15 November 2008

Rumah, Puisi, Penyair

(Kisah Rumah: Perpuisian Indonesia Modern)

Oleh Bandung Mawardi


… suasana desa Komplang yang gelap, sepi, dan tidak menyajikan tawaran “apa pun” untuk dinikmati menjadikan Sapardi memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. Ia menegaskan, “Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang banyak dan ‘kesendirian’ yang tak bisa saya dapatkan di tengah kota”.

Akan tetapi, tampaknya, keputusannya untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati “kesendirian” itu tidak menghentikan kegiatan kluyuran-nya. Adapun kluyuran dimaksud bukan kluyuran dalam arti fisik di dunia nyata, melainkan di dunia batinnya sendiri. Dengan kata lain, Sapardi terus-menerus melakukan pengembaraan. Jelasnya, dengan “masuk ke dalam telinganya sendiri” Sapardi menyusup ke dalam sanubarinya, sambil membongkar-pasang kata, untuk mendengarkan secara lebih jelas dan terang bisikan yang diucapkannya padanya (Soemanto, 2006: 7-8).

Kisah itu dituturkan Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006). Konon perpindahan Sapardi ke rumah di kampung Komplang (Solo) menjadi babak awal proses kreatif menjadi penyair. Sapardi mengakui: “Saya belajar menulis puisi pada bulan November 1957.” Saat itu usia Sapardi 17 tahun. Sapardi mengalami sekian perpindahan rumah sebelum dia bisa dan mau belajar menulis puisi. Sapardi lahir di rumah di kampung Baturono lalu pindah ke rumah di kampung Ngadijayan lalu pindah ke rumah di kampung Komplang. Rumah yang terakhir itu layak dikatakan sebagai rumah biografis dan rumah puisi awal Sapardi Djoko Damono sebelum dia melakukan perpindahan ke rumah-rumah yang lain.

Persoalan rumah dalam kerja kreatif diakui M. Poppy Donggo Huta Galung (Proses Kreatif, Pamusuk Eneste (ed.), 1984: 158) memberi pengaruh besar dalam biografinya sebagai pengarang. Poppy mengatakan: “Selama berumah tangga, beberapa kali saya pindah rumah. Rupanya suasana rumah juga mempengaruhi saya. Ketika tinggal bersama orang tua saya di Grogol, dalam keadaan “gembul” (hamil), saya bisa mengarang; begitu juga ketika saya pindah lagi ke daerah di seberang rumah orang tua saya. Tapi ketika saya pindah lagi ke seberang lainnya – masih di Grogol – saya sama sekali tak bisa dan tak mau membuat apa-apa. Mungkin ini disebabkan bisingnya jalan di depan rumah kontrakan kami itu, atau bau got yang sering kali menyengat hidung.

Joko Pinurbo dalam wawancara dengan Koran Tempo mengakui bahwa rumah yang sekarang ditinggali di Yogyakarta itu diperoleh dengan kerja keras dan puisi. Joko Pinurbo mengatakan: “Saya beli rumah ini dengan susah payah banget.” Sebelum itu Joko Pinurbo tinggal di rumah kontrakan selama 14 tahun. Pengakuan itu dengan eksplisit menyebut ada relasi antara Joko Pinurbo, rumah, dan puisi. Relasi kreatif dituturkan dalam narasi ini: “ … menulis puisi juga membutuhkan tempat yang kondusif. Selain di bawah sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya, kantor Yayasan Dinamika adalah tempat favoritnya (Joko Pinurbo) melakukan permenungan serta pengendapan ide” (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007).
Kisah Joko Pinurbo dengan rumah biografis itu menjadi representasi puisi Indonesia modern yang lahir dari kehadiran penyair dalam ruang geografis dan imajinasi. Joko Pinurbo mengalami proses kreatif yang memungkinkan ada bentuk kerja kreatif relasional yang dikonstruksi dari penyair, rumah, dan imajinasi. Barangkali proses merenung dan menulis puisi di rumah mengantarkan Joko Pinurbo pada diksi-diksi rumah yang jadi kekuatan besar dalam puisi-puisinya.

Sejarah, Diksi, Imaji Rumah: Mengenang, Membaca Puisi
Sejak kapan puisi Indonesia modern mengenal diksi rumah? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa dilacak dari ceceran sekian puisi yang terbaca. Ingatkah pada bait terkenal Hamzah Fansuri pada akhir abad abad XVI. Hamzah Fansuri menuliskan diksi rumah yang kelak diingat orang: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah / Mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah / Di Barus ke Qudus terlalu payah / Akhirnya dapat di dalam rumah. Bait itu mengabarkan kisah pencarian manusia terhadap Tuhan. Pencarian pada ruang geografis jauh dan dianggap suci tidak memberikan jawaban. Pencarian itu berhenti karena kembali pada rumah. Hamzah Fansuri menuliskan rumah religious yang menerima kehadiran manusia-manusia pencari Tuhan.

Puisi yang arogan dan menjadi kejutan awal relasi puisi, penyair, dan rumah dituliskan Chairil Anwar pada 27 April 1943. Puisi “Rumahku” dalam babak-babak yang lain menjadi prototipe yang memberi pengesahan terhadap kerja kreatif penyair Indonesia modern. Chairil mewariskan kerja kreatif dengan rumah puisi dan estetika yang mumpuni.

Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang satu.
27 April 1943

Puisi “Rumahku” mencatatkan kisah penyair yang menjalani hidup dengan kerja kreatif dan estetis. Chairil berhasil menciptakan hukum untuk penyair Indonesia modern. Hukum identifikasi rumah adalah puisi sebagai hasil kerja penyair. Konstruksi rumah penyair adalah rumah kreatif yang hidup dengan nilai-nilai estetika terakumulasi dari tegangan peristiwa di dalam dan di luar rumah. Rumah produktif yang diciptakan Chairil Anwar membuat suatu alur yang eksplisit bahwa rumah itu dunia asal dan kembalinya penyair. Rumah memberikan dirinya untuk kerja penyair dengan segala risiko yang ada. Penyair tidak lari dan melakukan hubungan negatif dengan rumah. Chairil Anwar memberi warisan laku hidup (biografi) penyair Indonesia modern.

Arogansi Chairil Anwar mendapati suatu godaan lemah dari Sitor Situmorang yang menulis puisi “Rumah”. Sitor belum bisa mengonstruksi rumah dalam wacana estetika puisi modern. Imajinasi rumah diciptakan dengan rayuan dan sikap penerimaan yang konvensional dan klise. Rumah menjadi ruang yang tidak memberi kemungkinan-kemungkinan produktif dan mobilitas makna. Sitor justru menghadirkan dirinya sebagai penyair yang memainkan peran kearifan seorang pertapa: Laut dan darat tak dapat lagi didiami / Benahilah kamar di hatimu / Atau mari diam dalam rumahku, / Bumi yang tak berumah satu. Peran Sitor masih terlihat dalam puisi “Upacara di Rumah Adat”. Puisi ini mengantarkan Sitor pada biografi antropologi yang membuat penyair merasa hidup. Sitor yang dikenal sebagai seorang pengembara di Barat dan Timur akhirnya kembali pada rumah antropologi. Wacana biografi dan pengetahuan yang diucapkan dengan suara-suara berbeda dalam puisi-puisi Sitor tidak membuat puisi “Upacara di Rumah Adat” menjadi puisi dengan taraf rendah dan sepele. Sitor menyatakan diri dalam relasi penyair dengan asal kebudayaan yang mengonstruksi identitas individu dan sosialnya. Sitor tanpa rikuh memberi kesadaran rumah antropologis pada puisi Infonesia modern. Rumah antropologis Sitor mungkin bisa terpahamkan dengan latar belakang hidup (biografi) penyair: di pusat rumah adat / tempatku subur kembali / di rahim marga.

Puisi “Rumah Asal” dari A.D. Donggo mungkin layak jadi reaksi terhadap puisi Sitor Situmorang “Upacara di Rumah Adat”. Reaksi yang tidak melawan atau membantah biografi antropologi penyair Sitor. A.D. Donggo sekadar meragukan keinginan untuk kembali ke rumah asal dalam pengertian antropologi kebudayaan. A.D. Donggo menulis: Kembali ke rumah asal / Benih apa yang kau tabur? Pertanyaan yang mendeskripsikan suatu sejarah hidup yang lahir, pergi, dan kembali pada rumah asal dengan syarat yang kaku dan formalistik. Penyair dalam rumah antropologi ini susah menemukan bentuk kebebasan dan pencapaian-pencapaian hidup yang berbeda atau bertentangan dengan anutan nilai kebudayaan asal.

Rumah antropologis dikisahkan dengan menarik oleh Darmanto Jatman dengan penjelasan-penjelasan yang berasal dari kosmologi Jawa. Kebudayaan Jawa yang diusung Darmanto menentukan kehadiran konstruksi rumah dalam puisi “Rumah”. Puisi ini bisa dikatakan terbuka dibandingkan rumah antropologis Sitor Situmorang yang bersumber dari kebudayaan Batak. Darmanto Jatman mengabarkan puisi rumah dalam pengertian rumah kelas priyayi yang dikosntruksi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol kosmologi Jawa: Sang Guru laki kepada Rabinya: / Rumah itu Omah / Omah itu dari Om dan Mah / Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, / bersifat jantan / ah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya / tanah, bersifat betina / jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya / karenanya kupanggil kau Semah, karena kita serumah. Penjelasan yang diajukan Darmanto melibatkan hubungan lelaki dan perempuan sebagai pemilik dan penghuni rumah. Rumah antropologi Darmanto adalah rumah yang dituliskan dari hubungan intim penyair dengan rumah biografis penyair.

Diksi rumah dihadirkan Subagio Sastrowardoyo dalam definisi sunyi dan nostalgia. Subagio menciptakan rumah yang tidak mengabarkan biografi penyair dengan terbuka. Rumah diletakkan dalam konsep yang berhadapan dengan imajinasi-imajinasi lirik. Subagio sekadar bisa menceritakan dalam puisi Lima Sajak Tentang Perempuan (Rumah): Rumah ini tak kosong meskipun tak / ada yang menghuni. Di ruang sunyi / masih melekat kenangan pada dinding, / ranjang dan lemari. Imajinasi ruang, benda, dan suasana dalam bait itu ada karena penyair menjadi seorang arsitek yang tidak bekerja dalam epistemologi rumah. Rumah kembali dipandang sebagai rumah yang dikenali oleh orang-orang yang ingin definisi sunyi dan nostalgia.

Toto Sudarto Bachtiar hadir sebagai penyair lirik yang kalem ketika bicara rumah. Toto membuktikan diri bahwa ada kepemilikan dan keintiman penyair pada rumah yang memberinya ruang estetika untuk menulis puisi (kisah manusia). Penyair dengan sadar menganggap rumah adalah dualisme pamrih hidup. Rumah yang ditinggalkan dan rumah yang didiami memiliki energi berbeda yang bisa diolah dan dikisahkan penyair. Kesadaran rumah Toto membuka fragmen biografi penyair Indonesia yang memiliki rumah-rumah berbeda. Inilah kekaleman Toto dalam puisi “Rumah”: Terkadang terasa perlunya ke rumah / Atau terasa perlunya tak pulang ke rumah / Berceritera dan berkaca pada hari-hari kupunya / Di rumahku besar sekali nubuah sebuah kisah. Puisi ini dipakai Toto untuk presentasi yang mungkin menarik untuk obrolan tentang rumah, penyair, dan puisi dalam tegangan biografi-biografi penyair Indonesia modern.

Penyair Rendra yang awal besar dengan balada-balada menuliskan puisi yang memakai metafora rumah dalam tataran kosmologis. Puisi “Lautan” kentara membuat perbandingan-perbandingan lugas antara daratan dengan lautan yang kelak terus dibicarakan Rendra dalam konteks sejarah maritim (lautan) dan agraris (daratan). Inilah puisi yang khas dengan pandangan dunia Rendra: Daratan adalah rumah kita / dan lautan adalah kebebasan. // Daratan adalah rumah kita, / dan lautan adalah rahasia. Dunia perbandingan itu kurang memunculkan wacana rumah sebagai persoalan biografi penyair Indonesia modern. Puisi “Rumah Kelabu” justru menghadirkan rumah yang dikonstruksi Rendra dengan persoalan sepi, bunuh diri, dan teka-teki. Puisi ini mengesankan dunia penyair yang sanggup meletakkan rumah sebagai ruang hidup dan kematian untuk penghuninya. Rendra menghadirkan rumah yang impresif: Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi / di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri? // Rumah batu, rumah kelabu / kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki.

Romantisisme penyair Indonesia modern terhadap rumah dituliskan dengan liris oleh Eka Budianta. Puisi yang memakai desain lama dan mengulangi imajinasi-imajinasi dari tradisi penyair yang intim dengan rumah dan alam. Penyair merasa perlu mengabarkan imajinasinya tentang rumah yang sudah menyebar dalam dongeng dan mimpi. Inilah puisi “Rumah-Rumah Cinta” yang ditulis pada tahun 1997-1998: Inilah rumahku / Pondok kecil di tepi hutan / Kecuali pohon-pohon berdoa / Bintang-bintang bernyanyi // Inilah rumahku / Tempat rembulan terlena / Matahari menunggu / Langit menetes embunnya.

Keraguan epistemologis terhadap rumah dinyatakan Landung Simatupang dalam puisi “Rumah” (1974). Landung skeptis dengan hubungan-hubungan yang sudah dan hendak diciptakan antara biografi individu dengan rumah. Landung yang penyair membuat suatu pembayangan utopis tentang rumah dan kondisi manusia. Pertanyaan bersyarat menemukan alternatif jawaban yang meragukan: jika ingin bersendiri tanpa bersepi / jika ingin hening di tengah bising yang mati / jika terus ingin lari lalu selalu rindu kembali / jika ingin tempat menetap tanpa tersekap / jawablah: / kepadamukah kumesti pergi? Penyair ragu untuk pergi dalam rumah. Persoalan yang pelik adalah pandangan penyair tentang keberadaannya yang harus berhubungan dengan rumah. Berada dalam rumah mungkin bisa jadi jawaban untuk penyair yang pergi dari rumah dan ingin kembali. Alasan-alasan itu bakal diuji dengan pengalaman kepemilikan dan kehadiran dalam rumah yang mengandung makna-makna dilematis untuk dipilih dan dimiliki penyair. Rumah yang dipandang sebagai pembatas (imajinasi tertutup) bakal menghancurkan. Rumah yang dipandang memberi imajinasi terbuka memungkinan penyair hidup.

Bandingan yang setaraf dengan puisi Landung Simatupang terbaca pada puisi Isbedy Stiawan ZS “Batas Bayang dan Diri” (2002). Isbedy menyadari bahwa keberadaan rumah dalam biografi penyair adalah utopia dan obsesi yang memberi sepi. Isbedy percaya dengan pandangan bahwa: Rumah cuma angan-angan / yang sepi menanti. Kesadaran penyair ini membuat suatu deskripsi yang berjarak mengenai relasi rumah dengan penyair Indonesia modern. Rumah tidak harus dimaknai sebagai ruang kreatif, dan etstetika karena terjadi perubahan peran dengan pelbagai alasan internal dan esternal. Isbedy sekadar mengakui: Rumah cuma didatangi / bila rindu. Selebihnya sunyi, tertutup. Rumah mengalami perubahan nilai dan peran. Rumah itu identik dengan sepi dan sunyi. Rumah identik dengan pikiran, imajinasi, situasi, dan pandangan dunia yang tertutup. Identifikasi negatif terhadap rumah yang terus menemukan kepercayaan dari penyair-penyair Indonesia modern.

Afrizal Malna dalam jarak yang jauh Chairil Anwar mengabarkan “Kematian Rumah”. Puisi Afrizal jadi babak puisi yang tragis: Jangan panggil kami, kami berdua tidak punya nama. Kami / berdua lahir dari kematian rumah. Pemaknaan rumah adalah kehadiran identitas, wacana bahasa, dan konstruksi ruang. Nama yang tidak dimiliki mengartikan tidak hadirnya pengucapan identitas dengan bahasa-bahasa yang bisa membuat orang percaya. Kelahiran menjadi perkara tragis karena tak ada legitimasi hidup (tranformasi). Kelahiran itu berasal dari kematian ruang dan tempat yang mestinya menjalankan misi mengonstruksi identitas manusia yang ada dan hidup di dalam rumah. Diksi rumah epistemologis Afrizal Malna seakan berjalan pada alur puisi yang lari dari jalan besar.

Puisi “Negeri yang Hilang” dari Radhar Panca Dahana mengabarkan rumah yang menyimpan sejarah dan nubuat hidup manusia. Rumah berada dalam pengertian psikologis yang membuka kesadaran manusia mencari dan menentukan nilai-nilai hidup. Sesal, gelisah, rindu, penantian, dan bingung menjadi rumusan pertanyaan besar tentang keinginan untuk kembali ke rumah dan berada dalam rumah. Inilah tragisme psikologis yang dijalani manusia: mencari asal / kupunya rumah. mencari sesal awalku gelisah. / aku pulang tanpa diriku. kuingat aku / tertinggal di pangku ibu. mana bisa kupergi / berbekal nama cuma. tanpa kukenal siapa nama, / semak belukar titian lalu, rumah kujelang / ibu menunggu. kusibak tirai nampak teras rumahku. / adakah aku tetap di situ?

Radhar dalam puisi “Surat Para Pencari Pintu” (1993) memberi deskripsi lain tentang keinginan untuk pulang ke rumah. Rumah berada dalam wacana mobilitas manusia untuk masuk atau keluar dengan kepercayaan waktu, pamrih, dan kerja hidup. Pada taraf yang atas terjadi suatu kegamangan epistemologis terhadap rumah dan pemaknaan dengan bahasa yang tak utuh terpahamkan. Inilah puisi rumah yang getir: seperti aku, / kau pun masuk-keluar rumah seolah / maling yang tak punya pintu dalam / kosa katanya. dan kita, begitulah, / senantiasa terlalu larut pulang.

Puisi Joko Pinurbo “Rumah Persinggahan” (1999) mengisahkan hubungan aku lirik dengan sebuah rumah yang diberi komentar ambivalensi: Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku / jauh dan tersembunyi. Tidak mudah menemukan alamatnya. / Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya, / bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung / dalam keluasannya. /Tapi aku selalu ingin singgah ke sana. Rumah dalam imajinasi Joko Pinurbo itu mengesankan ada pengambilan jarak dan keinginan menjadikan rumah itu sebagai persinggahan. Rumah sebagai ruang yang luas mungkin membuat orang yang ada di dalamnya jadi kecil dan kebingungan menanggung risiko-risiko.

Dorothea dalam puisi “Akhirnya Aku Pulang” mengisahkan ada kehendak untuk pulang (kembali) ke rumah meski ada derita. Rumah terpahamkan sebagai asal dan tempat kembali dari derita yang harus ditanggung manusia. Puisi ini mengonstruksi imaji rumah sebagai bukti kodrat manusia menjalani hidup: akhirnya aku pulang setelah waktuku / penuh dengan jarak dan mimpi. aku pulang / pada rumah yang kubangun di punggung: / sebagai beban bertahuntahun. // aku pulang pada rumah, bangunan / yang menyatu dalam tubuhku, / namun menciptakan jarak begitu kelu. / menyusun baitbait sakit waktu ke waktu. Derita manusia dalam hubungannya dengan rumah adalah derita asal, derita buatan, dan derita yang dipalsukan manusia itu sendiri. Puisi Dorothea yang lain “Memo: Rumah-Rumah Batu” (1996) mengisahkan sesuatu yang negatif dan definisi keras dari diksi rumah. Rumah diletakkan dalam imajinasi yang berhenti pada taraf tragedi: beratustahun lagi, mungkin, rumahku akan tetap / sebuah batu. // rumahku: akan tetap sebuah batu.

Rumah sebagai pemberhentian akhir digarap dengan liris oleh Isbedy Stiawan ZS dengan membawa pengaruh religiositas. Puisi “Ada Daun Gugur” (1994) mengabarkan penyair yang merasakan ada pencarian yang belum tentu ditemukan dengan pengertian dan peta yang jelas. Isbedy menyatakan: hatiku gemetar / memandang namaku / yang mencari-cari rumah / akhirku. Puisi ini jadi fragmen kecil dari keinginan penyair Indonesia modern menciptakan relasi individu dengan rumah metafisik. Kehadiran rumah metafisik itu dimungkinkan karena kecenderungan penyair yang mengonstruksi puisi lirik dengan imajinasi-imajinasi dan diksi yang metaforis.

Puisi rumah metafisik Isbedy bisa dicari jejak awalnya dalam puisi Saini K.M. Penyair ini menuliskan diksi rumah dalam porsi kecil dibandingkan mayoritas puisi-puisi yang lain. Puisi “Rumah Cermin” (1971) adalah konstruksi puisi yang dibuat oleh penyair dengan diksi-diksi metaforis dan tatanan lirik sebagai bentuk yang mungkin untuk menempatkan rumah pada wacana metafisik. Frase rumah cermin yang dituliskan Saini K.M. menempuh jalan kecil dari perpuisian rumah Indonesia modern: Sebuah rumah cermin dan kita terperangkap di dalamnya / Sosok dan wajah pecah bertabur dalam bingkai / dan warna beribu kaca. Janganlah bertanya / karena kata-kata pun berubah arti, layu bagai bunga. // Rumah dimaknai sebagai persoalan yang dihadapi manusia untuk bisa hidup, memakai bahasa, mencari bentuk, perubahan-perubahan arti. Saini K.M. meloloskan diri dari konsep rumah yang biasa hadir dalam puisi-puisi penyair Indonesia modern meski tidak memberi pengaruh besar dalam pemaknaan wacana rumah.

Isbedy dalam fase yang lain melakukan pergeseran wacana rumah yang mulai masuk dalam nostalgia dan romantisisme penyair Indonesia modern. Puisi “Aku Menanam Diri” (2002) masih harus memakai lirik untuk bisa mengucapkan sunyi dan krinduan penyair pada rumah dan pembayangan hidup. Puisi ini membuat Isbedy sanggup menyatakan relasi yang kentara antara dunia ciptaan penyair dengan rujukan rumah. Isbedy membuat wacana rumah yang jauh dari puisi-puisi keras: Entahlah apa aku akan menemui rumah sunyiku. Kecenderungan puisi-puisi setaraf ini menyebabkan rumah puisi Indonesia modern sibuk dengan kenangan-kenangan individual yang terasing dan sedih. Isbedy Stiawan ZS dalam perpuisian Indonesia modern adalah penyair yang identik dengan diksi dan wacana rumah. Puisi-puisi Isbedy dengan tematis rumah terhitung dalam jumlah besar dibandingkan dengan penyair-penyair lain. Kumpulan puisi Isbedy Menampar Angin (2003) menghadirkan tematis rumah dalam puisi-puisi “Begitu Sering Kutinggalkan Rumah”, “Berapa Kali Aku Harus Kehilangan Rumah”, “Kumasuki Rumah”, ‘Song of Life”, “Rumah Bercinta”.

Biografi: Rumah Penyair, Rumah Puisi
Puisi Toto Sudarto Bachtiar dengan judul “Malam Dingin” (1955) mengesankan puisi rumah yang dirumuskan dengan nostalgia (sejarah), waktu, kepercayaan, dan hubungan manusia. Puisi ini versi lain dari imajinasi rumah Toto yang mengisahkan rumah dengan subjektifitas dan konklusi sederhana: Kita terlalu jauh mengenang / Kapan mendirikan rumah / Dan tinggal betah / Padahal kita tak percaya // Rumah-rumah runtuh pada saatnya / Bagai harapan kita / Tinggal kepercayaan pada hubungan / Orang-seorang pada alam dingin. Puisi “Malam Dingin” bisa dijadikan perantaraan untuk menilai perpuisian Indonesia modern. Rumah puisi modern dalam sejarah “resmi” yang dikonstruksi sejak tahun 1920-an atau malah sebelum itu menunjukkan suatu konstruksi rumah yang belum bisa memberi keyakinan atau janji besar. Proses mengenang puisi Indonesia modern niscaya menyebutkan Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, dan yang lain. Jarak hari ini dengan puisi awal Muhammad Yamin lumayan jauh yang menyebabkan ada tafsiran-tafsiran berbeda. Meletakkan Muhamad Yamin sebagai deretan awal mungkin bisa diterima dalam wacana perpuisian Indonesia modern.

Pertanyaan yang susah terjawab adalah kapan mendirikan rumah puisi Indonesia modern? Jawaban itu susah diajukan karena ada rasa tak percaya dan kecurigaan atau keraguan historis. Pertanyaan itu terus disimpan dan rumah puisi dikonstruksi terus: pembaharuan, revisi, pemberontakan. Kisah-kisah yang ada adalah kelahiran dan kematian dari penyair, puisi, atau malah rumah? Bukti yang membuat rumah puisi Indonesia modern layak ada karena penyair-penyair betah hidup di dalam rumah dengan sangsi dan mimpi yang berbeda.Barangkali Toto tak mengarahkan puisi ini untuk bicara perpuisian Indonesia modern. Ramalan yang mungkin kontroversial adalah rumah puisi Indonesia modern runtuh pada suatu saat.

Puisi Toto bisa membuka peta yang lumayan terbaca mengenai kisah penyair dengan rumah yang dihuni. Para penyair awal menuliskan puisi dari rumah-rumah yang berbeda. Ada penyair yang menulis dari sebuah rumah di Jawa atau Sumatra. Ada yang melakukan migrasi dan perpindahan rumah. Barangkalai sejak Balai Pustaka rumah terus dimaknai ruang kerja kreatif penyair meski menyisakan kisah-kisah penyair yang pergi dari rumah (berada di luar rumah) tanpa hubungan batin atau estetika yang kentara. Rumah dalam paparan itu mungkin adalah pusat geografis dan mungkin ruang tumbuh imajinasi. Segala hal layak jadi puisi. Penyair bicara apa saja ketika menuliskan puisi. Rumah jadi ruang untuk kerja kreatif dan perjalanan imajinasi dengan anutan estetika tertentu. Rumah sebagai diksi dan sebagai wacana dalam puisi Indonesia modern tercatat dalam hitungan yang banyak. Catatan jumlah dan intensitas itu membuktikan ada relasi dan operasi kerja yang merepresentasikan penyair, puisi, dan rumah dalam rumah puisi Indonesia modern.

Diksi rumah yang kuat dan tragis hadir dalam puisi Joko Pinurbo “Penyanyi yang Pulang Dinihari” (1991). Bait puisi ini layak dijadikan pertanyaan besar untuk relasi penyair Indonesia modern yang pergi dari rumah-rumah dengan rumah sebagai tempat untuk pulang (kembali): “Bukankah ini rumahmu? / Apakah engkau takut atau lupa sama sekali?” Tanya itu mengingatkan pelbagai kisah dan biografi yang lahir dari para penyair Indonesia modern. Sekian penyair Indonesia pergi dari rumah sendiri. Ada yang tidak mau pulang dan ada yang pulang dengan rasa takut atau lupa. Kisah dan biografi itu adalah fragmen yang kerap menjadi anutan penting dalam perpuisian Indonesia modern. Kesadaran rumah penyair dinyatakan dala tuturan yang kalem oleh Joko Pinurbo: “Ya, ini memang rumahku. Saban kali aku meninggalkannya, / saban kali pula harus mengenalinya kembali.” Bait ini mengisahkan kesusahan yang dihadapi penyair Indonesia modern untuk menjadi dan menulis puisi dengan kiblat dan orientasi estetika tertentu.

Kisah lama atau dunia dongeng dihadirkan kembali oleh Beni R. Budiman dalam puisi “Rumah Pasir” (1999). Puisi ini suatu permainan yang berisiko untuk sesuatu yang bisa selesai atau gagal yang berulang. Puisi ini mungkin bisa diletakkan bersama puisi Toto “Malam Dingin” untuk membicarakan rumah puisi Indonesia modern. Rumah puisi yang dikonstruksi dan diwariskan diterima penyair-penyair mutakhir dengan penerimaan tanpa keluhan atau sangsi. Sikap kontroversial yang kadang terjadi adalah keinginan membuat rumah lain dengan niat dan bahan-bahan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan yang diinginkan mungkin adalah argumen-argumen diciptakan atau yang diolah ulang atau pemunculan dongeng-dongeng lama yang dipercayai memiliki keunikan dan keotentikan estetika.

Inilah puisi “Rumah Pasir”: Kini kami sedang membangun rumah / Tapi tak tahu apa main-main lagi / Atau hanya mimpi yang mustahil jadi. Ada tegangan yang mengkhawatirkan antara keinginan (eksperimen) dengan sikap main-main. Tegangan itu menghasilkan rumah yang riil atau malah mimpi yang mustahil. Membuka catatan perpuisian Indonesia modern bakal bisa tergambarkan dari bait puisi itu. Amir Hamzah diakui sanggup membangun rumah dengan tematik religious dan penguasaan bahasa Melayu-Indonesia. Chairil Anwar sanggup membangun rumah dari puisi-puisinya yang sedikit tapi besar. Sutardji Calzoum Bachri membangun rumah dengan kredo dan mantra-mantra yang kontroversial. Sapardi Djoko Damono membangun rumah lirik dengan kalem dan dunia imajinasi anak. Afrizal Malna membangun rumah dengan diksi-diksi mutakhir dan tematik modernitas. Joko Pinurbo membangun rumah dengan humor dan tragedi. Ada penyair-penyair lain yang terus ingin membangun rumah tapi tidak terdaftar atau diakui dalam catatan resmi. Ketiadaan penyair-penyair lain dengan rumahnya sendiri lantas dinyatakan sebagai penerus, pewaris, peziarah yang menginduk pada otoritas besar penyair yang sanggup membuat rumah dalam perpuisian Indonesia modern.

Frase rumah pasir barangkali bisa ditafsirkan dengan melihat relasi penyair dengan rumah biografi dan rumah puisi dalam konteks ruang imajinasi, estetika, dan kreativitas. Penyair-penyair besar itu hanya bisa memberi informasi kecil terkait rumah biografisnya dibanding rumah imajinasinya. Pengetahuan terhadap biografi selalu membawa tanya alamat dan lingkungan sosial-kebudayaan penyair. Fenomena yang masih mungkin diketahui adalah penyair bekerja dari rumah geografis yang terkadang jauh dari rumah asal. Chairil menulis puisi di rumah Jakarta. Sutardji menulis puisi di rumah Bandung dan Jakarta. Sapardi menulis puisi di rumah Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Afrizal Malna menulis puisi di rumah Jakarta, Makasar, Solo, dan Yogyakarta. Joko Pinurbo tidak berlari jauh dari rumah (Yogyakarta) ketika menulis puisi.

Imajinasi dan Wacana Geografi: Rumah Desa, Rumah Kota
Puisi “Sebentuk Rumah” dari Piek Ardijanto Soeprijadi merepresentasikan pandangan penyair terhadap rumah sepi. Piek membuat imajinasi rumah yang jauh dari ruang geografis penyair Indonesia modern yang terpusat di kota. Piek menyadari ada pilihan sadar penyair untuk meletakkan diri dalam ruang geografis tertentu. Hubungan desa dan kota yang terus tegang membuat penyair menentukan posisi diri untuk kerja kreatif. Piek memilih membuat konstruksi imajinasi rumah yang negatif di ruang gografis desa: sebentuk rumah di puncak bukit / cuma seonggok sepi yang resah / rindukan mentari / penyibak kemelut. Rumah yang diciptakan Piek adalah rumah yang mungkin membuat siksa dan mengabarkan situasi kematian yang membuat penyair ingin pergi dari rumah atau lari dan menghuni dalam rumah.

Slamet Sukirnanto menuliskan puisi yang berasal dari imajinasi rumah yang jauh. Puisi “Di Atas Bukit” (1970) berada dalam konstruksi dunia yang menghadapkan desa pada kota. Rumah kehilangan makna pertemuan manusia yang selalu membawa pamrih dan mimpi-mimpi. Pertemuan dalam rumah menjadi persoalan temporal yang bakal diselesaikan dalam situasi hidup di kota. Slamet membuat kontras yang pragmatis: Rumah di atas bukit / Tiada kekal bagi pertemuan / Hanya semak di sela bunga-bunga, kolam dingin airnya / Semoga jadi bekal, turun ke kota.

Deskripsi rumah yang masih menyisakan gairah hidup (optimisme) dituliskan Zawawi Imron. Puisi “Rumah Terpencil” (1987) membuktikan perbedaan besar dengan imajinasi rumah Piek dan Slamet Sukirnanto. Rumah dalam imajinasi Zawawi Imron diletakkan dalam latar belakang kebudayaan pedalaman. Rumah menemukan pengungkapan yang mungkin asing untuk kebudayaan kota: Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari. Rumah menjadi suatu perlindungan dan pertahanan hidup dalam ruang besar (hutan) yang mengancam dan menghidupi. Zawawi seakan berani membuat peta yang biasa tentang situasi penyair dan rumah. Penyair yang ingin memencilkan diri (alienasi) mungkin harus berada pada ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan.

Imajinasi rumah dalam puisi-puisi Indonesia modern dalam pertumbuhannya harus berhadapan dengan realitas kota sebagai tanda besar modernitas. Rumah agraris, rumah dongeng, rumah religious, rumah epistemologis, rumah antropologi akhirnya harus menemukan bandingan dengan rumah industri, rumah modernitas, rumah kota. Juniarso Ridwan menuliskan puisi “Tentang Rumah Jagal” (2000) yang layak dihadapkan dengan puisi Piek, Slamet Sukirnanto, dan Zawawi Imron. Imajinasi rumah Juniarso berasal dan diletakkan dalam ruang kota. Realitas rumah kota membuat penyair mengabarkan berita buruk (negatif) tentang kurungan dan siksa: kota seperti kehilangan oksigen / dan kita terkurung dalam rumah jagal, / disiksa angan-angan tak menentu. Rumah kota dari Juniarso Ridwan menggambarkan makna dan situasi yang tidak kalah negatif dengan gambaran pusi rumah terpencil dan rumah di bukit.

Rumah dalam ruang kota dikisahkan dengan tragis oleh Wiji Thukul. Puisi itu dituliskan dari atau tentang rumah di kampung Jagalan yang berada di kota Solo. Pertumbuhan kota dengan bentuk dan nilai modernitas meminta kompensasi (tumbal) yang merugikan kaum lemah dan tak memiliki otoritas. Wiji Thukul mengisahkan rumah kota yang rentan untuk hancur dan disingkirkan. Inilah puisi “Suara dari Rumah-Rumah Miring” (1987): di sini kamu bisa menikmati cicit tikus / di dalam rumah miring ini / kami mencium selokan dan sampah / bagi kami setiap hari adalah kebisingan / di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat / bersama tumpukan gombal-gombal / dan piring-piring / di sini kami bersetubuh dan melahirkan / anak-anak kami // di dalam rumah miring ini / kami melihat matahari / dari atap ke atap / meloncati selokan / seperti pencuri.

Wiji Thukul fasih bicara rumah kota karena itu adalah biografi ruang dan kultural yang dikonstruksi penyair. Thukul menyadari keberadaan diri sebagai penyair dan rumah yang menempatkan dirinya pada ruang kecil dan miring. Puisi-puisi lahir dari ruang dan situasi yang terbentuk dalam rumah kota. Rumah biografi Tukul adalah ramuan imajinasi dan realitas yang terbaca di ruang kota Solo. Otoritas yang tidak dimiliki penghuni rumah terhadap kebijakan publik mengantarkan pada nasib yang miring dan tak menentu. Thukul melahirkan iajinasi dan mimpi yang berada dalam batas mungkin dan tidak mungkin: kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak / tapi bersama hari-hari pengap yang / menggelinding / kami harus angkat kaki / karena kami adalah gelandangan. Manusia yang gelandangan adalah bukti ada manusia tidak sanggup hidup layak dengan pemenuhan kebutuhan papan (rumah). Gelandangan fisik dan nilai tentu tidak lahir karena situasi sosial yang bebas dari kepentingan ekonomi, politik, ideologi, dan kebudayaan. Penguasa dengan otoritas publik yang dimiliki kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melegitimasi dan membesarkan jumlah gelandangan secara kualitatif dan kuantitatif. Mimpi Thukul tentang rumah dan nasib sebagai gelandangan adalah implikasi dari kebijakan penguasa.

Persoalan gelandangan, rumah, dan kota menyibukkan Emha Ainun Nadjib untuk bicara keras pada penguasa. Rumah sebagai pembentuk identitas manusia terus mengalami perlakuan negatif dari penguasa yang mengonstruksi kota sebagai pusat modernitas. Keprihatinan Emha adalah keprihatinan ketika ruang kota tidak memberi hak untuk kepemilikan rumah sebagai hunian dan ruang imajinasi, mimpi, utopia, atau pengharapan. Emha menuliskan puisi rumah “Trotoar Buat Manusia” (1991) dengan tanya keras dan memelas: “Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk mendirikan rumah bagi manusia, serta sepetak kamar saja buat hati puisimu yang lunglai?”

Keprihatinan terhadap kaum urban dalam pertumbuhan modernitas kota menjadi perhatian Wowok Hesti Prabowo. Penyair ini identik dengan puisi-puisi sosial yang mengisahkan kaum buruh, orang miskin, dan perlawanan sosial. Keprihatinan Emha dibicarakan kembali oleh Wowok dengan konstruksi imajinasi rumah yang bisa ditemui pada ruang-ruang kota besar. Wowok menuliskan puisi “Rumah Menangis”: Aku singgah pada rumah-rumah menangis / Api membakar api. Pohon-pohon dicabuti / Akar njelma tanda yang dalamnya berpenghuni duka // Tapi orang-orang tetap saja membangun puing-puing / Rumah-rumah tetap menangis / Dengan alamat tak seragam. Nasib yang menimpa kaum urban dan miskin diterima karena itu niscaya terjadi dan berulang. Perlawanan yang menarik adalah rumah terpahamkan sebagai kepemilikan yang tidak bisa dimusnahkan penguasa meski dengan penggusuran, perusakan, atau pembakaran. Niat dan keinginan terhadap rumah dibuktikan dengan proses membangun puing-puing dan adanya alamat tak seragam. Wowok menyadari realitas itu dengan pandangan penyair yang meletakkan rumah sebagai wacana kota dan layak bicara dalam rumah puisi Indonesia modern.

Rumah kota yang selalu jadi berita buruk dan keprihatinan sosial terus terjadi. Rumah dalam ruang kota adalah persoalan dilematis yang membuat penyair membuat penilaian dengan kesadaran sosal-politis atau malah ada representasi dari kesadaran rumah biografis. Dilema itu akhirnya menyisakan ruang rindu (nostalgia) yang sifatnya komparatif antara rumah kota dengan rumah desa. Ulfatin CH. intens untuk terus bicara rumah desa yang mengesankan pemihakan subjektif. Inilah puisi “Rumah Bambu” (1990): mungkin aku yang merindukan lagi / sebuah rumah bambu beratap rumbia / jalanan sepi di tengah desa / penuh kesederhanaan. Puisi Ulfatin ini sekaan jadi pewaris dari penyair-penyair awal yang membuat suatu konstruksi baku tentang rumah desa dengan siatuasi sosialnya. Ulfatin menguatkan imajinasi rumah nostalgia itu dalam puisi “Rumah yang Dulu” (2001): Rumah masih yang dulu / berjendela kayu beratap tembikar. Nostalgia itu mengantarkan Ulfatin pada hubungan sosial (kolektif) yang terbentuk dan tumbuh dalam rumah lama: Rumah masih yang dulu / aku rindu bersapa kawan, saudara /dan pohon-pohon yang tumbuh / berjalan menelan usia

Kematian Rumah, Alienasi, Tragedi
Afrizal Malna dalam jarak waktu jauh dari Hamzah Fansuri dan Chairil Anwar mengabarkan “Kematian Rumah”. Puisi Afrizal jadi babak sejarah puisi yang berakhir tragis: Jangan panggil kami, kami berdua tidak punya nama. Kami / berdua lahir dari kematian rumah. Pemaknaan rumah adalah kehadiran identitas, wacana bahasa, dan konstruksi ruang. Nama yang tidak dimiliki mengartikan tidak hadirnya pengucapan identitas dengan bahasa-bahasa yang bisa membuat orang percaya. Kelahiran menjadi perkara tragis karena tak ada legitimasi hidup (tranformasi). Kelahiran itu berasal dari kematian ruang dan tempat yang mestinya menjalankan misi mengonstruksi identitas manusia yang ada dan hidup di dalam rumah. Diksi rumah epistemologis Afrizal Malna seakan berjalan pada alur puisi yang lari dari jalan besar.
Puisi “Negeri yang Hilang” dari Radhar Panca Dahana mengabarkan rumah yang menyimpan sejarah dan nubuat hidup manusia. Rumah berada dalam pengertian psikologis yang membuka kesadaran manusia mencari dan menentukan nilai-nilai hidup. Sesal, gelisah, rindu, penantian, dan bingung menjadi rumusan pertanyaan besar tentang keinginan untuk kembali ke rumah dan berada dalam rumah. Inilah tragisme psikologis yang dijalani manusia: mencari asal / kupunya rumah. mencari sesal awalku gelisah. / aku pulang tanpa diriku. kuingat aku / tertinggal di pangku ibu. mana bisa kupergi / berbekal nama cuma. tanpa kukenal siapa nama, / semak belukar titian lalu, rumah kujelang / ibu menunggu. kusibak tirai nampak teras rumahku. / adakah aku tetap di situ?

Radhar dalam puisi “Surat Para Pencari Pintu” (1993) memberi deskripsi lain tentang keinginan untuk pulang ke rumah. Rumah berada dalam wacana mobilitas manusia untuk masuk atau keluar dengan kepercayaan waktu, pamrih, dan kerja hidup. Pada taraf yang atas terjadi suatu kegamangan epistemologis terhadap rumah dan pemaknaan dengan bahasa yang tak utuh terpahamkan. Inilah puisi rumah yang getir: seperti aku, / kau pun masuk-keluar rumah seolah / maling yang tak punya pintu dalam / kosa katanya. dan kita, begitulah, / senantiasa terlalu larut pulang.

Puisi Agus R. Sarjono “Syair Pindah Rumah” (1995) membawa berita skeptisisme rumah dan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi. Rumah diletakkan sebagai tanya besar dalam mobilitas hidup dan keinginan manusia membuat permainan makna dengan lakon yang diperankan. Rumah dikonstruksi sebagai hunian dan pusat eksistensialis. Agus membuka puisi dengan tanya yang substansial: Sambil mengemasi barang-barang dan kenangan, berapa kali / sebenarnya kita sanggup berpindah rumah, mengubah alamat / dan tempat pulang? Tanya itu menemukan jawaban yang skeptis dan obsesionis dengan melihat kondisi hidup dan manusia yang tidak bisa berada dalam ranah eksistensi yang meyakinkan dan tetap. Takdir atau hukum berat yang diberikan manusia dengan merujuk pada kisah-kisah teologis dan cerita lama (sejarah manusia) adalah sebagai pengembara yang bergerak, singgah, dan berpindah untuk eksistensi. Stereotipe manusia pengembara itu terjadi terus dalam perubahan masyarakat modern yang masih terus mencari rumah. Puisi rumah Agus bicara: Tapi kulihat juga orang-orang terusir / dari tanah-tanah leluhur, ladang dan sawah yang subur / menjadi pengembara sambil membawa-bawa sapu / dalam ingatan, melewati ribuan malam, ribuan siang / menggumamkan impian tentang rumah / dan sebuah halaman kecil untuk bisa disapu setiap pagi / agar anak-anak bisa berlarian di bawah matahari. Deskripsi yang menyebut manusia sebagai pengembara bisa dicari referensinya pada masyarakat desa dan kota yang tumbuh dengan nilai-nilai modernitas dan industri. Rumah menjadi persoalan yang kompleks dalam sistem sosial. pertanyaan eksistensialis dilontarkan Agus untuk mengisahkan keraguan eksistensialis manusia terhadap rumah: Tapi berapa kali / sebenarnya dalam hidup kita sanggup berpindah rumah, / mengubah alamat dan tempat pulang?

Tanya berulang diajukan penyair Robby Akbar dalam puisi “Benarkah Rumah Tempat Kembali?” Puisi Robby menguatkan pertanyaan konvensionil dalam puisi Indonesia modern yang mengurusi rumah. Inilah pertanyaan dengan pengaruh perkara yang sentimentil: Setelah jauh pergi / Dan roda waktu menghapus seluruh jejak / Di jalan yang pernah kulalui / Aku pun tersesat / Tak tahu jalan pulang. Rumah dalam pengisahan penyair-penyair Indonesia dalam alur skeptis ini kurang bisa menghadirkan persoalan yang riil untuk dikomunikasikan dengan melihat transformasi sosial mutakhir. Rumah dalam pemahaman publik bergeser jauh dari desain atau arsitektur yang berada dalam imajinasi penyair.

Wacana rumah dengan pikiran-pikiran mutakhir dikisahkan Afrizal Malna dalam Puisi “Pembunuh Rumah” (1998). Kisah manusia dan rumah menjadi suatu relasi njlimet dan berada pada batas-batas tragedi. Afrizal membuat kisah rumah yang representatif dengan pembacaan situasi sosial atau wacana urban dan kota yang menciptakan alienasi dan kematian diri terhadap rumah. Afrizal dengan diksi dan imaji rumah mengatakan: Aku pulang, aku ingin pulang. Jangan kunci pintumu. Kalau / kamu kunci aku tidak bisa masuk. Aku tak ingin mencungkil / jendela. Rumah akan mati dalam diriku. Aku ingin pulang. / Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Tempat aku tahu / kau sedang beriri menghadap jendela, dan aku duduk / dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan / sanggulnya penuh daun-daun setelah hujan. Aku ingin pulang. / Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Keterasingan dan kematian dikisahkan Afrizal terjadi pada orang-orang yang harus hidup dan tumbuh dalam ruang social yang bergerak cepat dengan hukum-hukum ekonomi, politik, dan sosial yang membunuh individu. Afrizal memberi kabar tragis: Dan kamu / tidak pernah pulang lagi. Dan aku tidak pernah pulang lagi. / Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri, yang tak / pernah bisa aku masuki lagi.

Alamat Rumah Puisi: Tambahan Kurang Penting?
Pencantuman tanda alamat rumah atau ruang dalam puisi meungkinkan pembacaan yang intim dan kritis terhadap ruang kerja kreatif penyair. Alamat itu terkadang dicantumkan sebagai kota, rumah, atau ruang-ruang yang lain. Pencantuman alamat atau rumah puis itu tidak kerap muncul dibandingkan dengan penandaan waktu penulisan puisi. Puisi-puisi Chairil yang mencantumkan alamat dengan eksplisit terhitung sedikit. Puisi “Situasi”dan “Dari Dia” ditulis di Cirebon, puisi “1947” dan “Dua Sajak Buat Basuki Resobowo” ditulis di Malang. Puisi Muhamad Yamin “Tanah Air” dan “Indonesia, Tumpah Darahku” ditulis di Tanah Pasundan. Puisi Linus Suryadi AG “Lagu Larut Malam” dan “Gelung Konde” ditulis di Iowa City. Puisi-puisi Dorothea dalam buku Para Pembunuh Waktu (2002) mencantumkan sekian alamat puisi itu ditulis: Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Magelang. Puisi-puisi Wiji Thukul dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru (2004) mencantumkan alamat puisi: Kalangan, Solo, Semarang, Sorogenen, dan Jagalan.

Penyair Made Wianta dalam puisi-puisinya kerap mencantumkan alamat (rumah) untuk proses penulisan puisi. Buku-buku puisi Korek Api Membakar Almari Es (1996), 2 1/2 Menit (2000), dan Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York (2003) menghadikran puisi-puisi yang eksplisit mencantumkan alamat rumah puisi: Yogyakarta, Denpasar, Bandung, Basel, New York, San Fransisco, Apuan, Nusa Dua, Malaysia, dan alamat-alamat yang lain. Kesadaran alamat rumah puisi ditunjukkan oleh Raudal Tanjung Banua dalam buku puisi Gugusan Mata Ibu (2005). Puisi-puisi dalam buku itu dengan eksplisit mencantumkan penanda rumah (alamat): Denpasar, Yogyakarta, Padang, Ubud, Bandung, Lombok, dan Malang.

Konvensi perpuisian Indonesia modern selama ini jarang yang melakukan pencantuman alamat rumah (ruang) kelahiran puisi. Pencantuman yang kerap ditemukan adalah penandaan waktu. Pelacakan puisi dan tafsiran untuk dekat dengan biografi penyair dan konteks ruang sosial dan kebudayaan dalam proses kreatif penulisan puisi kurang representatif dengan ketiadaan alamat rumah puisi. Pembicaran puisi memang jarang yang meletakkan puisi dengan latar ruang (rumah). Pembicaraan puisi kerap hanya mencari sejarah dan kronologi waktu. Banyak penyair yang abai dan sadar untuk tidak mencantumkan penandaan alamat rumah. Barangkali dari sikap abai itulah pembacaan dan tafsir puisi Indonesia kurang bisa memberi wacana alternatif dan komprehensif karena tak memiliki alamat rumah puisi. Begitu.


DATA PUISI
Abdul Hadi W,M. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan.
Afrizal Malna. 2002. Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. Yogyakarta: Bentang
Agus R. Sarjono. 2003. Suatu Cerita dari Negeri Angin. Yogyakarta: Jendela.
Beni R. Budiman. 2003. Penunggu Makam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Chairil Anwar. 1993. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
D. Zawawi Imron. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta: Grasindo.
Darmanto Jatman. 1997. Isteri. Jakarta: Grasindo.
Dorothea Rosa Herliany. 1999. Mimpi Gugur Daun Zaitun. Jakarta: Grasindo.
Dorothea Rosa Herliany. 2002. Para Pembunuh Waktu. Yogyakarta: Bentang.
Eka Budianta. 2000. Masih Bersama Langit. Magelang: Indonesia Tera.
Emha Ainun Nadjib. 1993. “Trotora Buat Manusia” dalam Indra Tranggono dan Iman Budhi Santosa (ed.) Sembilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isbedy Stiawan ZS. 2003. “Aku Menanam Diri” dalam Puisi Tak Pernah Pergi: Sajak-sajak Bentara 2003. Jakarta: Kompas.
Isbedy Stiawan ZS. 2005. Kota Cahaya. Jakarta: Grasindo.
Joko Pinurbo.2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Landung Simatupang. 1999. Sambil Jalan …. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
M. Poppy Donggo Huta Galung dan A.D. Donggo. 1999. Perjalanan Berdua. Jakarta: Grasindo.
Piek Ardijanto Soeprijadi. 1996. Biarkan Angin Itu. Jakarta: Grasindo.
Radhar Panca Dahana. 1994. Lalu Waktu: Sajak dalam Tiga Kumpulan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rendra. 1981. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rendra. 1983. Sajak-sajak Sepatu Tua. Jakarta: Pustaka Jaya.
Robby Akbar. 2003. “Benarkah Rumah Tempat Kembali?” dalam Jurnal Puisi Nomor 11-12-13 2003. Depok: Yayasan Puisi, Yayasan Indonesia Tera, dan Yayasan Bentang Budaya.
Saini K.M. 2000. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo.
Sitor Situmorang. 1989. Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang). Jakarta: Gramedia.
Slamet Sukirnanto. 1982. Catatan Suasana. Jakarta: Balai Pustaka.
Subagio Satrowardoyo. 1993. Simfoni Dua. Jakarta: Balai Pustaka.
Toto Sudarto Bachtiar.1962. Etsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toto Sudarto Bachtiar. 1977. Suara. Jakarta: Balai Pustaka.
Ulfatin CH. 1996. Selembar Daun Jati. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ulfatin Ch. 2001. “Rumah yang Dulu” dalam Jurnal Puisi No. 01 Tahun 2001. Depok: Yayasan Puisi, Yayasan Indonesia Tera, dan Yayasan Bentang Budaya.
Wiji Thukul. 2004. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera.
Wowok Hesti Prabowo. 2000. “Rumah Menangis” Korrie Layun Rampan (ed.) Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Biografi Penulis
BANDUNG MAWARDI, pendiri dan pengelola KABUT INSTITUT (Pusat Studi Sastra, Filsafat, Agama, dan Kebudayaan). Pendiri dan redaktur buletin sastra PAWON (Solo). Koordinator Program RUMAH SASTRA (Solo). Alamat Blulukan I, RT 4 RW 2, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174.

Tulisan di atas merupakan salah satu pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007.

::

Panen Sastra di Lahan Kering Kritik(us)

Esai Isbedy Setiawan ZS


DUNIA penciptaan karya sastra di Lampung bagai jamur yang tak hanya tumbuh di saat musim hujan. Tak terduga-duga, ada saja “lahir” sastrawan (penyair dan cerpenis) dari daerah ini. Dan, kampus sangat subur memberi lahan lahirnya sastrawan.

Dua kali Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional)—di Makassar dan Jambi—mengantar mahasiswa Lampung sebagai juara pertama penulisan puisi: Hendri Rosevelt (Makassar) dan Agit Yoga Subandhi (Jambi), Didi Arsyandi sebagai juara kesatu leomba penulisan lakon (drama). Sebelumnya, saat Lampung jadi tuan rumah, penyair Inggit Putria Marga menyabet peringkat pertama.

Tampaknya kampus memberi lahan besar bagi pertumbuhan dunia sastra di daerah ini. Hampir semua sastrawan terkini adalah lahir dari kampus. Sebut saja Inggit Putri Marga (lulusan FP Unila), Jimmy Maruli Alfian (alumnus FH Unila), Ari Pahala Hutabarat (FKIP Unila), M. Arman AZ (Unila), Lupita Lukman (Unila), Hendri Roosevelt (IAIN Radin Intan). Sebelumnya, “trisula penyair Lampung” muncul dari Unila: Iswadi Pratama (FISIP), A.J. Erwin (FE), dan Panji Utama (FP).

Lalu barisan berikut, Anton Kurniawan (Bahasa Inggris Bahasa dan Seni FKIP), Dyah Merta (Bahasa dan Sastra Unila), Fitri Yani (FKIP Unila), Arya Winanda (alumni FP), Yessi F. Sinubulan (FE), Didid Arsyandi (Fak MIPA Biologi), dan Agit Yoga Subandhi (FH Unila).

Jamur yang tumbuh tak hanya di saat musim hujan itu, layaknya Lampung memiliki bibit unggul yang baik dan pupuk berkelas wahid. Karena itu, seakan bicara soal sastra Indonesia belum dikatakan lengkap apabila tak menyertakan sastrawan Lampung.

Seorang Nirwan Dewanto menyebut Lampung sebagai Negeri Penyair, sementara F. Rahardi mengklaim daerah ini sebagai “lumbung puisi” dan yang bisa mengalahkan atau menyamainya hanya Bali, Yogya, dan Jatim. Bukti nyata tak pernah ditinggalkan, hampir setiap kegiatan sastra di Tanah Air pasti sastrawan Lampung diundang.

Ada dua kata atau sebutan yang menarik dibincangkan dalam kesempatan ini: “negeri penyair” dan “lumbung puisi” yang di lontarkan kedua pengamat/kritikus sastra tersebut.

Barangkali, bicara kuantitas, Lampung terbanyak dibanding daerah-daerah lain. Memang kuantitas tidak harus sesanding dengan kualitas.
Leksikon Seniman Lampung (DKL-Logung Yogya, 2005), misalnya, menyebut tidak kurang dari 36 sastrawan Lampung.

Media masa lokal dan nasional, tiap pekan di isi oleh karya sastrawan Lampung. Lampung Post, satu-satunya media yang menyediakan halaman sastra dengan honorarium yang lumayan, kerap dibanjiri karya-karya sastrawan daerah di samping penulis sastra dari luar.

Saya melihat Lampung Post masih objektif menempatkan sastrawan Lampung dengan dari luar. Kalaupun karya sastrawan daerah ini memang belum layak, Lampost akan menurunkan karya dari sastrawan luar.

Kompetitif ini membangkitkan semangat para sastrawan Lampung untuk terus melahirkan karya sastra terbaiknya. Memang, dalam dunia sastra, kualitas karya lebih utama daripada nama seseorang. Sastrawan baru muncul tidak sertamerta takut dengan sastrawan yang jam terbangnya lebih dulu. Sastrawan senior juga, suatu masa, bisa melahirkan karya lebih buruk dibanding yang baru muncul.

Kompetitif tersebut, sayangnya, hanya ditentukan oleh satu tangan: redaktur media massa. Sehingga redaktur, akhir-akhir ini, bertugas sebagai kritikus pertama sebelum sampai ke hadapan pembaca. Karena ia penentu dimuat atau dibuang ke tong sampah.

Tugas “kritikus media” memang tak punya pertanggungjawaban di atas kertas di hadapan pembaca (audiens). Ia bertanggung jawab hanya kepada karya, dan mungkin kepada redaktur pelaksana/pemimpin redaksi, selebihnya tidak lagi dituntut.

Tugas redaktur memang berbeda dengan tugas kritikus. Pertanggungjawabannya juga sangat berbeda. Dan, dunia sastra Indonesia, setelah ditinggalkan H.B. Jassin tak lagi punya kritikus sastra. Kalaupun dianggap ada, hanya berapa gelintir? Sebut saja Dami N. Toda, Faruk HT, Suminto A. Sayuti, Maman S. Mahayana, Melani Budianta, Sunu Wasono tidak begitu aktif menulis kritik sastra. Sementara nama lain, antaralain Nirwan Dewanto, F. Rahardi, Hasif Amini, Joko Pinurbo, Bandung Mawardi bagai sepintas lalu menggeluti kritik sastra.

Karena itu, melimpahnya karya sastra di Tanah Air tak sebanding dengan telaah kritik sastra. Minimnya kritikus sastra, membuat karya sastra (cerpen dan puisi) seperti berjalan tanpa rambu. Pembaca meraba dalam memasuki sebuah karya sastra. Apresiasi semacam ini bukan saja makin menjauhkan pembaca kepada sastra atau karya sastra kehilangan identitas di mata pembaca, melainkan karya sastra tak pernah booming di masyarakat.

Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri tak akan bisa dinikmati seperti saat ini jika saja Dami N. Toda tidak menelaah secara mendalam. Atau puisi-puisi Chairil Anwar tak akan sepopular sekarang sekiranya H.B. Jassin tak serius menelaah, atau Areif Budiman masuk ke dalam “pertemuannya” dengan puisi-puisi si “penyair binatang jalang” itu. Begitu seterusnya, termasuk puisi-puisi Afrizal Malna, Joko Pinrubo, dan lainnya.

Ranah sastra Indonesia memang kehilangan kritikus sastra. Nasib sama juga menimpa dunia sastra di Lampung. Bagaimana tidak aneh, daerah ini cukup banyak sastrawan namun tak ada sama sekali kritikus sastra. Di Lampung, ibarat panen sastra (justru) di lahan kering kritik(us).

Semula saya berharap banyak pada Asarpin dan Damanhuri yang kerap memasuki wilayah kritik sastra. Tetapi, kedua penulis ini—alumnus IAIN Radin Intan—tidak ansich dan “sepenuh hati” menyiapkan diri sebagai kritikus sastra. Tulisan-tulisannya (esainya) lebih banyak bicara persoalan sastra dan tak masuk ke teks sastra, baik sebagai apresiasi ataupun penelaahan mendalam Kedua esais (kolomnis) tersebut, bahkan acap mengapresiasi karya sastra berdasar tema-tema tertentu. Sehingga sastra tak lagi punya otonomi dan multidimensional.

Memang tak ada salahnya. Tetapi, sastra hanya bisa bicara satu dimensi. Otonomi sastra terpecah ke dalam wilayah-wilayah pembicaraan yang diingini penelaaah. Sementara sastra, galibnya memiliki multiinterpretasi akhirnya menjadi bermakna tunggal.

Selain kedua esais tersebut, sebenarnya bisa berharap banyak dan apalagi secara keilmuan sangatlah kredibel, misalnya Oyos Saroso H.N., Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, dan M. Arman A.Z. (cerpenis). Sayangnya, mereka juga kreator sastra, sehingga dikhawatirkan subyektivitasnya terganggu. Kesibukan mereka sebagai penulis karya sastra saja amatlah menyita, bagaimana bisa memiliki waktu untuk menelaah.

Itulah sebabnya, nama-nama terakhir ini lebih banyak terlihat sebagai penyair dan cerpenis, tinimbang kritikus sastra. Oyos Saroso malah disibukkan oleh profesi jurnalis di The Jakarta Post. Sedangkan Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat, keluar masuk di dalam dua kamar: sastra dan teater.

Dari persoalan yang cenderung dilematis itu, sementara karya sastra (tetap) membutuhkan kritik—setidaknya memberi apresiasi antara karya kepada pembaca—dan dunia sastra di Lampung terbentur oleh minim (tepatnya tidak ada) kritukus sastra. Dengan demikian, membanjirnya karya sastra tak diimbangi oleh kritik sastra yang memadai pula.

Bisa kita lihat, hanya berapa kritik sastra yang masuk ke meja redaktur media di daerah ini—taruhlah Lampun Post—jika dibandingkan dengan karya cerpen dan puisi yang diterima? Dan, berapa kritik sastra yang benar-benar mengkritisi karya sastra yang termuat di Lampung Post sebulan saja?

Esai yang muncul tidak substansial mengkritisi karya sastra, oleh karena itu sulit digolongkan sebagai karya kritik sastra. Bahkan yang muncul justru acap tidak membicarakan karya sastra, melainkan persoalan kesenian di luar kesenian. Istilah ini, pernah popular dengan sebutan “merumpi di dunia kesenian (sastra)”.

Saya dan teman-teman “redaktur tamu” Sastra Milik Siswa (SMS) di tabloid remaja Warna kerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Lampung kerap kesulitan mencari pembahas (kritikus) karya sastra siswa SMA itu. Sehingga harus berputar para pembahas yang ada.

Padahal daerah ini punya FIKP yang memiliki jurusan Bahasa dan Sastra, juga ada jurusan Sastra Inggris (Teknokrat), dan Bahasa dan Sastra (STKIP). Namun alangkah sulitnya mendapati kritikus sastra, dan nama-nama yang dulunya sangat dekat dan pernah menulis kritik seperti Kahfi Nazaruddin, M. Fuad, Edi Suyanto (pengajar di Bahasa dan Sastra FKIP Unila) ataupun Sutjipto tidak lagi terlihat kritik (sastra)nya. Apatah lagi berharap dari mahasiswa dan pengajar Teknokrat dan STIKP, ibarat “menunggu godot”.

Sayang memang, mengapa kritikus sastra tak bisa lahir di lahan subur kepenyairan Lampung? Mengapa “negeri penyair” atau “lumbung puisi” namun tak mampu menumbuhkan kritikusnya? Apakah kritikus sastra tak diperlukan, ketika karya sastra sudah menjamur? Padahal suburnya lahan menanam padi, tak sertamerta pupuk tak lagi dibutuhkan?

Mengamati media yang membuka rubrik sastra seperti Lampung Post, kiranya lahan kritik masih terbuka lebar dan ini menjadi peluang berharga bagi—seharusnya—mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP dan perguruan tinggi lain. Karena selama ini belum pernah ada, lalu apa yang dilakukan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra kita?

Jangan sampai FKIP, STKIP, ataupun Teknokrat yang mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra cuma untuk melahirkan pendidik yang tampaknya pandai bersastra jika di depan kelas (siswa). Itu pun sebatas periodesasi dan teoritis. Karya sastra dilihat dengan menggunakan kacamata kuda. Pilihan ganda untuk menelaah karya sastra, dan bukan bagaimana menarasikan apa yang dirasa dari hasil tasfir sebuah karya sastra.

Mahasiswa Bahasa dan Sastra (FKIP/STKIP) bukanlah “kecelakaan” sebab tak mampu atau tak diterima di fakultas lain. Begitu pula sarjana sastra (SS) tak lebih rendah dengan sarjana-sarjana (ilmu) lainnya. Sebab kalau begitu, taklah mungkin Taufiq Ismail, Asrul Sani (dokter hewan), Putu Wijaya (SH), Nirwan Dewanto (insinyur), Jimmy Maruli Alfian (SH), Inggit Putria Marga (SP), Iswadi Pratama (FISIP) menjadi sastrawan.

Lalu, mengapa mahasiswa Bahasa dan Sastra (termasuk pengajar, berarti lebih mumpuni) dan sarjana sastra, justru menjauh dari dunia sastra dan kadang tak nyambung membicarakan sastra? Kesalahannya di mana?*


Kemiling, 3110.08




*)
Tulisan ini dari bahan bincang untuk mahasiswa baru jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP Universitas Lampung, 1 November 2008.


Kesenian Pasca Pilgub,

GK 16 Tahun Kemudian

Oleh Isbedy Stiawan ZS


Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.
------------

SUDAH keliwat capek Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 harus berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lainnya: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).

Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung—saat itu Poedjono Pranyoto—pada pengukuhan pengurus DKL pada 1993 akan dibangun bagi pengembangan dan kemajuan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung tidak juga terealisasi sekaligus menjadi “utang budaya” Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka “kran” di bantuan rutin APBD.

Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE 1 ditinggalkan Poedjono Pranyoto. Sempat beberapa tahun DKL tak mememeroleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik para elit di Lampung mengimbas ke DKL. Kala itu sejumlah “orang penting DKL” ikut bermain dalam kancah perpeolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada Ketua Umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di Pilgub. Entah karena “perintah Oe”, yang jelas anggaran DKL di APBD saat itu nyaris ditahan. Kemudian tahun berikut dan Oe tak lagi menduduki BE 1, DKL hanya dikucurkan sekitar Rp50 juta di APBD.

Persoalan “utang budaya” Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov “sekadarnya” mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah senibudaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?

Politik pasca Pilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabrani yang terpilih sebagai Gubernur ibarat “prahara” dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: kemudian kita tahu Sjahroedin ZP berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Awal kepemimpinan Sjahroedin ZP, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada senibudaya Lampung akan berjarak—walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariatnya di wisma atlit milik KONI Lampung, dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).

Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di harian Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung “bersuara kencang” menolak sekretariat DKL hengkang dari wisma atlit di Pahoman. Mendengar “teriakan” para seniman, Sjahroedin bukannya berang atau menutup sama sekali ruang kiprah DKL dan seniman Lampung.

Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjahroedin mengeluarkan statemen yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan bukan mengusir DKL dari Pahoman melainkan karena gedung itu adalah milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni. “Kalau pun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan,” ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di Kompleks PKOR/LKDL Wayhalim.

Dari sini saya, tentu dengan sangat hati-hati, “membaca” visi-misi Sjahroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia senibudaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana-budaya ke Cirebon dan Banten. Di dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa “janji” membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.

Sayang seribu sayang, harapan dan impinan para seniman untuk memiliki gedung kesenian terhalang oleh pemilihan langsung Gubernur Lampung yang dilaksanakan 3 September 2008 lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan, kalau Sjahroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye untuk memenangkan Pilgub 2008.

Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang refresentatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjahroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi—Ketua Umum DKL—baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.

Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran senirupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.

Impian adanya Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat—bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjangnya penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan “pelunasan utang budaya” yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan senibudaya di daerah ini.

Adalah (di tangan) Sjahroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm) Zainal Abidin Pagaralam itu, telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang “menyulap kebun binatang” di Cikini Jakarta menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban senibudaya di Tanah Air.

Pembangunan GK di PKOR Wayhalim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan senibudaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik.. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruislag GOR Saburai jangan digulirkan lagi. Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.

Meski gonjang-ganjing para elit politik pasca-Pilgub 2008 yang bukan tak mungkin terganggunya hasil pemilihan, jangan sampai roda pemerintahan (di dalamnya rencana pembangunan 5 tahun ke depan) menjadi stagnan. Kini ke enam pasang kandidat Pilgub berjamaah menolak hasil Pilgub 2008 karena ditengara cacat hukum, ditambah pernyataan yang memasalahkan pencairan dana mantan Gubenur Lampung sehari setelah Syamsurya Ryacudu dilantik sebagai gubernur yang baru (Lampung Post, Rabu 10 September 2008). Jangan sampai pertarungan antara yang kalah dan menang dalam laga Pilgub 2008 berbuntut ke para legislatif, misalnya turut berenang di air keruh politik atau menjadi steru legislatif-eksekutif parth two.

Karena itu memanasnya suhu politik di kalangan elit di Lampung itu, tidak lantas sampai mengimbas—terutama—pada pengembangan kehidupan berkesenian (kebudayaan pada umumnya) di daerah ini. Betapa pun, kita mahfum, kesenian (kebudayaan) tidak mengarus ataupun memuara pada suhu perpolitikan. Kesenian dan kebudayaan berada dalam wilayah sendiri yang diharapkan steril, dan politik akan (selalu) memengaruhi berbagai bidang—boleh jadi, termasuk, membayangi kesenian-kebudayaan.

Di sinilah saya tetap yakin bahwa seniman (budayawan) tak perlu cemas pada “tirani” politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat. Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor maka seni yang mensucikan; dan bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra untuk menggerakkan arus dari dalam partai komunis Indonesia (PKI). Akibat terlalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik—kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.

Berpijak pada hasil quick count dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual oleh KPU Lampung, Sjahroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009-2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko.

Tidak berlebihan—apalagi muluk-muluk—sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjahroedin membangun dan mengembangkan senibudaya di daerah sudah terasa.

Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!

Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan senibudaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi senibudaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak terlanjur subdin kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi senibudaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.

Mengawali 5 tahun ke depan kepemimpinan Sjahroedin-Joko Umar Said dan 16 tahun terbentuknya DKL serta beberapa tahun MPAL, diharapkan sejarah makin ditancapkan: berdirinya Gedung Kesenian Lampung. Selanjutnya, akankah kehidupan senibudaya tetap dijamin kelaknya? Mari kita tunggu, sebab bola belum dilambungkan roda belum digelindingkan.*


Bangun Spiritual Berkesenian?

Esai Isbedy Stiawan ZS

Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini. Namun, realitas di Lampung berkarya karena “pesanan”, untuk perlombaan, seremoni, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada tradisi.

SAYA tinggalkan Hotel Panghegar meski masih semalam mendapat gratis menginap di hotel berbintang 5 itu. Saya memilih bermalam di rumah kos teman di kompleks CCL (Center Culture Ledeng) Bandung. Selain udaranya amat dingin, di kompleks itu ada arena berkesenian dan (kebetulan) Jumat malam (25/7) Teater Q dari Tegal mementaskan “Titik Koma”.

Tetapi, di sini, saya tidak hendak membincangkan pementasan teater yang sarat “pesan sponsor” HIV/AIDS tersebut sehingga terkesan cair. Di CCL itu saya berjumpa seorang perupa yang kerap melakukan pameran instalasi dan pernah magang pada Tisna Sanjaya. Ia menyebut namanya, Yudi A.B., tatkala berkenalan di sela-sela pementasan Teater Q. Percakapan lebih luas ihwal kesenian, terutama senirupa dan sastra juga ihwal seniman “perahu retak” Tisna Sanjaya, dilanjutkan keesokan harinya

Tatkala cuaca pagi masih sangat dingin, Yudi datang membawa beberapa kilo bibit padi, jagung, dan kedelai. Karena sebelumnya di Lampung tidak biasa menyaksikan seniman melakukan hal seperti itu (semula saya menganggap ia melakukan kerja rangkap untuk menghidupi dirinya sehari-hari selain dari kesenian, sebagaimana dilakukan para seniman lain yang acap menggarap ranah politik di kala pilkada), membuat saya ingin tahu lebih banyak darinya.

Yudi A.B.—lulusan FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung—mengurai rencanana berkeseniannya. Ia sedang menggarap agriculture grafis, yaitu satu karya grafis di atas ladang pertanian. Atau, ia menyebut, kolase. Bibit padi, jagung, dan kedelai yang ia beli itu akan disebar di lahan sawah seluas seperempat hektar di kawasan Lembang. Proses “untuk menjadi” butuh 3 bulan. Bibit tanaman yang gagal itulah kelak dijadikan grafis di ladang. Untuk karya grafis di atas ladang pertanian tersebut, ia juga menyiapkan kamera foto dan video. Hasil jepretan itu nantinya yang akan dijadikan karya kolase agriculture grafis. Karya berkesenian Yudi bisa dilihat 4 atau 5 bulan mendatang. Betapa panjang (prosesnya), bukan?

Ini satu contoh dari proses kerja seniman instalasi Yudi A.B. Ia harus menyiapkan dirinya 4 bulan untuk menghasilkan karya grafis. Itu pun ia bisa saja dihadang kegagalan, sekiranya tak sebulir benih ditanam tak menumbuh sebagaimana diharapkan. Apa yang diinginkan dari Yudi untuk agriculture grafis di ladang pertanian di kawasan Lembang berhawa dingin itu? Bagi Yudi berkesenian adalah menyerap sebanyak-banyaknya persoalan yang terjadi dan (akan terjadi). Berkesenian bukan hanya urusan (“kepuasan”) batin, imajinasi, dan seabrek popularitas estetika, melainkan hendak berdialog melalui kesenian.

Artinya, melalui karya grafis di ladang pertanian (agriculture grafis) tersebut, setidaknya Yudi ingin mempertanyakan (tepatnya menggugat) kepada penguasa tentang import beras sementara di lumbung kekurangan beras. Ia ingin menyoal harga tempe yang sempat melonjak, justru kedelai banyak dihasilkan dari lahan di negeri ini. Termasuk pula masalah jagung yang maish menjadi paforit masyarakat.

Sepenggal perjumpaan saya dengan Yudi A.B. di pojok bedeng CCL Bandung, akhir Juli lalu, sangat pas mengawali pewacanan kesenian di Lampung yang dilontarkan kawan Ari Pahala Hutabarat (Teater dan Usaha Menjadi Lebih Rasional, di harian ini, 27 Juli 2008) dan Iswadi Pratama (Kesenian di Lampung: Rasional, Spiritual atau ‘Libidinal’? pada Lampung Post, 3 Agustus lalu) yang bertolak dari Festival Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12-13 Juli 2008.

Agaknya, “kemarahan” direktur artistik dan sutradara KoBer atas penampilan 11 aktor/aktris peserta monolog memang beralasan. Sebagai salah satu tim pengamat (juri) pada Festival Monolog tersebut, Ari Pahala Hutabarat seakan mendapatkan betapa minimnya pengetahuan berkesenian para peserta tentang naskah dan keaktoran. Sedangkan Iswadi Pratama, sutradara di Teater Satu, memeroleh gambararan betapa sesungguhnya aktor/aktris di daerah ini malas atau enggan berproses. Mereka—bahkan juga banyak seniman di Lampung—ingin cepat jadi tanpa melampaui proses; ingin tampil di panggung tanpa pernah mengolah laku dan suara. Kese-jadi-an instan seperti ini yang acap “dipelihara” banyak seniman daerah ini.

Sejatinya bukan puncak keberhasilan adalah segalanya, tetapi berporses dan berproses untuk menjadi sesungguhnya mutiara berharga. Hanya kita—para seniman—sering cuai pada persoalan proses atau (ketekunan/disiplin) berlatih. Sehingga, dianggap wajar, dari 23 peserta awal yang telah terdaftar pada Festival Monolog akhirnya hanya 11 melenggang ke atas panggung. Selebihnya menggugurkan diri dengan berbagai alasan: tak punya waktu latihan, banyak kesibukan di luar kesenian, dan sebagainya.

Dalam hal ini panitia festival tak sepenuhnya disalahkan, hanya alasan “mengapa hanya 11 peserta yang ikut?” dan “apakah disebabkan publikasi yang kurang?” yang sempat terlontar dari rekan-rekan pengurus DKL. Saya bantah anggapan itu untuk membela kerja panitia.

Persoalan, sekali lagi, terletak pada ketiadaan disiplin dan ketekunan untuk melampaui proses yang sejatinya sangatlah penting bagi seorang seniman. Tiadalah Putu Wijaya, N. Riantiarno, Sutardji Calzoum Bachri, Ratna Majid, Goenawan Mohammad, Affandi, Sardono W. Kusumo, Garin Nugroho—untuk menyebut beberapa nama, meraih prestasi seperti terlihat kini, tanpa melalui proses (kerja) yang panjang; disipilin dan tekun.

Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini tatkala kita mulai tancapkan kehendak melenggang di jalan kesenian. Sebab, sebagaimana profesi, awal dan muara adalah kerja dan kerja bagian tak terpisah dari ibadah. Sedangkan ibadah tentulah berurusan dengan spirit(ual), maka menjadi tak terbantah lontaran Iswadi Pratama dalam tulisannya tersebut. Baik Ari Pahala maupun Iswadi Pratama, bukan kebetulan, saya tahu persis proses (kerja/kreatif) sebagai seniman untuk “menjadi lebih rasional” dan berprestasi seperti sekarang ini.

Artinya menggeluti ranah kesenian bukan dengan niat setengah-setengah atau “sepintas lalu” (Budi Darma), sekadar (Sutardji Calzoum Bachri). Melainkan berani “mengejami diri hingga berdarah-darah” (Emha Ainun Nadjib), “mengharu-biru” (Taufiq Ismail), dan setia siap menjadi “binatang jalang” (Chairil Anwar) ataupun manusia “no maden” (Iwan Simatupang)--dalam arti spiritual.

Realitas berbalik mencermati seniman (berkesenian) di Lampung. Berkarya karena “pesanan”, untuk event perlombaan, seremoni suatu perhelatan, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada kebudayaan tradisi dengan dalih mak kham siapa lagi, mak ganta kapan lagi. Atau berkesenian secara komunitas (kelompok) yang nyaris mengedepankan hura-hura lalu mengenyampingkan spiritual, berkesenian instan yang menyihir generasi-wangi.

Aduhai, apakah hanya sebegitu (ber)kesenian kita hari ini? Apakah kesenian kita melulu “menadah” tangan pada pemerintah setiap hendak produksi? Ternyata seorang Yudi A.B. menyiapkan benih untuk ditaman bagi karya grafisnya di ladang pertanian, tanpa mengajukan lebih dulu proposal ke pemerintah atau lembaga terkait. Ia berjuang dan (harus) membongkar koceknya sendiri untuk menyiapkan proses agriculture grafisnya.

Tetapi banyak seniman daerah ini hanya untuk satu produksi yang terbilang instan, berlembar-lembar jutaan bisa ditangguk dari pemerintah. Digunakan “manajemen kedekatan (emosional)”, misalnya, melibatkan salah satu tokoh yang memiliki kedekatan pada penguasa untuk memuluskan urusan di birokrasi. Dan, masih banyak cara lain menembus jalan pintas, dengan mencuaikan proses spiritual tadi.

Apakah berkesenian seperti ini masih tetap bermartabat? Jawabnya, bisa “ya”, karena ukurannya sangatlah relatif. Tetapi, kalau cara-cara seperti ini terus ditularkan, akan menjadi virus bagi pertumbuhan kesenian yang diidamkan. Konon di Malaysia, seseorang bisa melahirkan sebuah karya seni (sastra), ia bisa diakui sasterawan negare dan berbagai fasilitas dimudahkan atau mendapat dispensasi/diskonisasi. Karena itu, konon pula, Malaysia banyak “seniman negara” yang mendapat diskon bila menginap di hotel, mendapat keringan fasilitas dari negara, dan seterusnya: termasuk tidak kesulitan mengunjungi undangan ke luar negeri.

Indonesia memang tidak sama dengan Malaysia. Meski tak ada “seniman negara”, bukan berarti tak adanya seninan-seniman (di Lampung saja) yang memiliki “kedekatan sangat kental” pada kekuasan (penguasa). Apalagi sejarah tak bisa dilupakan, betapa kedetakan Lekra pada partai dan penguasa saat itu. Begitu pun sejarah akan terus berulang, dan kini secara kasatmata bisa dilihat “peran” (beberapa) seniman dalam politik—terutama menjelang Pilgub Lampung 3 September. Adalah rahasia umum, sejumlah seniman daerah ini yang sementara meninggalkan kekreatorannya dan lebur dalam hirukpikuk Pilgub. Entah sekadar sebagai pendukung ataupun telibat menjadi tim sukses (TS) salah satu kandidat pilgub. Mereka tetap membawa-bawa diri seniman, tetapi entah disimpan di mana spiritualitas kesenimanannya?

Ah, saya tak hendak berlama-lama mengurai persoalan ini. Akan menjadi bertele-tele dan terkesan ceriwis bin nyinyir bin iri, pabila dipanjang-panjangkan musabab ini.


Peran akademisi dan krtisi
Persoalan mendasar kesenian di Lampung sebenarnya minimnya peran akademisi dan kritisi—baik dari jalur luar maupun dalam kampus. Padahal, manakala karya-karya seni lahir cukup banyak (di Lampung banyak lahir karya senirupa, sastra, teater, dan film), tetapi tak sebanding lahirnya kritik seni.

Iswadi Pratama meyebut, “mengapa setelah Anshori Djausal, hampir tidak ada lagi kaum cerdik—pandai dari sekian banyak perguruan tinggi di daerah ini yang—tak perlulah ikut berdebu bersama seniman—mau berbagi wacana dan pengetahuan?” Walaupun saya masih menambahkan nama Damanhuri, Asarpin (alumnus IAIN Radin Intan), dan (sesekali) Oyos Saroso H.N. (jebolan UNJ, d.h. IKIP Rawamangun) masih mau berbagi di ranah kesenian. Tetapi, memang yang diidamkan Iswadi ialah kehadiran kritisi dan cerdik-pandai yang mau berbagi ilmu di ranah kesenian di Lampung belum sebanding, karena itu ia menganggap “hampir tidak ada lagi…”

Ironi memang. Tatkala Unila ada jurusan bahasa dan seni, sedang dari “kawah” itu tak lahir seorang pun kritikus seni. Manakala Unila menyediakan jurusan yang identik pada urusan sastra dan kesenian, sudah bertahun-tahun ada hanya terlahir segelintir seniman: Ari Pahala Hutabarat, Dyah Merta--dan beberapa nama lainnya, cuma untuk seorang atau dua kritikus seni saja tidak bisa.

Karena itu, usah heran apalagi harus marah, jika Iswadi mengatakan hampir tidak melihat seorang pengamat politik, rektor, dekan, dosen—misalnya—asyik nonton teater, pameran lukisan, pentas tari, konser musik, pemutaran film, diskusi sastra. Kenapa harus heran? Alasan apa untuk membuat kita berang? Dalam sejarah pemilihan presiden—apatah lagi pilgub maupun pilbup/pilwalkot serta penjaringan legislatif—di negeri ini, tak ada keharusan seseorang sekadar untuk mengerti-mengapresiasi kesenian.

Maka tengoklah anggaran yang disediakan untuk kesenian jauh di bawah bagi menghidupi olahraga. Hal ini disebabkan minimnya di lembaga eksekutif dan legislatif punya kepedulian (apresiasi) terhadap kesenian. Lalu, di sisi lain, tidak banyaknya seniman yang menjadikan kesenian sebagai etos kerja, spiritual hidup, selain—barangkali—hanya untuk tujuan yang pragmatis, sesaat, rangkap, dan cita-cita yang kabur itu. Berkesenian lantaran “panggilan massa”, bukan sapaan jiwa (spirit).

Jadi, mau apalagi, begitulah kesenian kita saat ini. Meskipun, yakinlah, di lahan tandus pun kesenian (seniman) yang memiliki spiritual dan setia berproses, tetaplah akan tumbuh (lahir). Betapa pun, sekiranya, Dewan Kesenian di Indonesia ini ditiadakan. Ataupun, barangkali, media massa dan ruang-ruang berkesenian ditutup maka kesenian (seniman) akan tetap muncul. Demikian suratan…


Yang Tersisa dari TSI


Oleh Isbedy Stiawan ZS


Kecenderungan setiap pertemuan sastrawan akhir-akhir ini di Tanah Air, seperti latah pada penutupan menerbitkan rumusan justru di luar soal (pencapaian) estetika. Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Jambi (7-10 Juli 2008) seakan pula latah dan “memaksakan” keinginan menelurkan gagasan perlu wadah bagi sastrawan. Padahal sudah terlalu banyak komunitas yang mewadahi para sastrawan baik yang dibentuk sekelompok sastrawan atau karena “dipaksa” kelahirannya dari suatu pertemuan, musyawarah, atau kongres.

Saya termasuk yang apriori—bahkan menolak—ketika terendus gagasan akan dibentuk wadah dari TSI 1 Jambi. Ada sesi khusus sengaja ditampilkan sebagai penutup sesi pada hari terakhir, dengan nama “musyawarah sastrawan”. Untuk melegitimasi sesi tersebut, sehari sebelumnya penyair Acep Zamzam Noer (Jabar) membincangkan perlu tidaknya wadah bagi sastrawan. Sejatinya Acep menegaskan tidak perlu sastrawan Indonesia membentuk wadah, karena tidak efektif. Persoalan estetika diserahkan kepada komunitas-komunitas yang kini tumbuh di setiap kota/provinsi dan dinilainya berhasil.

Bahkan Acep, juga didukung Triyanto Triwikromo (Jateng) dan Tan Lioe Ie (Bali) pada perumusan musyawarah tegas-tegas menolak dibentuknya wadah. Namun, demi demokratisasi, mereka serahkan sepenuhnya pada forum pembahasan. Begitu pula ikhwal penyebutan TSI 1 yang diingini panitia mesti berlanjut di kota lain sebagai bagian rekomendasi, juga ditolak ketiga perumus tersebut. Artinya daerah lain dipersilahkan membuat nama lain untuk pertemuan sastrawan, atau bisa menggunakan nama TSI namun bukan kelanjutan (2). Karena setiap provinsi punya cara dan pandang serta “kepentingan” yang bisa saja berbeda dalam menggagas suatu kegiatan. Oleh karena itu, menurut Tan Lioe Ie, jangan dibatasi dengan segala rekomendasi dari pertemuan sebelumnya.

“Silakan daerah menentukan tema atau nama kegiatan. Sehingga TSI 1 di Jambi ini tidak akan mengeluarkan rekomendasi apapun untuk Bangka Belitung yang akan menggelar pertemuan sastrawan tahun depan. Begitu pula Sumsel yang hendak menggagas kegiatan sejenis pada 2010, silakan rancang sendiri,” tandas Acep Zamzam Noer.

Sunli Thomas Alexander, sastrawan Babel, mengaku sudah ditelepon Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Babel yang menyatakan siap menggelar TSI pada 2009. Anwar Putra Bayu, juga mengatakan telah dihubungi Dinas Budpar Sumsel pada tahun berikutnya. Kesiapan Babel dan Sumsel disambut gembira, karena dengan makin banyaknya pertemuan sastrawan akan semakin bergeliat dunia sastra di Tanah Air.
Tak perlu wadah

Saya apriori, mengingat wadah-wadah (komunitas) yang sudah telanjur tumbuh di kalangan sastrawan tidak efektif bagi kemajuan dan pengembangan bakat sastrawan. Kecuali komunitas-komunitas yang ada hanya membesarkan dan mengkultuskan ketuanya. Contoh paling tidak baik yang terjadi pada KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang mengapungkan Wowok Hesti Prabowo di kancah sastra Indonesia, lalu Komunitas Utan Kayu (KUK) yang membuat Goenawan Mohammad menjadi “dewa” bagi sastrawan yang baru tumbuh di Tanah Air, dan terakhir munculnya Boemi Poetra yang membuat nama Wowok dan Saut Situmorang terkenal di ranah sastra Indonesia. Tetapi, semua komunitas yang ada itu tidak pernah mau peduli terhadap kesejahteraan, advokasi, ataupun perlindungan bagi sastrawan.

Baru-baru ini juga, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Banjarmasin juga “latah” hanya karena mendapat rekomendasi KCI di Pekanbaru, sehingga harus membidani Komunitas Cerpenis Indonesia (KCI) yang diketuai Ahmadun Yosi Herfanda yang juga Presiden KSI hasil kongres KSI di Kudus, Januari 2008.

Tetapi, kecuali KSI, kiranya Komunitas Cerpenis Indonesia tidak berjalan seperti yang diinginkan para cerpenis peserta KCI yang “getol” pada wadah. Memang masih banyak sastrawan Indonesia yang menggilai uniform, yang merasa tercatat manakala telah mengantongi Kartu Tanda Sastrawan (KTS), dan ambisi untuk duduk di komunitas sastra. Itu sebabnya, saya juga menolak terbentuknya KCI di Banjarmasin dengan cara “menghilang” saat sesi rumusan dan pembentukan KCI.

Sejak dideklarasikan oleh penulis Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari pada Agustus 2007, KCI tenggelam seiring kesibukan masing-masing pengurusnya: Ahmadun sibuk dengan KSI dan pekerjaannya di Republika, sementara sekretaris KCI Triyanto Triwikromo juga suntuk sebagai kreator sastra, redaktur Suara Merdeka dan “traveling ke luar negeri” adalah dasar kevakuman kumunitas tersebut.

ASI yang digelontorkan di Jambi memang perdebatan perlu tidaknya pembentukan wadah sempat hangat. Namun berlangsung santai dan penuh persaudaraan. Walaupun Sudaryono—ketua pelaksana TSI—tetap menghendaki lahirnya wadah di Jambi karena mungkin sudah titipan penyantun dana (baca: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi), yang kemudian “melemahkan” para perumus, dalam hal ini Triyanto Triwikromo.

Cerpenis Indonesia dan redaktur sastra Suara Merdeka (Semarang) itu ketika mengobrol dengan saya, mengatakan wadah ini harus dilahirkan dari forum TSI. Tetapi, ia tetap tidak setuju adanya wadah. Maka saya usulkan, bentuk saja aliansi. Saya merujuk pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Triyanto pun sepakat, akhirnya digulirkan nama ASI (Aliansi Sastra Indonesia).

ASI, dalam benak saya dan Triyanto, ialah sebuah wadah yang beryugas mengadvokasi, melindungi, dan mencari jalan keluar permasalahan dalam sastra dan sastrawan. Sebagai YLKI bagi para konsumen. ASI yang mungkin di dalamnya ada sastrawan, namun soal advokasi dan sebagainya diserahkan kepada ahlinya. Misalnya untuk urusan hak cipta ditangani mereka yang menguasai masalah hak cipta, soal delik akan diserahkan ahli hukum dan ahli sastra.

ASI memang sekadar alternatif, ketika forum sangat “mengharuskan” lahirnya wadah. Seperti dikatakan Sosiawan Leak (Surakarta), meski sastrawan bukan seperti profesi dokter, tapi wadah yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak sastrawan sangat perlu.

Ia mencontohkan, ketika Munir dilenyapkan banyak lembaga yang membelan agar kematian pejuang HAM tersebut diusut. Tetapi saat penyair Wiji Thukul yang “dihilangkan” dan hingga kini tak tahu rimbanya, tak ada lembaga sastrawan yang memperjuangkan dan membela nasibnya. Hal yang sama dengan “kasus” penyair Saeful Badar (Jabar) karena puisi “Malaikat”-nya yang dianggap menghina agama, tidak ada yang mebela. Kecuali pembelaan dari individu sastrawan, tapi karena tak ada kekuatan akhirnya tak berjalan.

Penyair Acep Zamzam Noer liwat makalahnya “Wadah Sastrawan Indonesia: Pelrukah?” menyindir jika wadah formal bagi sastrawan terbentuk seperti halnya ormas atau parpol yang ada dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, dan kecamatan, bisa dibayangkan dibutuhkan kantor untuk secretariat. Dan itu membutuhkan dana yang tak kecil, lalu dari mana dananya?

Karena itu, Acep mempertanyakan masih perlukah organisasi sastrawan berskala nasional, siapa pengurusnya, dan untuk apa? Sementara itu, kasus yang menimpa Saeful Badar bukan hanya mengusik para sastrawan yang tinggal di Tasikmalaya atau Jawa Barat saja, namun juga menimbulkan keprihatinan para sastrawan di manapun—termasuk AJI.

“Ini menjadi bukti bahwa ada ikatan batin yang terjalin diam-diam di antara para sastrawan kita. Ada solidaritas dan keprihatinan bersama. Ikatan batin ini tidak perlu diformalkan yang mungkin saja akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga kita yang sebenarnya diberikan Tuhan untuk berkarya,” pungkas pemenang KLA 2007 untuk buku puisinya Menjadi Penyair Lagi.

ASI pada akhirnya mesti diberdayakan sebagai aliansi yang berpikiran untuk mensejahterakan, mengadvokasi, dan membela nasib sastra (dan sastrawan) Indonesia. Karena itu, jika jadi dideklarasikan maka pengurusnya haruslah lebih banyak nonsatrawan atau mereka yang peduli pada sastra dan sastrawan, dan bukan kreator sastra biarkan tetap berurusan pada estetika.

Dan ASI, sebagaimana kesepakatan forum, akhirnya diserahkan kepada Jambi untuk membentuknya. Karena tanpa “penekanan”, maka boleh saja kembali dimasukkan ke kotak.


Sumber LampungPost, 19 Juli 2008

Catatan buat Festival Krakatau XVIII:

Mencari Rumah ke Dua

Oleh Isbedy Stiawan ZS


SABTU 23 Agustus 2008, Festival Krakatau (FK) dibuka. Seperti tahun-tahun sebelumnya, FK akan berlangsung selama sepekan. Dan tahun 2008 ini digelar hingga Minggu (31/8) depan.

Meskipun rencananya pembukaan FK XVIII akan dihadiri para duta besar asing, hajat senibudaya Lampung dalam rangka menarik minat wisatawan mengunjungi objek-objek wisata di daerah ini, tetap menyimpan pesimistis. Akankah FK yang telah berlangsung 18 tahun ini mampu “menyihir” wisatawan asing berkunjung ke Sang Bumi Ruwa Jurai?

Menilik jadwal acara FK XVIII, tampaknya cuma mengulang tahun-tahun sebelumnya: seremoni yang seakan “wajib” sambil “mendatangkan” para duta besar asing, gelar seni budaya, midnight krakatau, tur ke krakatau, festival layang, dan seterusnya.

Sementara, ini yang sering saya pertanyakan, objek-objek wisata yang tersebar di daerah ini tetap tak terkunjungi. Padaha, FK ini dihajatkan sejatinya untuk menarik minat wisman berkunjung sehingga mampu menghidupkan objek-objek wisata. Para duta besar hanya untuk menyaksikan seremoni pembukaan FK, lalu—barangkali—mereka kembali ke Jakarta usai kegiatan seremoni tersebut. Sedangkan tamu asing yang notabene wisatawan hanya berapa orang, itu pun tidak menetap beberapa hari di sini.

FK XVIII ini sekaitan memromosikan Visit Lampung Year 2009, hanya semangat untuk menyukseskannya tidak—atau belum—tercium. Asumsi saya ini bisa dibuktikan melalui polling ke masyarakat Lampung: tahukah dengan FK XVIII, sejauh mana pengetahuan warga terhadap Visit Lampung Year 2009, adakah keterlibatan masyarakat bagi hajat FK?

Apabila FK yang saat ini masuki tahun 18 diklaim sukses oleh pemda, kita bisa buktikan dengan jumlah hunian hotel-hotel di Bandar Lampung. Misalnya berapa persen kenaikan jumlah hunian hotel dari wisatawan (lokal dan internasional) karena ingin menyaksikan FK dan mengunjungi objek-objek wisata? Betapa pun spanduk dalam berbagai ukuran sudah terpajang di sejumlah hotel, bahkan mungkin brosur ihwal FK juga disediakan di setiap resepsionis dan loby hotel.

Meskipun tulisan ini tanpa survei, saya pesimistis kalau masyarakat Lampung tahu persis tentang FK, Visit Lampung Year 2009, merasa terlibat; atau hunian hotel-hotel tidak akan naik persentasenya secara signifikan. Beberapa hari lalum di bulan Agustus ini, saya menyempatkan mengobrol dengan salah seorang petugas resepsionis hotel, ihwal dampak penyelenggaraan FK. Dengan sangat hati-hati, ia mengaku, kalau FK memilik dampak bagi kunjungan wisatawan otomatis hunian kamar hotel akan bertambah. “Nyatanya sampai hari ini belum ada tamu luar kota (Lampung) yang memesan kamar?” ia balik tanya.

Ini hanya satu contoh, walau belum dapat dianggap akurat, tapi setidaknya sebagai gambaran bahwa FK masih belum menarik minat para wisatawan berkunjung ke Lampung. Lalu, apakah gaung FK tidak dikenal oleh masyarakat di luar Lampung (luar negeri)? Saya tetap yakin bahwa FK telah diketahui oleh masyarakat di luar Lampung.

Sebagai contoh, pada Kamis (21/8) saya mendapat pesan singkat (short masage system) dari seorang teman, Suryadi. Pengajar di Universitas Leiden itu mengetahui nomor kontak saya dari jurnalis Kompas Yurnaldi yang sama-sama berada di Kualalumpur. Dalam pesan pendeknya yang saya terima, ia menanyakan jadwal FK 2008. Dengan semangat mempromosi saya balas bahwa FK akan digelar 23 s.d. 31 Agustus 2008, ditambah acara-acara pendukung: Lampung Expo dan Panggung Apresiasi Senibudaya di Graha Wangsa, 26-31 Agustus 2008. Pada akhir SMS saya itu, harapan saya agar ia mau berkunjung. Sayang rekan Suryadi—sungguh sampai kini saya belum kenal wajahnya, kecuali ia mengatakan tulisannya kerap dipublikasikan Kompas—sedang siap bertolak ke Amsterdam.

Kekecewaan saya tak mampu “menyihir” seorang Suryadi bertandang ke Lampung di saat FK XVIII ini sedikit terobati, manakala ia mengatakan kalau saat ini tengah melakukan penelitian terhadap Syair Karam—sebuah karya sastra berusia berabad-abad yang ditulis oleh pribumi (putra daerah) Lampung bernama Muhammad Saleh—yang merekam bencana Krakatau pada 1883. “Teks syair tersebut tersimpan di Kualulumpur, Leiden, Cambridge, Frankfurt, dan Moscow,” katanya.

Masih kata ahli filologi yang juga pernah meneliti adanya Dinasti Kerjaan Gowa di Sulsel yang tak tersentuh sejarah Indonesia itu, Syair Karam itu ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Ia berniat akan menerbitkan transliterasi Latin teks syair tersebut disertai pengantar teks.

Informasi mengenai Syair Karam membikin hati saya berbunga sehingga melenyapkan kekecewaan saya tentang halangannya untuk hadir pada FK ini. Selain itu, keingintahuannya jadwal FK sudah membuktikan sekiranya kegiatan pendukung dikemas lebih baik dan promosi makin ditingkatkan, tak perlu lagi pesimis FK tidak dikunjungi wisawatan (lokal dan mancanegara).

Hanya pada kesempatan ini, pesimistis itu masih bersemayam. Pasalnya, dari agenda yang disodorkan FK XVIII masih itu-itu saja. Pengemasannya pun tidak ada yang mampu membuat orang tersihir. Begitu pula promosi yang jauh dari “menghebohkan”, membikin hajatan FK seakan tak memiliki magnit.

Sesungguhnya dalam dunia pariwisata, diperlukan penghebohan. Dengan “siasat menghebohkan” tersebut, wisatawan akan tertarik. Kalau sudah tertarik, ia akan berminat. Setelah timbul niat, ia berupaya untuk dapat bertandang.

Terlepas tetap mengutuk dan tak sulit dilupakan tentang kekejian pengebom Bali, namun tak bisa dipungkiri bahwa “tragedi bom Bali” itu melecut keinginan wisatawan luar negeri berkunjung ke Pulau Dewata apapun motivasinya. Buktinya, Bali tetap menjadi nomor wahid di pertiwi ini dalam soal kepariwisataan.

Persoalannya pada FK dan juga institusi terkait pada kesuksesan pariwisata di Lampung, sepertinya tak pernah berpikir melakukan “penghebohan” selain hanya mengikuti desain yang sudah ada dari tahun ke tahun. Akibatnya, berkali-kali FK—tahun ini ke 18—dihelat, kunjungan wisatawan ke Lampung tidak meningkat-ningkat. Sejumlah objek wisawa yang ada, semisal Kalianda Resort, Pantai Marina, Pusat Latihan Gajah di Waykambas, Taman Wisata Bumi Kedatun Batuputu, Danau Ranau di Lampung Barat, pesisir pantai Krui, dan berbagai objek wisata lainnya, bagai kedinginan tanpa pengunjung.

Itu sebabnya, saya tak punya cara lain kecuali mengkritisi FK sebagai hajat yang hanya menjalankan agenda tahunan yang dananya dikucurkan APBD. Hal ini sudah pula saya utarakan manakala jurnalis Kompas berkesempatan mewawancarai saya beberapa hari lalu. Saya masih belum punya bahasa lain, kecuali hajat Pemda Provinsi Lampung di ranah pariwisata ini masih dalam tataran permukaan.

Analoginya bahwa pemda telah menciptakan pasar yakni Festival Krakatau, tetapi yang akan dijual belum tahu (dan tak ada) barangnya. Kalianda Resort dan Pantai Marina (Lamsel) belum mampu kita banggakan, karena kalah jauh menarik dengan Pantai Kuta dan Sanur (Bali), Taman Kedatun Batuputu belum dapat diandalkan, sebab ia kalah hebatnya dengan Sangeh (Bali) atau yang lainnya, PLG Waykambas (Lamtim) makin sepi dikunjungi sebab selain jauh dari pusat kota maka kawasan itu juga (konon) tidak terurus dengan baik. Apatah lagi kalau kita ingin mengandalkan pantai yang menyisir teluk Lampung akan kalah jual dengan pantai yang ada di Bali, Lombok, Bengkulu, Sumbar, Sulsel, dan daerah-daerah tujuan wisata (DTW) lain di Tanah Air.

Lantas, apa lagikah eksotisme Lampung yang akan kita jual di hadapan para wisatawan? Untuk itu, perlu didiskusikan—diseminarkan, didialogkan dan kalau mungkin diperdebatkan—dengan mengundang para pakar dan ahli berbagai bidang ilmu kemudian merumuskan “kue” apa yang hendak dihidang di pasar pariwisata? Akankah kita lakukan seperti apa adanya dan yang sudah berlangsung selama ini, yang cenderung monoton dan tidak punya daya tarik itu?

Mestinya Pemprov Lampung belajar banyak dari perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), Festival Danau Toba, dan banyak lagi festival ataupun pesta kesenian yang muaranya untuk mendongkrak dunia pariwisata. Bagaimana PKB mampu menghadirkan tidak saja Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melainkan presiden. Namun kemampuan menghadirkan menteri dan presiden memang belum cukup untuk mengatakan perhelatan tersebut berhasil, sejatinya PKB, FKY, atau Festival Danau Toba terbukti sukses baik acara maupun wisatawannya yang mau bertandang.


Eksotisisme
Menyadari wisatawan asing—terutama berkulit bule—sangat berminat hal-hal eksotis (exotic), kenapa penyelenggara FK tidak berpikir menggali eksotisisme ke-Lampung-an. Dan Lampung, jangan khawatir, akan kehabisan nilai-nilai eksotis itu. Dengan alam berbukitan (pegunungan), belantara nan hijau, beberapa hewan yang dianggap langka di dunia masih berkeliaran di Lampung, ditambah pula kekayaan senibudaya yang masih mencirikan kekhasan seperti dadi, muayak, wawancan dan lain-lain; sungguh bisa jadi andalan untuk menyelematkan kepariwisataan di sini.

Contoh yang tak bisa diabaikan, penemuan ahli filologi dari Universitas Leiden itu tentang Syair Karam ternyata ditulis oleh pribumi (putra daerah) Muhammad Saleh. Mengapa kita tidak berminat menjemput Suryadi ke Lampung untuk mempresentasikan “penemuan” Sayir Karam Muhammad Saleh, sebab syair tersebut jelas merupakan aset dan kekayaan khasanah sastra Lampung. Sementara soal “adanya” makam Patih Gajah Mada di Pugungtampak (Lambar), pemda tak sungkan mengucurkan dana dari APBD hanya untuk mendapatkan kebenarannya.

Bukan slogan lagi—walau dianggap penting—yang digelontorkan berton-ton bagi suksesnya FK, melainkan objek apa yang akan diperdagangkan di pasar pariwisata. Ibarat berdagang, produk apa yang dijual. Setelah ada produk, bagaimana mengemasnya akan menarik minat pembeli. Untuk “menyihir” pembeli, produk yang dijaja bukan sembarang atau barangnya bisa didapat di tempat (pasar) lain. Belajarlah pada Jepang, meski yang dijaja hanya sepeda motor—misalnya Honda—akan tetapi setiap tahunnya dilounching kemasan baru dan menarik. Begitu pula pasar pariwisata.

Jika tidak pernah mau berpikir baru lalu mengandalkan yang sudah ditampilkan tahun-tahun sebelumnya, alamat “rumah keduamu” (your scond home) akan tetap tak disinggahi. Kalau Lampung tak ada lagi yang (bisa) menarik, wisatawan lebih baik memilih Yogya, Bandung, atau sekalian ke Bali, Lombok, Sumut, Sumbar, bahkan Sumsel. Bukankah dana transportasi yang mesti dikeluarkan hampir sama besarnya ke Bali atau ke daerah lain? Sebab biarpun Lampung sangat dekat dengan Jakarta, namun tiket pesawat tak jauh berbeda apabila memilih tujuan ke daerah lain. Sedangkan bila menggunakan transportasi laut dan darat, waktu 6 jam atau lebih bagi wisawatan asing sangatlah menyita dus tidak efektif.

Akhirnya, memang tak ada gading yang tak retak, cuma soalnya (dapat pula dibaca: sialnya) gelaran FK selalu dari tahun ke tahun melulu retak di gading yang sudah retak itu. Mau apa lagi dan apa mau dikata? FK tak mungkin ditiadakan, Visit Lampung Year 2009 telah dicanangkan….


Dimuat Radar Lampung, Senin, 25 Agustus 2008