13 Desember 2007

Selamat Tahun Baru

Selamat Tahun Baru

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Selamat tahun baru. Semoga hari-hari yang akan terbentang dan menantang, bisa dilalui dengan sukses!

Kata-kata itu kauucapkan dari seberang telepon. Senja tadi. Matahari kemerahan belum sempurna lenyap. Bias cahayanya jelas kulihat dari jendela rumahku. Aku harus mengatakan—tepatnya menjawab—apa untuk satu sapaan, yang mungkin tidak kuduga sebelumnya.

Ya! Ini hari adalah terakhir hitungan kalender masehi. Lembaran bertulis DESEMBER 2007 masih terpajang di dinding rumah. Sudah hampir menguning warnanya. Tepat pukul 00.00 almanak itu akan kuturunkan dan kupajang dengan kalender baru: 2008. Kini masih tertulis: Selamat Tahun Baru 2008.

Ah! Begitu cepatnya waktu. Begitu nisbinya hari dan tanggal. Tak ada yang kekal. Seperti itulah nasib usiaku. Ia berganti dan dicampakkan, sebagaimana lembar-lembar almanak. Usia yang usang, diganti oleh semangat baru. Barangkali akan gagal, cemas, ataupun berulang seperti lembar-lembar terdahulu. Tahun berganti, kalender pun diganti. Tidak pernah abadi. Sementara itu, usia terus berambah seiring tahun ditinggalkan, sejalan almanak diusangkan.

Benarkah kita harus mengucapkan “Selamat Tahun Baru” untuk meninggalkan tahun yang berlalu? Tak mungkinkah tetap kupajang kalender bertitimangsa lama, supaya tidak memasuki tahun yang baru yang masih misteri dan tantangan pun tak terbilang? Jangan sebut tahun baru, jika kau masih berhutang di tahun yang lama. Tak perlu mengucapkan “Selamat tinggal tahun lama” hanya untuk menghindari kegagalan dan kekecewaan.

Bencana dan cobaan rasanya belum cukup menghampiri kita di tahun sebelumnya. Untuk itulah, aku enggan—kalau bisa menolak—menerima dan memasuki tahun yang akan tiba. Cuma lantaran kodrat, takdir Illahi, suka atau tak suka mau ataupun tidak mau toh kalender yang lama mesti dicopot, kemudian dipajang yang baru: masih bersih serta huruf-huruf dan angka-angkanya masih jelas terbaca. Kita akan melaluinya. Harus merenanginya. Betapa pun nantinya akan berhadapan dengan lautan bergelombang, gunung menjulang, udara berdebu, angin beliung, badai, topan, tsnunami, gempa bumi, kebakaran hutan, pesawat jatuh, kapal tenggelam, serta beribu-ribu bencana lainnya. Seiring pula, barangkali saja, sukacita-sukacita yang kita terima.

Rencana apa yang sudah kaususun untuk menghadapi tahun depan?

Senja masih kemerahan. Tirus dan berish. Layaknya tubuh bayi yang menggoda untuk dibelai dan diciumi. Suaramu lembut dengan intonasi yang terjaga. Selalu saja aku tak berkeinginan untuk menjawabnya. Diam. Meski di dalam benakku, aku bertanya: pentingkah dengan tahun baru? Apakah tahun yang telah berlalu tidak penting?

Rencana? Aku tak punya renca-rencana untuk memasuki tahun baru. Apatah lagi sudah menyusunnya. Memplaning. Aku mengalir, seperti juga air yang akan mencari tempat rendah jika ia berada di bagian ketinggian. Sebagaimana arus yang mencari dampar di tepi. Kendati ia harus kembali ke dalam gelombang.

Aku juga tak memiliki strategi untuk menghadapi tahun baru. Ia bukan lawan di medan perang, sehingga harus disiapkan strategi menghadapinya. Ia hanyalah waktu, hanyalah hari. Seperti juga hari-hari yang selama ini mampir dan pergi. Ah! Aku meralat: bukan mampir dan pergi. Waktu tak pernah mampir ataupun pergi. Manusia sesungguhnya yang mampir untuk kemudian pergi. Usia yang tandang dan lalu melenggang. Melepas dari tubuh. Terbang ke haribaan. Dan, jasad akan kembali “menjadi” di dalam gumpalan tanah. Lebur dan hambur.

Tak terbayang kita akan menghuni di alam ini. Bahkan untuk menolak pun, rasanya tidak pernah terpikirkan. Padahal, meski kita tahu: hidup hanya menunda kekalahan1) namun aku pun setia berlayar2) untuk membuktikan bahwa sebenarnya manusia ikhlas ditakdirkan sebagai makhluk yang menjaga semesta ini. Makhluk bernama manusia tak pernah menawar, misalnya, diciptakan sebagai gunung, laut, pohon, hewan, dan apa lagi? Ya! Jin. Ya! Iblis…

Begitulah. Akhirnya kalender diberi. Almanak ditulis. Waktu diciptakan. Siang dan malam diharuskan ada untuk mencatat pergantian hari. Tahun demi tahun dibuat. Usia pun disusutkan. Untuk apa?

Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi… kalam Tuhan telah mengingatkan manusia, bahwa ia ada dalam keadaan (selalu) merugi. Dalam kerugian yang amat besar. Lalu untuk apa kita hidup kalau harus merugi? Adakah pedagang tidak bermimpi untuk untung? Tiada perniagaan yang siap menanggung rugi. Tiada kehidupan dari manusia ini harus menerima kerugian. Kalam Tuhan yang menjurus ancaman sehingga harus menyatakan sumpah (“demi”) kepada masa—waktu—adalah keniscayaan yang harus dipikirkan.

Tapi, Tuhan amat pengasih. Ia menyayangi setiap ciptaanNya. Katamu di lain waktu, sebelum senja tadi. Tuhan tidak sertamerta mengancam dengan harus bersumpah seperti itu, jika tiada memberi harapan-harapan. Usulan-usulan yang konkret. Kalam Tuhan itu kemudian mengecualikan bagi orang-orang yang tunduk dan beramat soleh hanya selalu kepada-Nya.

Barangkali akukah? Yang dikecualikan…

*

AKU masih menatap lembar almanak terakhir yang dipajang di dinding rumah. Tatapanku tajam menujah angka terakhir di kalender itu. Hari Senin, tanggal 31 atau 21 Pahing, tahun 2007. Ya! Semestinya almanak itu punya keberartian yang istimewa. Tetapi, adakah hari istimewa dan punya arti? Semua hari istimewa, baik, dan berarti. Bukan begitu?

Kalender yang kupunya berwarna dasar putih, sementara angka-angkanya bercat hitam kecuali untuk hari-hari libur. Kukira sama dengan kalender yang dimilikmu. Jadi, tak ada yang lain. Tidak pula istimewa. Apa istimewanya kalender? Memang tak ada. Hari-harinyalah, tanggal, bulan, dan tahunlah yang membedakan. Apa pula yang membedakan? Benarkah ada perbedaan antara tahun 1958 dengan 1982, 2007 atau 2008 nanti? Atau tahun 1000 Hijriah dengan 1427 Hijriah? Di mana dan apakah perbedaannya? Sama-sama bernama tahun, bukan? Ya! Yang membedakan adalah setiap tahun berganti—betapapun atas nama tahun baru—maka usia kita tak akan pernah baru, melainkan semakin menua. Tahun berganti, rambut kita berubah (bukan berganti!): dari warna hitam menjadi putih alias uban.

Maka aku tak setuju, ketika tahun berganti secepatnya kau mengucapkan “Selamat tahun baru, semoga makin jaya dan sukses!” Memangnya kau bisa memprediksi nasib orang di tahun yang belum kita lalui? Aku juga selalu protes, setiap orang yang mengatakan “Selamat berulang tahun, semoga panjang umur dan dimurahkan rezeki.” Apakah setiap berulang tahun, menunjukkan usia kian panjang? Tidak. Justru setiap kita berulang tahun, usia pun bertambah dan pintu kematian kian dekat dijenguk.

Maka buanglah kecerobohan-kecerobohan itu. Jangan kau melawan takdir, setiap orang berulang tahun atau menjelang pergantian tahun. Mestinya di saat-saat seperti itu, kau dan aku melalukan introspeksi: mawas diri, muhasabah. Bolehlah menyambut tahun baru, tapi dengan merenung diri. Bukan hura-hura. Adakah bencana yang bertubi-tubi menyergap kita di tahun sebelumnya merupakan teguran halus Tuhan? Bukankah, kerusakan di bumi dan lautan karena ulah tangan manusia, seperti dinyatakan Tuhan?

Bahkan pula bencana jatuhnya pesawat atau tenggelamnya kapal di lautan, karena ulah tangan-tangan manusia. Human eror, katamu. Cobalah kalau teknisi pesawat atau para piliot konsisten dengan aturan, tentu akan mengendarai pesawat secara hati-hati. Kalaulah kapal laut tidak dijejali oleh penumpang dan barang melebihi kapasitas, tak akan tenggelam. Hanya saja, sifat manusia memang amatlah kemaruk alias serakah. Serakah jabatan, serakah terhadap uang, serakah dengan perempuan, harta, dan seterusnya. Tidak pernah merasa cukup dengan yang telah didapatnya sesuai dengan apa yang dilakukan dan dibutuhkan.

Orang yang baik akan banyak keinginan, tapi sedikit kebutuhannya (seperlunya). Artinya, ia akan membelanjakan sesuai dengan yang diperlukan. Karena itu, ia tak akan berprinsif besar pasak daripada tiang.

Ah, maaf. Aku kok sudah panjang sekali bicara soal ini? Seperti ingin menggurui, seakan mau mengkhotbahi kamu. Maaf, tiada niatku untuk sok bersih. Hatiku, padahal seperti katamu setahun lalu di sebuah lobi hotel saat menawarmu, bagai aki yang telah soak. Jiwaku kering laksana tanah yang mengalami kemarau panjang. Pikiran kotor layaknya kenalpot motor yang hitam. Pikiranku hanyalah soal jabatan, uang, dan perempuan. Berpikir hanya untuk hari ini maka habis berfoya, tanpa pernah berpikir tentang kehidupan lain setelah kehidupan yang semu di dunia ini. Suatu kehidupan yang sesungguhnya kekal—baik di surga maupun di neraka.

Eittt, kembali aku ke persoalan semula: berdakwah.

Selamat tahun baru, katamu setelah aku diam. Sebenarnya terpana. Aku harus menjawab apa atau merespon dengan ucapan apa, sewaktu kauucapkan itu. Senja tadi. Dari seberang telepon. Aku tak tahu, karena memang aku tak bisa melihat wajahmu dari pesawat HPku yang berharga murah ini, bagaimana ekspresimu ketika aku hanya bengong. Aku juga sempat menggeleng, tersenyum, dan lebih banyak menatap kosong langit senja yang keperakan di luar sana. Kupandangi bunga-bunga di halaman depan rumahku. Berwarna putih, merah, dan campuran dari kedua warna itu. Bunga-bunga saja mampu berubah-ubah warna, apatah lagi kita manusia yang diciptakan Tuhan dengan sempurna memiliki akal dan anggota tubuh?

Lalu, apa yang dibutuhkan manusia untuk melakukan perubahan. Pentingkah perubahan?

Penting sekali. Kecuali kalau kau ingin tetap berada di posisimu seperti hari-hari sebelumnya. Kau ingat hadits yang mengatakan: “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari yang akan datang harus lebih baik dari hari sekarang.” Kau masih ingat dengan hadist kanjeng Rasululllah yang pernah diajarkan guru ngaji kita di surau sewaktu kanak-kanak?

Aku ingat itu. Aku juga terkenang denganmu, anak santri paling begajul dan jahil. Sering mengganggu anak-anak perempuan, menarik hingga lepas kerudung mereka, atau menyembunyikan di dalam beduk. Aku pun tersenyum-senyum setiap mengenang kembali masa kanak seperti itu. Anak-anak yang begajul, jahil, dan sering membuat guru ngaji memecutkan rotan atau sapu lidi ke tubuh kita…

Ya! Aku menyadari sejenak lagi tahun baru berganti. Tahun yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan (untuk kemudian dilupakan?). Mungkin saja akan dihapus dari benak kita. Bahkan yang manis sekalipun.

Hanya aku belum berani menatap tahun yang baru. Apatah lagi, untuk menitinya hari perhari:

“Hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku./pecahlah rabuku mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah pecah-/lah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah/darah mengalir dalam denyut debar…3)” aku menegaskan. Sebab aku harus masuk ke dalam almanak itu, lalu memasukinya hingga ke lekuk paling aduhai. Tubuh kalender itu yang bagai perempuan paling perawan, menggodaku untuk menggelutinya. Ahai, aku makin tergoda. Pecah rabuku mengalirlah, pecah jumatku wahai mengalirlah.

Lalu apa makna jumat, sabtu, minggu, senin, selasa, rabu, dan kamis? Apakah arti waktu demi waktu: 00--01. Aha, aku pernah jatuh cinta pada seorang perempuan. Kami bersepakat pada saat pukul 11.25 A.M., tapi kemudian kami menyatakan pula untuk berpisah pada pukul 11.25 P.M. Sungguh tak masuk akal bukan? Absurditas.

Ia seorang perempuan. Tak begitu cantik tak pula begitu buruk. Entah mengapa aku begitu menyukainya. Aku tergoda seperti waktu menggodaku untuk berlama-lama hidup dan mencintai waktu. Padahal aku meyakini bahwa waktu jua yang membuat kematian bagi seisi alam ini, lalu waktu kembali menghidupkan di alam sana. Oleh karena waktu, manusia akan mempertanggungjawabkan tentang ke-waktu-annya.

“Kau tak bisa menghindar. Kau pasti memasuki dan melampaui tahun baru, kawan…” ujarmu. “Kamu akan meniti setiap detik menit jam dari waktu yang berjalan. Kau akan, mau tidak mau meniti, memasuki hari ke hari: seperti dalam sebuah syair: kapak hitam menakik almanak.. pecahlah rabuku mengalirlah, pecahlah seninku mengalirlah, pecahlah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah. Dan, kapu sesungguhnya sudah terkepung oleh waktu yang justru bukan kau ciptakan, tapi ia datang….”

Ya! aku pun kini menakik halaman pertama almanak. Dengan kapak Ibrahim. Ah, bukan. Melainkan dengan kapak Sutardji Calzoum Bachri4)—kapak yang telah dilumuri darah para pendosa, untuk menghancurkan berhala duniawi: pemuja waktu.

Dengan bismillah kubuka kalender yang kini terpajang di dinding rumahku. Kini terbaca bulan pertama, tanggal pertama, hari pertama, waktu pertama pada tahun yang baru: “Selamat tahun baru: 2008,” ucapku pelan antara optimis dan antipati. Entah mengapa, aku seperti tengah memasuki lorong yang panjang, lengang, dan kelam.

Tiba-tiba seluruh tubuhku bergetar. Gemetar…

Lampung, November 2007




1) adalah baris puisi Chairil Anwar

2) adalah baris puisi “Perjalanan Pelaut” Isbedy Stiawan ZS (1987)

3) baris puisi “Berdarah” Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak

4) Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair mantra Angkatan 70 (?) yang dijuluki “Presiden Penyair Indonesia” dan penulis buku puisi O Amuk Kapak. Dami N. Toda (alm) mengklaim kalau Chairil Anwar adalah mata kanan puisi Indoensia maka Sutardji adalah mata kirinya.

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan Z.S.

TAMAN DAUN

daun di pelupuk matamu

bumi pagi ini hijau

dan guguran hujan

kucari peta, katamu,

telah hilang

oleh cuaca

yang pergi dan datang

tapi dari pelupuk matamu

tumbuh daun

membawaku pesiar

ke dalam suar dan getar

“beri aku fajar

penuh pesona

agar kususuri subuh

seperti pagi-pagi lain.”

akan kupetik daun

dari pelupuk matamu

sebab dari kehijauan

kususuri sisa kelam

dan embun, seperti

guguran hujan, laksana

kristal di keningku kini

jadi lelampumu

sebagai suluhku

tak kulepas aroma subuh

juga daun yang kupetik

dari peluk matamu

“kumau daun ini

bawaku berlabuh

ke daratan hijau:

-Taman Daun-

di pelupuk matamu,

daun…

2007


LENYAP

bila kau terbang

aku mau sayapmu

bila kau tenggelam

aku jadi pelampung

bila kau hilang

di udara1) atau lautan2)

aku siapkan airmata

dan nafasku

“ke mana lenyap ia,

ia sembunyi ke balik

kelam mana?”

Kekasih….

2007



DI SEBUAH TIKUNGAN


di sebuah tikungan

saat subuh geliat

burung-burung

mulai cari alamat

kembara kembali

aku pun bangkit

mengikuti setiap

aroma sayap

kepaklah, kepak

ke matahari benam

wajah kuarahkan

sampai berkilau

seluruh keningku

bibirku bergetar

mataku bersinar

telunjukku belati

kakiku bagai

derap kuda

lari kencang

menerbangkan debu

ke matamu

tapi aku burung

di paruhku

kukulum batu-batu

penuh api

siap bakar tubuhmu

kepaklah, kepak

pacu, paculah!

akhir 12/2006-awal 01/2007




HANYA ENGKAU


hanya engkau yang tahu tentang malam

karena itu aku masuki ceruk rahasiamu

karena engkau tahu rahasia malam

maka aku hendak jaga di tubuhmu

cuma di tubuhmu yang bergetar

aku harus lepaskan ketakutan

sebab di dalam debar

aku tahu engkau bianglala…

2007




AKU KELANA


di kaca itu, kita tak lagi

sekadar bersitatap

matamu mengatup,

pintu pun kututup

jika lidahmu menjulur

bibirku menutur:

kalimat-kalimat melulur

malam ini di mana kau tertidur?

kekasih, aku masih saja kesepian

di antara baris-baris gerimis

bayang kita telah lama bercumbu

kusibak rambutmu yang tergerai

kau serpihi bekas hujan

di tubuhku

di lobby yang dingin

rinduku amat ingin

: mendekapmu

di sebujur waktu

kuhamili kau

maka jadilah Puisi

yang melelapkan para pecinta

menetap jadi pecumbu

ah, sayang, tegakkan kelamin

hujnamkan kata

ke dalam sukma!

dan dari rahimmu

kumau puisi-puisi menetas

sebaris halaman

aku buka jadi percumbuan

kau lepaskan malam,

aku memendam

perempuanku, aku kelana

berlari di padang-padang sabana:

rebah bersama

kelaminku berbuncah

sabanamu rekah

sebab cinta

kita bersuka

dari pantai ke peraduan

kau hitung bekas kecupan

aku tulis risalah lain

di tubuhmu

kutiupkan sukma

kulabuhkan birahi

-- kita menari --


15 Januari 2007



MENUNGGUI LAUT


jika kau pulang siang nanti

bawalah sekepal pasir pantai ini

sebagai kenangan bahwa kau

pernah mencium aromanya

juga di dalam pasir itu

tersimpan tangisku

sebagai perempuan

aku hanya bisa mengantarmu

dengan lambai dan senyumku

sampai perbatasan kota

setelah itu, lelaki

aku kembali ke dalam sepi

menunggui laut hingga ke tepi

atau memuja Tuhan

seperti kucintai hidupku

sebagai perempuan, lelaki

aku terima dicintai

dan ingin pula mendustai

tapi pada hidupku

aku setia

meski ia bawakan luka

seperti kau pernah datang

kemudian hilang

Bali 2006



1) korban AdamAir

2) korban KM Senopati

Sajak Isbedy Stiawan ZS


Malam Ingin Menguncup

di pasir hampar

di pantai terbentang:

kau pulas,

aku melepas

matahari pagi

mentari sore

masuki malam

kau terbenam

kukunci percakapan

ikut membenam

ke tepi-tepi

paling sepi

malam ingin

menguncup

kau pagut

aku pun terkutuk!

2007



Capaimu, Melepasmu

ke mana hujan

akan pulang

ke mana langkah

melipat jalan

ke tubir waku

-- barangkali -

aku titip salam

aku tanam lenguh

di sunyi malam

aduhai, kekasih

sampai ini dini

aku masih jaga

cari-cari tangga

ingin capaimu:

- melepasmu -

Medan, Mei 2007



Kisah Dua Bagian Tentang Penari dan Penyair

1. di penghujung siang

(waktu sangat terbatas)

sesenyum jamuan

sehampar salam

"aku ingin terbang

menemu malam

luruhkan jarak

supaya kau

kian rekat," gumamku

setiap melihat bulan

siang ini di wajahmu

kau menari

aku baca puisi

kau beri setarik tarian

kukasih selarik kiasan

bergerak, melompat

ke dalam kata-kata

ke pusat hentakkan

Kekasih, kita sudah

sampai...

Medan-Lampung, Mei 2007

2. selamat siang,

di sini langit benderang

tak ada jamuan

tapi kuingin sebuah tarian

dan akan kubalas

dengan sebait kiasan

kau menari

aku gumamkan puisi

biar langit di hati

taman di bibir

sama-sama berbunga

dan di taman ini

kita jadi adam dan hawa:

bangun firdaus yang baru

tanpa pelata

yang menggoda

Lampung 30 Mei 2007

Dok: Suara Pembaruan, 21 Oktober 2007

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan Z.S.

Ingin Jadi Penyair

: wayan sunarta

maka laut kau biarkan bergelombang

dan menghanyutkanmu ke sejuta ingin:

aku ingin menetap di tanjungkarang

biar pun harus jauh dari karangasem

atau pantai sindhu yang pertamakali

menoreh kisah kita,

waktu itu malam larut

cuaca mulai berkabut

pohonpohon kuncup-gigil

aku dengan berbotol minuman

yang membuat pantai gemulai

sementara kau dengan berbatang

rokok telah merabunkan pandang

“kau seperti di dalam salju

tubuhmu gemulai, sebagaimana

penari dilapisi kain tipis. dan lampu

panggung mengurai tubuhmu

jadi serpihan di kamar tidur.”

aku ingin menetap di tanjungkarang,

selalu kau sampaikan di setiap

perjumpaan. “aku mau jadi

penyair lain di tanjungkarang,

setelah kubunuh

keinginan jadi pujangga,” bisikmu

tapi, di tanjungkarang atau karangasem

kau akan selalu diikuti katakata

ke mana kau singgah puisi

akan mengunjungimu

begitulah pengembara

petualang ke dalam katakata

pemabuk bagi puisi

Pendamba

yang setia pada waktu!

/2007

Shindu

aku coba jadi kursi

jadi meja

dan kau melepas

tatapan ke luas laut

dan aku menumpahkan

mabukku jadi lautan

dengan kesadaran

kapalkapal berlayar

di lautan berombak

aku mualim bagi diriku

ingin mengajakmu pesiar

menyinggahi bandarbandar

jika malam hilang

subuh pun datang

aku akan mencatatmu

tanpa lupa sukukata

dari namamu,

dan akan kupanggil lagi

entah di lain hari

sebagai kekasih

atau tak sebagai apaapa

(sebab penyair akan

selalu pergi dan datang

dengan cerita yang lain

setiap pertemuan)

lalu di benakku

kubangun anaktangga

dari sebelas sukukata

yang kupetik dari namamu

-kapalkapal pun pesiar

menuju bandarbandar-

/2006

Legenda Sepasang Kekasih

lalu di taman ini mereka

menjelma jadi sepasang kekasih

memetik buah itu sambil bercumbu

hingga terusir ke dalam hutan,

sabana, dan padang

ia pun mengulang…

akhirnya dikutuk berkelana

selama tahun-tahun berbilang

menuju taman-taman,

dari surga pulang ke surga

“lelaki...”

“perempuan...”

keduanya bersitatap;

“langit itu adalah payung.”

“tanah ini rumah dan kubur kita.”

Lelaki

Perempuan

di pucuk waktu

ia membisu

kau memeluk

“mungkin ini bukan

surga yang dulu ditinggalkan,” bisiknya

“ini pun bukan buah

yang membuat kita terusir,” lirihmu

di tanah tak berhutan dan berpantai

kisah sepasang kekasih yang berkelana

tanpa mengenal rumah atau kubur

ditulis berlembar-lembar

untuk melelapkanmu

dari iblis berujud ular

yang selalu menghasutmu

ditulis berlembar-lembar

sampai kau getir

meneruskan langkah

Lelaki mengutuk diri

Perempuan menyesali hari

Lampung 2007

Isbedy Stiawan ZS

Aku Titip Janji

purnama dan cahaya kota

telukbetung yang berbenah

kulukis kenangan untukmu

kurekam kisah kejatuhan ini

pengembara selalu

membangun tempat singgah

setiap mampir di kota kenangan

lalu pergi bersama sebaris puisi

pengembara datang

dengan sebukit kenangan

di waroeng diggers

yang katamu telukbetung

di bawah sana selalu bercahaya

aku titip janji

di setiap baris-baris puisi

/2007

Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang (Lampung) dan hingga kini menetap di kota itu. Menulis puisi, cerpen, puisi, dan esai di pelbagai media massa lokal dan Jakarta. Buku puisi terbarunya ialah Laut Akhir (April 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Pada 25-30 September 2007 diundang ke Ubud Writers and Readers International Festival 2007.

09 Desember 2007

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS


Kau Turuni Lembah



dengan kerudung

saat matahari bubung

kau turuni lembah

hingga ke muara cerita

anggur bibirmu

menggoyangkan daundaun

dan sungai menari

ingin memeluk desah sepatumu

kau ditakdirkan sebagai bidadari

tapi melajang berharihari

di lembah segala cinta

dikekalkan jadi legenda

lembah ini menyimpan

segala kenangan peziarah

tanpa pasangan

: lajang yang duka

kau telah mengerti

aku peziarah

sesaat lagi pergi

aku telah mengingat

kisah-kisah sekarat

yang tercecer atau hanyut

lalu orangorang

hendak mengekalkan

2007



Menyelam

terlelap di rumputan hijau

angin mendesau

kau bersijingkat datang

menyudahi siang

anganku mengembara

ke dalam riuh sungai

ingin lama menyelam

minum anggurmu

2007




Tak Ada Rambu

: jefri alkatiri

tak ada rambu

juga nama-nama jalan yang buntu,

maka susuri saja setiap garis putih

dan pembatas tepi. sampai lelah,

hingga kantuk

atau terbatuk

“tunggulah di trotoar

jika tak lagi mampu jalan

sampai siang membuka pandang

dan alamat kembali terkenang.”

tak ada rambu

di kampung besar

siaplah tersasar!

KL, 29/07/07




Sungai Siak

KITA bergambar

di bawah kaki hujan

dalam riuh anak terlantar

yang telanjang

menceburkan diri

ke sungai yang cokelat

AKU tersenyum

seperti sangat mengenal

anak-anak itu

yang terjun dan naik

ke dinding jembatan

sebelum maut mengucap salam

dan aku ingin sekali

mendekapmu

ingin jadi burung

dalam sarangmu

biar tak tertangkap

agar tak terperangkap

ke dalam air deras

KAU menjauh

ingin menyuluh

matahari jadi api

bakar mega

menghancurkan mendung

tapi sejak tadi

hujan berdiri

mengancam cinta

yang telanjur mencair

sebagai sungai

dikekalkan oleh siak…


2005




Di Tiang

di utara aku bersemi

membangun nama

lempangkan jalan

tapi di selatan aku mati

berdiri di tiang

dengan lidahku

siap membiusmu

2007




Bujang

memilih kesunyian

daripada dirajam

mencari taman

menunggui lembah

abadabad datang


hunian lengang

ah!

Kedah 2007

Isbedy Stiawan ZS lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Selain menulis puisi, juga cerpen dan esai di pelbagai media massa lokal dan nasional. Buku puisi terbarunya Laut Akhir (bukupop Jakarta, Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Mattahari (Hikayat Publishing Jogjakarta, Juli 2007).

Dimuat di KOMPAS, 9 Agustus 2007