(Kebudayaan) Lampung di Mata Pendatang
Oleh Isbedy Stiawan ZS
SEBENARNYA kekhawatiran seperti ini sehingga berulang dilaksanakan seminar sudah lama muncul. Dalam berbagai diskusi tentang kebudayan Lampung yang seakan tidak menjadi tuan di rumah sendiri sering dilontarkan. Tetapi selalu saja, (kebudayaan) Lampung tetap “tersisih” dan seperti (di)marginal(kan) di antara kebudayaan-kebudayaan lain di daerah ini: Minang, Batak, Bali, Banten, dan belakangan marak dari komunitas Tionghoa (Cina).
Kalau ada kebudayaan yang kurang menonjol—bahkan nyaris tenggelam oleh kebudayaan yang datang—di rumahnya sendiri, mungkin adalah (hanya) Lampung. Orang Betawi yang ditengarai hanya menempati pinggiran Jakarta, namun laku dan bahasa Betawi tetap hidup bahkan mewarnai penduduk Jakarta. Terlebih pendatang, merasa belum menginjak Jakarta dan menetap, jika tidak berlaku dan berbahasa Betawi. Bahasa (logat) dan laku Betawi yang terbuka merembes hampir ke daerah-daerah di Tanah Air.
Anehnya, bahasa (dielek) dan laku dari kebudayaan Lampung justru hanya berlangsung di komunitas orang Lampung. Karena itu pula, tamu yang berkunjung ke Lampung seperti kehilangan untuk menandai kebudayaan Lampung. Sebaliknya yang dijumpai ialah kebudayaan di luar etnis Lampung.
Sejak Bakauheni pendatang tidak disuguhi kekhasan nuansa kebudayaan Lampung. Di Terminal Rajabasa, kecuali kecemasan, tak ada penanda bahwa pendatang sudah tiba di sini. Bahkan di pasar-pasar—terutama Bambukuning—yang sampai di telinga adalah dialek dan kekhasan orang Minang, begitu pula di stasiun kereta api. Belum lagi apabila pendatang menginap di hotel-hotel yang tersebar di Bandar Lampung, betapa tak dijumpai penanda bahwa ia sedang berada di Bumi Ruwa Jurai.
Dari fenomena di atas, wajar jika warga Lampung beretnis Lampung menjadi cemas. Mungkin tak lama lagi, seperti diasumsikan para pakar, bahasa Lampung akan punah karena ditinggalkan penggunanya. Sebenarnya, catatan para pengamat bahasa daerah pada Seminar Bahasa-Bahasa Daerah di Hotel Marcopolo tahun lalu, ada banyak bahasa daerah dikhawatirkan tidak (lagi) digunakan sehingga hilang.
Ini dari soal bahasa. Lampung yang punya 2 dialek bahasa yang sangat berbeda dan sulit dicari persamaan, tampaknya cuma dipakai oleh komunitas masing-masing. Dialek nyow dipakai komunitas pepadun dan api hidup di masyarakat saibatin sulit diapresiasi masyarakat di luar Lampung, meskipun lahir dan besar di Bumi Ruwa Jurai. Jika hal ini kita tanyakan kepada masyarakat etnis Lampung, jawaban yang didapat karena “keterbukaan” orang Lampung kepada pendatang (tamu). Persoalan yang sama berbeda pada daerah-daerah lain, semisal Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, Jawa, Bali, maupun Makasar serta Papua.
Muatan lokal sudah dilaksanakan di sekolah, dari jenjang SD hingga SMA, tapi kenyataan di masyarakat berapa banyak yang mampu menggunakan bahasa Lampung secara mahir—baik berdialek api maupun nyow. Generasi muda, terutama remaja, dalam percakapan sehari-hari lebih suka dan merasa bangga memakai bahasa gaul (Jakarta/Betawi?) dan atau dialek yang “diviruskan” buku-buku teenlit dan chicklit ketimbang bahasa Lampung.
Muatan lokal di sekolah-sekolah sebenarnya bisa dijadikan basis pengembangan dan pemanfaatan bahasa Lampung secara luas. Sayangnya, belum adanya kesepakatan tentang dialek yang akan dipakai. Apakah dialek nyow ataukah api. Bayangkan jika anak-anak SD, kelas 1, harus “dipaksa” memahami dua dielak pada saat bersamaan.
Kurikulum di sekolah juga mengajarkan bagaimana anak didik hanya bisa menulis ke dalam bahasa Lampung. Dan, bukan menulis percakapan dengan bahasa Lampung dalam bahasa dan aksara Lampung. Sehingga anak didik tidak mahir bercakap-cakap dalam bahasa Lampung. Aksara Lampung, sejatinya dibanggakan karena hanya sedikit aksara dimiliki di Indonesia, hanya dikenalkan dan bukan dipakai.
Entah disebabkan etnis Lampung yang minoritas membuat penggunaan bahasa sulit disosialisasikan atau karena “keterbukaan” masyarakat etnis Lampung yang pada tataran tertentu kerap berbahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan masyarakat nonetnis Lampung. Selain itu kurangnya kesadaran dari masyarakat Lampung—beretnis Lampung dan etnis lain—menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa komunikasi. Asumsi lain, bahwa Lampung mempunyai 2 dialek bahasa yang amat berbeda membuat keduanya sulit bertransformasi secara luas.
Saya tidak sepakat kalau Lampung sebagai Indonesia mini hanya disebabkan beragam etnis ada di daerah ini. Saya juga menolak jika Lampung sebagai bagian barat dari Jakarta, sebab di sini tumplek berbagai suku dari banyak etnis. Cara pandang seperti itu menunjukkan pesimistis yang membuat kita enggan melakukan perubahan.
Kita maklumi kebudayaan adalah penanda, karena itu harus ada kesadaran untuk menjaga supaya penanda itu tidak lenyap. Apakah masih disebut Lampung jika aksara (dan bahasa), adat, dan budaya tidak lagi dikenali? Tantangan ke depan, saat ini saja ketika arus globalisasi sudah memasuki hingga ke ruang-ruang paling privasi, arus budaya asing dan budaya-budaya dari etnis nonLampung semakin mewarnai, maka yang harus dilakukan ialah merumuskan strategi pelestarian seluruh aset kebudayaan Lampung. Adapun maksud strategi pelestarian, menurut Dr. Khaidarmansyah, pelestarian ialah perlindungan (melindungan), pengembangan (mengembangkan), dan pemanfaatan (memanfaatkan). Sehingga pelestarian kebudayaan berarti (1) mempertahankan bentuk-bentuk lama yang sudah pernah ada, (2) menjadikan kebudayaan yang bersangkutan tetap ada dan tetap hidup dengan peluang perubahannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Sejatinya masyarakat Lampung—terutama etnis Lampung—menyadari segera sebelum benar-benar punah seperti yang diperkirakan para pakar tentang kekayaan budaya yang dimiliki Lampung. Banyak yang bisa digali dan dilestarikan, misalnya dadi (sastra tutur) untuk sekadar menyebut yang kini hanya seorang Masnuna yang nyatanya sudah pula uzur kalau tidak ada dan menyiapkan penerus penuturnya, akan punah pula. Sayangnya Masnuna sudah tidak bisa bepergian jauh untuk “ditanggapi”, sedangkan penerusnya belum lagi lahir dan semahir Masnuna.
Masnuna jelas punya “nilai jual” dan dadinya mampu memikat orang di luar etnis Lampung. Meskipun boleh jadi mereka tidak bisa mengerti dan memahami syair-syair dalam bahasa Lampung sangat puitik dan bernilai sastra tinggi. Tetapi, menyedihkan (kalau) ternyata ada (lembaga) yang hendak “menjual” dan mengeruk keuntungan dari Masnuna. Sebab, sampai kini—semoga masih hidup—Masnuna hidup dalam kemelaratan di pedalaman Lampung Tengah.
Tetapi kita kerap lalai. Kita latah pada pemerintah yang tidak menempatkan kebudayaan sebagai bagian integritas pembangunan, bersanding dengan program-program pembangunan yang ada. Masalah kebudayaan, sejak pemerintah Orde Lama yang dilakukan setengah-setengah, sampai puncaknya pada rezim Soeharto dengan politik “penyeragaman”nya. Tetapi yang ditonjolkan adalah (kebudayaan) Jawa sehingga jawanisasi makin kental. Akibatnya menenggelamkan keberagaman etnis dan budaya hanya oleh “persatuan dan kesatuan” yang telah menjadi jargon berpuluh tahun, paling parah dirasakan budaya-budaya dari etnis minoritas.
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Segala bentuk kebudayaan, seakan tergantung “paket” dari pusat. Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian kemudian dimarger ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah (Pemprov Lampung) latah menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Sasaran pengajaran kebudayaan di jenjang SMA menjadi terputus. Bisa dibayangkan 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak didik jenjang SMA yang dianggap potensial untuk dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dan tak mengenal sama sekali kebudayaan sendiri.
Sayangnya, baik kalangan budayawan, seniman, dan masyarajakat adat di Lampung, seperti tidak keberatan dihilangkannya Subdin Kebudayaan dari tubuh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Padahal, saya bisa pastikan, kebijakan Pemrov Lampung tidak dirahasiakan. Menyadari sifat kebudayaan tidak diwariskan secara genetika melainkan melalui proses belajar, baik secara formal maupun tidak formal; bukan milik individu; dan bersifat tradisional. Maka apakah kita menganggap tak ada masalah dengan hilangnya Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung?
Menyatukan kebudayan dengan pariwisata, membuat kebudayaan dianggap sebagai benda, dan dihitung secara materi. Kebudayaan dipandang bagaimana bisa menjual dan dijual di pasar pariwisata. Dan jika kebudayaan tak bisa dijual dan menjual sebagai devisa negara (daerah), kalau tidak ditinggalkan maka bagaimana caranya direvitalisasi dan pelestarian demi pemuasan para pelancong (wisman-wisdom).
Persoalan dan nasib kebudayaan Lampung tidak bisa sepenuhnya berharap campurtangan terlalu jauh dari (pemerintah) pusat. Apalagi kabinet SBY yang juga tidak terlihat sense of culture dengan tidak membuat Departemen Kebudayaan tersendiri. Semampangnya, otonomi bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh daerah beserta kebudayaan daerah masing-masing. Oleh karena itu, (kebudayaan) Lampung dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri: Lampung. Ini dengan catatan masyarakat Lampung, apakah ia dari etnis Lampung ataukah etnis nonLampung, sama-sama sepakat untuk memajukan kebudayaan Lampung.
Masyarakat mendorong pemerintah daerah membuat Perda Kebudayaan sebagai political will untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Lampung. Kenapa pemerintah Jawa Barat mampu menelurkan perda tentang kebudayaan, di Lampung sampai kini baru sebatas rancangan di meja legislatif? Mungkin rancangan perda kebudayaan itu masih lama, namun diperparah perilaku legislatif yang hanya mengenakan pakaian adat pada saat-saat tertentu enggan sementara pembuatannya telah mengeluarkan anggaran tidak kecil.
Di sinilah saatnya masyarakat mendesak pemerintah (daerah) membuka simpul-simpul tak berkembangnya kebudayaan Lampung. Ke depan, kita letakkan harapan sekaligus mendesak kepada calon gubernur/wakil gubernur serta wajah baru di legislatif hasil Pemiu 2009 untuk kehidupan (ber)kebudayaan Lampung. Harus ada strategi kebudayaan dalam pemerintahan yang baru di Lampung, sehingga pembangunan yang dilaksanakan di segala lini tetap bermatra kebudayaan. Artinya, merenovasi dan merevitalisasi kota melalui pembangunannya, tidak menghancurkan (meruislag) bangunan-bangunan yang sudah menjadi ikon (penanda), bangunan atau gedung berciri budaya Lampung tidak dipunahkan demi kota bernuansa modern.
●sudut bandar lampung, 23 juni 2008 ◘
*) disampaikan pada Seminar Kebudayaan Lampung bertema Marginalisasi Mayarakat Adat Lampung di Tengah Arus Globalisasi, Lembaga Peduli Budaya Lampung, Bandar Lampung, 29 Juni 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar