19 Februari 2013

SAJAK-SAJAK



Isbedy Stiawan ZS

Angel I


kucari namamu di koran-koran
hingga hari minggu: di setiap halaman
setiap huruf kueja, ingin melafalkan
namamu. tentang dirimu, setiap
tanda di tubuhmu

dulu kau sangat kukenal
aku pun tahu berapa tanda
merajah di tubuhmu
senyum dan halus tanganmu

tapi kenapa kini telah tiada?
wajahmu selalu berwarna mendung
tangan penuh rambut
dan selalu memanjang: --seperti
pinokio yang tiap dusta
hidungnya memanjang--

kau bukan lagi angel
yang kukenal di masa kecil


120212

















Angel II

ingin kuhapus rindurindu ini
tapi namamu menjelma api
di halaman koran dan wajah televisi
membujukku untuk kuukir bibirmu
kenangan yang tak mungkin pergi:
di saat kau berjalan di catwalk
sambil menaburkan aroma parfum
tubuhmu tanpa bercak

kini korankoran atau tubuh televisi
hanya api, terbakar oleh selingkuhmu
"inilah rakyat, angel, tak bisa
kau dustai. api cemburu
yang mengubur cinta!"

kau sudah jauh melupakan
kenangan-kenangan silam
bahkan hatimu yang pualam

12 Februari 2012























Angel III

hujan yang datang amat deras
tak juga muara di matamu
senyummu telah membuat sungai
sehingga air hujan mengalir ke lautan

di halaman koran hanya wajahmu yang ceria
di wajah televisi hanya senyummu menguar

padahal kutahu kau berduka:
sejuta mulut kini mengutukmu
betina yang menjelma jadi tikus

wahai, perempuanku
aku tersedu; mungkinkah
kau hanya berkabar kelak
dari ruang berpintu besi itu?

130212











 * sajak-sajak ini telah masuk dalam antologi puisi DEKLARASI HARI PUISI, di Pekanbaru, Riau, 2012













Angel IV

aku sedang berpikir untuk menundukkanmu
lalu kau akan mengucap apa yang kuikrarkan
menulis seperti yang kukatakan
sementara diam-diam aku siapkan peraduan
menyulam benang-benang itu jadi kelambu

pada suatu saat, di dalam kelambu
aku pun hanya jadi pendengar
kau bercerita tentang pertemuan itu,
--perjumpaan rahasia--
dan kau berlalu, Angel,
sendiri aku setelah kau pergi
membuatku benar-benar sepi!

aku tanpa kawan
di ruangan ini

190212

























Angel V

akhirnya kaulupa berhias:
tak ada pelangi di bibirmu
bahkan bagai langit mendung
juga pipimu yang kuning
dan alismatamu tak bertanda

berapa duka sudah
kaupanen, Angel, sejak
musim hujan kemarin?

kau terlalu manis dan seksi
untuk mencuri, Angel:
kenapa bukan cintaku
kaubawa lari agar aku selalu
memburumu, meski kau sembunyi
di dalam kamar tak bertanda

kau begitu santun, Angel
kenapa tak kau curi saja ragaku?
-- bibirmu bagai selembar kertas,
seribu kata tak bisa kueja --

2012


Cerpen AMBULANS MENYERUAK KAMPUNG



Ambulans Menyeruak Kampung





Menunggumu sekadar singgah di rumah panggung, sepertinya aku sedang menanti bulan penuh pada malam ke lima belas. Begitulah, aku seakan dikutuk duduk di beranda rumah panggung ini menunggu kedatanganmu. Walaupun aroma tubuhmu tak juga tercecap hidungku.

Aku adalah anak perempuan tertua dari ibu bernama Ratminah dan ayah Herman gelar Suttan Begawan Negeri. Aku masih gadis atau bahasa daerah kami menyebut muli[1] bagi anak perempuan yang belum menikah. Ayahku dikenal sebagai tokoh adat di kampung ini: kampung yang tak pernah merasakan pembangunan.

Bila malam, kampungku gelap pekat karena belum masuk penerangan listrik. Bila siang, para lelakinya hanya mengobrol di depan rumah sebab tak bisa mengolah tanah yang keras menjadi ladang apatah lagi sawah.

Itulah sebabnya, para bujang atau kami menyebut mekhanai, lebih memilih pergi ke kota untuk bekerja demi mengubah nasib. Sebab belum berguna di kampung jika tak punya pekerjaan. Tak akan ada muli berkenan dilamar, apabila menganggur di kampung. Hanya kepada lelaki yang pulang dari perantauan, para perempuan dengan senang hati menanti dilamar.

Sedangkan kamu? Kau adalah lelaki yang kunanti. Sejak anak-anak aku sudah tertarik padamu. Ingatlah saat kita bermain gobaksodor di tanah kosong dekat pemakaman itu, aku selalu memilih ikut kelompokmu. Karena aku ingin mendapat perlindunganmu saat diburu lawan.

Pernah kau mengganggu lawan main, tatkala dia mencecarku agar segera aku tertangkap. Karena kau, aku dapat lolos dari kejaran.

Begitu pula saat kita main petak umpet, kau selalu menyembunyikan aku di balik batang pohon atau rimbun ilalang. Setelah yakin penjaga lengah, kau memerintah aku untuk lari ke tiang atau menginjak batu sebagai penanda.

Aku meyakini kau adalah lelaki yang bisa melindungiku kelak jika aku jadi isterimu. Atau sebagai imam saat salat berjamaah dengan anak-anak kita.

Namun selepas SMA kau harus ke kota. Begitulah suratan bagi bujang di kampung kita. Belum berguna jika tak punya pekerjaan. Belum disebut orang kalau tak pulang membawa uang. Bagi lelaki yang masih pengangguran, alamat ia akan digunjingkan lalu tersingkir.

Aku masih ingat saat kedua orang tuamu mengantar sampai ke kota. Kau dititip kepada salah seorang saudaramu. Kabarnya tak lama menganggur, kau sudah mendapatkan pekerjaan. Setelah itu kau pulang hanya setiap Idul Fitri. Kau ikut tradisi mudik bersama jutaan muslim di Tanah Air.

Sedangkan aku? Lulus SLTP, ayah menyuruhku tinggal di rumah demi membantu ibu di dapur. Atau menemani ibu ke seberang, menjual ikan-ikan hasil tangkapan ayah di Way Tulangbawang[2] yang airnya tak pernah kering meski musim kemarau.

Sejak itu aku hanyalah muli yang duduk di beranda rumah panggung. Itulah ruang terhormat bagi perempuan di kampung, selain dapur-sumur-kamar tidur.

Bila malam bukan saat Idul Fitri, kampungku sangat gelap. Saat itu aku sering mendengar langkah lelaki yang mengendap-endap di bawah rumahku.

Kemudian sebatang korek api kayu dinyalakan, pertanda ada jejaka yang datang. Persis di bawah kamar tidurku. Itulah yang dinamai manjau dibingi alias saat-saat perempuan didatangi pemuda di malam hari.

Cara pacaran di kampungku memang tak dibenarkan terang-terangan. Kalaupun ada lelaki yang berani tandang ke rumah untuk menemui sang gadis, jangan coba-coba menegur atau menyapa keluarga gadis. Dipastikan tak akan ditanggapi. Bahkan keluarga gadis akan memasang wajah dingin.

Begitulah. Walaupun aku sering diapeli pemuda kampung atau dari kampung sebelah, kau tetaplah yang kunanti. Biarpun aku berkenan diajak mengobrol hingga larut malam oleh pemuda yang tak kutahu benar orangnya sebab tak berhadap-hadapan, aku meyakini kau pemuda paling tampan yang kukagumi.

Tetapi, kenapa hingga malam takbiran ini belum juga kulihat kau liwat di depan rumahku. Apakah kau belum tiba sebab terhalang macetnya pengendara mudik di jalan, atau sebab berlebaran di kota?

Ah! Aku menduga macam-macam tentangmu. Tidak seperti tahun lalu, dua hari sebelum Lebaran Syawal kau sudah sampai. Sehingga kau bisa bertarawih[3] di mesjid, dan aku pun ingin tarawih juga. Sebelum imam bersama-sama melafalkan niat puasa, kita sudah bertemu di samping masjid. Mengobrol beberapa saat, lalu kau mengantarku hingga di depan rumahku.

Duh, senangnya saat kita beriringan jalan menuju pulang. Setelah aku naik tangga rumahku, aku melambai padamu dan kau sambut dengan lambaian pula. Ayah yang duduk sambil menikmati rokok kreteknya di ruang tengah pasti tahu kalau kau mengantarku hingga depan rumah, sebab sejak tadi ia mengamati tingkahku.

Cuma ayah tak bertanya. Adat membuat ayah tak hendak bertanya ihwal anak gadisnya sudah mempunyai pemuda pilihan atau masih sendiri. Dia juga akan menolak keinginanya untuk bertanya: “Siapa lelaki yang mengantarmu, Hindun?” Namun, aku yakin kalau ayah tak buta, karenanya tahu bujang yang tengah dekat denganku. Dialah Ikhwan Irawadi. Kaulah itu…

*
SAMPAI suasana kampung benar-benar hening dan di luar sana sangat pekat, aku masih menunggu kabar bahwa kau mudik. Aku melihatmu liwat di depan rumahku membawa sajadah untuk salat Idul Fitri di tanah lapang. Sejurus kemudian aku melangkah di belakangmu, juga menuju tempat yang sama.

Setelah salat Idul Fitri, usai bersalam-salaman dengan kerabat dekat di tanah lapang, kau akan mendatangiku di shaf muslimah. Aku pun memburu tanganmu, menyalami dan mencium punggung tangamu.

Bersama bujang-gadis lain, kita pun meninggalkan tanah lapang. Menaiki tangga rumah satu persatu untuk berlebaran dan mencicipi kue. Biasanya hingga sore atau menjelang magrib. Pada saat lebaran ini, para orang tua membolehkan gadisnya bertemu bujang atau sebaliknya dengan tetap pada koridor agama dan adat[4]. Maka saat lebaran Syawal, kampungku benar-benar riuh. Bedug masjid dipukul sepanjang hari, suara petasan, dan meriam bambu bersahutan.

Entah mengapa, malam takbiran ini tak ada yang manjau ke bawah panggung rumahku. Ke manakah para mekhanai kampung saat malam Lebaran? Apakah mereka sudah kalah bersaing dengan para lelaki dari kota? Ataukah tak hendak bertikai sebab cemburu-buta?

Kini aku benar-benar rindu dikunjungi. Walaupun hanya berbisik: aku di dalam kamar dan si bujang di bawah panggung. Kalaupun bisa bersentuhan, hanyalah satu jari dari sela-sela papan lantai rumah. Ah memadu-kasih yang indah dan berkesan, bukan?

*

INGIN rasanya aku mencari tahu, pada siapa pun, tentang keberadaanmu sekarang. Hatiku benar-benar gelisah, hingga takbiran menyusup dan malam kembali hening, tak juga kulihat dirimu.

Rasanya aku mau ke rumahmu yang hanya berjarak 200 meter dan dekat sungai besar itu. Hanya kekhawatiranku sekiranya ayah tahu kalau aku ke rumahmu. Alamak di mana muka ayah mau ditaruk? Sebabnya, pantang bagi perempuan bertandang ke rumah mekhanai seandainya pemuda itu memang disukai.

Ayah pasti berang. Aku akan dimarahi berhari-hari. Boleh jadi, aku akan disingkirkan ke rumah keluarga. Itulah yang aku tidak mau. Bagaimana ibu, ia akan bekerja sendirian di rumah. Aku menyayangi ibu. Sudah begitu berat beban ibu: membesarkan aku dari buaian, lalu membiayai aku agar menyelesaikan SLTP.

Di samping membantu urusan tugas ibu, aku juga diajarkan ibu cara menenun tapis[5] setelah pekerjaan rumah tangga selesai. Biasanya aku menenun selepas salat Isya hingga pukul 23.00 lalu tidur. Kecuali pada malam Minggu, karena saat manjau dibingi yakni perempuan akan menunggu-nunggu dikunjungi pemuda.

Kini sudah lima helai tapis yang kusimpan di lemari pakaianku. Itulah yang akan menjadi sesan saat aku resmi sebagai isteri dan dibawa ke rumah suamiku[6]. Aku berdoa, kaulah yang menerima sesanku bukan lain pria!

*

MENJELANG subuh kabar pun datang. Isah, adik sepupumu menjemputku untuk salat subuh di masjid, dan mengatakan bahwa tiba setelah salat Idul Fitri. Saat ini masih di perjalanan, terhambat di Selat Sunda.

“Kata kiyai[7] dia minta maaf pulang terlambat. Mudah-mudahan sebelum jam 10 sudah di rumah,” jelas Isah.

“Dia meneleponmu, Isah?”

“Ya, atu[8] jam 03.00 tadi. Emangnya…”

Isah tak meneruskan ucapannya. Aku tahu yang akan dikatakannya: “Emangnya tak menelepon atu?” Tak mungkin, soalnya aku dilarang memakai telepeon genggam (handphone), selain tak begitu penting karena repot jika baterei habis hanya bisa mengecas pada malam hari.

“Terima kasih Isah. Kalau kiyaimu datang, ajaklah berlebaran ke rumah atu ya?” ucapku kemudian.

Hingga zuhur kau tak berkabar. Isah pun tak tahu pergi ke mana. Gadis kota itu memang tak kerasan berlama-lama di kampung. Pasti dia sudah menyeberang sungai, main di Menggala[9].

Pukul 15.15 kampungku gempar. Ambulans menyeruak kampung. Sirine meraung-raung sejak Gapura Badik[10] dan berhenti di rumahmu. Siapakah yang sakit? Aku bertanya-tanya. Jantungku berdegup kencang.

Aku segera turun. Menyerbu ke jalan. Bergabung dengan warga lain. Bisik-bisik semakin jelas…

“Ikhwan kecelakaan, kecelakaan. Meninggal di tempat…”

Sekujur tubuhku bagai digayuti beban sangat berat. Di kepalaku beribu kunang-kunang beterbangan. Limbung. Aku pun terjerembab di tanah.

Akankah ini menjadi kenangan selamanya?*


Lampung, 4 September 2012



[1] Dari bahasa Lampung berarti gadis/perempuan.
[2] Way atau sungai Tulangbawang terletak di Kabupaten Tulangbawang Barat kini (dulu Kab. Tulangbawang). Sungai ini membelah Kota Menggala-Panaragan-Pagar Dewa. Kampung Pagar Dewa adalah kampong tua di kabupaten ini, memiliki banyak legenda dan sejarah: termasuk menjadi pusat Kerajaan Tulangbawang dengan raja pertamanya Minak Rio Mangku Bumi dan raja terakhir dan pemeluk Islam yaitu Minak Kemala Bumi atau Minak Pati Pejurit.
[3] Salat Tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, sebagai pengganti salat malam (tahajud).
[4] Selain itu saat gelar gawi, misalnya saat cangget bakha yakni pesta muda-mudi di malam purnama. Para gadis dibolehkan ngigel (berjoget) dengan bujang di Sessat Agung (Balai Adat).
[5] Nama kain tenunan khas Lampung. Biasanya menenun tapis dilakukan para gadis Lampung sebelum berumah tangga. Saat ia dilamar kemudian dibawa suaminya, hasil pekerjaan yang dilakukan selama melajang itu sebagai sesan (bawaan) pengantin perempuan ke rumah suaminya.
[6] Biasanya disebut boyongan, prosesi ini dilaksanakan setelah mendapatkan adok (gelar) dan suap-suapan.  Dalam boyongan inilah, perempuan membawa sesan.
[7] Bahasa Lampung berarti kakak, selain adin, kanjeng, dan banyak lagi.
[8] Artinya ayuk/mbak. Sebutan lain bagi kakak perempuan adalah batin, okhti, acik, dsbnya.
[9] Nama kota tua di Kabupaten Tulangbawang. Syahdan, nama kota ini diadopsi dari pendatang asal Mongolia, yang kemudian cikal-bakal menjadi orang Menggala.
[10] Badik adalah senjata tajam khas orang Pagardewa/Menggala (Tulangbawang Barat/Tulangbawang)




 sumber Jurnal Nasional, 11 November 2012

Cerpen SUKMA HILANG DALAM KABUT



 
Sukma Hilang dalam Kabut
 

 
 
AKU hendak bercerita padamu tentang perempuan berusia belia, tiba-tiba hilang di kaki gunung itu. Niatnya menaiki puncak untuk memburu kekasihnya yang frustasi lantaran cintanya ditolak oleh orang tua perempuan itu. Lalu berniat bunuh diri di puncak sana.

Perempuan itu merasa bersalah. Dia tidak punya keberanian menentang kedua orang tuanya. Terutama sang ayah, setiap ucapannya adalah sabda: tidak bisa dibantah. Kata-kata sang ayah merupakan titah yang harus diikuti, walaupun pahit dirasa.
 
Itulah kenapa, perempuan itu tidak mampu sepatah pun untuk mendukung kekasihnya kala menyampaikan keinginan memperisterinya. Belum lagi bibirnya bergerak, sang ayah sudah melontarkan beribu-ribu kata layaknya peluru yang muntah dari moncong senapan.
 
Dia ingin mengikuti sang kekasih, tiba-tiba kedua kakinya ditahan oleh sang ayah. Perempuan itu digiring ke kamar, lalu dikunci dari luar pintunya. Menjelang malam, perempuan itu diam-diam membuka jendela kamar. Melompat. Lari ke perkebunan di belakang rumah. Menuju hutan dekat sebuah gunung tak bernama.
 
Malam turun. Udara berembun. Angin sepoi. Dingin sekali.
 
Perempuan itu terus melangkah. Pakaian yang melilit tubuhnya sekamin diketatkan. Untung dia membawa dua pakaian yang langsung dikenakannya. Itulah pakaian yang merangkap selimut untuk mengusir gigil.
 
Suara-suara binatang malam bersahutan. Jalan menuju lereng gunung sangat gelap. Ia nekat, sebab tak ada lagi pilihan. Keberanian selalu muncul saat-saat terdesak.
 
Padahal, perempuan itu belum pernah melalui jalan itu di waktu malam. Mana mungkin berani ia ke sana. Sampai perkebunan di belakang rumah saja, ia tak pernah lakukan.
 
Tetapi kali ini?
 
“Lebih baik mati diterkam malam, daripada menanggung rindu dan menjadi perempuan pingitan tanpa menikah dengan orang yang dicintai…” ia bergumam.
 
Ia tidak percaya kalau orang tuanya punya pikiran picik. Memaksakan kehendaknya, bahkan untuk sebuah perjodohan. Para orang tua seperti meyakini, jodoh anak ditentukan oleh tangannya. Kebahagian rumah tangga anak-anak, tergantung dari perjodohan yang dibuatnya.
 
Ibu memang tak bisa menolak, saat seorang lelaki datang karena sudah mendapat restu dari orang tuanya. Walaupun ibu harus mendepak lelaki lain yang telah jatuh cinta padanya, dan ibu juga mencintainya.
 
Kalau ibu kemudian merasa bahagia, bisa mencintai ayah, dan ayah tak pernah mengecewakan ibu, bukan sebab perjodohan orang tua. Sebab takdir sudah menulisnya sejak mereka lahir ke dunia ini.
 
Tetapi ayah lupa. Ibu pernah bercerita pada perempuan itu, tahun pertama rumah tangga mereka, ibu benar-benar tersiksa. Ayah sangat keras, kata-katanya tak bisa disela, setiap pernyataannya adalah keputusan!
 
“Lama-lama ya ibu bisa mengikuti irama ayahmu. Toh kemudian rumah tangga ibu jalan lancar, sampai kamu menjadi dewasa sekarang…” ujar ibu suatu malam saat duduk di teras dan di langit sedang purnama.
 
Rumah panggung. Inilah rumah tradional masyarakat di sini. Di bawah rumah itu hanya ruangan kosong. Dari tempat itulah, para jejaka memberi isyarat kepada gadisnya kalau datang.
 
Dengan korek api kayu, para gadis tahu di bawah sudah datang sang pangeran. Lalu mengobrol dengan suara yang sangat pelan. Terkadang menggunakan seutas benang dan di masing-masing pucuknya diberi kotak. Para bujang gadis itu mengobrol layaknya menggunakan telepon. Itu sebelum ada handphone seperti sekarang.
 
Untunglah perempuan ini lahir di zaman telepon selular. Jadi bisa mengirim pesan pendek, walau pun jaraknya hanya berdekatan. Juga bisa mengirim gambar.
 
Pada suatu malam ayah memergoki kekasihnya, saat mengendap di bawah rumah panggung mereka. Tentu saja ayah berang, sebab jejaka yang datang bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu digebah. Dia sambit dengan potongan kayu.
 
Lelaki itu bergeming. Tapi sebenarnya tidak menantang. Ayah menarik lelaki itu naik ke rumah. Ia menyidang jejaka itu. Setelah itu, diusir.
 
“Hanya cukup sampai malam ini saja kamu mengendap di bawah rumah kami, dan jangan dekati anak gadis saya!” usir ayah.
 
Lelaki itu menatap mata ayah. Lama sekali. Kemudian mengalihkan pandang ke gadis pujaannya. Dia ingin mendapatkan bantuan dari kekasihnya itu. Sayangnya, sang kekasih tak merespon.
 
“Kau lihat, anak gadis saya tak menolongmu…”
 
Bukan tidak menolong ayah! Perempuan itu membatin.
 
“Aku takut ayah akan semakin berang, dan kekasihku akan dirajam sebilah parang!” batinnya lagi berkata.
 
Lihat mata ayah yang sudah berwarna merah. Lihat pula kedua tangan ayah yang tiba-tiba bagaikan besi. Jari-jari ayah sudah berubah seperti pisau-pisau tajam. Perempuan itu tak mungkin tega menyaksikan kekasihnya dicabik-cabik tangan ayahnya, kemudian dihunjam parang tubuhnya.
 
Lelaki itu berlalu dari hadapan ayah perempuan itu. Menuruni tangga rumah. Pelan. Seperti hati-hati terjatuh. Menghitung satu persatu anak tangga rumah panggung kekasihnya itu.
 
**
 
AKU ingin memberi tahu padamu ihwal keluarga perempuan ini. Mereka adalah keluarga terpandang di kampung itu. Ayahnya bergelar rajo dan ibunya permaisuri. Hanya keluarga berduit bisa memeroleh gelar di sana.
 
Untuk mendapatkan gelar dari adat, seseorang harus menyembelih beberapa ekor kerbau. Juga menggelar begawi beberapa malam berturu-turut. Gelar adat ini dinamai cakak pepadun[1]. Dan mesti ada canggot[2] yang mengundang masyarakat berbagai tiyuh[3] yang dekat.
 
Pesta dimulai. Petatah-petitih disampaikan. Tari-tarian dilantaikan. Para gadis dijemput dengan tetabuhan dan penerang[4] dari depan rumah. Lalu diarak hingga masuk sessat agung[5] untuk segala begawi (acara) dilaksanakan.
 
Konon, sekali begawi adat setara dengan dua kali menunaikan ibadah haji. Barangkali bisa lebih. Kesibukan yang membuat tuan ramah sangat letih, melebihi perjalanan ke Tanah Suci. Tetapi, bagi orang-orang kampung yang sangat menjunjung adat dan tradisi, begawi  sebagai bentuk menunjukkan adat mesti dijunjung: kekerabatan disatukan dalam sessat.
 
Selain itu, setiap orang yang sudah cakak pepadun atau mendapat gelar dari adat, strata sosialnya menjadi terangkat. Inilah yang membuat orang di kampung itu, seperti berlomba memeroleh gelar adat. Para penguasa juga, dengan politisnya, minta diberi gelar adat.
 
Dan orang tua gadis ini, karena gelar adatnya itu, menjadi benar-benar terpandang di kampung. Ia dihormati melebihi mereka yang bergelar suttan, soalnya gelar suttan cukup banyak. Misalnya Suttan Macak Padun, Suttan Sembahan Rajo, Suttan Ulangan, dan masih banyak lagi.
 
Sedangkan jejaka yang ingin menikahi perempuan itu, dari keluarga biasa. Tiada satu pun keluarganya telah melakukan begawi. Karena cinta, keduanya bertemu. Tersebab niat suci, kedua pasangan itu berencana membangun mahligai rumah tangga.
 
Hanya, rencana milik manusia. Bagaikan bangunan paling kokoh yang dijungkirbalikkan gempa, runtuhlah cinta mereka berkeping-keping. Lalu hujan menghanyutkan hingga tak bertanda.
 
Ow! Alangkah perkasa kehendak manusia. Mengukur sesuatu secara materi. Menimbang bobot dengan adat tak berimbang.
 
Sebenarnya jejaka malang itu bisa melakukan, yang juga ada dalam adat. Dia bisa melarikan perempuan itu[6] untuk kemudian dinikahi, namun ia tak hendak bersikap seperti itu. Jejaka itu ingin baik-baik meminta dan melamar kepada orang tua kekasihnya.
 
Sayangnya, belum lagi mengutarakan keinginannya, ia sudah disambit jauh. Lelaki itu pun menaiki gunung di belakang rumah sang gadis. Gunung yang diyakini kerap menerima para bujang yang kalah di medan jodoh. Hidup di lereng, di leher, ataupun di pucuk gunung: membangun huma dan memanfaatkan kebaikan alam bagi hidupnya.
 
Di antara para lelaki frustrasi karena ditolak cintanya, ada yang kembali turun beberapa tahun kemudian untuk hidup selayaknya masyarakat lainnya. Mereka mendapatkan jodoh, lalu hidup bahagia dalam rumah tangganya. Sedangkan lainnya, justru memilih hidup di gunung itu. Jadi peladang.
 
Boleh jadi, itu pula pilihan jejaka yang dicintai perempuan itu. Maka itu ia tak ikhlas kalau kekasihnya menjadi makhluk gunung, hidup tak berpayung[7] tanpa ladang untuk menanam.
 
Ah! Itulah yang menguatkan hatinya menyusul sang kekasih. Lari dari rumah. Meninggalkan orang tuanya yang kaku pada adat dan tradisi, seakan menolak ketentuan jodoh dari Tuhan.
 
Dia siap hidup hanya menunggu mukjizat alam pegunungan, daripada tinggal di rumah yang serba kecukupan. Lebih baik hidup berlaki di gunung karena ia mencintainya, ketimbang bersama orang tua di rumah mewah namun bagai dalam sangkar.
 
Perempuan itu mulai kehausan. Tenggorokannya kering. Lidahnya pahit. Tiada air setetes pun untuk membasuh mulutnya. Dia pun diserang lapar.
 
Perjalanan mencapai kaki gunung masih jauh. Diperkirakan masuk fajar baru sampai. Kini sudah pukul 03.00, jika pertanda suara burung yang baru di dengarnya. Keinginan sangat untuk bertemu kekasihnya, perempuan itu masih kuat berjalan.
 
*
 
FAJAR menguak perempuan itu sampai di puncak. Hening. Udara bening. Kabut menyelimuti pepohonan. Laiknya salju luruh di pucuk daun. Pandangnya tak tembus jauh. Hanya berjarak beberapa langkah.
 
Kunang-kunang tumbuh di kepalanya. Pagi belum lagi terang. Perempuan itu kehabisan daya. Sedang jejaka yang dicari belum dijumpa. Tak ada orang. Dia pun hilang…
 
*
 
PEREMPUAN itu, yang sedang memburu kekasihnya naik ke puncak gunung, bernama Sukma. Lahir dari keluarga terpandang sebab telah melangsungkan gawi untuk sebuah gelar di depan namanya.
 
Saat remaja hingga menjelang dinikahi, ia memiliki jejaka yang dicintai dan mencintainya. Namun terganjal karena tak direstui orang tuanya. Jodoh pun menjadi ajang guna menjunjung martabat.
 
Bagi keluarga yang memiliki anak perempuan harus dilamar mahal. Kalau tak bisa, lebih baik pernikahan dibatalkan. Anak perempuan yang dilarikan lelaki dianggap aib. Dinilai tak bisa menjaga anak. Apatah lagi kalau diramut[8], pantang pulang!
 
Sukma memilih caranya sendiri. Bukan sebambang atau minta diramut oleh kekasihnya, namun ia menyusul ke puncak gunung[9] itu. Kendati ia hilang ditelan kabut.
 
Lampung, 30 Agustus 2012—(perbaikan) 29 November 2012





[1] Naik pepadun: mengambil gelar
[2] Berarti pesta. Canggot ini ada beberapa ragam, canggot ngebanton, canggot mepadun, canggot pilangan, canggot bakha. Canggot Bakha dilaksanakan pada malam purnama, dan dihadiri/dilaksanakan oleh bujang gadis
[3] Tiyuh berarti kampung/dusun/desa.
[4] Zaman dulu mungkin menggunakan lampu minyak/obor, tetapi saat ini sudah memakai petromaks atau lampu emergency dari depan rumah. Para gadis mengenakan pakaian adat lengkap seperti siger.
[5] Tempat begawi adat dilangsungkan.
[6] Adat melarikan perempuan untuk dinikahi dengan sebutan sebambangan. Ada satu lagi perkawinan, namun kurang dibenarkan oleh adat, yakni ngeramut yaitu merampas/merampok anak gadis. Dalam sebambangan, setelah gadis dilarikan ke rumah saudara lelaki maka utusan sang jejaka dating ke rumah gadis membawa keris, uang, dan bawaan lainnya untuk menjelaskan kalau anak gadis yang dilarikan aman. Lalu dilaksanakan musyawarah untuk menentukan hari pernikahan, mahar, dan seterusnya.
[7] Maksudnya rumah/gubuk, agar terhindar dari panas, hujan, dingin malam, serta untuk istirahat jika lelah dan tidur bila mengantuk.
[8] Ramut atau merampas anak gadis untuk dinikahi masih terjadi di Kotabumi, Lampung Utara. Seseorang bujang yang ingin menikahi perempuan pilihannya namun si gadis tak memberi tanda bahwa suka, maka melalui keluarga bujang dilakukan cara “menjebak” sang gadis lalu dibawa ke rumah keluarga. Setelah itu dating utusan dari keluarga lelaki, seperti juga sebambangan, membawa uang dan keris. Biasanya kemudian bermusyawarah dua keluarga. Namun dalam musyawarah itu suasana tegang karena emosi kerap ditunjukkan, utamanya dari keluarga si gadis.
[9] Gunung dalam cerpen ini, sampai kini dikenal bernama Gunung Sukma Hilang. Keberadaan gunung ini di Kabupaten Pesawaran. Setiap pagi gunung itu diliputi kabut, sore menjelang malam bagaikan luruh hujan. Sedangkan kisah dalam cerita ini, tak ada sangkut paut dengan nama, adat, dan asal-usul nama gunung tersebut.


*) telah dimuat Lampung Post, Desember 2012

Cerpen RINDANG SEDAYU




RINDANG SEDAYU  



CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.

Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.

Hawa dicipta bukan dari tulang rusuk lelaki—yaitu Adam—seperti kerap kalian dicekoki selama ini. Tuhan tak perlu harus mencopot satu tulang rusuk Adam hanya untuk mencipta Hawa. Apa guna kun fayakun-Nya?

Setelah kedua manusia pertama itu dicipta, mulailah benih-benih cinta tumbuh di dalam tubuh mereka. Mengalir bagai air, berkecambah layaknya biji. Lalu mengakar dan menjadi pohon. Pohon cinta.

Karena cinta, Tuhan memerintahkan kedua makhluk manusia itu menempati surga. Alangkah indahnya taman eden itu. Betapa kalian tak perlu bekerja banting badan, memutar tubuh, mengubah letak kaki menjadi tangan dan sebaliknya. Di taman surga, segala sudah tersedia.

Buah-buah anggur nan manis, apel dan lezat. Bahkan pula, sungai yang di dalamnya sebagaimana dikatakan Chairil Anwar: mengalir susu. Bayangkan, kalian tak perlu ke luar surga jika hendak meminum susu. Apatah lagi menginginkan daging, tentulah sudah tersedia.

Bahkan, tak kalian lihat perempuan dan lelaki menjadi tua-keriput. Para wanita adalah bidadari, sedangkan lelakinya ialah pangeran nan tampan.  Para ustad akan menggambarkan kira-kira seperti itu di hadapan umatnya.

Itulah cinta Tuhan kepada Adam dan Hawa. Dia tempatkan kedua manusia pertama hasil perdebatan-Nya dengan malaikat dan iblis saat-saat berencana mencitpa manusia untuk menjadi “wakil-Nya” di muka bumi. Untuk sementara kedua pasang manusia itu digodok di dalam surga, sebelum menjalani kehidupan yang sesungguhnya di bumi.

Sudah suratan, Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis. Setan memang mendapat lisensi untuk bisa mendengar yang paling rahasia sekalipun di langit. Maka karena Adam dan Hawa boleh hidup sesukanya di surga, hanya satu catatan usah dekati (bayangkan, hanya mendekati!) salah satu pohon yang tumbuh di dalam surga, apatah lagi memetik buahnya yang bernama khuldi.

Lalu iblis merayu Adam. Dia tak tergoda, sebab Adam mencintai Tuhan yang telah menciptakannya. maka iblis tak habis rayu. Didekati Hawa. Dia bisikkan ke telinga perempuan, yang konon ditakdirkan memiliki perasaan lebih besar ketimbang perhitungan akal, bahwa pohon itu tak masalah kalau hanya didekati.

Lalu Hawa mendekati. Adam melarang tersebab cinta. Dibujuknya sang kekasih itu agar jangan mendekat apa yang telah dilarang Tuhan.

“Pohon ini indah sekali, aku takjub. Buahnya amat memesona,” ujar Hawa makin mendekati pohon itu.

Dan iblis makin melancarkan tipudayanya. Dibisikkan lagi ke telinga kiri Hawa: sekiranya buah itu dipetik lalu segera makan, abadilah kalian berdua di surga ini.  Untuk apa menetap di bumi, jika apa yang kami—iblis, malaikat—nuzumkan akan terjadi pertumpahan darah? Apakah tidak ingin kalian tinggal di sini hingga kiamat, tanpa bekerja keras untuk menghidupi diri dan keturunan sebagaimana jika berada di bumi?

Hawa kian mabuk oleh rayu-bujuk. Dia dekati teman hidupnya, dia katakan kalau yang diuapkan makhluk asing itu benar adanya. Siapa pun mau hidup abadi, tak mengalami kematian, menetap bahagia berlimpah buah, makanan, serta minuman.

Adam mulai mengerjap-ngerjakan matanya. Lidahnya keluar masuk, jakunnya naik turun, ludahnya mengences. Ingin sekarali rasanya mencicipi buah dari satu pohon yang Tuhan larang itu.

Kisah Adam dan Hawa adalah karena cinta. Mereka dikeluarkan dari surga lalu diturunkan ke bumi secara berpisah, juga agar keduanya menemui cintanya. Di Bukit Rahma, setelah beratus-ratus tahun sejak keduanya diturunkan bisa bertemu.

Bukit Rahma atawa “bukit cinta” yang kemdian menjadi simbol bagi pertemuan seluruh jamaah haji (juga umroh) untuk bermalam. Di Padang Arafah untuk berwukuf, sebelum melempar jumroh.

*



KECANTIKAN
Beruntunglah aku dilahirkan menjadi perempuan cantik. Bersyukurlah aku dititahkan untuk memimpin sekumpulan orang di wilayah ini. Tetapi, berwajah cantik tanpa memiliki cinta, adakah hidup menjadi gempita?

Namaku Rindang Sedayu. Rambutku memanglah rindang layaknya tubuh cemara. Aku ayu atau dayu, maka kedua orang tuaku menyebutnya Sedayu.

Di kelompok semendo ini akulah ratu. Aku memimpin rakyatku penuh bijaksana dan lemah lembut. Namun aku tegas dan keras di hadapan kerajaan lain ataupun lawan. Aku sakti. Itu sebabnya, aku berani menetap di Canguk[1] bukan di tanah orang semendo, yakni Sumatera Selatan.

Tetapi, benarkah kami tak punya tanah kelahiran sehingga berpindah ke dekat arus Way Abung[2]? Lalu menetap, mungkin, hingga turun-temurun. Orang Semendo juga mendapat tanah untuk berkebun, terutama kopi, cengkih, dan lada.

Kami diterima di daerah ini dan memiliki kampung. Cuma bukan sebagaimana kaum Yahudi yang mencaplok tanah Palestina setelah berpindah-pindah dari berbagai negera!

Kalau ditanya apakah kami orang Lampung? Kami akan mengangguk, sebab kami meminum dan mencari makan dari tanah Lampung. Namun, darah yang mengalir di tubuh kami tetaplah darah Semendo.

Dan! Asimiliasi juga berlangsung. Orang Semendo bisa menikah dengan orang Lampung. Begitu sebaliknya, orang Lampung mengambil perempuan Semendo. Walaupun kadang perkawinan ini diawali dengan ketidaksetujuan di dua pihak keluarga.

Aku Rindang Sedayu. Seluruh pria di daerah ini terpesona pada kecantikanku. Negeri tetangga baik yang jauh ataupun dekat, juga memuji paras dan ingin menjadikan aku sebagai isteri.

Tidak kecuali, Minak Trio Diso. Pengiran dari lereng Canguk. Dia amat tergila-gila, ingin menyuntingku menjadi permaisurinya.

O tidak! Aku adalah ratu bagi orang-orang Semendo di Canguk ini. Kedudukanku setingkat dengan Minak Trio Diso. Apa kata warga Semendo jika aku menjadi permaisuri Trio Diso? Keratuan Semendo di sini akan hilang. Titah keratuan tidak bisa diturunkan kepada anak-anak cucuku. Putus tali titah.

Sebagai perempuan nan cantik sekaligus ratu bagi orang Semendo di Canguk ini, tak heranlah banyak pria ingin menyuntingku. Mereka hendak kepercik anugerah. Ingin dipandang tak sebelah mata oleh masyarakat lantaran bersuami seorang Ratu.

Kehadiran kami di Canguk dianggap membawa permusuhan, terutama dari orang-orang Minak Trio Diso. Itulah muasal permusuhan di antara kami. Pertikaian kerap berlangsung, baik siang maupun malam. Perang di lereng, di bukit, atau di dekat aliras Sungai Abung.

Darah mengaliri way. Mayat bergelimpangan di hutan, di ladang, di tepi sungai, ataupun di lereng dan bebukitan.

“Kita datang jauh-jauh dari Selatan. Hutan sudah kita masuki dan keluar, sungai kita susuri bersampan, binatang buas ditundukkan, serta alam yang mengancam kita tekuk di kaki. Apakah harus menyerah di Canguk ini di tangan mereka?” kataku pada hulubalang.

Hulubalang berseru: “Tidak!”

“Kita datang dan menempati lahan ini untuk berhuma. Kita ditakdirkan oleh alam mesti hidup dan beranak-cucu di daerah ini, lalu bolehlah menyebar menuju lahan kosong yang baru. Kenapa pula kita harus kalah?” lanjutku.

“Segala jiwa dan tenaga kami, untuk puan Rindang Sedayu….” balas hulubalang dan masyarakat.

Maka kami tetap bertahan di Canguk. Tak seinci tanah pun kami mau mundur. Jika Minak Trio Diso datang menyerang, parang-parang kami akan menghadang. Apabila Minak Trio Diso menyerbu wilayah kami, kaki-kaki kokoh bagai kaki kuda dan siap memuantahkan debu.

Memang Minak Trio Diso tak bisa dipandang remeh. Dia sakti mandradiguna. Tuturkatanya mampu menidurkan orang. Sekali erang, badiknya[3] bagai kilat mendarat di badan musuh. Hentakkan bagaikan tendangan kuda jantan yang lapar: sekali tendang musuh bisa terbang ke seberang way.

Perawakan Minak Trio Diso tinggi besar. Urat badannya menonjol seperti sebentang kawat. Dan ototnya keras, kulitnya putih sebersih sutera. Tiada berminyak.

Selain itu, Minak Trio Diso tampan wajahnya. Perempuan mana tak akan jatuh dalam pelukannya karena pesonanya?

Aku mengakui itu. Aku terpesona.

Ah, tidak! Tak sudi aku besuami dia, meski akan jadi permaisurinya. Apalagi seluruh keluargaku tak merestui jika aku disuntingnya. Terutama kakak-kakaku menolak. Mereka siap berkubur tanah untuk mempertahankan diriku.

“Aku siap bertarung dengan Minak Trio Diso. Kalah atau menang, kamu tetap tak boleh menjadi isterinya. Apa kata rakyat Semendo, Rindang Sedayu mau dipersunting orang Canguk? Ini memalukan, jauh-jauh dari seberang hutan namun kalah di sini dengan orang sini?” kata kakak tertuaku yang diaminkan kakak kedua.

“Kecantikanmu, ananda, bisa mendatangkan raja dari Malaya sekalipun…” bisik ayahanda.

Ibunda ikut berujar: “Kau putriku satu-satunya, cantik pula. Rindang Sedayu ditakdirkan menjadi pemimpin bagi orang Semendo. Tak baik mengelak dari takdir…”

*

MUSYAWARAH
Dan perang tak juga henti. Kedua belah pihak tak ikhlas melucuti senjata masing-masing. Canguk cekam. Way Abung mencatat setiap mayat hanyut dan darah mengalir.

Warna daun bercampur merah. Tanah basah. Udara gerah. Badik dan parang menari dan bergemirincing.

Kedua belah pihak sudah sangat lelah. Tetapi keduanya tak ada yang mau mengalah. Badik telanjur diacungkan, pantang masuk sarung sebelum ada yang bergulung di tanah. Begitu pula parang sudah disiapkan, tak boleh disimpan kalau tak ada yang bersimbah di bumi.

Akhirnya aku tak bia menolak, ketika Minak Trio Diso mengutus orang untuk menemuiku. Utusan Minak Trio Diso yang berjumlah lima orang menyerahkan badik dan sarungnya, dan bawaan tangan lainnya: buah, sayur, padi, dan lain-lain.

“Kami datang ke mari atas perintah Minak Trio Diso, tak lain untuk menyampaikan harapan untuk sebuah pertemuan. Jikalah puan Rindang Sedayu berkenan, esok bertemu di tepi Way Abung…”

“Apa gerangan yang diinginkan Minak Trio Diso, wahai tuan-tuan utusan Minak?”

“Menyelesaikan pertikaian, menyudahi permusuhan…”

“Apakah patut pertemuan itu? Adakah muslihat di baliknya?” tanyaku curiga.

“Tiada puan Rindang Sedayu. Hamba tak mampu menyelam dalamnya hati Minak Trio Diso…”

“Bailah, esok aku datang. Ini semua aku terima,” kataku sambil memerintah orang membawa masuk bawaan tangan utusan Minak Trio Diso.

*




BERSAMPAN
Tidak jauh dari Way Abung pertemuan digelar. Sungguh, hatiku bergetar manakala menatap mata Minak Trio Diso. Aku tertunduk-sipu. Minak Trio Diso semakin menghunjam pandangnya. Menyapu dari rambut, kening, mata, hidung, pipi, bibir, dagu, dada, hingga ke ujung jemari kakiku.

Wow, aku nyaris jatuh tak sadar. Betapa benar banyak cerita, bahwa Minak Trio Diso memang tampan rupawan. Rambutnya hitam dan tidak panjang tak juga pendek. Perawakannya kekar-tegap dan besar.

Dadaku berdegup kencang.

Aku lawan tatapannya. Minak Trio Diso menunduk. Aku menunggu ia berkata, namun bibirnya semakin mengatup. Suasana mulai terasa gaduh. Mungkin mengira aku dan Minak Trio Diso akan beradu tanding.

Dia mendekat. Aku diam. Semakin dekat. Aku tak bergerak.

“Aku mengundangmu ke sini, karena aku ingin mengutarakan isi hatiku…”

“Apakah itu?”

“Aku menginginkan kau jadi isteriku. Jadi ibu dari anak-anakku yang akan melahirkan anak-anak keturunan Abung…”

Aku tak mampu berkata apa-apa.

Kakak-kakakku berang. Mereka ingin menarik tubuhku ke belakang. Orang tuaku juga maju ke depan, namun tak mampu menyentuh badanku.

Entah aku menyukai Minak Trio Diso ataukah menolak keinginannya. Tak mampu kuceritakan kepada siapa pun.

Aku sadar ketika kami bersampan mengikuti aliran air Way Abung hingga ke suatu tempat[4] lalu menetap cukup lama di daerah baru ini.

Minak Trio Diso membawa lari aku untuk kemudian menjadikan aku isterinya. Lalu lahirlah anak-anak dari rahimku. Anak-anak yang terlahir dari sebuah pertikaian, dan berakhir tanpa bermusuhan.

Bayangkan, saudara, orang Semendo dinikahi oleh orang Abung. Dari dendam, bermusuhan, saling tikam. Akhirnya menyatu dalam rumah tangga yang besar: masyarakat Abung[5] yang terbuka bagi setiap pendatang.

Adalah keluargaku, terutama kakakku, tetap menaruh dendam pada Minak Trio Diso. Hanya kukatakan padanya: “Untuk apa dendam, bila Minak Trio Diso sudah menjadi bagian keluarga kita. Pernikahanku dengannya untuk menyudahi permusuhan dan dendam yang akan merugikan seluruh orang di sini…”

Di Canguk kami kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Membuka lahan menjadi hunian. Menurunkan anak keterunan dari percampuran dua suku: Lampung dan Semendo.

Suamiku meninggal dan makamnya berada di lurah, sedangkan jasadku dimakamkan di atas bukit. Sebenarnya kedua makam kami tak berjauhan, namun terasa amat berjarak karena ketinggian dan tertutup oleh belantara.[6]

Way Abung airnya jernih. Banyak bujang gadis berbasuh di airnya, setiap pagi ataupun petang. Canguk pun menjadi ramai….[7]

*

CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.

Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.

Aku Rindang Sedayu keturunan Semendo, dinikahi Minak Trio Diso puyangnya orang Lampung Abung. Kami berladang sekaligus membangun kampung di Canguk, beberapa tahun setelah aku dilarikan Minak Trio Diso.

“Sudah lama aku menaruh hati padamu, dinda, namun pertikaian antara kita selalu menggagalkan niatku memperisterimu…” kata suamiku suatu malam.

“Aku pun sudah tahu lama bahwa kakanda adalah lelaki tampan rupawan. Tetapi akan hina jika perempuan lebih dulu menyatakan cinta…” balasku.

Malam terus menjelma runcing. Begitu hening… *


Lampung, 29 Agustu 2012










[1] Nama daerah di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara
[2] Way dalam bahasa Lampung berarti sungai. Sungai Abung berada di Kecamatan Abung Tinggi, tak jauh dari Simpang Asam Kecamatan Bukitkemuning, Lampung Utara
[3] Senjata orang Lampung, sejenis pisau namun lebih besar
[4] Tidak dijelaskan apa nama daerah yang dituju Minak Trio Diso saat membawa lari Rindang Sedayu ini, namun diperkirakan Kotabumi. Adat membawa lari gadis ini masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat Lampung Abung (Pepadun). 
[5] Menurut catatan, orang Lampung Abung bermula dari Canguk dengan nenekmoyangnya Minak Trio Diso-Rindang Sedayu kini menjadi orang Lampung asli di Kotabumi, Lampung Utara.
[6] Makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Minak Trio Diso dan Rindang Sedayu masih bisa disaksikan di Canguk, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara. Dari Kotabumi ke daerah ini memerlukan waktu 2 jam lebih.
[7] Masyarakat, khususnya orang Simpang Asam, mengenal canguk dengan sebutan Puyang Canguk. Dan untuk referensi bagi cerpen ini saya peroleh dari Sam’an Ce, warga Canguk bersuku Semendo, yang pernah merenovasi kedua makam tersebut. Dia banyak mendapat cerita dari juru kunci Makam Minak Trio Diso, juri kunci ini kini sudah meninggal dunia.




 --sumber  Jawa Pos, 25 November 2012