26 September 2008

Perjalanan

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


SELEPAS salat magrib kutinggalkan kamar kontrakan yang baru kutempati lima bulan itu. Sebuah kamar—tepatnya bedeng—terletak di kawasan padat dan agak kumuh. Tak ada kenangan yang indah atau setidaknya menyenangkan selama menempati kamar yang cuma disediakan satu kasur di lantai. Dapur menyatu dengan kamar tidur sekaligus untuk ganti pakaian. Sedang kamar mandi di luar, meski tak jauh dari kamar kontrakanku.

Lebih lima tahun aku merantau di kota ini, hanya berpindah-pindah dari satu kontrakan ke lain kontrakan. Penghasilanku sebagai buruh di pabrik minuman kaleng tidak mampu mengontrak rumah yang layak. Selain kamar sekualitas yang kutempati sekarang.

Ah, kota besar ini hanya pantas diimpikan Indah apabila cuma untuk dikhayal. Tetapi kenyataannya sangat mengecewakan: kasar dan bisa menyasarkan. Mungkin kau pikir aku hanya menakut-nakutimu? Kau boleh coba merantau juga ke mari.

Di kota ini banyak orang yang lupa siapa dirinya. Siapa diriku? Begitulah, orang-orang tak lagi mampu mengenal dirinya, setelah menghirup udara kota ini yang berdebu dan menyantap makanan yang kadang entah diperoleh dari mana. Kau bisa memakan daging setelah diolah kembali dari sisa-sisa makanan di restoran. Atau ayam potong yang kau sangka baru saja disembelih, ternyata ayam mati lalu ditaburi kimia penyegar dan pengawet. Itulah yang kami makan berhari-hari, namun tidak pernah kami mau tahu prosesnya.

Kalau cerewet—tapi apa pentingnya kami cerewet di kota yang sangat individualistis ini?—jangan harap akan menikmati daging. Kebimbangan akan membuat kami hanya makan tempe dan tahu sebagai lauk nasi. Itu sama saja hidup di desa!

Tetapi tak pernah kusesali, apalagi tak membuat badanku terganggu. Menurut dokter di pabrik, para buruh sehat dan layak bekerja. Buktinya sudah lima tahun bekerja, pihak perusahaan tidak memecat kami karena masalah kesehatan. Kami bersyukur bahwa penyakit dalam tubuh tidak menampak saat didiagnose.

Jadi, apa perlunya kami cerewet soal makanan? Syukur bisa mendapatkan nasi dan daging setiap hari dengan harga murah. Untung kami bisa menabung sedikit dari penghasilan perbulan yang tak besar itu. Uang tabungan itulah yang kini kubawa pulang. Mudik setiap jelang lebaran.

Dengan tabungan selama setahun itulah di kampung nanti sebagai pembenaran bagi warga lain: kota besar terbuka lebar buat kita menjadi sukses. Itulah yang kemudian kembali ke kota, para perantau akan membawa pendatang baru. Memenuhi kota.

Ke kota ini aku dibawa Paklik Marto. Sewaktu mudik ia membawa banyak oleh-oleh. Ayahku tergiur, lalu mendatangi paklik agar sehabis lebaran mengajakku bekerja di kota.

“Keponakanmu sudah besar, tak baik menganggur di kampung. Kalau bekerja di kota siapa tahu dia sukses pula sepertimu,” kata ayah kepada adik kandungnya itu, Paklik Marto. Usiaku di bawah 10 tahun dari paklik. Saat diajak ke kota, aku berusia 24 tahun.

Paklik Marto tersenyum. “Gampanglah itu, mas,” katanya kemudian ringan. “Orang lain saja kutolong, keponakan sendiri masak kubiarkan menganggur di kampung!”

Aku baru tahu setelah di kota, Paklik Marto ternyata hanya penjaga keamanan sebuah diksotek. Ia juga nyambi pengojek untuk mengantar wanita-wanita di tempat hiburan itu jika ingin dibooking tamu ke hotel. Dari jasa antar-jemput para perempuan penghibur itu, ia mendapat tip yang lumayan besar.

Semula aku disuruh bekerja seperti itu. Jadi pengganti untuk mengantar-jemput para penghibur ke hotel-hotel yang sudah dipesan, sementara Paklik Marto asyik dengan kanrtu-kartu gaple: berjudi. Hanya kujalani empat bulan. Kemudian aku minggat dari kontrakan Paklik Marto. Aku bekerja di sebuah pabrik ember plastik. Dua bulan berikutnya aku pindah ke pabrik sepatu. Tidak tahan karena jam kerja yang tak tentu, akhirnya aku bekerja di sebuah pabrik makanan kaleng. Sampai kini.

Meski penghasilanku tak cukup untuk hidup membujang di kota, tetapi aku kerasan karena jam kerja yang jelas. Jika kerja lembur mendapat upah tambahan. Selain itu, aku tidak seperti Paklik Marto. Sangat tipis dengan perbuatan haram. Juga berdampingan dengan kekerasan. Tetapi, paklik mengingatkan aku agar pekerjaannya di kota tak boleh sampai ke telinga orang kampung. “Cukup kamu saja yang tahu. Ingat itu…” nadanya mengancam. Aku mengangguk.

Sejak itu aku tak lagi menemui paklik. Apa lagi aku mengontrak jauh dari kontrakannya. Bahkan saling berkabar pun tidak, padahal kami sudah memiliki handphone. Maka sewaktu aku mudik ini, aku tak perlu menghubunginya. Misalnya, sekadar basa-basi untuk mudik bersama atau menanyakan apakah ia mudik juga?

Cuma aku yakin Paklik Marto pasti mudik. Ia akan memamerkan oleh-oleh yang kadang sangat melimpah. Biasanya ia akan menggandeng salah satu perempuan di diskotek, karena tak ingin mudik ke kampungnya. Itu sebabnya, setiap mudik Paklik Marto selalu gonta-ganti pendamping. Ia selalu beralasan, ketika ditanya keluarga soal perempuan yang diakunya istri itu.

“Beginilah hidup di kota. Istri pun sering kawin cerai. Anggap saja belum dapat istri yang cocok dengan selera dan penghasilanku,” kata Paklik Marto. “Doain saja yang satu ini bisa langgeng sampai tua. Bukan begitu, sayang?” kata paklik sambil melirik perempuan di sisinya.

Ketika pertama kali aku diajak paklik, baru aku tahu. Sesungguhnya ia belum berkeluarga. Ia mengontrak sebuah kamar amat kecil dan kumuh. Tiga kali dalam tiga lebaran ia mudik bersama perempuan yang tiga kali ganti pula, sebenarnya perempuan-perempuan penghibur yang mangkal di diskotek wilayah kekuasan paklik. Aku tahu, dan paklik mengingatkanku supaya jangan membocorkan di kampung.

“Beristri di kota seperti ini sangat merepotkan. Paklikmu ini pinginnya praktis-praktis, yang gampang aja.”

“Tapi paklik….” kata-kataku tercekat di tenggorokan. Semula aku ingin membantah pendapat paklik yang kuanggap bertentangan itu. Aku ingin menasihati dia, mengawini perempuan baik-baik akan lebih baik dan banyak manfaatnya ketimbang membawa perempuan lain sebagai istri. Paklik Marto keburu berujar dan mencecar dengan ucapan-ucapan yang kurasa makin melebar.

Akhirnya aku diam. Geming. Setelah beberapa lama kami membisu, aku segera kututup tubuhku dengan selimut. Aku terlelap. Paklik Marto kemudian meninggalkan aku di kamar sendiri. Ia, seperti malam-malam lalu, berjudi kartu domino dengan teman-temannya.

Paklik Marto akan tidur pada pukul 04.20, biarpun ia menang atau kalah. Dan, ia akan membawa masuk ke kamar perempuan mana pun yang dia suka. Sungguh aku muak dengan perilaku paklik. Itu sebabnya aku segera minggat dari rumah kontrakan paklik suatu malam saat ia “bekerja” di tempat hiburan. Tampaknya kepergianku tak mengkhawatirkannya.

Mudik lebaran tahun lalu, aku jumpa dengannya. Ia bawa perempuan yang sangat kukenal saat aku menumpang di rumah kontrakan paklik. Perempuan yang pertama kali aku dikenalkan paklik, membuat jantungku bergetar. Terus-terang aku menyukainya. Tak berlanjut terlau jauh sebab paklik segera melarangku. Menurut paklik, Santi tak pantas menjadi pendampingku. Ia bukan wanita baik-baik.

Aku tahu itu. Santi juga sudah berterus-terang padaku. Ia jujur padaku, bahwa ia pernah bersuami dan sudah mempunyai seorang anak lelaki yang kini diasuh oleh ibunya di Purwakarta. Tanpa sepengetuhan paklik, kami pernah menonton film dan jalan-jalan ke kebun binatang. Saat itulah kutahu kalau Santi juga menyukai sifatku.

“Tapi, aku tak mungkin mencintaimu. Usiamu 2 tahun di bawahku. Lagi pula apa kata paklikmu kalau kita pacaran, apalagi sampai menikah. Ah, buang jauh-jauh pikiran seperti itu dari benak kita,” ujar Santi sambil merebahkan kepalanya di bahu kiriku. Sudah tiga jam kami menikmati sejuknya udara di kebun binatang.

Aku hanyalah lelaki tanpa memiliki keberanian dan punya banyak kata rayuan. Karena itu aku cuma menyetujui setiap ucapan Santi. Meski, diam-diam, kami sering mencuri untuk bertemu. Paklik Marto sepertinya tidak tahu. Atau, jangan-jangan sebenarnya ia tutup mata dan telinga soal aku dan Santi?

Setelah aku pindah kontrakan cukup jauh, aku benar-benar bisa melupakan Santi. Mungkin ia kembali kepada paklik atau barangkali ia dapat pekerjaan lain lebih baik dan tidak haram. Entahlah…

*

BIS yang membawaku sudah memasuki perut kapal fery. Segera aku turun untuk mencari tempat yang nyaman di anjungan kapal. Aku ingin menikmati malam ini dalam suasana perjalanan laut yang kurasa sangatlah indah. Bintang-bintang yang bertaburan di langit dan sedikit dicahayai bulan penghabisan ramadan, bagaikan sebuah hamparan lukisan mahakarya.

Aku memesan segelas kopi sekadar menghangatkan tubuh. Angin laut malam hari menyerap ke seluruh pori-poriku. Sebatang rokok kembali kuhisap. Asapnya segera kuhembuskan ke udara. Benar-benar kunikmati perjalanan laut ini. Kuserap hingga ke dasar hatiku setiap keindahan yang ada di laut lepas. Lampu kapal yang melaju atau rambu-rambu di laut bagaikan kunang-kunang yang beterbangan di pematang.

Ketika aku melihat Paklik Marto dan Santi menaiki tangga menuju anjungan, bergegas aku mencari perlindungan. Ah, rupanya kami satu kapal. Gumamku. Aku berharap mereka tidak melihatku. Kenikmatanku meresapi keindahan malam di anjungan kapal jadi terganggu. Aku kembali ke bis dan tidur.

Jika tak ada aral tepat malam lebaran, kira-kira pukul 11 lebih, aku sudah tiba di rumah. Ayah dan ibu pasti menyambutku dengan sukacita. Adikku yang bungsu akan segera menyaber tas bawaanku ke dalam, kemudian mengobrak-abrik isinya: mengambil oleh-oleh miliknya. Untuk adikku, kini Marno sudah berusia 12 tahun, sengaja sudah kuikat rapih. Ia segera tahu mana kepunyaanku

.

Setiap mengingat sambutan dari keluarga seperti itu, rasanya aku ingin mudik tiap pekan. Begitulah cara orang kampung menyambut perantau pulang. Seakan setiap kepulangan adalah pesta pora. Setiap mudik sama artinya berbagi bahagia atas keberhasilan setahun bekerja di kota. Dan, hari lebaran tak hanya melepas rindu dan meluapkan maaf-maafan. Tetapi juga saling berlomba menunjukkan kesuksesan. Siapa paling melimpah bagi oleh-oleh, pertanda ia dianggap lebih sukses dari warga lainnya. Maka ia akan bertabur puja-puji dan sanjungan.

Paklik Marto selalu memetik semua itu. Sebab ia paling banyak menabur oleh-oleh. Membagi-bagikan uang selepas salat idul fitri. Berinfak untuk masjid satu-satunya di kampungku. Paklik paling ramai didatangi warga, terutama malam hari kadang begadang hingga pagi sambil bermain kartu. Paklik menyediakan berbungkus-bungkos rokok, panganan, dan kopi.

Dulu, diam-diam dari ruang dalam aku menyaksikan paklik selalu mengumbar senyum dan tawa. Ia bagai raja dikelilingi para hamba. Sedangkan perempuan yang diperkenalkan sebagai istrinya kepada tiap tamu setia duduk di sebelahnya. Bahkan tak jarang ikut pula tak tidur.

Sebelum kutahu siapa paklik sesungguhnya di perantauan, sungguh aku sangat mengaguminya. Aku sering iri: kapan aku sesukses seperti Paklik Marto? Tiap mudik disambut gembira, begitu kembali ke kota dilepas lambai tangan dan tangisan.

“Mudah-mudahan lebaran tahun depan, aku masih bisa menyambutmu ya Marto…” itulah ucapan tetua di kampung melepas kepergian paklik. Terkadang ketika lebaran kembali datang, memang ada yang sudah meninggal dan tidak lagi bisa menyambut paklik pulang.

Sudah empat kali aku mudik belum juga menyamai kesuksesan paklik. Karena itu Paklik Marto masih mendapat sambutan dari orang kampung ketimbang aku. Soal ini, ayah hanya tersenyum dan membesarkan hatiku: “Paklikmu sudah bertahun-tahun bekerja di kota, wajar saja ia disambut setiap ia mudik. Suatu saat kau pun akan begitu, makanya kau harus bergiat bekerja.”

Dalam hati tak punya niat sedikit pun kuamini harapan ayah. Cukuplah aku tidak menjadi peminta-minta di perantauan. Tidak pula terhina di kampung. Bukan pujian berlebih yang kuharap, sambutan ikhlas ketika aku mudik dan doa tulus kedua orang tuaku saat balik ke kota.

Ya! Ayah dan ibuku menyambut kedatanganku. Aku benar-benar lelah setelah lebih 26 jam dalam perjalanan mudik. Mungkin keringat dari tubuhku sudah sangat tak sedap. Suara takbir dari masjid dekat rumahku masih terdengar. Menyentuh kalbu.

Adikku, seperti biasa segera menyerbu tas yang kubawa. Secepatnya ia keluakan isinya. Setelah mendapatkan yang dicari, ia tinggalkan tas yang sudah muntah isinya. “Terima kasih ya mas,” ucapnya kemudian masuk ke kamarnya.

Ibu, dengan penuh kasihsayang, seperti biasanya melepas kancing bajuku. Ibu memang selalu begitu. “Bajumu sudah bau keringat. Ayo, segera ke kamar mandi. Basuh badanmu, setelah itu makanlah. Ketupat dan sayur opor ayam kesukaanmu sudah ibu sediakan tuh,” kata ibu dengan suara amat menyejukkan hatiku.

“Tadi, paklikmu mampir. Dia…”

“Paklik sudah sampai? Jam berapa paklik datang?”

“Ia melihatmu di kapal. Katanya kalian satu kapal. Tetapi, kata paklik, waktu ia ingin mendekatimu kau sudah kembali ke bis. Benar?”

Aku mengangguk. Kukira paklik tak melihatku di kapal tadi. Ternyata matanya yang tajam tak bisa alpa setiap ada gerak. Ah, persetanlah. Aku memang sengaja tak mau bertemu dengan paklik dan Santi, itu saja.

“Mungkin juga, maklum penumpang sangat penuh. Mungkin paklik melihatku di kapal tadi. Paklik bersama istrinya?”

“Ya, dengan bibikmu. Bibik Santi. Sepertinya paklikmu akan lama dengan istrinya. Semoga saja tidak kawin cerai lagi. Bibikmu itu tampaknya mencintai sekali paklik,” ujar ayah lagi.

Ingin sekali aku tertawa. Menertawakan Paklik Marto. Sebab hanya aku yang tahu bagaimana sesungguhnya paklik di kota. Namun di kampung ia selalu disanjung. Paklik mendapat tempat di hati ibu-ibu jompo dan para janda karena kerap membagi-bagi kain dan mukena. Pengurus masjid setia menanti infak dan zakat fitrah dari paklik. Anak-anak akan menadah tangan pada hari lebaran. Dan teman-teman sebaya paklik akan menemaninya bermain kartu setiap malam selama berada di kampung.

Para pengemis yang berbaris di sisi lapangan saat salat idul fitri selalu mendapat rezeki lebih dari paklik. Saat salat idul fitri itulah, Paklik Marto seperti saleh sekali. Kopiah putih, baju koko panjang di bawah lutut, sarung yang menyapu tanah, sorban melilit di lehernya, serta sajadah dan tasbih…

Allahu akbar walillahi ilhamd. Takbir, tahmid, dan tasbih merasuk ke relung hati.


© 21 ramadan 1429

Ibu, Kampung, dan Pulang


Cerpen Isbedy Stiawan ZS

KARENA ibu, aku punya kampung yang selalu menyadarkan aku untuk pulang. Jadi, ibarat pepatah setinggi dan sejauh bangau terbang akan kembali ke kubangan, maka sejauh-jauh aku merantau akan pulang ke kampung halaman. Di kampung aku dilahirkan, di kampung pula aku punya ibu.

Ibu hanyalah busur dan aku adalah anak panah yang melesat jauh. Meninggalkan kampung kelahiran, melepas ariari di dekat rumah. Itulah yang akan mengingatkan aku. Akan selalu mengusik kenanganku agar merindukan kampung. Mengangeni ibu. Ya, bukan bapak. Meski ia adalah kepala keluarga. Meski karena bapak yang menikahi ibu dan membenihi ke rahimnya, sehingga aku terlahir di dunia ini.

Sebab itu, tak mungkin aku akan mudik sekiranya ibu tiada mengingatkan aku. Jika ibu yang selalu membayang dalam angan dan kangenku. Betapa pun aku jauh, kini, merantau. Laut kuseberangi. Udara kuterbangi. Ya! Sejak 10 tahun aku menetap di Papua, sebab tugas yang tak mungkin kutolak.

Dan, 10 kali pula aku pulang ke kampung kelahiran. Sepuluh kali juga aku mencium tangan ibu, bersungkem di kedua pahanya. Bapak, mungkin mendendam iri melihatku begitu hormat dan menyayangi ibu, tetap tak bisa berbuat apa-apa. Memang sudah takdirnya, bapak hanya sumber namun ia bukan muara. Segala muara ada pada ibu.

Sebulan lalu ibu berkirim surat padaku. Ia sangat menginginkan aku pulang pada Idul Fitri. Dalam suratnya ibu mengharap agar aku pulang sepekan sebelum lebaran. Alasan ibu untuk menghindar kepdatan arus mudik dan itu bisa terhambat di perjalanan. “Kalau kamu pulang jauh-jauh hari apalagi tiket sudah kamu pesan sebelum puasa, selain harganya tidak mahal juga kamu tidak macet di jalan,” pesan ibu dalam surat yang ditulis tangannya. Tulisan yang amat sulit terbaca kecuali sudah faham sekali garis tangan ibu.

Aku membalas surat ibu. Kukatakan akan kuupayakan pulang pada lebaran nanti. Kataku lagi, tiket pesawat dari Papua ke Jakarta akan kupesan sepekan lagi. Soal memesan tiket bagiku tak ada masalah, kataku, sebab aku punya teman yang bekerja di bandara. Hanya yang masih menjadi soal, aku belum punya uang cukup. Gajiku tinggal sedikit karena terkuras saat istriku diponame karena kanker payudara.

“Ibu jangan khawatir, Anto berjanji akan pulang. Walaupun saat ini belum ada uang, karena habis untuk operasi Parni di rumah sakit. Mungkin aku pulang tidak membawanya, sebab berhitung ongkos. Anto berharap ibu tidak kecewa kan kalau Parni tak ikut serta?” tulisku lalu kututup dengan “hormat dan peluk kasih Anto dan Parni buat ibu dan bapak.”

Ibu pasti sangat gembira menerima balasan suratku. Apalagi adal kalimat Anto berjanji akan pulang. Janji itu akan dipegang selalu oleh ibu, dan ia akan terus menagih sekiranya aku tak jadi. Pada surat berikutnya, ibu kembali mengingatkan aku agar segera dan jangan sampai lupa memesan tiket pesawat.

Sepertinya aku anak kecil di matanya. Mesti diingatkan. Harus dikirimi surat agar aku tidak lupa membeli tiket jauh-jauh hari. Mungkin semua itu sebentuk kangen ibu, segaris panjang ungkapan kasihsayang dan cinta ibu kepadaku. Entahlah.

Ibu memang mengingatkan aku pada kampung halaman. Kampung di mana aku dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan. Desa kecil jauh dari pusat kota di Kabupaten Tulangbawang (Lampung). Sebuah dusun—lebih tepat ketimbang kampung—yang dihuni para transmigran Jawa lalu berasimilasi dengan penduduk asli, dan ada yang kemudian menciptakan komunitas baru dari dua adat berbeda—dari suatu pernikahan.

Dari hasil asimilasi itu, hubungan kekerabatan menjadi karib dan saling membantu. Tidak pernah kudengar apatahlagi kurasakan terjadi pertikaian antarwarga beda suku. Tiada lagi sebutan “kamu pendatang dan kami penduduk asli” atau sebaliknya lalu meletup kerusuhan, seperti terjadi di daerah-daerah lain. Tak pula warga asli merasa punya hak hidup lebih dibanding para transmigran.

Seakan kami sepakat: tanah, air, dan hutan belantara adalah milik bersama. Karena itu secara bersama pula kami mengolah demi kehidupan kami dan turuntemurun. Tinggal lagi saling berbagi sesuai kebutuhan dan adil. Bertahun-tahun dan turun-temurun kehidupan bermasyarakat di kampung halamanku itu berjalan damai.

Sampai suatu ketika di kampung kelahiranku dipacak tonggak sebatas area yang tidak boleh diolah masyarakat. Ternyata beratus-ratus hektar tanah kami dicaplok pengusaha dari Jakarta. Konon para tauke itu dekat dan sekaligus merangkul keluarga Soeharto—sang presiden. Tanah yang dulunya bertahun-tahun kami olah sebagai hutan karet, palawija, ladang dan sawah padi, kelapa, kopi, cokelat, ataupun damar. Sertamerta dan sangat lekas telah berubah jadi ladang tebu. Dan, nun di pelosok sana pabrik besar dan megah siap mengolahnya jadi gula pasir. Maka rumah-rumah bedeng dan rumah-rumah yang cukup baik berdiri, menggantikan ladang berhektar-hektar milik masyarakat.

Semenjak itu kecemburuan sosial pun menyemayami diri penduduk. Dari pencaplokan lahan yang hanya dibayar murah, ditambah pula hanya segelintir penduduk di kampung kelahiranku bisa dipekerjakan di pabrik gula itu dan yang lainnya dibiarkan menganggur tanpa garapan ladang. Akhirnya kalau tidak menjadi preman kampung, tentu mengais nafkah di kota.

Syukurlah aku dari keluarga berpenghasilan lumayan: bapak adalah guru di SD negeri dan PNS, sedangkan ibu membuka warung kecil di depan rumah setelah ladang kopinya dibeli murah untuk pabrik tersebut. Karena itulah aku bisa melanjutkan sekolah di teknik listrik di kota provinsi. Selesai dari skolah teknik menengah aku kuliah dan lulus sebagai sarjana teknik listrik. Ijazah sasrjana itulah yang mengantarkan aku bekerja di PLN Papua ini.

Tentang kampung kelahiranku akhirnya tak banyak kuketahui. Berbagai masah buntut dari hadirnya pabrik gula itu memicu penyerbuan warga asli di kampung itu sampai menelan korban tewas dan luka-luka, tak banyak yang sampai ke telingaku. Apa lagi sengaja tidak sampai beritanya ke media cetak dan elektronik. Soal demo minta ganti rugi yang layak hingga kerusuhan di lahan pabrik gula tersebut tidak banyak terdengar di kota provinsi. Itulah kelicikan pemilik modal. Mereka bisa menyumbat setiap lubang pemberitaan.

Kini, karena ibu aku masih ingat dan ingin mudik. Aku rindu sekali menikmati alam kampung halamanku. Sebab, bila mengenang-ngenang betapa sakitnya keluargaku saat lahan kami disabot pemilik pabrik gula, tak akan mungkin aku selalu punya kerinduan untuk pulang. Setidaknya dalam pulang, aku bisa menyaksikan lambaian pucuk pohon tebu manakala diterpa angin. Aku juga menikmati tangan-tangan yang cekatan para buruh ladang tebu saat memanen dan menanam tebu. Para buruh itu—baik lelaki ataupun perempuan—bagaikan para buldoser yang membabat belantara. Tahukah bahwa para buruh tebu tersebut hanya sedikit bekas pemilik tanah?

*

IBU tak perlu cemas. Aku sudah memesan tiket pesawat dari Papua ke Jakarta. Suatu perjalanan udara yang sejatinya melelahkan juga. Pesawat akan tack off dari Papua dan transit di Timika dan kemudian menuju Bandara Hasanudin di Ujungpandang. Beberapa menit setelah transit lalu mengudara lagi ke Cengkareng. Dari Bandara Soekarno-Hatta aku bisa menggunakan travel atau menggunakan bis ke Gambir, dan malam harinya aku gunakan bis Damri lagi ke Bakauheni. Ah! Aku benar-benar melalui perjalanan udara, darat, laut, dan kembali darat.

Selat Sunda akan ditempuh kapal fery selama 3 jam—itu jika cuaca dan gelombang dalam keadaan baik—akan kunikmati penyeberangan laut dengan kenikmatan tiada tara. Meski hal ini bukan pertama kali kulakukan, tapi mengapa setiap menikmati perjalanan laut sererasa aku memang keturunan dari nenekmoyang pelaut! Tatkala kapal fery membelah laut, seakan lagu Nenekmoyangku Seorang Pelaut mengalun dalam getar bibirku.

“Kau boleh berbangga sebagai anak pelaut. Kau boleh merasa kaya memiliki banyak laut dan pulau. Tetapi, kalian tak berkutik tatkala beberapa pulau milik negaramu dicuri Singapura dan Malaysia!” sindir Mark Clain, temanku berkewarganegaraan Amerika. Ia bekerja di Preford.

“Tapi aku tetap akan bangga, karena negara kami tidak pernah mencuri milik negara lain!” balasku. Sengaja intonasi suaraku ditekan dan sedikit kencang. Semoga saja, temanku orang Amerika itu juga tersindir oleh perkataanku. Kau tahu, preford atau Caltex dan entah apa lagi namanya, adalah milik Amerika yang menguras kekayaan Indonesia.

Cuma Mark Clain tak mersepon lagi. Ia hanya tersenyum. Kurasakan senyumnya sangatlah kecut. Mungkin itu yang membuat suaranya tercekat. Namun pertemanan kami tidak terganggu. Ia masih sering meneleponku. Kadang mengajakku menghabiskan malam minggu jika ia ke Papua untuk berlibur. Clain juga kenal baik dnegan Parni, istriku.

Yuskar, temanku yang mengepalai PLTD tampak tak menyukai Clain. Terasa sekali ketaksukaannya ia tunjukkan, misalnya, tak pernah menatap lama Clain saat mengobrol. Atau mengajak bicara dan bercanda. Yuskar benar-benar kaku saat berhadapan dengan Clain. Bujang tua itu memang selalu kaku dan menunjukkan wajah masam. Mungkin itu pula menyebabkan ia belum juga berkeliarga?

Istriku punya olok-olok khas buat Yuskar. Kalau ada bujang kaya dan punya jabatan, tapi belum pula bisa menundukkan perempuan belumlah ia pantas disebut lelaki. Belantara Papua bisa bertekuk lutut padamu, tapi mengapa kau tak bisa juga menundukkan hati perempuan? Istriku pernah menawarkan pada Yuskar seorang perempuan asli Lampung dan mantan pacarku sewaktu bekerja di Bandarlampung, tetapi bukannya Yuskar yang enggan melainkan sang muli1) langsung menyahut: “Maaf aku tak tertarik. Lagipula aku sudah punya dan kami siap menikah.”

Istriku masih merayu Angti, apa salahnya berkawan dulu—taaruf—nanti kalau ada kecocokan bisa berlanjut. Kenapa tidak? Angti—gadis asli Lampung itu—semakin berkelit apalagi setelah melihat tubuh tambun Yuskar yang dikirim melalui email: “Terima kasih tawarannya. Tetapi, aku ingin setia pada calon suamiku. Bagaimana kalau mbak melihat kak Mamat tak setia?”

Istriku tertampar. Ia pun tak lagi berani menjodohkan Yuskar pada Angti. Yuskar juga tak lagi mengirim kabar melalui short massage service dan email, walau pada hari ulang tahun Angti ia mengirim jam tangan bermerek dan dompet yang juga berlabel mahal.

Yuskar tetap membujang. Sebab ibu dan bapaknya sudah tiada lagi di dunia, ia pun seperti kehilangan peta untuk kampung kelahiran. Selama 5 tahun terakhir ia tak lagi mudik ke Bone, kampung halamannya. Ia berlebaran di kota Papua atau kerap bersama temannya yang bekerja di pengebotran minyak lepas pantai, menghabiskan hari libur Idul Fitri di pengeboran minyak.

Sedangkan aku akan mudik. Sebab dengan pulang aku akan berjumpa ibu. Jika aku bertemu ibu, ingatanku pada kampung kelahiranku makin mejadi-jadi. Aku begitu yakin, tanpa adanya Bakung—dusun yang menyabut kelahiranku—dalam peta dunia tak akan ada aku, barangkali. Dan setiap menginjakkan kaki di tanah Bakung, aku serasa bangau yang jauh dan tinggi terbang kembali ke kubangan pula.

Maka izinkan aku ibu, selalu mengingatmu. Berikan aku ingatan untuk selalu rindu padamu, perempuan perkasa yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Makin kurindu kau ibu, kian karib aku pada kampung halaman. Dengan kampung kelahiran, aku mudik. Mengenal kata pulang. Setiap pulang maka kesadaranku pada pergi tak bisa kuelakkan, meski kepergian berarti perhi dan menakutkan.

“Ibu, aku sudah sampai di depan pintu rumah,” teriakku setelah berkali-kali kuketuk pintu. Tiada jawaban. Aku mulai dirasuki perasaan gelisah. Jantungku kencang berdetak.

“Bapak….”

Lelaki tua, bapakku, menyeret sendalnya mendekati pintu. “Kau sudah sampai nak? Masuklah.”

“Mana ibu, pak?”

“Dua hari lalu…”

Aku tahu ke mana arah bicara bapak. Apalagi suara bapak segera tercekat. Kelopak matanya basah. Aku tak punya alasan menyalahkan bapak mengapa tak secepatnya mengabarkan padaku, sebab mudikku sudah terjadwal di dalam tiket penerbanganku: 23 September 2008. Tak mungkin dimajukan. Ya. Aku tak bisa memandikan dan mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya. Pantaslah ibu memaksaku berkali-kali agar aku segera memesan tiket dan sampai di rumah jangan mepet Idul Fitri. Ibu menginginkan sekali aku segera mudik, tapi ibu lebih dulu pulang ke haribaan Allah.

Lamban panggung2) layaknya perahu kecil di tengah lautan, ketika aku menyeret kakikku…

Lampung, 2008



1) sang gadis (bahasa Lampung)

2) rumah panggung (bahasa Lampung), rumah khas orang Lampung

Menunggu Lamaran

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

Setiap keinginan pulang menyeret langkahnya, selalu itu pula wajah ibu yang berharap ia datang bersama seorang pria: “Ini calon suamiku, ibu.” Tetapi sudah berkali-kali ia pulang—sebab ia sudah bekerja di Surabaya—tak juga ditemani seorang pria. Jangankan kekasih, apalagi calon suami yang akan melamar pada ibunya.

Ia maklum. Ibu sudah tua dan anak gadis terakhir yang belum berkeluarga. Ketiga kakaknya perempuan sudah berkeluarga dan bahkan sudah dikarunia beberapa anak, sementara satu-satunya kakak lelaki sudah menikahi perempuan Jawa dan menetap di Purwokerto meskipun tahun 12 rumah tangganya belum juga mendapat momongan.

Sebagai gadis berdarah Lampung—orang Lampung menyebut muli—memang “berharga” tinggi jika dilamar secara adat. Ada kelipatan-kelipatan. “Niku muli sikep1) mesti dilamar lelaki dari keluarga bukan sembarang,” kata ibu beberapa tahun lalu, manakala ia masih berusia 22 tahun. “Siapa kekasihmu, apa dia siap melamarmu 45 juta ke ibu,” imbuh ibu, entah serius atau bercanda.

Mendengar “harga bagi dirinya” yang yang keliwat mahal itu, ingin rasanya ia meledakkan tawanya. Apakah di zaman yang sudah demikian global, masih ada orang yang masih berkeras mempertahankan adat yang cenderung menyulitkan? Apakah adat lebih tinggi dari agama? Ia membatin.

“Tapi ini adat Sarah? Kita tak bisa jalani hidup ini tanpa bersandar pada adat, jika kau ingin selamat. Adat adalah alamat bagi kita kembali,” kata ibu menasihatinya. “Adat kita memang perempuan harus dilamar. Dan bergengsi atau tidaknya seorang muli Lampung dari besar atau kecilnya ia dilamar,” ibu menambahkan.

Ayah tak mengeluarkan kata-kata. Sebagai orang yang bukan berdarah Lampung dan tiada dikenai adat sewaktu melamar ibu lantaran sebagai perantau di Lampung ia tak bersaudara dan tak berpunya harta, sehingga ia tak terlalu faham soal adat. Meski begitu, ayah selalu mendukung setiap kata yang keluar dari bibir ibu.Itulah yang membuat kami, anak-anaknya, selalu menilai ayah sebagai lelaki tak punya khuluk. Ibarat pucuk pohon, ia mengikut ke mana angin menerpa.

“Aku mengerti ibu, adat tak boleh hilang karena itu harus lekang oleh terpaan zaman. Namun, harga yang patok bagi diriku sangat tidak logis. Keluarga kita akan ditertawakan orang, dan aku akan jadi perawan tua,” jawabnya hati-hati, khawatir ibunya akan tersinggung.

Ia punya pengalaman pahit. Sewaktu ia sangat mencintai dan pemuda itu juga mencintainya, tapi akhirnya berantakan di tengah jalan. Pemuda bersuku Makasar itu tak mungkin melamarnya ketika ia mengatakan, “Ibuku meminta lamaran 45 juta, apa kau sanggup?”

Jawaban yang didengar sangat menyakitkan. “Kalau 45 juta aku bisa mendapatkan 7 gadis Jawa dalam sekali pernikahan!” kata pemuda itu sambil tertawa. Waktu itu ia menganggap hanya bercanda, tapi setelah tiada kabar sibuk pada pekerjaannya di Gorontalo barulah ia mahfum kalau hubungan cintanya telah selesai.

Ia berat pada keluarga. Kalau tak, bisa saja ia sebambangan (kawin lari). Ia cukup meninggalkan selembar surat yang menjelaskan kepergiannya karena dilarikan atas kesepakatan bersama ke rumah keluarga kekasih. Sehingga orang tua perempuan tidak gundah. Kemudian beberapa orang yang diutus keluarga pria akan mendatangi keluarga perempuan selain menjelaskan keberadaan perempuan juga meminta restu atau persetujuan wa.li untuk dinikahkan. Sebambangan tak harus lagi ada uang lamaran yang mengikat, namun soal mahar tetap berlaku. Cuma itu tak dilakukannya. Ia lebih berat memilih keluarga ketimbang mengikuti rasa cintanya.

Sejak itu ia enggan pulang walau di saat Idul Fitri. Ia siapkan bebagai alasan yang setiap tahunnya tak akan pernah habis dan usang, demi untuk tidak mudik. Ibu memang tetap sabar dengan meneleponnya agar ia pulang. “Kamu sudah dua lebaran tak pulang, ibu kangen. Kakak-kakakmu selalu menanyakan keberadaanmu, jadi ibu sudah tak punya alasan lagi,” kata ibu dalam telepon Idul Fitri tahun lalu.

Kalau kini ia pulang bahkan larut dalam antrean dan desak-desakkan dengan para pemudik lain, semata karena rindu pada wajah ibu. Itu sebabnya sejak ia tinggalkan rumah yang dibelinya dari gaji dan ditempati sendiri itu, sudah ia tepis ucapan ibu yang sudah sangat basi itu: “Apa sudah dapat calon suami yang cocok? Dia mau melamarmu 45 juta?”

Ia segera menepis. Benaknya harus bersih dari ihwal yang membuat ia selalu urung pulang. Ibu harus tahu kalau aku siap menjadi perwan tua, jika adat lamaran maish ia pertahankan.

“Ibu kira wajar, ibu mana yang membiarkan anak gadisnya dinikahi orang yang tak jelas berapa ia punya harta? Itulah adat untuk menerka, itu pula adat demi mengangkat harkat dan martabat muli di hadapan lelaki!” ibu masih pada pendiriannya. Ibu sepertinya tak bisa hidup tanpa dipandu oleh adat, tetapi ibu lupa kita ayah menikahinya tidak melalui proses adat yang cenderung menghambat.

“Maka itu ibu tak mau terulang pada anak-anak ibu, terutama padamu Sarah,” kini suara ibu pelan dan bergetar. “Karena ibu hanya bersandar pada cinta saat dinikahi ayahmu, ibu cuai pada adat. Memang kami bisa menikah, namun ibu terusir dan tak diakui oleh keluarga besar. Bertahun-tahun ibu hidup tanpa menjenguk dan didatangi keluarga, kami pun berpindah-pindah tempat tinggal. Untunglah ayahmu ligat dalam urusan bekerja, sehingga kehidupan kami cepat naik. Kau tahu orang bisa kembali dihargai, salah satunya karena berharta juga.”

Setiap kalimat yang meluncur seakan ia menatap lekat ibu mencibir. Dan, memang setiap keluarga ibu akan dilamar, ibu akan selalu ingin tahu berapa besar lamaran dan apa maharnya. Jika diketahui kecil, ibu acap tak datang saat pernikahan berlangsung.

Kenyataan itulah yang membuatnya bimbang setiap lelaki bertandang. Belum pula pemuda yang datang menyatakan cinta, bayangan besar lamaran yang diajukan ibu selalu mengganggu pikirannya. Maka ia selalu hambar pada setiap lelaki. Ia juga tak bisa mengabaikan keluarga, sebab ia percaya bahwa setiap perantau dalam kehidupan yang global ini pun, tiyuh2), ibu, keluarga tak akan dapat dilupakan. Ia akan mengiringi setiap langkah perantau.

Dan ia masih akan selalu ingat pribahasa yang mengatakan “setinggi-tinggi bangau akan terbang, ia akan pulang ke kubangan pula”, jadi tidak mungkin ia akan melupakan tiyuh, ibu, dan keluarga. Ia akan ke pangkuan mula ia melangkah. “Biarpun aku belum punya kekasih, apa lagi calon suami.”

“Berapa usiamu kini Sarah?” ibu tiba-tiba bertanya jelang berbuka puasa sore ini, setelah beberapa jam ia tiba. Apakah ibu lupa atau pura-pura lupa tentang usia anaknya sendiri? “Berapa?” ibu mengulang.

“Dua pulah enam tahun lebih dua bulan, ibu,” jawabnya santai. “Belum begitu mengkhawatirkan.”

Ibu mendelikkan matanya. Ayah hanya mengernyitkan dahi.

“Seharusnya kau sudah bawa momongan,” ibu mendesis.

“Kalau aku punya suami dari keluarga tak berharta, tapi….”

“Jangan menyindir ibu, sepertinya kau ingin menyudutkan ibu ya Sarah?” mata ibu terbuka, wajahnya tampa memerah. Ayah mulai tak elok di tempat duduk.

“Aku tidak menyindir, tak pula hendak menyudutkan ibu,” jawabnya seraya menundukkan pandangan. “Kenyataannya, aku memang belum punya kekasih. Belum mampu membahagiakan dengan membawa pria menghadap ibu dan ayah agar melamarku. Dengan uang lamaran empat…”

“Sudahlah Sarah, jangan ulangi lagi kata-katamu itu,” ibu mengingatkan. Sarah mengatup bibirnya rapat-rapat. “Mungkin ibu salah, barangkali sudah nasibmu di usia 26 tahun kau belum juga berkeluarga. Sekiranya…”

Kini giliran Sarah memelas. Duka amat tinggi bersemayam di hatinya. Sampai kini pun ia belum mampu membawakan menantu yang dapat meluluskan harapan ibu.

“Tapi bu, memang Sarah…”

“Kau tak salah. Ibu terlalu banyak meminta darimu, akibatnya kau belum juga dilamar. Kau hidup sendiri di kota besar, mungkin akan menjadi muli toho3) dan lapuk dimakan umur. Ibu tak mau melihat nasibmu seperti itu, tak rela meninggalkanmu dalam hidup sendiri. Kamu harus segera menikah, terpenting calon suamimu mau bertanggung jawab dan setia.”

“Aku belum ada pilihan sekarang. Lagipula aku masih kerasan hidup tanpa bertanggung jawab pada suami dan anak. Di kota besar keruwetan hidup saja banyak, aku tak mau lagi disibukkan hal-hal yang menggunung di dalam rumah tangga,” ujarnya. Sepertinya ia kini menemukan suatu keberanian untuk tidak bergantung pada rumah tangga.

“Sarah, berkeluarga itu adalah pilihan yang tak bisa kita tolak. Itu fitrah manusia yang ditakdirkan sebagai peramai bumi ini,” ibu berpesan.

“Cuma bumi ini keliwat ramai, sudah sangat sumpek. Sehingga untuk mendapatkan rezeki yang tak seberapa pun, kita harus sikut-sikut dan mencuri,” tukasnya ringan.

“Kau ngomong apa?” suara ibu berat dan agak keras. “Katakan pada ibu kapanpun sekiranya kau sudah ada pilihan calon suami, ayahmu akan menikahimu,” lanjut ibu setelah itu menuju ruang tengah.

“Tanpa pakai adat lamaran kan, bu?”

Ibu tak lagi mendengar. Ayah tersenyum.

*

Dua kali Idul Fitri tak mudik, keluarga besar ibu dan tetangga berdatangan hanya ingin melihat serta menanyakan kabarnya. Sarah cuma tersenyum dan menjawab apa adanya setiap pernyataan tentang kebarnya di perantauan. Ada tetang atau keluarganya yang mengharap kesediaannya mau membawa anak gadisnya bekerja di kota besar, tapi ada pula yang tak segan meminta oleh-oleh untuk lebaran.

Beberapa lembar amplop berisi uang sudah ia sebar untuk keluarga dan tetangga-tetangga dekat. Juga oleh-oleh pakaian, kue, dan aksesoris saat lebaran pun sudah dibagikan. Mungkin hanya sebagian tetangga yang tak kebagian, karena ia terlambat datang dan barangnya sudah habis.

Sejak pulang dari salat Idul Fitri, ia tak henti menyalami dan menyiapkan minuman. Terasa letih sekali. Tetapi ia selalu tunjukkan bahwa ia tetap segar.

“Orang kota selalu bugar ya? Seperti Sarah ini. Padahal, berapa usiamu?” tanya Menak4) Sangaji sembari menguar senyum.

“Iya ya menak, coba kalau Sarah masih tinggal di kampung pasti badannya sudah layu seperti ibu-ibu di sini. Ngedoyot,” sergap Batin5) Halimah.

“Ah, bisa saja. Umurku sekarang sudah 26 tahun lebih kok,” jawabnya santai. “Memangnya kenapa Menak? Mau menjodohkan aku dengan…”

“Hust. Kalau menak punya anak menganai6) tak sanggup pula melamarmu hehehee,” ujar Menak Sangaji tertawa hingga gigi-gigi depannya yang berlapis emas seperti sengaja dipamer. “Masih kan ibumu menjualmu 45 juta?”

“Ibu tak menjualku, Menak!” Sarah tersinggung. “Tapi adat yang sudah berabad-abad orang kampung ini sengaja memualiakannya, karena menganggap setiap adat adalah warisan paling luhur!” lanjutnya. Sengaja suaranya ditinggikan agar keluarganya dan seluruh tiyuh yang masih bangga mewariskan adat yang sebenarnya banyak yang tak lagi berdaya di hadapan zaman yang cepat berubah ini.

Ia ingin mengatakan sesungguhnya adat atau tradisi yang akan menghambat, tak tertulah untuk ditinggalkan. Apatah lagi adat itu akan berlawanan dengan hukum agama, mestinya sudah harus dilupakan. Hanya ia tak seberani dengan keinginannya. Jika ia lakukan alamat akan dikucilkan, kalau tidak bakal diusir dari tiyuh.

“Maaf Sarah, maaf. Maksud menak ini, apakah lamaran untukmu masih 45 juta seperti ibumu selalu katakan,” Menak Sangaji berkata sekaligius hendak meralat. “Sebab bagaimana pun kau adalah naken7) Menak: baikmu adalah baik menak, sialmu adalah sialku juga. Ibarat pepatah, anak digendong kemenakan dipangku.”

Sarah mengangguk. “Ya menak, Sarah faham.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar Menak Sangaji kemudian. “Menak selalu berdoa semoga kau cepat berjodoh. Selekasnya dilamar. Sebab, kata orang tua, sukses anak gadis adalah ketika ia menerima lamaran untuk dinikahi. Bukan berapa kekayaan yang dimiliki…”

Ah, kekayaan lagi yang selalu saja jadi ukuran. Sarah membatin. Setiap mendengar kata-kata itu, perutnya terasa mual dan ingin segera ia muntahkan. Cuma yang bisa ia lakukan saat ini menatap tajam wajah Menak Sangaji. Ia tak peduli tafsir apa lagi yang berkecamuk di pikiran pamannya itu.

Ibu datang, suasana pun mencair.

“Dimakanan legitnya,” ujar ibu menawarkan kue legit8) pada tamu. “Biarpun Sarah sudah lama tinggal di kota besar, rupanya masih bisa buat legit. Cobalah cicipi, rasanya lezat,” sambung ibu sambil mencicip selapis legit. “Jadi tak rugi kalau memperistri Sarah,” masih kata ibu, tapi kali ini dibarengi derai tawa yang sudah menjadi khasnya jika riang.

“Bisa saja batin kalau sedang mempromisikan Sarah,” celetuk Batin Halimah. “Sudah rindu sekali menerima lamaran.”

“Menunggu,” ibu cepat-ecpat membenarkan. “Tapi, semuanya aku serahkan pada Sarah. Karena dia yang akan menjalani rumah tangganya. Orang tua kan hanya merestui…”

Seperti tak terkendali kata-kata itu meluncur dari bibir ibu. Dan, sungguh, kalimat itu yang selama ini ia tunggu dan rindu.*

Lampung, Agustus-September 2008



1) kamu gadis manis

2) kampung (halaman), desa, pekon dan sejensnya

3) gadis tua

4) paman

5) ayuk, mbak

6) lelaki, bujang, lajang

7) keponakan

8) bagi orang bersuku Lampung, kue legit layaknya “panganan wajib” pada saat Lebaran

Menunggu Kereta Tiba


Cerpen Isbedy Stiawan ZS

SEBUAH lagu yang dinyanyikan Franky dan Jane “dengan kereta malam/ku pulang sendiri…” mengalun dari sejumlah pengeras suara yang terpasang di stasiun ini. Lelaki muda itu terkantuk-kantuk duduk di kursi panjang. Sudah sejak pukul 18.15 tadi dan sudah berbatang-batang rokok filter kesukaannya menjadi puntung yang lumat diinjak sendalnya.

Lima jam lewat kereta yang dinanti belum tiba. Inilah buruk jadwal tiba transportasi di negeri ini. Tiada yang tak terlambat: kapal laut terlambat kalau tidak kecelakaan di lautan, peswat terlambat untuk take of ataupun landing atau juga mungkin tergelincir di luar pacuan airport., sedangkan kereta api tak pernah mampu lepas dari masalah keterlambatan berangkat dan tiba, begitu pula bis kota yang acap mengambil penumpang di jalan padahal kursi sudah penuh.

Apalagi saat musim arus mudik seperti sekarang. Jangan bermimpi—apalagi mengharap—kau bisa tiba di tujuan sebagaimana telah kau jadwalkan. Dari antre yang tetap semrawut di terminal, stasiun,.di airport, dan pelabuhan. Lalu kenderaan yang menyemut di jalan, dan seterusnya.

Lelaki itu menahan kesalnya. Ia mengambil lagi sebatang rokok kemudian membakarnya. Menghisap dan memuntahkan asapnya. Bagai sepur berlokomotif bara, asap yang megepul ke udara laksana dimuntahkan dari cerobong lokomotif non-diesel.

Selewat enam jam kereta yang ditunggu terlambat. Para penjemput dan penumpang sudah tak dapat lagi dibedakan. Apakah kau penumpang, ataukah kau hanya penjemput? Semuanya berwajah kusut dan letih.

Seseorang menegurnya, meminjam korek api. Setelah itu mencoba membunuh keheningan dengan satu sapaan: “Ada yang ditunggu? Pasti terlambat lagi…”

Lelaki itu tersenyum. Mengangguk. “Bukan Indonesia kalau tidak terlambat. Hehehe…” menyeringai.

“Siapa yang ditunggu? Ibu?”

Menggeleng. “Istri,” jawabnya pendek. “Mas sendiri?”

“Mau berangkat. Tapi kereta dari staisun selatan belum juga tiba, jadi belum bisa diberangkatkan. Terlambat juga,” jawab lelaki yang memulai percakapan. “O ya, kalau saya boleh saya tahu, nama mas siapa? Kalau saya Edi.”

“Danang,” katanya dingin.

“Oke Danang, menunggu itu memang rasanya paling membosankan.”

“Keberangkatan juga, kalau terlambat seperti ini, juga menjemukan.”

Ya! Keduanya lalu terdiam. Edi menyodorkan rokok, Danang menggeleng. Tetapi ketika Edi kembali meminjam korek api, Danang memberi setelah menghidupkan rokoknya yang terselip di bibirnya.

“Kau perokok kuat?”

“Semenjak kelas 1 SMP sudah merokok.”

“Wow, pecandu,” Edi berkomentar. “Kalau saya baru-baru ini saja jadi perokok. Awalnya cuma iseng karena membujang di bedeng tempat kerja.”

“Kerja di mana?”

“Pabrik makanan kaleng.”

Tanpa harus menjelaskan, Danang faham kalau lelaki yang dijumpainya di stasiun itu adalah buruh di pabrik dan kini akan berlibur. Sepetti juga istrinya yang berlibur sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Kedah, Malaysia. Hanya yang membedakan, istrinya mendapat cuti tiga tahun sekali: itu pun terkadang amat sulit diambil. Setelah enam tahun bekerja di luar negeri, baru kali ini istrinya bisa pulang.

Ah, Danang membayangkan betapa rindunya ia pada Ratih. Semenjak dari rumah tadi ia membayangkan bau tubuh istrinya itu. Ia mencoba mengingat-ingat aroma peluh Ratih pada saat kelewat banyak bekerja. Bau keringat yang dulu sangat akrab di tubir penciumannya. Kini ia tengak. Tak mampu sekadar mengingat bau keingat tubuh istrinya.

“Kereta yang ditunggu tiba,” Edi memecahkan keheningan. Alarm ketibaan kereta dari pengeras suara terdengar nyaring, seiring suara petugas yang mengingatkan penjemput dan penumpang agar tidak mendekat lintasan kereta.

Danang berdiri. Meski wajahnya masih telihat kuyu. Sudah tujuh jam ia menunggu kereta yang membawa istrinya tiba. Dan, berulang ia mendongak ke setiap jendela gerbong. Ratih belum juga ia kenali.

“Bagaimana mas, sudah ketemu istri?”

Danang menggeleng.

“Mungkin di gerbong paling belakang.”

“Saya sudah ke sana, tapi tak ada!” jawab Danang. Ia mulai gusar. Tengara istrinya tak terangkut dengan kereta yang baru tiba.

“Mungkin istri mas tak naik kereta ini, tapi dengan kereta malam….”

“Kalau kereta malam, jam berapa tiba di sini?” tanyanya. Kemudian segera ia sergap, “Tapi tak mungkin, karena istri saya kemarin menelepon akan berangkat dengan kareta siang dan tiba di stasiun ini pukul 18.30.”

“Bisa saja renacana berubah kan?” ujar Edi. “Maaf mas, saya tinggal. Khawatir tertinggal kereta. Semoga ketemu mas dengan istri…”

Danang mengangguk. Tersenyum sekilas. Ia bergeas kembali ke gerbong belakang, tak jumpa. Ia berkelebat ke bagian depan, mempercepat langkah, menghindar setiap hendak bertabrakan. Hatinya galau bercampur riuh para penjemput dan penumpang.

Dan, hup! Ekor matanya menangkap sekelebat tubuh baru turun dari lokomotif. Itu dia! Ia membatin. Tetapi, mengapa Ratih menumpang di lokomotif? Ah, persetan. Apakah istrinya naik di gerbong paling belakang, di depan pintu, dekat toilet, resto, apalagi di lokomotif. Apatah lagi di saat musim mudik sekarang? Kini Ratih sudah selamat tiba, dengan kereta yang terlambat sampai.

Ratih tertatih melangkah. Tampak sekali letih. Danang melambaikan kedua tangannya. Ratih tak acuh. Mungkin ia belum melihat dirinya. Segera ia percepet langkahnya, menepuk bahu istrinya dari belakang. Ratih menoleh. Terkesima. Mungkin heran melihat penampilan suaminya kini. Rambutnya panjang sebahu. Berkumis dan bulu memenuhi dagu dan cambang tebal.

“Kenapa kau berpenampilan begini, mas?” Ratih heran, suaranya pelan karena keletihan.

“Nanti saja di rumah, akan banyak kau dapatkan cerita dariku,” jawab Danang sambil menarik koper yang dijinjing istrinya.

“Tas yang ini mas bawa juga ya? Aku capek.”

Danang mengambil satu tas lagi yang baru saja diletakkan istrinya. Keluar dari stasiun yang telah memerangkapnya selama 7 jam lebih, stasiun yang telah membuatnya sangat jengah dan tengak.

Tanpa menawar lebih dulu, ia naikkan barang-barang yang dibawa istrinya ke taksi gelap. Ke Karang Anyar, kampungnya.

*

RATIH seolah tak sanggup menyetop air yang mengalir dari kedua bola matanya. Matanya sembab, sebab semalaman hanya bisa menangis. Kalau dapat ditampung mungkin sudah segayung airmatanya, kalau disumpal dengan baju barangkali seluruh kain itu sudah basah semua.

“Maafkan aku, Ratih,” hanya itu, dan berulang-ulang Danang mengucapkan kalimat itu; semenjak semalam istrinya tiba di rumah. “Aku tak mampu menahan hidup sendiri, setelah dua tahun kau tinggalkan aku…”

“Tapi, aku kan bekerja di sana. Mencari penghasilan untuk keluarga kita. Dan aku pergi juga sudah mas setujui. Kata mas, tidak keberatan asal benar-benar untuk mengubah nasib kita. Kenyataannya sekarang apa?” Ratih kecewa. Ia menuding Danang tak setia. Padahal ia sudah mencoba untuk tidak berbuat macam-macam, selain bekerja dan menabung setiap penghasilan yang diperolehnya.

“Aku memang salah, Ratih. Maafkan aku…”

Ratih sudah kehabisan kata-kata. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Ibarat bubur sudah tak mungkin lagi diberi ke seekor anjing walaupun basi. Danang, suaminya yang ia sangka pasti akan setia, ternyata beristri lagi saat ia bekerja mati-matian di luar negeri. Seorang anak berusia 2 tahun sebentar lagi menemuinya dan akan memanggilnya “ibu”.

Hanya kini yang ada di benaknya, usai Idul Fitri segera ia kembali ke Kedah. Mungkin untuk lama menetap, sebab pulang bagi seorang perantau adalah melebur kerinduan. Sedang perkawinannya dengan Danang belum dikaruniai anak, jadi tiada yang selalu melambai baginya untuk ingat pulang.

Lampung, 5 September 2008

sdh dikirim ke Tribun Jabar, 6 Sept 2008 pkl 23.00

Jejak Bandu

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

SEMULA kukira menjadi tenaga kerja di Malaysia, pulang membawa perubahan nasib di keluargaku. Karena itu, tatkala lelaki sulungku pamit ingin bekerja di luar negeri, antara melepas dan keberatan, kukabulkan juga. Meskipun aku harus menjual sepetak tanah yang harganya tak seberapa untuk sekadar bekalnya.

“Ini kesempatan Ubak1), kapan lagi kalau tak sekarang. Aku sudah bosan menganggur,” kata Bandu suatu kesempatan memberi alasan. Aku semakin yakin. Anakku yang sudah berusia 24 tahun itu ingin menunjukkan tanggung jawabnya. Tak mau menjadi benalu di keluarga sendiri. Apalagi kondisiku sekarang: kurus dan batuk-batuk membatku sering tak kuat ke kebun.

Waktu itu aku hanya bilang: “Apakah harus ke luar negeri kalau mau cari kerjaan, memangnya di sini sudah tak ada lagi? Kalau mau ubak, kamu tetap di sini. Makan gak makan kumpul.”

“Ini kesempatan baik, ubak, tak akan datang dua kali. Lagi pula aku tidak sendiri, percayalah tak akan gagal.”

“Ubak percaya. Tapi ubak ragu, apa Malaysia ramah buat pendatang yang cari kerja,” kataku. Sebenarnya aku ingin mengusik hatinya yang sudah kewkeh itu, dan aku berharap ia bimbang.

Ternyata tidak. “Banyak TKI yang berhasil di sana, pulang bawa uang banyak. Hanya 3 tahun ubak, setelah itu aku mau berdagang di sini kalau sudah banyak modal. Atau jadi pertani kalau aku bisa kebeli tanah,” ia menandaskan. Ia ingin aku tidak bimbang melepasnya.

“Bandu, tak semua TKI dari sana pasti sukses. Banyak malah yang dikejar-kejar polisi kerajaan Malaysia, dicambuk dan di penjara. Banyak pula yang dipulangkan karena diketahui sebagai pendatang haram,” kataku tak mau kalah.

Aku tahu itu dari sering mendengar berita di televisi. Aku terkadang khawatir sekaligus sedih saat menyaksikan para tenaga kerja kita yang diburu-buru. Pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan hingga tewas, TKW yang membunuh majikannya lantaran tak tahan dianiaya dan ingin diperkosa. Sebuah berita di televisi swasta juga mengabarkan seorang TKW melompat dari lantai 7 sebuah apartemen karena tak tahan menderita.

Dan, putra sulungku tetap pada niatnya. Ia harus ke luar negeri sebagai tenaga kerja. Postur lumayan atletis. Ia juga tak bodoh, tapi tak pula terlalu pintar. Sekolahnya berijazah SMP, tak meneruskan karena aku tak mampu membiayainya. Ia ikhlas tak selesai SMA, namun ia sangat berharap padaku agar kedua adiknya—Banu dan Ayu—jangan sampai berhenti setamat SD.

Aku mengabulkan harapannya. Banu sudah di kelas 2 SMP, sedangkan Ayu masih di kelas 6 SD. Bandu membantu mengolah dua petak sawah peninggalan keluarga umaknya2) hasil warisan, sementara aku juga mendapat warisan sepetak tanah dari abahku yang kugarap sendiri. Bagiku warisan yang diterima istriku bukan hakkku, tapi bisa dimanfaatkan oleh anak-anakku. Maka ketika istriku meninggal 3 tahun lalu, aku bersumpah tak akan menjual tanah peninggalan istriku itu.

Aku berpikir, lebih baik kujual sepetak tanahku untuk bekal sulungku merantau daripada milik istriku. Tak mau aku dicemooh oleh keluarga istriku gara-gara menjual tanahnya. Bahkan aku paling takut dirutuk dan dikutuk. Apa kata orang—terutama keluarga istriku—kalau mereka tahu tanah warisan yang diterima istriku kujual setelah ia meniinggal? Pastilah macam-macam tanggapan dan prasangka.

“Bandon memang ngincer tanah itu. Buktinya ia jual setelah ayuk Mar meninggal. Pasti buat modal kawin lagi!”

“Ayuk Mar meninggal aneh. Masak gak ada sakit, pagi meninggal. Pasti….”

“Alahh… seperti tak tahu saja sifat Bandon. Dia nikahi ayuk Mar karena beharap kebagian warisan, tak mungkin dia dapat warisan dari keluarganya. Keluarganya tak punya harta….”

Martina—umak Bandu, Banu, dan Ayu—kunikahi karena kami saling mencintai. Ia teman permainanku sejak kecil. Ketika berusia 12 tahun aku mencoba bekerja di kota, dan 8 tahun kemudian aku pulang. Martina masih di desa, usianya yang 17 tahun lebih tampak dewasa. Cuma beberapa bulan setelah kunyatakan mencintainya dan ia menerima, aku pun melamarnya. Teman-teman sepermainanku di masa kanak-kanak tak bisa menyembunyikan perasaan irinya karena aku mampu menundukkan hati Martina. Walau rasa iri mereka tidak lantas berbuah dengki. Buktinya mereka tetap mau membantu menyiapkan pesta pernikahan kami.

Ketika Ayu duduk di kelas 2 SD, Martina meninggal. Ia ditakdirkan lebih dulu ke pangkuan Tuhan. Aku tak tahu penyakit apa yang dideritanya sehingga istriku meninggal lebih cepat. Hanya, yang pernah kudengar perbincangan seorang dokter dengan suster sewaktu di rumah sakit, Martina mengidap kanker rahim. Terlambat ketahuan, sudah stadium 3. Aku memakluminya, sebab Martina adalah perempuan perkasa. Tak pernah sekalipun ia mengeluhkan rasa sakit. Ia tidak memanjakan penyakit, tak mau ke puskemas jika terasa badannya agak lain.

Martinya hanya meringis sebentar saat ia sulit buang air kecil, bahkan ketika tiga hari tak juga bisa kencing ia tak banyak mengeluh. Sewaktu ia kencing pada hari keempat dan yang keluar adalah air bercampur darah, ia cuma bilang, “Aku pendarahan.”

Saat itu aku tak bisa membiarkan pikiran-pikirannya. Segera kubawa ke rumah sakit di kota. Ia pun diopname selama sepekan. Di rumah sakit ketika berkumpul semua keluarganya, ia memintaku agar menjual tanah miliknya.

“Kalau tanah itu tak dijual, dari mana uang membayar pengobatanku ini,” katanya, ketika ia melihatku menggeleng.

Sebenarnya aku akan mencoba cari pinjaman ke keluargaku. Martina tetap bersikeras supaya secepatnya tanahnya itu dijual. Akhirnya aku mengalah.

“Yang sepetak untuk modal sekolah Banu dan Ayu,” kataku padanya.

Sisa tanah Martina itu yang kemudian digarap Bandu. Dia tanami singkong dan tanaman lainnya. Ia jual di pasar sepekan sekali. Sementara sepetak tanah warisan keluargaku, kutanami cabai, pisang, dan lain-lain tanaman. Dari hasil kebun dua petak tanah milik kami itulah, aku bisa menyekelohkan Banu dan Ayu, juga untuk makan kami sehari-hari. Walaupun terkadang mengutang dulu di warung mbok Sinah atau mencari penghasilan lain dengan mengoret rumput tetangga.

Sepeninggal Martina, perhatianku sepenuhnya kepada keluarga. Peran yang selama ini dilakukan Martina, aku yang melakukan. Seperti mencuci pakaian, memasak air setiap pagi, dan dibantu Bandu atau Banu kami pun memasak. Soal lauk-pauk cukup mengambil di kebun, juga kalau ingin makan ikan bisa di ambil di kolam belakang rumah.

Sampai sekarang aku tak punya pikiran ingin mengganti peran Martina bagi ketiga anakku. Aku tidak yakin perempuan lain akan bisa menyamai apa yang telah diperbuat Martina selama ini. Apalagi kekhawatiranku untuk menyerahkan anak-anakku—terutama Ayu yang masih membutuhkan kasih sayang dan manja itu—kepada ibu tiri. Sekiranya mau, aku yakin, pasti bisa kudapati segera.

Tetapi, aku lebih mencintai anak-anakku. Selain itu, inilah saatnya harus kutunjukkan pada keluarga Martina kalau aku bukan menikahi hartanya, tapi karena aku benar-benar mencintai Matina. Dan cinta itu tak dapat terganti oleh siapa pun, begitu Martina meninggal. Bahkan, kalau saja Martina tak berkeras tak akan kujual tanahnya. Aku masih bisa berusaha dengan cara lain untuk mendapatkan uang.

Hanya keluarga Martina selalu memandangku sebelah mata. Ia tetap mendugaku negatif. Bandu pernah melapor, Paklik Martono seperti tak yakin kalau aku bisa bertahan menduda. “Jangan-jangan ubak kamu sudah beristri jauh sebelum umakmu mennggal,” kata Kak Martono seperti disampaikan Bandu.

Ya, ampun! Sampai kapan mereka menuduhku seperrti itu. Fitnah itu sudah menyebar di warung-warung bahwa aku sudah menjual sepetak tanah Martina untuk menikah lagi.

“Makanya ia hanya menjual sepetak, karena yang sepetak sudah dijual ketika Martina masih hidup. Untuk apa lagi, kalau bukan buat kawin!”

Aku balas fitnah keluarga Martina dengan tetap menduda. Kutunjukkan dengan cara memperhatikan sepenuhnya anak-anakku—bukankah ketiga anakku adalah keponakan Martono dan cucu dari orang tua Martina?—dengan tidak menggantikan perempuan lain menjadi ibu tirinya,

Sampai akhirnya, Bandu izin hendak mengubah nasib keluarga kami dengan mencari kerja di Malaysia. Semula tak kuberi izin, karena aku tak mau dianggap tak bertanggung jawab pada anak. Berkali-kali kukatakan pada Bandu, lebih baik tinggal bersama-sama di rumah ini meski harus pontang-panting. Lebih baik hujan batu di sini, ketimbang hujan emas di negeri orang. Entah dari mana kalimat itu kudapat. Sebab, intinya, aku tidak mengizinkan Bandu ke luar negeri sebagai tenaga kerja.

Bandu tetap bersikeras. Ia tetap akan bekerja di Malaysia. Sebagai buruh sekalipun. Ia juga sudah menemui paklik Martono dan menjelaskan semua keinginannya. Kak Martono setuju, artinya merestui.

“Daripada kamu ikut ubakmu jadi petani lagi, paklikmu setuju kau bekerja di Malaysia. Setidaknya kau tahu luar negeri, kamu bisa pintar bahasa Inggris,” kata Martono. “Tapi jangan lupa oleh-oleh buat paklikmu kalau kamu pulang nanti.”

“Untuk pakcikmu juga jangan pula kaulupa,” timpal pakcik Anwar, adik Martina.

“Buat Nining3) cukup baju kurung,” kata nenek Bandu—mertuaku.

Bandu hanya mengangguk sekali untuk menjawab ketiga harapan mereka. Sebelum pamit, paklik Martono masih saja sempat mengingatkan, sekiranya aku tak mengizinkannya ke luar negeri segera lapor kepadanya. “Paklikmu akan datangi ubakmu. Seharusnya dia berterimakasih kau mau memikirkan keluarga, siapa tahu dengan begrtu berubah nasib kalian.”

Martono bekerja di kelurahan sebagai kepala tata usaha. Ia pegawai negeri sipil. Sedangkan Anwar menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah di kampung kami. Karena itu pula mereka menganggap rendah keluargaku. Ketika Martina masih hidup, tak luput campur tangan mereka di keluargaku. Padahal di hadapannya, kami tak pernah meletakkan tangan di bawah.

Bandu akhirnya terbang ke Malaysia. Serombongan dengan tenaga kerja lainnya dari bebagai daerah di Indonesia. Kata Bandu, sekitar 113 TKI baik perempuan maupun lelaki. Setiba di Kualalumpur nanti, jelas Bandu, mereka ditampung dulu sebelum disebar ke berbagai negara bagian. Tetapi Bandu mendapat pekerjaan di Kualalumpur.

“Cuma aku tak tahu ubak, apa kerjaanku nanti.”

“Tak usah pilih-pilih, yang penting kaucintai setiap pekerjaanmu,” kataku.

Bandu mengangguk.

BULAN keempat, aku menerima paket dari Bandu. Sebuah kardus besar. Beberapa bungkus berisi pakaian sudah ditulis untuk siapa ia berikan. Aku hanya mengeluarkan dari kardus, lalu memisah-misahkan yang untuk kami dan buat keluarga Martina, juga tetangga sebelah.

Ketika Banu membawa kiriman Bandu untuk Martono, ia seperti mencurigaiku telah mengambil haknya. “Apa iya Bandu hanya ngasih segini buat paklikmu? Ubakmu mengambilnya ya?” tanya Martono sinis seperti diceritakan Banu.

“Tidak, paklik. Memang hanya segitu,” jawab Banu.

Anwar mengangguk lalu menyalak, “Aku juga tak percaya Bandu cuma mengirim ini. Untuk apa habis-habiskan ongkos untuk mengirim paket kalau isinya begini. Harganya murah lagi.”

“Kiriman kak Bandu untuk paklik, pakcik, dan nining memang hanya ini. Sudah kak Bandu tulis namanya, jadi tak mungkin ubak mengambilnya. Kak Bandu juga mengirim untuk Banu, Ayu, ubak, dan tetangga sebelah,” jelas Banu ketakutan.

“Banyak untuk ubak kamu? Seharusnya paklik yang dapat banyak. Paklik yang kasih semangat waktu dia mau pergi. Kalau ubakmu cuma bisa mencegah.”

“Saya tak tahu soal itu, paklik. Sungguh pakcik. Aku permisi pulang.”

“Ya. Sampaikan terima kasih nining pada Bandu dan ubakmu ya,” Nining yang menjawab.

Sejak kiriman paket dan uang melalui wesel itu, Bandu tak lagi berkabar. Aku berkali-kali mengirim surat ke alamat seperti yang tertulis di paket ataupun wesel, tak pernah ada balasan. Biro tenaga kerja yang mengirim Bandu sudah kuhubungi, mereka pun kehilangan jejak setelah Bandu keluar dari pekerjaannya yang pertama.

“Kami akan coba hubungi kedutaan besar kita di sana. Setiap warga Indonesia pasti berhubungan dengan KBI di Kualalumpur,” kata salah satu staf penyalur TKI.

Benarkah? Aku tidak tahu soal itu. Biro penyalur TKI itu kemudian mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah. Alasannya, sudah dihubungi semua biro penyalur dan penampungan TKI, namun tak satu pun yang mengetahui keberadaan Bandu. Apakah dia masih di Kualalumpur, sudah menyeberang ke Thailand ataupun Singapura? Itulah kepasrahan yang terakhir kuterima dari pimpinan biro penyalur TKI yang membawa Bandu ke Malaysia.

Kini aku benar-benar khawatir. Was-was. Tak tahu di mana Bandu menetap. Tak jelas rimbanya. Martono makin mengipas-ngipas. Ia menakut-nakuti. Ia bilang, mungkin Bandu masuk Malaysia tanpa surat-surat. Akhirnya ditangkap pihak keamanan di sana. Biasanya yang tertangkap kepolisian kerajaan Malaysia, pasti dicambuk sebelum dijebloskan ke tahanan.

“Kau lihat apa Bandu punya surat-surat sebelum berangkat?” tanya Martono ingin menghindar dari tanggung jawabnya.

“Saya lihat sendiri ia mengurus surat-surat setelah diterima biro penyalur itu,” jawabku.

“Bukan itu maksud saya,” potong Martono. “Sudah pasti surat-suratnya tidak ketinggalan?”

Aku mengangguk.

“Jangan-jangan biro yang membawanya ilegal?”

Ah. Aku menggeleng-geleng. Mengembus napas setelah kuhirup dalam. Aku tak tahu, apa arti ilegal yang dikatakan Martono. Sebenarnya aku ingin mencari tahu arti itu, namun karena aku sudah enggan berhadapan dengan Martono akhirnya aku diam. Dengan cara itu kuharap ia akan meninggalkan rumahku ini.

Harapanku terwujud. Martono dan Anwar pamit. Tetapi, masih juga menyampaikan sesuatu:

“Bagaimana caranya kau harus bisa ke Malaysia, kau cari tahu keberadaan Bandu. Jangan sampai jejaknya pun tidak pernah kita ketahui. Ingat itu,” katanya. Ia tambahkan lagi, ”Kau tanyakan langsung pada kedutaan besar kita di sana. Sebab aku tidak percaya pada biro TKI, mereka tak akan menolong. Namanya perusahaan, tak akan mau rugi dan susah-susah hanya mengurus seorang TKI. Masih bertumpuk urusan mereka.”

Aku terdiam. Wajahku menunduk. Badanku lemas. Mungkin kak Martono benar. Biro penyalur TKI hanya mengurus kepergian, sedangkan masalah hilang di negeri orang, mati dianiaya, bunuh diri, ataupun berbunuhan sesama TKI bukan lagi urusannya. Setiap biro penyalur TKI hanyalah mencari keuntunghan. Dan, itu didapat saat mencari, menyeleksi, dan mengirim para TKI ke negara yang di tuju. Setelah itu, masing-masing TKI menanggung sendiri risikonya kalau ada. Termasuk berjuang tentang besar upah yang diterimanya. Berjuang menghadapi kerasnnya hisdup, dan seterusnya.

Ternyata kabar dari Bandu tak juga kunjung tiba. Sampai tahun ketiga aku terus menunggu berita keberadaannya. Kutepis setiap pikiran terburuk tentang Bandu. “Mungkin ia terlalu sibuk bekerja, jadi lupa mengirim surat,” aku membatin.

Benarkah? “Barangkali tempat kerjanya jauh dari kota, makanya ia tak sempat mengirim surat,” gumamku lagi.

Tetapi kekhawatiran demi kekhawatiran kian menumuk di hatikua. Sulit sekali kuhilangkan. Berkali-kali kudengar berita di televisi soal para TKI di luar negeri. Seperti mati gantung diri di apartmen, dianiaya majikan, hamil akibat diperkosa anak majikan, ditangkapi polisi karena pendatang haram, sampai perkelahian antara TKI dengan warga asli ataupun pertikaian antarTKI karena berebut rezeki.

Rasa was-was, khawatir, dan takut semacam itu lalu menggumpal. Akhirnya dengan uang tak begitu banyak, kusambangi biro penyalur TKI yang mengirim Bandu. Di hadapan pimpinan biro itu, aku tak sanggup lagi menahan perasaanku itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Kepadanya aku sungguh-sungguh berharap bisa berangkat ke Malaysia untuk menemui Bandu, atau setidaknya tahu nasibnya. Semula keberatan, tapi karena berkali-kali kudesak bahkan mengancam tak akan keluar dari kantor itu sebelum aku diberangkatkan, akhirnya mereka mengurus surat-suratku. Setelah itu aku diantar ke Malaysia.

Dengan menyewa taksi dari bandara ke Kedutaan Besar Indonesia di Kualalumpur, pikiranku makin kalut. Supir taksi yang juga warga Indonesia—ia mengaku dari Pekanbaru, Riau—seperti tak akan kering lidahnya bercerita soal nasib TKI di Malaysia. Kali ini aku bukan mendengar dari televisi, tapi langsung dari saksi hidup tentang nasib para TKI.

Ia menunjuk perkebunan sawit yang terhampar sepanjang dari kawasan bandara hingga mendekati perkotaan. “Di perkebunan sawit yang kita liwati tadi, dulunya kuburan masal….”

“Maksud bapak?”

“Banyak tenaga kerja kita di sini yang mati, lalu dikubur begitu saja di sana.”

“Ah…” aku hanya mendesah.

“Ini bukan cerita kosong, puan. Perkebunan sawit itu dulunya adalah hutan,” ia mulai bercerita lagi.

“Nah, para tenaga kerja yang mati karena saling berbunuh atau berkelahi ya dikubur di sana. Kerajaan Malaysia tak mau repot-repot mengurus. Ia perintahkan saja para TKI yang melihat agar segera menguburkan di hutan yang ada,” supir taksi itu berhenrti sejenak, menunggu respon kami.

Pegawai biro penyaluir TKI yang menemaniku tak berkomentar. Aku lebih suka ingin mendengar cerita dari supir taksi itu.

“Sebenarnya yang paling bengis TKI di sini berasal dari Timur,” ujarnya kemudian. Ia tak menyebut suatu daerah tertentu di Tanah Air. ”Kalau urusan perut mereka terusik atau diganggu, tak segan-segan mereka membunuh. Lalu mayatnya dibuang di hutan.”

“Apa hubungannya dengan perkebunan sawit?” pegawai biro penyalur TKI bertanya.

Aku diam.

“Sampai kini pun kebiasaan membuang atau mengubur mayat TKI yang mati dan tidak punya identitas, ya di dalam perkebunan sawit itu setelah hutan di sini dibabat dan ditanami pohon sawirt,” jawabnya ringan. “Biasanya setelah dibunuh seluruh identitas mayat dibuang dulu, supaya dianggap oleh kepolisian sebagai pendatang haram. Dengan begitu tak terlacak, dan mudah sekali untuk dikubur begitu saja di hutan atau di perkebunan sawit4),” cerita supir taksi itu yang amat fasih berbahasa melayu.

Supir taksi itu juga bercerita bagaimana perantau dari Indonesia yang mengadu nasib di Chow Kit Road—lidah orang Indonesia di sana menyebut Cokit—sebuah kawasan berdagang buah-buahan, baju, dan lain-lain berharga murah. Kehadirtan perantau Indonesia di Chokit dianggap telah mengganggu mata pencarian warga asli, sehingga kerap terjadi perkelahian di tempat itu. Persoalan di kawasan itu sampai pula ke Kerajaan Malaysia. “Bukan tak mungkin perkelahian di sana menelan korban juga. Hanya saja tak ada kabar di kemanakan mayatnya,” cerita tetap berwajah sangat santai, seperti tak begitu penting bagi dia.

Sementara bagiku amat sangat penting. Ya. Tiba-tiba seluruh tubuhku menggeremang. Pundakku bergidik. Lunglai. Sepertinya aku tak mampu lagi meneruskan perjalanan ke KBI. Sepertinya aku benar-benar kehilangan kata, jika bertemu staf Kedubes RI untuk urusan TKI di Malaysia. Apa yang akan kutanya lagi tentang Bandu?

Lampung, Desember 2007-April 2008



1) ubak artinya ayah (bahasa Sumsel)

2) umak, artinya ibu

3) Nining, artinya nenek

4) Cerita supir taksi ini tentang nasib TKI yang terkadang tak lagi ketahuan keberadannya di Malaysia, saya peroleh dalam perjalanan dari GAPENA Malaysia ke bandara Kualalumpur—terminal Air Asia, Agustus 2007..