23 November 2008

Kumcer: SELEMBUT ANGIN SETAJAM RANTING

ISBEDY STIAWAN ZS





Selembut Angin
Setajam Ranting



(Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, April 2005)








Isi


Selembut Angin Setajam Ranting
Sum Sudah Pulang
Orang Kaya yang Selalu Berderma
Fatimah
Pulang Kampung
Biarkan Aku Merawatmu
Mushala di Samping Rumah
Aku Mamamu, Lara
9. Bulan Hanyut di Kampung itu
10.Mushala di Atas Air
11.Gadis Berjilbab
12.Domino di Bawah Meja








1
Selembut Angin Setajam Ranting


KAU tak pernah menyesal bercinta dengan istri orang?"
Agus menggeleng. Tersenyum. Bagai Don Quixot ia menenggak minuman yang nyaris kemarau itu. Aroma alkohol benar-benar menyengat.

"Kau tak takut ketahuan suaminya?"

Agus menggeleng lagi. Ia malah menyalakan korek api tinggi-tinggi. Seorang perempuan, Anti yang berparas sensual, mendekatnya. Mencium pipi Agus. Lelaki yang ada di depanku menyambut ciuman Anti dengan bangga. Aku keki.

Aku tendang kaki Agus dengan kaki kiriku. Ia pikir dengan cara begitu ia bisa membuat emosiku naik, lalu ikut seperti dia.
Terus terang, aku berada di ruang pengap ini tak sengaja. Pulang kantor tadi, aku bertemu Agus. Dia mendekatiku. Aku memang suntuk, letih, bahkan wajahku kuyu karena tiga hari ini memang aku selalu lembur. Koran tempatku bekerja banyak order iklan warna. Karena di kota B ini belum ada percetakan berwarna terpaksa dikirim ke J. Itu sebabnya, halaman yang kebagian jatah iklan warna harus dikirim sehari sebelum beredar. Dan, kebetulan aku yang diberi tanggung jawab.
Aku tak bisa mengelak ketika Agus mengajakku ke tempat hiburan diskotek ini. Dia merayu dengan mengatakan untuk menghilangkan kejenuhan, diperlukan waktu santai. Santai yang paling bagus menikmati musik dan memandang perempuan-perempuan cantik. "Itu hanya di diskotek. Bukan di swalayan atau di supermarket!" kata Agus sambil tertawa. Aku tersenyum. Bimbang. Aku sudah kadung janji pada istriku akan membawakan martabak Bangka. Dia pasti amat menanti makanan kesukaannya itu. "Ayolah, sekali-kali pulang terlambat. Istrimu tak akan marah..." "Tapi, aku sudah janji akan membelikan martabak Bangka buat istriku..." "Ah, bilang saja tidak jual atau sudah tutup. Kau jangan mau jadi suami DKI."
"Apa itu DKI, aku tak mengerti," potongku. Aku tersinggung, meski aku sendiri tak tahu maksud DKI yang dikatakan Agus. "Itu lo, suami Di bawah Ketiak Istri!" Agus kembali tertawa. Kali ini benar-benar lepas. Aku cuma tersenyum. Pahit. Kesal. Dan, sesungguhnya dalam hati aku marah. Tetapi, aku tahan. Agus adalah sahabatku sejak kuliah. Ia kini pengusaha. Ketua organisasi para bisnisman di kotaku. Tentu soal uang, ia tak pernah kehabisan. Teman-temannya pun pejabat, anggota legislatif, aktivis politik, dan para preman. Aku tak bisa menolak manakala ia membukakan pintu mobilnya. Aku masuk setelah menitipkan motorku dengan satpam kantor. "Tapi, jangan lebih jam dua ya!" harapku. Agus mengangguk. Aku pikir ini hanya sekali saja pulang terlambat. Lagi pula, aku ke luar kantor sudah pukul 11.30. Masak iya, baru masuk diskotek sudah minta pulang. Agus masih seperti di kampus. Don Quixot. Banyak kekasih. Bahkan, gonta-ganti. Aku pernah melihatnya, beberpaa jam di kampus bisa tiga kali menggandeng cewek. Sialnya, tak satu pun cewek-cewek itu berkelahi karena dia. Pandai sekali dia menyembunyikan kecurangannya! Dina, kembang kampus, kemudian dipilihnya menjadi istrinya. Kini ia telah dikaruniai dua anak: perempuan dan lelaki. Menurut cerita Agus, anak tertuanya kini sudah kelas dua SMU, sedang yang bungsu kelas tiga SLTP. "Kau tak pernah risau dengan anakmu yang sudah remaja. Kapan kau akan berubah?" kataku di dalam mobil tadi. "Anakku kan tahunya kalau aku sibuk mengurusi bisnisku. Lagipula, mereka tahunya aku pulang bawa uang. Ongkos ke sekolah tidak seret, dan kebutuhannya selalu kupenuhi. Itu saja..." "Istrimu?" "Sebelum kami menikah pun, dia sudah tahu kelakuanku. Jadi, tak ada masalah," jawab Agus santai. Tampak sekali ia mengucapkan itu dengan bangga. Tak ada masalah? Bagaimana mungkin seorang istri rela dan pasrah padahal ia tahu suaminya bersenang-senang di tempat hiburan. Istri mana pun akan terpukul begitu tahu suaminya bercinta dengan perempuan lain. Jelas, bagi istri yang normal, akan menjadi masalah jika tahu suaminya sering bersenang-senang di diskotek. Karena itu, aku tak percaya kalau tak ada masah. Hanya saja, Dina yang kutahu sejak kuliah selalu ingin menghindari pertengkaran. Dengan siapa pun. Itu sebabnya, ia disenangi banyak teman perempuan dan pria. Tapi, itu bukan kepasrahan. Bukan pula karena Dina takut pada Agus. "Ayo minum, jangan kau pandangi saja. Sudahlah, Is, sekali-kali kau berontak pada nuranimu. Hidup itu jangan monoton, misalnya alim terus. Sekali-kalilah keluar dari aturan dan norma. Maka kau akan banyak mengetahui persoalan hidup," Agus berbisik. Aku mencium aroma alkohol dari mulutnya. "Kau memang gila!" aku mendesis. "Is, kau tahu, angin saja tak selalu meniup dengan lembut. Ia bisa berubah sebagai topan, angin puyuh, atau pun bahorok. Nah, kenapa kita tidak seperti itu," katanya lagi. "Kita tak akan pernah tahu perasaan seorang penjahat, kalau kita tidak menjadi penjahat. Kita tak tahu bagaimana rasanya mabuk, kalau kita sendiri tak pernah minum alkohol. Kita juga tak bisa merasakan menjadi suami yang baik, kalau kita selalu menurut dan tak pernah selingkuh." "Hidup ini bukan mesin percobaan, sobat! Rumah tangga juga bukan arena akrobatik dan meja permainan. Hidup adalah amanah dan kita wajib menjaganya. Rumah tangga adalah sunnah, maka bagi kita yang bisa menata dan menghidupinya sama artinya kita telah menjadi pengikut Rasulullah!" jawabku tak mau kalah. "Ah teori...." kata Agus. Ringan. "Sudahlah, kita lupakan perdebatan ini. Toh kita datang ke sini ingin hiburan?" kali ini kulihat Agus seperti hendak mengoreksi pendapatnya. Jam 02.00. "Gus, sudah waktunya aku harus pulang," kataku kemudian, mengingatkan.
"Kasihan istriku, pasti dia was-was menungguku pulang..." "Kau bahagia punya istri yang setia menunggumu pulang. Aku iri padmu, sobat!" "Apa maksudmu, Gus?" aku bertanya. Sungguh aku tak mengerti maksud kenapa ia mengucapkan kata-kata itu. "Bukankah kau sendiri juga bahagia? Punya Dina yang selalu tak punya masalah?" "Justru itu masalah! Karena ia tak pernah memasalahkan apakah aku pulang cepat ataukah pagi, justru itu jadi soal buatku. Jangan-jangan istriku tak punya kekhawatiran terhadapku. Jangan-jangan ia tak setia, tak..." Agus berhenti. "Oke kita pulang, perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku ingin memarahi Dina kemudian ia menentangku, lalu kami bertengkar, ribut... Aku ingin sekali-kali ada kegaduhan di rumahku, ada yang menentangku. Dina harus menanyaiku kenapa sering pulang larut malam, mendampratku, bahkan aku ingin sekali ia melempar benda ke tubuhku. Rumah tangga yang adem-ayem saja perlu diragukan keharmonisannya. Istri yang diam meski membukakan pintu bagi suaminya yang pulang larut malam, perlu dipertanyakan kasihsayangnya." "Aku setuju itu, Gus! Aku ingin kalian cakar-cakaran, seperti aku dengan istriku. Setelah itu baikan, bercintaan, dan pasti kalian akan harmonis. Dalam hidup ini, kita tak hanya merindukan lembutnya angin. Tetapi, kita harus pula menikmati tajamnya ranting. Itu baru hidup!" ucapku. Aku menggamit tangan Agus yang agak sempoyongan. "Ke mana, kok cepet sekali?" Anti menyongsong tiba-tiba, membuatku terusik. "Anterin aku dulu dong. Iya sayang??" pintanya pada Agus. "Sorry. Aku harus buru-buru, enggak punya waktu. Maaf." "Apa? Kau gila apa, Gus? Kau tinggalkan aku di sini sendirian? Aku ke sini karena kau mengajakku. Tidak bisa, kau harus mengantarku pulang dulu. Setelah itu kau boleh ke mana kau suka!" Anti mengancam. Suaranya agak keras. Agus menatap wajah wanita cantik itu. "Maaf sayang, aku ada keperluan lain. Amat mendesak..." "Tidak bisa!! Atau..." Anti memecahkan botol. Ia mengancam Agus dengan botol yang sudah belah dua dan tentu tajam itu. "Aku tak segan-segan melukaimu, kalau kau nekat keluar dari ruangan ini sendirian!" "Persetan!" bentak Agus. "Aku tak takut ancamanmu. Pergi kau perempuan sundal, kau tak pantas menjadi istri." "Kau juga! Aku yang istri orang saja, masih mau. Kau yang setan!" Anti tak mau kalah. Ia kalap. Botol itu ia tancapkan ke tubuh Agus. Untung aku awas, segera kudorong tubuh sahabatku. Tapi tak ayal, pecahan botol itu menggores punggungku. Lebih perih rasanya daripada tergores tajamnya ranting. Istriku pasti menanyakan ihwal lukaku, lalu kuceritakan. Pada akhirnya, istriku tahu kalau aku ke diskotek. Aku rindu bertengkar dengan istri.
Lampung, Februari 2002






Sum Sudah Pulang


SUM sudah pulang. Bukan saya saja merasa amat bahagia, tetapi hampir semua tetangga di sini. Sungguh, mimpi buruk selama dua malam pada pekan lalu yang mendatangi saya, tidak terbukti kebenarannya. Kepulangan Sum dari Malaysia, membuat saya sangat senang. Wajar kalau saya mengadakan syukuran di rumah.
“Kamu pulang selamet aja Nduk, mbokmu ini sudah seneng sekali,” kata saya ketika Sum meminta maaf tak bisa membawa ole-ole. Jangankan membawa barang untuk saya, semua pakaian Sum tertinggal di tempat kosnya.
Tetapi, Sum tetap mengaku menyesal tak bisa membawa ole-ole untuk saya. Itu ia buktikan dengan melepas anting-anting yang katanya dibeli di Johorbahru. Juga sebuah gelang yang dibelinya di Ipoh ketika sekali waktu ia diajak majikannya ke negara bagian Malaysia itu.
“Ah, endak usah. Mbokmu ini sudah lebih cukup mendengar kamu pulang selamat…” kata saya lagi bermaksud menolak pemberiannya. “Mbok dengar nasib TKI di sana kan sedang gawat, diancam hukum cambuk segala. Mbok lalu mikirin kamu terus, takut kalau kamu ditangkap polisi lalu dicambuki. O Gusti, mbokmu aja endak pernah ncambuki kamu, Nduk…”
“Ihh, mbok, kok bayangi aku yang serem-serem sih! Sum sehat-sehat kok,” ujar Sum sambil senyum-senyum. Putri sulung saya itu memang lebih cantik dibanding adik-adik perempuannya. Karena itu, ketika ia izin pada saya mau mencari pekerjaan di Malaysia, saya sangat khawatir ditipu lelaki hidung belang. Tapi, Sum meyakinkan saya, kalau itu tak akan terjadi. “Percaya deh Mbok, Sum tahu kok mana yang ustad dan mana yang penjahat.” Lalu tertawa.
Sum lulusan SMU, pernah sekolah di Tsanawiyah, dan sempat bercita-cita melanjutkan ke perguruan tinggi. Tetapi niat itu ia urungkan, karena keburu musim TKI ke luar negeri. Sum pun berangkat sebagai TKW—tenaga kerja wanita—di Malaysia dengan surat-surat lengkap. Ia bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Gajinya cukup besar. Beberapa bulan pertama meneri gaji, ia kerap mengirimkan sebagian gajinya untuk saya dan adik-adiknya.
Saat liburan, ia pulang. Selama bekerja, ia sudah dua kali pulang. Dan, kepulangannya kali ini, adalah kali yang ketiga. Sum pernah berjanji, jika ia pulang sekali lagi berarti itu yang terakhir. Ia akan berhenti sebagai TKW. Gajinya yang dikumpulkan akan dijadikan modal usaha.
Lalu, benarkah ia pulang ini tak ingin ke Malaysia lagi? Kalau benar, betapa senangnya saya. Sum akan menjaga saya, di rumah yang hanya ditunggui oleh saya dan aanak saya yang bungsu. “Mungkin untuk dua atau tiga tahun ini, Sum mau temeni Mbok…” katanya sore tadi.
Tabungan Sum cukup lumayan besar. Uang itulah yang saya gunakan untuk pesta syukuran kehadiran Sum. Awalnya Sum tidak percaya kalau biaya syukuran ini saya ambil dari tabungan yang dikirimnya selama ini. Setengah tak percaya, Sum bilang: “Mbok jangan jual perhiasan atau tanah ya?” Saya mengangguk, lalu saya katakan kalau biaya syukuran ini saya ambil dari tabungan di BRI.
Hampir semua tetangga di kampung saya datang. Saya bangga, ternyata Sum masih dikenal dan dikenang orang kampung. Yang tak kalah senang, teman sepermainan sewaktu kecil yang kerap dijodoh-jodohkan dengn Sum yakni Jumadi, juga hadir. Lajang menjelang 37 tahun itu hanya senyum-senyum ketika diojoki oleh teman-temannya yang lebih dulu berkeluarga.
“Itu Sum sudah menunggumu, kapan dilamar?” Saya dengar Usup mengojoki Jumadi. Yang diledek tersenyum malu, bahkan menunduk ketika melihat saya.
“Kalau memang jodoh, tak lari gunung diburu…” kata yang lain. Lagi-lagi Jumadi hanya tersenyum.
“Sum, masih kenal Jumadi?” Kali kepada Sum. “Dia tak mau kawin-kawin sebelum kau jadi istrinya…” Usup menyambung. Orang satu ini memang tak mau berhenti sebelum yang dioloki terkeok-keok menggelepar.
“Ah, Kang Usup bisa saja. Mas Jum itu enggak mau kawin karena belum ada yang cocok dengan dia…” Sum menimpali. Saya tersenyum. “Kalau sudah cocok, pastilah Mas Jum segera berkeluarga.”
“Mana tahaannn…” tamu lain menimpali.
“Tahan mana hidup membujang?” Usup kembali berujar. “Tapi, Jumadi pernah bilang padaku tak mau menikah kalau tak sama kamu. Bagaimana Sum?”
“Idihh. Kok, Kang Usup yang jadi makcomblang sih? La wong, saya saja belum berpikir ke sana. Mas Jum juga tidak.” Sum menimpal tampak agak tersinggung. “Ayo Kang Usup, makan dulu. Kan sudah lapar?”
*
JUMADI. Lelaki pemalu dan pedniam itu memang masih melajang. Jumadi dan Sum adalah teman dekat waktu kecil. Karena sangat dekatnya, teman sepermainannya kerap menjodohkan mereka berpacaran. Bahkan, teman mereka yang kini hidup bahagia di Jakarta, pernah meramalkan kalau keduanya bakal menjadi suami-istri.
“Soalnya cocok. Di mana ada Sum, di situ ada Jumadi. Atau sebaliknya…” kata dia saat itu. Ramalan itu sempat terdengar. Tentu saja saya tak begitu percaya. Meski saya setuju kalau ramalan itu benar terjadi.
Kini apakah mungkin Sum mau dijodohkan dengan Jumadi, pria yang kelihatan sangat tua daripada usianya yang sebenarnya? Jangan-jangan Jumadi tak punya keberanian meminang Sum yang kini lebih cantik ketimbang masa kanak-kanak dulu. Tetapi, ah, saya tak mau dulu berpikir soal itu. Sekarang waktunya pesta syukuran. Memeriahkan kebahagiaan atas kembalinya Sum dari luar negeri.
Acara syukuran dikemas sederhana. Dibuka oleh Pak Arief, ketua RT, sebagai pembawa acara. Setelah itu, sambutan dari orang tua yang diwakili paman Sum. Baru pengantar dari Sum tentang pengalamannya sebagai TKI, dan suka-dukanya sebagai pekerja wanita di luar negeri.
Sum bercerita. “Saya sempat menerima perlakuan baik dari pemerintah Malaysia. Saya juga kebetulan diterima sebagai pegawai pabrik dengan majikan yang juga baik. Tiga tahun saya bekerja di perusahaan swasta milik orang Singapura itu, sampai suatu ketika perusahaan elektronik itu bangkrut…”
Sum berhenti sejenak. Lalu, tak lama kemudian ia melanjutkan. Kata Sum, setelah beberapa bulan menganggur akhirnya ia mendapat pekerjaan di sebuah restoran besar. Restoran milik Cina Malaysia itu tak hanya membuka rumah makan, tapi juga kafe, diskotek, dan pelacuran yang bertameng panti pijat.
“Saya ditugaskan di bidang administrasi untuk urusan keuangan,” kata Sum. Tapi, ia mengaku, tak tahan bekerja di tempat yang sangat tipis batasnya dengan perbuatan haram. Akhirnya mengundurkan diri. Menganggur lagi dua bulan. Terakhir Sum bekerja sebagai pembantu rumah tangga. “Sayangnya Sum mendapatkan majikan yang kejam dan mata buaya. Sum nyaris diperkosa, kalau tidak segera melompat dari jendela kamar!” cerita Sum sambil mengusap airmatanya.
Sum lari dari rumah itu hanya dengan pakaian selembar di tubuh. Tanpa memegang surat-surat resmi, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi bertepatan pemberlakukan undang-undang baru di negara itu: TKI yang tak mempunyai dokumen resmi dianggap pendatang haram, dan bila tertangkap maka hukumannya cambuk. Sungguh undang-undang itu membuat Sum sangat takut, tubuh Sum menggigil. “Ke mana Sum harus mengadu? Ke KBRI, pintu kantor wakil Indonesia di sana itu seperti tertutup untuk pengaduan. Kami seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Melata dan mengais-ngais mengharap perlindungan,” imbuh Sum berderai airmata.
Lalu, demikian Sum, tak ada pilihan kecuali menyelamatkan diri beramai-ramai. Akibatnya kami tertangkap polisi Malaysia. Ternyata polisi Malaysia sama dengan di Indonesia: senang berlaku kasar pada pesakitan. Belum lagi hukum cambuk diketuk oleh pengadilan, mereka sudah memukul kami dengan pentungan dan menendang dengan sepatu lars. Bahkan, mereka melebihi perampok. TKI yang membawa banyak barang disita, isi tas dikuras, dan barang-barang yang berharga dimasukkan ke sakunya.
“Ya, sama saja polisisana dengan polisi di sini…” desis Sum.
“Untung tak ada yang diperkosa, ya?” Usup memotong.
“Entahlah, saya tak tahu soal itu,” Sum menjawab. Setelah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi, sebagian kami dideportasi. Termasuk Sum. Kami dikirim ke pelabuhan dan dinaikkan kapal menuju wilayah Indonesia, tepatnya di Nunukan.
Sum mengira setelah sampai di Tanah Air, segalanya akan aman dan segera beres. Ternyata itu semua hanya impian. Di negara sendiri, malah tak menjamin kami akan aman. Pengungsian tenaga kerja Indonesia yang besar-besaran itu tak disambut dengan persiapan yang matang. Para TKI akhirnya seperti nelayan yang terdampar di sebuah pulau asing. Kami terkatung-katung.
Lambat-laun kesehatan kami menurun. Persediaan obat-obatan datang terlambat. Kiriman bantuan makanan dan pakaian sangat lamban, melalui birokrasi yang panjang. Begitu sampai ke kami, banyak yang sudah separo isinya. Inilah yang membuat para pengungsi TKI terserang penyakit, dan banyak di antaranya meninggal dunia.
“Berita tentang para TKI yang terdampar di Nunukan sudah banyak media yang menulisnya. Dan, Sum yakin, hadirin di sini telah pula membaca atau menyaksikannya dari televisi…”
“Ya, benar, Sum,” gumam Jumadi. “Karena itulah, aku tiba-tiba terkenang kamu…”
Sum tak tahan berlama-lama di Nunukan. Begitu ada kesempatan pemulangan, Sum segera berlari dan naik ke atas kapal. Sum berpikir, berlama-lama di tempat penampungan itu akan sama artinya mengantar nyawa. Sum belum mau mati, masih ada Mbok yang masih menanti Sum. Nasib baik ternyata berpihak pada Sum. Kapal membawa Sum yang kemudian berlabuh di Tanjungpriok, Jakarta.
Apa yang ada dalam benak Sum, ketika kapal meninggalkan Nunukan? “Sum tak mau menoleh apalagi melambai. Karena Nunukan memang tak pantas untuk dikenang.”

*

SUM terpana ketika saya bertanya apakah ia sudah berpikir untuk berumah tangga. Saya ulangi pertanyaan itu, dan Sum makin terkejut. “Mbok sudah tua. Kalau besok lusa mati, Mbok tak bisa menggendong cucu…”
“Lo, Mbok kan sudah punya cucu? Dari Dik Laksmi, Lisiana, atau dari Dik Yanto. Kenapa Mbok berkata begitu?”
“Maksud Mbok, Mbok ingin menggendong cucu dari Sum…”
“Ya, tapi ndak sekarang. Sum belum mau menikah…”
“Tapi, Jumadi itu selalu menunggumu. Dia pernah meminta sama Mbok…”
“Husstt… Mbok ini. Sum belum mau kawin, belum mau ngurus suami. Masih seneng ngurusi Mbok…”
“Kamu nikah, itu sama saja sudah ngurusi Mbok. Sudah perhatiin Mbok…”
“Ya, lain dong Mbok. Malah akan merepotkan Mbok,” jawab Sum tegas. “Sudahlah Mbok, lupakan soal itu. Pokoknya kalau sudah mau, Sum pasti bilang sama Mbok. Oke… oke… oke?”
Entah kenapa saya tak bisa bersikeras lagi. Entah apa pula yang dimaksud “oke” itu. Saya benar-benar tak mudeng dengan sebutan asing seperti itu.
Malam kian legam. Lampu petromaks satu-persatu telah dimatikan karena kehabisan minyak. Tinggal bebeberapa tamu yang masih bertahan main domino. Jumadi masih ngelayut di pojok teras.
Dari ruang tengah rumah yang gelap, saya melihat Sum mendekat Jumadi. Entah, apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tentu saja, saya berharap mereka membicarakan masa depan…

Lampung, 14-24 September 2002


Orang Kaya yang Selalu Berderma


Sejak orang kaya itu menempati rumah mewah bertingkat dua—dan satu-satunya termewah—di jalan ini, kami seperti kedatangan seorang penyelemat. Belum lagi genap sepekan menjadi warga baru di kompleks perumahan Type 21 ini, ia sudah menyumbang tiang lampu penerang jalan.
“Kalau seragam, kan enak dipandang,” katanya. Ia juga menyumbang 30 tong sampah di depan rumah masing-masing warga.
Sejak itu, orang kaya itu seperti menjadi warga nomor satu di RT kami. Setiap pulang atau hendak keluar rumah, warga selalu menyambut setidaknya dengan senyuman atau anggukan kepala. Tetapi, ia tetap seperti pertama kali kami kenal: tidak sombong. Selain itu, ia akan menjalani mobil blazer-nya amat pelan, sebagai ujud menghormati kami yang rata-rata hanya mempunyai kenderaan roda dua.
Sudah tujuh bulan orang kaya itu tinggal bersama kami, tapi satu pun warga tahu dengan tepat siapa namanya. Pak RT sendiri hanya tahu: Zon. Cuma itu, ia memperkenalkan diri saat melapor sebagai warga baru.
“Ya, saya juga enggak tanya banyak. Habis beliau sendiri hanya menyebutkan namanya segitu…” kata pak RT.
Terkesan kalau warga baru yang kaya itu dihormati, pak RT selalu menyebutnya dengan beliau. Misalnya, kalau ada perayaan Agustusan, pak RT menyuruh para pemuda untuk meminta bantuan kepadanya.
“Jangan lupa ke rumahnya, beliau pasti membantu dan tak kecil.” Begitu pak RT selalu mengingatkan.
Anehnya dia tak keberatan, bahkan mengaku senang. Alasannya, apa yang bisa dia bantu sesuai kemampuan akan dibantu.
“Tolong menolong adalah kewajiban kita bermasyarakat,” kata pak Zon, suatu kesempatan mengobrol malam hari ketika bulan berparas penuh di langit.
Pak Zon, orang kaya yang selalu berderma, tak cuma dikenal di Jalan Eks ini saja, melainkan sudah ke jalan sebelah dan di bawah. Itu sebabnya, kadang mereka kerap mengedarkan list untuk meminta bantuan kepadanya setiap Agustusan atau acara lainnya. Pengurus Risma dari beberapa masjid di kompleks perumahan ini, juga mengharap bantuan pak Zon. Singkatnya, Pak Zon benar-benar sebagai penyelamat dan penderma di kompleks perumahan ini.
***

Siapa pak Zon? Dari mana dia datang atau suku apa dia? Tak seorang pun kami tahu pasti. Hanya kami menduga, ini dari suaranya, kalau pak Zon adalah suku Minang. Benar atau tidak dugaan kami ini, tak bisa dibuktikan. Soalnya yang bersangkutan tak pernah memberi keterangan. Kami juga tak pernah bertanya sampai sejauh itu, apalagi sampai ingin melihat KTP-nya. Memangnya kami intel, informan, detektif?
Kadang aku memperhatikan rumah Pak Zon dengan perasana kagum. Rumahnya bertingkat dua, megah, dan meski halaman depannya kecil namun ada kolam ikan dan taman yang menurutku asri. Istri pak Zon yang selalu memandangi taman itu, setiap pagi dan menjelang senja. Istri pak Zon yang usianya 24 tahun di bawah usia suaminya, seperti bahagia. Aku rasakan itu dari senyumnya. Ya, perempuan mana yang tidak senang menjadi istri orang kaya? Pikirku.
Istri pak Zon memang cantik. Penilaian seperti itu hampir diakui semua warga di sini. Ia juga masih muda, paling-paling baru berusia 21 tahun. Itu sebabnya, terkadang perempuan itu lebih terkesan masih remaja ketimbang sebagai istri. Kalau saja ia jalan sendiri, tentu anak muda iseng banyak yang menggodanya.
Tetapi, kami menghormatinya, terutama karena ia adalah istri pak Zon. Seperti juga suaminya, perempuan itu kerap menolong Ibu-Ibu. Ia juga murah tangan, suka membagi-bagi uang seribuan kepada anak-anak seperti juga dilakukan pak Zon.
Sejak kehadiran keluarga pak Zon, tentu saja yang paling diuntungkan keluargaku. Sebagai tetangga di sebelah kiri dari rumahnya, pak Zon paling suka berkunjung ke rumahku. Istrinya juga suka memberi sepotong atau dua potong ikan.
Katanya kepada istriku, “Saya beli ikan kebanyakan, di rumah cuma yang makan dua orang.” Lalu, istriku mengambil dan mengucapkan terima kasih.
Ibu Zon, demikian kami memanggil istri Pak Zon, memang jarang mengobrol dengan Ibu-Ibu. Maklum ia selalu pergi, setelah beberapa menit Pak Zon meninggalkan rumah. Kepergian istri Zon kadang diantar oleh supir pribadi, namun lebih banyak dijemput taksi. Kami tak tahu pekerjaan Ibu Zon sehingga sering meninggalkan rumah. Istriku yang sering mengobrol dengannya tak tahu, kecuali hanya sedikit.
“Kayaknya dia bisnis perhiasan dan pakaian mahal,” kata istriku suatu malam. Meski aku penasaran dengan keluarga Pak Zon, tapi aku beruntung tidak menjadikan misteri keluarga itu sedap untuk gosip. Persetan dengan pekerjaan orang lain, selagi tak mengganggu ketenteraman kita. Itulah yang selalu ditekankan istriku. Tetapi, berbeda dengan tetanggaku di depan. Ibu Tutik itu memang terkenal penggosip ulung, suka ngerumpi, dan nomor wahid berkelahi dengan tetangga.
Dengarlah apa yang digosipkan Ibu Tutik kepada istriku. Ibu Zon itu madu, istri simpanan. Perempuan enggak beres.
“Katanya sih Pak Zon temu istrinya itu di tempat hiburan. Ini kata seseorang kepadaku, bukan kataku. Jangan sebarkan kepada Ibu-Ibu lain ya? Nanti saya dikira penyebar gosip, kalau tidak benar…” kata Ibu Tutik, selain kepada istriku juga kepada Ibu Desi, Ibu Rinas, dan Ibu Seta.
Ibu Tutik itu aneh, komentarku. Katanya jangan disebarkan, tapi dia cerita dengan beberapa Ibu. Apa dia bisa jamin para Ibu di sini tak menyebarkan gosip itu sambil berpesan: “Jangan sebarkan ya, aku enggak sama Ibu Tutik…” dan seterusnya. Selain itu, ini masih kata istriku, keesokan harinya, Ibu Tutik cerita lagi soal yang sama kepada Ibu-Ibu lain.
“Mudah-mudahan gosip itu tak sampai terdengar keluarga Zon,” kataku.
“Ya, enggak enak kalau sampai ia dengar. Mereka terlalu baik pada warga,” sambut istriku. “Tapi, pa…” istriku hendak melanjutkan, tapi tak jadi.
“Tapi, apa?” aku mengejar.
“Kayaknya apa yang dikatakan Ibu Tutik itu benar.”
“Kalau benar kenapa? Kalau tidak, juga apa untungnya buat kita?”
“Ya, enggak apa-apa sih, pa…” jawab istriku hati-hati. Lalu, terdiam.
***

Beberapa hari lamanya kami tak membicarakan keluarga Zon. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Tetapi, yang namanya kompleks perumahan yang dindingnya saling dempet, jarum jatuh di rumah sebelah pun terdengar. Karena itu, aku mulai merasakan kalau Pak Zon jarang pulang. Istrinya selalu pergi setiap pagi dan kembali malam harinya. Tak pernah diantar oleh supir pribadinya. Ke mana? Bisnis?
Ketika “penemuan” ini ingin kuceritakan pada istriku sambil ingin tahu apakah ia juga mendengar gosip dari Ibu-Ibu lain, justru istriku menyoalku yang selalu di rumah.
“Tugas Papa di rumah hanya mau tahu urusan orang lain, ya?”
“Lo, maksudmu, Ma?”
“Buktinya, kok yang diurus tetangga sebelah?” lanjut istriku seperti tak menyukai pembicaraanku. “Kalau benar kenapa? Kalau tidak, juga apa untungnya buat kita?” katanya mengutip ucapanku sepekan lalu.
“Memang sih tak ada untung dan rugi buat kita,” kata merendahkan suara. “Tapi, kayaknya keluarga sebelah kita ini unik dan menarik. Setidaknya…”
“Dasar pengarang!” gerutu istriku. “Selalu menjadikan sesuatu sebagai inspirasi. Eh, Pa, tak baik setiap persoalan dipandang sebagai cerita.” Aku tersenyum. Istriku menambahkan, tapi terkesan bagiku mengancam.
“Makanya Pa, punya kantor. Biar Papa pergi pagi ke kantor, dan pulang sore hari. Seperti dulu, sebelum dipecat karena Papa protes pada pimpinan!"
Kini wajahku masam. Kutinggalkan istriku yang melanjutkan membersihkan halaman depan. Aku masuk ke kamar. Menghidupkan komputer. Aku harus merampungkan makalah untuk seminar sastra di Universitas Anu. Aku pun melupakan persoalan keluarga Pak Zon.
Pak Zon datang ke rumahku, malam ini. Ia mengantar lima buah durian. Katanya, baru ia beli di Kota Agung. Anakku tertua mengambil dan mengucapkan terima kasih pada Pak Zon. Aku menyilakan dia duduk.
“Dari dinas luar, Pak, kayaknya pulang malam terus?” kataku memulai. Hati-hati. Sengaja aku menggunakan kata dinas luar dan pulang malam terus, padahal aku tahu kalau sepekan ini Pak Zon tak pulang.
Pak Zon mengangguk. “Habis melihat rumah makan saya di Kota Agung,” jawabnya. Pak Zoon mengambil sebatang rokok filter. Meletakkan di bibir, kemudian menyulutnya. “Sekarang ini, para pekerja tak bisa dipercaya seratus persen. Kalau tak sering dilihat, bisa-bisa habis uang tak disetor ke kita…”
“Ooo…” aku mengangguk-angguk.
Kemudian, tanpa kuminta, Pak Zon menjelaskan biasa mengontrol sebulan dua kali atau kadang setiap pekan. Katanya, bisnis yang dikelola oleh orang lain kadang mengkhawatirkan. Bisa-bisa perputaran uang tidak jelas. Itu sebabnya, ia sering mengontrol langsung.
Aku mengangguk-angguk lagi. Pantas kalau Pak Zon sering meninggalkan istrinya di rumah, acap untuk beberapa hari lamanya. Memang beberapa hari belakangan ini, aku sering memergoki istri Pak Zon duduk sendiri di teras pada malam hari: seperti melamun.
Untunglah istriku suka menemaninya, dan ia sangat senang. Karena itu, Pak Zon merasakan kalau kami sangat dekat dengan keluarganya. Meski pun ia tak pernah menitip pesan kalau harus meninggalkan istrinya beberapa hari. Ya, soal sikap. Mungkin juga menyangkut privasi dia. Aku menganalisa.
“Tapi, aman-aman saja kan Pak di sini?” Pak Zon memecah kesunyian.
Aku segera mengangguk. “Bapak-bapak di sini masih suka begadang, biasa berdomino. Apalagi kalau disediakan organ, wah bisa joget sampai pagi!” kataku sambil tertawa. Pak Zon ikut tersenyum.
“Kalau begitu, saya siap menyediakan organ tunggal, Agustusan nanti?”
“Senang sekali! Pak RT pasti menyambut. Soalnya dia paling getol dengan dangdut, juga si Abdilah… Wah, itu orang, bisa-bisa lupa sama istri…” sambutku bersemangat.
“Ah, bisa saja Pak Is ini. Masak iya?”
Aku cuma tersenyum. Lalu menyilakan Pak Zon untuk meminum kopi yang disediakan istriku. Obrolan yang ngalor-ngidul malam itu benar-benar cair. Tertawa. Diam sejenak. Ngobrol lagi. Apalagi sejam kemudian, muncul Suratin dan Pak RT. Untung Idong sedang ke luar rumah, sebab tetanggaku yang satu itu hobinya domino dan nenggak vigour!
Pukul 12 malam, Pak Zon permisi pulang. Itu diikuti Suratin dan Pak RT. Kata Pak Zon ia harus bangun pagi-pagi karena mau mengontrol bisnis bengkel mobilnya di Krui, Lambar. Memang, pagi-pagi sekali, suara mobil Pak Zon sudah menderu. Aku lihat jam dinding di kamarku: jam 04. Sepagi ini ia meninggalkan istrinya? Menggumam.
Setelah itu, aku kembali terlelap. Terbangun pukul 07 pagi, ketika terdengar teriak-teriak dari rumah Pak Zon. Istriku sudah pergi ke kantor. Aku enggan ke luar untuk melihat apa penyebab keributan itu. Dari sela-sela jendela ruang tamu, aku masih mendengar dengan jelas. Sambil menikmati segelas kopi dan sebatang rokok filter, aku bagai mendengar drama radio.
“Dasar perempuan sundel, bisanya ngerebut suami orang!”
“Eh, siapa yang rebut suami orang? Suami kamu itu yang negejar-ngejar saya! Makanya, kasih yang enak, biar suami enggak cari lain! Dasar…”
“Kamu aja yang genit. Sudah tahu lelaki orang, kenapa masih juga disamber?!”
“Eh, ngaca!” teriak istri Pak Zon, tetanggaku, tak mau kalah. “Lihat tuh diri kamu, masih gairah enggak?”
“Memang saya bukan seperti kamu, perempuan pel….” Kata-kata yang seronok dan kotor itu terhenti karena istri Pak Zon—tetanggaku—menampar mulut perempuan yang satunya, yang kutahu dari omongannya adalah istri pertama Pak Zon.
Setelah itu, keduanya berkelahi, saling menjambak rambut, bergumul di halaman rumput rumah Pak Zon. Tak ada yang berani melerai. Pak RT pasti masih di kantor. Hanya anak-anak berusia belum sekolah yang menonton dari jalan.
Istriku pasti rugi tidak melihat tetangga sebelah didamprat istri pertama Pak Zon. Selain itu, ia akan memintaku bercerita. Ah, tiba-tiba saja aku merasa bangga sebagai pengarang!

Lampung, 10 September—09 Oktober 2002




















Fatimah


APAKAH Fatimah menyesal menjadi istri dari lelaki yang kini dituduh sebagai pelaku peledakan bom?
Perempuan berjilbab itu menggeleng. Pernikahan Fatimah dengan Abu Baidah itu adalah karena Allah yang menjodohkan. Tak mungkin Allah salah. Tak mungkin. Fatimah ikhlas kalau kini ia harus ikut bertanggjung jawab, berpayah-payah karena sering dipanggil aparat kepolisian untuk menanyakan ihwal Abu Baidah, atau diwawancarai wartawan media cetak dan televisi, dan seterusnya dan seterusnya.
Tak ada yang harus disesali. Ketika ia memilih Abu Baidah menjadi suaminya, bahagia dan derita, tawa dan tangis, harus sama-sama dirasakan.
“Dan Fatimah yakin, Ummi, ini semua hanyalah sedikit dari cobaan Allah untuk Fatimah,” katanya saat Ummi menangis di hadapannya. “Ini semua fitnah. Fat tak yakin kebenaran tuduhan aparat polisi kepada Abu Baidah. Mematikan seekor kecoa saja ia tidak tega, apalagi ratusan manusia!” imbuh Fatimah yakin.
Keharuan tak sedikit pun goyah. Seorang muslim harus tegar menghadapi apa pun persoalan dan cobaan. Abu Baidah, suaminya, selalu menasihatinya. Muslim yang menjalankan syariat Allah dengan benar, akan banyak orang yang tak menyukainya. Tapi, demikian kata suaminya, mana yang harus kita pilih dibenci Allah atau tidak disukai manusia?
“Sebaik-baik muslim harus bisa memilih hidup mulia atau mati syahid!” tutur Abu Baidah.
Fatimah mengangguk. Mengamini setiap suaminya berujar. Karena itu, Fatimah yakin suaminya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bisa keluar dari cobaan dunia itu. Betapa pun sampai kini ia tak mengetahui di mana suamianya berada: di penjara kota atau di tenpat yang disembunyikan?
Lantas, apakah kini Abu Baidah telah mati syahid? Tetapi, di mana makamnya? Kalau benar suaminya telah dibunuh oleh aparat kepolisian dengan tetap menyembunyikan makamnya, lalu siapa yang lebih teroris? Senyampang Abu Baidah belum mati, di mana ia ditahan? Kenapa pernyataan-pernyataan suaminya seputar pengeboman itu hanya dikutip dari sumber kepolisian?
“Itulah Ummi, Fat tidak percaya kalau Abu yang menjadi pelaku pengemboman di sejumlah tempat di sini. Selalu pernyataan Abu bukan dari mulut Abu, tetapi dari bibir kepolisian! Memangnya Fak ini bodoh? Banyak kejanggalan yang dilakukan para investigasi kepolisian, sehingga seperti sengaja direkayasa!” Fat berkata lagi. Hatinya geram. Ia mengutuk cara kerja kepolisian yang tidak profesional. Main tangkap, main seret, main klaim seseorang pelaku tanpa penjelasan yang masuk akal.
“Tetapi, suamimu tak bisa berbuat banyak. Ia dalam pengarus amat dahsyat kekuasaan. Itulah masalahnya, biar pun Abu tak melakukannya, ia tetap saja bisa diseret sebagai pelaku! Apa yang sih yang tidak mungkin bagi penguasa, bahkan bukti-bukti pun bisa mereka buat-buat…”
“Ummi… tak yakin kebenaran? Kebenaran akan selalu menang, betapa itu nanti dan belakangan. Allah akan menepati janji-Nya menunjukkan mana kebenaran dan mana yang batil.”
Ummi tertunduk. Ia hendak menjelaskan bahwa kebenaran, pada zaman kini, bisa saja diselewengkan oleh penguasa zalim. Pada saat-saat tertentu, kezaliman dan kebatilan bisa menang dari kebenaran dan kebaikan. Lalu, Ummi mencontohkan Rasulullah dan para sahabat pernah dikalahkan oleh orang kafir dalam suatu perang.
“Tetapi kekalahan itu, karena Allah hendak memperingatkan para mujahid yang waktu tergiur oleh harta rampasan dan tipuan kaum munafik,” ujar Fatimah kemudian.
Ummi tak menyahut. Lalu hening.
***

FATIMAH tetap tegar, meski suaminya sudah dua pekan tak jelas rimbanya. Tak ada air mata mengiringinya saat menikmati lembar demi lembar foto perkawinannya dengan Abu Baidah. Lelaki bercambang dan berjenggot hitam sedada itu, seperti baru kemarin menyalaminya untuk keluar rumah. Perkawinannya seakan baru dilangsungkan semalam. Masih terasa kehangatannya sampai kini.
Bagi Fatimah ditinggal seorang diri sudah biasa. Hidup pun diawali dengan kesendirian, pesan Abu Baidah suatu ketika. Hal ini juga pernah dialami pada saat zaman Rasulullah. Ketika seorang sahabat yang secara usia sudah wajib beristri lalu dijodohkan oleh Rasulullah kepada seorang muslimah. Namun, beberapa menit ijzab kabul, jihad menyerunya untuk meninggalkan istri tercintanya.
“Sahabat lebih memilih jihad dari pada istri yang baru dinikahinya, lalu ia syahid di medan pertempuran. Secara fisik memang keduanya berpisah, tapi keduanya bertemu lagi dan saling meminang kelak di surga. Apalagi artinya hidup di dunia ini dibanding keabadian di surga?” ujar Abu Baidah.
Pesona Abu Baidah yang selalu lembut bila berkata dan tegas dalam mempertahankan prinsif, membuat Fatimah tak henti terkagum-kagum. Hatinya berujar, ia tak salah pilih bersuamikan seorang mujahid.
Mujahid? Ah, apakah masih ada para mujahid di zaman yang serbamodern dan serbainstan sekarang ini? Terkadang sampai juga ke telinga Fatimah, kesangsian orang-orang seperti itu. Tetapi, tak akan pernah memengaruhi pilihan hatinya: para mujahid tidak akan pernah lenyap tapaknya di bumi ini. Ia masih punya benang sejarah dari Rasulullah hingga akhir zaman.
Fatimah hati-hati menjelaskan kepada mereka, mujahid bukan orang-orang muslim yang dikonotasikan beraliran radikal, pundamental alias bergaris keras: pembunuh dan teroris. Tidak begitu. Kalau kalian masih punya pikiran seperti itu, tolong hapus karena itu sengaja ditanamkan oleh orang-orang kafir. Mereka sengaja menanamkan islam phobia sejak anak-anak. Sehingga, islam yang ada di dalam pandangan orang Barat yang kafir, identik dengan kekerasan, pembunuh, tak suka perdamaian, dan pendek kata yang menyeramkan.
“Jadi, kau yakin kalau suamimu bukan teroris? Tidak ikut dalam kelompok yang ditudingkan intelijen?” tanya Maya, teman akrabnya saat di SMU melalui telepon.
“Aku yakin itu, Maya! Yang tahu watak suamiku secara pas, kukira cuma aku sebagai istrinya. Aku sudah mengenal dan bergaul amat dekat belasan tahun. Jadi, aku bisa yakin kalau suamiku tidak akan tiba-tiba menjadi pembunuh ratusan jiwa! Ini pasti fitnah yang sengaja dititipkan oleh orang-orang kafir!” Fatimah agak geram mengucapkan itu.
“Tetapi, bagaimana kalau intelijen ternyata punya bukti-bukti kuat yang mengarah ke suamimu sebagai pelakunya?” Maya bertanya lagi. “Maksudku, hal-hal seperti ini sudah kamu pertimbangkan. Maaf, kalau perkataanku ini telah melukai hatimu…”
“Tak apa-apa, Maya. Aku maklum,” jawab Fatimah lembut. “Silakan saja aparat kepolisian punya bukti, karena bukti-bukti itu bisa saja dibuat, bisa saja direkayasa? Apa sih yang tidak mungkin bisa dibuat oleh kepolisian atau intel, kalau pada intinya mereka sudah membenci suatu kelompok tertentu? Hanya bukti-bukti yang datang dari Allah yang tidak bisa dipalsukan!”
Maya diam. Untuk beberapa saat suasana hening. Kemudian Maya memutuskan hubungan telepon, setelah mengucapkan, “Baiklah kalau begitu, Fat. Aku mohon maaf kalau sudah mengganggumu. Kudoakan kau tetap tabah…”
Terdengar suara gagang telepon diletakkan. Diam. Fatimah memburu kedua anaknya di dalam kamar. Menyelimuti mereka. Suara nyamuk bergeremang. Membaringkan tubuh di antara kedua anaknya. Terlelap.
Abu Baidah datang. Tersenyum. Wajahnya bersih. Seperti sehabis shalat dan menyapa Fatimah. “Aku sudah datang Fat. Aku bawakan kesukaanmu: satai kambing…”
“Jazakallah… Bagaimana niagamu hari ini, Abu?” Fatimah bertanya. “Abu sehat?”
Abu Baidah mengangguk. “Alhamdulillah, segala pujian bagi Allah. Aku sehat. Allah telah melindungi saya…” Kemudian Abu Baidah mendekati istrinya. Hendak mencium kening Fatimah. Mengecup seperti yang dilakukannya selama ini. Tetapi, adegan itu tak berlangsung. Fatimah terjaga. Ia ternyata baru saja bermimpi.
Dalam fakta sebenarnya suaminya belum kembali. Fatimah menuruni ranjang. Menuju tempat wudu. Shalatutlail. Sebelas rakaat ia selesaikan. Setelah itu, ia berdoa. Mohon kepada Allah agar mengembalikan suaminya tanpa kurang apa pun. Sehat walafiat. Karena kedua anaknya masih membutuhkan madrasah dari abinya. Berkali-kali ia memohon. Air matanya mengalir.
“Ya Allah… kalau pun suamiku telah tiada, terimalah ia sebagai syuhada. Aku ikhlas untuki meminangnya kembali di surga kelak. Tetapi, jika ia masih hidup dan kini tengah berjuang menegakkan kalimat-Mu, maka kumohon terima amal jihadnya. Jadikan ia mujahid yang selalu berpegang pada kalimat-Mu, din-Mu yang sebenar-benar diridoi-Mu…”
Entah berapa lama Fatimah tafakur di sajadahnya. Sampai-sampai ia terlelap dan terbangun ketika Ummi mengingatkannya untuk makan sahur.
Fatimah segera sadar. Ia tersenyum seraya menatap Ummi membuat ibunya heran bertanya, “Kenapa kau Fatimah?”
Lalu berceritalah Fatimah. Ia baru saja seakan berjumpa Abu. Di suatu entah di mana. Abu tak berubah sedikit pun. Jenggotnya masih menggelayut di bawah dagunya. Mengenakan sorban putih, baju gamis putih bersela-sela hijau. Berkopiah putih.
“Abu mengajak Fat, Ummi…”
“Kau bermimpi, Fat…”
Fat mengikuti Abu. Cerita Fatimah lagi. Naik entah kendaraan apa. Kami bawa barang banyak sekali. Orang-orang banyak yang bepergian. Seperti para muhajirin di zaman Rasululullah yang berhijrah. Ada pula yang berjalan kaki.
“Kau bemrimpi, Fat. Ayo segera sahur…”
Fat menatap Ummi. Berkelebat lagi wajah Abu. Bersorban putih bergamis putih, seperti tengah berjalan di sebuah jalan entah apa. Tak henti bibirnya bergerak sebagaimana Abu selalu berzikir setiap waktu. Kini Fat seperti dibiarkan tinggal jauh di belakang. Fat melambai-lambai, memanggil-manggil suaminya.
Jauh. Jauh. Di sepanjang jalan yang dilalui Abu, Fat melihat cairan merah. Darah. Ia membatin. Dia pegang cairan merah di jalan itu. Diciumnya. Terpana ia. Fatimah terpesona. Darah itu tercium wangi, bagai bunga kesturi.
“Tapi darah itu, bukan darah suamimu, kan?”
Kini Fat tak bernai mengangguk, juga untuk mengatakan bukan. Ia tak lagi punya daya untuk menjawabnya.
Lampung, Oktober—November 2002
(revisi 18 Juli 2003)
***













Pulang Kampung


Aku sungguh-sungguh bahagia, ketika Mas Amran mengajakku pulang kampung saat liburan sekolah. Terutama, tentu saja, kedua anakku yang paling bahagia: bisa melepas rindu pada neneknya, menikmati alam pedesaan, dan mendengar musik dari pohon bambu saat dibelai angin.
Sudah tiga tahun kami tak pulang kampung menjenguk Ibu. Benar-benar kangen, meski surat dan telepon tetap lancar. Mas Amran sudah mengambil surat cuti dari kantor.
“Cukup untuk tidak dikejar-kejar waktu. Aku ambil cuti 20 hari,” katanya tersenyum.
Kesibukan Mas Amran sebagai wartawan, membuat kami kesulitan untuk menjenguk orang tua. Kadang mudik waktu Lebaran pun tidak bisa, sebab selalu saja Mas Amran kebagian jaga menjelang dan seusai Lebaran. Maklum penanggung jawab desk Nasional di koran, benar-benar menyita waktu untuk berkumpul dengan keluarga.
Perjalanan yang menyenangkan. Aku membatin. Kami tidak terhambat kemacetan. Apalagi pada saat pulang kampung kali ini, Mas Amran diberi pinjaman kenderaan dari tempatnya bekerja. Lapang dan lempang. Ditambah lagi tidak membeludaknya kenderaan pribadi di kapal fery , membuat kami tak perlu antre masuk dan keluar dari lambung kapal.
Ibu menerima kami dengan sumringah. Perempaun yang kini telah dipenuhi rambut berwarna putih itu, menanti kami di ujung tangga rumah panggung. Ah, perempuan yang meski telah tampak ketuaan itu, masih tetap menebarkan aura cantiknya.
Ya! Ibu memang pernah mendapatkan julukan Bunga Desa di kampung kami, semasa ia masih remaja. Tak sedikit para menganai 1) yang kesengsem bahkan tergila-gila pada Ibu. Tetapi, rumah tangga mewajibkan satu pilihan pria bagi seorang perempuan. Maka Ibu memilih Ayah, yang menurut perasaan Ibu waktu itu, paling sopan dan bisa menaburkan cintanya sepanjang hayat sehingga rumah tangganya bakal bahagia.
Kenyataannya tidak, bisik Ibu ketika aku menginjak remaja. Impian Ibu kandas. Ayah bukanlah tipe lelaki yang dibayangkan oleh Ibu. Ayah penjudi kelas nomor satu di kampung kami. Diam-diam ayah juga beristri lagi. Ibu amat kecewa. Ibu akhirnya memilih hidup menjanda dengan merengkuh kedua anaknya—aku dan Mita Intan Permatahati, adikku—untuk dididik dan dibesarkan sendiri.
Ibu tak ingin kami tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Apa jadinya pendidikan kami kelak, mental kami setelah besar nanti. Dan itu bakal mengganggu perkembangan jiwa kami. Rumah tangga Ibu hancur, tetapi tidak semangatnya membesarkan dan menjadikan kedua anaknya berhasil. Sejak SMP hingga SMA aku dan adikku dikirim Ibu untuk sekolah di kota. Adikku malah bisa merampungkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota BL.
Perkawinan Ibu yang gagal membuatnya hati-hati setiapkali melihat lelaki yang akan mendekati kami. Tak jarang Ibu seperti seorang peneliti saat aku dihampiri lelaki. Matanya tajam seakan menusuk batin teman lelakiku atau adikku.
“Kamu harus hati-hati pada lelaki, banyak dari mereka yang kelihatannya baik tapi sebenarnya ingin merusakmu!” tekan Ibu. Suara bergetar. Seperti menyimpan dendam yang tak habis-habis.
Meski berkali-kali aku membela, berkali-kali itu pula Ibu membantahnya. Aku selalu menasihati Ibu, jangan karena Ibu pernah dilukai Ayah kemudian mengeneraslisasi lelaki adalah jahat.
Kukatakan, “Kakek ternyata lelaki yang baik di mata Nenek, padahal ia pernah diusir Kakek buyut lantaran tampangnya serem?”
“Kakekmu itu pengecualian!” Ibu tak mau kalah. “Bukan saja sayang dan mencintai Nenekmu, tapi taat pada agama…” Kalau sudah begitu aku yang terdiam. Untuk apa berdebat kalau tak menemui kesimpulan, yakni kebenaran? Ibu hanya ingin mendoktrin pembenarannya kepadaku, tinimbang mencari kebenaran.
Meski aku dididik dan dibesarkan oleh Ibu dengan suasana kebencian kepada lelaki, namun aku pandangan lain tentang lelaki. Aku meyakini jahat dan baik adalah watak pribadi seseorang. Ada banyak perempuan yang juga menyebalkan bagi lelaki? Aku pun tumbuh sebagai perempaun seperti yang lainnya di kampungku. Artinya, aku tak memilih dan memilah teman lelaki, tak mencurigainya sebagai penjahat, dan seterusnya.
Sampai suatu ketika, aku amat jatuh cinta dengan adin2) Ismail Gelar Ratudipuncak. Kami juga sudah sepakat akan menikah sehabis Idul Fitri. Namun, ketika adin Ismail akan melamarku baik-baik, Ibuku dengan keras menolak. Ayah datang untuk menengahi masalah ini, dan Ibu mengusirnya.
“Rumahku haram diinjak oleh kakimu!” hardik Ibu.
Ayahku pun ke luar. Kemudian Ayah berpesan agar aku menemuinya. Aku datang, dan Ayah bilang, kalau memang aku mencintai lelaki pilihanku Ayah akan menikahkannya. Toh yang menikahi anak perempuan adalah Ayah kandung dan bukan Ibu?
“Ibu begitu kecewa pada Ayah, tapi jangan langsung menyimpulkan semua lelaki adalah jahat…”
Ayah juga menyarankan aku sebambangan3), sekiranya aku benar-benar mencintai adin Ismail dan ingin menjadi istrinya. Namun, saran Ayah tidak kuterima. Hatiku lebih dekat pada Ibu. Aku takut kekecewaan Ibu akan membuat rumahtanggaku berantakan di tengah jalan. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menikah dengan adin Ismail Gelar Ratudipuncak. Untuk mengobati sakit hatiku, kupilih tinggal bersama Tante Nilamsari—adik Ibu yang kami panggil Tante Sari—di Kota BL. Di kota inilah aku bertemu dan dinikahi Mas Amran yang kemudian memboyongku ke Kota J.
Aku telah melupakan adin Ismail, lelaki yang pernah bersemayam di hatiku. Apalagi Mas Amran telah memberiku dua orang anak manis dan lucu. Ibu saja yang sesekali mengabarkan tentang adin Ismail. Kata Ibu, sejak gagal menikahiku adin Ismail belum juga beristri.
“Ibu berdosa pada nak Ismail, Nis. Ibu telah membuatnya menjadi menganai toho4). Ternyata ia lelaki yang baik, tidak seperti yang Ibu bayangkan. Kini ia menjadi pengusaha sukses satu-satunya di kampung kita…”
Ah! Haruskah aku menyesali semua itu? Mas Amran juga adalah lelaki dan suami yang baik bagiku. Ia juga sukses sebagai wartawan, setidaknya dua tahun berturut-turut dinobatkan pimpinannya sbeagai karyawan terbaik. Ia juga sebagai Ayah yang baik bagi kedua anakku, setidaknya ia berusaha serius untuk memenuhi kebutuhan kami dengan hasil kerjanya yang halal.
“Nak Ismail juga sering bertandang ke rumah. Ia menengok kesehatan Ibu, mengirimi makanan untuk Ibu,” kata Ibu lagi saat mengunjungiku di Kota J. “Nak Ismail juga tak lupa menanyakan keadaanmu…”
“Lalu, apa kata Ibu?” Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin tahu kelanjutan cerita Ibu, ketika lelaki itu masih menanyakan diriku.
“Ya, Ibu katakan, kalau kau sudah jadi seorang Ibu. Punya anak dua. Jadi istri seorang wartawan, hidup bahagia…”
Bahagia? Apa ukuran kebahagiaan? Dari bertumpuknya materi, ataukah cinta yang besar yang selalu tak kering membasahi rumah tangga? Di Kota J ini memang aku tak punya kenderaan, kecuali sebuah mobil yang dipercayakan kantor Mas Amran untuk dipakai oleh kami. Rumahku taklah besar dan megah dibanding rumah-rumah lainnya yang ada di jalan ini, namun ini rumah milik kami yang dibangun Amran dari uang tabungan dan meminjam di bank. Hanya saja Amran sangat menyayangiku, mencintai kedua anak-anaknya. Itulah yang mebuatku amat bahagia…
“Lo kenapa pula mematung di situ? Ibu telah lama menanti di sini, ayolah Ibu sudah begitu kangen. Ingin mencium cucu yang cantik itu…” Ibu berujar dengan suara yang sedikit dikeraskan agar sampai kepada kami yang masih berdiri di bawah. Suara Ibu membuyarkan lamunanku.
Tiba-tiba aku teringat Nilam, adikku. O, di mana dia? Aku tak melihatnya di bibir tangga, biasa ia menantiku setiap aku pulang kampung. Perlu kujelaskan serba sedikit di sini. Sejak Ibu membatalkan pernikahan Nilam dengan Dodi Hutasuhut, lelaki Batak, teman sekuliahnya, adikku akhirnya sakit-sakitan. Tubuhnya mengurus dan akhirnya lumpuh. Ketika aku pulang beberapa tahun lalu, kubawakan kursi roda untuknya. Nilam menerima dengan amat senang.
Tetapi, ke mana Nilam kini? Mungkinkah sakitnya kian menjadi-jadi? Sehingga ia tak bisa menungguku di ambang tangga, seperti yang ia lakukan selama ini? Sungguh, tiba-tiba saja aku merindukan senyum Nilam. Senyum yang indah, senyum yang senantiasa laksana menerbangkan kupu-kupu berwarna-warni. Senyum yang tak dimiliki, bahkan oleh seluruh perempuan di kampung kami. Untuk kecantikan, memang Nilam lebih unggul. Ia juga ramah, pintar bergaul, dan selalu menyenangkan untuk menjadi teman berdialog. Nilam seperti pinang dibelah dua dengan Ibu. Wajar kalau banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Berbeda denganku, wajahku tak terlalu istimewa…
Kulihat Ibu seperti memahami apa yang sedang kupikirkan. Ia kembali melemparkan senyum, entah aku sulit menebak maknanya. Segera kuseret tangan Mas Amran menaiki anak tangga, diikuti kedua anakku yang kini sudah berusia 11 dan 9 tahun. Aku peluk Ibu dan menciumi kedua pipinya. Diikuti kedua anakku. Amran mengambil tangan Ibu dan mencium punggung tangan itu yang kini mulai tampak berkerut karena usia.
Lalu aku membawa Ibu masuk. Aku tak segera mengganti pakaian, meskipun sesungguhnya aku sudah amat sangat lelah karena perjalanan jauh barusan. Aku seperti tak ingin kehilangan suasana kerinduan ini. Ibu tetaplah Ibu, yang wajib kuhormati sepanjang hayat. Di hatiku Ibu adalah segala-galanya: pahlawan bagi anak-anakknya, suluh bagi pengembara di malam gulita, tongkat bagi petualang di rimba raya.
***

Ibu tak juga menceritakan keberadaan Nilam. Sepertinya ia sengaja membelokkan percakapan, setiap kali aku hendak masuk ke persoalan adikku. Ibu tiba-tiba sangat agresif bercerita mengenai apa saja. Pembicarannya pun panjang, membuatku kesulitan untuk menjedanya. Jadinya aku hanya pendengar setia. Dan, Ibu pendongeng yang baik.
Ruang tengah rumahku sudah berubah. Kala aku pulang dua tahun lalu, masih terasa longgar dan lapang ruang tengah rumahku ini. Tak ada sekat antara ruang tengah dengan ruang keluarga, meski sekat itu hanya dari gordin. Tapi, kenapa pula Ibu kini suka dengan kain berwarna cerah? Kemudian aku mendongakkan kepala: langit-langit rumahku juga dilapisi plafon membuat rumahku tak tampak lagi tinggi.
“Kamu heran melihat perubahan di rumahmu ini? Ini semua karena dibiayai Nak Ismail…” Ibu menjelaskan. Mungkin ia tahu apa yang ada di benakku.
Mas Amran pasti mengetahui perubahaan wajahku. Tetapi, ia melengos dan berdiri lalu menuju jendela, ketika pandanganku tertuju padanya. Ia seperti menjaga perasaanku. Aku sudah bercerita tentang adin Ismail padanya, dan ia tak menyoalkan lagi masa laluku. Apalagi aku belum menjadi istri Ismail.
“Kalau pernikahanmu dengan Ismail tak gagal, mana mungkin aku bisa menyuntingmu. Itulah yang namanya jodoh. Iya kan?” kata Mas Amran, suatu kesempatan.
“Ismail…?”
Ibu mengangguk. Lalu, ia menceritakan bahwa Ismail setahun ini makin sering bertandang. Kalau dulu sekadar menanyakan kesehatan Ibu, belakangan ini kerap menengok dan mengobrol dengan Nilam. Masih kata Ibu, Ismail juga kerap membawa Nilam untuk berobat di kota.
“Alhamdulillah. Penyakit Nilam agak membaik. Ia tak harus menggunakan kursi roda. Ia sudah bisa berjalan sepuluh sampai dua puluh langkah. Kalau mengelilingi kampung ini, barulah ia gunakan tongkat penyangga,” Ibu menambahkan.
Aku terpana. Sudah sejauh itukah perubahan pada diri Nilam? Sudah sebesar itu bantuan Ismail pada keluargaku? Oh, aku sudah tersorok ke dalam rutinitas rumah tangga dan kesibukan kota besar, sehingga tak tahu ada perubahan besar dalam keluargaku di kampung? Lantas, kenapa pula adin Ismail mau melakukan semua itu, padahal ia pernah disakiti oleh keluargaku?
Hidup ini misteri. Itulah pesan yang selalu dilontarkan Ibu. Apa yang kita pikirkan begini, tenryata bisa saja begitu.
“Seperti yang terjadi pada kita. Ibu mengira Ismail adalah lelaki yang jahat, kenyataannya bertolak besar. Ibu menyangka ayahmu adalah lelaki baik dan pilihan terbaik dari lelaki yang lain, malah sebaliknya adalah tak mempunyai perasaan. Itulah kealpaan Ibu, yang kini harus Ibu kubur dalam-dalam. Ibu sadar, kejahatan dan kebaikan adalah watak individu. Sebab, Tuhan menciptakan manusia sebaik-baik ciptaan-Nya.”
Aku bersyukur Ibu sadar dengan kekhilafannya. Tak ada kata terlambat, pikirku, kalau kita mau segera mengubahnya. Maka aku peluk Ibu. Aku ciumi Ibu. Ibu meneteskan air matanya.
“Percayalah Ibu, Nisa tak kecewa dengan apa yang Ibu lakukan pada Nisa waktu itu. Nisa sudah amat bahagia menjadi istri Mas Amran…” kataku.
Kulihat Mas Amran tersenyum, duduk di sebelahku. Sungguh aku tak menduga kalau ia sudah berada di sisiku. Aku malu…
“Nis…” ucap Ibu kemudian. Pelan. Suara bergetar.
Aku menatap Ibu. Ingin segera mengetahui kelanjutan ucapannya.
“Maukah kau menerima Ismail menjadi bagian keluarga kita?”
Aku makin ingin segera mendapatkan jawaban itu dari Ibu. Kupandangi Mas Amran. Tak ada bayangan cemburu dalam wajahnya. Amran malah tersenyum. Aku tetap diam.
“Nak Ismail akan menjadikan Nilam istrinya. Mungkin sehabis Idul Adha mereka menikah…” jelas Ibu beberapa saat kemudian.
Ismail? Menikah? Nilam? Menikah? Tak ada kata yang meluncur dari bibirku selain itu. Yang jelas aku bahagia, Nilam mendapatkan jodohnya. Aku pun bahagia, Ismail akhirnya memilih rumah tangga adalah salah satu bagian tujuan hidup manusia, yang dulu ia tentang habis-habisan karena kekecewaannya padaku.
Setelah itu, Nilam dan Ismail menyembul dari balik gordin. Segera aku bangkit dan memeluk Nilam. Kami bertangisan. Pelukan itu makin rapat. Kulihat Mas Amran mendekati Ismail. Keduanya pun berpelukan. Ibu menatap kami dengan wajah masygul. Aku yakin, Ibulah paling berbahagia.

Lampung, beberapa jam menjelang tutup 2002

Catatan:
1) lelaki (bujang), bahasa Lampung
2) berarti kakak atau Mas
3) kawin lari, yakni seorang pria (ini terjadi pada adat Lampung Pepadun) membawa lari gadis dengan meninggalkan surat. Sebambangan adalah kawin lari, suatu adat yang dibenarkan oleh tradisi apabila keluarga perempuan menolak atau akan memberatkan lamaran. Kemudian keluarga pria, setelah perempuan itu dibawa ke rumah keluarga, datang membawa kabar. Rapat pernikahan pun digelar untuk menentukan tanggal dan mahar pernikahan. Adat sebambangan, sampai kini masih ada.
4) lelaki (bujang) tua. Ingat dengan lagu “Menganai Toho” karya dan dipopularkan penyanyi Andi Ahmad Sampurnajaya, kini Bupati Lampung Tengah.
***


























Biarkan Aku Merawatmu


ISTRIKU kelihatan sangat letih. Wajahnya kuyu. Matanya menampakkan cekung disebabkan kurang tidur. Sejak aku sakit dan dirawat di sini, dia harus bolak-balik rumah sakit ini dan rumah.
Sudah sepekan lebih aku di rawat di sini, di ruang sederhana ini, karena sakit yang kuidap. Lebih dari satu juta uang tabunganku ludes untuk obat dan keperluan lain selama aku dirawat. Kalau tabunganku habis, mungkin perhiasan istriku yang selama ini ia simpan akan pula kugadai.
Meski tampak letih, istriku tetap tak kurang sigapnya. Kecantikannya, bahkan tak luntur. Ia menebarkan senyum setiap ia tiba dan izin pulang untuk membereskan rumah. Kesetiaannya padaku belum juga berubah, pikirku. Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi bagaimana? Siapa yang akan menemani dan mengursku di rumah sakit ini, kalau tidak istriku?
“Kau kelihatan capek, Lis?” tanyaku pelan. Kulihat istriku tersenyum menatapku, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Membereskan meja untuk tempat makanan yang merangkap menyimpan pakaianku selama di rumah sakit ini.
“Maklum, sejak aku di sini kau kurang tidur. Matamu…” kataku lagi. Istriku meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya. Aku terdiam.
“Mas, harus banyak istirahat. Lagi pula ini sudah kewajibanku. Masak Mas sakit, aku mau enak-enak saja…”
Ah.
Istriku membuatkan segelas susu untukku. Ia sorongkan gelas yang diberi alat penyedot ke bibirku. Aku menghriupnya. Kupegang punggung tangannya. Istriku tersenyum. Memandangku lama sekali.
“Tadi Reza minta uang lagi untuk beli buku pelajaran…” ujarnya kemudian setelah aku menuntaskan susu segelas.
“Kau beri, Lis?”
Istriku menggeleng. Katanya, buku yang akan dibeli anak tertuaku yang kini kuliah di universitas itu harganya tujuhpuluhlima ribu.
“Aku katakan kita sedang perlu uang, jadi membeli bukunya ditunda dulu,” kemudian istriku menjelaskan.
“Kenapa tak kau beri? Kau tahu, Lisa, buku itu penting bagi seorang mahasiswa. Bagaimana kita mengharapkan Reza menjadi mahasiswa pintar, kalau keperluan bukunya tidak kita penuhi,” kataku protes.
Istriku diam sekejap. “Bukan aku tak mau membelikan dia buku. Tapi, kita sekarang kan masih butuh uang banyak untuk berobatmu, Mas. Aku hanya bilang tunda dulu. Nanti kalau kau sudah sembuh dan kita punya uang…”
“Tak bisa begitu, Lis. Sebaiknya kalau kau pulang nanti, berilah uang untuk Reza beli buku, ya? Itu penting bagi dia…”
“Lalu, untuk…”
“Toh, cuma tujuhpuluhlima ribu. Kau berikan pun tak akan mengganggu keuangan untuk berobatku. Lagipula kita masih ada simpanan…” ujarku. Istriku tahu ke mana arah pembicaraanku ketika ekor mataku menatap pergelangan tangannya.
Ya! Kalau pun penyakitku ini belum juga sembuh dan aku diharuskan tetap dirawat inap di sini, tak ada lain aku mesti minta Lisa untuk menjual atau menggadai gelang emas yang dia simpan. Inilah salah satu cara untuk menyelamatkan diriku.
“Tapi, Mas, sebaiknya kita meminjam uang di bank saja dan potong dari gajimu. Kau kan sudah lama tak minjam?” saran istriku. “Sayang kalau gelang itu harus dijual atau digadai. Harga emas sekarang lagi anjlok…”
Aku diam. Istriku menawarkan aku untuk makan. Aku menggeleng. Baru saja aku minum susu. Kataku, “Kalau aku lapar, nanti aku minta.”
“Kalau kita masih menutupnya, kenapa harus meminjam di bank? Aku malas berurusan dnegan bank, bunganya itu seperti mengejar-ngejar kita,” lanjutnya kemudian. “Tapi, Lis, aku berharap kantorku akan membantu. Itu pula yang sering dilakukan kepada karyawan yang sakit…”
“Jangan berharap dulu, Mas. Kalau tidak bagaimana?”
“Ya… kau mau kan menjual gelangmu? Kalau aku sudah punya uang lagi, akan kuganti lagi,”
Tersenyum. “Enggak diganti pun, tak apa-apa kok. Punyaku ya milik Mas juga.” Lalu terkekeh. Mencubit hidungku. Aku mengiris kesakitan.
Istriku memang perempuan paling setia di dunia ini. Ialah istri yang layak mendapat anugerah istri teladan di jagat ini. Ya. Sekiranya ada lomba mencari istri teladan, tentulah akan kuikutsertakan Lisa. Dan, aku yakin, dia pasti menang.
Kubayangkan Lisa menaiki panggung. Menuju podium. Memberikan salam, sebelum menyampaikan orasinya atas anugerah sebagai “Istri Teladan dan Panutan”. Lisa melemparkan senyum ke segala sudut. Memberikan keleluasan para fotografer dari sejumlah media massa. Juga memasang wajah anggunnya tatkala kamerawan televisi membidiknya.
Setelah orasi dibacakan ia turun dari mimbar. Ia membawa piala, piagam, dan sejumlah hadiah dari berbagai sponsor. Dari bawah panggung, aku tak henti-henti memberi aplaus dan keplokan, dan senyum yang terus menerus. Sayang pada fotografer dan kameraman itu tak tahu kalau aku adalah suami perempuan yang mendapat anugerah itu. Sialnya Lisa tak mememperkenalkan aku di hadapan hadirin yang memadati aula di hotel bebrintang ini.
Aku kecewa. Mengumpat. Lisa keterlaluan. Ia begitu cepat melupakan aku hanya karena ia memperoleh anugerah tersebut. Sungguh, ketenaran, kekayaan, dan kedudukan sering membuat orang lupa. Contohnya istriku. Lisa…
***

“MAS tidur…” istriku menyentuh pipiku. Mataku terbuka. Kulihat istriku masih setia di sisiku. Senyumnya, ah, menggambarkan kesetiaan seorang istri. “Nasinya dimakan dulu, baru istirahat.”
Aku membuka mulutku. Sesendok nasi disorongkan. Pelan sekali aku mengunyah nasi bikinan rumah sakit yang tak berasa itu. Bebeberapa suap telah masuk ke mulutku. Lisa masih bersemangat menyorongkan sendok ke kerongkonganku.
“Kenyang…”
Seperti kepada anak kecil, ia membujukku. “Sekali lagi. Sekali ini aja ya, Mas. Biar cepat sehat.” Aku pun tak berkutik. Kubuka lagi mulutku.

Lisa begitu telaten memperhatikan diriku. Sejak pertama aku diangkut ke rumah sakit ini sepekan lalu, istrikulah yang menungguku. Ia tak hendak bergilir dengan putra tertuaku yang kini sudah kuliah. Alasannya, kalau Reza mengurusku di rumah sakit khawatir pelajarannya terganggu.
“Biarlah aku saja di sini. Biarkan aku yang merawatmu, Mas…” katanya tulus.
“Tetapi, kau akan kecapekan, harus bolak-balik. Aku kasihan sama kamu, Lis.”
“Ya, enggak apa-apa, Mas. Ini kan kewajiban sebagai istri, sbeagai Ibu,” jawab Lisa. “Sudahlah, Mas enggak usah khawatirkan aku. Mas istirahat saja, biar cepat sembuh, ya…?”
“Aku selalu menyusahkanmu saja, ya Lis?” Entah kenapa ucapan itu meluncur saja dari mulutku. Aku baru sadar ketika istriku menutup mulutku dengan kedua telapak tangannya.
“Kenapa, Lis?” kataku tak mengerti. “Apa aku salah?”
“Jangan ngomong begitu, Mas, enggak baik…” ujarnya pelan.
Aku terdiam. Menatap wajahnya. Dalam.
“Memangnya aku orang lain? Ingat Mas, aku ini istrimu. Pendamping di kala senang dan susah…” lanjutnya kemudian.
“Aku tahu itu, Lis. Dari sejak kita berumah tangga aku memang sudah menyusahkanmu. Kau ingat ketika aku kecelekaan dan harus dirawat sebulan di rumah sakit? Kau menungguku siang dan malam.”
“Waktu itu kita belum punya anak…”
“Ya, sekarang, ketika kita sudah punya anak dua, masih juga kau yang menungguku. Padahal, aku belum banyak berkorban demimu sebagai suami,” tuturku sedih.
“Siapa bilang?” sergahnya. “Mas sudah banyak berkorban untukku, untuk rumah tangga kita, untuk anak-anak…”
Ah! Benarkah aku sudah banyak berkorban demi keluarga, demi rumah tanggaku, demi anak dan Lisa? Benarkah aku suami yang baik, yang bertanggung jawab pada rumah tangga? Apakah Lisa mengucapkan itu basa-basi, hanya untuk menyenangkan perasaanku? Mungkinkah Lisa tahu kalau aku ini bajingan di luar rumah, dan menjadi suami atau ayah yang baik di hadapan mereka?
“Tidak, Lis. Kau salah memandangku. Kau terlalu berlebihan melihat diriku. Aku belumlah menjadi suami yang baik bagimu. Ayah yang baik bagi kedua anak kita. Aku selalu saja menyusahkan kalian,” aku membantah.
“Mas, aku mohon, jangan ucapkan itu lagi. Aku benar-benar ingin merawatmu. Aku tulus, aku ikhlas…”
Aku diam. Mataku terpejam. Tubuhku lemas sekali. Infus yang tertancap di tubuhku begitu terasa sakit. Terbayang Femmy, stafku di kantor yang acap mengajakku makan siang di sebuah kafe di puncak. Dini yang tak henti menggodaku minta diantar makan malam, jika aku tahu lembur di kantor.
“Mungkinkah Lisa tahu semua itu?” aku membatin. Kini mungkin ia ingin mengumpulkan kembali serpihan cinta yang berserak itu. “Jangan-jangan…”
Aku tak boleh mengatakan itu, betapa pun barangkali Lisa benar-benar tidak tahu perbuatanku di luar rumah. Biarlah waktu yang membuka tabir itu kalau memang harus terbuka.
“Cinta harus dijaga, Mas. Salah satunya barangkali dengan cara begini. Mas mau kan menjaga cinta kita?” Lisa membuyarkan lamunanku.
Aku tak mampu berkata.
“Kalau mau, biarkan aku merawatmu. Menjagamu, menjaga cinta kita dalam keadaan susah atau suka,” ia melanjutkan.
Entah kenapa aku bersetuju pada Lisa. Aku pun mengangguk. Tersenyum. Menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. “Kau perempuan terbaik yang pernah kukneal selama hidupku!” kataku di telinganya.
“Tidak, tapi ibumu…”
“Ya. Setelah itu, kau.”
***

FEMMY datang pada hari ke-20 aku dirawat di rumah sakit ini. Kulihat ia membawa bungkusan, bisa kupastikan berisi buah-buahan. Aku melihat dia dengan jelas dari dalam ruangan ini. Namun, ia tak bisa menembus ke mari.
Begitu pintu ruang ia ketuk, aku pura-pura tertidur. Berulang diketuk pintu, makin kutenggelamkan wajahku ke dalam selimut. Mungkin setelah ketukan keempat yang tak kujawab, Femmy membuka pintu itu. Kudengar langkah sepatunya mendekati tempat tidurku. Aku pura-pura lelap.
“Pak…”
Aku tak menyahut.
“Pak… ini Femmy,” katanya mengulang.
Aku diam.
“Pak…” tangannya meraba selimutku. Aku membesarkan dengkurku. “Ee….”
“Maaf,” kudengar suara perempuan di ambang pintu. Aku yakin itu bukan suara Lisa. “Mbak siapanya…”
“Maaf, Suster. Saya masuk ke sini, karena saya tadi lihat tak ada orang. Bapak ini sendirian. Eee… saya adalah staf di kantor Bapak Indra ini…”
“Oya?” kudengar suara suster Riani. “Maaf, Mbak, saat ini Pak Indra harus istirahat. Biarkan dia tidur. Biasanya Pak Indra terbangun kalau Ibu datang.”
“Oya?” Femmy kini yang membalas.
“Ya, Mbak. Maaf saya ingin membersihkan ruangan ini, Mbak boleh tunggu di luar dulu,” kata suter Riani. Aku bersyukur pada suster Riani, sebab Femmy permisi setelah meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja.
Kemudian kudengar ia menitipkan sesuatu pada suster Riani. Sebuah surat yang setelah kubaca kusobek hingga kecil, kemudian kusimpan di bawah kasur. Dengan begitu aku tidak ingin melukai perasaan Lisa. Sekeranjang buah di atas meja pun kukatakan kiriman dari atasanku.
“Tadi Daman, supir Pak Samsul membawakan itu untukku.”
“Tumben, mimpi apa dia?” ucap Lisa lembut. Memang sampai keluarga karyawan pun tahu, atasanku terkenal pelit!
Lampung, 27-29 April 2003

***

















Mushala di Samping Rumah


HATI suamiku masih sekeras batu. Ia tetap bersikeras mudik ke rumah orang tuanya setelah lebih enambelas tahun tak pulang, tersebab surat Ibu dan hanya ingin menemui perempuan yang melahirkannya. Bukan Ayah. Ayah, menurut dia, sudah lama dibunuh di dalam hatinya.
Sudah tak terhitung aku membujuknya, Arman tetap saja pada sikapnya: tak ada ayah lagi dalam dirinya.
“Aku akan pulang segera kalau kamu merekayasa pertemuanku dengan Ayah. Ingat itu, Maya?!” ia mengancamku sebelum kami berangkat.
Entah kesalahan apa yang dibuat ayah mertuaku, sehingga suamiku begitu besar lukanya. Sampai di perjalanan pulang ini pun, berkali-kali aku membujuknya agar memaafkan Ayah. Tetapi, ia tetap bergeming.
“Ingat, Maya, aku pulang karena surat Ibu. Ibu sakit keras. Bukan karena ingin menemui ayah, apalagi meminta maaf padanya. Aku tak pernah bersalah, Ayahlah yang membuat aku bertahun-tahun terlunta!” ujarnya dengan nada tinggi.
Aku mengalah. Khawatir kalau ia makin berang, mengendalikan mobil bisa saja tak stabil. Dan, itu akan makin berbahaya bagi keselamatan kami. Aku tersenyum seraya melirik kedua anakku: Rio yang kini sudah kelas 3 SLTP dan Nisa yang masih kelas 6 SD terkantuk-kantuk di bangku belakang.
Di kapal fery aku tak lagi mengungkit-ungkit soal ayah. Aku lebih suka mendnegar ceritanya semasa kecil. Tentang Ibu yang amat menyayanginya. Soal kedua adiknya yang terbengkalai kuliahnya karena ayah tak pernah memperhatikan. Ibu yang setiap hari tubuhnya menyusut sebab tak diperhatikan ayah.
Sesungguhnya keluarga Arman berkecukupan. Seorang pengusaha sukses di kita BL, pemimpin sebuah partai politik, dan pernah duduk sebagai anggota Dewan satu periode. Karena kesibukan-kesibukan di liar rumah itulah, ayah terbiasa hidup tak beraturan. Pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Kalau tidak, ia tertidur di ruang pub atau diskotek ditemani beberapa teman dan perempuan.
Tak ada yang berani protes. Ibu hanya pasrah. Menghabisi hari-harinya dengan beribadah dan ke tempat-tempat majelis taklim. Ibu tak bosan berdoa agar ayah bisa berubah, tapi tetap tak ada perubahan.
Kata Ibu, “Bukan karena Allah benci hingga tak mau mengabulkan doa Ibu, semata karena Allah hendak menguji ketabahan kita.”
Arman kesal dengan sikap Ibu seperti itu. Kenapa tidak dihajar saja wajah Ayah? Apa karena Ibu perempuan seingga harus mengalah pada lelaki? Jelas salah kalau Ibu punya pikiran seperti itu!
Itu sebabnya, menurut Arman, suatu ketika ia mempermalukan Ayah di tempat keramaian. Ia tarik Ayah dari ruang diskotek saat sedang berpelukan dengan perempuan jalang ke luar ruangan. Ayah meronta, memaki-makinya. Masabodo. Ayah ditarik ke luar ruangan, perempuan lacur itu ia tendang hingga terjerembab.
“Mas keterlaluan… bukan begitu caranya protes,” desisku, suatu kesempatan. Tetap tersenyum.
“Tak ada cara lain untuk menunjukkan protesku. Benci pada perlakuan Ayah terhadap keluarga,” katanya. “Kukira itu masih sopan, sebab semula aku ingin memenggal kepala Ayah dan mencincang tubuh perempuan yang menemani ayah. Juga teman-teman ayah, semula akan kubakar hidup-hidup. Tetapi, urung, kupikir itu terlalu sadis. Pada masa itu, kesadisan macam apa pun bisa kulakukan…”
Setiba di rumah, Ayah yang ganti berang. Arman habis dicaci dan dimaki. Ibu kena dampak dari ulah dia di dalam ruang diskotek itu.
“Ayah menghajar Ibu, karena ia tak sanggup menamparku,” katanya. Ayah lalu mengusirnya, kalau tidak ia akan makin menganiaya Ibu.
“Akhirnya aku pergi dari rumah malam itu juga. Tidak membawa apa-apa, bahkan uang serupiah pun,” sambung suamiku.
Arman menginap semalam di rumah famili dari ibunya. Ia ceritakan semua yang telah terjadi. Tante Mila terharu. Om Iful memberinya uang secukupnya untuk merantau ke J. Di kota ini, Arman menjadi petugas parkir. Sampai suatu ketika bertemu denganku dan bekerja di perusahaan Papa. Arman menikahiku dua tahun kemudian.
Sebenarnya Arman anak yang baik. Berbeda dengan perilaku ayahnya, kalau benar apa yang dikatakannya tentang orang tuanya. Ia pandai mengaji, tak lupa shalat lima waktu. Itulah yang membuatku kagum dan menyukainya. Papa juga tertarik dengan sifatnya, yang membuat ia dimanja di kantor.
Arman juga yang mengusulkan agar di kantor papa dibangun mushala. Dia beralasan dari pada karyawan mencari mesjid di kampung setiap mau shalat dhuhur dan ashar dan itu akan membuang waktu kerja. Lebih baik buat mushala di lingkungan kantor, sehingga kinerja kerja tidak terbuang percuma. Apalagi di lingkungan kantor ada kantin.
“Ide yang bagus!” Papa memuji. Lalu dibangunlah mushala di lingkungan kantor. Arman ditunjuk jadi pengurus mushala dan sesekali jadi imam shalat berjamaah.
***

“BAGAIMANA kalau ayah yang menemuimu dan meminta maaf?” tanyaku begitu kami keluar dari lambung kafal fery.
Sebentar lagi kami akan tiba di rumah Arman, di kota BL. Paling-paling hanya memerlukan waktu dua setengah jam perjalanan. Ini dermaga BH di ujung pulau S, satu-satunya pelabuhan laut yang menghubungi pulau S dan J. Itu sebabnya atus penumpang dari S ke J atau sebalilknya cukup ramai, bahkan kerap membeludak untuk hari-hari tertentu.
“Dulu dermaganya tidak di sini, tapi di Panjang lalu pindah ke Srengsem. Namun pada perkembangan berikut, orang-orang membutuhkan waktu amat cepat agar segera sampai di tujuan dibuatlah dermaga baru di BH ini. Bahkan kalau kita tak bawa kenderaan bisa naik kapal cepat, hanya 45 menit di lautan,” Arman menjelaskan.
Aku baru sekali ini ke pulau S. Selama empatbelas tahun perkawinanku dengan Arman, tak pernah ia mengajakku pulang ke rumahnya. Padahal aku ingin sekali melihat ayah, sungkem padanya. Bagaimana pun, ia adalah mertuaku. Cuma Ibu yang sesekali mengunjungi kami di J. Sudah empat tahun Ibu tak ke J menemui kami, katanya sudah tak mampu lagi jalan jauh. Dan, pekan lalu Ibu menyurati Arman agar pulang.
“Ibu kini dalam keadaan sakit. Baru saja diopname sepekan. Ibu kangen sama cucu. Kau bisa kan membawa Rio dan Nisa. Ibu bener-benar rindu… Kau juga bisa saksikan ada perubahan dalam rumah kita. Kau pasti terpana, kaget, dan terkagum-kagum dengan apa yang kau saksikan nanti…”
Itulah surat Ibu. Singkat. Tak lebih dari tujuh baris halaman kertas buku sekolah. Sepucuk surat yang membuat kami sekeluarga terheran-heran. Bertanya-tanya. Ada perubahan apa di rumah Ibu? Aku membatin. Arman menggeleng-geleng. Ibu pasti akan membuat kejuatan. Arman mendesis. Aku mengangguk.
Kemudian aku mengajaknya untuk memenuhi permintaan Ibu. Aku izin pada papa untuk Arman tidak masuk bekerja beberapa hari. Papa menggoda.
“Lo yang karyawanku kan Arman. Jadi bukan istrinya yang minta izin…”
“Maya tahu papa. Maya bukan minta izin, tapi baru memberi tahu kok. Biar Mas Arman yang izin di kantor besok. Okay Pa, okay?” jawabku manja. Papa tersenyum. Mengangguk.
Menjelang magrib kami tiba di depan rumah Arman. Kupandangi rumah mewah milik keluarga Arman. Aku terpesona.
“Inilah rumah Ayahku. Memang kelihatannya mewah, tapi sesungguhnya rapuh!” Arman mendesis. “Rumah sebesar apa pun kalau di dalamnya tiada disirami cahaya Islam akan rapuh, gelap, pengap. Rumah gubuk pun kalau penghuninya selalu taat beribadah akan terasa aura kesejukan…”
Aku mengangguk. “Ayah tak pernah shalat,” kembali Arman berujar. “Rumah penuh oleh botol alkohol. Iblis menari setiap waktu, pertengkaran antara ayah dan Ibu tak pernah absen setiap hari. Rumah ini seperti neraka!”
“Mudah-mudahan sekarang tidak lagi,” kataku pelan.
“Ya. Aku harap sudah ada perubahan di rumah,” jawab Arman. Tetapi, kulihat wajah suamiku berubah cepat. Bayangan keraguan tampak di mukanya. “Apa mungkin? Bukan sebaliknya?”
“Jangan berprasangka dulu. Surat Ibu itu bisa kita percayai,” kataku memberi pengertian Arman. Kulihat ia mengangguk, membenarkan ucapanku.
Arman memang “tunduk” padaku. Seperti katanya ketika ia baru saja menikahiku, ia mengagumi sifatku dan perilaku keluargaku. Meski keluargaku berkecukupan—Papa punya tiga perusahaan besar: perminyakan, garmen, dan jasa bongkar muat barang di pelabuhan kapal—tapi tetap taat beribadah.
“Itulah yang kukagumi pada keluargamu, berbeda dengan keluargaku.”
Mobil kami masuk pekarangan rumah Arman. Ibu sudah menanti di beranda, ditemani Lis adik perempuan Arman yang telah bersuami dan tinggal di rumah menemani Ibu. Tak kulihat pria sebaya, ayah Arman di sana. Ke mana ia? Arman seperti tahu jalan pikiranku.
Ia berujar: “Paling-paling belum pulang. Paling di tempat hiburan…”
“Huss, Mas, jangan bicara begitu. Setiap kata yang diucapkan adalah doa,” aku mengingatkan. Arman seperti hendak membantah, tapi kemudian diam.
Kami keluar dari mobil. Segera Arman menuju Ibu dan mencium tangan dan pipi Ibu. Ia menangis. Ibu mengurai air mata. Setelah itu mencium Lis. Aku ikut mendekat dan memeluk Ibu lama sekali. Kemudian menyalami Lis. Aku keceplosan: “Mana Ayah? Maya sudah kangen…”
Maklum aku belum jumpa Ayah, belum tahu wajahnya, padahal sudah empatbelas tahun aku menjadi menantunya.
“Ayah?” Ibu tersenyum-senyum. Aku terheran. Antara menduga-duga apakah ucapan Ibu itu bernada sinis atau sebaliknya? “Oh, iya, Ibu maklum, kamu belum tahu kan dengan ayah Arman?”
“Dia bukan Ayahku!” segera Arman memotong. Suasana nyaris tegang.
Aku segera mencairkan suasana dengan menyuruh kedua anakku sungkem pada neneknya. “Katanya Ibu kangen sama cucu. Ayo Rio, Nisa, cium tangan nenek…”
“Oh, iya, Ibu sampai lupa. Ayo sini, duduk di pangkuan nenek…” Segera kedua anakku menuju Ibu, mencium tangannya, menggelendot di pangkuannya.
“Mana Ayah, Ibu? Mana Lis?” tanyaku lagi, setelah kurasakan suasana mulai santai.
“Ayahmu ada di sebelah. Mungkin….”
“Sebelah? Bukan tidak di tempat hiburan? Ngapain di sebelah, ini kan saat maghrib. Mestinya shalat di rumah. Dasar…” suara Arman kembali menggelegar. Terasa sekali ia membenci ayahnya.
“Justru ayahmu sedang shalat di sebelah,” kata Ibu. “Ibu kan pernah bilang di surat, kalau ada perubahan dalam rumah kita. Itulah yang terjadi, ayahmu sekarang sudah tobat, sudah shalat. Kau pasti terpana, kaget, dan terkagum-kagum. Begitulah kenyataannya. Begitulah kalau Allah mau berbuat, apa pun bisa secepatnya berubah…”
“Subhanallah…” aku membatin.
Kulihat suamiku menitikkan air mata untuk kedua kalinya. Ia bersegera menuju Ayah, di mushallah samping rumah. Rio mengikuti papanya dari belakang.
Kata Ibu, setahun ini ayah benar-benar berubah. Tak pernah lagi menemui teman-temannya di tempat hiburan. Ia membongkar tabungannya di bank dan mendirikan mushala di tanah kosong yang ada di samping rumah. Warga sangat menyambut didirikan mushala itu, dan mereka selalu shalat jamaah di ana.
Ayah sengaja memegang kunci mushala, supaya ia punya tanggung jawab untuk membukanya setiap waktu shalat. Apalagi ayah sekarang jarang ke kantor. Perusahaannya ia percayakan kepada karyawan yang ia percayai.
“Hanya sesekali Ayah ke kantor, terutama jika ada rapat pimpinan. Jadi ayah banyak menghabiskan waktunya di mushala sekarang,” cerita Ibu.
Mendengar cerita itu, berkali-kali aku memuji Allah. Arman pasti juga begitu. Ia tentu akan menerima kembali ayah sebagai orang tuanya. Aku yakin ia bangga, setelah enambelas tahun kekagumannya pada Ayah lenyap.
“Ibu sudah menyiapkan masakan kesukaan Arman, kan?” Ayah berteriak, begitu tiba di rumah.
Ibu tertawa. “Sayur jengkol?”
Kulihat tangan Ayah mengalung di pundak Arman.
Lampung, 19 Juli 2003

***























Aku Mamamu, Lara…

Balam, Post
HH, anggota Dewan dari Fraksi ACDB tertangkap basah
mengonsumsi ineks di ruang karaoke YY, kemarin malam.
Polisi menyita 20 butir pil jenis pink lady dari saku
celana. HH digerebek saat berkaraoke di tempat hiburan
itu bersama dua rekannya dan teman kencannya.

BERITA di sebuah koran harian lokal itu benar-benar mengejutkan Santi. Perempuan berusia 27 tahun itu hampir saja pingsan kalau tak cepat sadar bahwa ia sedang di pasar. Ia lipat koran itu sampai empat bagian, kemudian ia masukkan ke dalam tas. Segera ia menuju taksi yang telah menunggu di bawah tangga swalayan.
“Ke Ratulangi…”
“Enggak pakek argo ya Nyonya… duapuluh ribu…” kata supir taksi.
“Ya sudah, cepat. Antarkan saya ke Ratulangi…” jawab Santi. Ia tak ingin lama-lama berdebat dengan supir taksi itu. Sudah lama taksi di sini mematikan mesin penghitung jarak. Main tembak: duapuluh ribu rupiah. Masyarakat sempat protes, bikin surat pembaca di koran, tapi para supir taksi tetap tak menghidupkan argonya.
Ia yakin inisial HH itu adalah nama anggota Dewan yang amat akrab dalam hidupnya. Seorang pria yang dikenalnya di sebuah ruangan karaoke lalu menjalin kasih hingga membuahkan anak perempuan yang diberi nama Larasati Hikmat Hadi. Kini berusia tiga tahun.
Pria itu seorang politisi dari partai ABC, seorang ayah dari tiga anak dari perkawinan dengan istri pertama. Sejak menjadi anggota Dewan kerap berkunjung ke tempat-tempat hiburan malam. Suatu malam yang menawan, ia berkenalan dengan lelaki itu. Sejak itu lelaki itu sering menjemputnya untuk berkaraoke.
“Entah kenapa akhirnya saya jatuh cinta padanya,” katanya suatu hari. “Padahal ia tidak tampan… Saya juga tahu kalau Hikmat sering gonta-ganti perempuan untuk menemaninya ke tempat hiburan. Bahkan saya tak bisa mengelak ketika ia mengharapkan anak dari rahim saya…”
Pengakuan itu meluncur deras dari mulutnya saat Hikmat tertangkap karena kedapatan menyimpan ineks di bawah jok mobilnya. Ia katakan itu karena kesal. Hikmat ingkar janji padanya. Suaminya, ah tepatnya suami selingkuhnya, pernah berjanji setelah mendapatkan anak darinya tak akan bersenang-senang lagi di tempat hiburan dan mengonsumsi narkoba.
Kenyataannya, ia berbohong. Desis Santi. Baru dua bulan usia Larasati, Hikmat terkena razia aparat keamanan di kamar hotel bersama wanita. Sialnya, petugas menemukan barang bukti dua butir ekstasi di bawah bantal tidurnya. Ia pun digiring ke Kantor Polisi, tapi kemudian dilepas malam itu juga setelah menyerahkan jaminan uang dua juta.
Enam bulan kemudian, lagi-lagi Hikmat tertangkap. Inilah saat kekesalannya memuncak. Saat itu ia meminta cerai—tepatnya berpisah karena ia dinikahi di bawah tangan setelah kehamilannya berumur tiga bulan—dengan catatan Hikmat tetap memberikan uang untuk Larasati.
“Banyak ketidakcocokan di antara kita. Ternyata kau tetap bergelantung dengan perempuan-perempuan lain. Sekarang saya minta kau jangan menggangu saya, biarkan saya hidup sendiri. Tapi, kau harus tetap membantu uang untuk Larasati…” katanya mantap. Lalu meninggalkan ruang pemeriksaan.
Hikmat mengangguk. Kemudian menunduk. Sebatang rokok yang masih panjang di tangannya ia lepaskan di lantai. Setelah itu sepatu kanannya menginjak rokok itu sampai lumat.
Penangkapan yang baru dia baca dari koran, adalah yang kelima kali. Benar-benar bakat. Ia bergumam. Hampir menyamai prestasi Jidan, anggota DPRD Kota yang telah enam kali terkena razia saat mengonsumsi ineks.
***

KINI koran Bandar Post tergeletak di tempat tidurnya. Wajah HH, suaminya (ah, lagi-lagi tak pantas ia klaim lelaki itu sebagai suaminya, sebab laki-laki itu sudah mempunyai istri sah!), jelas dalam koran itu. Digelandang petugas keluar dari ruang karaoke. Tiba-tiba dua tetes air jatuh dari matanya.
Kenapa aku menangis? Ragu pertanyaan itu meluncur. Segera ia menghapus air matanya. Tak urung tetes air berikutnya jatuh lagi.
“Bajingan tak boleh ditangisi!” ia mengutuk dalam hati.
Larasati masuk. Segera ia melap air mata. Koran yang masih di atas ranjang, cepat-cepat ia lipat dan masukkan ke balik bantal.
“Ada apa Lara? Kalau masuk ketuk pintu dulu dong…”
“Kakak dipanggil Ibu. Maafin Lala ya…?”
Ah. Setiap kali bocah itu menyapanya dengan sebutan kakak, rasanya hatinya teriris-iris. Perasaan sebagai Ibu terusik. Seperti dicampakkan. Ingin ia pegang pipi anaknya lalu mengguncang-guncangkan tubuhnya sambil mengingatkan, “Ini ibumu. Aku ibumu, Lara…”
Tapi, apakah bocah itu akan percaya? Apa lantas akan berubah secepat itu? Ia tak yakin itu. Peranan ibunya amat kuat dalam diri Lara. Menancapkan ajaran dan ujaran tentang hidup ini. Ibunya pula yang tahu segala rahasia ikhwal Lara, bahkan sampai kini ayahnya tak tahu kalau Lara sesungguhnya anaknya. Keluarganya hanya tahu: Lara adopsi dari anak temannya.
“Kasihan, ayah, orang tuanya tak mampu. Lagian Ibu ingin menggendong anak…” kata Ibu. Ayah memakluminya.
Sejak itu Ibu merekayasa Larasati sebagai anaknya. Adik Santi. Karena itu, Larasati harus memanggilnya dengan sapaan kakak dan dia selalu menganggap Lara sebagai adik. Oh, betapa pedihnya. Ia membatin.
Padahal kerinduan seorang perempuan yang telah melahirkan, ketika anaknya memanggilnya, “Mama… mama…”
Sandiwara itu berjalan baik. Ayahnya sampai kini tak pernah tahu kalau Lara adalah cucunya. Ibu memang piawai sekali menyembunyikannya. Karena memang, di rumah ini, Ibu justru yang menjadi motor. Ayah tak bisa berbuat apa-apa, jika Ibu sudah menginginkan A, B, atau C. Anak-anak jadi dekat sekaligus takut pada Ibu, ketimbang Ayah.
Ibu pula yang menyewakan rumah baginya tatkala sedang hamil. Ketika Ayah bertanya, Ibu cuma menjawab: “Sengaja Ibu sewakan rumah di sana biar dekat dengan tempat kerjanya.”
Sampai beberapa bulan setelah melahirkan, barulah ia kembali ke rumah. Menggendong si bayi Lara sebagai adik angkatnya.
“Kakak, Ibu panggil…”
Ia terkaget. Ia menatap Lara yang masih berdiri dekat pintu. Memainkan kunci hingga menimbulkan suara.
“Kakak nangis? Kenapa? Ibu yang malah ya?” tanya Lara lagi.
Ia segera memegang matanya, menghapus air mata yang tengah mengalir. “Enggak. Mata Kakak masuk kotoran.”
Ia bangkit dari tempat tidurnya. Menuntut Lara menemui ibunya. Pasti Ibu juga sudah membaca koran hari ini. Ternyata itulah yang ditanyakan Ibu padanya. Ibu juga mengkhawatirkan dengan kejadian itu, Lara tak lagi mendapat bantuan. Itu berarti, dia harus bekerja keras mencari uang untuk membeli susu dan keperluan Lara.
Terkadang ia merasa Ibu tak adil. Lara tak pernah disuruh memanggilnya Mama. Namun untuk seluruh keperluan Lara, dibebankan padanya. Jangankan untuk membelikan susu, membelikan permen saja Ibu tak pernah. Ibu juga tak pernah memperhatikan apakah Lara sudah mandi. Semua diserahkan pada Ica, atau kepada adiknya. Kecuali malam, Lara harus tidur bersama Ibu.
Ia juga kerap merindukan tidur bersama Lara. Memeluknya jika dingin, merapikan selimut agar tetap hangat. Ia juga ingin diam-diam menciumi Lara dengan kasih sayang seorang Ibu. Atau membawa Lara ke laut atau ke tempat bermain anak-anak di hari Minggu. Hanya sampai kini tak pernah. Ibu selalu melarang. Ibu menginginkan Lara tetap tak boleh tahu kalau ia adalah anak kandung Santi. Para tetangga pun tak boleh tahu. Permainan ini tak boleh berakhir dibaca orang. Demikian sautu hari Ibu berujar. Rekayasa ini terus berjalan.
“Toh kau tetap bisa menyayangi Lara?”
***

IA tak bergairah ketika seorang lelaki separuh baya mengajaknya masuk ke bilik karaoke. Malam ini ia malas bekerja. Tak ada gairah untuk menembangkan sebuah lagu pun. Boleh jadi, inilah malam terakhir ia berada di tempat hiburan karaoke itu sebagai teman menyanyi para tamu.
Esok malam dan esok malam hingga malam-malam seterusnya, ia berpindah-pindah tempat hiburan.
Ibu selalu menyindir, “Kalau tak menghasilkan, buat apa setiap malam keluar rumah. Lihat tuh Yuni, penghasilannya gede meskipun jarang pulang.”
Ia paham apa yang ada dalam benak Ibu. Yuni yang dijadikan contoh itu memang mampu menghidupi dua anaknya dengan berkecukupan. Ia juga tahu siapa Yuni. Ia sering melihatnya keluar dari kamar hotel…

Lampung, 2003-09-24
***
Bulan Hanyut di Kampung itu


SEHABIS hujan, malam hari, halaman rumahmu basah.1 Ah, tidak. Bukan lagi basah. Semua rumah di kampung itu telah penuh oleh air. Bahkan genangan air layaknya disebut banjir itu adalah kumpulan dari air mata orang sekampung. Maka jadilah, layaknya, danau. Dan, orang-orang pun berenang di dalamnya. Dalam tangis.
Tengah malam buta. Tak kurang lima buldoser bertamu lalu mengamuk di kampung itu. Dengan belalai besinya, buldoser-buldoser itu bagai menancapkan taringnya yang tajam ke rumah-rumah penduduk. Atau menyeruduk. Orang-orang kampung itu tak sempat lagi menyelamatkan barang-barang berharga yang besar. Cukup apa yang bisa dipegang dan dibawa ke luar rumah. Itu terjadi menjelang hari raya: Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. O malang nian!
Mereka baru tahu kini. Tanah, air, udara, dan segala isinya adalah milik negara. Rakyat tak punya hak sedikit pun untuk menguasai atau mengeksploitasinya. Jika negara memerlukan, rela atau tidak rakyat harus hengkang. Terpaksa atau dipaksa.
Warga masih belum mau beranjak dari wilayah yang segera dipagar kawat itu. Mereka mendirikan tenda-tenda kecil hanya cukup untuk tidur sekeluarga, di sepanjang bantaran sungai. Menatap kosong puing-puing rumahnya. Tiada lagi erang tangis atau makian yang diteriakkan mereka seperti ketika pertama kali buldoser beserta aparat pemerintah bertandang ke kampung itu dengan wajah garang. Mungkin air mata sudah habis terkuras dan kini menggenangi kampung itu. Mungkin teriakkan sudah parau dan kini tersangkut di hulu sungai.
Apalah artinya tangis apalah gunanya teriakkan, jika toh itu tak mampu mengetuk rasa haru para penguasa? Masih adakah rasa haru yang dulu ketika mereka masih kanak-kanak diajarkan di sekolah? Terlalu banyak rasa haru itu telah pergi dari hati penguasa. Itulah yang dirasakan temanku, ketika beberapa bulan sebelum penggusuran kami berjumpa. Karena itu, ia pasrah jika suatu kelak keluarganya digusur dari kampung itu.
“Saya sudah siap kalau pun hari ini disuruh pindah. Tapi, bagaimana dengan mereka yang lain? Saya yakin mereka tak akan siap. Tumpuan hidupnya dari laut itu. Mereka tak lagi punya saudara di kota ini, rumahnya di kampung pun mungkin tiada lagi. Karena mereka sudah puluhan tahun menetap di sini, kampung ini sudah seperti kampungnya sendiri,” kata temanku.
Tiada tawa, gurauan, pikuk anak-anak yang hendak pergi sekolah di pagi yang bening. Tiada aroma nasi uduk atau wangi sayur lontong sepanjang gang di kampung itu. Anak-anak dengan wajah sayunya, menenteng beberapa buku pelajaran menuju sekolah. Bahkan ada yang tak bersepatu.
Kini kampung itu seperti kampung mati. Pekat. Puing-puing yang kini berserakan bagai gundukan makam. Tersebar. Di atasnya tampak bulan pucat. Hanyut…
***

KAMPUNG itu, entah, bagaimana mulanya tercipta. Setiap warga tak bisa menjelaskan mengapa dan bagaimana bisa disebut kampung. Yang pasti, kampung itu ada seiring urban menjejakkan kaki ke situ. Mematok lahan, menimbun lumpur, menanam batu pondasi, lalu mendirikan tiang. Jadilah rumah. Makin tumbuh. Sementara penghuninya terus kawin dan beranak. Membangun rumah lagi di petak yang lain sampai disebut kampung. Di pinggiran kali, di tengah kota.
Karena kian hari makin banyak, mereka sepakat untuk menandai agar tak salah kembali. Maka dipasanglah nomor rumah dari 01 hingga seterusnya. Untuk menandai alamat, dipasang pula nama jalan, rukun tetangga, rukun wilayah, dan nama kampung. Ah perlukah semua tanda itu, ketika kini kampung itu sudah rata?
Dulu, dulu sekali, kampung itu menjadi teladan di mata pemerintah. Karena dari sinilah, perolehan suara paling banyak bagi satu partai pada pemilihan umum. Sehingga dapat mempertahankan puluhan tahun sang penguasa. Di kampung itu juga hidup tenteram. Warganya saling singsing lengan baju setiap ada pembangunan. Tak perlu dipukul dua kali lonceng di gardu, jika ada perintah bergotongroyong. Betapa pun, untuk menyumpal lima sampai sepuluh perut setiap rumah, orang tua meraka harus bermalam atau beberapa hari berada di laut atau di pasar.
“Mempertahankan hidup adalah kewajiban. Menjaga ketentaraman dan damai sesama adalah juga kewajiban. Maka keduanya harus dipertahankan dan dibela mati-matian,” begitulah, sepertinya, warga di kampung itu sepakat.
Sungai, ah siapa pun tahu nama sungai yang membelah kampung itu. Tetapi, meski rumah-rumah di kampung itu berada di bantaran sungai, tiada sampah yang akan menghambat aliran air.
Mereka tahu benar dengan kebersihan, amat mengerti menjaga lingkungan. Rumah tanpa pagar tertata asri dan berbinar. Mungkin Anda akan merasa iri pada suatu ketika menyinggahi kampung itu. Sejak memasuki gapura yang ditancapkan di muka kampung, semerbak kedamaian akan tercium. Apalagi di subuh Anda tiba. Aroma nasi uduk, sambal goreng, kuah sayur lontong akan menyergap hidung Anda. Membangunkan selera makan di saat pagi.
Namun, bila Anda datang saat matahari telah bangun, gerombolan anak-anak sekolah yang hiruk dan ceria akan mewarnai sepanjang gang di sisi sungai itu. Sementara para lelaki berjemur di depan rumah, dan para perempuan sedang mencuci di pinggir sungai. Karena sempitnya jalan ke situ, orang harus jalan agak memiringkan tubuhnya. Jika tak sengaja saling bersentuhan tubuh akan terdengar suara “Maaf” atau “Sory”, bisa pula cuma saling lempar senyuman. Begitulah suratan seakan tertulis.
Dan, bila kau bertandang di malam hari, kampung itu menjadi sunyi. Kecuali beberapa orang duduk di gardu. Sebagai peronda. Kenangan-kenangan itu betapa sulit sekali terhapus dari kenangan kita. Aku pernah beberapa hari tinggal di kampung itu. Tepatnya, menginap di rumah temanku. Kubayangkan jika kampung itu adalah pecahan paling kecil dari suatu negeri, maka inilah negeri paling damai. Meski tingkat hidup di situ menaik lambat. Tetapi, apa artinya kesejahteraan apabila hidup tidak pernah memeroleh ketenteraman?
Kampung itu amat padat oleh rumah. Kecuali beberapa rumah yang berdinding tembok, selebihnya terbuat dari triplek atau papan. Hampir tak ada lagi gang, kecuali jalan yang bisa dimasuki kenderaan di bagian depan yang berdekatan dengan aliran sungai. Anda akan menemui gang setelah melampaui sepuluh atau lima belas rumah. Itu pun hanya setengah meter. Tiada lapangan voli, apalagi lapangan sepak bola. Jika anak-anak mau bermain bola kaki, mereka memilih di pinggir muara. Di sanalah, anak-anak kampung itu bermain.
Kampung itu, ah, aku sulit menamakannya. Betapa pun punya nama. Sebab dalam peta provinsi, kampung itu tak tertera. Ia ada namun selalu dianggap tiada. Dalam peta yang pernah kulihat di kantor pemda setempat, kampung itu hanya bergaris-garis dengan warna hijau. Seperti sebuah padang atau sabana atau apalah namanya. Persoalan tiada nama dalam peta pemerintah, tak membuat mereka terusik. Sebab apalah artinya peta wilayah, pikir mereka, jika kehidupan dipenuhi huru-hara?
“Tanpa tersebut dalam peta pun, orang-orang tahu di sini ada kehidupan. Ada kampung, nama jalan, dan nomor rumah. Ada kepala RT, RW, dan kepala kelurahan,” kata Nanang, temanku yang kusinggahi rumahnya untuk beberapa hari. “Pak pos juga tak pernah salah menyampaikan surat,” kata dia lagi.
Yang terpenting lagi, masih kata temanku itu, dalam kartu tanda penduduk tertulis nama kampung itu lengkap dengan nama jalan, RT, RW, dan nomor rumah. Jadi tak mungkin orang akan kesasar menemui kampung. Mobil taksi ataupun bajaj tak henti menderu memasuki kampung itu. “Mestinya kampung ini tertera di dalam peta, karena memang ada.”
Aku tak merespon. Kubiarkan ia terus bercerita tentang kampungnya. Sebuah kampung yang unik. Kuingin menjadi pendengar setia, betapa sesungguhnya suatu kehidupan bisa dihilangkan dalam kehidupan senyatanya.
Kalau saja mereka mau protes pada pemerintah, tentunya sangat mudah. Cukup mereka tak membayar pajak bumi dan bangunan, kelurahan akan didamprat karena tak memenuhi target menyetor ke kas negara. Kalau saja mereka tidak memilih pada saat pemilihan umum, bisa apa partai politik yang waktu itu berkuasa bertahun-tahun lamanya? Perolehan suara akan jeblok.
Tapi, mereka tahu diri. Kata temanku lagi, sebagai warga negara yang baik mereka tak ingin melakukan semua protes itu. Apalagi diam-diam sebenarnya mereka khawatir dengan sebutan makar atau tudingan kelompok pengacau keamanan, dan seterusnya yang semakna.
“Sialnya lagi, kami akan digusur dari tempat ini. Lalu mau ke mana kami berlindung dari panas dan hujan?” ujar Nanang, nelayan dan juragan perahu di kampung itu.
Karena itu, menurut temanku itu, warga di situ akan berang jika ada orang bertanya soal status rumah, jalan, dan kampung. Itu sama saja mengusik identitas mereka.
“Kami akan bersatu melawan, meski warga di sini datang dari ragam etnis!”
Untungnya, sejauh ini (tepatnya tiga tahun lalu ketika aku mengunjungi kampung di bantaran sungai itu) kampung itu tak pernah diusik. Kampung itu ada sejak puluhan tahun lalu. Setiap pesta perayaan Kemerdekaan pada 17 Agustus, warga kampunng itu tak ketinggalan merayakannya. Semarak oleh berbagai lomba dan hiburan. Mereka juga punya hak menghormati dan menghargai para pahlawan bangsa. Mereka juga merasa berkewajiban merayakan hari kemenangan bagi bangsa dan negara ini.
Sampai beberapa kali ganti gubernur tak ada masalah, kecuali dalam peta wilayah tetap saja kampung itu tak tertera. Barangkali, pikir mereka, kalau kampung itu dibubuhi dalam peta bukan tak sedikit pemerintah akan mengeluarkan anggaran. Karena harus mengganti peta yang baru. Tanpa peta pun dalam sensus penduduk di Kantor Statistik dan Kependudukan, warga kampung itu sudah tercacah. Tiada mengapa jika kampung kami tak tertanda dalam lembaran peta. Temanku menegasi lagi.
***
SETIAP malam tiba, pada hari-hari tertentu, bulan selalu menggenang di atas langit kampung itu. Seperti tengah mengintip dari bubungan belakang rumah yang membelakangi muara. Sehingga menambah indahnya perahu-perahu berwarna-warni yang ditambat di sana. Aku pernah merekam keindahan itu liwat kamera, dan sampai kini gambar itu kupajang di dinding ruang tamuku. Berukuran besar. Berbingkai artistik.
Sampai suatu hari, kudapat kabar dari sebuah media massa bahwa kampung itu benar-benar hilang dari peta. Tengah malam saat warga tertidur pulas, pemerintah merobohkan secara paksa rumah-rumah di kampung itu. Begitu cepat sehingga warga sulit menyelamatkan barang-barang berharga berukuran besar. Raung protes dan tangis pun membahana bagai hendak meruntuhkan bumi. Tetapi, apa artinya protes? Apa makna dari sebuah tangis?
Kata pemerintah, penggusuran paksa dilakukan karena warga telah berkali-kali diperingatkan. Pendekatan persuasif juga telah dilakukan dan pemerintah berjanji akan mengganti rugi bangunan, namun warga tetap menolak. Tetap mebangkang. Inilah akibatnya kalau tak mau menurut, pemerintah menggusur tanpa ganti rugi. Coba warga mau diajak kompromi, tentu mereka akan mendapat ganti rugi bangunan. Mereka bisa mencari rumah sewaan di tempat aman dan legal.
“Ini kampung legal. Tak ada jalan lain, kami harus menggusur paksa,” kata Gubernur dalam pernyataannya dengan wartawan. “Karena dengan adanya kampung itu, kota ini selalu terkena banjir setiap musin penghujan. Kalau lahan itu sudah dikosongkan, sungai itu akan diperlebar, muara yang ada di sana akan menampung air untuk seterusnya dialirkan ke laut,” Gubernur menambahkan.
Entah mengapa aku seperti amat rindu pada temanku itu. Kini aku benar-benar merindukan kampung yang namanya tiada dalam peta, setiap kali aku menatap gambar hasil bidikan kameraku beberapa tahun lalu. Aku kadung cinta setelah menghirup aroma keringat rakyat kecil. Bau air sungai yang kadang mengambang tinja, busa sabun, potongan kain, plastik, dan barang rongsokan lainnya.
Bila malam hari aku seperti melihat bulan mengambang pula di atasnya. Warna bulan yang keemas-emasan itu, menjadi lembab di sungai. Dan, bila aku berdiri di bubungan rumah belakang temanku, bulan akan menjadi sunyi. Cahayanya yang kadang redup persis jatuh di antara perahu-perahu yang tertambat.
Kini momen itu kuyakin tak akan ada lagi di situ. Kubayangkan bulan akan hanyut di atas kampung itu. Muara itu akan melimpah karena tak bisa lagi menampung air mata warga. Kampung yang tiada dalam peta itu akan dibanjiri air mata.
Aku tak bisa lagi mengirim surat, menghadiahi rembulan, dan mengirim foto keluarga Nanang yang tengah bergurau di dapur rumah yang tersimpan di albumku. Pegawai pos tak akan sampai ke alamat itu. Sampai kapan pun. Bulan tentu makin pucat.

(teriring dukaku buat warga Jakarta yang pernah tergusur atas nama “pembangunan”)


Bandar Lampung, 16 Desember 2003
















Mushalla di Atas Air


AKHIRNYA bapak pasrah. Bapak mengaku sudah capek melawan pemerintah. Itu sebabnya, ia ambil uang gantirugi penggusuran, setelah bertahan tak mau melepas rumah kami.
“Kota sudah tak menjamin hidup untuk orang seperti kita,” kata bapak. “Bulan depan kita harus ke desa, beli rumah, dan hidup di sana. Desa memberi harapan buat hidup kita,” lanjutnya.
“Kita pindah?” aku bertanya. Aku belum mengerti maksud pembicaraan bapak. Kupikir dengan uang gantirugi itu bapak akan cari rumah lain di kota ini. Ternyata ia sudah bosan hidup di kota, karena ini yang ketiga kali rumah kami digusur atasnama pembangunan.
“Ini penggusuran terakhir, bapak tak mau lagi. Karena itu, kita harus tinggalkan kota. Bapak yakin desa masih luas untuk kita mencari hidup,” jawab bapak. “Kita akan hidup damai, juga sejahtera di sana...”
Bapak tampak frustrasi. Padahal sudah 29 tahun bapak menetap di kota, artinya sudah lebih separuh hidupnya berada di kota. Bapak menikah dengan ibu di sini, lalu kami—anak bapak ada tiga yaitu dua lelaki dan satu perempuan—lahir di kota. Aku anak tertua sudah 21 tahun hidup di kota ini, sehingga sudah menjadi bagian dari napas kota ini. Kalau bapak kini frustrasi, karena bapak amat kecewa pada kehidupan kota yang sangat gampang mengusir dan menggusur hak hidup warganya.
Dan kalau bapak frustrasi hingga tak mau lagi hidup di kota, justru aku sangat sayang meninggalkan kota. Aku malah kerasan karena aku banyak teman di kota. Walau aku tak kuliah karena bapak tak mampu membiayai, aku tetap suka di sini. Sebab aku dapat bekerja apa saja dan mudah mendapatkan uang. Bagaimana di desa? Pasti bosan, dan aku tak akan dapat berkembang.
Kepada bapak kujelaskan untung-rugi jika mencari rumah dan menetap di desa. Misalnya, sebagai orang baru di desa, kita tak tahu peluang usaha apa yang dpaat kita lakukan. Berbeda jika di kota, karena sudah seperti kampung halaman sendiri. Tetapi bapak tetap pada pendiriannya. Apalagi ia sudah pensiun dari pekerjaannya di swasta. Kata bapak, dengan uang pesangon dari perusahaan bekerjanya dulu ditambah uang gantirugi rumah dan tanah, masih lebih untuk membeli tanah beserta rumah, dan modal usaha peternak ayam.
“Dari uang yang ada ini, kita dapat hidup setahun ke muka,” jelas bapak yang telah menghitung dengan rinci. Sepertinya bapak yakin tak akan meselet hitungannya.
Walau aku sebenarnya menolak, akhirnya diam setelah bapak bersikeras tetap pindah. Ah! Aku akan meninggalkan gemerlap kota, malam yang tak pernah sunyi dari kehidupan, kawan-kawan yang selalu datang bagai meletakkan pecahan surga padaku. Karena itu, aku hidup bagai anak jalanan: “binatang jalang”kalau meminjam sajak Chairil Anwar.
Lalu kami pindah. Tak banyak bawa barang, kecuali yang dianggap perlu. Bapak bilang, apa yang kita perlukan sudah tersedia di desa. Harganyapun murah. “Daripada bawa barang-barang yang berat ini, ongkos bawanya hampir sama kalau beli di desa,” ucap bapak.
Ibu mengangguk. Aku pun tak ada alasan membantah. Kami pindah dengan membawa barang sekadar yang cepat dibutuhkan. Kulihat ibu paling senang dengan kepindahan ini. Ibu berharap, kata ibu, desa dapat mengubah hidup kita. “Terutama amal ibadah kita pada Allah bisa meningkat,” kata ibu pelan.
Dibanding bapak dan kami, memang istiqomah ibu tak diragukan. Ibu rajin menghadiri majelis taklim, tak pernah absen salat tahajut, tadarus setiap habis salat wajib. Sementara bapak suka bolong salatnya dengan alasan sibuk pekerjaan, sedangkan aku tak pernah salat. Kedua adiknya, untuk urusan ibadah wajib, lebih baik dari aku dan bapak.
Aku sudah coba membujuk ibu agar aku tetap di kota. Menumpang dengan Nabil, temanku paling karib. Namun ibu tak setuju. Kata ibu, orang hidup harus berubah dari hari sebelumnya. “Orang yang beruntung di dalam hidup ini, hari ini dia harus lebih baik dari hari kemarin,” imbuh ibu.
“Tapi ibu...”
“ Di desa nanti baru kau rasakan enaknya dibanding hidup di kota yang setiap hari makin sumpek dan pikuk,” potong ibu. “Air gampang diperoleh di mana saja. Kita juga bisa menanam kebutuhan hidup kita di dekat rumah, tidak seperti di kota semua harus dibeli...”
“Ibumu benar,” timpal bapak. “Dulu bapak tergiur hidup di kota karena kata orang menjanjikan. Nyatanya sekarang bapak amat kecewa.”
“Tetapi kok bapak dapat bertahan hampir 30 tahun di kota, seperti usia berkuasanya presiden Soeharto?” sindirku sambil tersenyum.
“Kelihatannya bapak kerasan, tapi hati bapak tidak,” jawab bapak segera. “Bapak hanya dapat bertahan, tapi tak mampu mengubah kehidupan kita agar lebih baik,” bapak menambahkan.
“Sudahlah,” ibu menengahi. “Mungkin kita bisa petik hikmah ini. Ibu harap di desa nanti kita makin banyak beribadah. Tidak seperti di kota, kita hanya sibuk mengejar materi. Sementara kita tak juga kaya, malah miskin ibadah.”
Bapak mengangguk. Sepertinya bapak mulai sependapat dengan ibu. Kuperhatikan mulai banyak persamaan antara bapak dan ibu dalam memandang kehidupan di akhirat. Bapak juga berencana akan membangun mushalla di desa. Mushalla itu, kata bapak, akan dibangun di sebelah rumah yang di bawahnya ada balong1). “Bapak namakan mushalla di atas air,” jelas bapak dengan bangga.
Balong itu selaun untuk memelihara ikan emas, juga dapat dimanfaatkan untuk berwudhu. Begitulah rencana bapak.
“Mushalla itu bisa juga untuk umum,” potong ibu.
“Tentu, kalau warga suka,” jawab bapak.
Aku tidak merespon rencana mereka. Di benakku yang ada hanyalah aku bakal kehilangan gemerlap dan kenikmatan yang kuperoleh selama ini di kota. Aku akan hidup tanpa penerang listrik, betapa menyedihkan. Setiap hari aku akan mengurus ternak, salat berjamaan dengan bapak di mushalla dia atas air. Dan bila malam hanya menatap mutiara-mutiara kecil di langit atau cahaya bualan pada saat-saat tertuntu. Hanya itu. Tak akan ada hiburan seperti di kota yang dapat disinggahi setiap malam. Sangat membosankan hidup semacam itu. Aku membatin.
Di rumah baru kami di desa, kami memiliki sebidang tanah kosong amat luas. Bapak membuat kandang ternak: kambing dan ayam di belakang rumah. Bapak juga membikin balong seluas 8 kali 10 meter di sebelah kiri rumah, dan di atasnya dibangun mushalla berukuran 4 kali 5 meter. Di mushalla itulah bapak salat wajib bersama ibu dan kedua adikku. Untuk sementara aku belum tergerak.
Jika ibu keras menyuruhku salat, bapak justru tak pernah mengajakku secara terang-terangan. Bapak hanya menyindir dengan sangat halus, begitu watu salat tiba. Aku teringat sirah Rasulullah pada umatnya agar masuk Islam, juga dengan teladan dan dakwah yang bijak.
“Kapan lagi kita beribadah kalau tidak sekarang. Apa harus menunggu nyawa kita diambil Allah atau sudah jompo baru mau salat. Mumpung usia kita masih bersisa, tenaga masih kuat...”
“Aku kan masih muda, nanti kalau usiaku sudah seperti bapak,” jawabku sekenanya.
“Apa kau yakin usiamu bisa seperti bapak. Si Pohan itu mati saat berusia 30 tahun, Herman belum sampai 17 tahun sudah diambil Allah,” ptong bapak. “Jadi jangan terlalu yakin hidup kita dapat sapai tua.”
Aku tak menyahut lagi. Diam-diam kutinggalkan bapak yang kemudian mengambil wudhu. Aku kembali ke kandang ternak.
“Kalau hewan saja punya cara untuk mengingat Allah, kenapa manusia tidak?” ibu berujar. Pasti ucapan ibu ditujukan padaku. Hanya aku tak menyahut, meninggalkan ibu yang kemudian mengenakan mukena.


SEBELUM tidur aku kembali merenungi ucapan bapak menjelang magrib tadi. Entah mengapa hatiku seperti sependapat. Iya juga, bagus kalau kita tak mati sebelum tua, kita punya waktu untuk bertobat. Tapi siapa dapat memastikan usia seseorang? Aku bergumam.
Pertanyaan itu sampai terbawa tidur. Bahkan aku bermimpi menjadi makmum bapak. Sebagai anak tertua aku disuruh bapak jadi muadzin. Sesekali bapak menyilakan aku jadi imam, sementara bapak, ibu, dan kedua adikku sebagai makmum. Pada watu lain, bapak meminta adikku memberi kuliah tujuh menit (kultum) seusai salat magrib dan subuh.
Dari mihrab mushalla (penting untuk diketahui pembaca, mushalla kami itu dibangun sendiri oleh bapak yang dibantu olehku dan adikku, mengingatkan nabi Ibrahim saat mendirikan Ka’bah), tak henti-henti kulihat cahaya yang memancar. Entah sinar apa itu, aku tak dapat menjelaskan. Cahaya itu benderang lalu redup, kemudian benderang dan sangat benderang. Bagaikan memercikkan pisau ke wajahku, namun tidak melukai. Justru sejuk terasa dan mengelus sekujur wajahku.
Sekejap kemudian, cahaya itu menarikku masuk ke mihrab. Menjerembabkan aku ke sudut tempat imam. Aku gelagapan. Aku menampik-nampik. Cuma cahaya itu makin kuat menelikung diriku. Mulutku disekap sehingga tak mampu berteriak. Ingin aku meminta tolong bapak dan ibu, namun kedua orang tuaku cuma bisa melambai. Seakan menggapai. Gigil. Aku cemas, gamang. Adakah aku putra Nuh yang cuma melambai-lambai, sementara perahu orang tuanya melaju dari bah yang mengancam?
“Bapak....!??” aku berteriak. “Ibuuuu.....” berteriak lagi. Aku juga memanggil-manggil kedua adikku. Igauku didengar bapak. Segera bapak membangunkan aku.
“Aku bermimpi, bapak....”
“Apa yang kauimpikan?” bapak bertanya.
Aku tak sanggup menjelaskan kembali. Sepertinya kisah mimpiku itu tiba-tiba lesap. Wajahku pasi. Entah mengapa, aku sangat ingin ke mushalla. Malam ini.
Bapak tersenyum. Wajahnya tampak riang, benderang. Segera ia menggandeng tanganku meninggalkan ranjang. Malam penuh bayu. Dan-daun sayu. Air di balong sejuk. Aku masih melihat cahaya di mihrab. Dan, ibu masih tafakur di sudut kanan. Kami seakan tengah menumpang perahu Nuh...


Lampung, 19 Agustus 2004; 09.11



catatan: cerpen ini disemangati oleh cerpen “Rumah Jamban” Hamsad Rangkuti dan cerpen “Mushalla di Samping Rumah” Isbedy Stiawan ZS.












Gadis Berjilbab


“BENAR, kau mau menikah bulan Agustus?”
Entah sudah berapa kali Arnold memastikan kalau tiga bulan lagi ia akan menutup masa lajangnya. Kepada teman-temannya sekantor, ia juga sudah menceritakan kalau perempuan pilihannya adalah gadis berjilbab. Tetapi, tetap saja mereka tak yakin. Lalu aku harus pakai apa untuk meyakinkan mereka? Arnold membatin.
“Aku buktikan pada Agustus nanti!” Arnold kembali menekankan. Teman-temannya hanya tersenyum.
Arnold dikenal teman-temannya sebagai lelaki yang selama ini tampak dingin pada perempuan, terutama yang ada di kantornya. Teman-temannya tak pernah memergokinya berjalan bersama perempuan. Ke mana-mana selalu sendiri. Menghadiri pesta pernikahan teman, sendiri. Ke mall juga sendiri. Bahkan ke bioskop pun tidak menggandeng perempuan. Jadi, wajar teman-temannya bertanya-tanya ketika ia mengatakan hendak menikah, tepat berusia 48 tahun pada Agustus kelak.
Apalagi, suatu kesempatan dia pernah mengumbar pernyataan tak akan mau berumah tangga. Dia memberi alasan, tak ada lagi rahasia dalam diri perempuan. Entah rahasia apa yang dia maksud. Teman-teman sekantornya menanggapi tak serius. Bahkan, ia juga mengatakan tidak percaya pada lembaga perkawinan. “Lembaga itu hanya membuat kita menjadi berpura-pura. Lembaga yang melegitimasi aturan-aturan agar kita tak boleh begini dan hanya boleh begitu, harus jujur dan terbuka dengan pasangan,” kata Arnold. “Padahal, fritrah manusia itu independen dan individualistis!”
Mendengar pernyataannya itu, teman-temannya hanya menggeleng. Sebagian lain tersenyum, dan sedikitnya lagi cuma meletakkan jari telunjuk menyilang di kening. “Kau bicara seperti itu kan karena berada di luar lembaga, tapi coba kalau sudah masuk dan menjalaninya kau akan bicara lain,” kata Sudar, setelah hening sekejap.
“Betapa tingginya nilai lembaga perkawinan, membuat Rasulullah menyatakan bukan pengikutnya jika kita tak menikah, karena menikah adalah sunahnya,” imbuh Budi.
“Lalu, kenapa Rabiah, sufi besar dari Basrah itu tak menikah? Tidak memiliki suami sampai dia mati? Bahkan, ketika ada yang hendak memperistrinya, ia katakan lamar aku pada Tuhan,” bantah Arnold.
Subhanallah! “Itu suatu kesombongan!” desis Sudar.
“Itu menurut perasaanmu, bukan?” Arnold memotong.
Lalu diam. Mereka enggan berbantah dengan Arnold. Menurut mereka, dalam setiap perdebatan Arnold selalu mencari pembenaran. Padahal, dalam diskusi yang kita cari ialah kebenaran. Dan, sialnya, Arnold selalu menampik kebenaran. Di benaknya, hanya mereka yang pandai berdebat akan selalu menang dalam perdebatan. Ia mencontohkan para politisi di ruang diskusi atau seminar, toh mereka yang piawai selalu saja yang mengendalikan diskusi.
Sejak itu, Arnold tak hanya dikucilkan. Ia kerap tak pernah diajak diskusi untuk urusan kantor, atau pun hal-hal pribadi. Arnold menjadi hidup sendiri di kantor yang riuh itu. Apalagi sejak ia mendapat tugas mengurus gudang untuk kepentingan kantor, ia seperti menjadi “anak gudang”. Ia datang pukul 09.00 lalu masuk ke dalam gudang, dan pulang lebih dulu dari karyawan lainnya. Arnold tak menggenapi jika datang dan tak merasa kehilangan jika tiada.


TEMAN-TEMANNYA makin tak mengerti dan bertanya-tanya. Arnold bukan saja mau menikah. Tetapi, perempuan yang dinikahinya justru adalah perempuan berjilbab. Artinya, muslimah yang taat pada agama. Tentu saja, itu membuat Arnold menjadi buah pembicaraan dan hujaman pertanyaan.
Teman-temannya sungguh tak yakin. Jangan-jangan Arnold cuma ingin membuat gosip. Seperti dulu ketika ia mengabaikan lembaga perkawinan. Seperti ketika menyatakan tiada lagi tabir dalam diri perempuan. Segalanya sudah terbuka. Pernyataan seorang pemabuk, pikir mereka. Karena itu, tak heran jika belakangan ini ia selalu didatangi teman-teman sekantornya. Bahkan, gudang biasa Arnold berkantor seperti berubah menjadi ruang kerja. Mereka menanyakan dan membicarakan persiapan pernikahan Arnold yang tinggal dua bulan lagi.
“Orang tuamu sudah melamarnya?”
Arnold mengangguk. “Tiga bulan lalu. Bukan cuma melamar, tapi menetapkan hari pernikahan segala, juga emas kawin yang akan kuberikan nanti,” jelas Arnold.
“Kau sudah siap menjadi suami dari perempuan berjilbab?”
Arnold mengangguk. “Kalau aku terpaksa, tak mungkin aku ceritakan pada kalian…”
“Perempuan itu mencintaimu? Kau sudah pernah bertemu dia?”
Arnold diam sejenak. Lalu, katanya, “Aku belum bertemu calon istriku. Tapi, aku yakin dia pasti mencintaiku. Kalau tidak, tentu dia akan menolak lamaranku.”
“Kau belum bertemu? Aneh… Bagaimana kau bisa tahu apakah calon istrimu itu cantik, apakah dia mencintaimu? Apakah dia…”
“Kalau pun aku bertemu, toh itu pun tak menjamin seperti apa yang kau katakan. Betapa banyak orang yang lama berpacaran akhirnya kandas begitu masuk ke gerbang perkawinan?” sanggah Arnold. “Perasaanku menyatakan, kalau calon istriku itu pasti manis. Dan yang paling penting, ia pasti akan menyayangiku!” lanjut Arnold seraya tertawa.
“Kau terlalu optimistis, kawan!” ucap Sudar. “Itu bisa berbahaya, kau akan kecewa…”
“Hatiku tak akan terpengaruh. Sudah bulat, aku yakin…”
“Oke, kalau begitu. Selamat. Kami menunggu undangan darimu…” timpal Budi.
“Oke juga. Tentu.” Pendek. Arnold segera berdiri. Teman-temannya tahu apa yang mau dilakukan Arnold. Menutup gudang. Arnold menyusuri lorong kantor itu. Teman-temannya memandanginya dari belakang. Mereka kembali ke ruang masing-masing, atau ke kantin belakang: minum kopi sambil bermain kartu.
Dulu, Arnold biasa seperti itu. Bahkan, dalam setiap permainan ia selalu menjadi bandar. Uang teman-temannya mengalir ke kantongnya. Sialnya, mereka tak pernah kecewa apalagi kapok. Selalu mengajak Arnold bermain kartu. Terkadang ia kasihan pada teman-temannya. Kenapa tidak mereka langsung memberi uang padanya, ketimbang akhirnya harus terkuras juga di meja perjudian? Dan, sejak enam bulan lalu Arnold telah melupakan dunia itu. Ia lebih sering mengurung diri di dalam gudang. Apakah karena pengaruh perempuan berjilbab itu? Tak satu pun temannya bisa menebak isi hati Arnold.
“Lalu, apa salahnya kalau seseorang berubah? Setiap manusia menghendaki perubahan.” Kata itu selalu terlontar dari mulut Arnold, setiap teman-temannya mempertanyakan perubahan perilakunya.
Dan, Arnold amat yakin bahwa hidup ini dinamis. Perubahan akan terus berlangsung, seperti alam dengan musimnya. Sebagaimana air dengan tanah. Seperti rotasi planit di langit sana. Bahkan, sebagaimana siang dan malam. Kenapa mesti aneh? Tidak ada yang aneh, karena setiap penciptaan di semesta ini akan mengalami perubahan. Tidak statis. Begitu pula perilaku seseorang. Kalau sebelumnya ia penjahat, apakah salah bila ia berubah menjadi alim. Makna hijrah, demikian seorang ustad yang pernah didengar Arnold, dalam diri manusia ialah perubahan perilaku seseorang dari lembah hitam menuju cahaya terang. “Islam datang untuk mengangkat manusia dari lembah nista menuju cahaya,” pesan seorang ustad yang masih membekas dalam benak Arnold.
Maka itu, ia tak pernah ambil pusing. Ia akan jalan terus. Ia juga tak merasa telah menelan ludah sendiri, jika kini ia memilih menikah. Perkawinan adalah lembaga penyucian syahwat. Lembaga itu yang mestinya jadi benteng dari perzinahan. Dan, cukuplah pada masa lalu hidup di dalam lembah hitam. Ia membatin.
Khairunnisa Rahmailahi kini telah berada dalam hatinya. Ia tak hanya mencintai, tetapi juga menyayangi dan mengagumi. Gadis berjilbab itu dua bulan lalu menyelesaikan kuliahnya, dan Oktober nanti—dua bulan setelah dinikahi Arnold—langsung diterima bekerja di kantor pemerintah.
Perjumpaannya dengan Khairunnisa tak sengaja. Pada cuti tahun lalu, ia menjenguk neneknya yang sakit di kampung. Di bis yang sarat penumpang yang merayap karena jalan menuju kampung orang tuanya rusak parah, ekor matanya tertuju kepada gadis berjilbab yang duduk di bangku depan—persis di belakang supir. Khairunnisa Rahmailahi asyik mengobrol dengan temannya, yang kemudian diketahui bernama Annida Sukmawati.
Tak henti ia memandangi Nisa—Arnold kemudian lebih senang menyapanya begitu—namun yang dipandang seperti tak acuh. Ah, bukan tak acuh. Perempuan berjilbab itu jika ditatap, selalu menundukkan pandangan. Tidak saja pada Arnold, ternyata juga pada setiap lelaki. Bahkan, ketika ia bertanya di mana Desa Adiluhur, Simpang Pematang, setelah bis berhenti di Terminal Induk Tulangbawang, perempuan berjilbab itu tak menatap wajah Arnold. Begitu pula temannya yang juga berjilbab. Namun, karena keduanya bertanya dengan sopan, Arnold menjawab. Setelah itu, ia lupakan gadis itu.
Tak terduga ia berjumpa lagi. Waktu itu ia hendak membawa neneknya ke Puskesmas Simpang Pematang. Perasaan Arnold seakan terkenan aliran listrik berkekuatan amat rendah. Bahkan Nisa yang menuntun nenek Arnold memasuki ruang pemeriksaan. “Terima kasih…” kata Arnold usai pemeriksaan. Dingin. Nisa mengangguk. Tersenyum.
Nenek Arnold berujar, “Baru bekerja di sini, Nak?”
Nisa menggeleng. “Saya KKN di desa ini, Nek…”
“Apa itu? Nenek tidak tahu.”
Nisa hanya tersenyum. Ia sadar telah memberi singkatan yang tak mungkin akan dimengerti seorang nenek. Lalu, Arnold yang menjelaskan. Dan, karena jawaban itu, ia tahu kenapa Nisa ada di desanya. Dari percakapan Nisa dengan neneknya, ia juga tahu berapa bulan Nisa berada di Desa Adiluhur dan di mana kosnya di Bandar Lampung. Juga, yang terpenting, kuliahnya.
“Enak jadi anak kota, ya nak?” tanya nenek.
“Enak tinggal di desa, Nek. Tenang…” jawab Nisa merendah. “Lagi pula, saya juga orang desa. Cuma karena kuliah, jadi tinggal di kota,” ia menambahkan. Kemudian Nisa menjelaskan di mana orang tuanya tinggal. Dan, hati Arnold berbunga, ketika ia ingat ada keluarga ayahnya yang bertetangga dengan Nisa.
“Boleh juga, Om Is dijadikan perantara,” gumam Arnold. Itulah kemudian, perkenalan antarkeluarga berlangsung. Tak bertepuk sebelah tangan. Nisa pun tak menolak ketika keluarga Arnold menyampaikan niat untuk melamarnya.
Sejak itu, Arnold mendaki dari lembah hitam. Awalnya memang membebankan. Setahap demi setahap, ia mulai tinggalkan kebiasaan menyeruput minuman alkohol. Ia juga menolak dengan halus setiap temannya mengajak bermain kartu. Ia coba melaksanakan salat, tak ditinggalkan sewaktu pun. Ia seperti sedang memburu dan hendak merengkuh cahaya yang dirasa begitu jauh. Cahaya itu, seakan terbuka liwat diri Khairunnisa Rahmailahi yang kini baru berusia 23 tahun.
“Apa aneh kalau kini aku berubah?” Pertanyaan itu selalu terlontar, setiap temannya mengusik perubahan perilakunya. “Hidup ini juga dinamis. Jjadi manusia harus pula melakukan perubahan. Perubahan dari ketidakbaikan menuju kebaikan!” lanjutnya. Ia Ingat ayat Alquran, bahwa Allah pelindung manusia yang mengangkat dari dunia kegelapan menuju cahaya-Nya.
Arnold bangga, kini ia pun banyak memiliki kata-kata indah. Entah kenapa, kata-kata itu begitu saja meluncur setiap dia butuhkan. Persis senjata pamungkas bagi seorang satria yang tengah terkepung di medan perkelahian…

Lampung, Mei 2004 (revisi 21 Juni 2004)






Domino di Bawah Meja



HANYA satu jalan ke rumahku. Selalu jalan itu yang kulalui setiap aku pulang dari kerja pada larut malam. Di warung rokok depan gang aku menghentikan motor, tirin untuk membeli sebungkus rokok dan sekotak obat anti-nyamuk jika di rumah sudah habis.
Warung itu satu-satunya di perumahan ini yang masih buka sampai dini hari. Penunggunya lelaki muda, kami biasa memanggilnya Ali. Karena itu pula, boleh jadi alasan mengapa warung itu bernai buka hingga larut. Sejak ada warung Ali, aku tak lagi khawatir kehabisan rokok pada malam hari—kebiasaanku menjelang tidur. Juga tidak cemas lagi tak ada obat anti-nyamuk di rumah.
“Biasa bang Is,” ucap Ali begitu aku menyerahkan uang Rp20 ribu.
Aku mengangguk. “Belum ngantuk, Li,” kataku selanjutnya. Basa-basi.
Aku melirik ke beberapa orang yang asyik bermain kartu. Sejak adanya warung Ali, warga di perumahan ini biasa main domino. Mulanya, konon, hanya iseng mengisi waktu panjang pada malam minggu. Tetapi, perekmbangan kemudian kulihat mereka sudah berani main dengan taruhan uang—dari lima ratus kini sudah seribuan—dan bahkan setiap malam. Akhirnya, tempat itu jadi arena judi. Selama ini aman-aman saja, artinya tak pernah digerebek oleh aparat keamanan.
“Mau ikut main bang Is, mumpung ada satu kaki yang patah,” tawar pak Sap, tetanggaku bersebelahan jalan.
Sapto dulunya bekerja sebagai tukang ojek, tapi setelah motornya dijual untuk membayar sewa rumah kini pengangguran. Lalu mata pencariannya bertumpu dari permainan domino itu. Sebab itu, setiap malam kulihat Sapto—juga Ujang, Deri, Edo, Bambang, dan lainnya—ada di tempat itu.
Aku tersenyum. Menggeleng. “Maaf, saya tidak bisa main kartu, tak biasa…”
“Kami juga tak ahli kok. Main-main saja daripada bengong,” kata Sapto lagi.
“Maaf, saya benar-benar tak bisa,” jawabku. Kemudian mengambil rokok, obat anti-nyamuk, dan uang kembalian dari Ali.
Aku hendak pamit ketika Ujang meminta rokok, membuatku menghentikan mesti motor. Kurobek bungkus rokokku, dan menyilakan dia mengambil sebatang. Tetapi, Ujang malah mencomot dua batang, diikuti Sapto, Deri, Edo, dan Bambang yang masing-masing mengambil sebatang. Berarti enam batang rokokku hilang di tempat itu. Insiden seperti ini sudah sering kualami. Cuma aku tak berani untuk tidak memberi. Sedapat mungkin aku menghindari keributan dengan mereka. Apalagi hanya beberapa batang rokok, walau hatiku kesal. Sebab selama ini aku sudah jadi langganan dipajak.
Belum lagi aku beranjak, Manto meminta uangku dari kembalian Ali. “Untuk modal lagi bang, saya barusan kalah.”
Aku menatapnya. Memamerkan wajah tak suka. “Utang deh bang, besok saya bayar. Besok kan abang lewat sini lagi,” katanya berharap. Tak urung, kuserahkan juga lima ribu pada Manto, lalu segera ia kembali ke tempat duduk. Tersenyum. Riang.
Aku seperti selalu kalah di hadapan para penjudi kampungan itu. Bukan aku tak berani jika harus berkelahi, tapi aku tak ingin bermasalah. Akhirnya aku menghidupkan kembali motorku. Pulang.
Esok malam, dua malam berikutnya jika obat anti-nyamuk di rumahku habis, aku akan kembali mampir ke warung Ali. Dan, aku menyaksikan pemandangan yang menyebalkan. Mereka, lagi-lagi, selalu mengajakku bermain domino. Alhamdulillah, sampai detik ini aku tidak pula terpengaruh. Aku selalu menolak secara halus, “aku tak bisa, tak biasa main kartu…”


SUDAH dua pekan aku tak pulang malam sehabis bekerja. Tepatnya sejak aku mendapat giliran shif bekerja siang hari, di bagian gundang. Sehingga aku masuk bekerja pada pukul 07.15 dan pulang pada pukul 17.30. Karena itu, aku tak lagi menyaksikan para penjudi itu. Apalagi aku tak pernah membeli obat anti-nyamuk atau rokok di warung Ali. Cukup ke warung Kiki yang dekat dengan rumahku sehabis maghrib.
Aku memang bukan seperti warga lain di perumahan ini, apalagi sebagaimana dilakukan Sapto dan kawan-kawannya di warung Ali. Aku tak terbiasa mengobrol dengan tetangga di depan rumah sampai begadang. Kecuali ada pertemuan perkumpulan suka duka atau ada warga yang meninggal, barulah aku ke luar rumah. Sekaligus menganggap acara itu sebagai silaturahmi. Selebihnya aku bersama keluarga di rumah. Kalau tidak membaca buku-buku agama, aku menemani anakku menonton televisi.
Karena itu, sejak aku bekerja siang aku tak lagi mampir ke warung Ali dan melihat mereka berjudi. Selain itu, aku bebas dari pajak sebatang atau tiga batang rokok. Aku pun telah melupakan Manto yang pernah meminjam uangku.
Anakku yang tertua, masih sekolah di SMU kelas 3, jika kebetulan disuruh ibunya membeli mie goreng dekat warung Ali, selalu bercerita tentang mereka yang biasa kusebut sebagai “orang-orang malam” itu. Dari Rio aku tahu kalau kini sudah menambah satu lapak*) lagi, sebelumnya dua meja. Berarti kalau satu lapak yang bermain 4 orang, maka tiga lapak berarti 12 orang. Belum lagi mereka yang datang sebagai penonton atau yang cuma meramaikan.
Ali, suatu kesempatan berjumpa denganku di Pasar Tradisional, mengaku sejak tempatnya sebagai arena domino, masukkan agak lumayan. Ia bisa menjual sebungkus rokok lebih mahal lima ratus rupiah dibanding warung lain. Meski begitu, ia juga mengeluh, banyak dagangannya yang diutang oleh penjudi itu dan seret membayarnya.
“Ayah, kok polisi tidak menggerebek penjudi itu ya? Kan lama-mama bisa meresahkan?” tanya Rio, suatu malam.
“Belum sial aja. Suatu saat juga polisi akan tahu…”
“Tapi, pak polisi yang rumahnya di ujung jalan itu seering di sana. Bukannya melarang, tapi malah asyik bergurau…”
“Mungkin dia tak enak karena tetangga. Yang menggerebek nanti, tentunya kawan-kawannya…”
Lalu Rio diam. Ia menyerahkan mie goreng kepada istriku. Sekembali dari menyerahkan mie goreng, ia berujar lagi, “Apa mereka tak sadar ya pak, kan di sebelahnya masjid?”
“Hati mereka sudah tertutup,” jawabku pendek. “Jadi suara muadzin dan orang salat pun tidak masuk ke telainganya. Apalagi sampai mengusik…”
“Coba digerebek ya, Yah? Diangkut ke mobil, kan keluarganya malu. Apalagi masuk teve…”
“Husst.. tak boleh begitu, Rio. Meski kita tidak suka…”
“Habis kesal, Yah.” Lalu ia kembali ke ruang tengah. Belajar.
Aku kembali menemani Obi yang sedang menonton salah satu sinetron di teve yang disukai anak-anak. Tentu sambil membaca buku agama yang ada di tanganku.


RIO datang dari membeli nasi goreng dekat warung Ali, membawa kabar terkini. Manto bersimbah darah dari sekujur tubuhnya, dan segera dibawa lari ke rumah sakit. Menurut Rio, Manto berkelahi dengan Edo. Keduanya bersenjata tajam. Hanya Edo luka di lengan kanan, dan kini sudah menyerahkan diri ke kantor polisi.
Warung Ali segera ditutup aparat kepolisian. Pemilik warung itu juga digelandang ke kantor polisi sebagai saksi, di samping beberapa orang lainnya. Aku keluar rumah, ingin tahu penyebab apa hingga terjadi pekerlahian berdarah itu.
Beberapa orang yang kutanyai, memastikan Manto tak dapat tertolong nyawanya. Perut, dada kiri, dan lehernya tersabet celurit. Tetapi, dalam hati, aku berdoa semoga ia selamat. Kalau pun tidak tertolong lagi nyawanya, aku sudah mengikhlaskan pinjaman uang Rp5 ribu kepadaku. Sejak ia meminjam dulu, aku menganggap tak mungkin uangku itu bakal kembali. Karena itu sudah kuihlaskan.
Tak lama kami menerima kabar dari orang-orang yang mengantar Manto ke rumah sakit. “Manto mengembuskan nyawa begitu diturunkan dari mobil,” kata Arif, pak RT.
“Manto tak bisa tertolong lagi…” ucap yang lain.
Istrinya meraung-raung. Menimpuki warung Ali. Dia menganggap karena warung itulah, suaminya kerap keluar rumah dan berjudi. Ternyata tak saja istri Manto yang menumpahkan emosinya kepada warung Ali, tapi istri Deri dan Sapto. Setelah puas menimpuki warung Ali, istri Manto dibawa Ketua RT ke rumah sakit untuk membawa pulang jenazah suaminya. Pak Zainail, orang terkaya di jalan Ester segera mengeluarkan mobilnya dan menyilakan kami naik.
Ujang yang malam itu kebetulan tidak ikut main, tak dibawa ke kantor polisi sebagai saksi. Dari dia kutahu kenapa perkelahian berdarah itu bisa terjadi.
“Manto curang. Sementara Edo lagi kesal karena kalah…”
“Maksudmu, Jang?” kataku ingin tahu. Kupikir dalam berjudi—di meja judi—bermain curang adalah hal biasa. Seperti dalam dunia politik, tak ada pliitisi yang fair. Para politisi tahu benar istilah “tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi. yang ada adalah kepentingan.” Kukira demikian pula di arena judi, bermain curang pun halal. “Kenapa harus sampai berkelahi, kan dalam berjudi melakukan kecurangan biasa?”
“Itulah penyebabnya. Edo tak terima dicurangi Manto,” jawab Ujang lagi.
“Curangnya bagaimana?”
“Manto menyembunyikan satu domino di bawah meja. Dikiranya Edo tak melihat ketika ia mengambil kartu di bawah meja dan membuang ke tanah domoni di tangannya. Lalu, Edo menegur Manto. Rupanya Manto tak terima ditegur begitu, langsung meninju Edo. Lalu keduanya berkelahi. Bambang melerai. Kami kira sudah selesai, eh diam-diam Edo pulang membawa celurit. Manto tak mau kalah ia mengambil pisau dari warung Ali, keduanya pun berkelahi lagi dengan senjata tajam,” cerita Ujang.
“Kenapa tidak segera dipisah?”
“Siapa berani bang memisah orang yang berkelahi dengan senjata, apalagi keduanya sedang mabuk. Bisa-bisa kena sabetan pisau…”
Aku terdiam. Dalam hatui, sungguh, aku tertawa. Tak perlu arena perjudian itu diberhentikan oleh aparat kepolisian. Perkelahian itu—walau harus ada korban nyawa—telah menghentikan seluruh aktivitas perjudian di depan gang komplek perumahan kami. Bahkan Ali, sejak itu, tak diperkenankan oleh warga membuka kembali warungnya. Warung Ali dirobohkan para istri penjudi, dan isinya dibakar.
Tak lama kemudian, sepasukan aparat kepolisian datang ke tempat kejadian. Mencari informasi sebanyak mungkin dari sejumlah orang. Aparat kepolisian juga berjaga-jaga di depan warung Ali, jangan sampai warung itu jadi amukan massa: dibakar. Kalau itu terjadi, bukan tak mungkin, bangunan lain akan termakan si jago merah.
Ketika aku kembali bekerja malam, aku tak lagi melihat sekelompok “orang-orang malam” yang bermain domino di tempat itu. Tak lagi kudengar suara kartu yang dibanting di atas meja. Tempat itu sepi dan gelap.

Lampung, 25 Agustus—3 September 2004














Tentang Penulis


Isbedy Stiawan ZS, kelahiran 5 Juni 1958 di Tanjungkarang, Lampung. Anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Zakirin Senet (almarhum) berdarah Bengkulu dan ibu Ratminah (Winduaji, Cirebon) dan ayah dari lima anak buah pernikahannya dengan Adibah Jalili, perempuan berdarah Lampung dan Minang.
Ia pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membacakan puisinya di TIM Jakarta pada Forum Puisi Indonesia 87, Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung (1989), dan Festival November: Pembacaan Puisi Tiga Generasi (10 November 2001).
Pernah pula diundang oleh Masyarakat Sastra Jakarta untuk membacakan puisi pada peringatan Malam Perenungan Kemerdekaan di Gedung Kesenian Jakarta (16 Agustus 2001), diundang mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) ke IX di Johorbaru, Malaysia (April 1999), Dialog Utara VII di Thailand (Desember 1999). Selain itu, diundang kegiatan sastra dan baca puisi di sejumlah kota di Tanah Air: Jakarta, Pekanbaru, Banjarmasin, Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, Jambi, Bengkulu, Padang, Bengkalis, Bangka.
Selain menulis puisi, mantan redaktur budaya harian Lampung Post, Trans Sumatera, dan Lampung Online ini juga menulis cerpen dan esai sastra-budaya. Karya-karyanya dipublikasikan media massa Jakarta dan daerah antara lain Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Sinar Harapan, Lampung Post, Suara Pembaruan, Jawa Pos, majalah sastra Horison, Majalah Budaya Sagang, Amanah, Anita Cemerlang, Annida, Sabili, Ceria, Tabloid Nova, Tabloid Citra, Tabloid Fikri, Suara Merdeka, Wawasan (Semarang), Suarabaya Pos, Kedaulatan Rakyat, Bernas (Yogyakarta), Padang Ekspres, Haluan (Padang), Riau Post, Bangka Pos, dan lain-lain.
Karya-karyanya juga masuk dalam berbagai antologi tunggal dan bersama seperti Lukisan Ombak, Khalwat, Daun Daun Tadarus, Kembali Ziarah, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (Lembaga Advokasi Perempuan Antikekerasan DAMAR, Juli 2001), Resonansi Indonesia, Jakarta dalam Puisi Modern, Angkatan 2000, Horison Sastra Indonesia, Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Kompas, Agustus 2002), Purnama Kata (Sajak-sajak se-Sumatera, Dewan Kesenian Bengkalis, Januari 2003), dan Puisi Tak Pernah Pergi: Sajak-Sajak Bentara 2003 (Kompas, Juli 2003), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Anak Sepasang Bintang (FBA Press, 2003), dan Cerita-Cerita Pengantin (Galang Press, 2004).
Pada 2003 tiga bukunya diterbitkan: kumpulan puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, Yogyakarta, Januari 2003), Menampar Angin (Bentang Budaya, Yogyakarta, Oktober 2003), kumpulan cerpen Ziarah Ayah (Asy-Syaamil, Bandung, Mei 2003), dan Bulan Rebah di Meja Diggers (Beranda Jakarta, Agustus 2004).
Beberapa kali memenangkan sayembara penulisan cerpen dan puisi pada Sanggar Minum Kopi Bali, Selakunda (Bali), majalah Trubus, Teater Peron (Surakarta), dan Padang, dan terkini sebuah naskah monolog tentang anti-budaya korupsi masuk 12 besar (nominasi) Lomba Naskah Monolog Anti-Budaya Korupsi Nasional tahun 2004.
Kini Isbedy dipercaya sebagai Sekretaris Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Lampung dan Ketua I (Bidang Sastra dan Teater) Dewan Kesenian Lampung.

***



















Endorsement

“Kau tak pernah menyesal bercinta dengan istri orang?"
Agus menggeleng. Aroma alkohol menyengat dari mulutnya.
"Kau tak takut ketahuan suaminya?" Agus menggeleng lagi.
Seorang perempuan mendekati dan mencium pipinya.
Agus tersenyum bangga. Is geleng-geleng kepala.
“Hidup jangan monoton, Is. Angin saja tak selalu bertiup lembut. Nah, kenapa kita tidak seperti itu," katanya lagi. "Kita tak akan pernah tahu perasaan seorang penjahat, kalau kita tidak menjadi penjahat. Kita tak tahu bagaimana rasanya mabuk, kalau kita sendiri tak pernah minum alkohol. Kita juga tak bisa merasakan menjadi suami yang baik, kalau kita selalu menurut dan tak pernah selingkuh."
Benarkah?

Sebagai suami Is sangat setia dan tepat janji pada istri. Namun, suatu ketika, sang teman mengajaknya ke tempat hiburan, membawa perempuan lain pula. Sialnya lagi, terjadi pertengkaran di tempat hiburan, dan Is terluka oleh pecahan botol.

Luka di punggung Is sudah pasti tak akan bisa disembunyikan. Istrinya akan bertanya tentang oleh-oleh martabak yang dijanjikan sebelum pergi bekerja, lalu mengapa pulang larut malam, dan terakhir soal luka itu.

Apa yang bisa dia katakan?


Aku suka cerpen-cerpenmu. Liris sentimental tapi dalem banget.
(Agus Noor, sastrawan)

Membaca cerpen-cerpen Anda, aku tersadar, di mataku tambah lagi: Anda
seorang dai yang berdakwah dengan pena.
(Jauhari M. Zailani, prngamat politik/dosen UBL)

Cerpen-cerpen humanis ala Isbedy Stiawan ZS, bisa jadi, merupakan serpihan kenyataan
yang pernah dialami pembacanya. Isbedy merekonstruksinya ke dalam teks yang mengalir jernih, diselingi letupan, atau dihiasi nuansa puitis. Menyisakan ruang bagi kita untuk bercermin dan merenungi hidup ini.
(M. Arman AZ, penulis, Lampung)

1 larik puisi “Bulan Hanyut” yang berbunyi “sehabis hujan, malam hari, halaman rumahmu basah” karya Isbedy Stiawan ZS.
1) sejenis kolam di desa, biasanya untuk memelihara ikan dan mengambil wudhu. airnya sangat dingin karena lazimnya dari air gunung.
*) istilah lain dari meja judia, biasanya dipakai untuk istilah koprok dadu.

Tidak ada komentar: