17 Mei 2008

KADAL



Cerpen Isbedy Stiawan ZS


ADALAH malam kesekian dari sekian malam sejak pertama pertemuan?ia memberi nama malam pertama kali bertemu. Ia duduk bersandar di dinding kursi beton, di sudut taman satu-satunya di kota itu. Tak ada pengunjung lain, barangkali karena malam sudah larut. Secangkir kopi di gelas plastik yang dipesannya di warung malam (maksudnya warung kopi itu hanya berjualan pada malam hari) baru sedikit ia seruput, namun dua batang rokok filter sebagai teman di waktu dingin telah tuntas.

Ia kesepian. Ia merasa benar-benar sunyi. Tiada manusia lain yang menemaninya, kecuali serangga malam dan hewan melata di rumput. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Saat ia berjumpa Nesa?perempuan yang tanpa sengaja apatah lagi diundang?berkunjung ke taman itu. Dengan membawa perasaan yang sama dengannya: sunyi dan caci. Lalu keduanya saling tukar cakap, memberi dan menerima segala yang terkandung dalam hatinya.

"Persis! Kita memang senasib! Karena nasib pula kita dipertemukan di sini malam ini?." kata dia seperti bersorak, seakan hendak menertawakan nasib. "Ini malam apa?" ia tambahkan.

Perempuan itu menyeringai, "Pentingkah soal malam? Apa peduli malam pada makhluk seperti kita? Gelandangan yang tak pernah mengenal pulang? Rumah yang tak akan membuka pintunya bagi seseorang yang keletihan?"

"Tentu penting, karena ia menyimpan makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup kita. Kalau tak ada malam apakah taman seperti ini dapat bermakna karena sangat pentingnya bagi pengembara," ia mengajukan alasan. Lantas katanya lagi ingin melupakan, "tapi tak apa kalau kau menganggap tak penting. Penting tak penting, toh nasib, malam, dan taman ini tetap mempertemukan kita?"

"Persis. Yang bermakna sejatinya adalah pertemuan, bukan lain-lainnya. Bukan pula nasib ataupun malam."

Keduanya lalu mengatupkan kelopak matanya. Mendekat. Menyeruput embun yang jatuh di bibir, sisa dari perjalanan malam. Ah, sebuah kecupan yang indah dan berkesan. Betapa pun rasa asin dan lebih tepatnya hambar tetap menguar. Malam remang. Waktu gamang. Di langit tiada sebiji pun bintang. Juga senyum bulan.

Taman menggeremang. Embun berlomba luruh. Kursi terbuat dari beton anyep, seakan ikut merasakan senyap. Pasangan lain di taman itu rapat dan mendekap. "Mengapa kita tak meniru mereka?" ia memecah kesunyian. Rindu ingin mendekap kini memuncak.

"Kau mau?" perempuan itu menyeringai. "Tak usah ragu. Sebab gamang akan membuat kita salah bertindak?"

Tetapi, ia kini justru ragu. Apakah ia hanya untuk bertemu lalu berpisah? Apa artinya pertemuan kalau esok sudah melupa? Terlalu banyak orang yang semangat bercinta lalu diakhiri dengan saling membenci. Perkawinan lalu perceraian. Bertemu untuk kemudian membatu.

"Kenapa? Kau masih ragu?" pasangannya menggoda. Tak ada ular sebagai jelmaan di taman ini yang akan melontarkan keduanya ke luar sana. Betapa pun hati mereka perih.

Malam sepi.

Satu-satu tamu taman di kota itu meninggalkan tempat duduknya. Melangkah gontai. Menuju gerbang dan menghilang di tikungan. Ada yang menyetop taksi untuk melanjutkan pengembaraannya entah di mana. Atau masuk ke kenderannya dan ikut pula ditelan malam. Atau, seperti menghitung detak jantung, setiap kaki mereka mengayun di trotoar jalan.

?

"Tinggal kita lagi di sini," ia berujar. "Fajar sejenak lagi datang?"

"Kau ingin mandi matahari di sini? Aku akan menemanimu," kata perempuan itu.

Perempuan itu sering menyaksikan turis bule berjemur di tepi pantai, ataupun berjogging di taman tengah kota pada pagi hari. Mereka suka bermandi matahari. Keringat mengucur dari setiap pori-porinya bagai minyak zaitun yang membuat tubuhnya mengilap dan licin. Ia kerap menyukai warna tubuh para bule itu. Ketika berlumur keringat seperti bercahaya. Ia ingin sekali memasuki cahaya itu, bermandi, dan kembali dengan perasaan segar. Cuma selalu tak kesampaian?

Perempuan itu hanya memandang dari kejauhan. Bahkan tak jarang cuma dari ketinggian tebing, dari balik pohon palem.

Ia tak habis mengerti kenapa para turis suka berjemur-jemur. Apakah di tempatnya tiada matahari? Benarkah matahari hanya terbit dan terbenam di daerah tropis. Bukankah Tuhan dengan kekuasaannya bisa saja membagi arah jalan matahari ke seluruh wilayah, sehingga musim bisa dirasakan oleh setiap makhluk di bumi ini. Tetapi, kalau itu terjadi, tak mungkin ada warna kulit dan ras bukan?

Karena ada musim maka waktu bisa berganti. Karena matahari memiliki jalannya sendiri, maka orang menciptakan pengembaraan. Itulah sebabnya, setiap senja perempuan itu senantiasa menyaksikan para turis bule yang berjemur dan mandi matahari di tepi pantai. Cuma dilapisi celana dalam, mereka berjemur sambil tiduran di pasir. Tak sedikit pula sambil meniikmati jemari yang menari di seluruh tubuhnya. Para perempuan setempat tiba-tiba menjadi ahli memijat begitu pantai itu banyak dikunjungi turis.

Perempuan itu sering terbetik keinginan menjadi pemijat juga. Cumja ia tak pandai?apatah lagi ahli. Padahal, seperti ia sering dengar pengakuan para pemijat itu, memijat tak perlu punya keahlian khusus. Kebiasaan dan kehendak ekonimilah yang membuat para perempuan itu memilih profesi memijat. "Daripada menjaja kemaluan?" kata salah satu pemijat, meski ia tetap menambahkan: "kalau ada yang mau membeli, ya kenapa ditolak?"

Perempuan itu tersenyum. Ia tak mau mengkhianati cintanya. Cukuplah menjadi perempuan rumahan: mengabdi pada suami, berbakti pada anak. "Anak adalah panah yang akan menancap di masa datang. Anak adalah harapan keluarga dan bangsa!" ia meyakini nasihat para orang tua, meski peribahasa tersebut sudah tak lagi menyihir banyak orang.

Sebab, kata orang lain yang baru datang dari kota bekerja, keuletan dan tak mengenal sungkan adalah modal mendapatkan uang. Bekerja keras tanpa letih adalah gerbang mencapai kesejahteraan. Tapi benarkah itu? Ia menyangsikan. Suaminya yang merantau ke kota lalu menjadi tekana kerja di luar negeri, nyatanya tak membawa kemakmuran. Begitu pulang ke desa kembali menggarap sawah atau bekerja serabutan. Akhirnya miskin, akhirnya ia dijual kepada lelaki lain.

"Kalau kau menolak, anak semata wayang kita yang kita kasihi akan tak lagi bersama kita selamanya. Ia perlu dioperasi, dan itu membutuhkan uang tak sedikit. Apa kau tega membiarkan Nina sekarat lalu mati tanpa disentuh dokter?" bujuk lelakinya.

"Kau sendiri, apa usahamu?"

"Usahaku mencarikan lelaki yang mau membayarmu."

"Cukup!" ia berontak. Protes. Ia hendak menolak pekerjaan tak masuk akal yang ditawarkan lelakinya.

"Tak cukup dengan berteriak atau protes," suara suaminya tenang. Pelan. "Yang dibutuhkan sekarang adalah kerja dan hasil? dan itu hanya sekali."

Malam benar-benar berubah jadi pekat. Amat kelam. Angin mati. Jalan seperti sepadat batu, sedingin es. Serupa belantara yang diliputi butiran salju. Salju? Ah, di mana pula ia pernah merasakan? Membayangkan pun tak mampu.

Sekali. Kiranya berkali-kali. Berulang terus berulang, dan semacam ketagihan. Sebab nasibnya seperti menghendaki itu. Oleh sebab itu, jangan salahkan ia kalau kemudian ia menjelma jadi kadal. Setiap malam ia melata di rumputan, di taman, dan sesekali merasakan nikmat terlelap di kasur empuk sebuah hotel melati dan bintang.

Kadal itu?bukan ular seperti terkisah dalam kitab yang mendatangi sepasang manusia sewaktu di firdaus?selalu datang di taman satu-satunya di kota itu. Ia muncul dari semak atau pekat taman. Melata untuk menemui?ah, tepatnya mendatangi?setiap lelaki pengunjung taman. Ia datang terlebih dulu menjelma sebagai perempuan yang berbedak medok dan bergincu norak dengan tubuh dilapisi pakaian minimalis dan tipis. Atau berdandan ala perenang jika ia muncul di pantai dan kolam renang. Tak sedikit pula ia tetap sebagai kadal: menjilati jempol dan tumit para lelaki.

Di taman ini aku menjelma jadi kadal. Ia selalu mendesis begitu. Tak tahulah ihwalnya mengapa perempuan itu menjadi kadal. Atau kadal sebagai perempuan. Di kota itu tak ada penyihir yang ahli sebagaimana yang hidup di zaman Musa dan Muhammad. Penyihir di era kini adalah para penyair, hanya itu yang dia ketahui, yang mengumbar dusta dan lamunan. Betapa pun ia pernah menolaknya. Sebab, bagi kadal itu, penyair adalah pekerja moral karena itu sangatlah mulia di mata manusia. Mereka mengabarkan kebenaran lain; suara yang lain, demikian Oktavio Pazz pernah berujar.

Dan, kadal itu tetaplah kadal di taman tengah kota itu. Akan selalu melata dan menggoda?

DI TAMAN ini aku jadi kadal. Ia mendesis. Lidahnya menjulur ke luar. Ludahnya menyembur dan menyihir. Tak ada lelaki yang sanggup bertahan tanpa pingsan di hadapannya. Tiada rerumputan yang tak tertidur malu setiap kali dilaluinya. Ia laksana Ratu Balqis. Ia serupa Yusuf yang tampan membuat tangan istri raja teriris.

Maka setiap kali ia berkunjung, para lelaki akan memendam kerinduan yang dalam seusai ia berlalu. Setiap selesai bercengkerama akan berujung pada tangis berkepanjangan. Orang-orang akan menunggu dan menunggu kedatangannya. Tetapi ia akan makin menjauh, sebab kadal itu tak suka pada sesuatu yang telah dinikmatinya. Ia akan mencari yang lain. Akan menjilati tubuh yang lain. Mendesis dan menyihir makhluk lainnya.

Dan, kadal itu adalah perempuan yang datang beberapa malam lalu dan bertemu dengan lelaki yang singgah sendiri ke taman itu. Lelaki itu amatlah kesepian, setelah bininya lari dari rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana, tetap tak ada kabar keberadaan bininya. Ia coba kunjungi lokalisasi pelacuran kalau-kalau bininya terdampar di sana, namun justru ia tertidur di salah satu kamar pelacur sampai matahari persis di atas ubun-ubun genting. Sia-sialah ia mendatangi lokalisasi itu, kendati ia telah mendapati kenikmatan tubuh lain.

Sepuluh bulan berlalu, sejak ia menganggap telah bercerai dengan bininya, ia peroleh berita kalau istrinya telah menjadi kadal. Seorang temannya sewaktu SMA yang pernah punya hasart mengawini "bunga SMA" itu, mengabarkan kalau ia pernah berjumpa dan bahkan mengajaknya ke sebuah hotel murah di pinggir kali. "Aku mau melakukan itu karena ia katakan kalian sudah bercerai, dan ia tak mau mati karena miskin akhirnya memilih jadi pelacur!

Pukimak! Darah dalam tubuh lelaki itu bergolak. Bagai air yang mendidih di atas kompor. Kedua tangannya mengepal. Ingin ia lontarkan ke wajah sahabatnya itu. Ia bayangkan sbeuah sasak yang tergantung. Tetapi urung. Ia sadar, bukan kesalahan seharusnya dilimpahkan kepada sahabatnya. Lelaki, seperti petani, yang menunggu buah jatuh. Kalau saja posisinya seperti sahabatnya, ia pun akan melakukan yang sama. Apatah lagi sahabatnya pernah mencintai perempuan itu meski bertepuk sebelah tangan.

"Setelah kau bertemu dengannya, maksudku berkencan, ke mana istriku pergi? Apa kau sempat tanya di mana ia tinggal?"

"Seperti katanya, ia bukan lagi binimu," sahabatnya kembali menegaskan apa yang pernah ia dengar dari perempuan itu.

"Kali belum bercerai, ia hanya pergi dari rumah. Dan aku menceraikannya, jadi ia masih istriku," lelaki itu juga mempertegas. "Di mana alamat rumahnya?"

"Aku tak sempat bertanya karena aku kadung tersihir olehnya. Ia juga tak memberi kartu nama," jawab sahabatnya santai. Ia lalu tertawa, batinnya berujar: "Apakah pelacur sangat penting memiliki kartu nama?"

Kedua tangan yang kadung mengepal, lalu ia tumpahkan ke tembok. Lelaki itu mengaduh, tangannya memar dan membiru.

SEJAK itu ia lupakan bininya yang minggat. Ia bahkan berharap suatu hari kelak istrinya ditemukan dalam keadaan bugil tersayat-sayat. Ia juga sudah melupakan sahabatnya yang ternyata sudah merasakan tubuh istrinya. Sungguh petaka! Ia merutuk.

Kalau kini ia memilih taman kota, karena ia masih berharap bertemu perempuan yantg dijumpai beberapa malam terlewati. Setelah ia mengencani dan perempuan itu berjanji akan menemuinya lagi di tempat itu pula, semenjak itu setiap malam ia setia berkunjung ke taman itu. Dengan secangkir plastik berisi kopi dan sebungkus rokok filter, tak lupa pula sebungkus ubu atau pisang goreng. Sampai fajar, hingga matahari mengguyur seluruh badannya.

Bermalam-malam lelaki itu menunggu. Kadal itu tak juga berkunjung. Ia benar-benar dendam, amatlah membenci. Berulang ia mencaci-maki. Pukimak! Tokek! Dasar kadal!

"Kalau kau datang akan aku kuluti tubuhmu," ia membatin.

Tetapi, suara gaduh datang dari sudut taman di pinggir kali. Orang-orang berkelimun, suaranya mendengung bagai lebah.

"Ada mayat perempuan!"

"Terpotong-potong."

"Sudah tak jelas lagi bentuknya."

"Siapa pula yang begitu tega mengutilnya??"

Lelaki itu tak bernafsu ikut dalam kelimunan itu. Ia berpikir hanya sensasi murahan dari orang-orang yang tak punya pekerjaan. Ia tetap menanti datangnya fajar, lalu matahari mengguyur badannya. Tetapi fajar tak datang ke taman itu apatah lagi ia akan bermandi matahari, sebab lelaki itu diseret petugas keamanan dan dijebloskan ke dalam tahanan.

Untuk sementara ia disangka sebagai pengutil perempuan yang ditemukan warga di semak dalam kali, di sudut taman tengah kota yang setiap malam ia datangi. Walaupun ia tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu: apakah kadal yang pernah ia jumpai ataukah bininya?***

Lampung, 19 September 2006

Dimuat di Radar Lampung Silakan Kunjungi Situsnya! 01/14/2007

Si Pemabuk itu Bertobat



Cerpen Isbedy Stiawan ZS




SI PEMABUK itu kini tampak sungguh-sungguh bertobat. Sarung hitam berlurik kotak-kotak melilit tubuhnya, piyama (kau menyebut baju koko) dan peci-semuanya berwarna putih mempermanis kehadirannya di mesjid ini.

Pada shaf ketiga di sudut kiri, ia bergeming. Pandangnya tak jalang, tatapnya tiada nyalang. Lurus ke bawah, persis pada sajadah di mana keningnya rebah saat sujud. Tak ada yang peduli pada si pemabuk itu-ia tampak kini sungguh-sungguh bertobat-yang setiap jamaah mesjid ini tahu padanya; mengenal siapa lelaki itu secara akrab seperti tahu pada diri sendiri. Si pemabuk itu terkenal amat karib berulah. Meski semua orang juga tahu kalau ia telah melunasi rukun kelima dari rukun Islam.

"Tapi sepulang dari Mekah bukan benar-benar tobat, tapi malah banyak bikin maksiat," sindir jamah yang juga masuk dalam jalajan pengurus mesjid. Ia lalu menggelari si pemabuk itu sebagai tomat: pergi ke Mekah karena tobat dan pulang kembali maksiat. "Haji tomat. Mau pergi tobat, sepulang haji malah kumat," sahut yang lain.

Si pemabuk itu acuh pada gunjingan tetangga, apatah lagi jemaah mesjid yang acap meliwati warung Ali tempat ia biasa nongkrong menenggak alkohol. Ia juga tetap bergeming meski terlalu sering orang yang bergunjing sampai ke telinganya. Ia berpikir, selagi ia tak meminta uang atau memeras orang lain, tak jadi soal benar gunjingan itu. Kata guru mengajinya waktu ia kecil masih selalu diingatnya dan tak akan pernah hilang dalam kenanganya: "Lebih baik pemabuk yang kemudian bertobat sehingga disebut bekas pemabuk, daripada bekas ustad karena tergelincir ke lubang maksiat."

Guru mengajinya yang lain (maklum ia kerap berganti guru mengaji karena alasan bosan atau ingin banyak menimbu ilmu agama dari banyak guru) pernah bercerita lalu menyimpulkan: "Seorang pelacur akhirnya dimasukkan ke surga oleh Tuhan hanya karena ia telah menolong seekor anjing yang nyaris mati kehausan."

Pada hari lain, guru mengaji yang lain lagi, juga bercerita di sela jeda anak-anak istirahat mengaji, bahwa pernah terjadi di zaman nabi seorang pembunuh yang telah membunuh 99 orang lalu ia bertobat. Akan tetapi, sebelum ia sempat memasuki mesjid ia meninggal. Lalu malaikat menghitung jumlah langkah dari pertama kali ia berniat untuk bertobat dengan jarak mesjid. "Ternyata pembunuh itu lebih dekat pada mesjid saat Tuhan mengambil nyawanya. Jadi, Tuhan tak pernah alpa dan lalai mencatat setiap niat seseorang. Mereka itu mati dalam keadaan khusnul khotimah. Tahu artinya khusnul khotimah?" ustad mengajukan pertanyaan. Hanya si pemabuk yang tahu artinya dan menjawab: "Meninggal dalam keadaan (berbuat) baik, Ustad!"

Ustad mengangguk. Tersenyum. Sebatang lidi yang semula tegak dan siap mengelus kulit para santri kembali ditarik dan diletakkan di sebelah ustad. Semua santri riang-gembira. Tapi, para santri tak bisa mengerti, menginjak remaja sahabatnya itu lupa pada khalaqoh, tak pernah lagi membuka Alquran, enggan bersarung dan berpeci. Apalagi begitu ia merantau ke kota dan beristri perempuan kota, kemudian mengambil rumah di kompleks perumahan sangat sederhana (RSS). Mungkin karena acap bergaul dengan orang-orang kota ia pun sudah melupakan aroma kampung, tempat pengajian, bahkan juga surau yang memang sulit ditemui di kota besar.

"Kau sudah sangat lain sekarang," tukas sohibnya di kampung dan bersama-sama belajar mengaji dengan ustad Mustofa Bisri. "Jangan-jangan di rumahmu sudah tak lagi menyimpan Alquran?"

"Ini kota besar, kawan!" ia menyela. "Kalau aku masih tinggal di kampung, sudah lama aku mati. Mungkin kau hanya ingat namaku, tapi tak pernah melihatku lagi. Aku akan mati kelaparan!"
"Apakah begitu, semua orang kota berpikiran seperti itu?" sohibnya berujar.
Ia diam. Kembali menenggak air alkohol dalam seteguk habis.
"Sudahlah, tak perlu berkhotbah. Kalau kau mau, silakan minum pula."

"Kalau cuma minum, jangankan sebotol tapi sepeti pun aku bisa habiskan tanpa mabuk. Tapi apa untungnya bagiku?" tantang sohibnya, kemudian ingin beranjak. Tetapi, si pemabuk memegang kerah baju sohibnya itu dari belakang. Ia hendak meninju wajah temannya, tapi rekannya semasa kecil lebih cepat memuntahkan tinjunya ke wajah si pemabuk hingga terhuyung. "Selamat menikmati perihmu itu, dan itu belum seberapa"

Ia tak dendam. Meski sejak itu ia tak lagi berjumpa sohibnya semaca kecil dan sama-sama berguru dengan ustad Mustofa Bisri, Haji Zawawi, dan Kiyai Kromo.

* * *

SI PEMABUK itu ternyata sudah berkali-kali menginap gratis di balik jeruji. Keluar masuk bui karena mabuk maupun digaruk saat berpesta di rumah bordil sudah jadi langganannya. Tetapi, ya tetapi, ia tak pernah jera. Apalagi kemudian ia berkawan dengan keponakannya yang wartawan-juga pemabuk-dan "menguasai" beberapa tempat hiburan malam, makin jauh saja ia pada kehidupan surau. Kehidupannya menjadi-jadi. Kacau. Ia memilih hidup menggelandang setiap malam daripada pulang menemui istrinya dan berpelukan. Hingga 20 tahun ia berumah tangga, belum juga dikuriania anak.

Itulah yang menyebabkan ia merasa kesepian jika tinggal di rumah. Hanya istrinya yang mulai tua dan tak lagi menarik wajahnya seperti saat ia sunting dulu yang menemaninya.. "Mungkin ia kecewa pada rumah tangganya," seloroh tetangga sebelah rumahnya.
"Ia bermabuk-mabuk karena ingin lari dari kenyataan!"
"Tapi itu salah, ia tak bisa bersembunyi dari realita!"
"Mungkin juga baginya itu yang membahagiakannya."
"Cuma, cara seperti itu jelas semu."
"Ya." Yang lain mengangguk.

* * *

SI PEMABUK itu yang telah menenggelamkan nama sesungguhnya yakni Aulianuddin, kini membuat semua orang di kompleks perumahan itu terpengarah. Pada Ramadhan tahun ini ia sambangi mesjid setiap jelang Isya hingga usai tarawih. Bersarung hitam lurik kotak-kotak, berpiyama dan berpeci warna putih, tak ketinggalan pula sorban ala pejuang Palestin melilit lehernya hingga ke dada.

Ia tampak khusyuk. Tidak pernah berpaling ke kiri dan kanan, kecuali untuk mengucap salam setiap habis rakaat terakhir. Setelah itu ia kembali tenggelamkan wajahnya ke bawah, jemarinya bergerak bagai menari di antara biji-biji tasbih, bibirnya bergerak meski amat lambat. Ia pasti sedang berzikir. Menyebut asma-asma Allah. Usai tarawih, ia pun keluar mesjid tanpa menyapa siapa pun.
"Syukurlah kalau ia sudah bertobat."
"Semoga ia khusnul khotimah."
"Husts," seseorang mengingatkan. "Pak Aulianuddin itu masih jauh bau tanah. Ia masih muda!"
"Aku tak mendoakan dia cepat mati."

Si pemabuk itu bergeming pada bisik-bisik jamaah mesjid. Ia acuhkan semua gunjingan. Ia berpikir, ia tak mengganggu orang lain. Ke mesjid itu ia hanya ingin salat berjamaah, bukan mengemis atau merampas pahala jamaah lain. Ia hendak mengadu, selain mengenang masa anak-anak di kampung saat bulan Ramadhan ia habiskan waktu malamnya di surau: tarawih, tadarus, solat wajib, dan amal sunah lainnya.

"Kadang aku juga rindu suasana seperti di kampung dulu, apakah salah?" ia beralasan ketika Ali-pemilik warung rokok dan minuman alkohol di sudut gang-merasa heran ketika melihat perubahan dirinya. "Suatu ketika, entah kapan, kau pun akan mengalami hal yang sama. Apakah kau salah?"
"Tidak juga."
"Karena itu, apa yang kulakukan ini benar kan?"
"Benar. Sangat benar," cetus Ali. "Hanya saja, abang cepat sekali berubah. Itulah yang membuatku terheran-heran."

"Kau tak pernah mendengar cerita tentang orang yang telah membunuh 99 orang lalu ketika hendak menggenapkan 100 orang ia tobat, tapi sebelum ia mewujudkan niatnya dengan perbuatan ke 100 ia keburu mati. Malaikat pun menghitung langkahnya, ternyata ia lebih dekat pada perbuatan baik maka ia pun dimasukkan ke surga. Begitu pula kisah seorang pelacur yang telah menolong seekor anjing kehauasan, maka karena kebaikannya itu terhapuslah dosa-dosanya."
"Ah!" Ali hanya mendesah. Mungkin terpana, mungkin pula tak percaya.

* * *

PADA malam ke 11 tarawih, kami kehilangan si pemabuk. Ia tak terlihat di shaf biasa ia solat. Hampir setiap jamaah yang tahu dan mengenal Aulinuddin mencari-cari. Saling berpaling ke kiri-kanan atau pun belakang, sudut kanan mesjid. Tapi tetap tiada. Si pemabuk itu dipastikan tak lagi ke mesjid untuk berjamaah salat Isa dan tarawih.
Ke mana gerangan? Jamaah mesjid bertanya-tanya.

Usai tarawih salah seorang jamaah menyambangi warung Ali, bertanya apakah melihat si pemabuk. Ali hanya menggeleng. Ia mengaku tak melihat si pemabuk itu. Bahkan ia mengira, Aulinuddin di dalam mesjid: masih bertasbih ataupun tadarus. "Tadi ia berbuka puasa di sini, lalu saya tak tahu ke mana ia pergi."
"Apa ia bersarung dan berpeci?" selidik jamaah mesjid ingin tahu lebih jauh.
"Hanya pakai kopiah."
"Ohhh"

Tiba-tiba Ali menuding telunjuknya. "Itu dia Bang Aulia!" kemudian ia memanggil, "Bang Bang Aulia, sini, dari mana?!"
Si pemabuk itu mendekat. Wajahnya tetap tertunduk.

"Ada apa? Memangnya mengapa?" ia balik tanya begitu dekat. Kini wajahnya tegak. Menatap Ali dan salah seorang jamaah mesjid yang tadi mencarinya.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa, cuma kami merasa kehilangan, ketika bang Aulia tidak tarawih di mesjid. Mungkin abang sibuk di kantor atau ada kerjaan di rumah?" jawab jamaah mesjid.

"Hanya itu?" sinis si pemabuk. "Saya pikir, saya bukanlah apa-apa dan tak memberikan apa pun sebagai jamaah. Saya tak dihitung jika datang, dan tak merasa hilang kalaupun absen. Saya hanyalah si pemabuk yang mengemis untuk diakui telah bertobat. Tetapi tak satu pun jamaah yang acuh, bahkan saya merasa dikucilkan. Layaknya seekor anjing kudis yang lapar dan haus di dekat bak sampah yang telah kosong karena baru saja diangkut isinya ke dalam truk. Dan anjing itu nyaris mati karena kelaparan dan haus, tapi tak satu pun manusia yang peduli"

"Begitukah abang mengganggap kami?" suara jamaah masjid itu bergetar. "Abang salah terka, abang terlalu jauh menafsir. Bahkan kami tak hendak membuat bang Aulia tersinggung lalu tak hendak lagi ke mesjid jika kami menyapa atau mengacuhkan, maka itu kami seperti mendiamkan abang."

"Saya merasa tak ada artinya di hadapan jamaah. Saya merasa diri saya sangatlah kotor, pendosa, yang tak pantas beriba lagi. Semua mata jamaah saya rasakan selalu menujah dan menguliti seluruh isi yang ada di dalam tubuh saya. Seakan hendak menghakimi saya," katanya. "Padahal Tuhan saja tak memedulikan apakah yang datang padanya hamba yang kotor dan pendosa, karena di hadapan Tuhan hanyalah niat, iman, dan keikhlasan untuk beribadah. Dan, saya sudah niatkan untuk beribadah. Saya hanya pertaruhkan iman saya di hadapan Tuhan, saya pun sudah ikhlas untuk berserah semata kepada-Nya. Tapi."

"Abang salah kalau berpikiran seperti itu. Abang sudah terlalu jauh menafsir, tapi sayang tidak tepat dan malah berakibat suudzon. Percayalah bang, kami tak seburuk apa yang disangkakan abang. Kalau kami begitu takabur namanya, kami juga merasa tak lebih bersih dan suci dibanding abang."
"Tapi."

"Rasulullah saja yang sudah dijamin masuk surga, ia masih selalu beribadah dan berdoa meminta agar di masukkan surga. Itu artinya, sebagai manusia, ia meyakini pernah khilaf dan silaf. Apalagi kita yang hanya pengikutnya, yang jauh dari sahabat atau orang-orang salaf," tekan jamaah mesjid itu meyakini si pemabuk itu.

"Tapi, saya sudah merasa menemukan apa yang saya idamkan sebagai jamaah bukan di mesjid ini, melainkan di mesjid seberang. Meski saya harus mengayunkan kaki saya sejauh 2.000 meter tak jadi masalah, semoga itu tabungan untuk menambah amal saya. Saya meyakini setiap perbuatan mesti selalu dibarengi dengan perjuangan dan pengorbanan, mungkin sebagai jihad saya di jalan-Nya, insya Allah"

"Amin," imbuh jamaah mesjid. Tiba-tiba ia melihat tubuh si pemabuk itu tampak layu dan pipih. Dan, ia terlambat bergerak untuk menahan tubuh yang berdiri di depannya itu ketika luruh. Tubuh pemabuk itu terjerembab, menggelepar sekejap dan diam.

Semua orang tahu bahwa pemabuk itu belakangan sering sakit-sakitan. Ia komplikasi: paru-paru, darah tinggi, terganggu jantung, dan ginjal. Ali segera menyetop angkutan kota. Beberapa orang menggotong dan menaikkan si pemabuk ke atas mobil. Yang lain mengabari istri si pemabuk di rumah agar menyusul ke rumah sakit. Jamaah tarawih yang baru keluar dari mesjid berkerumun, saling tanya dan saling jawab. Cuma, sepertinya mereka sepakat-setidaknya doa dan pengharapan mereka-meski Aulianuddin mati di depan warung tempat biasa mabuk, nasibnya sama dengan kisah pembunuh 99 orang maupun pelacur penolong seekor anjing. ***

* Lampung, 27 September 2006; 00.33
(revisi 12 September 2007; 21.30

Dimuat di Suara Karya Silakan Kunjungi Situsnya! 09/15/2007

Surat dari Hutan Jati



Cerpen Isbedy Stiawan ZS


LELAKI sepuh itu kini merasa terganggu. Masa pertapaannya yang sudah dilalui bertahun-tahun, apakah harus gagal hanya karena seorang anak muda jahil? Pikirnya.

Tetapi, kejahilan tak berdasar itu jika dibiarkan berisiko besar bagi kesepuhannya. Orang-orang akan tidak percaya lagi pada kesaktian dan kewibawaan yang dimilikinya. Ia tak lagi dihormati dan disegani, ia akan kehilangan kesempatan dianuti seluruh negeri. Padahal antara nama dan ketokohan sudah tak terpisah dari dirinya. Bahkan mengekal?

Kau tahu siapa lelaki sepuh itu, yang tak satu pun orang di negeri ini tak mengenal apalagi tak tahu padanya?setidaknya mengenal nama sepuh sakti: dari tangannya banyak tercipta tembang-tembang semacam macapatan atau kaba atau sejenisnya, ia juga pemikir yang tiada tandingan di jagat intelektual negeri ini?pendapatnya selalu dibenarkan dan dijadikan acuan oleh orang-orang lain; dan ia pun petapa yang diyakini amatlah suci dan memiliki sebuah padepokan kanuragan dan olahseni.

Padepokan yang didirikannya dengan kesadaran untuk mengabdi dan menyucikan jiwa dan akalnya itu, kini kerap dikunjungi banyak orang yang ingin berlatih serta sekadar bertapa. Setiap hari tak terlalu sedikit orang berada di padepokan itu: merenung, bermantra, berdiskusi, membaca kitab-kitab kuno dan mutakhir; dan masih banyak lagi.

Dan lelaki sepuh itu tak pernah terusik dalam pertapaannya. Sebab ia memiliki beberapa orang wali untuk mengurus padepokan dan santri-santri lainnya. Hanya sesekali ia duduk berhadapan dengan para wali dan santrinya. Itu pun tak banyak kata keluar dari bibirnya. Sesekali mengangguk untuk membenarkan atau menggeleng jika ia tak sependapat, selebihnya ia nikmati pertemuan dengan wali dan santrinya. Meski begitu, jika ada kesepakatan yang harus diputuskan atas nama padepokan, ia tidak boleh dilupakan.

Hukumnya haram kalau keputusan yang tidak diketahui Respati, kata seorang wali di sana.

Harap maklum, setiap keputusan harus ada goresan tangannya. Dianggap tidak kuat bahkan cacat secara padepokan, tanpa ada dibubuhi tanda tangannya. Sementara itu, surat-surat yang tidak berimbas pada nama pedepokan, cukuplah diketahui wali yang telah disepakati mewakili padepokan. Termasuk wali yang dipercaya untuk bertugas di luar padepokan, kecuali memberi tahu (melapor), sedangkan risiko baik dan buruk ditanggung wali itu sendiri.

Ternyata cukup ampuh untuk mempertahankan wibawa padepokan (dan tentu saja wibawa Respati). Para wali yang bertugas nyambi d luar padepokan sampai sejauh ini masih memberi kontribusi menguntungkan bagi padepokan. Seluruh ruang dan peluang anak negeri berada dalam genggaman Padepokan Respati. Padepokan itu yang menentukan dan mentahbis seseorang bisa berharga atau tidak, mau diakui atau dipinggirkan, dan seterusnya.

Padepokan itu berada di tengah-tengah hutan jati. Untuk mencapai tempat pertapaan Respati, harus melewati beberapa pematang, hutan kecil, beberapa sungai baik kecil maupun besar, menyisir pinggiran sungai yang airnya sangat sejuk, kemudian sedikit mendaki perbukitan, barulah bentangan hutan jati yang amat sangat lebat. Batangnya menjulang tinggi dan besar. Sedangkan padepokan terlindung oleh pagar terbuat dari potongan jati yang sangat tinggi. Karena itu, jika kau berada di luar pagar tak akan terlihat kehidupan yang berlangsung di dalamnya.

Itu sebabnya, penghuni padepokan dianggap orang-orang terasing; layaknya komunitas kubu. Mereka sengaja mengisolasi diri. Tidak suka bergaul dengan orang-orang di luar padepokan. Kelompok tersendiri. Komunitas Padepokan Hutan Jati. Tapi, jangan sangka kalau mereka bodoh lantaran kurang bergaul. Justru pintar dan cerdas-cerdas. Meski pergaulan mereka pada tetangga kurang harmonis, namun persetubuhan pemikiran dengan orang-orang di luar sana sangat menggembirakan. Seperti pepatah walau lidah lokal, tapi otak tetap global.

Introvert? Mungkin 'ya' jika berhadapan denganmu. Akan tetapi, sesungguhnya mereka cuma hati-hati karena merasa ilmu dan pengetahuan itu sangat sulit didapat. Kalau kau pintar, mungkin mereka anggap akan berbahaya bagi kehidupan padepokan.

Respati sebagai suhu di padepokan itu, tidak akan pernah tergeser oleh kekuatan apa pun. Kesuhuannya itu akan abadi. Sebab itu bukan jabatan politis seperti biasa kau temukan di pemerintahan atau legislatif, bisa berganti-ganti karena kepentingan seseorang dan kroni-kroninya. Pepatah di dunia politik 'tiada teman abadi tak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan' sesungguhnya tak berlaku di dalam kehidupan padepokan.

Respati ya Respati. Ia sebagai pendiri, suhu, pemimpin padepokan, dan petapa sakti. Itu kata seorang wali yang lain. Ia selalu diberi kepercayaan untuk mempertemukan seluruh ahli kanuragan dan ahli tembang sejagat. "Seperti saya, saya juga tidak tergantikan. Kecuali saya tak lagi di padepokan ini atau meninggal dunia," kata Matahari.

"Begitulah keputusan yang sudah kami sepakati di sini," sambung Tangga Awan, wali Respati lain yang ditugasi memilih para cantrik di seantero negeri.

Artinya para wali di padepokan itu akan selalu tunduk dengan segala kesepakatan yang telah disepakati. Tidak ada yang berani coba-coba memberontak, bergunjing setelah keputusan diketuk, tidak boleh iri pada tugas sesama wali, apalagi sampai menjelek-jelekkan padepokan dan isinya kepada orang luar. Respati adalah muara, adalah pusat. Bagaikan sebuah gasing, ia boleh berputar sekehendaknya. Namun tidak dibenarkan keluar dari lingkaran, yakni bernama Respati. Moto padepokan 'ke dalam saling membangun, keluar saling membela' benar-benar digenggam kukuh.

Apa yang terjadi di dalam padepokan, tak bisa ditilik mata paling tajam dan mampu menembus apa pun. Padepokan itu layaknya sebuah negeri di dalam negeri. Cuma kehidupan di dalam sana, siapa yang tahu? Maksudnya dalam laut bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa yang bisa tahu? Soalnya, sekali lagi. Hutan jati yang membalutnya. Pagar batang jati yang menyembunyikan kehidupan di dalamnya.

Itu sebabnya, kalau pun sekiranya di antara penghuni padepokan saling tukar pasangan pun maka kasus itu tak akan sampai terdengar oleh orang luar. Jika saja Respati memberi kebebasan setiap wali dan cantriknya bebas memilih agama dan keyakinan adalah sah-sah saja, dan tak akan terendus oleh orang luar. Atau apabila Respati hendak membebaskan seks di padepokan, aroma itu pun tak akan tercium oleh siapa pun. Sesungguhnya itu sudah berlangsung lama sekali.

***

MAKA ketika sekelompok orang hendak menghancurkan padepokan dan memenggal leher Respati serta memenjara para pengikutnya, Respati benar-benar merasa terusik. Pertapannya terganggu oleh ulah segelintir orang, yang dianggapnya, ingin mencari ketenaran atau merebut ketenaran dan kewibawaan.

"Mereka sudah keterlaluan. Mengganggu orang yang sedang bertapa. Artinya sudah mengangkangi hak-hak kebebasan orang lain. Harus dilawan!"

"Sabar sepuh," kata Matahari ingin membendung amarah sepuhnya itu.

"Benar Pak Tua," Tangga Awan menambahkan. Ia mendukung saran rekannya.

"Apa untungnya jika Mbah Respati menanggapi anak-anak kecil itu? Mereka akan semakin besar kepala. Mereka akan terkenal...." Jok Pekik ikut menimpali.

Respati urung. Ia mengangguk kecil. Membelai janggutnya yang tak begitu lebat. Lalu mengelus-elus rambutnya yang nyaris botak. Tetapi, karena wajahnya masih menyimpan amarah, makin tampak seperti wajah monyet yang biasa setiap pagi bergantungan di pohon jati di belakang salah satu bangunan padepokan: tempat Respati selama ini bertapa.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Respati meminta saran dari para walinya.

"Diamkan saja. Itu akan menguntungkan suhu. Artinya nama suhu akan semakin menjulang: dicatat dan dibicarakan banyak orang," kata wali Wibawa.

Respati kembali mengangguk. Ia menurunkan amarahnya hingga ke titik nol. Kembali ke joglonya untuk meneruskan pertapaannya.

***

TETAPI apa yang dilakukannya tak berlangsung lama. Orang-orang yang menggugatnya kian bertambah dan menjadi-jadi. Bahkan sudah tidak beradab. Respati membatin. Meneror dengan segala fitnah, menyebar kebusukan ke berbagai sudut dan papan pengumuman ataupun selebaran berantai.

"Mereka sudah keterlaluan. Tak bisa lagi dibiarkan. Amat menjengkelkan. Bahkan menjijikkan. Mereka menyebar fitnah seperti anak-anak yang mencoret-coret di dinding kakus!" kata Respati geram. Kali ini dengan nada meninggi. Tak bisa lagi menahan amarahnya.

"Jadi, bagaimana suhu?"

"Apa yang harus kita lakukan sepuh?"

"Apakah kita lawan juga dengan selebaran berbau fitnah, wahai mbah Respati?"

"Tidaaaakkk!" teriak Respati.

Sungguh bertahun-tahun mereka mengenal dan bergaul dengan Respati, baru kali ini suaranya meninggi seperti itu, melebihi ringkikan kuda yang terluka karena dipecundangi saisnya. Mereka terheran-heran. Tak percaya.

Apakah ini adalah penampakan asli sang Respati? Pikir mereka.

Wajah Respati memerah. Degup nafasnya membara. Kedua telapak tangannya mengepal. Entah siapa pula yang akan menjadi sasaran tinjunya. Para wali mulai siaga: memasang kuda-kuda untuk sekadar mengelak apabila ketupat bengkulu Respati benar-benar melayang. Atau ada yang malah siap-siap untuk langkah seribu.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" sesaat kemudian setelah merasa Respati sudah bisa mengontrol amarahnya, Matahari memberanikan diri bertanya.

"Yang saya inginkan, buat surat. Dan sebarkan ke seluruh negeri ini. Minta saran mereka apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi orang-orang yang memfitnah saya. Setiap saran yang diterima akan langsung saya cermati. Dan bagi saran yang baik akan saya turuti, sedangkan si penyaran akan mendapatkan hadiah dari padepokan!"

"Siap sepuh!"

"Dilaksanakan mbah Respati!"

"Dengan senang hati kami akan laksanakan apa yang Mbah Respati perintahkan..."

"Lakukan sekarang!" perintah Respati.

Para wali dan cantrik, tak satu pun yang tidak mengangguk.

Dan baru sekali ini Respati bertindak perintah kepada wali-walinya. Meski para wali dan cantrik terheran-heran, tetap memaklumi perasaan Respati yang sedang memendam amarah, dendam, dan gundah gulana tentu saja. Soalnya, baru kali ini kewibawaannya terusik. Seperti dipertanyakan, seakan diragukan dan dicurigai?

***

SURAT Respati yang bertajuk "Surat dari Hutan Jati" itu akhirnya disebar ke berbagai penjuru di seantero negeri, melalui media apa saja. Ada yang ditempel di setiap pohon, dinding rumah, perempatan jalan, baliho di kantor desa, sampai ke padepokan-padepokan yang ada, termasuk media informasi lainnya.

Surat itu bisa dibaca siapa saja karena bukan lagi surat rahasia. Isi surat itu demikian:

Saudara-saudara yang saya hormati,

Masa pertapaan saya yang cukup lama kini terusik oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak beradab. Mereka menyebar fitnah, baik kepada saya maupun ke Padepokan Hutan Jati, yang intinya bahwa kami dianggap telah menyebarkan aliran sesat yang sangat berbahaya bagi persendian peradaban.

Padepokan Hutan Jati difitnah sebagai 'kampoeng' yang hendak mendirikan negara dan ajaran-ajaran tersendiri. Tidak lagi berjalan di atas rel dan norma-norma yang berlaku di masyarakat luar padepokan. Fitnah yang amat keterlaluan dan sulit sekali dimaafkan ialah bahwa kami dituduh penganut aliran payudara dan selangkangan. Setiap yang beraroma kelamin perempuan dituding penyebarnya adalah Padepokan Hutan Jati.

Selain itu Padepokan Hutan Jati dituding telah menerima bantuan dari orang-orang luar. Menciptakan keintiman yang harmonis terhadap pendonor meski harus mengorbankan masyarakat luas.

Para pemfitnah memobilisasi massa di berbagai pertemuan dan kesempatan dengan cara-cara keji, hanya untuk mendukung pendapat mereka. Dengan atau atas nama demokrasi serta ingin meluruskan sejarah perpadepokan, mereka melakukan pula segala cara untuk meruntuhkan Padepokan Hutan Jati. Mereka menghujat tapi bukan untuk menemukan titik kebenaran, melainkan demi pembenaran.

Oleh karena itu, melalui Surat Hutan Jati ini, saya Respati dan pemimpin/penanggung jawab Padepokan Hutan Jati menyatakan semua tuduhan, tudingan, hujatan, dan fitnah itu tidak benar adanya. Saudara bisa berkunjung dan melihat langsung ke padepokan kami.

Akhirnya, saya meminta saran dari saudara-saudara: apa yang harus saya lakukan? Apakah melawan atau menyeret para pemfitnah tersebut ke jalur hukum, ataukah harus saya diamkan? Mengingat memang saya terlalu sibuk hanya untuk mengurus soal-soal seperti itu. Terlalu banyak pekerjaan yang lebih besar daripada sekadar meladeni tudingan tak bertang jawab yang cenderung fitnah itu.....

Salam saya, Respati--Padepokan Hutan Jati"

Setelah membaca Surat dari Hutan Jati itu, kenapa kau tersenyum? ***

Lampung, September-Oktober 2007



Dimuat di Media Indonesia Silakan Kunjungi Situsnya! 11/04/2007

Sebotol Mineral


Cerpen Isbedy Stiawan ZS


PEREMPUAN paruh usia bertutup kepala itu cepat sekali lenyap. Seperti ditelan remang senja. Seteleh mengucapkan terima kasih atas sebotol minertal untuk bernuka puasa. Mas Tohari berkali-kali keluar rumah makan, ingin mencari ibu itu. Tetapi, tak juga dilihatnya bayang-bayang ibu itu sedikit pun. Mas Tohari tampak gelisah, seperti menyesali diri.

"Ibu itu mungkin sudah jauh," kata Halim. Mereka baru tersadar setelah mas Tohari berkali-kali mendongakkan kepalanya keluar pintu, mencari ibu paruh usia yang berpakaian agak kumuh-betutup kela sejenis selendang digulung menyembunyikan rambutnya.

"Kukiran masih dekat. Mungkin ia masuk gang," ujar mas Tohari. Ia hendak mengajak Halim, teman kami yang lain. "Kau ikut aku, Lim, siapa tahu ibu tadi belum jauh. Siapa tahu mengaso di gang sebelah."

Halim beringsut dari kursi. Hidangan untuk berbuka puasa sudah disajikan. Di Ubud ini hanya sedikit mereka menemukan rumah makan yang bisa menyelerakan lidah: masakan Padang. Dan, dari sedikit itu hanya rumah makan ini paling tepat dengan lidah mereka. Itu sebabnya, untuk sahur dan berbuka puasa, rumah makan ini menjadi pilihan.

Semula mas Tohari dan Wira tak tahu rumah makan yang mampu menggairahkan lidah. Untunglah Halim yang kebetulan menyewa sepeda motor mengeliling setiap liku Ubud, dan dapatlah rumah makan khas Minang ini. Sejak itu-selama 5 hari di Ubud dalam rangka mengikuti suatu kegiatan internasional-mereka ketagihan mampir ke rumah makan sebelah Timur kota Ubud ini.

Dan, senja tadi seorang ibu paruh usia muncul di depan pintu. Ia ingin membeli sebotol mineral ukuran besar degan memberi uang Rp5 ribu. Tentu saja, penjual yang hanya pegawai tak memberi karena uang ibu tidak cukup. Mas Tohari segera meminta pedagang itu agar memberikan sebotol mineral itu pada ibu. "Ambillah, ibu. Saya yang bayar," kata mas Tohari.

"Alhamudillah. Terima kasih, uang ini untuk jajan buka puasa saya hari ini," kata ibu itu segera berlalu. Begitu cepat. Sebab hanya beberapa detik dari kepergiannya, mereka tersadar kalau ibu itu tak saja membutuhkan sebotol mineral untuk menghilangkan dahaganya, melainkan ia amat memerlukan uang-setidaknya-untuk membeli makanan untuk berbuka puasa.

"Ya Allah, kita sudah menganiaya diri kita," keluh mas Tohari. Usia Mas Tohari tertua di antara mereka. Ia juga dikenal sebagai ustad dan pemilik sekolah Islam di kotanya. Mas Tohari adalah, ah, tak perlulah kusebut profesinya yang lain yang konon cukup banyak itu.

Tapi, kali ini ia merasa terlecehkan. Rasa peduli sesama manusia kini teruji. Ia menyadari uang untuk membayar sebotol mineral buat ibu untuk bebruka puasa tiada nilanya, dengan uang yang dimilikinya di saku. Selama ini aku menggembor-gemborkan bahwa mencintai Tuhan sama artinya mengasihi orang-orang telantar, miskin, dan papa. Ia menggumam.

Yang lain hanya memandangnya kosong.

Mas Tohari seperti tak sedap duduk. Seperti ada paku yang menancap di kursinya. Ia gelisah sekali. Ia menyadari iblis yang teramat kikir sudah memengaruhi rasa kesetiaannya pada sesama. Mengapa tadi ia tak sekalian memberikan uang barang Rp50 ribu atau Rp100 ribu, toh tak akan menumpaskan isi sakunya? Seharusnya aku tadi segera memberi uang padanya. Tapi, kenapa tak jadi? Ia menggumam lagi. Menyesal sekali.

"Sudahlah, mas, mungkin rezeki ibu itu bukan di sini, bukan dari kita," Dendi berujar. Ia lalu mempersilahkan mas Tohari untuk menyantap. Hidangan sudah tersaji. Waktu berbuka sudah tiba. Bersegera memecahkan puasa adalah wajib. Namun mas Tohari tak lagi berselera mencecap sajian. Hanya membasahi tenggorokannya dengan seteguk air, kemudian keluar, setelah ia memberi uang Rp 100 ribu kepada Wira untuk membayar pada pemilik warung. Ia juga mengingatkan teman-temannya supaya jangan lupa membayar sebotol mineral untuk ibu paru usia tadi.

Mas Tohari kemudian mencari ibu paruh usia yang seakan lesap dalam keremangan maghrib. Sendiri.

Ia susuri sepanjang jalan di Ubud menuju Barat. Tak terasa ia melangkah mendekati Casa Luna, Warung Arys, Puri Palace-tempat di mana ia kemarin diundang makan dan pembukaan sebuah festival internasional. Kemarin aku makan di tempat mewah ini, dengan hidangan selera para turis namun tidak selera lidahku yang lokal ini. Aku hanya mencicipi sekadar untuk selanjutnya kubiarkan tersisa di meja sampai pelayan memungutnya kembali, dan menyajikan makanan lain. Tetapi, senja tadi aku diuji oleh seorang ibu paro usia. Hanya dengan sebotol mineral yang tak sanggup ia bayar untuk membuka puasanya, tentu tanpa makanan.

Dan, aku seperti masabodo pada nasibnya. Hanya membayar sebotol mineral yang tak lebih dari Rp 10 ribu. Sungguh, aku sudah kehilangan rasa syukurku. Apa gunanya aku seharian menahan haus dan lapar, kalau hatiku tak tergerak menyaksikan orang yang untuk membuka puasa pun tak lagi punya. Berulang-ulang ia menyesali keteledorannya. Menyesal mengapa hatinya tak menggerakkan tangannya untuk merogoh sakunya, dan memberi selembar atau dua lembar Rp 5 ribuan kepada ibu paro usia tadi?

Teman-temannya pun tak mengingatkan. Mereka juga baru tersadar dan seolah ingin berlomba berbuat amal, setelah ibu itu menghilang. Amal yang tiada gunanya. Niat yang cuma sebatas bibir.

Mas Tohari belum juga kembali ke rumah makan. Waktu sudah pukul 21.15. Teman-temannya yang ditinggal mas Tohari mulai gelisah. Mereka khawatir mas Tohari tersesap dalam keasingan kota Ubud. Was-was kalau-kalau mas Tohari tak tak tahu jalan ke penginapan.

"Kita harus cari mas Tohari. Aku khawatir ia kesasar!" ajak Halim.

"Ah, tak mungkinlah. Mas Tohari bukan anak-anak lagi. Ia bisa bertanya pada orang ke mana jalan ke penginapannya," bantah Wira.

"Siapa tahu dia benar-benar kesasar. Mas Tohari pergi dalam keadaan kalut, perasaan bersalah, pikirannya tentu lagi kosong!" Dendi mendukung Halim.

"Oke, kalau begitu!" akhirnya Wira menyetujui. "Kita berbagi arah. Halim ke Barat, Dendi ke Timur. Dan aku ke Utara. Jam 23 nanti kita bertemu di depan Casaluna, ya,"

* * *

MENCARI mas Tohari di tempat asing bukan gampang. Mereka pendatang yang baru tiba beberapa hari ini, dan belum seluruh lekuk-liku tubuh Ubud dijelajahi. Jalan yang mereka ketahui hanya dari penginapan ke Indus, Gaya Fusion, Four Session Hotel, Casaluna, Puri Palace, dan rumah makan khas Minang ini. hanya sejengkal dari beribu meter "kampung dunia" para turin ini.

Ketika berjumpa di Casaluna seperti waktu yang disepakati, ketiganya menggeleng. Mereka makin disergap cemas yang sangat. Kekhawatiran tak akan bertemu lagi mas Tohari, membuat wajahnya pasi.

Halim mengusulkan agar melaporkan ke pania. Wira menolak, sebab ia merasakan yang mereka lakukan belum maksimal. Tetapi, Dendi ngotot sebaiknya meminta bantuan pihak kepolisian untuk mencari mas Tohari.

"Bagaimana caranya kita harus menemukan mas Tohari malam ini juga!" kata Dendi.

"Siapa yang membiarkan mas Tohari hilang?" Wira berujar dengan suara sedikit meninggi. "Tapi, bukan begitu caranya. Jangan cepat menyerah. Kita belum maksimal mencarinya. Bagaimana kalau kita cari lagi? Kita susuri jalan ke rumah makan tadi? Di sana aku lihat tadi ada gang, agak gelap dan pengap memang, siapa tahu mas Tohari ada di sana."

"Aku tak yakin mas Tohari ke sana. Aku lihat sendiri tadi ia berbelok ke kanan, bukan masuk ke gang itu," elak Halim.

"Kupikir bisa kita coba usulan Wira."

"Ah, aku malas. Kalian saja," sela Halim. "Aku menunggu di sini saja, siapa tahu mas Tohari ke sini."

Tanpa berpikir lagi, Wira dan Dendi segera kembali menyusuri jalan ke arah rumah makan. Ia masuki gang pengap dan gelap tak jauh dari rumah makan tadi. Tetapi, selain rumah-rumah kumuh dan gubuk-gubuk terbuat triplek di dalam gang itu, mereka tak mendapati mas Tohari.

Entah di mana dan ke mana mas Tohari. Kecemasan mereka makin menjadi-jadi. Saling merutuk diri mengapa tak menemani mas Tohari mencari ibu paruh usia yang misterius itu? Sampai esok pagi mas Tohari tak kembali ke penginapan. Dan, ibu paro usia yang telah membuat hibuk itu, teramat sulit untuk dijumpai lagi di Ubud yang tak terjengkal luasnya oleh kaki mereka. Pohonan yang rindang dan lebat-sangat banyak menghiasi dan menjadi khas Bali-bisa saja menenggelamkan orang semacam ibu tadi.

Dan, mas Tohari sia-sia menemukan ibu itu. Sementara ketiga rekannya juga sia-sia menunggu kedatangannya. Layaknya mendapati sebatang jarum di keluasan padang pasir. ***

(persembahan buat Ahmad Tohari, Marhalim, dan Wiratmadinata)


* Ubud-Lampung, September-Oktober


Dimuat di Suara Karya Silakan Kunjungi Situsnya! 01/13/2008

16 Mei 2008

Persaudaraan Cirebon-Banten-Lampung sudah berlangsung 450 Tahun



Persaudaraan Cirebon-Banten-Lampung sudah berlangsung 450 Tahun

Oleh Isbedy Stiawan ZS


MAJELIS Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang langsung dipimpin Gubernur Lampung Drs. Sjahroedin Z.P., S.H., berkunjung ke Keraton Kanoman dan Kesultanan Kasepuhan Cirebon, Kesultanan Banten dan Desa Cikoneng Banten, 8-10 Februari 2007 lalu, berlangsung sukses. Kunjungan tersebut juga disertakan 10 seniman dari Dewan Kesenian Lampung, tim ahli Gubernur, dan birokrat.

Gubernur Lampung saat diterima Pangeran Mohammad Emiruddin dari Keraton Kanoman mengatakan, Cirebon adalah saudara tertua bagi Lampung. Oleh karena itu, ikatan persaudaraan ini harus lebih ditingkatkan lagi pada masa-masa sekarang hingga mendatang. “Artinya, jika Cirebon ‘diserang’ maka Cirebon berada di depan dan Lampung di belakang. Begitu sebaliknya, jika Lampung diserang, Cirebon di belakang dan Lampung berada di depan,” ujar Sjahroedin dalam sambutannya.

Ia punya alasan mengapa Cirebon dan Lampung memiliki pertalian saudara. Dijelaskan, ketika Sultan Syarif Hidayatullah melakukan penyebaran Islam di Banten lalu sempat singgah di Lampung dan menikahi muli (perempuan) Lampung bernama Ratu Sinar Alam. Setelah itu, sultan kembali ke Banten dan membawa masyarakar Lampung dari 40 pekon (desa) untuk membantu penyebaran agama dan melawan penjajah. Warga Lampung yang selamat mencapai Banten kemudian berjuang habis-habisan membantu sultan. Karena kegigihan orang Lampung, yang masih hidup kemudian dihadiahi sepertiga Banten.

Sebagaimana dijelaskan M. Furqon, orang Lampung beberapa generasi dari Cikoneng Banten, surat wasiat sultan kini berada di Belanda. “Saat kini, orang Banten asal Lampung hanya menempati 4 desa di kawasan Anyer Banten, yaitu Cikoneng, Tegal, Bojong, dan Duhur,” jelas Gubernur Lampung Sjahroedin ZP. Oleh karena itu, merujuk Sultan Syarif Hidayatullah, Gubernur Lampung menyimpulkan antara Lampung dan Cirebon sesungguhnya bersaudara. Itu sebabnya, melalui kunjungan tersebut, ibarat pepatah: ingin mempersatukan kembali balung pisah (tulang yang berserakan, persaudaraan yang terpisah jarak), hendak mengikat tali yang sempat putus.

“Hubungan kekerabatan ini, sebaiknya tak hanya adat atau budaya yang kembali diikat. Melainkan dalam hal lain, misalnya pembangunan, kalau mungkin dapat bekerja sama,” kata Sjachroedin.

Dalam kesempatan di Kesultanan Kanoman dan Kasepuhan, Gubernur Lampung memberikan bantuan dan bawa-tangan lainnya. Misalnya, di Kesultanan Kasepuhan—pusat penyebaran agama pertama di Cirebon—Gubernur Lampung menyerahkan bantuan 3 ekor kerbau. Dalam kesempatan itu juga, Sjahroedin berulang menyebutkan bahwa kunjungan “budaya” itu dimaksudkan untuk membuka wawasan orang Lampung, terutama para penyimbang adat. Sehingga, setelah kembali ke Lampung tidak lagi ibarat katak di dalam tempurung, pikiran picik, dan berjuang untuk kembali menyusuri berbagai peninggalan leluhur yang mungkin masih terpondam. Ia menyebut, jika memang di Lampung pernah ada Kerajaan Tulangbawang atau Skalaberak, maka mesti dicari bukti-bukti tentang itu semua. “Sebab beruntung Cirebon dan Banten yang masih memiliki bukti-bukti,” katanya.

Gubernur juga berharap ke depan, tidak ada lagi ritual pemberian gelar bagi seseorang dengan sangat mudah seperti selama ini terjadi. “Harus ada kriteria mengapa seseorang diberi gelar adat, bukan karena ia memiliki banyak uang.”

Majelis Penyimbang Adat yang seharusnya menyeleksi dan menentukan kriteria tentang pemberian gelar. Selain itu, penyimbang adat juga bekerja untuk menjaga nilai-nilai adat, tradisi, dan peninggalan sejarah yang masih ada di daerah Lampung. Dengan demikian, sejarah masa Lampung dapat ditelusuri. Syahroedin yakin bahwa Lampung masih memiliki sejarah budaya yang tak kalah dengan daerah-daerah lain di Tanah Air. Hanya saja, jika di daerah lain sejarah itu masih meninggalkan bukti seperti keraton, makam, ataupun berupa aksara.

Ia mencontohkan Kerajaan Tulangbawang di Menggala, sampai kini masih diragukan kebenarannya karena tidak adanya bukti. Begitu pula di Skalabrak, situs di Pugungraharjo, dan sebagainya.

450 Tahun Cikoneng
Kunjungan terakhir MPAL dan DKL berakhir di pekon (desa) Bojong, Cokoneng, Kec. Anyer Banten. Di tempat ini, rombongan Gubernur Lampung membagikan bingkisan sembako untuk 250 keluarga. Selain itu membantu uang tunai Rp10 juta untuk pembangunan mesjid di Bojong dan Rp15 juta bagi pembangunan masjid di Tegal. Gubernur juga berjanji akan membantu perahu motor bagi warga Banten asal Lampung, setelah dibicarakan lebih dulu.

Mayoritas warga asal Lampung di empat pekon di Banten bermata pencarian sebagai nelayan. Kehidupan mereka juga banyak yang kurang beruntung. Berbeda dengan orang lampung berasal dari Banten di Provinsi Lampung; banyak yang bernasib baik di eksekutif, legislatif, dan swasta.

“Karena itu, saya berharap orang Banten asal lampung di sini juga mendapat hak yang sama dengan warga banten lainnya. Namun demikian, kesamaan hak itu harus diimbangi dengan tingkat pendidikan dan profesional yang baik pula,” katanya.

Untuk ke depan, orang Lampung di empat desa Cikoneng diberi kesempatan belajar, bahkan kalau mungkin menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi di Lampung. Gubernur Lampung juga siap membantu pengadaan perahu motor bagi nelayan Banten asal Lampung tersebut.

Menurut M. Furqon, keturunan Lampung di Desa Bojong, Cikoneng, Banten yang juga pengurus DPP Lampung Sai, warga Cikoneng asal Lampung (ada empat desa: Cikoneng, Bojong, Tegal, dan Duhur) sudah hidup turun-temurun selama kurang lebih 450 tahun. Kedatangan orang Lampung ke Banten karena diajak Sultan Syarif Hidayatullah setelah mempersunting Ratu Sinar Alam, gadis Lampung. Dipekirakan 40 pekon membedol lalu menyeberangi Selat Sunda dan menepi di Anyer.

Dari sinilah para pemuda Lampung yang amat gigih bahu-membahu memperkuat Sultan Syarif Hidayatullah melawan penjajah, mempertahankan tanah Banten, dan membantu sultan dalam penyebaran Islam di Banten. Sejak itu orang Lampung menetap di empat desa di tepian pantai Anyer, setelah surat pembagian wilayah yang diberikan Sultan Syarif Hidayatullah dibawa ke Belanda. “Padahal dalam surat wasiat itu, orang Lampung yang membantu sultan diberi wilayah sepertiga dari tanah Banten. Kini kami hanya menempati empat desa,” tutur Furqon.

Akulturasi
Orang Lampung di Cikoneng memang telah terjadi akulturasi. Hal ini dimaklumi karena sudah 450 tahun turun-temuruh mereka menempati empat desa di Anyer, Banten. Mungkin kalau tak ada kepedulian Sjahroedin ZP—jauh sebelum ia menjabat Gubernur Lampung—sebagai Ketua DPP Lampung Sai berkunjung ke Cikoneng untuk menyalurkan bantuan sembako, uang, pakaian adat, dan penjelasan perkawinan adat. Meskipun pakaian adat sudah kerap dipakai pada saat-saat tertentu—misalnya menyambut kunjungan rombongan Gubernur, MPAL, dan DKL, para gadis (muli) berpakaian adat, namun bahasa sehari-hari mereka adalah percampuran bahasa Lampung dan Banten. Misalnya, ketika meminta tamu asal Lampung agar menempati kursi yang telah disediakan karena acara segera dimulai, salah seorang panitia berujar: “puari kabeh, mejong diji.” Puari adalah basa Lampung yang berarti saudara, sedangkan kabeh berasal dari Banten yang maksudnya semua atau sekalian.

Akulturasi itu, menurut Furqon, terjadi pula pada pergaulan sehari-hari. Selain itu, perkawinan campur yang juga berlangsung cukup lama, di samping hadirnya suku-suku lain ke desa tersebut. Akulturasi ini akhirnya memperkaya citarasa budaya masyarakat asal Lampung di Cikoneng.

Namun demikian, masyarakat asal Lampung di sana mulai menyadari “tanah asal” dan merindukan kembali kepada akar tradisi dan budaya Lampung. Itu sebabnya, kunjungan MPAL, DKL, dan Gubernur Lampung disambut antusias dan keterharuan seluruh warga asal Lampung di Cikoneng. “Kami memang warga Banten, tapi kami orang (ulun) Lampung. Bahasa dan adat istiadat kami memang bercampur (Lampung dan Banten, red.), tetapi akar kami adalah Lampung.” Maka benar adanya pepatah: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Masyarakat Cikoneng sudah membuktikan itu…

Isbedy Stiawan ZS's Poetry


You go down to the Valley


in your veil

as the sun crests the horizon

you go down to the valley

to the beginning of the story

the wine of your lips

makes the leaves flutter

and the river dances

wanting to embrace the rustle of your shoes

you were destined to be an angel

but you live your days alone

in the valley of all love

immortalised in a legend

this valley holds

the memories of all the pilgrims

who have no lover

: sad and alone

you understood

that i am a pilgrim

i will soon be gone

I have remembered

the terrible stories

now left behind or washed away

that people then

want to immortalise

Standing on Bukit Batu[1]

“don’t tell anyone about it

so they will look for

the secret

as far as the wide blue sea,”

you said

after the first creation

then we all went searching

in the leaves of old manuscripts

in the pages of books

in the lines of God’s word

to find out who

is behind all this?

“don’t say it,”

you stressed when

I almost

revealed the secret

then I stood in silence

on bukit batu

my face turned towards the sky

and I said,

“if you exist,

give me a sign!”

and then in a symbolic way,

through a drumming

in the sea in the mountains

in the forest

you sent that sign

“don’t say it,”

you ordered. so then

I wrote the secret

in fields

at random

just to

record your existence…

“don’t tell anyone about it,”

you said. so after that

I looked for you

in all the verses

that fill the pages

of these books. - textbooks,

history books,

and my blood vessels too –

“don’t tell anyone…”

Suffering Forest

but you must forget

all the things

you’ve been through

ignoring the past

does not mean

thinking about going home

after a long easy walk

like a bird in the sky

that forgets its nest

and just pauses to rest

on an electric cable

or a shadeless tree

and then

flies off again

in search of shade

where do you keep

your whole past

when the road home

is getting so dark?

lost amongst the artefacts,

the street names,

the river current,

and, you say,

the forests that used to be there

have written your age

on every strand of hair

covered in moss

- when you’re on a long journey

home

seems so far away

the village of your childhood

gets starker and starker

making you tremble

it confuses you:

“where am I?”

you whisper

the deep river

the suffering forest

never reach

inside themselves!

The Rain is Talking

i venture into the night

under soaking rain

and you cling

to the shophouse wall

like a statue:

unbending, rigid

time crawls by

too slowly,

as the rain

talks

about halting

footsteps

effortless love

breathe in the soaking rain

it’s like kissing

time. cold…

when will the rain stop?

i laugh,

the children come

from the traffic lights

hide behind the rain

beneath the dark of night

with shivering bodies

stranded

children abandoned

in this country

imagining home

remembering school

so far away

ah, the best thing to do

is huddle together

by the shophouse wall

until the rain subsides

and we move along

to where?

A Strand of Your Hair

give me a strand of your hair,

now. I will turn it into

a bridge to reach the clouds

after a season of disaster

and a cacophony of love

if you give me that strand

of your hair, and

i can pass beyond the clouds

then tomorrow at dawn

you will see me blossom

in the form of a rose

in a garden

you will come

on butterfly wings

- and make love -

Ceremony 48

i still remember

braided hair

an evening visit

the garden still quiet

i danced

welcoming your arrival

and I told you

“i fell in love

when I was still young.”

then the day sped past

like a stallion

so swift

and from its feet

billowed clouds of dust

my eyes your eyes

felt so intense

making me forget

the way there the way back

for years love has been brooding

forgetting the braided hair

the evening visit

my hair your hair

finally turning white

my cheek your cheek

becoming hollow

now in my head

dawns a twilight sun

bathed in light:

White…

do you know

for how long

i have been tending it?

soon it will ripen

stay for a minute then leave

You Come Back to this Town

you come back to this town

a town filled with temples

and ever-present gods

like witnesses

“how many times

have you sinned today?”

does every beach, temple and

hotel seem to

grab you,

seize you?

The roar of the waves

An explosion

The mantra of the monks

on the sprawling

naked

beach

you sprinkle love

then you and he

frolic in the sand

“what can’t you get

beneath the sun?”

even in an isolated temple

you wouldn’t find a spear!

from kuta to sanur,

tanah lot to sangeh,

or kintamani to sukowati

just god just god

extending his hand

keeping you safe

There are no Signposts

there are no signposts

or names of dead-end streets,

so just follow the white line

and the roadside marker. till you get tired,

sleepy

or breathless

“if you can no longer walk

wait on the footpath

until the day reveals itself

and you remember your address.”

there are no signposts

in the big wide world

be prepared to lose your way!

It’s Been Half a Century

from your eyes

i pluck a light

to guide me

to your house

is the sprawling garden

still there

for the flowers

in bloom

planting

reaping…

it’s been half a century

the garden has changed too

it’s filled with trees

flowers of all colours

: i want to stay

not just look

but pick them again

choose the buds

new stories bring

different hopes

in the garden

it’s been half a century

you plant

i reap…

- the past beckons -

Bachelor

chooses solitude

rather than stoning

finds a park

watching over a valley

centuries come

a deserted home

ah!

Remembering the Sea

she always stands by the window

on a golden morning

with a lazy breeze

and her spirits still high

her eyes sweep the yard

as if seeking her family story

in each of those

unresponsive trees

“there’s no story there”, she sighs

all memories have long been buried

as if reluctant to tell a story

even the trees where she hid her hopes

have no colour

“i used to write on their trunks

every time i encountered happiness

or a story that i extracted

from the niches of my day,” she whispers

she always stands by the window

gazing at the waves

that one day curdled

in her mind: the wave

that once raced to the city

swallowing all happiness

and since that day all her

stories vanished, did they drown?

since that day she no longer has any memories

she is an orphan and a vagrant:

she has no notes

only her eyes never sleep

she always stands by the window

- morning or night -

gazing out waiting for

a new story

on every leaf

but no story ever

emerges from the spray of the waves

because every time she thinks of the waves

(or the sea)

her heart pounds

as if to curse:

“did you take

everything I owned?”

she no longer has anything

or anyone, she is an orphan

frozen like a picture in a frame

until her hair turns white

akhir Agustus 2006

Village

you were merely dazed

a little dumbfounded even

when he came to this village

(- you call it tiyuh[2] -)

bringing spices

from felds in a nearby island

then he talked at length about homesickness

‘it’s so long since i left the village

i’d almost forgotten

the road to the placenta burial ground

near the plantations of cloves, nutmeg

resin and coffee

where grandfather hid

from the soldiers chasing him

there’s no need to dwell on years past

of which only cracks now remain

not signifying anything

you recall

but every wanderer

keeps a charm

but every traveller

wants to be given a sign

but every adventurer

longs to go home

so let him gather longing

like a child collecting marbles

till his pockets bulge

does he not have a head

a place of many shadows

- and memories and keepsakes –

of the house where he was born

the river flowing with the blood of his mother

or a yard that plants names

because every wanderer

has a yard from the past

because every adventurer

has footsteps in his village

because every traveller

wants to die at the first step

so don’t chase away

the guest who bewitches you

as you say, it is always calm

in the embrace of the poet

even though your soul has been stolen

2005/2006

Translator: Pam Allen

BIODATA

Isbedy Stiawan ZS, kelahiran Tanjungkarang (Lampung) 5 Juni 1958, dan hingga kini masih menetap di kota itu. Karya-karyanya—puisi, cerpen, dan esai--dipublikasikan di berbagai media massa antara lain Kompas, Koran Tempo, Horison, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Jurnal Cerpen, Suara Karya, Nova, Sinar Harapan, Surabaya Post, Kedaulatan Rakyat, Bali Post, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Lampung Post, Radar Lampung, Majalah Budaya Sagang, Jurnal Puisi, Majalah Sastra Tepak, Amanah, Annida, Sabili, Tabloid Fikri, Noor, dan lain-lain.

Kumpulan puisi tunggal antara lain Kembali Ziarah, Daun Daun Tadarus, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (LSM Perempuan DAMAR, Bandar Lampung, Juli 2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, Januari 2003), Menampar Angin (Bentang Budaya, Oktober 2003), Kota Cahaya (Grasindo, Oktober 2005), Salamku pada Malam (Bukupop, April 2006), Laut Akhir (Bukupop, Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Gama Media, April 2007).

Kumpulan cerpen yakni Ziarah Ayah (Syaamil, Mei 2003)., Bulan Rebah di Meja Diggers (Beranda, Agustus 2004), Dawai Kembali Berdenting (Logung Pustaka, November 2004), Perempuan Sunyi (Gama Media, Desember 2004), cerita anak Dongeng Sebelum Tidur (Beranda, September 2004), kumpulan cerpen Selembut Angin Setajam Ranting (LP Publishing House, April 2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (Gramedia Pustaka Utama, Mei 2005), dan Hanya untuk Satu Nama (C/Publising Bentang Pustaka, Oktober 2005), Salamku pada Malam (Bukupop, 2006), Laut Akhir (Bukupop, 2007), dan Lelaki yang Membawa Matahari (Hikayat Publishing, 2007)..

Sejumlah antologi bersama juga memuat karya-karyanya antara lain Dari Negeri Poci, Resonansi Indonesia, Angkatan 2000, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi, Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, Juli 2003), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, Juli 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, Agustus 2003), Anak Sepasang Bintang (FBE Press, 2003), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Jika Cinta… (Senayan Abadi, 2004), Cerita-cerita Pengantin (Galang Pres, Mei 2004), antologi monolog Sphing Triple X (Sinergi, Agustus 2004), Maha Duka Aceh (PDS HB Jassin, Januari 2005), Duka Atjeh Duka Bersama (Logung-Dewan Kesenian Jatim, 2005), dan Gerinmis (Dalam Lain Versi), Logung Pustaka dan DKL (April 2005).

Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra di Tanah Air, juga Malaysia dan Thailand. Kini mengabdikan diri di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung, dan Ketua I Bidang Sastra dan Teater Dewan Kesenian Lampung periode 2007-2010. Diundang baca puisi pada Utan Kayu Literary International Biennale 2005 dan Ubud Writers and Readers Festival tahun 2007..



[1] Translator’s note: Bukit Batu Rigis is a mountain in Lampung province, Sumatra

[2] Translator’s note: tiyuh is the word for village in the language of Lampung, the home province of the poet