Mencari Rumah ke Dua
Oleh Isbedy Stiawan ZS
SABTU 23 Agustus 2008, Festival Krakatau (FK) dibuka. Seperti tahun-tahun sebelumnya, FK akan berlangsung selama sepekan. Dan tahun 2008 ini digelar hingga Minggu (31/8) depan.
Meskipun rencananya pembukaan FK XVIII akan dihadiri para duta besar asing, hajat senibudaya Lampung dalam rangka menarik minat wisatawan mengunjungi objek-objek wisata di daerah ini, tetap menyimpan pesimistis. Akankah FK yang telah berlangsung 18 tahun ini mampu “menyihir” wisatawan asing berkunjung ke Sang Bumi Ruwa Jurai?
Menilik jadwal acara FK XVIII, tampaknya cuma mengulang tahun-tahun sebelumnya: seremoni yang seakan “wajib” sambil “mendatangkan” para duta besar asing, gelar seni budaya, midnight krakatau, tur ke krakatau, festival layang, dan seterusnya.
Sementara, ini yang sering saya pertanyakan, objek-objek wisata yang tersebar di daerah ini tetap tak terkunjungi. Padaha, FK ini dihajatkan sejatinya untuk menarik minat wisman berkunjung sehingga mampu menghidupkan objek-objek wisata. Para duta besar hanya untuk menyaksikan seremoni pembukaan FK, lalu—barangkali—mereka kembali ke Jakarta usai kegiatan seremoni tersebut. Sedangkan tamu asing yang notabene wisatawan hanya berapa orang, itu pun tidak menetap beberapa hari di sini.
FK XVIII ini sekaitan memromosikan Visit Lampung Year 2009, hanya semangat untuk menyukseskannya tidak—atau belum—tercium. Asumsi saya ini bisa dibuktikan melalui polling ke masyarakat Lampung: tahukah dengan FK XVIII, sejauh mana pengetahuan warga terhadap Visit Lampung Year 2009, adakah keterlibatan masyarakat bagi hajat FK?
Apabila FK yang saat ini masuki tahun 18 diklaim sukses oleh pemda, kita bisa buktikan dengan jumlah hunian hotel-hotel di Bandar Lampung. Misalnya berapa persen kenaikan jumlah hunian hotel dari wisatawan (lokal dan internasional) karena ingin menyaksikan FK dan mengunjungi objek-objek wisata? Betapa pun spanduk dalam berbagai ukuran sudah terpajang di sejumlah hotel, bahkan mungkin brosur ihwal FK juga disediakan di setiap resepsionis dan loby hotel.
Meskipun tulisan ini tanpa survei, saya pesimistis kalau masyarakat Lampung tahu persis tentang FK, Visit Lampung Year 2009, merasa terlibat; atau hunian hotel-hotel tidak akan naik persentasenya secara signifikan. Beberapa hari lalum di bulan Agustus ini, saya menyempatkan mengobrol dengan salah seorang petugas resepsionis hotel, ihwal dampak penyelenggaraan FK. Dengan sangat hati-hati, ia mengaku, kalau FK memilik dampak bagi kunjungan wisatawan otomatis hunian kamar hotel akan bertambah. “Nyatanya sampai hari ini belum ada tamu luar kota (Lampung) yang memesan kamar?” ia balik tanya.
Ini hanya satu contoh, walau belum dapat dianggap akurat, tapi setidaknya sebagai gambaran bahwa FK masih belum menarik minat para wisatawan berkunjung ke Lampung. Lalu, apakah gaung FK tidak dikenal oleh masyarakat di luar Lampung (luar negeri)? Saya tetap yakin bahwa FK telah diketahui oleh masyarakat di luar Lampung.
Sebagai contoh, pada Kamis (21/8) saya mendapat pesan singkat (short masage system) dari seorang teman, Suryadi. Pengajar di Universitas Leiden itu mengetahui nomor kontak saya dari jurnalis Kompas Yurnaldi yang sama-sama berada di Kualalumpur. Dalam pesan pendeknya yang saya terima, ia menanyakan jadwal FK 2008. Dengan semangat mempromosi saya balas bahwa FK akan digelar 23 s.d. 31 Agustus 2008, ditambah acara-acara pendukung: Lampung Expo dan Panggung Apresiasi Senibudaya di Graha Wangsa, 26-31 Agustus 2008. Pada akhir SMS saya itu, harapan saya agar ia mau berkunjung. Sayang rekan Suryadi—sungguh sampai kini saya belum kenal wajahnya, kecuali ia mengatakan tulisannya kerap dipublikasikan Kompas—sedang siap bertolak ke Amsterdam.
Kekecewaan saya tak mampu “menyihir” seorang Suryadi bertandang ke Lampung di saat FK XVIII ini sedikit terobati, manakala ia mengatakan kalau saat ini tengah melakukan penelitian terhadap Syair Karam—sebuah karya sastra berusia berabad-abad yang ditulis oleh pribumi (putra daerah) Lampung bernama Muhammad Saleh—yang merekam bencana Krakatau pada 1883. “Teks syair tersebut tersimpan di Kualulumpur, Leiden, Cambridge, Frankfurt, dan Moscow,” katanya.
Masih kata ahli filologi yang juga pernah meneliti adanya Dinasti Kerjaan Gowa di Sulsel yang tak tersentuh sejarah Indonesia itu, Syair Karam itu ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Ia berniat akan menerbitkan transliterasi Latin teks syair tersebut disertai pengantar teks.
Informasi mengenai Syair Karam membikin hati saya berbunga sehingga melenyapkan kekecewaan saya tentang halangannya untuk hadir pada FK ini. Selain itu, keingintahuannya jadwal FK sudah membuktikan sekiranya kegiatan pendukung dikemas lebih baik dan promosi makin ditingkatkan, tak perlu lagi pesimis FK tidak dikunjungi wisawatan (lokal dan mancanegara).
Hanya pada kesempatan ini, pesimistis itu masih bersemayam. Pasalnya, dari agenda yang disodorkan FK XVIII masih itu-itu saja. Pengemasannya pun tidak ada yang mampu membuat orang tersihir. Begitu pula promosi yang jauh dari “menghebohkan”, membikin hajatan FK seakan tak memiliki magnit.
Sesungguhnya dalam dunia pariwisata, diperlukan penghebohan. Dengan “siasat menghebohkan” tersebut, wisatawan akan tertarik. Kalau sudah tertarik, ia akan berminat. Setelah timbul niat, ia berupaya untuk dapat bertandang.
Terlepas tetap mengutuk dan tak sulit dilupakan tentang kekejian pengebom Bali, namun tak bisa dipungkiri bahwa “tragedi bom Bali” itu melecut keinginan wisatawan luar negeri berkunjung ke Pulau Dewata apapun motivasinya. Buktinya, Bali tetap menjadi nomor wahid di pertiwi ini dalam soal kepariwisataan.
Persoalannya pada FK dan juga institusi terkait pada kesuksesan pariwisata di Lampung, sepertinya tak pernah berpikir melakukan “penghebohan” selain hanya mengikuti desain yang sudah ada dari tahun ke tahun. Akibatnya, berkali-kali FK—tahun ini ke 18—dihelat, kunjungan wisatawan ke Lampung tidak meningkat-ningkat. Sejumlah objek wisawa yang ada, semisal Kalianda Resort, Pantai Marina, Pusat Latihan Gajah di Waykambas, Taman Wisata Bumi Kedatun Batuputu, Danau Ranau di Lampung Barat, pesisir pantai Krui, dan berbagai objek wisata lainnya, bagai kedinginan tanpa pengunjung.
Itu sebabnya, saya tak punya cara lain kecuali mengkritisi FK sebagai hajat yang hanya menjalankan agenda tahunan yang dananya dikucurkan APBD. Hal ini sudah pula saya utarakan manakala jurnalis Kompas berkesempatan mewawancarai saya beberapa hari lalu. Saya masih belum punya bahasa lain, kecuali hajat Pemda Provinsi Lampung di ranah pariwisata ini masih dalam tataran permukaan.
Analoginya bahwa pemda telah menciptakan pasar yakni Festival Krakatau, tetapi yang akan dijual belum tahu (dan tak ada) barangnya. Kalianda Resort dan Pantai Marina (Lamsel) belum mampu kita banggakan, karena kalah jauh menarik dengan Pantai Kuta dan Sanur (Bali), Taman Kedatun Batuputu belum dapat diandalkan, sebab ia kalah hebatnya dengan Sangeh (Bali) atau yang lainnya, PLG Waykambas (Lamtim) makin sepi dikunjungi sebab selain jauh dari pusat kota maka kawasan itu juga (konon) tidak terurus dengan baik. Apatah lagi kalau kita ingin mengandalkan pantai yang menyisir teluk Lampung akan kalah jual dengan pantai yang ada di Bali, Lombok, Bengkulu, Sumbar, Sulsel, dan daerah-daerah tujuan wisata (DTW) lain di Tanah Air.
Lantas, apa lagikah eksotisme Lampung yang akan kita jual di hadapan para wisatawan? Untuk itu, perlu didiskusikan—diseminarkan, didialogkan dan kalau mungkin diperdebatkan—dengan mengundang para pakar dan ahli berbagai bidang ilmu kemudian merumuskan “kue” apa yang hendak dihidang di pasar pariwisata? Akankah kita lakukan seperti apa adanya dan yang sudah berlangsung selama ini, yang cenderung monoton dan tidak punya daya tarik itu?
Mestinya Pemprov Lampung belajar banyak dari perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), Festival Danau Toba, dan banyak lagi festival ataupun pesta kesenian yang muaranya untuk mendongkrak dunia pariwisata. Bagaimana PKB mampu menghadirkan tidak saja Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melainkan presiden. Namun kemampuan menghadirkan menteri dan presiden memang belum cukup untuk mengatakan perhelatan tersebut berhasil, sejatinya PKB, FKY, atau Festival Danau Toba terbukti sukses baik acara maupun wisatawannya yang mau bertandang.
Eksotisisme
Menyadari wisatawan asing—terutama berkulit bule—sangat berminat hal-hal eksotis (exotic), kenapa penyelenggara FK tidak berpikir menggali eksotisisme ke-Lampung-an. Dan Lampung, jangan khawatir, akan kehabisan nilai-nilai eksotis itu. Dengan alam berbukitan (pegunungan), belantara nan hijau, beberapa hewan yang dianggap langka di dunia masih berkeliaran di Lampung, ditambah pula kekayaan senibudaya yang masih mencirikan kekhasan seperti dadi, muayak, wawancan dan lain-lain; sungguh bisa jadi andalan untuk menyelematkan kepariwisataan di sini.
Contoh yang tak bisa diabaikan, penemuan ahli filologi dari Universitas Leiden itu tentang Syair Karam ternyata ditulis oleh pribumi (putra daerah) Muhammad Saleh. Mengapa kita tidak berminat menjemput Suryadi ke Lampung untuk mempresentasikan “penemuan” Sayir Karam Muhammad Saleh, sebab syair tersebut jelas merupakan aset dan kekayaan khasanah sastra Lampung. Sementara soal “adanya” makam Patih Gajah Mada di Pugungtampak (Lambar), pemda tak sungkan mengucurkan dana dari APBD hanya untuk mendapatkan kebenarannya.
Bukan slogan lagi—walau dianggap penting—yang digelontorkan berton-ton bagi suksesnya FK, melainkan objek apa yang akan diperdagangkan di pasar pariwisata. Ibarat berdagang, produk apa yang dijual. Setelah ada produk, bagaimana mengemasnya akan menarik minat pembeli. Untuk “menyihir” pembeli, produk yang dijaja bukan sembarang atau barangnya bisa didapat di tempat (pasar) lain. Belajarlah pada Jepang, meski yang dijaja hanya sepeda motor—misalnya Honda—akan tetapi setiap tahunnya dilounching kemasan baru dan menarik. Begitu pula pasar pariwisata.
Jika tidak pernah mau berpikir baru lalu mengandalkan yang sudah ditampilkan tahun-tahun sebelumnya, alamat “rumah keduamu” (your scond home) akan tetap tak disinggahi. Kalau Lampung tak ada lagi yang (bisa) menarik, wisatawan lebih baik memilih Yogya, Bandung, atau sekalian ke Bali, Lombok, Sumut, Sumbar, bahkan Sumsel. Bukankah dana transportasi yang mesti dikeluarkan hampir sama besarnya ke Bali atau ke daerah lain? Sebab biarpun Lampung sangat dekat dengan Jakarta, namun tiket pesawat tak jauh berbeda apabila memilih tujuan ke daerah lain. Sedangkan bila menggunakan transportasi laut dan darat, waktu 6 jam atau lebih bagi wisawatan asing sangatlah menyita dus tidak efektif.
Akhirnya, memang tak ada gading yang tak retak, cuma soalnya (dapat pula dibaca: sialnya) gelaran FK selalu dari tahun ke tahun melulu retak di gading yang sudah retak itu. Mau apa lagi dan apa mau dikata? FK tak mungkin ditiadakan, Visit Lampung Year 2009 telah dicanangkan….
Dimuat Radar Lampung, Senin, 25 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar