita, tapi Sisi selalu ngomong kalau ia baru didatangi ibu peri. Kan jadinya saya kesal…”

Kini bik Iyah giliran mengangguk. Segera ia menyerahkan makanan ke Mama Linda. Setelah itu menyodorkan air putih ke mulut Sisi.

Sisi memang mesti dihukum agar ia melupakan ibu peri yang katanya selalu mendatanginya. Kalau tidak, kasih sayang yang selama ini ia curahkan pada Sisi akan tersaingi oleh kehadiran ibu peri di dalam benak anak itu. Tidak. Mama Linda membatin. Biar pun Sisi bukan anak kandungnya, tapi sangat menyayanginya. Meski pun perkawinannya telah memasuki 4 tahun dengan papa Sisi dan ia belum juga dikaruniai anak, namun ketika ia memutuskan menikah dengan Hendrik—papa Sisi yang waktu itu duda—ia siap menerima Sisi sebagai anak sendiri. Ia juga siap dengan resiko apa pun tentang Sisi. Tidak terbersit sedikit pun niat dia untuk melukai hati maupun tubuh Sisi. Sampai menjelang tidur pun ia tak abai mendongeng. Apa saja. Dongeng kancil yang cerdik, raja hutan yang senantiasa dibohongi kancil, hewan berbelalai panjang yang bodoh, atau kisah lembu yang sombong akhirnya perutnya pecah. Juga dongeng ibu peri yang jahat.

“Tak benar, kalau ibu tiri selalu jahat. Anak tiri malah ada yang jahat sama ibunya. Anak yang baik tak boleh berbuat dosa pada ibunya, meski ia ibu tiri…” nasihat Mama Linda suatu kesempatan untuk menutup dongengnya.

Dongeng-dongeng yang diberikan Mama Linda itu, boleh jadi, yang terus membekas di benak Sisi. Lalu menjelma jadi keinginan, impian, dan kehendak bahwa ibu peri telah dan selalu datang. Setiap dia tidur. Suatu jelmaan Mama Linda? Entahlah.

“Mulai sekarang kamu harus melupakan ibu peri. Kau pasti bisa, asalkan punya kemauan…” pesan Mama Linda.

“Tapi, Mama Linda…” suara itu tercekat. Ia tak mampu melanjutkan ucapannya, karena bila ia teruskan bukan tak mungkin Mama Linda akan marah lagi. Memberi hukuman lebih berat lagi. Dihukum seharian tak diberi makan saja, ia sudah tak mampu. Dan hukuman itu sangat berat, karena ia belum pernah dihukum Mama Linda seberat itu. Dimarahi pun tidak.

Sebenarnya Sisi ingin mengatakan terus terang, kalau beberapa menit lalu ia kembali didatangi ibu peri. Tetapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya, kehadiran ibu peri kali ini tak bersahabat. Wajahnya tampak bengis, rambutnya acak-acakan, pandangannya menyeramkan. Ibu peri juga tak lagi membawa oleh-oleh. Ia pun kecewa. Itulah yang membuatnya meracau, memaki, dan mengusir ibu peri. Suara caciannya sampai terdengar ke kamar tidur Mama Linda. Sayangnya, ibu peri yang datang kali ini, mirip Mama Linda. Itu sebabnya, Sisi tak mampu membencinya. Mama Linda, meski ibu tiri, amat sayang padanya.

“Kalau ibu peri datang lagi dengan wajah cantik. Dan, bawa oleh-oleh, mama…?”

Entah apa yang ada di benak Mama Linda. Ia menepis jawaban yang hampir meluncur dari bibirnya. Bagaimana pun ia tetaplah ibu tiri bagi Sisi. Sulit menghapus kesan jahat dari dalam hati gadis bocah itu…


Lampung, 19 Maret 2004






6. Mudik


MUNGKIN sudah 25 tahun aku tidak mudik. Bahkan tradisi yang dilakukan banyak orang setahun sekali pada saat Idul Fitri, hampir-hampir sudah terlupakan. Entah mengapa aku tak tergiur saat menyaksikan tayangan di televisi atau berita di media cetak tentang mudik. Bagiku kampung kelahiran sudah terkubur bersama kekecewaan di dalamnya.

Jadi, setiap kali isteriku mengajak mudik ke kampung kelahiranku, setiap kali itu pula aku akan menolak mentah-mentah. Lebih baik aku pilih bertengkar dengan istriku ketimbang aku mengalah, lalu kami sekeluarga mudik. Untungnya, istriku kelahiran kota B ini, dari silsilah urban pula yang tak punya kampung kelahiran jelas. Artinya kedua orang tuanya, sama-sama besar di sini.

“Anggaplah kita tak punya kampung kelahiran. Tempat kelahiran di sini, di kota B ini,” kataku. Itulah alasan yang selalu kuutarakan setiap istriku mengajak mudik.

“Tidak bisa, Mas. Kau tetap punya kampung kelahiran. Apa kau tak rindu kembali mengenang saat-saat yang indah berlebaran di kampung? Aku yang kelahiran di kota ini saja, ingin sekali merasakan nikmatnya berlebaran di kampung. Apalagi menyeberangi laut. Aku yakin anak-anak kita pun akan bahagia,” ucap Mita, istriku yang tak bosan merayuku. Tapi, bagiku sekali mengatakan tidak akan sampai kapan pun tetap tidak.

Setahun sampai tiga tahun perkawinan kami, ia belum bosan mengajakku mudik begitu lebaran idul Fitri menjelang. Ada-ada saja cara Mita ingin menggoyahkan ketetapan hatiku. Misalnya, ia mengatakan, “Tenang saja Mas soal ongkos. Aku diam-diam menabung dari sebagian gajiku. Kalau perlu kita rental mobil. Kau juga dapat gaji 13 dari perusahaanmu…”

Aku tetap menolak. Aku tinggalkan Mita jika ia mulai panjang-lebar bicara tentang betapa rindunya amat besar pada kampung kelahiran. Kerinduan berlebaran di kampung, seperti teman-teman sekerjanya. “Aku kadang iri kalau mendengar teman-temanku di kantor bercerita soal mudik lebarannya,” katanya lagi.

Setiap habis liburan Lebaran Idul Fitri, Mita pulang akan membawa cerita teman-temannya. Memang, menurut Mita, mengasyikkan cerita mereka baik saat perjalanan mudik dan arus balik, atau saat di kampung masing-masing. Macam-macam cerita mereka. “Pokoknya cerita mereka itu soal suka dan duka selama mudik. Apa tidak mengasyikkan, Mas? Ah, kapan aku bisa seperti itu?”

“Sayang tak ada temanmu yang bercerita saat mudik kenderaannya bertabrakan lalu tewas!” kataku kesal.

“Husst, Mas ini mendoakan orang yang tak baik!”

“Habis ceritamu soal mudik saja…”

“Papa juga enggak pernah mudik. Coba kalau sekali mudik, pasti ketagihan!” Mimi, anak tertuaku yang kini berusia 12 tahun ikut membela ibunya.

“Kalau kecelakaan saat mudik sampai mati, mana mungkin bisa cerita lagi. Yang bermutu dong kalau omong, Mas…” Ketika bicara itu, aku sudah meninggalkan Mita dan Mimi yang masih duduk di ruang tamu.

Sejak itu istriku patah arang membujukku untuk mudik ke kampung kelahiranku. Maka bertahun-tahun meliwati Lebaran Idul Fitri, keluarga kami seperti penjaga rumah-rumah yang ditinggal penghuninya. Kebetulan kami tinggal di sebuah komplek perumahan elite, yang penghuninya adalah perantau tulen. Sehingga tradisi mudik telah berubah menjadi kewajiban setiap tahun. Meski untuk mudik, mereka harus meminjam di tempat kerja atau menggadai barang. Bahkan, tetanggaku harus bertangis-tangisan begitu kembali melihat isi rumahnya dikuras pencuri. Seorang tetanggaku di blok lain, rumahnya ludes terbakar saat dia mudik.

Tetapi, bukan karena soal itu aku tak mau mudik. Seperti yang selalu kukatakan pada Mita, kampung kelahiranku sudah terkubur. Sebagai masa lalu sudah tak ada lagi yang menarik untuk dikenang. Aku juga tak suka dengan hal-hal yang romantisme. Ah, tapi benarkah kampung kelahiranku tak memiliki kenangan. Kenangan yang manis? Aku katakan di sini: tidak ada. Bahkan setiap mengenang kampung kelahiranku, aku selalu seperti mengurai kenangan pahit dan perih.

*

AKU anak tertua dari lima bersaudara. Ayahku tidak punya pekerjaan tetap, lazimnya para orang tua di kampung sebagai petani. Sawah dan ladang milik orang tuaku yang tergadai di meja perjudian, akhirnya tak mampu dilunasi.

Ayahku kemudian kecewa. Ia menyangka Tuhan tak adil dan kejam sehingga meloroti seluruh miliknya. Kekecewan atas nasibnya, membuat Ayah menempuh hidup tak beraturan. Ia kerap pulang pagi dalam keadaan mabuk. Ayah juga memimpin berbagai pencurian dan perampokan di kota.

Ibuku tak berani melarang perilaku brutal ayah. Sebab, jangan coba-coba ibu menasihatinya, tangannya akan menghujam ke sekujur tubuh ibu. Selain itu, kalau ayah tidak berbuat seperti itu, dengan apa keluarga kami makan? Akhirnya ibu seperti menutup mata dan rasa. Itulah yang membuat tubuh ibuku lama-lama menjadi kurus dan mengidap paru-paru. Ibu diopname beberapa hari di rumah sakit sampai akhirnya tak bisa tertolong. Ibu dimakam tanpa dihadiri ayah yang berada di dalam penjara. Sungguh, sebagai anak tertua, aku benar-benar merasa terpukul.

Aku masih berusia 14 tahun wakti itu. Bayangkan pada seusia itu aku harus menentukan sikap harus melakukan apa untuk prosesi pemakanan ibu. Keluarga kami seperti dijauhi seluruh famili, baik dari garis ibu maupun ayah. Mereka seakan malu mempunyai saudara seorang bandit. O, betapa kecewa dan perihnya setiapkali mengingat itu. Untuk memandi dan mengapani ibu, akhirnya aku membayar petugas. Aku juga membayar penggali kubur, membayar para pemuda penganggur di kampungku untuk menggotong keranda ibu. Hanya saat menyalatkan jenazah ibu aku tak perlu mengeluarkan uang, karena seorang ustads yang kuakui amat baik di kampungku dengan ikhlas menjadi imam.

“Jangan, nak. Lebih baik uang itu untuk membayar penggali kubur saja,” kata ustads Hasan Nurdin ketika kusodorkan amplop ke tangannya. “Ini dari Bapak sekadar untuk tambah-tambah…” katanya lagi seraya memasukkan beberapa lembar puluhan ribu ke saku bajuku. Aku ingin menolak pemberiannya, tapi ustads Hasan makin memasukkan tangannya di kantongku.

Oh, apakah ustads Hasan Nurdin yang baik hati masih ada? Kalau ada kenangan yang indah di kampungku, tentu kenangan pada ustads itu. Terkadang aku mengira-ngira kalau ustads Hasan Nurdin masih hidup, tentu kini usianya sudah 70 tahun lebih. Jangutnya yang panjang sudah memutih semua kini. Tapi ia tak mungkin lagi mampu membersihkan dan menggelar sajadah di masjid setiap salat Jumat atau tarawih. Usia tuanya tak akan mampu lagi bekerja seberat itu. Aku berpikir.

Ustads Hasan Nurdin tak begitu banyak kuketahui. Ia datang ke kampungku tanpa membawa keluarga. Ia menempati ruang kecil di dalam masjid sebagai petugas masjid. Selain mengajar mengaji anak-anak—termasuk aku sewaktu kecil—ustads Hasan Nurdin punya keahlian membuat keset, sapu ijuk, alat pembersih kamat mandi dari ijuk, dan lain-lain. Hasil karya tangannya ia jual di pasar untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Usahanya itu terus menanjak hingga ustads Hasan Nurdin punya rumah sendiri. Meskipun ia tak lagi tinggal di dalam masjid, ia tak pernah terlambat membuka dan mengunci pintu masjid. Ia juga selalu siap lebih dulu di masjid, sebelum anak-anak yang mau belajar mengaji tiba. Ah, ah, apakah ia masih ada di kampungku kini?

Dua kenangan itulah yakni makam ibu dan kebaikan hati ustads Hasan Nurdin kalau boleh dibilang masih tersisa dalam benakku. Ayah? Aku tak pernah lagi punya kenangan. Kalau boleh ada lelaki di dunia ini yang tega membuat malu keluarga dan menyakiti istrinya, itulah ayahku. Kini ayah sudah berbini lagi selepas dari penjara dan ibu berada di liang lahat. Cuma kini ayah sudah tak lagi memimpin komplotan penjahat. Ia makan dari bininya yang kebetulan banyak ladang dan sebuah pabrik penggiling padi. Sejak ayah beristri lagi dengan janda kaya itu aku tinggalkan kampungku, keempat adikku, dan kenangan-kenangan pahit di sana. Usiaku 17 tahun ketika aku lari dari rumah. Dengan berpindah-pindah sebagai penumpang gelap, sampailah aku di kota B yang bercuaca sejuk ini.

Aku tak hendak mengulang sejarah ayah. Aku mesti bekerja kalau ingin bisa bertahan hidup, tapi aku juga tak ingin menjadi pelayan seumur hidup. Maka setengah hari aku bekerja, siangnya meneruskan SLTA di sekolah swasta, dan kulanjutkan bekerja di malam hari. Selesai SLTA kulanjutkan ke perguruan tinggi, mengambil fakultas teknik jurusan kimia. Rampung kuliah aku langsung diterima di perusahaan minuman. Di tempat aku bekerja inilah, aku berkenalan dengan Mita yang waktu itu sedang PKL.

(Maaf, aku terlalu berpanjang mengisahkan hidupku ini. Padahal, sungguh, aku tak bermaksud menulis biografiku. Baiknya, sebelum Anda bosan, aku tutup saja bagian ini…)

*

KAMPUNG kelahiranku tak begitu elok. Berada di sebelah utara dari provinsi L. Jalan masih banyak yang berbatu. Ada beberapa pabrik gula tebu di sana. Konon pabrik ini adalah milik keluarga presiden. Itu sebabnya, ratusan hektare tanah ulayat milik warga dibeli dengan harga amat sangat tak memadai. Di ujung ke utara dari kabupaten membentang sebuah sungai yang konon dulu pusatnya Kerajaan Tulangbawang[1] yang merupakan titisan darah Cina[2] yang menghubungkan Sumatera Selatan. Inilah kampungku, inilah asal aku berada, dan dari tanah ini pula aku membawa pergi kekecewaan dan keperihan hidup.

Apa yang bisa kubanggakan dari kampung kelahiranku seperti itu? Aku membatin, tak henti mempertanyakan apa yang menarik dari tanah kelahiranku.

“Tentu banyak. Banyak sekali. Hanya kau keburu apriori, menutup diri karena kecewa pada kehidupan pahit keluargamu semasa kau kanak-kanak,” kata Mita kembali. Ia mulai mengungkit lagi soal mudik saat lebaran Idul Fitri setelah bertahun-tahun kami telah lupakan. “Padahal selain kenangan pahit, masih ada banyak kenangan lain yang indah. Kenapa tidak kita ziarahi kembali kenangan yang indah itu? Sekalian kita kenalkan Mimi dan Mirna tentang kampung kelahiran papanya. Lucu kan kalau mereka dengan bangganya mengatakan ulun leppung [3], sementara mereka tidak pernah tahu di mana letaknya dan bagaimana geografisnya karena memang tak pernah mengunjunginya?”

“Pentingkah itu, Mita?”

“Untuk apa kita mengenal tapak tilas, Mas?”

Ya! Aku teringat kini pada pribahasa yang kerap diucapkan ustads Hasan Nurdin di teras mesji selesai mengaji: “Setinggi bangau terbang mengepakkan sayapnya, akan kembali juga ke kubangan. Artinya, sejauh-jauh kita merantau maka suatu saat pastilah akan kembali ke kampungnya. Meski bukan untuk menetap lama, setidaknya punya kerinduan menziarahi kampung yang telah melahirkannya.”

Kata ustads Hasan lagi, “Peribahasa itu untuk mengajarkan kita bahwa setiap manusia punya kerinduan pada kampung, pada tanah kelahirannya, pada kebudayaan ibunya. Terutama ketika kota-kota telah menjadi metropolis dan global, maka suasana kampung akan menggodanya…”

“Maksudmu??” Aku mulai terpancing.

“Bagaimana kalau lebaran tahun ini kita mudik? Aku siap yang membiayai, bagaimana?” Istriku terus melancarkan rayuannya. Kedua anakku ikut menyokong.

“Aku kini kalah. Kapan kita berangkat, besok malam?”

“Aku belum buat surat izin. Bagaimana H min 4 kita mudik?” Mita memberi usul.

Aku mengangguk. Tersenyum. “Tapi aku enggak setuju seluruh biaya kau yang tanggung,” kataku kemudian. Aku gengsi. “Memangnya aku tak begaji. Iya kan, Mim… Mir?”

Kedua anakku hanya tertawa.

“Tapi, mungkin rumahku di kampung sekarang sudah rubuh…”

“Kau kan masih punya ayah? Punya ibu tiri. Masih ada adik-adikmu. Soal tidur, tak usah dipkirkan. Kami siap tidur di mana saja, asal tidak di tanah lapang,” ujar Mita seraya melepaskan tawanya. Aku pun ikut tertawa. Di dalam hati aku berujar: tak akan setega itu aku akan menelantarkan anak dan istriku.

Ayah sudah sangat tua. Tubuhnya kini seperti hanya dilapisi tulang. Di sana-sani dipenuhi oleh garis-garis keriput, sebuah gambaran usianya yang mulai mengerucut. Tiada lagi tanda-tanda bahwa ayah pernah menjadi pimpinan komplotan penjahat. Bertubuh kekar, dan sekujur kulitnya penuh cakar bekas luka oleh sabetan golok atau pisau atau benda tumpul pihak keamanan dan lawan-lawannya. Kuyu. Bicaranya pun agak terbata. Namun demikian, pendengaran ayah masih tajam. Matanya masih awas. Oleh karena itu, ia masih cermat mencernak ucapan kami. Hanya sulit membalas karena bicaranya sudah tak jelas.

Istriku dan kedua anakku amat bahagia bertemu ayahku. Inilah pertemuan pertama kali mereka: seperti awal menyambung benang yang putus, balung yang tercerai. Terutama Mimi dan Mirna, akhirnya berpindah-pindah menginap di rumah ke empat adikku. Sedangkan Mita merasa betah mengurus ayah…

“Sekarang aku punya cerita di depan teman-temanku di kantor nanti. Aku tak lagi hanya sebagai pendengar bagaimana nikmatnya mudik. Sungguh, mas, aku puas. Aku bahagia sekali…” kata istriku begitu kami tiba lagi di rumah.

“Tapi, lebaran tahun depan kita tak perlu lagi mudik, kan?” aku menggodanya.

Mita tak menjawab. Tiba-tiba dari kedua matanya, kulihat ada cairan. “Ya… Tuhan sudah menggariskan, mudik kita itu adalah yang pertama dan terakhir. Tuhan telah menggerakkan hatiku untuk berbakti kepada ayah. Bukankah selama 13 tahun menjadi menantunya belum berbakti?”

Aku mengangguk tanda setuju. Aku pun bersyukur, sebagai anak tertua ayah saat ia mengembuskan napas terakhirnya justru berada di sisinya. Bahkan yang menuntun ayah mengucapkan asma Allah…

(kenangan bagi almarhum ayahku Zakirin Senet, ini sebagai ziarah dan doa)



Lampung, 1 Syawal 1424 H/25 November 2003





7. Rendezvous


“Kau yakin setelah ini, tak akan ada lagi pertemuan?”
“Lebih dari itu…”
“Kenapa bisa begitu? Tapi aku ingin kita bisa bertemu lagi.”
“Tidak. Ini yang pertama dan terakhir karena setelah itu kita tak saling mengenal.”
“Menyedihkan.”


BEGITULAH, pertemuan ini pun memang tak sengaja. Di sebuah kafe—tepatnya di sebuah tempat hiburan malam—di kota J. Perempuan kurus berambut sebahu, berkaus ketat yang di bagian perutnya agak terbuka, bercelana blue-jeans dengan lipstik berwarna menyala, tiba-tiba berada duduk di depanku. Satu meja. Ia agak gugup ketika spotligh menampar kami.

“Oh, kukira meja ini kosong,” katanya. “Maaf saya tak ingin mengganggumu. Saya juga tak ingin diusik,” sambungnya. Ia hendak bangkit. “Permisi. Saya ingin mencari tempat duduk lain. Yang kosong… Kau kan ingin suasana tenang.”

Aku mencegahnya.

“Jangan. Di sini pun kau tak mengganggumu. Aku juga berjanji tidak akan mengusik ketenanganmu,” kataku. Sungguh-sungguh. Mataku menatap wajahnya. Ia kembali duduk. Memesan sebotol minuman.

“Bill-nya sekalian sama saya,” pesan saya kepada pelayan. Perempuan di depanku tersenyum. Mengangguk. Menyampaikan terima kasih. Menenggak minumannya. Kulihat begitu serius, seperti orang sedang kehausan.

Setelah itu kami terdiam. Hampir satu jam lebih kami tak saling mengobrol. Aku duduk menghadap ke panggung. Penyanyi gimbal mirip Shania tengah menembangkan beberapa nomor hit. Beberapa pasang asyik berjoget. Ruang penuh asap. Samar kulihat di depan sana bagai segeronbolan ikan yang tengah berenang mengitari akuarium.

Kulihat perempuan kurus di depanku asyik menggoyangkan kepalanya. Hal sama kulakukan. Asbak yang ada di meja kami entah sudah menenggelamkan berapa batang rokok kami berdua. Tak ada percakapan di antara kami sepanjang satu jam lebih berlalu. Aku tak ceriwis seperti kebiasanku selama ini bila di hadapan perempuan. Ia pun (kutahu namanya Icha dari perkenalan tadi) sepertinya tak mau diganggu oleh percakapan yang cenderung basa-basi di tempat seperti ini.

“Saya malas ngobrol. Percakapan di tempat yang berisik seperti ini akan menghabiskan energi, dan kita menjadi tidak santai. Tetapi, kalau kau suka mengobrol, sebaiknya saya permisi dan mencari tempat lain,” katanya pertama kali bertemu. Mungkin juga percakapan ini sekadar basa-basi.

Aku mengangguk.

Wajah perempuan ini amat kuyu. Rambut yang dia biarkan tergerai sebahu terkesan amat kusut. Tak kulihat ada gairah dalam pancaran wajahnya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya pun terkesan lambat. Penuh perhitungan. Bahasanya tersusun rapi. Tangannya tak bergerak. Tiada ekspresi.

Baiklah. Kubiarkan ia membisu. Seperti juga ia biarkan aku untuk tidak memulainya mengajak bicara. Kami asyik dengan minuman masing-masing. Dengan rokok masing-masing. Mungkin pula dengan pikiran-pikiran sendiri. Entah bayangan masa lalu yang menggoda pikiran kami, atau malah sesungguhnya kami tidak sedang berpikir?

Entahlah. Yang jelas ini bukan pertama kali aku tempat ini. Bahkan hampir setiap akhir pekan aku menyempatkan waktu mencari hiburan di sini. Menyaksikan orang-orang berjoget, menikmati lantunan lagu dari sang penyanyi berambut gimbal itu. Terkadang menyaksikan pasangan yang kasmaran di dalam gumpalan asap rokok atau menyaksikan pasangan yang tengah menikmati ciuman bibir.

Tetapi, siapakah perempuan yang kini duduk di depanku, satu meja? Siapa perempuan kurus bernama Icha ini? Adakah ia sebagaimana perempuan-perempuan lain yang kerap mengunjungi tempat ini? Menemani minum pengunjung lalu mendapatkan tip puluhan ribu rupiah untuk beberapa jam? Ditambah tip lain jika diajak berkencan.

Icha. Nama yang bagus. Sangat pendek. Simpel. Seperti orangnya mungkin. Bahkan untuk bicara pun ia sangat ringkas. Mengatakan sesuatu setelah lama diam seperti berpikir, seperlunya. Icha seperti berhitung apa yang sudah dikatakan mestilah bermakna dan tidak sia-sia.

“Aduh… maaf. Saya tidak sengaja. Sebentar, saya panggilkan pelayan, biar dibersihkan meja ini. Saya ganti minumanmu ya? Kan saya yang menumpahkan?” Icha memohon. Segera ia memanggil pelayan. Meminta melap meja yang basah oleh minumanku yang tumpah karena tersentuh tangannya sewaktu hendak membuang abu rokok ke asbak.

Agak gugup, serbasalah. Dari wajahnya ia memohon sekali aku memaklumi kekhilafannya. Aku segera tersenyum. Mengangguk dan mengatakan kalau aku sudah memaafkannya.

“Tak masalah. Jangan jadi pikiran. Aku masih bisa menggantinya dengan minuman lain. Santai saja,” jawabku berkali-kali tersenyum. “Aku yang salah, kenapa gelasku kutaruk dekat asbak.”

Ia menggeleng. “Aku semberono. Tidak melihat di situ ada gelasmu. Biar aku ganti munimanmu yang tumpah,” katanya kemudian. Kemudian memesan kepada pelayan minta di isi minuman yang baru.

Kupikir ia sengaja menumpahkan isi gelasku. Dengan begitu ia bisa ganti membayarkan minumanku sebagai balasan aku tadi memasukkan pesan minumannya ke billku.

“Aku tahu, kau tak mau aku membayar minumanmu, kan?”

Menggeleng. “Tak juga. Saya berterima kasih, pemberianmu tadi tak akan pernah saya lupakan,” katanya. Serius. “Soal saya yang mengganti munimanmu ini, karena saya yang menumpahkannya. Jadi bukan karena soal balas budi…”

“Menarik…” aku mendesis.

Ia menatapku dalam. Suaraku yang sengaja pelan itu, tentu masih terdengar di telinganya. Terbukti ia merespon. “Kukira wajar. Tapi, memang saya tak biasa membawa-bawa kebaikan orang, sebab akan membuat saya tergantung,” ujar dia. “Ah, sudahlah tak begitu penting dipersoalkan. Santai saja…” ia menjawab.

“Mungkin. Tapi, ini hal yang aneh. Sungguh-sungguh membuatku terheran-heran!”

“Lo? Bukankah mengganti karena kesalahan kita adalah wajar?”

“Soalnya yang terjadi ini tak sengaja.”

“Apa pun sebabnya. Apalah namanya. Kesalahan mesti ditebus dengan bertanggung jawab. Di mana pun, karena apa pun, dan pada saat apa pun. Baik tidak sengaja, apalagi kalau karena disengaja.”

Aku benar-benar dibuatnya tidak mengerti. Aku pusing. Kuturunkan emosiku. Napasku kukembalikan ke normal kembali. Aku menoleh ke penyanyi gimbal berkulit sawo matang di panggung. Aku asyik kembali menyaksikan penampilan si gimbal yang atraktif itu. Goyangnya melebihi erotis Inul Darastita.



AKU benar-benar mulai melupakan Icha. Perempuan yang kuanggap misteri, yang sekejap perkenalan di sebuah tempat hiburan di kota J itu, benar-benar tak lagi kuetmukan sesudah itu. Icha seperti lesap ditelan bumi yang pikuk ini.

Beberapa kali aku datangi ulang tempat itu. Ingin tahu keberadaan Icha. Ah, tidak. Tepatnya aku ingin mengulang pertemuan dengannya. Jika aku bertemu dan sedikit saling sapa saja, maka gugurlah perkiraan dia bahwa setelah pertremuan malam itu “tak akan ada lagi pertemuan lain”. Dugaannya, pikirku, harus gugur karena memang tak ada alasan sama sekali.

“Nyatanya benar,” kataku pada Arman. “Icha memang tak lagi datang ke tempat itu, malam berikutnya. Sungguh-sungguh misterius!” lanjutku penasaran.

“Tapi, bisa saja dia memang bukan pengunjung tetap tempat hiburan itu. Ia hanya mampir, misalnya sekadar melepas penat…” jelas Arman. “Makanya, kau jangan selalu punya pikiran negatif bahwa setiap perempuan yang datang ke tempat hiburan adalah…”

“Sungguh aku tak berpikiran negatif padanya!” selaku. “Justru aku penasaran. Justru aku ingin tahu banyak ihwal dia.”

“Tepatnya, kau tertarik padanya?”

Aku gelagapan dituduh Arman demikian. Aku tak segera menjawab atau membela diri. Kupadangi wajah temanku itu, seperti ingin membaca pikirannya. Tetapi, tak juga ada jawaban tertulis di wajahny. Kosong.

“Entahlah…” kataku kemudian. “Apakah aku tertarik padanya, atau cuma ingin mengenalnya lebih dekat. Aku sendiri tak bisa membedakan antara tertarik dan keinginanku bertemu lagi padanya.”

“Kau boleh bilang apa saja. Yang jelas, kepenasaranmu ingib berjumpa lagi itu sudah menunjukkan bahwa kau merasa kehilangan. Ketika kau merasa kehilangan, berarti ada yang berkesan padamu saat bertemu pertama kali. Bukankah begitu?”

“Boleh jadi. Boleh jadi. Cuma aku sulit mengatakan kenapa aku berkesan padanya. Apa yang berkesan darinya sehingga aku begitu ingin bertemu lagi…” aku mengutarakan. Terus terang.

“Kau dapat alamatnya malam itu?”

“Boro-boro alamat. Kami mengobrol pun bisa dihitung dengan menit!” jawabku seperti menyesali diri kenapa waktu itu aku tak meminta kartu nama Icha, misalnya. Atau nomor hand phone-nya padahal kutahu dia memegang, bahkan berkali-kali menerima telepon. Inilah ketololanku, kenapa aku tak punya keberanian untuk terus mengajaknya mengobrol ataupun mencari sela untuk mengetahui nomor HP-nya.

“Itu suatu kesalahan besar yang telah kau lakukan!” tandas Arman. “Jelas-jelas ada perempuan duduk di depanmu, kau tak punya keberanian mengajaknya mengobrol.”

“Dia tidak mau diganggu. Tak ingin diusik. Alasannya ingin ketenangan…”

“Kau percaya ucapannya? Siapa tahu dia hanya basa-basi. Cuma mau mengujimu?”

“Entahlah.”

“Kau terlalu lugu!”

“Boleh jadi.”

“Jelas sekali!” Arman makin menegaskan. “Itu sebabnya kau terus-terusan menjadi lajang di usiamu ke-45 tahun!” kata Arman lagi sambil mengejekku. Ia pun tertawa. Mungkin menetertawai ketololanku.

“Sudahlah, kau jangan keenakan mengejekku. Aku memang tolol waktu itu, tidak meminta nomor HP-nya atau tahu di mana alamatnya,” kataku kemudian. “Mungkin aku terlalu jujur. Hanya kau jangan menyalahkan aku terus. Mungkin caraku seperti itu ada hikmah di baliknya…”

“Hikmah apa?” sergah Arman. “Buktinya kau kini menjadi penasaran. Mau tahu dan merasa kehilangan? Hikmah apa??”

“Mungkin bukan sekarang.”

“Tunggu 10 tahun lagi. Ingat kawan, waktu itu usiamu sudah 55 tahun. Sudah gaek!” Arman tertawa lagi. Menusuk hatiku.

“Baiklah… aku harus melupakannya. Dia benar kalau kami tak akan pernah bertemu lagi setelah malam itu,” kataku kemudian seperti benar-benar ingin membunuh kenangan bersama Icha. Di sebuah tempat hiburan. Di bulan Januari yang benderang.

“Itu lebih baik buatmu. Dari pada kau sakit?”

Aku tak menjawab. Kupikir Arman sudah keterlaluan mengejekku. Kalau kurespon, bisa-bisa kami malah bersitegang dan ujung-ujungnya berkelahi. Aku pulang dari rumah Arman. Sampai lebih tiga bulan aku tak lagi mendatanginya.



SUATU kesempatan aku diundang pertemuan di Kota Bintan, Tanjungpinang. Sebelum ke kota kecil itu, singgah dulu aku di Batam dua malam. Sebab keberangkatan ke Bintan akan bersama-sama peserta dari daerah lain. Ini kunjungan pertamaku ke pulau yang konon menyerupai Singapura atau Malaysia dalam hal kemajuan pembangunannya.

Arman pernah mengingatkan aku, jika aku mampir di Batam jangan lupakan mengunjungi tempat-tempat hiburan. “Kau akau menyesal seumur hidup!”

Ah, persetan Arman. Soalnya, aku ke mari bukan karena ingin bersenang-senang melainkan untuk suatu keperluan seminar. Di pundakku amanat masyarakat seni di daerahku. Aku mesti memresenterkan lagi usai pertemuan di sini di hapan teman-teman seniman daerahku. Maka malam pertama kulalui hanya duduk-duduk di lobi hotel berbintang tempatku bermalam. Aku enggan naik ke lantai 14: tempat hiburan.

“Enggak ke lantai 14?” ajak Ramon, seniman dari Batam yang sejak siang tadi menemaniku mengelilingi pulau ini sampai menyeberangi jembatan Barelang yang kini bisa menghubungi pulau Galang—pulau yang pernah dipilih manusia perahu dari Vietnam.

Aku menggeleng.

“Bener nih… enggak mau? Nyesel lo!” Ramon menggodaku. Aku tetap tak bergeming. “Oke-lah, aku temani kau di sini…”

Aku mengangguk. Kami pun mengobrol. Soal kesenian, juga soal Batam yang kudengar dari berbagai berita di surat kabar ataupun media televisi yang tak pernah sepi dengan berita kriminal, penjualan perempuan yang akan dipekerjakan sebagai pelacur atau tempat hiburan. Ramon menjawab setiap pertanyaanku. Ia memosisikan diri sebagai guide untuk kehadiranku di kotanya. Aku suka karena Ramon banyak tahu soal Batam sebab dia adalah wartawan untuk media cetak yang terbit di Batam. Dia juga seorang penyair yang baik.

“Hai Cha!” Ramon tiba-tiba berseru pada seorang perempuan yang baru masuk lobi. “Sini sebentar, aku kenalkan dengan temanku ini. Dia dari J…”

Sungguh. Darah yang mengalir di tubuhku seperti berhenti mendadak, begitu Ramon menyeru “Cha”. Segera perempuan beranama Icha yang pernah kujumpai di tempat hiburan di kotaku, seperti jelas membekas di benakku. Segera aku menoleh pada perempuan yang dipanggil Ramon.

Dan, seerrr, darahku seperti benar-benar berhenti mengalir. Lama kutatap perempuan yang kini mendekati kami. Meski rambutnya sudah dipotong sebahu, aku masih bisa menandainya dengan jelas. Tak salah lagi.

“Masih ingat denganku?” aku memberanikan diri. Kuyakin perempuan yang kini sudah berada di depanku adalah Icha.

“Siapa ya?” ia bertanya. Matanya tajam menghunjam wajahku. Ia benar-benar lupa denganku? Atau, jangan-jangan berpura-pura tak mengenalku?

“Aku Pinang. Pinang Armando!” kataku sambil menjabat tangannya. “Kita pernah bertemu, bahkan satu meja. Di tempat hiburan di J dulu. Kau masih ingat, kau pernah mengatakan: ‘Ini yang pertama dan terakhir karena setelah itu kita tak saling mengenal’ lalu kita pun memang tak bertemu lagi. Tetapi, nyatanya, kini kita bertemu…”

“Wah, aku benar-benar lupa…”

“Tentu. Tentu. Aku yakin itu. Sebab kau terlalu banyak bertemu pria lain dan mungkin singgah di banyak kota, setelah dari J.” Aku mulai kesal. Kupikir, ia amat sombong. Harus kubalas pula dengan keangkuhan.

“Maksudku bukan itu. Maksudku…”

“Kau pernah tinggal di J? Pernah, suatu malam yang tak beruntung, singgah di tempat hiburan. Namanuya Graha gading di J?” aku seperti hendak memutar ulang piringan memori di kepalanya.

“Ya… ya, pernah!” katanya bersemangat. “Sekali aku ke sana, suatu malam. Waktu itu tak sengaja aku duduk di meja yang di depanku seorang pria lebih dulu duduk. Tapi, waktu itu aku tak banyak bicara dengannya. Pikiranku lagi kusut. Cuma aku ingat kini, aku pernah menumpahkan air minumnya…”

“Tepat!” kataku lebih semangat. “Itulah aku. Aku, Pinang Armando. Cuma malam itu, aku belum sempat mengenalkan namaku. Aku hanya tahu namaku. Ya, hanya namamu. Alamatmu, nomor handphone-mu tak sempat kutanya…”

Berhenti sekejap.

“Kawan-kawanku akhirnya mengejekku. Kata mereka, itulah ketololanku yang amat besar. Tidak mengetahui alamat dan dan nomor telepon yang bisa menghubungimu,” kataku kemudia. “Tapi, sudahlah, sekarang kita bisa bertemu. Ngomong-ngomong sudah berama lama kau di sni? Dan mau ke mana?”

“Sudah enam bulan lebih. Aku mau ke lantai 14.”

“Oke kalau begitu,” Ramon mencairkan ketegangan kami. “Sekarang, kau mau kan ke lantai 14?”

Aku diam.

“Kau tak keberatan menemani kami?” Ramon bertanya pada Icha.
Icha menggeleng.

Di ruangan, seperti di Graha gading dulu, yang penuh oleh asap, kami pun satu meja. Ini kali tak kusia-siakan lagi pertemuan yang sangat mahal ini. Aku agresif mengajaknya mengobrol. Menanyakan banyak hal dan ihwal. Tidak seperti pertemuan pertama dulu, kini Icha sangat familiar. Tertawa. Kadang tawanya berderai.

Ia juga bercerita kenapa ia sampai terdampar di Batam. Katanya, sejak ia bekerja sebagai peneman tamu di Graha Gading yang hanya sebulan, ia diajak temannya ke Batam. “Sejak tempat hiburan itu diporakporanda oleh sekelompok ormas, tempat itu akhirnya tutup. Saya trauma karena malam itu nyaris saya diseret dan dipancung. Untungnya, saya bisa lari dan bersembunyi di toilet. Ah, saya enggak berani mengenangnya lagi. Takut…”

“Di sini kau aman?”

“Setidaknya sampai malam ini,” katanya pelan.

“Bagaimana kau bisa mengenal Ramon?”

“Dia sering ke tempat ini. Dia juga banyak membantu saya…”

“Membantu?” tanyaku tak mengerti.

“Jangan curiga dulu, sobat. Maksud Icha, aku sesekali mengantarya pulang selesai dia bekerja. Kebetulan tempat kos Icha satu arah ke rumahku,” Ramon segera menjelaskan.

Aku mengangguk. “Kalau begitu, apakah setelah pertemuan masih ada pertemuan lain antara kita?”

Entah kenapa, kali ini Icha ragu menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Dan, anggukan kepalanya itu, sudah cukup bagiku untuk mengabarkan pada Arman tentang kegagahanku. Setidaknya, Arman tak lagi mengejekku: “Tolol!”


Lampung, 10-24 November 2003





8. Surat dari Ibu


“INI permintaan ibu terakhir. Kamu harus pulang, berlebaran di kampung. Ibu sangat kangen.”

Surat dari ibu yang singkat sekali itu kuterima 10 hari menjelang lebaran Idul Fitri kemarin. Surat itu dialamatkan ibu pada Kak Mirna, kakak perempuanku tertua. Sengaja ibu tak langsung mengirim ke rumahku, karena akan segera kubuang.

“Ibu sekarang sudah berubah, Yan. Tidak seperti dulu lagi,” kata Kak Mirna sambil menyodorkan surat ibu kepadaku. “Ibu sudah tua, kangen sekali pada anak-anakmu. Kalau kau tak keberatan, bisa pulangnya bersamaku.”

Aku tak merespon ucapan Kak Mirna. Kuulang surat ibu yang memang tidak begitu baik tulisannya, karena ibu hanya sekolah SR pada zaman penjajahan. Dalam hati, aku bertanya-tanya: benarkah ibu sekarang sudah berubah? Mau menerima kehadiranku bersama istri dan tiga anakku?

Kalau aku mengingat kembali bagaimana dulu ibu mengusirku dari rumah karena memilih Fransischa menjadi istriku, tentu betapa sakitnya perasaanku. Ibu dengan sangat berang melempar ke luar rumah seluruh pakaianku. “Kau bleh keluar dari rumah ini. Pakaianmu bawa semua. Ibu sudah ikhlas menganggapmu tak ada lagi dunia ini. Pergi sana dan bawa istrimu!”

Aku berulang-ulang memohon pada ibu untuk tidak mengucapkan sumpah itu. Menenangkan hati ibu dengan menjelaskan bahwa Fra adalah perempuan terbaik yang kukenal, dan sudah tekadku untuk menjadikannya ibu dari anak-anakku kelak. Namun tetap saja hati ibu tidak luluh. Ayah hanya termangu di kursi, ia tak mampu berbuat apa-apa. Sebab, ibu melabrak setiap orang di rumah kami yang berani membelaku.

Akhirnya impian menikmati bulan madu dengan Fra di rumahku yang terbilang besar, tinggal angan-angan. Aku memeluk Fra dan menenteng barang-barang yang hanya dibungkus dengan kain meninggalkan rumahku. Sekali lagi kupandangi wajah ibu, dnegan harapan ibu akan memanggilku kembali. Namun, ah, itu tidak terjadi. Wajah ibu yang tetap menebarkan permusuhan mengiringi kepergianku.

Aku pergi dari rumah dan tak pernah kembali sampai puluhan tahun. Awalnya, setiap lebaran Idul Fitri, kerinduan merebahkan wajahku di lutut ibu selalu menderaku. Sampai-sampai hingga tahun ketiga aku tak pulang, membuatku sakit. Ya, setiap Idul Fitri tiba badanku selalu panas. Terbayang wajah ibu yang selalu tersenyum menerima sungkem kami: kak Mirna dan aku susai salat Idul Fitri. Selepas tahun ketiga itu, aku mulai kuat menerima kenyataan ini. Mungkin ini bagian dari hidupku, dibuang oleh ibu.

Kadang aku berpikir mengapa ibu begitu membenci Fransischa. Padahal, sebagai perempuan Fra juga merindukan hidup berumah tangga. Punya suami, mencintai dan dicintai oleh lelaki. Ini juga impian-impian memiliki anak dari keturunan yang baik dan sah. Aku tak habis pikir kenapa ibu bisa begitu? Apakah karena kehidupan Fra yang diketahui ibu tidak jelas?

Ya kuakui, Fra adalah perempuan yang sangat bebas. Perempuan malam, begitu ibu selalu menyebutnya, apa yang bisa diharapkan darinya untuk menata rumah tangga? Jangan-jangan saat aku tak di rumah, Fra akan kembali ke dunia malamnya. Bercengkerama dan bukan tidak mungkin akan berselingkuh dengan lelaki lain. Kekhawatiran itulah yang membuat ibu menolak ketika aku mengutarakan hendak menikahi Fra.

“Mencari jodoh itu harus jelas dulu bibit, bobot, dan bobotnya. Nah, kita sudah tahu bagaimana keluarganya? Bagaimana perempuan itu di luar rumah?” tandas ibu sebulan sebelum aku memperistri Fra. “Dia sudah sama saja dengan pelacur. Kau tahu itu, Yan! Pelacur! Kalau kau tetap memilih dia, lebih baik kau pergi dari rumah. Ibu tidak akan rela sampai ibu mati!”

Ya, ampun! Ibu sudah bersumpah demikian? Sungguh kalau saja aku punya kekuatan untuk menghentikan mulut ibu, rasanya akan kuhambat sumpah ibu itu agar tidak keburu terucap. Sayangnya aku tak punya kemampuan, ayah juga tak berbuat sesuatu, kak Mirna tidak berani membelaku.

“Dulu kakakmu membuat ibu susah, sekarang kamu lagi yang menyakiti hati ibu! Kamu lihat rumah tangga kakakmu, karena tidak menuruti nasihat ibu akhirnya berantakan. Kakakmu menjanda…”

“Siapa yang menyusahkan ibu, siapa yang menyakiti hati ibu? Selama hidup, saya tak pernah melukai hati ibu. Kalau rumah tangga kak Mirna berantakan, ingat ibu, bukan karena kak Mirna mengikuti atau menolak nasihat ibu. Tetapi semata takdir sudah menggariskan begitu,” jawabku mencoba mengingatkan cara pikir ibu. “Lagi pula, tak lama lagi kak Mirna akan kembali menikah lalu dibawa suaminya ke Semarang.”

“Ah, kau tahu apa soal takdir! Ingat rido Allah karena rido. Kalau ibu tidak ikhlas, pasti jalan hidupmu tidak selamat. Camkan itu…” ibu tak mau mengalah.

Aku diam. Kalau kutentang terus, pastilah ibu akan marah. Dan, aku tak hendak emosi ibu makin memuncak. Kupikir aku harus cari cara lain untuk meluluhkan kegarangan hati ibu. Sayangnya, tetap saja tak kudapatkan cara itu. Sampai aku bertekad menikahi Fransischa tanpa dihadiri oleh ibu dan ayah.

Waktu itu aku yakin ibu salah. Keridoan yang mana dari seorang ibu yang bisa menyelamatkan nasib anaknya. Dan ketakkeihlasan seorang ibu yang bagaimana bisa membuat anak tak selamat. Apakah karena kebencian ibu pada Fra lalu kutentang, dan ibu menyumpahiku tak selamat berarti kehidupanku nantinya bakal tak selamat? Bukankah aku tak pernah berlaku kasar pada ibu? Aku tetap menyayanginya, berkata santun dalam hal-hal lain menyangkut moralitasku sebagai anak.

Dam, surat yang dianggap ibu terakhir yang baru kuterima dari kak Mirna, adalah surat ibu yang keempat. Sekali pada liburan panjang sekolah, sekali saat ayah meninggal, dan dua kali saat menjelang Idul Fitri seperti ini. Sewaktu ayah meninggal, ingin aku pulang dan memakamkannya. Fra berulang-ulang memohonku untuk segera melihat pemakaman ayah, namun kutolak segera begitu terbayang wajah ibu saat mengusirku dari rumah.

“Tidak. Aku ingin memberi pelajaran ibu juga. Ibu harus merasakan kesepian yang sama ketika ia ditinggal suaminya, seperti kesepianku diusir dari depan ibu!” aku menegaskan. Wajahku memerah. Fra kemudian tak berani lagi membujukku. Ia khawatir aku akan berang padanya.

Surat-surat ibu kemudian tak pernah kugubris. Selesai membaca lalu kurobek sampai kecil dan kulempar di sembarang tempat. Juga pesan-pesan yang disampaikan kak Mirna sepulang ia berlebaran di kampung, tak pernah lagi kurespon. Masuk dari kuping kiri dan keluar di kuping kanan. Aku malah lebih suka mengalihkan pembicaraan soal perjalanan mudik yang melelahkan sekaligus mengasyikkan, seperti kulihat dalam tayangan televisi.

“Harusnya kau yang menunjukkan pada ibu kalau kau adalah anak yang baik. Bukan malah kau yang kini membenci ibu. Bagaimana pun ia tetap ibu kita, seburuk apa pun. Ibu yang melahirkan kita bahkan mungkin harus bersahabat dengan maut, jadi tanpa ibu tak mungkin kita seperti ini…” kak Mirna mengusik lamunanku, setelah beberapa lama dicekam hening.

“Aku tak membenci ibu, aku tetap mendoakan ibu setiap salat. Hanya aku tak mau lagi menjumpai ibu, aku kadung kecewa setiap mengingat bagaimana dulu aku diusir dari rumah. Wajah ibu, wajah ibu, kakak bisa ingat dulu begitu berang dan sangat membenciku dan Fra…” kataku dengan terisak.

“Itu dulu, tapi sekarang ibu benar-benar sudah berubah. Ibu kangen sekali dengan Fra dan kedua anakmu,” jelas kak Mirna. “Ibu rindu mememeluk cucu… Kau tahu sendiri, kakak tidak punya anak,” imbuhnya pelan. Kak Mirna memang belum dikaruniai anak, baik dari perkawinannya yang pertama ataupun yang kedua ini.

Sekejap aku termenung. “Nanti kupikirkan, tidak sekarang…” kataku kemudian.

Kak Mirna mengangguk. Tersenyum. Ia kemudian pamit pulang.

*

AKU memang pulang tiga hari menjelang Idul Fitri. Tapi tidak bersama Kak Mirna dan suaminya. Sampai di rumah persis azan maghrib berkumandang. Segera aku menuju masjid di dekat rumahku, setelah kupecahkan puasaku dengan hanya menenggak air minum. Jamaah masjid memperhatikan kehadiranku, di antaranya malah ada yang bertanya-tanya. Mereka yang tak mengenalku, pasti warga baru atau generasi muda. Sedangkan warga yang tua masih mengenaliku.

Aku tak langsung ke rumah seusai salat maghrib. Kusambung dengan salat sunah dua rakaat, setelah itu ikut mengumandangkan takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih berjamaaah di masjid. Aku berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa dengan kehadiranku. Aku harap surat dari ibu itu benar-benar karena ibu sudah berubah dan kangen. Fra dan kedua anakku juga seperti tak berani masuk ke rumahku. Mereka menungguku di depan masjid.

Kak Mirna sudah menanti di depan pintu. Aku yakin dia tahu kalau aku sudah tiba. Karena ia sangat mengenali mobilku yang kuparkir di depan masjid. Tapi mana mas Tri, tidak kulihat? Suara mobilku memasuki halaman rumah, membuat ibu berdiri dan melangkah mendekati kak Mirna. Kulihat ibu tersenyum. Kulihat wajah ibu makin tampak tua.
“Kapan sampai kak?” tanyaku setelah mengucapkan salam, lalu menyalami tanga kak Mirna.

“Kemarin siang, dengan pesawat pertama.”

Kudekati ibu. Kuambil tangannya. Kucium sehabis-habis kangenku. Ibu memelukku. Menangis sejadi-jadi. Ibu berbisik di telingaku, meminta maaf atas kesalahan yang dulu. Aku balik meminta restu ibu. “Ibu sudah merestui kalian, nak. Ibu menyayangi kalian. Mana Fra, manaka anak-anakmu…” ujar ibu sambil mengibas-ibaskan tangannya hendak merangkul.

“Ibu sudah tidak bisa melihat lagi. Karena diabates…” bisik kak Mirna. Aku tergagap, kupandangi wajah ibu kemudian kak Mirna. Mataku menghunjam kak Mirna. Aku ingin memarahi kak Mirna, kenapa ia tak pernah menceritakan perihal ibu. Tapi urung. Aku khawatir akan berbalik kak Mirna justru yang memasarihiku. Soalnya, aku selalu mengelak setiap kak Mirna ingin bercerita ihwal ibu.

“Benar. Ibu sudah tak bisa melihat lagi, sudah dua tahun ini,” ibu membenarkan. “Ibu menyesal tak bisa memandangi lagi wajah Fra yang cantik. Juga cucu-cucuku yang tentu tak kalah cantik dengan mamanya…”

“Ibu tak boleh menyesal, sudah digariskan Allah kalau ibu harus begini,” kataku. “Ibu kan masih bisa meraba menantu dan cucu ibu. Kami tetap bisa merasakan getar kasihsayang ibu.”

“Benar, ibu,” sahut Fransischa.

“Ya, Nek,” sambut kedua anakku hampir bersamaan.

“Dan, kasih sayang ibu itulah yang selalu kami rindukan,” timpalku.

Ibu mengembangkan senyumnya untuk kami. Kulihat dari bola mata ibu yang kini terasa kosong itu, tetesan air mengalir. Senyum dan tangis ibu seakan menghujam batinku, menoreh kembali kehangatan yang lama pernah hilang.*


Lampung, 3 Syawal 1424 H/27 November 2003




9. Pembunuh


AKU baru saja membunuh. Seorang lelaki kekar penuh tato di kedua tangannya hingga pergelangan, kini tak tak bernapas lagi. Ini pertama kali dalam hidupku jadi pembunuh. Kini mayatnya tengah kubawa. Aku belum berpikir apakah jasad lelaki yang kubopong ini akan kuserahkan sekaligus aku menyerahkan diri di Kepolisian. Atau kuserahkan ke petugas UGD rumah sakit di kota ini, dengan alasan korban kutemukan di ilalang dalam genangan lumpur.

Aku melangkah payah menyibak ilalang. Berat mengangkat kakiku dari kubangan lumpur. Ditambah beban tubuh lelaki yang telah menjadi mayat yang kubopong. Langkahku lambat. Keringat mengucur deras di seluruh tubuhku. Dadaku berdegup. Masih kugenggam belati yang penuh darahku dan darah dari korban ini.

Matahari baru menyembul dari balik rimbunan pohon pisang di sebelah Timur. Sebentar lagi orang akan banyak meliwati tempat ini. Aku tak ingin ditanya ini dan itu perihal mayat yang kini ada dalam gendonganku. Orang hanya bisa bertanya, tak pernah memberikan solusi. Malah karena pertanyaan mereka bisa-bisa aku menjadi emosi, lalu membunuh lagi: satu atau dua orang. Hukuman buatku akan menjadi berat.

Pakaianku sudah bercampur darah dan lumpur. Wajahku berpupur tanah becek dan sedikit percikan darah. Sebilah pisau yang kini membeku dalam genggamanku seakan ingin berkata: “Lunas sudah apa yang ditakdirkan padaku, titah tugas kepadaku. Kini tinggal kalian yang menentukan makna sebilah pisau…”

Sekonyong-konyong aku membenci belati di tanganku ini. Kupandangi kilatan tajam di tubuh pisau itu. Pisau yang tanpa mata dan bibir ini telah sukses memengaruhiku, menggodaku untuk menusukkan matanya yang tajam ke perut orang! Mengapa kau diciptakan untuk melukai dan menghabisi nyawa orang? Tidakkah cukup tugasmu hanya untuk mengiris bawang, tomat, kentang, wortel, atau kue ulang tahun? Kini kau telah memerangkapku.

Karena kebencianku, baru saja pisau itu hendak kulempar ke kubangan lumpur. Kemudian kutenggelamkan hingga tak ada yang bisa melihatnya. Terbayang aku pada kelicikkan Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung untuk memperistri Ken Dedes yang cantik. Keris yang tak saja memakan tuannya tetapi juga merebut istri Tunggul Ametung itu, kini menjadi sejarah liciknya Ken Arok.

Mungkin ada kemiripan peristiwa Ken Arok--Tunggul Ametung dengan peristiwaku kini. Pisau yang telah menyelesaikan hidup lelaki kekar ini adalah miliknya. Dalam perkelahian seru di pagi buta tadi, aku mampu merebut belati dari tangannya kemudian kuhunjamkan berkali-kali ke perut, dada kiri, leher, dan tepat di kelaminnya.

Setelah pisau itu membuat satu lubang di tanganku. Aku bagai banteng ketaton. Tak hanya menyeruduk dengan berbagai tinju ke tubuh lelaki itu, tapi menendang, ginkang, dan sekali sambar aku berhasil merebut pisau dari tangannya. Lalu bagai elang menyambar ikan di tengah laut, kuhunjamkan belati itu berkali-kali ke tubuhnya. Ia mengerang. Mundur beberapa langkah. Setelah itu rebah. Aku belum puas. Kutancapkan sekali lagi ke batang penisnya.

“Akulah Ken Arok…” aku seperti berteriak. Wajah lelaki licik dalam sejarah kerajaan di Tanah Jawa itu tiba-tiba membayang dekat dalam ingatanku. Aku tak mampu menghapus sejarah yang sudah begitu melekat di otakku sejak aku di bangku sekolah.

Inilah sejarah yang membuat banyak manusia melakukan pengkhianatan kepada raja. Sejarah perebutan tahta dan wanita, yang berakhir dengan kematian dan tercela. Sejarah turun-temurun sejak Kabil dan Habil, manusia pertama yang melakukan pertumpahan darah di muka bumi ini. Dan, sejarah akan terus berulang. Terus berulang…

Teringatlah aku pada Muso, Aidit, dan seterusnya. Para pemberontak, ah tepatnya pengkhianat pada negara itu, telah menghabisi para jenderal dan mayatnya dilempar ke sumur di Lubang Buaya. Lalu masih banyak lagi. Seperti Ken Arok yang menjelma dalam diri orang-orang, hambasahaya, karyawan, atau pun pejabat sendiri.

Wahai Ken Arok, telah masuk ruhmu
ke dalam tubuhku di pagi buta ini
Ia telah tertanam lama
sejak sejarah mengajarkan kelicikkan
dan pengkhianan

*

TAPI aku bukan Ken Arok. Aku tak membunuh lelaki kekar ini, hanya karena menginginkan isterinya. Tetapi kami memang pernah melakukan perselingkuhan. Hanya sekali. Setahun lalu. Itu pun tak kusengaja. Istrinya yang mulai menggodaku, ketika kami berpapasan di sebuah mal yang baru dibangun di kota kami.

Lalu berkenalan. Saling memberi nomor kontak. Ternyata aku lupa menulis nomor untuk menghubunginya itu di bekas nota pembelian. Sesampai di motor, nota itu kulipat-lkipat dan kubuang bersamaan karcis parkir. Aku tak bisa menghubunginya. Otakku yang tak begitu baik, tak mungkin mudah mengingat nomor yang panjang itu. Perempuan itu menguap bersamaan pikiran-pikiran dan kesibukanku yang lain.

Pada hari keenam, perempuan itu menelepon ke hand phone-ku. Pertama-tama, tentu saja, menanyai kabarku dan memintaku kembali mengingatnya. Aku katakan kabar baikku dan masih ingat saat pertemuan kami di mal. Kemudian ia mengajakku jalan. Makan di sebuah kafe yang biasa dikunjungi para remaja. Kukatakan risih, seperti remaja begitu. Dia bilang ada tempat khusus bagi orang dewasa di kafe itu. ya, kupikir apa salahnya, cuma makan.

Ternya bukan hanya makan. Dia kemudian mengajakku jalan-jalan, sampai sore dan bahkan menjelang malam. Aku khawatir kemalaman, ia akan didamprat suaminya. Tetapi ia tenang menjawab: “Suamiku lagi di luar kota…” Aku serbasalah.

Itulah petaka bagiku. Suaminya tahu entah dari mana, lalu memburuku berhari-hari hingga berminggu dan berbulan-bulan. Sampailah lelaki kekar itu menemuiku di jalan dan menarikku naik ke mobilnya. Aku dibawa ke pematang ilalang berlumpur ini. Mengajak duel. Mulanya aku menolak. Ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik dan kekeluargaan. Ia tetap mengajakku duel. Tangan kosong.

Kulayani tantangannya. Kami duel habis-habisan. Di pagi buta itu. Ia terdesak. Dadanya sesak setelah tendanganku mendarat di dadanya. Dia oleng. Segera ia mencabut belati dari balik bajunya. Mengacung-acungkan ke wajahku. Secepatnya aku mengelak. Tak ayal, tanganku terkena. Tertancap ujung pisau yang tajam itu. Aku mengerang. Mulailah banteng ketaton keluar dari kandang. Meradang. Menerjang. Menyambar pisau miliknya, dan sekali bergerak dua tiga hunjaman pisau mengenai tubuhnya. Kini giliran dia yang mengerang. Hingga ia rebah bersimbah darah. Mati di tempat. Baru sadar setelah melihat lelaki itu tak bernyawa lagi, bahwa aku telah menjadi pembunuh. Di pagi buta ini.

Aku diserbu kegusaran. Pikiranku kacau. Suaraku parau. Mataku mulai nanar menatap sekelilingku menjadi samar. Berselimut kabut. Bagai kapas luruh memenuhi pematang berlumpur ini. Segalanya serbaputih. Akan tetapi, hatiku kelam. Semula akan kubiarkan tubuh tak bernyawa lagi itu. Di lumpur itu. Langkahku mulai bergerak. Tiba-tiba rasa kemanusiaanku timbul. Kuangkat tubuhnya. Kuambil pisau yang tadi telah kutenggelamkan ke dalam lumpur. Ini sejarah, pikirku.

Begitulah, seperti yang telah kuceritakan sebelum ini. Aku membopong tubuh kaku itu. Entah mau ke mana. Belum terpikir. Kantor Polisi masih jauh. Juga rumah sakit terlalu jauh dari tempat ini. Belum ada orang yang mengetahui peristiwa ini. Aku melangkah dengan payah keluar dari kubangan ini, dari ilalang yang menghadang. Langkahku gontai. Pikiranku sangsai.

Cukup lama aku bertarung untuk sampai ke tepi jalan. Jatuh bangun aku supaya bisa keluar dari kubangan lumpur dan jeratan ilalang, untuk sampai ke tepi jalan. Kunaikkan tubuh yang sudah kaku itu ke atas mobil. Kubawa mengeliling kota. Tidak menuju pos kepolisian atau rumah sakit. Tidak pula menuju rumah istrinya. Tiada pula mampir ke rumahku. Sudah bermil-mil perjalananku. Bensin sudah beberapa kali kuisi kembali.

Kubawa tubuh tak bernyawa itu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Aku kehilangan ingatan bagaimana cara mengubur manusia. Habil dan Kabil lesap dari benakku. Dalam buku sejarah pun, tidak dikisahkan bagaimana Ken Arok mengubur Tunggul Ametung dan mengawini Kan Dedes. Sejarah hanya menulis pembunuhan itu dari keris bikinan Empu Sendok. Hanya itu. Guru tak banyak membumbui sejarah itu agar lebih sedap didengar. Para pendidik terlalu takut berakrobatik mengisahkan kembali sejarah dengan cara dan gayanya. Aku maklum. Para guru memang mengajarkan apa yang pernah diajarkan dan diterimanya. Tak berani memberi fantasi baru sejarah yang telah didapatnya.

Aku ingin mengarang kisah pembunuhan ini. Aku harus membuatnya semenarik dan sesedap mungkin. Sehingga kepolisian akan berdecak-decak kagum saat mendengar penuturanku. Pihak rumah sakit pun akan terbata-bata saat aku menuturkan kisah ini, sampai tak terasa dia sudah selesai mengaotopsi mayat lelaki kekar ini.

Aku harus mulai dari mana? Aku mulai mereka-reka bangunan cerita. Membuat anatomi kisah. Apakah dimulai dari pembunuhan, kemudian plashback ke pertemuan awalku dengan perempuan yang kuketahui kemudian adalah istri dari lelaki ini. Atau kumulai dari kehidupan rumah tangga mereka, lalu ke pertemuan dan perselingkuhan kami di sebuah kafe? Ah, aku jadi bingung.

Pengalaman mengarangku di sekolah amat buruk. Nilai pelajaran bahasa Indonesiaku tidak bisa membanggakanku. Aku juga tak terbiasa membaca karya-karya prosa. Bahkan aku tak menyukai karya sastra. Kupikir para sastrawan hanya merangkai kebohongan-kebohongan. Dusta yang diklaim menjadi kebenaran. Bagaimana mungkin airmata bisa jadi menenggelamkan banyak orang? Bagaimana bisa soal kalung yang ditelan pencopet lalu disuruh mengeluarkan dengan memaksa harus berak. Lalu kalung itu keluar dan dengan penuh tahi ditelan kebali. Bukankah itu memamerkan hal-hal yang menjijikkan. Apa mungkin manusia bisa ditanam di tengah hujan, atau lembu ada di dasar laut? Terlalu mengada-ada. Tak bisa diterima oleh pikiranku yang hanya berpikir konvensional ini?

Akhirnya aku gagal membuat karangan, semenarik dan sesedap yang kubayangkan. Berlembar-lembar kertas—bahkan sudah tiga rim—habis kubuang di sembarang, namun tak juga ada kalimat di sana. Kecuali barisan huruf yang baru menjadi satu kalimat. Selebihnya putih atau coret-coretan.

Kujalani mobil. Entah ke mana. Kutembus malam buta penuh kabut, di lereng puncak yang berliku-liku. Kuikuti arah kehendak perasaan. Lebih dari 100 kelokan sudah kulalui. Seperti tiada batas akhir. Terus mendaki dan mendaki, tapi tak juga kulihat tanda-tanda akhir perjalananku.

Kutengok tubuh tak bernyawa yang sudah sangat kaku, yang kuletakkan di kursi belakang. Seperti orang tertidur karena lelah. Aku berpikir. Lelaki itu sudah jadi pecundang. Wajahnya yang seram, tubuh kekar, penuh tato yang membuat orang ketakutan, kini tak lagi bisa berbuat apa-apa. Akan kubuang di mana pun ia tak bisa lagi menolak. Akan kulempar ke jurang, dia akan pasrah mengikutinya. Kucincang tubuhnya menjadi potongan 13 atau 100, tak juga akan meradang. Dia telah diam. Diam untuk selamanya.

Aku memacu mobil milik lelaki kekar ini. Menyusuri lereng berliku entah berapa kelokan. Sudah sulit kuhitung dengan jari-jariku yang cuma ada 10. Aku hanya bisa menghapal sampai 100 kelokan, setelah itu lupa. Kupegang erat setir agar tak tergelincir masuk jurang yang kedalamannya sangat curam. Kupacu gas mobil ini sekencang mungkin. Aku ingin sampai di batas puncak dari jalan ini. Kuyakini setiap langkah ada ujung, setiap jalan ada batas akhir.

Cuma sampai sejauh ini aku belum menemui rambu-rambu. Mobilku seperti terbang di ketinggian paling tinggi. Melebih puncak Ciloto di Jabar atau kelok 50 menuju Bukittinggi. Ah, aku jadi bimbang. Hatiku gamang. Jangan-jangan aku tak pernah menemui akhir perjalananku ini. Tak memeroleh puncak dari segala puncak yang kulalui ini. Dan, aku terus mendaki. Dengan mobil yang kini mulai menunjukkan bensin yang nyaris habis. Aku menepi untuk mengisi bensin terakhir dari derijen satu-satunya yang kubawa. Sehabis ini, dan perjalanan belum sampai, tamatlah pengembaraanku bersama mayat lelaki kekar itu.

Aku kembali memacu mobil biar secepatnya sampai di batas puncak, akhir dari perjalananku berwaktu-waktu. Setelah itu, mungkin akan kulempar mayat lelaki ini ke bawah, ke dalam jurang yang sangat curam itu. Kubayangkan tubuh tak bernyawa itu akan melayang. Seperti gantole atau olahragawan yang terjun ke jurang dengan kedua kakinya terikat. Ia akan melayang-layang hingga kemudian menyentuh air. Ia akan terbang bagai kupu-kupu untuk kemudian singgah dan menyentuh tanah.

Tetapi kapan waktu itu bisa kumulai? Aku masih terus mendaki. Berliku dan entah sudah berapa kelokan lagi telah kutempuh sesudah kuisi bensin tadi. Tak ada kenderaan lain. Tiada kampung di pinggir jalan. Tiada orang yang akan meladang atau pulang. Tiada kutemui satu manusia pun. Juga hewan baik yang melata maupun yang buas. Aku mulai mengantuk. Kubunuh dengan bersiul. Menyenandungkan syair sembarang. Tak juga melenyapkan rasa kantukku. Aku mulai menguap. Berkali-kali. Mataku sudah sulit kubuka. Selalu ingin mengatup setiap kali kulebarkan kelopaknya.

Aku bimbang.
Hatiku gamang.
Kesadaranku terbang.

Kemudiku oleng. Ke kiri. Ke kanan. Pandanganku gelap. Kabut tebal di depanku makin menutup penglihatanku. Aku ingin makan. Tiba-tiba perutku terasa amat lapar. Mana nasi, ikan, atau sekadar daun-daunan untuk mengganjal perut. Tak ada. Aku lupa membawa makanan. Lupa membeli di kota tadi.

Jalan kian menyempit, makin banyak kelokannya. Sudah berapa kaki aku berada di atas ketinggian ini. Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Tak bisa menghitung, sebab tiada alat penanda di mobil yang kubawa karena tanpa persiapan apa-apa. Kecuali ketakutan. Ketakutan seorang pembunuh.

Keberanianku tiba-tiba juga lenyap. Awalnya kuingin menguburkan mayat ini di lereng bukit tadi, tapi batal karena khawatir dilihat atau dicium orang. Lalu polisi menyidik dan akhirnya tahu kalau pembunuhnya adalah aku. Maka kudaki puncak ini. Siapa tahu di atas ada tempat lebih baik untuk memakamkan mayat ini. Sialnya, aku tak menemu rambu-rambu berapa mil lagi aku akan sampai? Jangan-jangan tiada batas. Mungkinkah, sesungguhnya aku telah sampai di awan? Di langit ke tujuh?

Aku tak bisa memastikan. Hujan deras membuat pandanganku kian terbatas. Kemudi makin oleng. Aku tak mampu lagi mengendalikannya. Mobil menabrak pembatas jalan dari pohon ranggas yang tumbuh di bagian kiri.

Aku tersenyum. Aku seperti menaiki pesawat terbang yang baru hendak mengangkasa. Kulihat semesta di bawah sana bagai terowongan besar yang siap menelan tubuhku. Aku telah sampai membawa mayat ini ke hadapanmu. Juga menyerahkan segala kekhilafanku.



Lampung, 2003





10. T a m u



Tamu Tanpa Kelamin Jelas
Dilarang Masoek
Diprioritaskan Berkelamin Lelaki


TULISAN itu dipasang di dinding sebelah kanan pintu rumahmu. Aku agak ragu. Meraba benda di dalam celanaku. Aku lelaki tulen. Membatin. Aku membuka pintu pagar rumah. Menuju pintu. Satu dua tiga… aku mengetuk.

Tak ada yang membuka. Dadaku mulai berdegup. Aku ragu lagi. Pikirku, jangan-jangan pemilik rumah mencurigaiku: boleh jadi ia berpikir yang bertamu adalah banci atau bukan lelaki. Sekali lagi aku mengetuk pintu itu. Kali ini dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sekejap kemudian kudengar suara langkah menuju pintu. Membuka kunci, setelah terlebih dulu mengintip dari gordin dan memastikan yang berdiri di luar adalah lelaki.

“Maaf… boleh saya masuk?” tanyaku. Ragu-ragu. Karena wajah yang berdiri di ambang pintu memamerkan wajah ragu. “Aku lelaki. Sungguh…”

Pemilik rumah, perempuan berusia sekitar 35-an yang masih tampak cantik, membuka lebar pintu rumahnya. Menyilakan aku masuk. Tapi tak juga memberi isyarat agar aku segera mengambil tempat duduk. Dia biarkan aku berdiri, dekat pintu.

“Ada perlu apa. Maaf…” katamu.

“Saya warga baru. Itu rumah saya, di ujung jalan,” ujarku sambil menujuk sebuah rumah yang baru kutempati semalam. “Saya ingin bersilaturahmi, memperkenalkan diri sebagai warga baru di jalan ini.”

“Sendir? Tidak dengan istri?”

“Masih lajang.”

“Maaf,” katamu segera. Tersenyum. “Seusia anda mestinya sudah beristri.”

“Lazimnya begitu. Tapi mungkin saya pengecualian,” sahutku dengan senyum pula. “Anda sendiri, kok sendiri? Mana suami atau anak-anak?”

“Janda. Suami saya mati di dalam bak mandi.”

“Lo?”

“Dia tidak tahan, mungkin.”

“Maksudnya?”

“Mungkin ia merasa sejak menjadi suami saya, ia tak bisa apa-apa. Ia tertekan. Karena selalu saya dikte. Dia pernah bilang saya adalah istri otoriter. Segala sesuatu yang hendak dia kerjakan, harus sepengatuhan dan seizin saya. Kalau kata saya ‘tidak’ atau ‘jangan’, dia harus menggalkan rencananya. Biar pun dia sudah janji dengan gubenrur sekalipun!”

“O… begitu?”

“Tapi, menurut saya itu wajar. Istri juga punya hak menentukan apa yang direncanakan oleh suami. Jadi bukan cuma teman kencan di tempat tidur. Sementara keputusan semua di tangan suami, dan istri hanya manut. Tidak bisa begitu…”

Aku mengangguk-angguk.
Entah, apakah aku setuju dengan cara perempuan itu.
Atau aku benar-benar tidak mengerti?

Aku dipersilakannya duduk. Perempuan itu yang menunjuk kursi yang harus saya duduki. Padahal saya sudah ingin memilih kursi yang ada di dekatku berdiri. Kupikir biar gampang.

“Anda duduk di kursi itu. Saya di sini. Nah, kan asyik kita mengobrolnya,” dia menyarankanku, tapi tepatnya memerintah. Aku mengangguk. Berjalan menuju kursi yang diperintah pemilik rumah.

Aku pandangi perempuan yang kini duduk di depanku. Masih cantik. Pasti masa remajanya, ia lebih cantik lagi. Aku membayangkan sekiranya istriku sepertinya, hidupku pasti bahagia. Aku akan betah tinggal di rumah seharian. Otaknya, aku yakin, tidak bodoh amat juga tidak terlalu cerdas. Aku suka itu.

Setidaknya, aku terpengaruh dengan ucapan seorang penyair ternama negeri ini, memilih istri jangan seperi membeli kerbau. “Karena istri bukan cuma untuk kita gauli di kasur, tapi teman diskusi. Aku menceraikan istriku, karena aku seperti mengajak ngobrol kerbau atau tembok. Kalau aku bertahan, jelas akan membuatku otakku seperti kerbau. Aku membutuhkan batu asah untuk menajamkan otakku,” kata penyair itu suatu ketika padaku.

“Kenalkan dulu, nama saya Bre. Saya asli Jawa, tapi saya pernah tinggal cukup lama di Bali. Bahkan saya hampir beristri orang Bali namun gagal, karena keluarganya yang berkasta tinggi menolak saya yang bukan Bali. Saya kecewa dan menyesali cara berpikir rasialisme seperti itu. Cuma apa mau dikata orang selalu menjunjung tinggi tradisi, dan ini mungkin bagian dari takdir saya…”

“Kenapa tidak kau bawa lari perempuan Bali itu. Bukankah jodoh juga tergantung dari cara kita berusaha?” ujarmu.

“Banyak yang menyarankan begitu. Waktu saya menolak, sebab saya ingin menikah dengan cara baik. Diterima dan disukai oleh kedua belah keluarga. Pahadal Oka, nama perempuan Bali itu, siap dibawa lari. Akhirnya gagal perkawinanku. Konon sampai kini, dia pun tak mau atau belum menikah. Ia hidup lajang sebagai penari dan guru tari di sanggar miliknya.”

“Pilihan memang harus dihargai, meski pahit,” katamu pelan. Aku lihat di pipimu di bawah keduia bola matamu, mengalir cairan. Kau menangis, bisikku. Kenapa harus bersedih, menangis? Apakah aku telah menyakitimu? Kupikir aku tak melakukan sesuatu yang membuatnya terluka, mengaduh, lalu menangis. Lantas kenapa ia menangis? Aku serbasalah. Dudukku mulai gelisah.

Kau bangkit. “Sebentar saya ambilkan air minum dulu. Anda pasti haus, saya lupa menyediakan air,” katamu kemudian.

Masuk ke dalam. Sekejap sudah kembali dengan segelas air putih dan panganan di toples.

“Kok sepi, ke mana anak-anak?” tanyaku setelah menengguk air di gelas.

“Saya punya seorang anak. Perempuan. Sekarang sedang sekolah…”

“Kelas berapa?”

“Maksud saya kuliah. Sudah semester lima…”

“Wah, enak sudah punya anak sebesar itu. Pasti dia cantik seperti mamanya,” aku memuji. Kau tersenyum malu. Aku yakin ia sangat senang dipuji. Perempuan mana yang tak mengharap pujian lelaki? Kodratnya perempuan selalu haus pujian, terutama yang keluar dari mulut lelaki. Betapa pun ia sudah bersuami, bahkan sudah punya cucu.

“Ayo, dimakan kuenya. Taruk di situ bukan untuk dilihat saja,” katamu kemudian setelah melap dengan amat pelan pipimu yang masih basah.

“Kenapa menangis? Ada yang disedihkan?”

Perempuan itu menggeleng.

“Hanya mengikuti perasaan. Dia meminta saya untuk mengeluarkan air mata, maka saya pun menangis,” jawabmu diplomatis.

“Siapa ‘dia’?”

“Hati.”

“Ooo… bisa saja,” Aku tertawa. Ia juga tertawa.

Setelah itu kutanyakan mengapa ia memasang pengmuman seperti itu di tembok rumahnya, dengan tersenyum kau menjawab enteng. Katanya, ia hanya hendak mengusik orang yang ingin bertamu.

Tamu, terutama lelaki, tentu akan berpikir setidaknya ragu untuk mengetuk pintu karena ada pengumuman itu. Dia akan mengira penghuni rumah adalah perempuan semua, yang bukan mustahil genit atau perempuan yang mudah diajak “begituan”. Orang akan berpikir dua kali untuk bertamu.

Selain itu, tamu tak diundang yang berniat jahat bakal berpikir untuk melakukannya. Mereka akan bertanya-tanya, jangan pemilik rumah adalah lelaki semua. Rumah kos khusus pria. “Penjahat yang berniat jahat akan mikir dua kali mau masuk rumah ini,” katamu terbahak.

“Tapi, cara itu akan merugikan Anda,” kataku kemudian. “Para istri di jalan ini akan cemburu. Disangka Anda akan menggoda suami mereka.”

“Terserah anggapan mereka. Saya tak pernah berpikir begitu.”

“Benar. Tapi Anda juga harus menerima pikiran orang lain. Orang bertetangga mesti saling menjaga perasaan,” kataku kemudian.

“Sejauh ini tak ada masalah. Lagipula saya tak pernah menggoda suami orang, kecuali ia lajang kalau memang saya mau goda…” ia tersenyum. Menggoda.

“Saya… mau…”

“Sejak tadi saya sudah menggoda. Apa Anda tak merasakan saya goda?”

Aku menggeleng.

“Orang yang telah saya goda, harus masuk dalam perangkap saya. Harus menurut dengan kesepakatan yang saya buat.”

“Seperti suami Anda dulu?”

“Saya otoriter. Tak mau selalu dalam kendali lelaki. Di rumah tangga, tiadaa yang berperan sebagai nakhoda satu-satunya. Suami dan istri adalah pemimpin. Maka dengan begitu, diskriminasi tidak terjadi. Saya sangat tidak menyukai diskriminasi, dalam segala hal,” katamu bersuara tegas.

“Dengan mengendalikan lelaki, Anda telah melakukan diskriminasi!” selaku.

“Saya kira tidak. Apa yang saya lakukan hanya sedikit dari banyaknya perempuan yang diberlakukan tidak adil oleh lelaki. Saya….”

“Anda ingin membalas dendam pada lelaki!”

Kau menggeleng.

“Saya tetap haus cinta, merindukan kasih sayang, pujian, dan belaian seorang lelaki. Saya juga tetap ingin bercinta dengan lelaki. Apakah itu diskriminasi? Saya kira tidak,” kau membela diri.

“Kau pun melakukan ketidakadilan. Anda tetap ingin menjalani kodrati keperempuanan yaitu rindu, kasih saya, cinta, belaian, dan pujian. Tetapi Anda tak menerima kodrati lainnya dari seorang perempuan, yakni orang kedua setelah lelaki.”

“Pikiran picik!” desismu.

Aku diam. Perempuan itu tentu marah sampai harus mengucapkan kata itu. Aku berpikir. Agar tak meruncing dan ini akan merusak suasana pertamun pertama, aku pun izin pulang.

“Menarik diskusi dengan Anda. Jika Anda punya waktu, akan selalau saya buka pintu rumah ini. Untuk berdiskusi lagi…” katamu membukakan pintu. Aku mengangguk. Sekejap menatap wajahnya.

*

AKU lupa mengetahui namamu. Tetangga sebelah rumahku memberi tahu namamu, itu pun hanya sapaanmu: Yayai. Tak apalah. Tak begitu penting apa kepanjangan namamu, berapa panjang nama yang kau punya.

Apakah nama Yayai itu hanya nama panggilan sewaktu kau kecil. Seperti Obi untuk Abdurrobbi, Icha untuk Khairunnisa, Mpi untuk Novriza, No buat nama Rio, dan seterusnya. Jangan-jangan Yayai untuk namamu Khairani, Raimanala, ah… apa peduliku menerka-nerka?

Lagi pula aku sudah melupakanmu. Kesibukan di kantor telah menyita pikiranku untuk mengingat rumah bertuliskan pengumuman aneh: rumahmu. Aku keluar rumah saat matahari berwarna merah nongol di Timur, dan aku kembali ke rumah ketika matahari lenyap dan diganti bintang atau bulan pada hari-hari tertentu. Aku lajang, biasa berada di luar rumah setelah bekerja. Atau lembur hingga larut malam.

Tetanggaku tahu aku berada di rumah dari mobil Kijang Panther-ku yang kuparkir di halaman rumah. Itu pun bisa dihitung. Aku lebih suka menginap di kantor jika kerja lembur hingga larut malam.

Atau tidur di rumah Arman, teman sekantor yang sudah berkeluarga namun belum dikaruniai anak. Arman adalah teman akrabku. Kami saling curhat jika ada masalah. Istrinya tahu denganku karena saat Arman berpacaran, aku kerap ikut menemani. Mobil ini kerap dibawa Arman untuk mengajak Dini.

Tentang Yayai, Arman hanya mengingatkan aku: “hati-hati!” Lalu ia memberikan gambaran, bagaimana mungkin lelaki bisa berada dalam otoriter perempuan. Dikendalikan istri. Apa-apa harus diputuskan istri. Mau pergi karena urusan kantor sekalipun, mesti mendapat izin atau tidak dari istri. “Bisa-bisa kita mau makan, minum, berak, dan bersetubuh pun. Mesti dapat lampu hijau dulu. Wah, berabe itu!”

“Kupikir itu menarik juga, Ar…”

“Itu kalau kau ingin jadi keledai…”

“Jangan meremehkan keledai, kawan. Hewan itu juga sesekali bisa menendang majikannya! Sementara kita tak berani melawan pimpinan!”

“Keledai tetap keledai. Bodoh. Inginnya dicucuk hidung…” kata Arman.

“Kalau dicucuk hidungnya, diajak ngamar…?”

“Kalau ditarik dan dimasukkan ke bak mandi? Seperti nasib suaminya dulu?”

“Ihh… ogah, ngeri aku!”

“Karena itu, kau pikirkan lagi sebelum memiliki…” Kubiarkan saran Arman sebagai saran.

Aku tergoda untuk masuk ke dalam “perangkap”, istilah yang digunakan Yayai, agar aku tahu lebih banyak tentangnya. Selain itu, entah mengapa, aku mulai merasakan ada getar lain dalam diriku setiap mengingat dan menyebut perempuan itu. Apalagi kemarin pagi, anaknya yang ternyata memang cantik seperti dugaanku menemuiku di rumah, dan menyerahkan surat.

“Kok, Oom enggak ke rumah lagi. Ini surat dari mama. Kayaknya penting. Mama memang begitu, kalau orang itu enak diajak diskusi biarpun baru kenal, langsung ingin ngobrol terus. Permisi ya Oom…”

Aku mengangguk.

Kedatanganku berikutnya ke rumah Yayai tak lagi ragu-ragu. Aku langsung membuka pintu, mengetuk pintu tanpa harus membaca dulu papan pengumuman yang masih dipajang di dinding rumahmu. Begitu pula pada pertamuanku berikutnya dan berikutnya lagi.

Hanya aku membatasi diri tak lama-lama di dalam rumah itu. Khawatir tetangga mencurigai kami macam-macam. Jika malam minggu, kubatasi hingga pukul 22.00 itu pun dengan pintu depan yang menganga. Dan bila siang hari—terutama pada Minggu—aku batasi hanya tiga jam. Lalu kami jalan dengan membawa anak remajanya.

Untungnya semua tetanggaku tak masalah. Ia maklum. Aku lajang dan Yayai janda. Asal tahu diri, tidak mencemari kampung. Mereka berpesan. Aku mengangguk. Aku berjanji akan menjaga pesan itu.

Sampai aku menikahi Yayai aku masih bisa menjaga pesan tetangga. Bahkan mereka banyak membantu demi suksesnya pernikahan kami. Sebulan aku hidup bergelimang madu. Aku benar-benar bahagia, seperti yang kuimpikan pertama kali jumpa Yayai.

Namun pada dua bulan berikutnya, aku membenarkan nasihat Arman. Aku mulai benar-benar masuk perangkap otoriter Yayai. Aku dilarang bekerja lembur hingga malam. Bahkan, jam lembur di kantor mulai diciret dari jadwal kerjaku. Mobil dia yang menyetir untuk mengantarku ke kantor kemudian dibawanya pulang. Dan pada sorenya Yayai menyusulku di kantor.

Surat undangan pertemuan cabang-cabang kantor di luar kota, banyak dibatalkan sepihak oleh Yayai. “Ini kan tidak penting,” katamu. “Yang ini kan bisa diwakilkan oleh orang lain, tidak harus kamu,” katamu lagi pada kesempatan lain. “Nah ini bisa, karena cuma sehari…”

Aku benar-benar pusing. Aku jadi ragu. Aku meraba benda yang ada di dalam celanaku. “Masih menggantung,” aku membatin. Artinya aku asli lelaki, gumamku lagi. Aku bukan banci alias berkelamin ganda. Tetapi mengapa aku dikendalikan perempuan, jenis kelamin yang jelas adalah orang kedua setelah Tuhan menciptakan Adam?

Hatiku memberontak. Batinku protes. Terbayang suami pertama Yayai yang mati di bak mandi, karena tak tahan menjadi keledai bagi istrinya. “Apakah aku harus bernasib seperti dia?” tanyaku membatin. “Aku tak ingin jadi korban berikutnya.”

Di kantor, pagi ini, Arman lagi-lagi memberi semangatku setelah kujelaskan perilaku Yayai. “Kamu harus melawan, Bre. Tidak bisa hanya diam diperlakukan istri seperti itu. Istrimu itu sudah keterlaluan. Dia bukan perempuan lagi, tapi ingin menjelma sebagai malaikat, sebagai diktator. Dia fasis!”

Aku memeroleh keberanian. Meski sesungguhnya aku masih ragu.

“Caranya?”

“Kau seperti keledai, sekarang! Ya sebisamu, yang penting kau mesti melawan. Carilah caramu untuk protes, menolak, dan membangkan keotoriteran istrimu!” Arman memberi semangat.

Kudekati pesawat telepon kantor. Kutekan nomor rumah. Yayai yang mengambil. Kebetulan.

“Ma, saya pulang malam. Ada lembur…”

“Kan bisa dikerjakan sampai sore…”

“Tidak bisa. Dan tolong bawakan mobil ke kantor, nanti kuantar kau pulang. Mobil akan kubawa. Mungkin pulangnya larut…”

“Lo, kok bisa begitu?”

“Bisa. Sekarang harus bisa. Kalau Mama tak bisa mengantar, biar aku pulang…” aku tutup pesawat telepon.

Di rumah aku kembali berdebat. Arman yang kini sudah memiliki mobil dan mengantarku, tak berani mampir. Ia menunggu di rumahku dulu yang kini kukontrakkan.

Setiap Yayai menancapkan pengaruhnya ke dalam diriku, setiap itu pula aku mengelak. Aku seperti tengah berhadapan benda nujum. Tak pernah kutatap wajah istriku yang kini tiba-tiba seperti drakula itu. Ia berontak, aku segera melawan. Yayai mengirim pengaruhnya, secepatnya aku menangkal dengan perlawanan.

“Aku ingin tahu siapa yang kalah. Aku bukan Adam yang tergoda oleh rayuan Hawa untuk mengambil buah kuldi. Aku Bre, dan cukuplkah sekali lelaki terperdaya oleh perempuan sehingga terlunta di muka bumi ini,” kataku pada Yayai. Lalu aku mengambil kunci mobil. Aku hidupkan dan segera menancap gas.

“Selamat tinggal sipir dan penjara yang telah menyiksaku…” Aku kini benar-benar bebas. Anggaplah ini persinggahan seorang tamu. Orang hidup butuh pengalaman dan pelajaran. Dan, ini pelajaran berharga sekali bagiku. Saat ini belum terpikirkan, apakah kelak aku akan menikah lagi?.

*

Tamu Tanpa Kelamin Jelas
Dilarang Masoek
Diprioritaskan Berkelamin Lelaki

TULISAN itu, konon sampai hari ini masih dipasang di tembok rumahmu. Tetap menggoda. Tetapi, entah lelaki mana lagi yang singgah sebagai tamu. Masuk dalam perangkap pengaruhmu. *



Bandar Lampung, 2003





11. Sang Pengarang


MIDAH menerima tiga disket dari Sastro Margadilaga. Berarti siang ini ia harus ke tiga kantor redaksi. Sekejap ia membaca nama media yang ditulis suaminya di atas dikset yang kini sudah di tangannya.

“Kau ke Suara Media lebih dulu, karena cerpen itu sudah diminta untuk dimuat minggu ini,” kata Sastro seraya memencet tombol monitor komputernya.

Midah mengangguk. Padahal semula ia berpikir kantor Suara Media akan didatangi paling akhir setelah Rakyat Pos dan Bompas, dengan begitu akan menghemat ongkos. Tetapi, sekarang ia harus mendahului yang mendesak. Ini sudah jam 14.00 hari Sabtu. Naskah suaminya itu akan dimuat Minggu.

Tugas menjadi pengantar naskah suaminya ke media massa, sudah dilakukan sejak bulan-bulan awal mereka menikah. Kalau dulu ia mengantar dalam amplop tertutup dengan tulisan mesin ketik, kini sudah menggunakan disket. Pernah anak tertua Sastro mengusulkan agar komputernya dilengkapi dengan internet, tetapi ia ditolak oleh Sastro. Alasannya, dia tak bisa mengakrabi media modern itu. Lagi pula biaya telepon bisa membengkak setiap bulannya. Jika mendesak harus dikirim dengan e-mail maka ia akan menyuruh anak sulungnya ke warung internet, atau meminta teman-teman sastrawan. Selebihnya, Midah yang mengantar sekalian ke pasar atau toko.

Midah segera berkemas. Sedikit tergesa. Ia masukkan ke tiga disket tersebut ke dalam tas tangan. Ia keluar setelah bersalaman dengan Sastro. Sesiang seperti ini, rumah pengarang Sastro Margadilaga lengang. Ketiga anaknya masih di luar: kuliah dan sekolah. Setelah ditinggal Midah, ia pun menuju kamar tidur. Istirahat siang. Sejak 6 atau 8 tahun belakangan ini, ia terbiasa bekerja sehabis olahraga pagi. Ia sudah tak mampu lagi mengarang pada malam hari, tak kuat lagi berjaga sepanjang malam. Tidak seperti ketika masih muda dulu, di awal kepengarangannya.

Usia Sastro kini sudah 60 tahun. Dibanding dengan teman-teman sastrawan seangkatannya, ia masih tetap berkarya dan cukup produktif. Itulah yang menyebabkan banyak teman ataupun kritisi sastra menjadi iri dan sebagiannya dengki. Menghadapi respon seperti itu, Sastro tak hirau. Baginya mencipta adalah suatu hal yang mesti terus diperjuangkan. Apalagi rumah tangganya bergantung sepenuhnya dari karya-karyanya yang terus dilahirkan. Selain, tentu saja, buah royalti dari beberapa bukunya. Sastro tidak punya gaji tetap sebagai pegawai negeri. Ia juga tak pernah menjadi wartawan atau redaktur di media massa, sebagaimana teman-temannya yang bisa bekerja rangkap. Tidak mungkin dunia kesenian disanding dengan pekerjaan lain, pikirnya. Kesenimanan mesti dilakoni secara serius, tidak terikat, dan harus merdeka. Bahkan di hadapan isteri dan anak-anakknya, ia membebaskan batas-batas tersebut. Meski berisiko. Midah beberapa kali berang karena cemburu. Pernah pula mogok tak mau masak dan mengantarkan naskah ke media massa. Akan tetapi, lama-lama Midah menerima. Soalnya, tumpuan rumah tangganya dari menjual imajinasi Sastro. Midah mau dinikahi Sastro bukan karena Sastro tampan, melainkan ingin menjadi istri seniman. Itu sebabnya, ia selalu setia mengantarkan naskah-naskah suaminya ke berbagai media massa. Ia malah bangga setiap Sastro mengajaknya berkeliling dari satu kota ke kota lain dalam berbagai pertemuan seniman. Bahkan, sampai ke manca negara.


MIDAH turun dari angkutan kota di depan kantor redaksi Suara Media. Ia tak harus melapor dulu kepada Satpam yang posnya di sebelah kiri gerbang. Cuma tersenyum ketika salah seorang Satpam tersenyum padanya. Sebelum memasuki gedung redaksi yang besar itu, ia menghentikan langkah. Agak ke pinggir. Mengambil sapu tangan dari dalam tas. Menghapus keringat yang memenuhi wajah dan lehernya. Merapikan rambut. Setelah itu memasukkan lagi sapu tangan dan mengambil disket berwarna kuning. Ia mulai gusar!

Lama tangannya tenggelam di dalam tas warna hitam itu. Perasaan itu selalu saja terbit, setiap ia hendak menyerahkan disket kepada redaksi. Ia tak pernah membaca cerpen-cerpen suaminya sebelum diterbitkan di media massa. Sejak hari kedua ia resmi menjadi istri Sastro, tak pernah ia membaca lembaran-lembaran ketikan yang acap berantakan di meja. Ia juga tak berani merapikan. Tugasnya di dapur. Ia tahu posisi itu. Sedangkan tugas suaminya adalah berkarya. Oleh karena itu, tak sedikit pula Midah tidak membaca karangan Sastro di media massa. Ia hanya tahu kabar kalau karangan suaminya dimuat koran atau majalah, justru dari ibu-ibu tetangga.

“Wah, tulisan Bapak dimuat lagi di Suara Media. Cerpennya bagus lo, bu,” kata Ibu Tinuk, pegawai sebuah bank.

“Iya lo, saya juga baca di majalah wanita. Kapan ya, kita-kita diceritain. Nama ibu-ibu di sini jadi tokohnya saja lumayan, numpang ngetop,” sambung Ibu Rina, salah seorang karyawati swasta.

“Kalau saya baca cerpen Bapak Sastro di Bampos, minggu lalu. Wah, ceritanya seru. Apa benar Bu Midah, Bapak bergandengan dan berpelukan dengan perempuan?” kata ibu yang lain. “Kalau membaca cerita itu, sepertinya nyata. Memangnya bapak sering keluar kota?”

“Iya ya, kok karangan-karangan Bapak sepertinya dekat sekali dengan kenyataan. Saya kadang bisa dibuat terharu, benci, jijik, marah, dan andainya saya istri pengarangnya pasti cemburu…” lanjut Rina sambil tersenyum.

Pedagang sayur gerobak yang menjadi langganan perumahan itu tak ikut bersuara. Ia tetap dengan tugasnya. Melayani ibu-ibu itu. Meskipun di tempat itu sedikit lama. Bagi pedagang melayani pembeli adalah kewajibannya. Bukankah pembeli adalah raja? Ia pernah mendengar pameo itu.

“Kenapa cemburu?” Ibu Tinuk bertanya.

“Iya, bagaimana tidak? Seperti dalam cerpen yang saya baca di majalah wanita itu. Wah, seperti fakta. Bagaimana pengarang turun dari taksi sambil menggandeng seorang perempuan muda, lalu memasuki hotel. Atau sedang berdua-dua menyusuri pantai, menaiki bukit, menuju pintu bungalow…”

“Wah, kok bisa begitu, ya?” ujar ibu yang lain. “Tapi, enggak mungkin ya pengarang bisa menulis seperti itu kalau tak menjalaninya…” ibu itu menambahkan. Memancing Midah.

“Ngomong-ngomong, Ibu Midah tak pernah membaca cerpen-cerpen Bapak Sastro?”

Midah menggeleng. “Saya kan istrinya. Saya tahu persis apa yang ditulisnya. Semua yang ditulisnya yang kemudian dibaca ibu-ibu itu bukan fakta, kepintaran pengarang saja merangkai cerita…”

Meski begitu, hatinya tetap bergolak. Ibarat laut yang melemparkan ombak dengan keras ke pantai. Dadanya berdegup. Menciptakan irama tak beraturan. Ia segera meninggalkan para ibu dan mengambil sayuran. Di rumah ia hunjamkan kemarahannya pada Sastro.

“Pantas, dia tak pernah memberi lihat karangannya. Rupanya…” Midah membatin. Ia tumpahkan unek-uneknya, kecemburuannya, sakit hatinya.

Istri mana, apa lagi yang setia seperti Midah, tidak akan berang mendengar dari orang lain bahwa cerpen-cerpen suaminya sensual. Sementara pembaca belum terbiasa mengartikan karya cerpen sebagai fiksi yang boleh jadi kejadian yang ada di dalam cerita itu hanya rekaan. Pengarang hanya merangkai rekaan dalam imajinasinya menjadi sebuah cerita yang seakan benar-benar terjadi.

Bagaimana mungkin kalau fiksi itu sebagai kenyataan? Tidak akan bisa seorang pengemis di pagi subuh menaiki Monumen Nasional dan mencuri emas yang melapisi benda berbentuk api itu, Monas mencium bumi pada malam lailatulqadar. Atau seorang seniman yang datang ke Kantor Gubernur untuk meminta dana, lalu melihat sepatu yang penuh ulat. Ulat-ulat itu terus berbiak hingga memenuhi tembok kantor Gubernur itu. Apakah itu mungkin dalam realitas?

Cuma sebagai istri, Midah tetap memercayai pengaduan orang lain. Sastro, suaminya, memang pernah berjalan dengan seorang perempuan. Gadis belia. Dan itu, dengan jujur, memang diakui Sastro. “Cuma untuk membangkitkan inspirasi.”

“Selama ini tanpa harus begitu inspirasimu ada saja?” tuding Midah sambil melempar benda yang ada di atas meja. Keributan pun tak bisa dicegah. Sejak itu, ia mogok membawa naskah suaminya untuk diantar ke kantor redaksi. Juga kepada ketiga anaknya, ia perintahkan untuk tidak mau jika disuruh Sastro. Dan, baru dua bulan ini Midah kembali mau ke kantor redaksi mengantarkan naskah cerpen suaminya, sejak Sastro sakit dan harus menggunakan kursi roda selama setahun. Sampai kini, sampai Sastro sudah bisa turun dari kursi roda.

“Hai, Ibu Sastro? Mau menyerahkan disket ya, kami sudah tunggu…” Rendi Saputra, redaktur Suara Media, berujar dekat sekali di sisi Midah. Ucapan Rendi membuyarkan lamunannya.

Tersenyum sejenak. Midah mengeluarkan tangan dari dalam tas, setelah membiarkan disket tetap di dalam. Sejenak ia mengelap keringat di kening dengan buku tangannya. Terbayang tulisan suaminya besok terpampang di koran itu. Para ibu yang biasa berbelanja dengan pedagang sayur gerobak akan membicarakan cerpen suaminya. Dengan berbagai penafsiran, penandaan, dan mungkin bumbu-bumbu yang membuatnya akan marah lagi pada Sastro. Itu kalau cerpen suaminya menyoal percintaan. Selalu saja suaminya menggunakan tokoh aku dalam setiap karangannya, membuat orang mengira adalah pengalaman pribadi pengarang.

Kenapa tidak ia buang saja tadi di kali, sebelum naik angkot? Disket itu akan tenggelam dan menjadi sampah di dasar kali. Tetapi, kini ia membayangkan disket suaminya itu mengapung di permukaan air. Seperti botol plastik mineral, menghanyut entah sampai di mana. Biarlah disket itu hanyut ataupun tenggelam di dasar kali, sama-sama tidak akan dibaca orang begitu diterbitkan media massa. Biarlah karena itu ia dimarahi Sastro, karena sepekan kemudian tak mendapatkan honor.

Sebenarnya pikiran untuk membuang disket suaminya, beberapa bulan ini mengganggunya. Ia bisa membuang di mana pun mau. Lalu pulang agak sore, alasan mencari disket yang terjatuh atau dicopet sewaktu di atas angkot. Dengan begitu, suaminya tak mungkin bisa mengirim ulang ke redaksi karena waktu tidak memungkinkan lagi. Atau Midah juga bisa diam-diam tidak memberi tahu kalau disket itu tidak ia sampaikan kepada redaksi. Sastro akan menunggu-nunggu naskahnya terbit. Setelah lama tak keluar, ia akan berpikir, karya cerpennya buruk. Pihak media mencabut hak pemuatannya. Apakah itu mungkin? Sastro bukan pengarang pemula. Karya-karyanya sudah biasa mendapat pesanan redaksi. Jadi, jaminan muat.

“Ibu bawa disket pak Sastro? Kami minta naskah pada Bapak untuk dimuat besok,” Rendi, redaktur seniro nonfiksi itu, kembali berujar. Membuyarkan lamunan Midah.

Apakah harus kuberikan? Bagaimana kalau kukatakan pada Rendi kalau disket itu hilang di jalan? Mungkin dicopet sewaktu di atas angkot? Apakah ia akan percaya, sementara kurasakan wajahku tak menampakkan galau? Biasanya, kalau orang kehilangan sesuatu, pasti wajahnya nampak gelisah. Tapi, aku tidak. Tak bisa mengelabui perasaanku. Aku bukan pemain sandiwara. Cumalah seorang istri pengarang.

“Bawa!” Tiba-tiba meluncur jawaban itu. Ia merogoh isi tasnya. Ia keluarkan disket warna kuning. Tangannya bergetar saat menyerahkan disket itu kepada Rendi.

“Kenapa bu, kenapa? Saya melihat ibu seperti bimbang. Ada apa sesungguhnya, kenapa di jalan tadi? Ibu tak enak badan? Sakit?”

Midah menggeleng.

“Bapak pesan kalau cerpen itu jelek dan tak layak muat, Mas Rendi bisa tak memuatnya. Ganti dengan tulisan dari cerpenis yang lain,” Midah kemudian berkata. Sebenarnya itu bukan ucapan Sastro, ia berbohong supaya Rendi ragu lalu tidak fokus saat membaca naskah itu. Setelah itu memutuskan bahwa cerpen Sastro memang tidak layak muat. Sedangkan dua disket lagi yang masih tersimpan di dalam tas, ia akan buang di tong sampah di pinggir jalan depan kantor redaksi Suara Media.

Lalu, setiba di rumah ia akan katakan kalau disket-disket itu sudah diserahkan. Suaminya akan menunggu karyanya terbit. Menunggu. Dari pekan yang satu ke pekan berikutnya. Satu bulan tak kunjung terbit, dua bulan sama pula. Sastro tak akan berani menanyakan langsung pada redaksi. Itu bukan tipe suaminya. Sejak dulu Sastro selalu memercayai tugas redaksi dan pertimbangan pemuatan cerpennya ia serahkan sepenuhnya kepada redaksi. Tugasnya hanya berkarya, redaksi yang berhak memilih muat atau tidak. Seorang redaktur, selalu dalam benaknya, akan independen dan objektif.

Tetapi, bagaimana kalau suatu saat suaminya tahu kalau disket berisi naskah cerpen Sastro dibuangnya di tong sampah? Bukan tidak mungkin suatu kesempatan suaminya berjumpa dengan redaktur media massa, lalu redaksi itu menanyakan, “Kenapa tak mengirim cerpen lagi pak Sastro? Lagi bertapa atau sedang istirahat berkarya?” Apa jawaban Sastro, “Wah, saya sudah titip naskah pada istri saya. Memangnya tak sampai? Saya pikir karya saya itu jelek karenanya tidak layak muat, jadi saya belum kirim lagi…”

Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Apa jawaban Midah? Selain itu, masukan penghasilan bakal terhenti. Apa dia dan anak-anaknya, mau tidak makan?

“O tentu, Bu. Tetapi, cerpen-cerpen Bapak Sastro sudah menjadi jaminan. Yakinlah bu, pasti kami muat. Apalagi ini memang kami yang memesan.”


DI depan tong sampah, Midah ragu membuang ke dua disket yang masih di dalam tasnya. Ia berpikir jangan di tempat ini, siapa tahu Rendi masih melihatnya dari balik kaca kantornya. Sebaiknya di jalan nanti begitu keadaan sepi barulah ia lempar ke sembarang tempat. Siapa tahu juga menemukan ilalang atau sungai, barulah ia buang ke dua disket itu. Midah menyetop bis dengan rute ke kantor Rakyat Pos. Dari sana ia akan ke Bompas dengan cukup naik becak.

“Hai, kebetulan ibu Sastro. Kami saudah menunggu cerpen pak Sastro. Sudah lama tak mengantar naskah, apa sedang sibuk ke luar kota? Saya dengar bapak habis sakit ya?” Andi Malagang, redaktur Rakyat Pos, seperti menyambut Midah begitu ia turun dari bis.

“Wah, Mas Andi bikin saya kaget. Habis dari warung ya?” jawab Midah terbata karena tak mengira ia menemukan Andi di depan kantor.

Andi mengangguk. “Kehabisan rokok. O iya, ibu bawa cerpen dari pak Sastro kan? Kebetulan akan kami muat besok, banyak pembaca sudah menanyakan cerpen-cerpen pak Sastro. Cerpen-cerpen pak Sastro memang disukai pembaca, seperti realistis.”

Midah tak bisa berbuat banyak. Keinginannya untuk membuang dua disket berisi cerpen suaminya, tiba-tiba buyar. Ia tak mampu untuk berbohong. Itu sama saja ia menghancurkan kerinduan para pembaca cerpen-cerpen suaminya. Sebagai penjual, seperti kata pedagang sayur gerobak yang datang setiap pagi ke komplek rumahnya, harus menjadikan pembeli sebagai raja. Kali ini ia adalah penjual, dan para pembeli sudah merindukan dagangannya.

“Ya, mas Andi. Saya ke sini mau mengantar disket dari bapak. Kebetulan mas Andi ditemui di sini, jadi saya tak perlu lagi masuk ke kantor,” kata Midah seraya menyerahkan disket berwarna hitam. Sejenak kemudian ia menambahkan, “Bapak pesan kalau cerpen itu jelek dan tak layak muat, Mas Andi bisa tak memuatnya. Ganti dengan tulisan dari cerpenis yang lain.” Sebenarnya itu bukan ucapan Sastro, ia sengaja berbohong supaya Andi ragu lalu tidak fokus saat membaca naskah itu. Setelah itu memutuskan bahwa cerpen Sastro memang tidak layak muat. Sedangkan satu isket lagi yang masih tersimpan di dalam tas, ia akan buang di tong sampah di pinggir jalan depan kantor redaksi Rakyat Pos.

“Jangan khawatir, Bu. Cerpen-cerpen Sastro Margadilaga sudah menjadi jaminan. Tidak perlu seleksi lagi, pasti kami muat. Apalagi kami sedang menunggu cerpen dari bapak.”

Midah menggangguk pelan. Tersenyum. Datar. Setelah itu permisi. Tinggal satu disket lagi untuk Bompas. Untuk yang terakhir ini ia sudah bertekad membuangnya di jalan. Tangannya mulai meremas-remas disket di dalam tas. Seperti meremas sapu tangan. Benda itu begitu keras. Jari-jarinya tak mampu meremukkan. Gemas. Ia seakan yakin, cerpen yang ada di dalam disket ini pasti seperti cerpen Sastro yang pernah menghebohkan itu. Gara-gara cerpen itu, yang juga dimuat di Bompas membuat para ibu di komplek mencibir. Mereka memastikan cerpen Sastro adalah cerita fakta.

Midah memberhentikan becak. Menuju kantor Bompas. Di jalan ia lempar disket ke pinggir, namun diketahui penarik becak. “Wah, bu, ada yang jatuh. Barang ibu…” kata abang becak seraya menghentikan becak.

“O iya? Terima kasih, Bang…” jawab Midah singkat setelah menerima disket dari penarik becak itu. Sialan. Ia bergumam. Mata abang becak itu begitu teliti. Midah tak berani mengulang. Karena abang becak itu akan berpikiran bahwa apa yang dilakukannya memang disengaja.

“Stop. Stop!” terdengar suara dari mobil. Seorang lelaki melambai pada Midah. “Ibu Sastro. Ibu mau ke Bompas ya?” Mobil itu berhenti persis di sisi becaknya.

Midah tersenyum. Mengangguk.

“Bawa disket dari bapak, ya?”

Midah mengangguk.

“Biar saya yang bawa saja. Saya sudah telepon bapak di rumah mau mengambil cerpen karena mau kami muat minggu. Kata bapak sudah dibawa ibu,” kata Don Radona, redaktur Bompas. Tersenyum. Midah juga tersenyum. Ia serahkan disket ke Don Radona. Setelah disket berpindah tangan, Midah merasa telah gagal mengkhianati suaminya.

“Tadi bapak pesan pada saya untuk sampaikan pada Mas Don, kalau cerpen itu jelek dan tak layak muat, Mas Don bisa tak memuatnya. Ganti dengan tulisan dari cerpenis yang lain,” kata Midah berbohong.

Tertawa. “Cerpen-cerpen Sastro Margadilaga sudah jaminan mutu. Tidak perlu seleksi lagi, pasti kami muat. Apalagi saya baru minta cerpen pada Bapak Sastro. Kebetulan sudah ibu bawa, jadi saya tak perlu menunggu sampai malam,” jawab Don Radona sambil mengacung dua jempol. Tetap tertawa. Setelah itu, ia pamit pada Midah yang tetap duduk di atas beca.

“Ya, sudah Bang belok kanan, menyeberang. Turunkan saya di halte itu…” ucap Midah kepada penarik becak. Ia harus segera pulang. Tukang becak segera membelokkan becaknya. Hati-hati karena lalulintas semakin padat, sore itu.

Entah apa yang ada dalam benak Midah. Perasaannya makin galau. Esok ia akan kembali mendengar para kritikus sastra kampung, ibu-ibu yang asyik memilih belanjaan di depan pedagang sayur gerobak. Ia akan kembali sakit hati!

Bandar Lampung, 31 Mei—1 Juni 2004

Sesungguhnya Saya Masih Menunggu 12


BAHWA mulanya saya malas ikut rombongan usai pertemuan holding selama tiga hari, bukan karena menolak jadwal jalan-jalan. Saya cuma ingin memberesi pakaian malam ini, agar besok pagi meninggalkan hotel tidak terburu-buru.

Pengalaman mengajarkan saya sewaktu rapat antardireksi seluruh cabang perusahaan tempat saya bekerja, satu tas berisi perangkat kecantikan, celana dalam, daster, dan sepatu tertinggal di dalam hotel di Kota B. Sejak itu saya benar-benar trauma. Tidak mau jalan-jalan di akhir acara.

“Kapan lagi waktunya kalau tidak sekarang melihat kota ini pada malam hari? Rugi lo kalau ke sini tidak ke Diggers,*” kata Tantowi membuat saya tak bisa mengelak.

“Sebenarnya aku ingin memberesi barang. Aku trauma peristiwa di Kota B. Satu tas barangku tertinggal. Lagi pula aku ingin menelepon anakku, sudah kangen…” saya meberi alasan.

“Terus terang saja kalau kangen sama bapaknya,” Tanto menggoda. Kan bisa ditelepon tengah malam nanti biar surprise. Soal barang-barangmu biar dibantu stafku nanti. Bereslah itu.”

Saya pun tak bisa menolak. Akhirnya saya kini berada dalam rombongan. Kafe ini memang mengasyikkan. Indah. Berada di atas ketinggian, menghadap kota dan Teluk Lampung. Lampu-lampu yang berkelap-kelip bagai taburan bintang memenuhi kota tua itu.

“Bagaimana, Sus? Tidak mengecewakan kan?” Tantowi memecahkan keterpesonaan saya. Mengangguk sambil melempar senyum.

“Sejak kapan kau merangkap biro iklan kafe ini?” kataku asal keluar.

“Sayangnya aku tak mendapat bayaran dari kafe ini. Padahal setiap tamu ke kota ini aku selalu membawa ke tempat ini. Dari tamu yang kutanyai, seperti katamu tidak mengewakan. Sangat puas.

“Itu karena pertanyaanmu seperti itu. Coba sekali-kali kau ubah pertanyaannya, misalnya ‘bagaimana, kafe ini tidak memuaskan?’, atau yang lain,” saya menambahkan. Kulihat Tantowi salah tingkah. “Sory, sory… aku bercanda. Kafe ini bagus. Aku puas kok.”

Ia menuju ke kursi lain. Menanyai hal serupa kepada peserta lain. Jawaban juga sama. Beberapa peserta bahkan berfoto bersama. Lalu Tantowi mengajakku foto. Saya menolak dengan halus untuk foto berdua. Saya ajak Lisna, manager dari kota M, agar ikut foto. Akhirnya kami foto bertiga.

“Takut jadi kasus, ya?” Lisna menggoda. Tak urung ia berdiri di samping kiri Tantowi, dan saya di sebelah kanan.

“Gosip bisa dari mana saja,” jawabku pendek. Saya memang pernah berhubungan dekat dengan Tantowi, sewaktu sama-sama di Provinsi L. Tetapi hubungan kami gagal karena Tantowi dipindahtugaskan ke kota ini. Lalu beristri dengan perempuan asli di sini. Konon Tantowi kemudian mendapat gelar dari keluarga perempuan. Saya pun berumah tangga setahun kemudian. Dengan Mas Sudar.

Meski begitu, Tantowi sering menelepon saya. Dia menceritakan banyak hal tentang rumah tangganya. Saya menanggapi biasa-biasa saja, kalau tak ingin dibilang hanya pendengar. Saya tidak memberi solusi ataupun saran, setiap ia meminta dan mengharapkan. Saya tak mungkin masuk ke persoalan rumah tangganya, begitu juga ia tidak bisa mencampuri urusan keluargaku.

“Sebagai lelaki sekaligus sebagai suami, seharusnya kau jadi motor bagi rumah tanggamu. Meski begitu, kau juga mesti menerima masukan dari istrimu. Kulihat selama ini kau bisa mengurus anak buahmu, masak seorang istri tak bisa?” ujar saya ketika Tantowi menelepon untuk curhat.

“Itu masalahnya, Sus. Aku seperti tidak bisa memimpin seorang Vivi. Kayaknya aku tak pernah dianggap sebagai suami. Ia terlalu otoriter, selalu ingin mendikteku,” jelas Tantowi. “Aku begini salah, melakukan yang menurutku baik dituduh aku tak melibatkannya. Aku rapat di kantor sampai pulang malam, dikira aku ada main dengan bawahanku. Padahal, aku tak pernah memrotes kalau ia pulang kerja agak malam.”

Tantowi terus menyerocos. “Tak terhitung lagi ia mampir ke rumah orang tuanya. Berleha-leha dan bermanja di sana, bahkan sering menginap. Sementara orang tuanya, terutama ibunya, selalu membela Vivi. Jadi, aku ini dianggap apa?”

“Tentu sebagai suami, dong!” saya menggoda sambil tertawa.

“Jangan tertawa dulu, Sus!” ia menghentikan canda saya. “Saya serius!”

“Bagaimana sekiranya posisimu seperti aku?”

“Aku tak bisa membayangkan. Aku tak biasa berandai-andai,” saya menjawab pendek. Terus terang, sejak kecil saya tak punya keinginan berandai-andai, seumpama, sekiranya, dan seterusnya. Karena itulah, setahu saya, waktu kecil saya tak pernah mengatakan misalnya, “kalau besar nanti saya bercita-cita… ini dan itu” atau “seandainya saya menjadi… ini dan itu, akan… ini dan itu.” Ah, bulshit itu!

“Sekali-kalilah kau berandai…” Tantowi kembali menegaskan.

“Aduh, Tan, sungguh aku tak bisa,” saya memelas. “Aku tak akan bisa membelah jiwa keperempuananku untuk kemudian menukar dengan jiwa lelaki atau suami. Itu seperti membalikkan posisi langit menjadi tanah, dan sebaliknya.”

“Cara pandangmu itu sih berlebihan…”

“Ya, sudah kalau begitu. Pokoknya aku tidak bisa. Titik!” saya menjawab dengan keras. Santi, sekretaris saya, menatap. Saya memberi isyarat tak ada masalah, akhirnya ia bekerja lagi.

“Tolong aku, Sus. Please…” Tantowi berharap.

“Apa yang harus kubantu? Kalaupun aku memberi saran padamu, aku ragu apakah itu bisa menyelesaikan masalah? Boleh jadi makin runyam,” ujar saya kemudian.

“Apa saranmu?”

“Coba temui Vivi, ajak ngobrol. Diskusikan masalah kalian.”

“Kalau soal itu, sudah berkali-kali kulakukan. Tetapi, tak ada perubahan. Setiap kali kuajak diskusi, selalu buntu karena ia menyudutkan aku. Sepertinya aku tak diberi kesempatan membela diri, akhirnya kami ribut,” Tantowi segera memotong.

Saya tak punya lagi saran. Saya hanya diam, ketika ia amat mengharapkan. Apa saya harus katakan padanya, “ya sudah kalau dialog juga tak bisa mengubah, pilihan terbaik ialah berpisah.” Lalu apa tanggapan Vivi nantinya pada saya? Jangan-jangan ia mencurigai saya ikut bermain, karena saya kecewa dengannya?

*

SUDAH lama saya tak menerima telepon dari Tantowi. Saya pikir, dia sudah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia telah keluar dari persoalan yang amat sulit dari perjalanan rumah tangganya dengan Vivi. Bagaimana pun sebagai orang yang pernah dekat dengannya, saya gembira jika ia hidup bahagia.

Tetapi, mungkin setelah enam bulan, pagi tadi Santi memberi tahu kalau Tantowi menelepon. Kata sekretarisku itu, jam 11.00 nanti ia akan kembali menghubungi saya. “Pak Tantowi hanya bilang penting, Ibu diminta menunggu.”

Mengangguk. Saya melihat jam: baru jam 09.15. Tantowi memang tak pernah menghubungi melalui handphone-ku. Ia khawatir terkena radiasi jika berlama-lama dengan HP.

Saya meminta map kepada Santi, untuk kutandatangi surat-surat yang akan dikirim hari ini. Sekitar 10 surat kutandatangani, setumpuk surat lain yang harus saya rekomendasi. Setelah itu saya istirahat sambil menunggu telepon dari Tantowi.

Jujur saja, saya masih mencintai Tantowi. Ia telah merebut cinta pertama saya. Dia datang ketika usia saya 30 tahun, usia yang terbilang tua untuk seorang perawan. Tetapi, tak ada lelaki yang mau mendekatiku. Apalagi ketika saya mendapat jabatan di sebuah perusahaan besar ini. Makin kurasakan kalau lelaki enggan. Dan, ketika saya benar-benar ingin menuntaskan masa lajang, Tantowi menyatakan cintanya padaku. Saya menerima dengan senang hati. Sayang baru dua tahun kami memadu kasih, ia dimutasi ke Provinsi L.

Saya pikir kota yang memisahkan dan laut yang membatasi, tak mungkin membuat cinta kami harus berpisah. Ternyata anggapan saya salah. Dua hati yang dipisahkan apalagi dengan waktu cukup lama, tak menjamin bakal tetap setia. Tantowi mengucapkan selamat tinggal, begitu beberapa minggu lagi akan menikah dengan gadis asli L. Saya menangis. Hati saya menjerit. Perih rasanya.

Sejak itu, saya selalu melamun. Di rumah, juga di kantor. Nyaris saya dipecat oleh pimpinan, karena banyak kesalahan yang saya lakukan dalam pekerjaan. Untunglah teman saya sekantor, terus memotivasi saya agar segera bangkit dari keterpurukan cinta dan dukalara yang berlarut. Saya pun kembali bangkit. Semangat bekerja dua kali lipat—barangkali lebih—saya naikkan.

Saya lupakan Tantowi, juga lelaki lain yang mencoba mengisi hatiku. Setiap lelaki yang hendak mendekat, saya hadapi dengan dingin. Bahkan, saya bertekad untuk tidak menikah. Saya merasa bisa hidup tanpa bersuami. Namun, tekad saya itu rontok. Sudar, yang mengaku duda, mampu mencairkan hati saya yang telah beku. Saya pun dinikahinya, setelah enam bulan kami berkenalan.

Ketika anak pertama lahir, baru saya tahu kalau Sudar berbohong. Ia masih punya istri. Untuk kedua kalinya, saya dikecewakan lelaki. Cuma saya tak mungkin meminta cerai, karena sesungguhnya saya sudah sangat tergantung pada suami. Saya rela menjadi istri kedua. Namun, ketika anak kedua lahir, keretakan rumah tangga saya mulai terasa. Ibarat perahu, kebocoran ada di mana-mana dan saya kesulitan menambalnya. Sudar mulai sering menginap di rumah istri pertama, sementara mbak Sinta suka mengusik dan bahkan meneror. Telepon rumahku berdering tak kenal waktu. Selalu dari mbak Sinta. Ada-ada saja yang dikatakannya. “Maaf ya Sus, mas Sudar masih ingin menginap di sini malam ini.” Lain waktu ia menelepon: “Suruh mas Sudar pulang, anaknya rindu…” Ia juga meneror: “Memangnya Susi tak bisa cari suami lain ya, kan Susi punya jabatan dan banyak uang?”

Saya tersinggung. Apa dia pikir, Obi dan Sheila bukan anak Sudar dan tak punya kangen pada papanya? Apa rumah saya ini, bukan pula rumah Sudar sehingga ia menggunakan kata pulang? Dan, ketersinggungan saya paling berat, ia menganggap bahwa dengan jabatan dan uang saya telah membeli lelaki! Karena itu, saya benar-benar berang. Sudar menjadi sasaran. Sialnya, Sudar malah menyalahkan saya. Sejak itu hubungan kami dingin, dan bahkan kian terasa hambar. Pelan-pelan cintaku pada Sudar mulai luntur. Mungkin kalau tak ada Obi dan Sheila, saya sudah biarkan Sudar kembali kepada istri pertamanya.

Telepon di meja kerja saya berdering. Santi mengatakan kalau Tantowi ingin bicara denganku. Saya raih gagang telepon, kudengar suara Tantowi memelas. Terisak. Tantowi berujar: “Saya tak bisa lagi mempertahankan biduk ini. Kami…”

“Tenang, Tan… tenang. Kuasai emosimu, baru ngomong. Aku bingung…”

“Ya. Aku tak bisa mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Aku sudah terlalu sabar. Besok kami bertemu di Pengadilan Agama. Lebih baik kami berpisah…” jelas Tantowi kemudian. Masih terisak.

Tiba-tiba saya tak lagi menyimpan kata-kata, untuk sekadar memberi saran pun. Sebab, kini saya juga hendak menggugat cerai Sudar. Kesabaran saya sudah terbatas.

“Kenapa kau diam, Sus?” Tantowi menambahkan, karena saya hanya diam.

“Aku sulit menjawabnya, Tan. Sulit sekali,” kataku pelan. “Saat ini aku juga punya persoalan yang sama.”

“Maksudmu?”

Saya tak menjawab. Diam. Mataku basah. Dan, kalau boleh saya jujur, sesungguhnya saya masih mencintai Tantowi. Tetapi, mungkinkah itu bisa kembali disatukan setelah cukup lama terpisah oleh pulau dan kota? Sesungguhnya saya masih menunggu, meski tidak akan berharap dan meminta!


Bandar Lampung, Juni-Juli 2004






12
Perempuan
yang Menyembul
dari Semak Malam



IA menyembul dari semak malam. Tak ada penerang jalan di tempat itu, sehingga aku sulit memastikan dari gang atau arah mana dia datang. Suasana benar-benar gelap dan sunyi pada pukul dua dini hari.

Seperti datang dari suatu tempat tak bernama, dan tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku. Membuatku kaget. Aku terpana seperti ketika aku digoda makhluk halus di bangunan kosong. Karena itu, semula kukira ia bukan sejenis manusia. Tetapi dari napasnya yang kudengar masih tersengal-sengal seperti orang baru lari, kupastikan kalau ia sedang mencari pertolongan.

Hanya kupandangi dirinya yang kini berdiri tepat di depanku. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain bengong. Sebab pikiranku saat itu juga sedang kacau. Aku tengah menyusuri malam tanpa tujuan. Aku juga tak punya pretensi harus berhenti di mana dan pada pukul berapa. Sejak kutinggalkan rumah pada pukul 21.00 tadi, kubulatkan hatiku untuk pergi dari rumah. Hanya berjalan kaki. Dan, saat ini aku tidak tahu sudah berapa kilometer kulalui.

Ia kulihat seperti ketakutan. Wajahnya dipenuhi air mata. Rambutnya kusut. Keningnya lebam seperti baru terkena benda tumpul. Kukira ia tak sempat mengganti pakaian begitu meninggalkan rumahnya. Pakaian tidur yang dikenakannya, membuktikan kalau ia tergesa-gesa meninggalkan rumah. Aku tak mengenalnya. Kami bertemu pada waktu yang tak sengaja. Dan, barangkali dengan perasaan yang sama: kacau.

“Tolong, saya mau dibunuh,” ia mengharap. Suaranya bergetar. Badannya gemetar. Ia mengusap airmatanya. Sejurus kemudian ia hendak rebah di dadaku, tapi aku segera memegang pundaknya dari belakang. “Bawa saya dari tempat ini, saya takut suami saya menangkap saya. Saya bisa habis dipukuli…”

Aku hanya bengong. Mengapa pula aku bertemu orang malam ini, saat pikiranku juga sedang kacau? Sebenarnya saat ini aku enggan diganggu. Cuma dengan pertermuan ini, aku tak mungkin menghindar bahwa aku bakal mendapat pekerjaan baru. Bagaimana kalau suaminya memergoki kami sedang berdua, apa tidak menambah runyam? Atau ia ditemui suaminya, seperti katanya, lalu membawa pulang dan menganiayanya? Itu sama artinya aku membiarkan kekerasan terhadap perempuan.

Aku ingin bertanya kenapa ia meninggalkan rumah, mengapa suamianya hendak membunuhnya, di mana rumahnya biar kuantar pulang, atau apa ia punya saudara dan di mana rumahnya biar kutemani ke sana? Belum ucapanku meluncur, ia sudah menarik lenganku.

“Itu taksi. Kita pergi dari tempat ini,” katanya spontan. Ia stop taksi yang lalu di depan kami. Segera ia naik sementara tanganku tetap dalam genggamannya. Aku tak berkutik, kuikuti perempuan itu.

“Ke mana, pak?” sopir taksi bertanya setelah kami duduk di belakang. “Kemalaman ya pak pulangnya, di situ memang jarang ada taksi yang liwat. Kebetulan saya baru mengantar perempuan dari tempat hiduran ke jalan itu,” supir taksi itu menambahkan.

Aku kegalapan. “Bawa kami ke pantai, pak,” lagi-lagi perempuan itu seperti spontan berujar. Aku ingin menolak, tapi tangannya mencekalku lebih kuat: isyarat kalau aku jangan bicara.

“Lo, bukannya mau pulang?”

Lagi-lagi bukan aku yang menjawab, sebab perempuan di sebelahku kembali menyambar. “Kami ingin menghirup udara pantai. Kebetulan malam ini ulang tahun perkawinan kami…”

“Wow! Selamat bu, pak. Sudah yang ke berapa nih?”

“Dua puluh lima tahun…” perempuan di sebelahku kembali menjawab tanpa ragu.

“Perkawinan perak…”

“Begitu kata orang-orang gedongan,” jawabnya tertawa. Kulihat perempuan di sebelahku terlihat manis ketika tertawa. “Cuma untuk keluarga seperti kami, merayakannya cukup di pantai,” lanjutnya sambil tertawa.

Aku tak punya kesempatan berucap. Atau jangan-jangan sengaja aku tidak diberi waktu untuk menutupi rahasia kami, bahwa sesungguhnya kami bukan suami istri? Meski hatiku tak menerima kedustaan ini.

“Di mana saja sama bu, yang penting nilanya,” ujar sopir taksi itu kemudian. Ia menambahkan, “Apa mau ditunggu?”

“Ah, tah usah. Kami akan pulang besok siang. Terlalu lama kalau abang nungguin kami…”

“Tak apa, bu, kalau bayarannya sesuai hehehe…”

“Terima kasih, bang. Kalau ditungguin kami malah jadi terganggu. Karena kami tak punya target waktu.”

“Maksudnya, kami mungkin pulang pada sore atau malah malam besok. Begitu, bang…”

“Ya, sudah, bu. Saya antar sampai ke tepi pantai ya…” kata sopir taksi itu, begitu kami memasuki gerbang taman hiburan pantai setelah kubayar karcis masuk.

Ia lebih dulu keluar dari taksi, dari pintu sebelah kiri. Aku masih duduk di dalam ketika perempuan yang belum kutahu namanya itu memberi isyarat supaya aku segera keluar.

“Kita cari tempat duduk di sebelah sana, Pa,” katanya setelah aku turun dari mobil. Ia memanggilku “pa”? Bahkan ketika ia mengucapkan “pa” sengaja ia tekan, dan aku yakin itu sampai ke telinga supir taksi itu. Oh, aku jadi serbasalah. Supir taksi menatap kami. Tersenyum. Kemudian ia melambaikan tangan pada kami. Aku sendiri tak tahu apa maksud lambaiannya. Apakah untuk ucapan “selamat menikmati perkawinan perak?” ataukah untuk hal lain? Kubuang pikiran-pikiran tak jelas itu. Kuikuti ajakan perempuan yang melangkah menuju sebuah pondok di tepi pantai: menghadap Timur.

Angin menjelang fajar amat menusuk hingga ke tulangku. Aku tadi lupa membawa jaket, selain baju jins yang melapisi kaus T-Shritku. Begitu pula perempuan yang kini berada di sisi kiriku, hanya pakaian tidur. Tipis. Dan, tentu itu membuat bayangan tubuh di balik bajunya kadang tampak jelas begitu terkena sinar lampu.

“Mengapa kau ajak aku ke sini?” tanyaku setelah kami duduk di pondokan. Aku duduk di sebelah kiri dan ia di bagian kanan, agak menyudut untuk menyender di tiang. “O iya, kita belum berkenalan…”

“Entahlah,” jawabnya pendek. Ia mendesah. Beberapa saat ia terdiam. “Tadi saya takut sekali kalau suamiku menemui saya. Ia masih sangat murka. Saya pasti dipukuli lagi. Beruntung saya bertemu….”

“Panggil saja mas Daniel.”

“Ya. Saya beruntung bertemu mas Daniel,” katanya kemudian.”O iya, nama saya Siska…”

“Tapi, kau belum jawab pertanyaanku…”

“Saya mengajak mas Daniel ke sini, karena saya ingin menyelamatkan diri dari kejaran suami saya…”

“Tapi, kau sudah membawa saya dalam persoalanmu,” ucapku. Sebenarnya sejak tadi aku hendak menolak, bahkan kalau saja tak ada taksi maka sudah kutinggalkan ia di tempat tadi. Tetapi, karena mobil taksi itu dan karena ia segera menarik tanganku masuk ke mobil maka aku tak bisa mengelak.

“Maafkan saya. Sungguh saya tak sengaja ingin melibatkan mas Daniel. Tadi saya benar-benar ketakutan, dan saya membutuhkan pertolongan. Jadi, begitu ketemu mas Daniel—aytau siapa pun orangnya yang saya jumpai, saya seperti mendapatkan dewa penolong…” katanya terisak. Ia seperti mengharapkan sekali pertolonganku.

“Kau terlalu percaya sama orang yang baru kaukenal. Bagaimana coba, kalau ternyata saya bukan orang baik-baik? Malah bukan menolongmu, tapi…” kataku.

Kemudian aku mengingatkannya agar pada suatu kesempatan lain, ia jangan mudah meminta bantuan pada orang yang belum dikenal. Waspada terhadap orang yang tidak kita kenal, apalagi pada saat kriminal bisa terjadi setiap waktu dan di mana saja, sangat diperlukan. Apalagi ia perempuan. Beberapa hari lalu aku pernah membaca berita di surat kabar, seorang janda diperkosa oleh tujuh lelaki yang dikiranya akan membantunya pada saat kemalaman di terminal. “Lain kali, kau harus hati-hati kalau meminta bantuan orang. Jangan kaulakukan seperti tadi…”

Ia mengangguk. Pelan. “Saya tak punya pilihan lain, kecuali siapa pun orang yang saya temui di jalan saya akan meminta bantuannya. Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah wajah suami saya yang membawa parang dengan hati berang. Saya takut dibunuh oleh suami saya,” katanya kemudian setelah terdiam sekejap. “Tapi, hati saya mengatakan bahwa mas Daniel bukan orang jahat. Makanya saya minta bantuan.”

“Lain kali juga, jangan terlalu percaya pada perasaan. Tidak selamanya perasaan sama dengan kenyataan,” kataku lagi menasihatinya. Kukatakan juga padanya, banyak lelaki yang berpura-pura hendak menolong tetapi kemudian perempuan itu malah diperkosa dan dipreteli hartanya. Banyak kasus seperti ini terjadi di kota BL ini. Lalu, ia mengangguk. Ia menghapus airmatanya. Tersenyum. Hatiku berdetak. Ah!

Seorang petugas keamanan hiburan pantai mendekati pondok kami, dan meminta api. Kukatakan aku tak merokok, kemudian ia berlalu sambil berucap “selamat pagi”. Kulihat arloji di tanganku, sudah pukul 04.14. Kulihat tangan Siska makin merapatkan ke kakinya yang menekuk rapat di dadanya. Ia pasti amat kedinginan. Tetapi, aku tak punya jaket selain baju jins yang di tubuhku. Kubuka bajuku dan hendak kuserahkan padanya, tapi ia segera menolak. “Kaos mas Daniel itu tipis, malah nanti kedinginan…”

Aku menggeleng. “Kukira kau yang paling memerlukan. Aku masih bisa bertahan,” ucapku kemudian seraya menyerahkan pakaianku. Akhirnya ia mengambil dan membungkus tubuhnya begitu saja. “Sekalian kau pakai, jangan begitu…” imbuhku.

Ia mengenakannya. Dengan memakai jinsku, setidaknya bayangan tubuhnya tak lagi tampak begitu tersorot lampu. Selain itu, ia tak terlihat lagi menggigil.



KAMI punya masalah yang sama. Itulah kesimpulanku sementara. Ia lari dari rumah karena suaminya tak menerima dituduh berselingkuh. Sedangkan aku keluar dari rumah, karena aku memergoki istriku berselingkuh dengan atasannya di sebuah hotel.

“Mas Amran sudah berkali-kali menyakitiku, setiap kali kutanyakan soal wanita yang selalu dibawanya . Ia selalu membantah kalau ia tak berselingkuh. Tetapi, temanku pernah melihatnya jalan dengan perempuan di swalayan, bahkan keluargaku pernah memergokinya masuk ke hotel bersama perempuan yang sama,” katanya saat kuminta ia menceritakan mengapa lari dari rumah. “Tadi siang aku melihat dengan mata kepalaku, ia bersama perempuan selingkuhnya di Hotel Arinas. Ia bukan meminta maaf, malah menamparku di depan perempuan tersebut. Kemarahannya makin menjadi sesampai di rumah. Saya dihajar dengan kayu, ia juga menendangi tubuh saya. Kau lihat sendiri kening saya ini masih biru bekas ditinjunya…”

“Itu sebabnya kau lari?”

Ia mengangguk. “Ia mengancamku ingin membunuh. Ia mengejar saya dengan parang. Tentu saja saya takut, saya pun lari. Ia tadinya ingin mengejar, tapi segera kukunci pintu pagar rumahku,” ia menceritakan.

Lalu, ia mengutuk suaminya. Ia menyumpah-nyumpah suaminya agar mati segera dalam kecelakaan atau tewas di kamar hotel sekalian bersama perempuan itu. Berkali-kali ia merutuki lelaki yang telah memberinya seorang anak perempuan yang kini baru berusia 18 bulan.

Aku menolak ia menyalahkan seluruhnya pada lelaki. Apalagi ketika ia menyimpulkan bahwa semua lelaki selalu punya keinginan berselingkuh dan menelantarkan istri. Aku tak sependapat dengan pendapat itu.

“Masalahmu sama denganku,” kataku kemudian. Ia menatapku dalam. Sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan. Ia seperti ingin menguliti hatiku. “Perempuan juga punya peluang berselingkuh. Istriku telah membuktikan apa yang kukakatan ini…”

“Apa??” ia melonjak.

“Sore tadi aku memergoki istriku berduaan di dalam kamar dengan atasannya. Perbuatan mereka kulaporkan kepada pihak kepolisian, juga ke atasan mereka masing-masing. Aku meminta keduanya diproses secara hukum!”

“Kau tak mengada-ada?”

“Kalau aku mengada-ada, tak mungkin semalam kita bertemu di tempat itu. Saya baru dari kantor polisi dan tidak pulang ke rumah,” jawabku tegas.

“Lalu, istri mas Daniel di mana?”

“Setelah diperiksa polisi, ia dibolehkan pulang karena alasan ada anak kecil. Atasannya juga dikeluarkan, karena memberi uang jaminan kepada polisi…”

“Seharusnya lelaki itu ditahan dong?”

“Tapi kenyataannya, tidak kan?” kataku menyesali cara kerja kepolisian. “Bukan saja lelaki itu, tapi istriku pun harus ditahan! Tapi, karena dibolehkan pulang, lebih baik aku yang tidak pulang…”

“Mungkin pertimbangan polisi karena istri mas Daniel ada anak kecil di rumah, karena itu dibolehkan pulang. Jadi…”

“Itu alasan dia. Usia anak kami sudah empat tahun, ia sudah biasa tidur sama saya,” kataku. “Aku lebih senang mereka ditahan sampai proses pengadilan. Aku tak sudi menerimanya lagi…” lanjutku dengan suara meninggi.

Siska tak menyahut. Ia alihkan pandangan ke arah Timur. Matahari yang kemerahan mulai menyembul dari balik bebukitan. Sebentar lagi matahari pagi akan mengusap wajah kami. Siang pun bakal mengembang. Mungkin tak lama lagi kami akan meninggalkan pantai ini. Barangkali, setelah itu, kami akan saling janji bersua (atau tidak untuk perjanjian apa-apa?). Dan, setiap bertemu kami akan bercerita hal yang sama. Tentang istri dan suami kami. Barangkali juga, justru tentang nasib kami yang menjanda dan menduda.

“Sudah siang Sis, apa kita masih akan tetap di sini?” tanyaku setelah kulihat jam di tanganku mengabarkan pukul 07.45. Siska mengangkat kepalanya yang sejak tadi direbahkan di kedua tangannya.

“Maaf, mas… saya tertidur,” katanya seraya mengucek matanya.

Aku tersenyum. “Syukurlah kalau kau bisa tidur. Kau memang capek sekali.”

“Sebenarnya saya malas pulang, tapi kita harus meninggalkan tempat ini.”

“Setelah ini, mau ke mana kau?”

Ia menggeleng. Pelan sekali. Aku menjadi risau.

“Jangan khawatir, saya tak akan bunuh diri,” ujarnya seperti mengetahui keraguanku. Ternyata ia masih bercanda. Aku membalas dengan senyuman. Kami turun dari pondokan begitu ada taksi masuk. Kemudian kami menyetop dan masuk. Meninggalkan pantai yang telah pula ikut merangkai kisah: sebuah kenangan yang mungkin akan lama sekali terlupakan.



IA seakan menyembul dari semak malam. Tak ada penerang jalan di tempat itu, sehingga benar-benar gelap dan sunyi. Aku sulit memastikan dari gang atau arah mana dia datang waktu itu. Aku sudah melupakan perempuan yang menyembul dari pekat malam. Entah sengaja atau abai, selepas dari pantai kami tak saling menawar janji apa pun.

Dan, perempuan yang kutemui beberapa bulan lalu itu, malam ini kulihat memasuki lobi hotel. Seorang lelaki, entah siapa, menggandengnya. Aku segera menyelinap di antara kenderaan yang diparkir, ketika ia menoleh ke samping. Untung sekali aku cepat bergerak, sebelum kami beradu pandang.

“Kenapa? Ada istrimu ya? Mana?”

Secepatnya kuseret tangan Linda dari halaman parkir itu. Menghentikan taksi yang bergerak lambat kemudian naik dan meminta supir taksi mengantarkan kami ke hotel lain. Aku tak ingin Siska mengetahui keburukanku. Dia juga pasti tak mau kebusukannya kutelanjangi.


Lampung, 15 Juli 2004; 21.51





13. Bila Ada Waktu Singgahlah ke Kotaku


“Bila ada waktu singgahlah ke kotaku. Kau bisa saksikan keanehan di sini, ganjil. Akan kusambut kau dengan penuh keriangan…”


AKU jadi ingin sekali bertemu denganmu. Mengobrol, mungkin sedikit dibarengi cengekerama. Tidak seperti selama ini yang kita lakukan: mengobrol dan juga diselingi canda hanya melalui telepon. Apa enaknya mengobrol dari jarak jauh?

Maka sejak itu, aku ingin sekali ke kotamu. Aku ingin bertemu langsung dneganmu, tidak seperti selama ini aku hanya mendengar suaramu, cuma tahu dari foto-fotomu yang kaukirim melali pos atau email. Apa indahnya pertemuan antarsuara? Apa yang menarik memandangmu dari lembaran foto?

Aku pun mencoba-coba bayangkan pertemuan kita. Kau akan menjemputku di suatu tempat yang kauusulkan. Aku akan menunggu jemputanmu, atau kau yang telah menanti kedatanganku. Lalu kita meninggalkan tempat itu, mencari tempat lain yang lebih indah. Lebih romantis.

Lalu, apa saja yang akan kita percakapkan dalam pertemuan pertama itu? Hanya membicarakan soal mula kita berkenalan yang tak sengaja karena aku asal memencet nomor handphone yang tak kuduga kau terima penuh persahabatan? Kemudian baru kutahu kalau kau suka mencari sahabat, ingin bersahabat dengan banyak orang, tanpa mempersoalkan jenis kelamin, strata sosial, juga keyakinan pada satu agama.

“Meski aku perempuan, aku malah banyak berteman dengan lelaki. Karena itu, teman-temanku suka menggodaku sebagai tombo. Tetapi keluargaku khawatir kalau sering dan banyak bergaul dengan lelaki. Keluarga selalu aneh, pikirannya sering tak rasional. Cuma aku memaklumi setiap pandangan yang berbeda,” katamu ketika aku menelepon, suatu malam yang telah sunyi.

Aku hanya tertawa. Karena kupikir tak harus kukomentari ucapanmu. Kau sudah menjelaskan snediri dari pernyataanmu itu sekaligus.

Pada percakapan lain, kaujelaskan secara rinci tentang kotamu. Katamu, kotaku banyak menyimpan keanehan. Kau akan menemukan berbagai keganjilan, tapi kau pasti kerasa. Aku tahu kau senang bertualang, dengan demikian kau menyukai bebragai tantangan. Kau bisa masuki belantara, mendaki pebukitan. Kau juga pasti senang makan durian yang baru jatuh dari pohon di kebun durian. Sekarang sedang musim.

“Kau bisa sekenyang-kenyangnya memakan durian. Harganya juga murah, ada yang cuma 3 ribu perbuah.”

Aku makin ingin ke kotamu. Jakunku terasa naik turun. Bukan itu saja, aku benar-benar tertantang ingin menyusuri kedalaman belantara di kotamu. Mendaki pebukitan yang katamu sudah banyak yang digunduli pohonnya dan diambil batu-batunya. Aku juga ingin tahu langsung dari warga di kotamu, soal banyaknya warga yang hilang setelah diberlakukan militer. Setelah kerusuhan antara sipil dan serdadu!

Ya. Aku tahu itu dari seseorang yang pernah singgah ke kotamu. Ia bahkan, seperti diakuinya, nyaris terkena sasaran peluru pada saat kerusuhan terjadi. Nyawanya terselamatkan ketika tiba-tiba melintas mobil truk: ia naiki mobil itu dengan cepat dan sembunyi di dalam tumpukan pisang. Ia juga selamat dari endusan polisi karena daun ganja ia simpan di dalam jaket bagian punggung. Ia menindih barang selundupun itu, karena ia tengadah ke langit. Berjam-jam. Seperti si bongkok yang tidur dengan perut menghadap langit-langit.

Sebetulnya aneh dan tak masuk akal. Kenapa daun ganja dilarang? Padahal daun ganja itu nikmat untuk penyedap makan, dan menjadi santapan biasa bagi orang di kotamu. “Tapi, jadi tak biasa begitu dibawa ke kota lain dengan takaran banyak. Daun itu memabukkan,” katamu dalam telepon, kesempatan lain.

Benarkah begitu? Kau tertawa. Daun itu memang cepat sekali membuat orang tak sadar, mata sayu, tubuh jadi lemas. Itu kalau daun ganja dikeringkan dan dihisap seperti merokok. “Kalau tidak, misalnya buat penyedap makan, tak akan memabukkan. Aneh kalau kami yang sejak kecil membumbui makanan dengan daun gaunja sebagai pengganti daun salam atau penyedap lainnya, dan tak membuat kami mabuk, lalu kami dilarang (dan ditangkap) apabila kami menanam pohonnya di pekarangan rumah. Jelas tidak adil.

Kami, di kotaku ini, tak akan dapat makan sempurna—merasa nikmat—kalau makanan kami tiada diberi penyedap itu. Seperti kau, tak akan merasa sedap jika makananmu tak ditaburi miwon, misalnya.

“Rasakan sendiri kalau kau jadi ke kotaku nanti. Kau juga akan kuajak berziarah ke pemakaman masal, kuburan tanpa satu pun tertulis nama di batu nisannya,” lanjutmu ingin memromosikan kotamu.

“Jangan membuat verita bohong…”

“Sungguh, aku serius!” makin menegaskan.

“Kenapa bisa begitu?”




INILAH ceritanya. Kotaku tiba-tiba riuh. Kami, warga kota ini, hampir setiap malam dikejutkan adanya warga mati. Terkadang ditemukan di dalam semak, di hutan, atau kami menemukan orang yang sudah tak bernyawa tertutup ilalang di pinggir jalan. Entah siapa pembunuhnya, entah pula apa pangkal sebabnya. Yang membunuh dan korban, kadang kami tak tahu identitasnya. Yang jelas mereka adalah warga kota ini: masyarakat biasa, mungkin pula hanyalah peladang.

Lalu keseokan hari, kami tahu bahwa mayat yang ditemukan itu dibunuh oleh gerakan sparatis. Kelompok pengacau, pengganggu stabilitas, kelompok yang tak suka daerah ini aman. Itu pernyataan komandan tentara atau dari kepolisian di kota kami yang dilansir oleh seluruh media massa cetak dan elektronik.

Sejak itu kami baru sadar kalau kota ini benar-benar tak aman. Masyarakat resah, mulai dihantui ketakutan menjadi korban pembunuhan oleh gerakan pengacau. Dan, setiap malam kami amat takut ke luar rumah. Setiap malam pula kami selalu menemeukan orang mati berlumur darah dan luka bekas bacok atau lubang peluru di tubuhnya. Lagi-lagi esoknya, komandan serdadu membuat pernyataan nyaris sama dengan yang sudah-sudah.

Akan tetapi, ya tetapi, kami tak pernah menemukan yang mati terbunuh dari pihak pengacau. Semua yang mati, mungkin sudah lebih dari 20, adalah warga sipil. Aparat keamanan belum menyatakan itu. Karena itu, kami tak pernah tahu wajah para pengacau. Dan alasan apa mereka membuat kekacauan dan makar, kami pun belum tahu.

Berhari-hari kami dibiarkan hidup dengan berbagai pertanyaan, dicekam ketakutan, dan ketidakmengertian. Meski kami mencium aroma keganjilan dari peristiwa itu. Kami selalu bertanya: benarkah pembunuhan yang terjadi itu karena adanya gerakan pengacau: kelompok sparatis yang senang dengan kota aman.

Pasalnya, tak ada yang bisa membuktikan secara jelas. Polisi dan tentara hanya memberi pernyataan tanpa pernah menunjukkan. Kalau benar ulah para pengacau yang membuat kami resah, kenapa polisi tak mampu menangkapinya? Berapa orang sih para gerombol pengacau itu dibanding banyaknya anggota kemanan?

Apa iya untuk menangkap seorang saja, petugas keamanan harus membutuhkan waktu berlama-lama? Aku sering bertanya dalam hati. Apalagi, aku tahu, kotaku ini tak begitu luas. Tak ada persembunyian yang benar-benar tidak dapat dilacak. Petugas, kalau benar serius dan mau, pastilah dengan mudah melacak persembunyian para pengacau itu. Ini jika benar-benar pengacau itu memang ada.

Peristiwa pembunuhan tanpa tahu siapa pelakunya (selain, menurut pihak keamanan, dilakukan gerombol pengacau keamanan) sudah beberapa tahun, membuat kami semakin dicekam ketakutan. Kami, warga sipil kota ini, bila malam akan mengurung diri di dalam rumah. Keluar pada malam hari, demikian angapan kami, sama artinya mengantarkan nyawa. Maka beberapa tahun ini, jika kau datang kini, kota kami seperti tiada penghuni. Kota menjadi sunyi. Kelam. Bahkan kunang-kunang pun sulit kautemui pada malam hari di sini.

Lalu, kalau aku menyilakan kau datang ke kotaku jika punya waktu, itu semata karena aku tahu kau menyukai petualangan dan tantangan. Orang yang suka bertualang dan tantangan, situasi yang mencekam sangat dinanti-nanti. Seperti seorang perenang tangguh akan turun ke air jika ombak sedang besar. Seperti pelaut yang membuang perasan takut diterjang badai.

Pemerintah memberlakukan kotaku sebagai kota darurat militer. Warga tak diizinkan keluar rumah sehabis senja hingga fajar. Apalagi tak membawa kartu pengenal. Wara asing dilarang keras memasuki kota. Meski begitu, tetap saja ada orang yang mati terbunuh berlumur darah. Siapa lagi kalau bukan warga sipil. Hanya beberapa serdadu yang mati, itu pun diklaim karena dibunuh para pengacau. Seperti ketika dua serdadu yang tewas dengan kepala terlepas dari badannya, pihak keamanan menyatakan di media massa: “Dua petugas mati saat menjalani tugas menggerebek gerombolan pengacau. Sedangkan dari pihak pengacau, dikabarkan 10 orang yang tewas.”

Aku tersenyum. Sepuluh orang dari pengacau yang mati. Lalu tinggal berapa lagi yang masih hidup? Mungkinkah masih seribuan? Jangan-jangan data itu palsu. Aku meragukan kebenaran data yang dikeluarkan pihak keamanan. Cuma, kami tetaplah warga sipil, yang hari-hari kami dicekam ketakutan. Keselamatan kami sepertinya terancam. Terancam, entah oleh siapa. Kami benar-benar tak mengerti, sesungguhnya pihak mana yang kami takuti. Siapa musuh warga sipil di kota ini?

Ayahku pernah berjumpa sekelompok orang yang mengaku kecewa pada pemerintah pusat. Bertahun-tahun sumber daya bumi dari daerah kami diperas dan hasilnya diangkut ke pusat, dan yang kembali ke daerah kami hanya ampas sisa. Hanya sisanya. Itu sebabnya, akhirnya kelompok itu protes pada pemerintah pusat. Membuat pernyataan kesepakatan: Mendirikan negara sendiri dan menyatakan keluar dari negara kesatuan. Mungkin kelompok inilah yang kemudian diklaim petugas keamanan sebagai gerakan pengacau. Mungkin gerombolan inilah yang dituding melakukan kekacauan, makar, dan pembunuhan terhadap warga sipil. Mungkin dan mungkin…

Dan, kemudingkinan-kemungkinan itulah yang menggelayuti di benak banyak warga di kota ini. Kemungkinan pihak keamanan yang justru melakukan pembunuhan selama ini setiap malam, lalu mengklaim bahwa pelakunya adalah gerakan pengacau. Seperti teror liwat bom sdi berbagai tempat: siapa pelaku sebenarnya? Kenapa pihak kepolisian begitu cepat tahu pelaku, diawali dengan seketsa wajah, penangkapan pelaku yang salah, lalu menyebarkan hasil sketsa wajah pelaku. Tetapi, apa benar pelakunya seperti tergambar dalam seketsa yang disebarkan? Apa tidak mungkin ini rekayasa pihak-pihak yang justru ada di kepolisian demi popularitas?

Begitu pula yang terjadi di kotaku. Sebab, sampai kini aku tak pernah tahu gerombolan pengacau itu. Kami, tepatnya, tidak mengenal akrab. Padahal kami dan gerombolan itu saku kota, satu daerah. Kalau kata pihak keamanan para gerombolan pengacau itu lebih dari seribuan orang, apakah tak mungkin tetangga kami, teman sepermainan kami, bisa saja ikut dalam gerombol pengacau tersebut. Tetapi jika para pengacau itu tertangkap dan mati dalam adu senjata dan ditayangkan televisi atau fotonya terpampang di koran, mengapa kami tak mengenali?

Kukira ini menarik untuk kau selidiki. Maka itu, datanglah ke kotaku jika kau punya waktu. Kau akan senang menelusuri kampung-kampung, belantara, dan pebukitan. Kau akan meliwati tantangan demi tantangan. Bukankah kau menyukai?

“Bila ada waktu singgahlah ke kotaku. Kau bisa saksikan keanehan di sini, ganjil. Akan kusambut kau dengan penuh keriangan…” katamu pada kesempatan lain.

Sungguh, aku ingin mengunjungi kotamu. Akan kucari waktu biar aku bisa menetap lebih lama. Aku akan mencatat setiap peristiwa perjam, dan akan kutulis menjadi sebuah tulisan perjalanan. “Tolong beri aku peta tentang kotamu. Kirim ke emailku kalau tak keberatan. Bisa kan?”

“Tentu, tentu. Dengan senang hati akan kukirim peta daerahku. Juga soal jalan, belantara, pebukitan yang mesti kau lalui…”

“Kapan bisa kau kirim?” tanyaku tak sabar. Aku ingin memelajari siatuasi kota yang kuanggap aneh dan ganjil itu.

“Malam nanti sudah bisa kau peroleh,” katamu meyakinkan aku.

Dan, sebelum isya aku sudah mendapatkan peta daerah itu. Juga kotamu yang memang menggiurkan setiap orang luar yang menyenangi petualangan. Lalu aku katakan padamu bahwa tiga hari lagi aku akan datang. Namun dalam hati aku berjanji tak akan menemuimu, tak ingin merepotkanmu. Aku tahu kau masih takut. Karenanya tak ingin aku menambah-nambah kengerian di dalam hatimu.


Lampung, 2003/2004






14 Dusun itu Kini Asing


HANYA ada satu jalan dari sini untuk sampai perkampungan di ujung sana. Kau harus melalui jalan yang membelah ladang tebu. Jalan ini pada musim kemarau debunya beterbangan menutup pandang, dan saat musim hujan menjadi licin. Kau harus menempuh perjalanan 10 kilometer lebih, barulah sampai di perkampungan sana.

Setiap melintasi jalan ini, kau akan dapat membayangkan sebagaimana Musa yang sedang membelah lautan. Sementara pucuk daun tebu yang diterpa angin laksana lidah-lidah ombak, hendak menelan tubuhmu.

Sejak ladang tebu ini ada, tepatnya 30-an tahun lalu semenjak dibangun pabrik gula, beberapa perkampungan menjadi terpisah. Dan, satu sama lain, warganya menjadi asing. Sebelum pabrik gula itu berdiri dan beratus hektare pohon tebu terhampar, warga dapat memilih jalan mana yang disukai. Dulu, beberapa kilo meter dapat dengan mudah ditemukan dusun. Sekarang, karena dusun-dusun itu dilenyapkan dan berubah menjadi ladang tebu, kampung pun tinggal dua atau tiga saja.

Kau akan sulit melihat ladang, hamparan sawah dengan padi yang hijau atau menguning, kebun milik petani. Kepunyaan warga asli yang memang mata pencariannya adalah bertani, kalau tidak ya berkebun. Para petani itu, tegasnya warga pribumi, bahkan kini sudah menjadi pekerja di pabrik gula: sebagai petani tebu atau buruh di dalam pabrik. Tiada seorang pun yang menjadi pemilik ladang tebu, yang jikapanen dijual kepada pabrik.

Tetapi, kau tak begitu penting soal masa lalu di sini. Juga penyebab kenapa kini setiap mata memandang, pohon tebu terhampar. Bagai melihat lautan bergelombang. Ah, tidak! Pucuk-pucuk pohon tebu yang bergoyang itu bagai jemari-jemari lentik perempuan yang sedang menari. Begitu artisitik. Memesona…

Tidak dekat 10 kilometer itu. Apalagi meliwati jalan tanpa asal seperti ini. Bukan perjalanan yang menyenangkan, baik saat penghujan atau pun kemarau. Tetapi tak ada jalan alternatif, karena itu kau harus meliwati jalan ini. Kau akan terkepung pohon tebu sepanjang 10 kilometer lebih perjalanan, hingga gerbang pembatas antara ladang tebu dan kampung seberang. Di batas ladang tebu itu kau akan lihat pos penjagaan yang ditunggu oleh 5 sampai 7 lebih petugas keamanan dari Brimob.

Kampung yang akan kautuju, sejak pabrik gula itu didirikan di sini, menjadi terisolasi. Jangan heran—apalagi sampai kau cemas—kau akan melihat orang-orang kampung membawa parang ke mana-mana. Itulah senjata untuk mereka menjaga diri. Sejak mereka merasa nyawanya terancam karena ketegangan antara warga dan pemilik pabrik, karena pencaplokan tanah untuk ladang tebu dan pabrik yang dibeli amat murah.

Dulu, setahun dua awal pembebasan tanah di sana, bagi warga tiada waktu tanpa perlawanan demi mempertahankan tanahnya. Sampai tak sedikit yang mati ditembus peluru pihak keamanan yang disengaja disewa, atau diculik dan dibunuh lalu mayatnya dibuang begitu saja oleh penculik misterius, juga warga yang dianggap otak pengunjukrasa yang dilarikan ke kabupaten kemudian dijebloskan ke sel tanpa seorang keluarganya tahu.

Kini, ya sekarang ini, seperti sudah aman keadaan. Kau dapat bebas memasuki ladang tebu yang luasanya ratusan bahkan ribuan hektare yang memebentang dari Selatan hingga Utara dan tak kurang 10 kilometer memanjang dari Barat ke Timur. Hanya tinggal dua atau mungkin cuma lima dusun yang sisa. Itu pun amat berjauhan satu sama lainnya. Meski dianggap sudah aman dan terkendali, namun kita tetap harus waspada. Berhati-hati dalam situasi apa pun sangat penting. Siapa dapat menduga musibah, bukan?



AKU orang pribumi, asli dari dusun di belahan Selatan. Kini mencari penghidupan dari keriuhan terminal di Timur. Kutahu kau juga orang asli di sini, tepatnya sebuah dusun di Barat. Seperti kau ceritakan saat pertama bertemu denganku tadi pagi. Aku masih ingat kau memperkenalkan diri sewaktu berjumpa tadi. Kau menyebut nama dusun (maaf, sebelumnya kau sebut namamu), yang pada 30 tahun lalu memang pernah ada. Tetapi, kini?

“Soal apakah dusun itu masih ada atau sudah terkubur dan tak lagi ada di dalam peta, bagiku tak begitu penting. Aku hanya ingin mencari, tepatnya aku ingin menemukan adikku yang kutinggalkan dulu masih berusia 6 bulan…” ujarmu kemudian.

Aku ternganga. Sungguh, aku terkagum denganmu, kau begitu sangat mencintai adikmu, keluargamu. Kau merasa sakit sebelum menemukan balung yang hilang. Karena (mungkin) orang lain akan sulit berpikir sepertimu, apalagi sudah lebih 30 tahun. Jangan-jangan dalam benaknya, tak mungin tertemui lagi. Barangkali salah satu di antaranya sudah mati atau merantau ke lain kota—mungkin juga negara. Apalagi saat itu, keselamatan seseorang sangat tiada jaminan. Kapan pun, siapa pun, dapat jadi korban. Meski korban paling mungkin banyak adalah dai pihak wargaa karena hanya bersenjata padarng, sedangkan dari penguasa dan pengusaha dijaga serdadu yang dilengkapi pistol dan senapan.

Aku baru mengenalmu, tapi kita sudah seperti lama bersahabat. Itu sebabnya ketika kau memintaku menemani mencari kampungmu yang dulu untuk mendapati adikmu, aku senang sekali. Sekalian aku ingin tahu kampung di seberang sana. Aku juga ingin meliwati ladang tebu ini, yang kata banyak orang, seperti kita sedang membelah lautan.

“Kau pernah dengar kan kisah nabi Musa saat dikejar-kejar Firaun dan balatentaranya, lalu dengan tongkatnya maka Musa dapat membagi dua lautan dan berjalanlah ia. Seperti itu rasanya saat kau melintasi ladang tebu itu,” cerita orang dari mulut ke mulut yang kemudian sampai juga ke telingaku.

Oh, betapa indahnya? Betapa inginku melintasi itu, dan keinginanku itu selalu terkubur oleh kesibukanku mencari nafkah di terminal. Lagipula keperluan apa gerangan di kampung sana untukku? Dan, baru kesempatan ini aku berlayar, seperti Musa yang berjalan di antara dua lautan yang terbelah.

Aku kini terkagum pada keindahan pucuk daun tebu yang melambai bagai tangan mungil gadis penari. Amboy, sulit kucari bandingannya dalam berbagai karya lukis. Kukira pelukis maestro pun tak mampu menuangkannya ke atas kanvas. Tidak henti aku berdecak, takjub. Subhanallah! Gumamku.

Sementara kubaca dari wajahmu, kau tampak yakin akan menemui adik perempuanmu yang terpisah 30-an tahun silam. Tetapi aku sebaliknya, karena tanda pun tentang orang yang dicari tak pernah kau tahu. Meski begitu, aku tak hendak menunjukkan pesimismeku padamu. Aku tak ingin perjalanan yang menyenangkan ini ternoda karena selisih faham. Banyak cerita yang dapat kita rangkai kemudian selama perjalanan denganmu. Alangkah bodohnya kalau itu kubiarkan tak berkesan?

“Kuharap aku dapat menemui orang yang kukenal dulu. Dari situ kita mulai menelusuri jejak adikku,” katamu. Aku tersenyum. Mengangguk untuk membuktikan kalau aku setuju dengan usulmu.

Sinar matahari yang menyengat berkali-kali mendatangkan keringat. Kuseka peluh di seluruh wajahku dengan punggung tanganku. Mobil bak terbuka yang membawa lima penumpang bagai menembus debu, dan debu itu bagai tertinggal di belakang kami. Membumbung bercampur udara. Kulihat juga daun tebu sepanjang jalan di kanan kiri berpupur debu. Kecoklat-coklatan.

Kau mengambil sebatang rokok dari saku bajumu, kemudian menyulut. Asap pun mengepul dan lesap ditelan angin. Aku menggeleng ketika kau menawari. Apa mungkin nikmat merokok di atas mobil terbuka dengan debu yang beterbangan? Bahkan aku lebih suka menutup wajahku dengan sapu tangan.

Angin menampar, debu menerpa. Baru empat kilometer perjalanan kami, jalan bergelombang baru kami lalui. Mobil ini terlalu tua untuk menempuh medan seberat ini. Bisa kubayangkan jika musim hujan. Mobil akan mogok. Hanya menempuh jalan bergelombang dan sedikit lumpur, mobil ini harus merangkak.

“Apa para buruh di sini naik mobil seperti ini juga?” kau membuka percakapan.

Aku menggeleng. “Mereka ada kenderaan sendiri, milik perusahaan. Lebih besar, lebih bagus. Soalnya, ban yang dipakai saja khusus untuk medan seperti ini. Jadi, bisa melaju seperti di jalan beraspal.”

“Kenapa tidak dimanfaatkan juga untuk penumpang umum? Penghasilannya kan lumayan…”

Kupikir perusahaan sengaja tidak menyediakan kenderaan untuk umum. Bukan sulit bagi mereka menyediakan mobil. Cuma kalau disediakan, warga akan dengan mudah masuk dan keluar ladang tebung. Dus, itu akan mengundang kerawanan di dalam pabrik. Kawasan ladang dan pabrik menjadi tak steril. Bagaimana kalau ada orang yang masih kecewa, lalu melempar bom molotiv ke tengah ladang tebu? Terbakar. Lalu api menjalar. Pabrik penggilingan tebu akan terancam. Semua akan panik.

“Mungkin belum waktunya saja,” kataku kemudian. “Mungkin juga transfortasi di sini di anggap belum bisa menghasilkan…”

“Siapa bilang? Ini, kukira, jalur basah. Selain itu, bisa memutuskan isolasi antardusun kalau transportasinya lancar,” kau membantah.
Aku ngungun. “Aku bukan pebisnis, jadi tak paham soal itu…”

Kau hanya diam. Kami kembali menikmati keriangan perjalanan. Pucuk-pucuk daun tebu tak henti melambai, gemulai. Bagai jemari lentik yang lagi menari. Atau jari-jari tangan di atas dawai?

Kunikmati perjalanan yang tersisa. Kaunikmati sisa perjalanan ini pula. Kami kemudian diam. Mencari lain pandang.



DUSUN Menggalo kami singgahi. Untuk masuki dusun itu kami wajib melapor pada petugas di pos penjagaan dan menitipkan KTP. Seperti memasuki negara lain. Pikirku. Tetapi begitulah peraturan yang tak tertulis di perbatasan antara ladang tebu milik pabrik gula dengan dusun yang ada.

Kau pun segera menelisik satu persatu warga yang tampak, untuk mengenali. Setelah lama menjelajahi dusun yang kami rasakan amat asing, kau pun mendesah. Kemudian menggeleng. “Aneh, benar-benar aneh. Tak satu pun warga di sini yang kukenal. Seperti dusun baru dengan penduduk yang baru. Apa mereka pendatang?” tanyamu dengan nada kesal. “Ke mana warga yang dulu, sewaktu aku maish remaja? Aneh, tak satu pun kukenal.”

Kau gelisah. Tepatnya menyesali insiden pencaplokan tanah warga oleh penguasa, yang membuat warga menderita, berpisah, atau tewas tertembus peluru, disiksa di sel, maupun lenyap tanpa rimba. Akibat dari semena-mena pengusaha yang dilindungi penguasa waktu itu, warga di sini kehilangan rumah dan tanah untuk mata pencarian. Tak itu saja, dusun-dusun tiada lagi dalam peta. Bahkan sulit menandai apakah warga di dusun ini adalah pendatang atau warga lama?

“Kalau saja penguasa waktu itu tidak serakah, tak akan mungkin terjadi pencaplokan tanah milik rakyat. Tetapi, kekuasaan cenderung korup,” kau mendesis.

Aku diam, tepatnya, di dalam hatu aku setuju dengan pernyataanmu. Itu sebabnya, tanpa bisa kucegah, aku tersenyum dan mengangguk. “Sayangnya banyak orang berlomba ingin jadi penguasa, apa karena peluang korup itu?” kemudian aku bertanya.

Kau mendesah. Kemudian menggeleng pelan. Lalu kau berkisah bagaimana penguasa yang otoriter—waktu itu, yang memimpin bangsa ini selama 32 tahun lebih dengan tongkat militer. Ia tak tumbang-tumbang, kecuali moleh kekuatan radikal rakyat di suatu siang yang menyengat. “Cuma korban sudah lebih dulu banyak yang berjatuhan…” kudengar suaramu yang pelan.

Ah! Pada siapa lagi kami mencari tahu keberadaan adik perempuanmu, sahabat? Kau berasal dari dusun ini saja tak lagi mengenal satu warga pun. Katamu, aku menjadi asing di tanah kelahiranku sendiri. “Sungguh, tak seorang lagu kukenal… Aneh.”

Di sebuah kedai, kami bertanya pada pemiliknya tentang kepala dusun pada 30-an tahun silam. “Memangnya kenapa, pak? Apa beliau famili bapak?” pemilik kedai balik bertanya.

Kau menggeleng.
“Lalu kenapa? Ada apa masalah serius?”

“Tidak juga. Apa bapak kenal?” kau bertanya lagi. “Saya lupa nama kepala dusun itu, soalnya waktu itu umur saya baru 13 tahun.”

“Lalu, ada urusan apa bapak dengan beliau? Saudara bukan…”

“Ada yang ingin saya tanyakan,” jawabmu. “Eee… maksud saya, saya mau minta informasi tentang seseorang…”

“Siapa, pak?” pemilik kedai itu kembali bertanya.

“Adik saya,” jawabmu pendek. Menyelidik. “Apa bapak kenal dengan kepala dusun itu? Sekarang di mana beliau?”

“Wah maaf, saya tidak tahu. Semenjak saya menetap di sini, kepala dusunnya adalah pak Udin. Pensiunan polisi...” segera ia menjawab. “Tapi coba bapak tanya saya beliau. Siapa tahu dia kenal, setidaknya tahu di mana kepala dusun yang bapak cari itu sekarang berada.”

Tersenyum. “Bapak pendatang?” aku memotong.

“Tidak juga. Saya dari dusun sebelah Selatan. Begitu tanah kami dibebaskan untuk ladang tebu, kami pindah ke sini.”

“Bapak benar-benar tidak tahu dengan kepala dusun yang saya maksud?”

“Saya benar-benar tak tahu. Maaf…”

Lalu kau mengempaskan nafas, terdengar desahmu amat kuat. Aku tahu kau kecewa, sangat kecewa. Pada hitungan detik berikut, kau melahap cepat nasi yang terhidang di depanmu. Tandas. Kau hirup pula kopi yang masih mengepul.

Sepertinya kami akan gagal mencari tahu informasi yang kami inginkan. Tak satu warga di sini yang kami tanya, mengenal perempuan yang pada 30-an tahun silam masih berusia 6 bulan. Bahkan yang membuatmu kecewa, kau tak lagi mengenal warga di sini. Ke mana para tetangga dulu? Paman, famili, juga kepala dusun yang baik hati itu? “Sepertinya telah terjadi sesuatu, sepeninggalku dari dusun ini,” kau bebrisik. Aku diam.

Kau berkisah tentang kepala dusun yang kau katakan baik hati itu. Kepala dusun itu, namanya Ismail, selalu memberi semangat pada warga agar tak menyerahkan tanahnya kepada penguasa berapa pun dibayar. Karena jika melepas tanah milik kita, mau ke mana kita berladang dan menetap? “Akhirnya pak Ismail memimpin warga berdemo saat tanah kami dibebaskan dengan paksa. Kami mendirikan kemah-kemah di tengah ladang dan menjagainya siang malam. Sampai kepala dusun kami itu dipanggil rapat ke Kecamatan, tapi kenyataannya ia ditahan…”

“Lalu apa reaksi masyarakat ketika ia ditahan?” aku ingin mengetahui sejarah masa silam itu.

“Kami datangi kantor Koramil. Kami protes. Kami membawa bensin dan siap membakar kantor Koramil. Akhirnya pak Ismail dikeluarkan. Tapi itu cuma taktik, sebab beberapa hari kemudian pak Ismail meninggalkan dusun ini entah ke mana. Aku juga tak tahu setelah itu, karena aku pun lari meninggalkan dusun setelah mendapat ancaman aku akan dilenyapkan pula…”

“Jadi, sejak itu kau berpisah dengan adik peremapuanmu?”

“Juga dengan keluargaku semuanya…” jawabmu bernada sedih. “Hanya aku tahu informasi kalau orang tuaku meninggal beberapa tahun kemudian. Ayahku ditemukan sudah tak bernyawa di kebun durian, tubuhnya terkoyak-koyak di antara buah-buah durian yang berjatuhan. Sengaja jasad ayah diletakkan dekat buah-buah durian itu agar orang menduga ayah mati oleh binatang buas,” lanjutmu. Sedih. Pipimu basah.

Dari tempat pengasingan, kau banyak mendapat informasi tentang dusunmu. Soal warga yang terus berjuang mempertahankan tanah miliknya. Soal penangkapan para pendemo. Juga soal sebagian warga yang akhirnya melepas tanah miliknya dengan mendapat uang pembelian sangat murah. “Sejak itu aku tak tahu lagi. Aku malas mendapatkan informasi dari dusunku. Apalagi semangat berjuang warga mulai menurun…”

Karena itulah setelah terjadi perubahan, keadaan di daerah ini sudah tampak aman, baru kau berkunjung kembali. Sekalian mencari tahu nasib adik perempuanmu yang berpisah denganmu masih berumur 6 bulan. “Aku pesimis, adik perempuanku akan kita temukan,” katamu setelah berhenti beberapa kejap.

“Kuharap kita tak sia-sia.”

“Aku malah sebaliknya,” kau berkeras.

Hanya, kenapa airmukamu cemas? Tak kudapati optimisme memancar dari wajahmu. Gelisah. Sampai pemilik kedai mengingatkan bahwa hari parak senja. “Kalau bapak tak segera pulang, bapak akan kehabisan kenderaan. Sepuluh menit lagi mobil ke seberang berangkat, dan itu yang terakhir…”

Kau makin bimbang. Wajahmu membias merah…



DALAM perjalanan kembali, kulihat kau tiada lagi bercakap-cakap. Kau seperti kembali sendiri, seakan aku bukan teman perjalanan. Di matamu aku menjadi asing. Seperti warga di dusun kelahiranmu yang dulu kau tinggalkan. Tiada kau kenali lagi. Atau karena mereka semua pendatang? Karena mereka bukan warga keturunan di situ? Lalu, ke mana perginya warga asli yang dulu amat bersemangat menentang penguasa yang hendak mencaplok tanahnya? Kami benar-benar tak tahu kisahnya.

Orang-orang yang kami tanya dan meminta informasi soal semua itu, sungguh semua mengaku tak mengetahui. Bahkan Pak Udin, kepala dusun yang ada sekarang, mengaku sungguh-sungguh tak mengetahui. Itu pun dengan hati-hati, penuh selidik. “Saya kan kepala dusun ini generasi ke sekian dari pak Ismail, jadi saya tak tahu. Dengan pak Ismail saja tak tahu, apalagi soal cerita di dusun ini. Saya datang ke sini sudah aman keadaan, dan saya diminta warga menjadi kepala dusun…” jelas pak Udin.
Percayakah Anda, seorang kepala dusun (apalagi pensiunan Polisi seperti pak Udin!), tidak mengetahui apa yang pernah terjadi di dusunnya pada masa lampau? Tetapi, kami membuktikan, ternyata itu ada. Di dusun ini, dusun yang dulu pernah berkecamuk karena kasus tanah antara rakyat dengan penguasa. Dusun yang pada 30-an tahun silam bernama Menggalo, dan kini berganti menjadi Besuki.

Sejarah, betapa pun tak ditulis orang, pastilah akan sampai oleh cerita dari orang ke orang. Anehnya, hal itu tak kami peroleh dari dusun ini. Seperti banyak sejarah yang ada di negeri ini, terutama yang busuk bagi kekuasaan, dilenyapkan. Jangan-jangan, Anda telah menghapusnya?


Lampung, 15-19 September 2004





15. Mas


JANGANKAN mengeluh, menampakkan wajah masam saja tak pernah. Padahal dua pekan sekali aku menemuinya dikantor, di ruang kerjanya. Apa lagi kalau buikan meminta bantuannya. Dan setiap kali aku pamit, ia akan meyelipkan di sakuku uang seratus atau dua ratus ribu rupiah. Ia selalu menyambutku amat bersahabat, menyilakan aku duduk di kursi empuk yang disediakan untuk tamu-tamunya kemudian mengambil sebutol minuman dari lemari es dan meletakkan di meja.

“Apa kabar? Kau sehat pun aku dengarnya senang,” katanya lalu duduk berhadapan. Aku mengangguk. Tersenyum.

Ruang kerjanya yang dingin, harum, dan selalu resik, menunjukkan kalau pemiliknya amat menyukai keindahan. Apalagi, beberapa sudut dinding tergantung lukisan dari beberapa pelukir ternama di kota ini. Terbanyak adalah karya lukisku. Belum lagi benda-benda seni khas dari suatu daerah dipajang rapi di lemari.

Ia, maksudnya temanku yang kini bernasib baik, memang seniman. Dulu, karya-karya seninya (ia adalah seniman tari) selalu menjadi pembicaraan para seniman, pemerhati, dan kritikus seni. Setiap memanggungkan koreografinya, selalu ia menuai pujian, Dan media cetak beberapa hari terus mengulas karyanya. Bahkan, tak jarang, pakar sosial ataupun politik, ikut mengulas dari pandangan disiplin ilmu yang dimilikinya. Seniman lain kerap iri. Mereka yang berseberangan, acap membuat isu tandingan. Tetapi saja tak bisa mengalahkan perbincangan karya temanku ini.

Dulu, waktu sama-sama hidup menggelandang sebagai seniman, aku sering membelanya jika ia diserang oleh sneiman lain yang ingin menjatuhkannya. Pembelaanku untuknya suma satu alasan: ia memang konsisten dengan keseniannya, berkarya dan berkualitas. Tidak seperti seniman lain di kota ini, ingin dikenal sebagai seniman tapi bukan dari karya. Liwat propaganda-propaganda hitam, sensasi, dan isu murahan. Misalnya, mengundnag wartawan dengan memberi uang, besoknya berita murahan itu muncul di semua media cetak.

Sedang temanku ini (maaf aku lupa memeri tahu namanya Anda: panggil saja Mas), menjauhkan isu-isu murahan seperti itu. Baginya, berkarya yang baik dan total, niscaya karya kita akan dihargai. “Kewajiban seniman itu berkarya, bukan membikin sensasi apalagi isu-isu seni murahan seperti mereka. Phuih!” katanya suatu kesempatan berdiskusi denganku, di sudut kantin Gedung Kesenian Kota.

Aku setuju pendapatnya. Memang di kota ini banyak yang mengaku seniman, tapi sesunguhnya mereka hanyalah birokrat seni, politikus, makelar seni. Yang dipanjangkan cuma rambut dna gawir, yang dipertontonkan hanya cuap ke sana-sini, menciptakan julukan, sok bertutur indah dan mendayu, mencari bapak angkat di eksekutif ata legislatif, atau kalau tidak: mencaci karya-karya seniman lain. Tapi, karya-karyanya bagai kaki ayam yang disuruh menulis atau melukis.

“Sialnya, malah mereka yang sering dipanggil pejabat, diberi bantuan, diminta jadi pelatih, dan masyarakat pun—karena media cetak yang sudah dibayar itu membaptisnya budayawan—memujanya sebagai seniman. Sedangkan Mas…” kataku kesal.

“Biar sajalah. Aku sendiri tak merasa dirugikan. Toh, sejarah juga yang nantinya akan mencatat,” jawabnya santai. Tak terkesan emosi.

“Aku tak percaya pada sejarah, kawan. Sejarah sering melakukan kebohongan pada publik. Apa kau tak merasa kalau pers pun turut membuah sejarah palsu dengan pembatisan budayawan atau julukan-julukan itu. Menulis berita dari sumber-sumber yang hanya punya kepentingan dmei popularitas pribadi? Sementara…” aku membantah. Nada bicaraku agak meninggi.

“Sudahlah. Biar mereka berbuat begitu. Mungkin kemampuanya hanya segitu. Kau tak usah terbawa emosi. Atak kau juga ingin seperti mereka?”

“Mereka menyebalkan, Mas. Mengaku seniman, sok nyeni, tapi karyanya tak satu pun yang bermutu! Bisanya hanya menjelakkan karya orang, merendahkan, karena merasa dekat atau punya media, tanpa pernah mengakui kelebihan orang lain. Padahal karya-karyanya lebih buruk, kacangan,” ucapku lagi. “Kau lihat saja karya-karya mereka, seperti buatan anak-anak.”

“Jangan terusik. Kau tak akan pernah berkarya kalau hanya mengurusi hal-hal di luar seni. Isu-isu murahan, sensasi, politik yang dikemas dengan baju seni, maka yakinlah akan dilupakan orang nantinya. Seperti fenomena atau trend, kan tak lama. Aku percaya, budaya instan tak akan bisa abadi.”

“Kau ini aneh, wakar kalau aku terusik. Kita yang sungguh-sungguh berkesenian, tapi yang punya nama adalah meraka. Kita susah-susah membangun monumen yang baik, mereka yang meurbuhkan. Kau tahu, mereka yang selalu diagungkan pejabat. Mereka hanya menjual seniman. Kau, Don, dan seniman lain yang tak pernah mati berproses, itulah yang dijual mereka. Kreativitas kalian, prestasi kalian, tak pernah dihargai!” jawabku dengan nada makin tinggi dari sebelumnya.

Mas tersneyum. Ia seperti menertawakan keberanganku. Ia mengingatkan, jangan sampai kita terpengaruh lalu mengorbankan kreativitas. Ikut-ikutan membuat sensasi atau isu murahan, seperti selebriti demi sekadar mencari popularitas. Untuk apa? Kalau cuma ingin terkenal tak perlu jadi seniman, cukup penjual narkoba, koruptor yang tertangkap, atau selebriti yang kawin-cerai.

Aku diam. Meski hatiku terus bergolak. Aku ingin protes pada mereka yang hanya mencari popular dari kesenian. Bikin buku seni dengan gambar-gambar sampul aneh supaya dicekal lalu media massa memberitakan. Dari pemberitaan ini mereka mengeruk popularitas. Sampai larut malam, kami tak lagi berdebat.

Seusai diskusi terakhir denganku yang nyaris berdebat kusir dan saling tuding wajah itu, lama kemudian aku tak bertemu dengan Mas. Aku dapat kabar ibi pindah ke kota B. Di sana bukan tenggelam kariernya, malah kian berkibar. Ia tak hanya melahirkan karya tari, kutahu juga kalau ia dikenal penulis puisi dan prosa. Dari sebuah media ibukotas, aku peroleh kabar kalau Mas diundang workshop ke Universitas IOWA City. Katanya selama 6 bulan belajar sastra di sana, lalu setahun lagi menetap di Eropa memperdalam senitari.
Selama di luar negeri, ia kerap mengirimi aku kartu pos bergambar khas negara yang disinggahinya. Di bawah gambar itu, ia tak lupa menulis: “apa kabar teman-teman? aku di berlin”. Setengah bulan kemudian datang lagi kartu pos dari Mas. Di bawah kartu pos tertulis, tapi ia menjelaskan kalau ia kini di Paris.

Sepekan kemudian datang lagi, tulisan di bawah kartu pos berbeda: “aku sudah menikah, kemarin. istriku orang amerika, namana jane. istrimu sudah hamil kan? selamat. aku masih paris”. Kukumpulkan kartu pos-kartu pos dari Mas dengan rapi. Lebih dari 59 lembar selama 2 tahun ia di luar negeri.

Ketika ingin kembali ke Tanah Air, aku dimintanya menjemput di Bandara SH. Tentu saja aku bingung. Soalnya dari mana aku cari uang untuk transportasi ke bandara? Aku tetaplah seniman miskin. Hanya aku tetap menyatakan sanggup sewaktu ia menelepon ke sekretariat Gedung Kesenian Kota, meski mungkin suaraku terdengar tak tegar.

“Kenapa kawan?”

“Tak apa-apa…” aku gagap. “Kapan kau pulang?”

“Minggu dpean,” jawab Mas tegas.

“Ok, aku bisa. Bisa!” jawabku agak lega. Setidaknya aku bisa mencari pinjaman. Aku punya kenalan di koran, dia redaktur. Aku akan menyerahkan beberapa lukisan untuk ilustrasi cerita pendek, dan meminta dibayar di muka.

“Kau tak punya ongkos?” tiba-tiba ia berujar dengan pertanyaan seperti itu. Belum lagi kujawab, Mas sudah melanjutkan. “Jangan khawatir, aku sudah transfer dua juta ke rekening kepala TU GKK. Aku sudah telepon pak yani, kau minta saja padanya.”

“Apa?” aku terlongo. “Aku merepotkanmu saja ya, kawan?”

Tetapi, Mas tak bereaksi. Sungguh, uang sejumlah itu bagiku amat besar saat ini. Dari penjualan karyaku saja atau dari honor tulisanku sebulan di media massa sulit mendapatkan uang sebesar itu. “Kirimanmu itu terlalu besar bagiku. Tiga ratus saja cukup kok aku ke bandara…”

“Bukan untukmu semua…”

“Untuk siapa?”

“Istrimu. Kuperkirakan tak lama lagi istrimu bakal melahirkan. Itu cukuplah untuk biaya persalinan. Soal lain, kita bisa beli nanti begitu anakmu lahir. Ok?”

Aku mengangguk. Berulang. Tak sadar kalau aku bicara di pesawat telepon. “Ya, ok!” kataku kemudian.

“O ya, apa kabar teman-teman lain?”

“Wah, panjang ceritanya. Kalau kuceritakan sekarang, uangmu bisa habis dimakan pulsa. Sebaiknya di Tanah Air saja kuceritakan. Oke?”

“Ya!”




AKU menanti di ruang tunggu bandara, sejam sebelum pesawat yang menerbangkan Mas mendarat. Kepada petugas aku dapat jawaban kalau pesawat internasional datang setengah jam lagi. Aku percaya karena perusahaan penerbangan tak sama dengan kereta api yang kerap tak tepat janji.

Ketika penumpang pesawat internasional keluar, aku menelisik. Mencari-cari wajah Mas. Dan itu dia! Aku tergeragap. Ia membawa banyak bawaan, sekitar 5 tas besar: 2 tas dorong dan 3 tas ukuran kecil. Aku menduga pastilah tas yang dibawanya itu berisi oleh-oleh.

Mas menenteng dua tas, tiga tas lainnya dibawa oleh kuli bandara. Kulihat ia menuntun perempuan bule. Pastilah itu Jane—istrinya, aku bergumam. Ketika dekat, ia kenalkan perempuan itu padaku. “Lex, ini Jane, istriku. Dia Amerika tulen…” tertawa. Lalu kepada istrinya, Mas berujar dengan menggunakan bahasa Inggris. “Jane, ini sahabatku, seniman juga. Ia pelukis dan penyair…”

Lalu kujabat tangan Jane. Aku tersenyum. Jane membalas. Kami tak bercakap-cakap. Karena aku tak pandai berbahasa Inggris, sedang Jane tak bisa bebrahasa Oindonesia. Untunglah Mas tahu, lalu ia yang kerap menyilang percakapan. Jane, seperti kutahu dari Mas, juga seniman tari. Mereka bertemu saat Mas menampilkan koreaografinya di kampus Jane.

Selama perjalanan dari Bandara SH ke kota kami, aku bercerita banyak tentang para seniman lain. Misalnya Dodi yang kini birokrat di lembaga kesenian yang didanai dari APBD. Lalu Romi yang makelar seni, tapi ke mana-mana membawa karu nama seniman. Juga Bowo yang haus dengan julukan dan rindu pada bapak angkat, ketimbang memperbaiki karyanya supaya berkualitas.

“Jadi Dodi ketua dewan kesenian sekarang? Ya bagusnya memang ia mengurusi sneiman saja, karena sebagai seniman dia sudah lama gagal. Lagipula dari dulu dia kan memang pintar mememanage orang…” ujar Mas.

“Tapi yang tak kusuka, ke mana-mana Dodi mengaku seniman, bawa nama seniman. Setiap undangan pertemuan seni ke luar negeri atau ke lain daerah, ia duluan yang berangkat. Alasannya dia punya jatah sebagai pemimpin seniman, wakil dari seniman,” kataku. “Waktu Kokai meluncurkan bunga rampai tulisannya, Dodi naik panggung menerima buku itu mewakili seniman. Seniman mana yang dia wakili? Aku yang melihatnya jelas sebal,” aku menambahkan.

“Kenapa mesti sbeal? Orang juga tahu mana yang benar-benar sneiman, mana yang birokrat seni,” Mas menyanggah.

Aku terusik. Selalu saja Mas menganggap remeh masalah. “Ah! Malas aku bicara denganmu. Kau selalu menganggap tak ada masalah, padahal aku melihat itu masalah. Masalah besar bagi kesenian.”

“Kau saja yang menganggapnya masalah. Kalau kau masabodoh, semua itu bukan masalah. Yang penting bagi kita berkarya, persetan hal-hal di luar kesenian.”

“Maksudmu, Mas?”

“Dari dulu aku konsisten hanya berkarya. Aku tak mau pusing soal politik atau apa pun di luar kesenian. Sampai kapan pun aku tetap pada prinsipku ini…”

“Kau akan terus berkarya, tetap sebagai seniman?” tanyaku ingin kepastian.

Mas tertawa. Mengangguk. “Dalam tubuhku sejak dulu mengalir darah seni. Jadi tak mungkin akan kumatikan,” jawa Mas semangat. “Hanya akan kubarengi dengan membuka usaha. Jane punya modal untuk kujalani usahanya.”

“Kau mau bisnis apa?”

“Travel. Aku akan merental kenderaan, menyewakan lighting dan Jane akan keahlian stagemanagernya. Aku akan sinergikan kemampuan yang kami miliki. Aku yakin sukses,” jawab Mas. “Dengan begitu, aku tak perlu mengemis pada pemerintah kalau diundang ke luar.”

“Lalu kapan kau akan berkesenian?”

“Malam. Saat itu aku tak mau diganggu oleh urusan di luar kesenian. Kita mesti disiplin.”




MAS memang sukses. Bisnisnya menanjak. Mobil yang dirental terus bertambah. Jane juga sibuk diminta jadi stagenamager di berbagai pertunjukan dan pameran lukis. Kantornya makin besar dan mewah. Ada ruang latihan, selain ruangan kerja. Karyawannya banyak.

Kalau kini aku sering datang meminta bantuan Mas, karena memang sebagai sneiman aku belum sugih. Aku seperti “mengemis”, tapi Mas selalu marah kalau aku menyebut itu. Katanya, menolong teman saat benar-hbenar membutuhkan adalah wajib. Sangat wajar.

“Lagipula aku memberi uang padamu tak cuma-cuma. Iya kan? Kau sering menyerahkan lukisanmu dan memberiku buku puisi, Sejak dulu aku memang menyukai karya-karyamu. Itu sebabnya kupajang karya-karyamu di kantorku ini,” lanjutnya.

“Aku ingin suatu saat menggelar pameran karya-karyamu. Aku yang membiayai. Harus spektakuler. Kita adakan pelelangan karya. Aku mau kau bisa menghasilkan uang banyak, selesai pameran. Aku optimis bakal sukses!”

Seusai bicara, Mas menyelipkan amplop berisi uang ke saku bajuku. Di luar kantor Mas, kuhitung lembaran uang yang tersusun rapi seperti baru diambil dari bank. Tiga juta rupiah. Juga selembar surat: “Uang 1 juta itu hak istrimu, jangan dipotong. Sisanya belikan alat untuk kau berkarya.”

Namun kawan, sampai kini pameran karya-karyaku yang dirancangnya itu belum terlaksana. Entah sebab apa, Jane memboyong Mas kembali ke Amerika. Mungkin menetap di sana. Aku benar-benar kehilangan.
(kenangan buat harry jayaningrat, koreografer lampung)


Bandar Lampung, Agustus-24/25 September 2004








16. Keluarga Ed


SETIAP pagi, tak lama setelah tuan rumah pergi kerja dengan mobilnya, perempuan muda masuk ke rumah besar itu. Mobil sedan honda putih langsung meluncur ke garasi, dan sejurus kemudian pintunya tertutup. Seperti tak terjadi apa-apa.

Tetanggaku itu memang aneh. Baik suaminya atau istrinya sangat tertutup dengan warga. Kami tak kenal akrab, namanya pun hanya kami ketahui amat singkat: Ed. Karena tak pernah bergaul itulah, kami juga tak tahu apa pekerjaanya. Apakah istrinya juga karier atau cuma ibu rumah tangga. Usia mereka terbilang muda, paling-paling 33-an tahun.

Jika aku berpapasan, Ed akan tersenyum lalu menyapaku “Abang…” sambil memperlambat mobilnya, dan aku selalu menjawab “Ngantor?”. Ia hanya tersenyum.

Aku tak tahu jam berapa Ed pulang. Entah apakah aku yang kebetulan tak ada di rumah atau memang Ed pulang dari kantor pada tengah malam, sehingga ku tak prnah melihat kepulangannya. Garasinya selalu tertutup rapat seharian sehingga aku tak tahu di balik tirai garasi itu sudah terparkir mobil Ed atau kenderaan tamu—seorang perempuan muda—yang datang setiap pagi begitu Ed meninggalkan rumahnya.

Aku hanya tahu, ini pun dari tetangga lain, kalau Ed belum punya anak padahal usia perkawinan mereka sudah 9 tahun. Anak lelaki berusia 3 tahun yang sering kulihat di rumahnya, konon anak angkat mereka. “Katanya untuk mancing biar istrinya hamil,” kata istriku menirukan mbak Tituk, tetangga sebelah kiri Ed.

*

ED selalu mengenakan pakaian berwarna putih, pakai dasi biru atau hitam. Licin dan necis. Rambutnya rapi, dicukur pendek walau tak dihabiskan. Dapat kubayangkan, Ed bekerja di perusahaan bonafide. Dan Ed tentu memegang jabatan. Kalau hanya staf biasa, tak mungkin dia mendapat kendaraan dan selalu berdasi. Meski soal dasi ini bisa saja seorang staf memakainya, jika itu memang peraturan kantor. Seperti tetatanggaku lainnya, ia hanyalah wartawan di penerbitan media kecil, tapi ke kantor selalu pakai dasi. Kadang yang membuatku lucu, wartawan berdasi itu ke kantor masih pakai motor dan membawa tas yang kukira sudah sangat buruk.

Ed berbeda. Dia menyetir sendiri mobilnya. Kijang panther berwarna biri itu juga selalu bersih mengkilap. Sepertinya Ed rajin merawat dan mencuci. Meski aku tak tahu di mana dan kapan dia mencuci mobilnya.

Ed tidaklah begitu familiar dengan tetatangga, meski ia juga tak lampau angkuh. Ed jarang mengobrol, bertandang ke rumah tetangga atau santai di gardu ronda. Hanya ia tak pernah lupa menyapa warga setiap berpapasan. Meski Ed tak pernah menawari kami—walau sekadar basa-basi—untuk menumpang mobilnya. Namun ia segera memberi bantuan jika ada warga terkena musibah.

Itu sebabnya kami tak tahu banyak tentang pribadi Ed, misal soal keluarganya: istrinya. Berapa anaknya, dan siapa perempuan muda yang datang setiap pagi setelah beberapa menit Ed meninggalkan garasi mobil, termasuk berapa pembantunya.

Aku hanya faham sekitar jam 7.00 Ed keluar dari rumah, lalu seroang perempuan memasuki garasinya begitu mobil Ed menghilang di ujung jalan. Setelah itu pintu garasi kembali ditutup. Dan seperti hari-hari lalu aku pun ditelikung keanehan.

Aku bukanlah tipe warga yang mau tahu urusan rumah tangga orang lain. Aku juga bukan ingin ikut campur rumah tangga orang. Hanya, sebagai ketua RT, aku ingin tahu dengan keanehan yang kurasakan dari keluarga Ed. Aku mencium keanehan, tapi apa itu?

*

ISTRI Ed, ia biasa dipanggil dik Lebi oleh ibu-ibu di sini, terbilang cantik. Perawakannya mungil, kulit putih, rambut sebahu, dan selalu tak acuh pada lelaki. Siapa pun pria di sini tentu punya perasaan lain jika melihatnya. Namun, sejauh itu, Leni biasa-biasa saja.

Kalau aku menangkap keganjilan dari keluarga Ed, karena aku tak pernah melihat kedua jalan bersama. Misalnya pada malam arau pagi Minggu. Cuma keanehanku itu bantah istriku. “Apa yang aneh, keganjilan apa? Memangnya aneh kalau kau tak melihat mereka berjalan berdua? Apa kau sering membawaku jalan?” istriku malah balik menudingku. “Aku pernah melihat mereka keluar dnegan mobilnya. Kau saja yang bangun tidur kesiangan,” lanjut istriku.

“Kapan kau lihat?”

“Sebulan lalu. Jam setengah 7 mereka kulihat keluar dengan mobil. Pak Ed sempat tersenyum padaku, melambai…”

Darah dalam tubuhku bergelegak. Kumatikan perasaan itu.

“Juga dengan anak angkatnya?’ tanyaku selanjutnya.

Istriku mengangguk.

“Memangnya kenapa? Sepertinya kau ingin tahu benar dengan tetangga kita itu. Apa karena Leni, istri Ed cantik?” ucap istriku beberapa jenak kemudian. Kurasakan nadanya tak senang.

“Ya tak apa-apa. Aku kan tak masuki urusan rumah tangga mereka, cuma ingin tahu saja karena aku merasakan ada keanehan di sana. Lagipula, wajar kan aku sebagai ketua RT ingin tahu warganya?”

“Kau hanya seorang ketua RT, jangan terlalu jauh masuki rumah tangga orang,” potong istriku. Tak senang. “Lagi pula mau aneh atau tidak. Mau jungkirbalik atau runtuh, apa urusannya dengan kita. Kau juga tak punya hak mencampuri,” sergahnya lagi. Ia melanjutkan, kali ini lebih panjang. “Mereka kan tak mengganggu rumah tangga kita. Sebagai warga dia sudah melapor padamu sebagai ketua RT. Mas Ed juga tampaknya baik dengan tetangga, seperti katamu, tak lupa menyapa kalau kebetulan berpapasan. Dia cepat membantu kalau ada tetangga di sini yang terkena musibah. Lalu apa yang ganjil dengan mereka? Kukira masih wajar-wajar saja.”

“Itu menurutmu. Kenapa sih kau amat membela keluar Ed?” kini aku yang tak senang, tepatnya cemburu.

“Lo, apa tidak boleh aku beda pendapat dan cara pandang tentang tetangga kita itu? Ketika banyak warga di sini mencurigainya, mengendus keanehan di rumah tangga Ed, seperti kau?”

Aku tak langsung merespon. Menarik napas. Menggerakkan letak duduk. “Kau tak merasakan keganjilan? Apa yang ada dalam pikiranmu, setiap hari perempuan muda itu masuki garasi rumah Ed begitu mobilnya membelok di ujung jalan sana? Kenapa hanya dia yang menjadi tamu Leni, apalagi setiap hari? Apa kau masih tak merasa keanehan?!”

“Aku benar-benar tak melihat, aku tak merasakan itu. Kukira wajar orang bertamu mau tiap hari atau setahun sekali. Lagipula apa urusannya buat kita? Apa untungnya memikirkan urusan keluarga orang?” istriku kembali mengingatkan. “Sudah deh mas, kau tak usah ngurusin orang lain. Masalah keluarga sendiri aja banyak dan belum beres.”

Sejak itu, aku tak lagi mengajak istriku dialog soal keluarga Ed. Keganjilan rumah tangga Ed kunikmati sendiri. Ternyata ini lebih mengasyikkan. Mendebarkan. Tapi tak harus ada perdebatan. Ada pertengkaran…

Sampai suatu hari, satu jam setelah Ed keluar dari rumahnya kalai ini tidak seperti biasa. Ia pulang tanpa dengan mobilnya. Ketika kutanya mana kenderaanya, Ed mengatakan di bengkel. “Servise ringan bang, sudah lama tak ke bengkel. Tidak ada waktu.”

Kemudian ia bergegas masuk dari pintu samping kiri rumahnya. Sejurus kudengar pertengkaran di dalam rumah Ed.

“Pantas kau selalu dingin berhubungan denganku!” kudengar bentakan Ed.

“Kau juga tak pernah bergairah!”

“Karena kau tak mampu bangkitkan…”

“Aku sudah muak, kau bukan…”

“Kau… dasar lesbi!” kudengar bentakan yang lebih tinggi. ”Hei kau, pelacur! Keluar dari rumahku kalau tak ingin kuteriaki maling. Ayo, anjing, pergi kau!”

“Aku ke sini karena istrimu meneleponku. Tanya saja, bukan aku yang mau. Lagipula aku ke sini karena dagang…” kudengar suara perempuan, tapi bukan Leni.

“Dagang… Persetan, aku tak mau tahu! Pokoknya kau keluar sekarang dari rumahku. Anjing!”

“Istrimu…”

“Pergi kataku, atau mau kubakar mobilmu!” suara Ed makin menggelegar. “Perempuan murahan, tak laku. Ganggu keluarga orang…”

“Istrimu…”

Tak lama, sedan keluar dari garasi rumah itu. Kulihat permepuan muda itu di depan stir. Belok kiri dan melaju.

Ed mengunci garasi, juga pintu samping. Hanya sebentar mereka melanjutkan pertengkaran. Saling memaki, berlomba mencaci. Sayup-sayup kudengar kata mandul, lesbian, anjing bergantian. Setelah itu, rumah Ed senyap…


Bandar Lampung, Agustus-September 2004




Note:
1 Puisi “Paling Kelam” Isbedy Stiawan ZS
2 Di Lampung, sudah menjadi pandangan umum wakil rakyat berada di tempat-tempat hiburan. Bahkan dari berita-berita sejumlah media massa lokal, anggota dewan kerap ditangkap mengonsumsi ineks dan sabu-sabu. Mereka datang bersama teman kencannya.

[1] Diyakini di sungai ini, Tulangbawang, dahulu kala memerintah seorang raja. Wilayah kekuasannya bernama Kerajaan Tulangbawang (kini menjadi Kabupaten di Provinsi Lampung), namun kebenarannya oleh sebagian sejarawan di Lampung masih diragukan. Tetapi, Kerajaan Tulangbawang itu ada, hingga kini kadung diyakini masyarakat.
[2] Orang Lampung, terutama dari suku Menggala, juga meyakini bahwa nenekmoyangnya berasal dari Cina.
[3] Anak Lampung atau Orang Lampung.
* nama sebuah kafe yang berada di kawasan Pahoman, Bandar Lampung. Kafe itu juga terkenal dengan mama Kafe Hollywood

Tidak ada komentar: