27 November 2008

LAUT AKHIR



Isbedy Stiawan ZS

Laut Akhir

(Diterbitkan oleh Bukupop, Jakarta, 2007)



DAFTAR ISI


Di Ngarai, Hujan Berurai

Jam Gadang

Pantai Kuta

Pengembara

Pagi Mekar

Dari Negeri Sajak

Seperti di Negeri Sendiri

Saputangan

Aku Menunggu di Halaman

Sehektar dari Lahan itu

Serupa Embun

Menunggu Kereta Tiba

Anak Anak Berselendang Biru

Kalimat-kalimat Hutan

Bukit Jagal

Sembilu Kata

Kau akan Sampai ke Diriku?

Sampai Tulangbawang

Sebagai Pohon

Jelang Sarapan Pagi

Kuberi Sehalaman

Hutan Sangsai

Lelaki Rantau

Asam Urat

Lonceng dalam Dagingku Bernyanyi

Musim Kawin-Kawinan

Pagi ini Jadi Lain

Kembali Sunyi

Jangan Cari Namaku

Menuju Sungai

Peristiwa di Kali

Dan Kita Mengeja Jejak

Tersasar ke Dalam Senyummu

Kolam Segala Muara

Laut Akhir

Ia akan Mengecupmu

Rumah Ikan

Cincin di Ruangan

Selepas Malam-Malam Girang

Kenangan pada Juni

Setiap Mengingat Laut

Impian Siang

Setiap Kau Datang

Melepas Jalan-jalan

Seperti Malam

Di Ranjangmu

Terkurung dalam Ruang

Beri Aku Cinta

Pesan Panjang

Belum Malam

Maut pun Menjemputku

Dalam Rumah

Rumahku

Malam dan Bagai Kunangkunang

Mengikuti Angin

Hujan Pertama

Ingin yang Berembun

-------



Di Ngarai, Hujan Berurai


di ngarai sianok, ketika langkahku nyentuh dingin

hujan pun berurai. segelas kopi tiba-tiba gigil

seperti meninggalkan mantel di jalan

--pagi berkabut, malam berembun—

Seperti sijingkat maut

Seperti bibir mengulum

ada cerita yang kemudian dilupakan

dari benteng japang

menyusuri lengang

suara-suara sumbang

aku amat cemburu. Mengapa tak kaubawa

kisah lama, malin yang duduk di wajah batu

atau ibu yang menadah ke curahan hujan

sebelum petaka benar-benar tiba. (mungkin aku

yang dikutuk atau terkutuk: sebagai batu

lalu berabad-abad menunggu hujan reda

dari kelopak mataku. (Tapi di pelipisku masih tampak

bekas luka yang kauhunjamkan sebagai dendam)

aku sangat cemburu. Bertahun-tahun kubaca kaba dan tambo

di sepanjang jalan menuju pantai kisah.

Dan ngarai ini selalu membawa kenang

Selalu melupakan ingatan:

aku orang baru asing…..

Padang 1984, 1997




Jam Gadang

waktu selalu tak abai. Ia merekam segala geraksegala lirik,

meski aku diam-diam hendak membunuhmu seusai

ciuman dan senyuman: pagi tadi, malam-malam lalu….

tapi kau tak pernah sedih melihat waktu terus mendaki

lalu tergelincir di balik matahari tenggelam. Di bagian barat

tubuhmu, sudah kutandai seluruh berkas

-- segala sisa jemariku –

akan kausebut apa lagi, bahkan akan kaucatat dengan apa

segala percintaan dan pertikaian? di bawah menara ini (mercusuar?)

matahari tetap jalan, bayang-bayang hilang

dan aku-kau masih bersitatap

seperti menanti malam mendekap

simpan suara ganto di hatimu yang papa

sebelum kerbau-kerbau itu benar-benar datang

membawakan padamu lenguh panjang

kita akan rebah

selamanya istirah

bukitting 1997, 2003




Pantai Kuta


mungkin kau akan tenggelam dan hanyut

ombak yang deras ini akan memagut

menghitung hari-hari

dengan jemari legam

sebelum selancar melarung

ke laut paling ulung

kecuplah pasir-pasir pantai

tubuh-tubuh yang telentang

mabuk yang tak kepalang

masuk ke dalam ingatan

entah pada hitungan ke berapa

kau akan kembali ke tepi pantai

atau tenggelam di dalam gulungan pasir

yang tiba-tiba meledak

lantakkan seluruh kota-surga

yang diimpikan dunia

dan ledakan itu

akan sampai ke tubuhmu

dan aku tak bisa pulang

kuta 1998/2002. lampung 2002




Pengembara


ia tersenyum. katanya kemudian, biarkan aku dilumat

oleh petang demi petang. dalam pengembaraan yang diwarnai cinta,

apa yang tak indah? tanah selalu ditumbuhi bunga, langit lembayung

pelangi. di tubuh ini bermekaran benihmu yang akan kusemai

di musim panen nanti. (lalu ia menggamit lenganmu, mendekap-rapat

di keluasan cintamu).

“aku bukan Juliet yang mati meminum racun

di pembaringan pengantin yang lama disiapkan,” ia berbisik.

lalu bau pantai menguar. lalu aroma taman meruap. ia pun seperti

lelap: ia bayangkan hidup di firdaus penuh buah dan bunga—pohon

larangan untuk didekati—melambai, seperti hendak menggapai. kau

lalu memeluknya, sangat ingin mengecupnya sekali lagi. kau

amat khawatir tak ada lagi pertemuan, tak akan ada jalan

pengembaraan setelah ini. sebab seluruh jalan sudah patah,

dan kau akan kembali ke rumah. menemani keriuhan sambil

menghitung-hitung kesunyian,

“sebenarnya petang sudah makin beruban. jendela kamar

tempat kita singgah sementara seharusnya sudah ditutup untuk tidak

membiarkan angin membelai tubuhmu,” katamu seraya menutup

rapat selimut ke tubuhmu dan dirinya.

“selamat malam, selamat tidur. jika pagi esok kaudapati

matahari di tepi jendela, artinya waktu masih setia untuk kita. maka pejamkan

matamu, kota-kota yang riuh akan mati.”

ia lalu tersenyum. melupakan perjalanan yang telah jauh ditempuh,

khianat yang laknat. cerca yang diam-diam dalam tertanam,

dan entah esok akan menggemuruh sebagai ledakan-ledakan

“tapi aku akan mencatat tanda di tubuhmu, tanggalkan

pakaianmu. kuhitung untuk kuingat berapa bekas kecupanku berlabuh,

dan entah kapan pastilah kujadikan suluh,

ketika mataku buta dan tongkat tiada,” ia berkata

setengah memaksa.

ia tersenyum. demikianlah kisah ditulis dan kita membacanya

di rumah-rumah sunyi

di rumah-rumah yang hangat oleh cinta sekalipun!

kau tersenyum. demikian kisah dibaca dan ditulis

dalam lembar-lembar pengembara

lelaki khianat, betina laknat

--dan kisah-kisah itu terbaca oleh kita—

di hari lain suatu ketika…

denpasar juni 1998-lampung 2001




Pagi Mekar


PAGI mekar di kelopak matamu bagai ombak

selalu riang melepas rindu pada pantai

kenanglah perjalanan semalam yang membuatmu

tak mau pisah dari detak. dari kisah-kisah yang retak

lalu kau merapikan dan kembali merekatkan

jadi bangunan cinta: rumah bersama

KARENA rindu kautempuh pulau-pulau,

berjuta-juta mil yang terlipat dalam genggamanmu

lalu kauledakkan di dadanya

SETIAP waktu..

denpasar-yogya, juni 1998

Dari Negeri Sajak

: bersama hudan hidayat

aku tamu tanpa lebih dulu mengetuk pintumu

pada siang yang pukang. lalu kau menyambutku

dengan wajah tulang; seribu pendatang

telah terusir dan kini menggelandang

seperti piatu yang membawa genderang

-kota pun jadi gamang, katamu

menunjuk sejumlah barak penampungan

untuk menunggu dipulangkan

mungkin aku mengenal mereka meski

dari wajahnya yang lebam atau garis-garis

di kulit berbentuk kilatan. “ini bekas tinju

dan cambuk,” seseorang mengadu

aku tahu, hidup di negeri orang

tanpa ketukan akan melunta

aku tamu yang membawa ketukan

meski belum sempat mengetuk pintumu

aku sudah pula terusir. “setiap pendatang

dari negeri tanpa kata dan mata,[1]

di sini akan melata,” ujarmu

tapi aku datang dari negeri sajak

di sakuku berjuta kata

akan membuatmu kenyang

walau mataku tak bisa membaca

segala gerak dan tanda

- di hatiku tumbuh bunga

silahlah kau memetik

dan letakkan dalam vas antik

Johor Bharu, April 1999-Kualalumpur, Desember 1999



Seperti di Negeri Sendiri


seperti di surau sendiri aku bentang sajadah

di setiap jengkal bumi. Tuhan pun ada di sini

merekam gerak dan laku: aku mau sujud

di setiap surau yang engkau bentangkan

meski di puncak bukit bersila patung budha

terbikin dari emas: kuning-cahaya. Tuhan pun

ada dipuncak bukit sana, mencatat setiap

gerak dan laku: aku bertasbih dan berdzikir

mengesakan dan mengkabirkan,

Ia yang mencipta segala yang

tak dapat kaucipta, sebab punya kun1) maka

kunlah! - (Apakah kaubisa saksikan yang

kami lakukan dan katakan di bawah

bukit ini?) – sedang kau bermandi kala hujan

dan berkeringat saat penat.

menunggu badai benar-benar tiba

meruntuhkan bukit itu berkeping-keping

layaknya tursina di mata musa

seperti di negeri sendiri, aku sujud

di mana kusuka. memanggil-manggil nama-Mu

dan memohon tiba-Mu

hatjay desember 1999


1) jadi, maka jadilah (Alquran)



Saputangan


kau datang lalu pulang

di sakuku tersimpan kembang

yang kau jahit di lembar saputangan

yang kuterima satu jam lalu

cukuplah warna kembang

mewakili lidah dan hatiku

bila aku tak mampu berkata-kata

- kau katakan itu sebelum lalu -

kupandangi saputangan berwarna ungu

berhias kembang biru muda:

kau bisa ingat pertamakali kita jumpa

aku mengenakan kaus ungu

dan celana panjang warna biru muda

aku tahu kau sangat menyukai

warna itu, ucapmu lagi

tapi sepulangmu

saputangan itu telah kubikin layanglayang

dan kini entah tersangkut di mana

aku tak sedih seperti anak-anak

ketika layanglayangnya putus,

sebab aku sudah melupakannya

seperti aku tak lagi mengingatmu

2000/2001



Aku Menunggu di Halaman


setelah sampai dan pintu rumahmu masih terkunci

aku menunggu di halaman (teparnya di teras)

melepas keringat membiarkan angin mendarat

kemarau ini banyak menerbangkan debu

menyelimuti tubuhku dan bibirku begitu kelu

mengucap-ucap namamu

Kekasih, o berapa lama lagi aku menunggu

hingga kaudatang dan mengecup keningku?

di halaman rumahmu tak kudapati jalan

yang membawaku ke hadapanmu

sedang rindu kencan sangatlah kabir

di halaman waktu

aku jadi ragu

memandang kilatan—seberkas api

seperti dulu kurasakan di bukit tandus

Kekasih, apakah aku harus lagi menandu kayu

membelah golgota seperti ia duga?

darahku tak pernah mengucur

meskipun aku harus hidup asing

2001

Sehektar dari Lahan itu

KITA pun bertemu di taman tebu. matahari ngengat

aku pun berlari hingga masuk ke perut ladang,

mencium tanahnya: “ini ulayat poyang

demi kemakmuran para cucu!” kudengar suara

cuma sekarang bukan lagi warisanku

sejak ia datang dan menanam besi,

membangun gilingan—mesin yang menjadikan

segala jadi gula—lalu para cucu kian menepi

ke dalam hutan atau melata di perbatasan

MAKA kusebut pencuri jika kalian masih juga

beramai-ramai menanam tebu

di lahan-lahan yang berabad-abad

kami tanami pohon-harapan

“sehektar dari lahan itu

tertanam usia kami.”

2002-2003



Serupa Embun


embun di ujung daun

yang kutemukan pagi ini

sangat lain dari hari lain

sewarna putih

serupa usiaku yang pipih

kujaga embun dari kejatuhan

tapi daun itu tak henti bergoyang

mengikuti tarian angin

hingga membuatku bimbang

mungkin usiaku serupa embun

selalu ragu bertahan di daun

2004




Menunggu Kereta Tiba


aku masih menunggu kereta tiba

di peron yang gemuruh

sinyal belum juga dibuka

rel terasa beku, menggigilkan tubuhku

kau yang kunanti belum datang

padahal aku sudah ingin pulang

dengan kereta penghabisan

yang datang dan pergi

tak pernah tepat waktu

(si perantau itu makin ragu

untuk sampai di rumah masalalu

sebelum ada kereta yang datang

dan melintas di rel yang lengang)

di ujung peron di sedikit

waktu yang menunggu

aku pun semakin gelisah:

dengan kereta apa

aku bisa sampai di rumah?

hari semakin petang

sedang aku rindu sekali pulang

gambir 2004



Anak Anak Berselendang Biru


pilu hati ini

maka aku kangen

pada kematian.”


anak anak kian kehilangan

kesempatan bercanda

sejak hari harinya cuma menunggu

para orangtua yang akan

menandu, atau membawakan

kereta berwarna ungu. dibalut

selendang biru milik ibu:

(juga) kain batik dari pekalongan

setelah itu,

iringan panjang itu

iringan panjang

yang menghitam

satu jam lalu ditambah hari hari

pilu, anak anak itu menanggung sakit

(kekurangan gizi, muntaber,

atau polio…)

masuk rumah sakit, tapi keluar

cuma tak mampu menebus kwitansi

bertulis daftar obat dan sewa kamar

- dan tangan dokter yang putih –

selendang biru milik ibu

membayang sebagai tali plastik

tergantung di bububungan

menjuntai maut

anak anak itu ingin sekali

memanjat selendang biru milik ibu

ingin sekali terbang tanpa harus

membikin sayap. dalam waktu penuh

gaduh ini, tak perlu orang menjelma

kupu kupu

tak harus kematian

menunggu terlalu lama,

pilu hati ini

telah membuatku makin

kangen pada maut.”

di sembarang waktu

di lorong mana pun

di sepanjang koridor yang sunyi

iringan panjang itu,

sekelimun orang yang menghitam

mengantar lalu pulang

anak anak itu terlalu indah

untuk cepat pergi

terlalu pagi untuk mati

atau mematahkan usia

dan mengubur sejuta hari

di muka,

dengan selendang biru milik ibu

dengan kertas kertas terbuka

di meja dekat pembaringan

“kenapa tak kauberi waktu

untukku menyusuri hari

lebih lama lagi?”

malam malam garing

panen semakin kering!

2005



Kalimat-Kalimat Hutan

: dahta gautama


aku makin kesasar

ke dalam belantara

siang yang agung

--minggu murung?—

aku masuki belantara

tanpa nama

“wahai pengembara

sudah berwaktu-waktu

kutunggu pertemuan ini,

tapi tak kulihat juga

kau tiba?”

-pekik serak-

di lain waktu

janji bertemu

(sekian ratus halaman

penuh oleh kalimat

: sekarat,

--mungkin pula khianat?—

dan kesumat)

hanya sendu

pilu

kalimat-kalimat hutan

tumpah sebagai serapah!

17 Juli 2005



Bukit Jagal


sampai di leher bukit. matahari terasa menggigit,

tapi kakiku yang makin letih tak juga mau memilih

aku belum ingin berhenti sebelum waktu

benar-benar mati. apalagi aku sudah jauh

membelakangi rumah. –juga dirimu?—

cuaca makin berselimut

penuh oleh kabut

dan tanah bercincau

mungkin sesaat lagi mautkah memagut?

ini leher bukit, sangat terjal

seperti batu-batu yang terjungkal

sebelum kupanggul mencapaimu

yang kubaca di dalam kisah-kisah

ini leher bukit, sangat terjal

tempatku terakhir untuk kaujagal!

duh, Bapak

bagaimanapun aku ini anakmu

2005



Sembilu Kata


pulang dari libur panjang

melayarkan keriangan

ke laut waktu,

angan menari binal

di seribu ranjang pekat

--malam-malam gelap--

tak tiba tanganmu memikat

sebilah kata

menujah!

Hari-hariku luka

jadi laut bencana

di kota ini pula

mengapa aku bersua

wajahmu bagai hantu

menatapku liwat punggung

sehabis pertemuan siang itu

sebilah katamu jadi linggis

di dadaku,

lukanya mengerang, anyirnya

mengalir sampai jauh

sebagai sauh

merenangi mata orang-orang

yang ikut pula mengerang

sebab tak bisa melihat

pertikaian:

kata-kata, aku tahu begitu sakti

di lubuknya menyimpan benci!

Aku tahu sudah lama

lupakan seluruh kata

yang mengucur dari lidah-sembilumu

: tapi, kautahu warna dengki?

2005



Kau akan Sampai ke Diriku?


di tepi parasku

kudapati dirimu pasi

jangan tikam dengan cara itu

sebab aku akan terus geliat

seperti ular-ular (liar) itu

yang lahir dari lubang pekat

menyisir semak, menyimak

sungai: di dahan paling tinggi

setiap waktu aku mandi matahari

-- kau akan sampai ke Diriku?

(capai dulu tangga usia ini.

meliar sebagai ular untuk sampai

atau kau akan menjelma cacing

yang terlunta di tanah gembur)

seperti penggotong batu

berlari sampai bukit

sebelum kembali ke diri --

sewarna apa parasmu

ketika kecam

minta menari?

di depan cermin

penari buruk pun

merasa indah meliuk

menulis lentik

menjejak larik

menuding tinggi…

2005.07



Sampai Tulangbawang


di pinggir pagi,

sesaat lagi sampai sungai

batu-batu itu kaupilih

dari serpih-serpih

kalimatmu yang pipih,

padahal kemarin malam

kau mengadu, suaramu mengaduh

terdengar hingga peraduan

bergoyang…

ah, tidak. kutahu itu gempa

menumpahkan ranjangmu

yang menjelma laut berahiku

ingin kuhunus parang

malam-malam ganggang

sekelebat bayang

tampak mengambang

di muka sungai

“sampai tulangbawang

adakah hidupku tertulis

sebagai sejarah pula

sebagai risalah,

silsilah?” kujeritkan

kecewaku,

sebab sejuta pendatang

hanya jadi pembangkang

makan lalu berak

lalu muntah

atau meludah

di sini

2003/2005



Sebagai Pohon


ke mana tuah

sehingga lupa

pada jampi?

aku tumbuh dari akar

membesar sebagai pohon

selimutmu dari semua terik

dan payung dari segala air

di lahan ini

kita sama-sama pohon

tegak karena akar

dan tanah yang subur

bunga mekar

jadi buah

ke mana tuah

sehingga lupa

pada jampi?

ayat-ayat mengekal

kalimat-kalimat bebal

muntah dari jampimu

di siang yang penat

ini waktu

aku tak boleh kalah

seperti sapi

ke luar pacuan,

maka kukembalikan jampi

sebagai teluh

- mati

2005.06-07



Jelang Sarapan Pagi


batu itu tak pernah diterbangkan

kecuali seusai tanganmu melontar

jadi hujan. sebagai sayap malaikat

terbang ke dalam ranjang.

membuka matamu,

menciptakan sayap bagimu hingga

jadi kupu-kupu. hinggap di pucuk-

pucuk mawar. gugur bunga tujuh warna

yang kaupetik sebagai doa

bukan, kata sesuara

berupa burung

bersarang di jendela,

ke peraduan

- ahai, aku kini hamil

tanpa belulang,

yang mengendus sejak di taman

(kemarin ibu-bapak dirayu

membuatnya mengembara

sepanjang tahun seluas semesta!)

dan lahir di peraduan

anak-anak cerca itu

kini kubaca

setiap jelang sarapan pagi

2004/2005




Kuberi Sehalaman

: cerita buat Afrizal Malna


untukmu sehalaman kuberi

kau bangun kebun, rumah,

dan sesekali ke taman

sekadar canda

di situ setiap waktu

akan turun matahari

atau aroma bulan

tapi usah berlayar

kau akan terdampar

untukmu kuberi sehalaman

dari pekarangan samping

lalu bangun rumah

setiap malam kau tertawa

memandangi bulan

yang leleh di lehernya

mengirim kota-kota

dalam lipatan

celana dalam

kuberi sehalaman untukmu

ciptakan mimpi-mimpi

dari pepohonan

07 Maret 2005: 10.50



Hutan Sangsai


tapi, harus kaulupakan

seluruh peristiwa

yang kaulalui kemarin

melipat masasilam

bukan berarti

mengingat pulang

sesudah berpanjang

langkah melenggang

seperti burung terbang

lalu lupa sarang

kecuali hinggap

di kawat-kawat listrik

atau pohon tak rindang

sekadar istirah

setelah itu

kembali terbang

mencari remang

di mana kau simpan

seluruh masasilam

ketika jalan

pulang makin kelam?

tersasar di artefak,

nama-nama jalan,

arus sungai,

dan hutan-hutan

yang dulu, katamu,

telah menulis usiamu

di seluruh rambut

hingga berlumut

- di rantau

alamat payau

terasa jauh

kampung masa kanak

kini makin bergetar

membuatmu gemetar

dan terpukau:

“di mana aku ada?”

bisikmu

lekuk sungai

hutan sangsai

tak pernah

sampai

ke dalam diri!

/2005-2006



Lelaki Rantau


setelah itu cuma igau

lelaki rantau pulang

hanya melepas kerinduan

tentang kenangan di samping rumah

museum yang menyimpan silsilah

atau lembar-lembar sejarah,

hutan bakau, ladang cengkih,

kebun kopi, dan hutan damar

yang kini hilang tenar

tanah hitam

sisa arang

udara berselimut asap

bagai kabut di tanah eropa

namun karena rindu

setiap waktu mandi kabut

setelah itu cuma igau

bahwa tanah kelahiran

segala muara kenangan

ingatan yang mesti diambil lagi

maka ia buru ke sudut-sudut

hutan damar, kebun kopi, ladang

cengkih, atau hutan bakau

- seperti penyelamat lingkungan

yang jadikan lahan mangrov –

sebagai buku kenangan

namun museum di kota tetap lengang

dan lelaki rantau berdiri di tangga rumah

menyerpihi setiap silsilah

mencari-cari sejarah yang raib

membuang jauh segala aib

“kita punya banyak warisan

melebihi kemegahan kota

kenapa tak dijaga dan harus dilupakan?”

lalu ia sebut adin, atu, kyai, udo,

datuk, dan nyai[2]

untuk duduk bersila di lamban[3]

menghitung yang hilang

mengumpulkan perlawanan!

2005/2006



Asam Urat

tengah malam aku terbangun

mendapati kakiku bengkak

dan sangat nyeri. “aku akan

lumpuh di sisa hidupku,”

kataku amat khawatir

sambil menatap istriku

berwajah cemas pula.

aku tak bisa lelap

sepanjang sisa malamku

memegangi kakiku yang

terus membengkak

dan nyeri. aku seperti

menatap ribuan ulat bulu

merayap di kaki itu, membuka

jalan ke tempat-tempat

tak kukenal dan pekat

-segala muara maksiat-

katamu, kemarin senja

hotel-hotel berbintang

kurasa sangat kelam

setiap waktu kudengar

tawa goda para perempuan

yang keluar dari kamar-kamar

rias: hendak pula merias

tubuhku,

-sauna, mandi

kucing…-

kau mau minum susu?

“kakiku nyeri, terus membengkak.”

(kata orang, asam urat…”

ah, esok pagi kau akan

lihatku pakai tongkat!

(tapi, dengan tongkat itu

aku sulap dunia jadi nirwana)

/10-13 April 2006



Lonceng dalam Dagingku Bernyanyi


lonceng dalam

dagingku bernyanyi

tubuhku pun menari

tanpa lantai

irama samsara

tabuhan tifa

warna dan suara

menyatu pekat

--hitam kulitku,

putih tulangku—

di tanah air

yang memerah

getar selalu mekar

tumbuh jadi pinang

di bukit-bukit kapur

di hutan tanah hitam

di kota penuh merah

alamat kelam

berzaman-zaman

: diperah….

alangkah baiknya

aku merantau saja

bila tanah lain

mendirikan rumah

lonceng dalam dagingku

kini bernyanyi. pilu

--memendam rindu

pada pinang

dan kapur:

dirajah—

semalam aku pergi

/2006



Musim Kawin-Kawinan


biarkan orang-orang

mengingat masalalu

bersandar di tiang

dari rumah panggung

memandang kehijaun

kebun kopi dan lada

atau sekadar menikmati

musik sungai

yang kini hanya kenangan

bahkan di kota besar ini

yang cuma satu museum

tak lagi menyimpan

kenangan-kenangan itu

masakanak yang pecah

artefak telah retak

ibu kehilangan tutur

dan para remaja

bermandi cahaya…

biarkan mereka

bermain dengan angan

dan kenangan-kenangan

barangkali itu menyenangkan

meski juga menyengsarakan

sebab apatah nikmatnya

bercumbu bayang-bayang?

(sedang kota kita ini sudah tak memberi tanda lagi,

tiada yang mampu kaukenali, telah penuh

oleh warna-warna—sebagai kota yang akan

terus berbenah menjadi ribuan jalan,

ratusan hotel, relestat, mal, ruko, dan

taman-taman serta kolam renangnya…

lalu di mana akan kau letakkan masalalu

sebagai kenangan bahwa kau pernah

dilahirkan di sini dengan tumpahan

ketuban dan darah dan ariari

kemudian setiap malam

sepekan lamanya

dihidupi lampu sentir di tepi rumah?)

kota terus gerak dan berpindah

meninggalkan dan melupakan

masalalunya, kenangan-kenangan

menyenangkan: mainan

kanak-kanak, gobaksodor, engrang,

ataupun petak umpet

di bawah bulan bugil bulat

atau menuju perkebunan karet

memunguti biji-bijinya

lalu atas-bawah

dan bagian samping

dilubangi untuk kitiran

Dan bila musim kawin-kawinan

kita punguti biji-biji salak

kemudian dibuat cincin

untuk persembahan

pada mempelai perempuan

ah, biarlah mereka mengenang

ketika mencari pasangan

di saat menjaga damar

malam-malam perhelatan

sambil menulis dan

berkirim surat

di bawah remang api damar

yang bertahan hingga fajar

(tapi kota kota kini sudah melupakan

hutan damar, perkebunan sawit,

dan kenangan-kenangan percintaan.

hotel-hotel adalah hutan damar

yang menyediakan gemerlap

perkebunan sawit telah jadi kota pula

yang membuatmu bisa bertemu

pacar tiga kali lebih sehari….)

karena itu, biarkan orang-orang

itu mengenang masasilamnya

/wayheni 2003,2005--bandarlampung 2005-2006



Pagi ini Jadi Lain


pagi ini jadi lain

pohon di halaman rumah

telah berubah warna

seperti rambutku,

tak kudapati uban

yang dulu meranggas

dan gegas mencapai

awan. daun dan bunga

tumbuh jadi coklat

seperti rambut boneka

di tangan anak-anak

menari-nari setiap kali

tiba angin sambil

mengelus lembut

pagi ini jadi lain

di kepalaku seperti

tumbuh ladang cokelat

hingga pohon di halaman

semakin terpikat

pada warna

Pada warna?

/April 2006



Kembali Sunyi


bangunlah sebelum

malam muncul

di ambang wajahmu

bersama pekatnya

yang luruh

kau tahu

itulah waktu

bagi kita bersua

--tak lupa bersapa—

sambil mengurai

peluh karena

sepanjang siang

hanyalah melanglang

bahkan sebagaimana

ahasveros yang cuma

terlunta tanpa

mengenal pintu rumah

kau tahu?

saatnya kita kembali

berpisah. menyusuri

kisah adam dan hawa

pertama kali

diturunkan di bumi

lalu keduanya

melata di padang-padang

terbentang dan menganga

: asingmu,

sunyiku

bangunlah sebelum

kelam benar-benar

luruh di sudut wajahmu

dan aku akan meraba

untuk memelukmu

: kau jadi asing,

aku kembali sunyi…

/April 2006



Jangan Cari Namaku


jangan cari namaku

di semak atau belantara

tak akan kautemukan

selain bekas langkah

namaku selalu

bertunas di keningmu

sebagai kenangan

lalu kaulupakan

biarlah bekas langkahku

mengeras sepanjang jalan

setiap kaulintasi

akan mencapai senyumku

bahkan di halaman

koran hari ini pun

tiada kausebut namaku

selain bekas ciumanku

yang dulu kaurindu

serupa buah dadu

berputar dan memancar

: kemenangan

ataukah kehancuran

di semak

atau belantara

tiada lagi halaman

memberi tempat

namaku….

jangan cari namaku

karena tak akan kautemukan

selain bekas langkahku

serta sisa ciumanmu

mengekal ketika

mencapai malamku

/Maret-April 2006



Menuju Sungai


Lelaki menuju sungai

dia hanyutkan impian

kemudian naiki bukit

dan rebahan di tepi

Tatapnya menyapu

seluas jurang

semampu pandang

menanti bayangmu

(entah bila kembali,

sampai senja ganti kelam

hanya terlihat sosok

seperti sebatang lidi)

melayang,

mengalir

Di sebatang malam

sungai menjelma jadi naga

hendak menerkam

sangat lapar

Dan, lelaki itu tertidur

menunggu sungai berair

untuk ia hanyutkan impian

ke lepas semesta

Di tepi jurang

Di bukit paling tinggi

lelaki itu hanya menanti

kabar lain

dari benua lain

Maret 2006



Peristiwa di Kali


hanya perempuan

duduk di sebatang kali

setiap pagi hingga jelang senja

menjaga awan tidak hanyut

terbawa lumpur

dan kembali berubah hujan

basuh tubuh setiap pagi

keramas jelang sore

di kota tiada kali

matahari tak selalu datang

bahkan lebih kerap pergi

sehingga kamar selalu gelap

di sebatang kali

perempuan mandi

memamerkan tubuhhalusnya

ke wajah matahari

: tertawa…

hilang airmata

2006



Dan Kita Mengeja Jejak


luruh senja

bersama gerimis

dalam debur batu

anakanak menari

sungai menyanyi

melepas baju

terjun ke air

“hari ini aku tak

menangis, mama,”

katanya riang

anakanak ingin

sekali berumah

di air. bangun

bangga di sungai

lalu terjun

ke dalam debur

seperti ikanikan

menyelam-berenang

mencari rumah baru

di luar cuaca

di sini anakanak

jadi ikan

berenang-menyelam

: riang

dan kita

mengeja jejak

mengarifi anakanak

liwat suaranya

barangkali, harapmu,

esok ada yang lelap

di sisi saat tidur

dan terbangun

bandung, 21 mei 2006



Tersasar ke Dalam Senyummu


SENJA. Kota basah

kita besijingkat

susuri jalan

di bawah guguran

slayer melingkar

di lehermu jenjang

berkibar pada cuaca

senja tak berwarna

lalu sebutir tahilalat

di pipi kirimu

ingin biarkan aku

masuk jelajahi

rahasia senja

kota kehilangan

aroma kembang

tapi selalu saja

aku mau tersasar

ke dalam senyummu

dan warna senja

yang rahasia….

jelajahi kota

senja ini

serasa kudapati

warna matahari

luruh di ufuk

dan

aku memetiknya

dari wajahmu

kukecup

bersama guguran

sebelum pamitan

GGM Bandung 21/05-Lampung 23/05-2006



Kolam Segala Muara


di matamu tumbuh

kolam, dan aku

jadi angsa di sana:

merenangi hingga

tepian…

dan kuingin

kau tetap kolam

muara segala hujan,

ibu semua ciuman

daun-daun bagai

rambutmu melambai

bagi petualang

yang pergi, yang datang

“tapi, biarkan aku

jadi lautan

menyimpan kesepian.”

Lautan? Ia telah

menenggelamkan kota

dan kekasih lama

di matamu

selalu kutemukan

pepohon yang

membuatku lelap

di sana, aku mau menetap

terima segala sayapku

yang kini sudah melipat

ingin mendekap

kau kolam

segala muara

bandung-lampung, Mei 2006



Laut Akhir


sebagaimana laut punya akhir: pantai atau muara

dan pada selangkangan bakau,

segala pusat risau

resah dan gelisah di sematkan

tapi bulan ini, yang katamu,

lebih mulia dari seribu purnama

akankah memiliki akhir

mengalahkan umur?

sudah 48 kali purnama!

getar doa

malam-malam ganjil

iktikaf yang gigil

halaman lambung

yang selalu kosong

(ada juga dahaga

yang selalu dijaga)

sepanjang siang

akankah punya akhir?

tapi orang-orang dari jauh

mengenakan pakaian lusuh

membikin kota penuh

berdatangan dengan

kedua tangan selalu menadah

seperti ia faham

di bulan, yang katamu,

lebih mulia dari seribu purnama

banyak orang murah tangan

melemparkan sedekah

dari setiap tubuhnya

mengalirkan laut

langit merestui

penghuni langit turun

bersama sayap-sayap berkilau

hendak meminangmu

dan getar doa

juga tangan yang menadah

akan pula dibawa terbang

kau tahu ke mana akhir

segala pengembaraan

kalau tak ke taman-taman

yang dulu sekali ditinggalkan?

beri salam pada malaikat

sebelum laut sampai ke tepian

akhir segala perjalanan:

pantai atau muara,

juga pada selangkangan bakau:

segala pusat risau

untuk dilelapkan….

lalu pantai atau muara

akan membuka halaman

bagi sujudmu selepas subuh

sebelum matahari di kepalamu

benar-benar meluruhkan ubanmu

demikian laut punya akhir

bulan yang memancarkan

kemuliaan seribu purnama

tak henti pada pantai atau muara,

bahkan di selangkangan bakau

kau akan mekar

cahayamu menguar

melebihi tahun-tahun usia

getar doa

selalu memanggil-manggil

septmeber-oktober 2006



Ia Akan Mengecupmu


jika malam tak sampai ke peraduanmu

ia akan datang memelukmu

dan sebagai malam,

ia labuhkan waktu

di dinding dadamu

menghitung butiran matahari

di keningmu. Melebar halaman

dipenuhi tulisan tentang senja

atau magrib yang raib

ia akan mengecupmu

jika malam tak datang ke tidurmu

adakah senja akan ingkar

burung-burung tak ke sangkar

dan mambang tak pulang?

ia akan menciummu

seperti malam

yang mendekapmu

untuk melelapkan

entah pagi kau terbangun

atau cuma ngungun

memandangi peraduanmu

berlayar…

september 2006

Rumah Ikan

demikian kau jadi lelampu

di sepanjang tepi pantai

sebagai aroma lain

sengat laut yang asin

“mari singgah

sejenak istirah

segala rasa sedap

yang datang dari laut

tersaji dan boleh dipilih,” hasutnya

lalu ia jadi lelampu pula

sebagai penerang

dalam temaram

lesap di gumulan desah

“lupakan penat

mari berkhianat,” ajaknya

tapi ia sekejap menjenguk

lalu pergi bersama kantuk

tak ada apa-apa di sini

selain elusan lembut

angin laut

yang katamu rasanya

lebih sedap dari coto

atau sop konro

demikian, ajaknya

setiap kau lalang di tepian

sekadar ingin mampir di rumah ikan

hingga menguyup malam

menggusur cintamu, kekasih

makasar, 7 september 2006



Cincin di Ruangan


jangan tinggalkan cincinmu di ruang ini

karena aku tak mau diusik oleh tanda

yang membuat kenangan selama ini

terbelah

cincinmu hanyalah tanda. gairah

saat kini yang bukan kenangan

ataupun harapan. sedang aku

selalu mengharap, sementara

kau melepas;

burung-burung akan singgah

jika senja memburam. mendiami

sarangnya untuk sesaat istirah

lalu esok pagi akan kembali

menembus angkasa,

menemui birahinya

karena itu baiknya kenakan cincinmu

sebelum kau lupa, dan kenangan itu

akan tertinggal di ruangan ini

sebagaimana sisa percakapan

dan sedikit pertikaian soal

cinta dan dusta

di plafon labirin

yang mengering

terekam tubuh kita

dan kau tahu

itu bukan percintaan

tapi sebuah tikam

2006



Selepas Malam-Malam Girang


sebab cincinmu tertinggal

aku pun memburumu lagi

walau harus membarakan

birahiku, mengacengkan belatiku:

“akan kubunuh kau bila temu

meski di padang atau rimba

baik sebagai kijang maupun singa.

Tak peduli setelah dendamku,

seusai birahiku, aku harus mati

lalu namaku tak terpatri. Tapi

aku telah menabung janin

yang esok pagi menjelma

sebuah lukisan: lelaki tampan

serupa yusuf yang membuat

jemari julekha hampir putus,”

desahku menyamai kesumat

ternyata aku mesti mencarimu,

memburumu, walau ke padang

atau rimba. ingin mengembalikan

cincinmu yang tertinggal di kasurku,

selepas malam-malam girang

waktu yang terang

dan aku-kau dalam telanjang

di maha-lebar kanvas lukisan

sebagai kijang atau singa

sebab cincinmu tertinggal

aku harus memburumu kembali

mengingatkan pengalaman

yang telah jadi kenangan

lalu kuajak kau mengulang

tapi malam tak lagi terang

tak lagi hatiku girang

laut telah menghapus

gelombang menggulung

benci tumbuh

jadi suluh

entah sebagai kijang atau singa

kita pun melata

di keluasan rimba

serupa manusia

kehilangan surga

di kanvas maha-lebar

hatiku berdebar

tersebab kehilanganmu

karena cincinmu tertinggal

ruangan jadi hitam padam

dan aku menjelma jadi singa

yang melumatmu sebagai kijang

ngaceng gigiku

tak bisa lari ke luar….

2005-2006

Kenangan pada Juni

sebuah hari pertengahan tahun

pada kalender merekah

kulingkarkan satu angka

yang mengingatkan

darah tumpah jadi sungai usia

lalu berpangkal di laut

mengayuhkan setiap kapal

melukis beribu peta

di mana aku pernah bersuara

hanya sesaat sebab hujan

kemudian menghapusnya

melenyapkan setiap peta

dan melempar kapal-kapal

ke batas kanal

di laut tiada yang abadi

betapapun aku bersikukuh

hendak mengekalkannya,

bisik setiap kapal

yang kini terdampar

tapi dulu aku selalu

membenci maut

menepis segala gaib

menghamba akal

dan kekal

dan setelah Juni berkabut

oleh hujan yang mengabut

hingga melepas lima

dalam kalender buram

tak lagi kudapati peta

yang dulu kaucipta untukku

selain setiap kapal

harus terdampar di kanal

jadi karat

dan sekarat

bahkan pantai suatu-waktu bisa surut

menggelaparkan lokan dan cumicumi

sehabis gelombang membuncah

ke dalam diri: mengelamkan usiaku

mengenang Juni

dan hujan menghapus

jejaknya di kalender

aku makin terbata

membaca peta sendiri

5 Juni 2006



Setiap Mengingat Laut


ia selalu berdiri di tepi jendela;

pagi berlumur emas

angin amat malas

dan ia tetap ceria

matanya menyapu halaman

seperti mencari silsilah

di setiap pohon

yang enggan melambai

“di sana tiada kisah,” ia mendesis

segala ingatan sudah lama terkubur

seperti tak ingin membangun cerita

bahkan pohon-pohon tiada warna

dulu ia sembunyikan harapan

“aku pernah menulis di batangnya

setiap kudapati keriangan

atau kisah yang kudulang

dari lekuk hari-hariku,” bisiknya

ia selalu berdiri di tepi jendela;

memandang gumpalan ombak

yang suatu hari pernah mengental

di dalam benaknya: ombak yang

pernah berlari ke kota,

menelan seluruh riang

dan sejak itu, seluruh cerita

miliknya lenyap. tenggelam?

sejak itu ia tak lagi punya ingatan

ia jadi piatu dan gelandangan

: tak punya catatan

cuma matanya tak pernah lelap

ia selalu berdiri di tepi jendela

--entah pagi entah pula senja—

memandang ke luar menunggu

ada kisah baru

di setiap lembaran daun

tapi tak pernah kisah

datang dari percikan ombak

karena setiap mengingat ombak

(bahkan laut)

hatinya berdetak

seperti hendak merutuk:

“segala yang kupunya

telah kau bawa pergi jauh?”

ia tak lagi punya apa-apa

dan sesiapa. ia piatu dan membatu

sebagai gambar di bingkai jendela

hingga rambutnya sewarna perak

akhir Agustus 2006

Impian Siang

akan ke mana siang ini

selagi matahari menyelinap

dan jalan terlihat berair,

keringat cair?

ke tempat itu lagikah

sepasang burung bersarang

atau mengitari luas kota

memilih tempat naung

melepas sayap murung

kota ini sudah terlalu riuh

tak lagi punya waktu

membangun sarang

atau sekadar canda

(apalagi mendaratkan

ciuman. Sayap-sayap luluh

udara kota melepuh

di seluas igau)

burung tak selamanya mengepak

udara sesekali meremang

jalan akan pula membentang

seperti waktu menyediakan jarak

: apakah diam di sini

mengeram masa datang?

09 Agustus 2005



Setiap Kau Datang


“setiap kau datang,

hatiku kian lengang.”

Ia ucapkan itu

sesore kemarin

sambil menoleh kiri

pada iringan semut

yang menandu

sepotong makanan

ia lalu melempar daun

ke arus sungai

seperti menurunkan perahu

ke tepi laut

“setiap kau pergi,

sukmaku terasa mati.”

kau ucapkan itu

dengan perasaan rindu

di hadapannya

cuma ia tak menoleh

-apatah tersenyum-

iringan semut berbeban

lebih menarik sebagai mainan

juni-akhir agustus 2006



Melepas Jalan-Jalan


melepas kembali

jalan-jalan silam

yang berwarna

di lipatan saku celana

aku pun mengenang

aroma kamar

penuh memar

dan pulau hitam

terus tumbuh

di benakku...

hanya angan

--juga impian—

kian menumbuh

sebagai silam

yang telah malam

mataharimu jugakah

yang terbit esok pagi

di ambang jendela

seperti hari-hari lalu?

4 agustu 2005




Seperti Malam


maka seperti malam

engkau benderang

menanti seseorang

berlari ke rimbunan

: kemudian senyap

karena sasap

7 agustus 2005

Di Ranjangmu

alir kata

berhulu di

ranjangmu

sprei membentuk perahu

mengayuhkan kasur

ke laut laut

tanpa desis

yang meracau

sepi di mejamu

dan laci terbuka

yang kehilangan kertas

jadi tisu setiap

kau keluar masuk

toilet

akan kau tabur di mana

setelah kata terbuang

seperti sehelai tisu

dimasukkan ke toilet?

2005

Terkurung dalam Ruang

aku makin sakit

di hadapanmu

terkurung dalam ruang

amat asing

hanya berdua

menafsir perih

sepasang kekasih

yang diusir dari sini

lalu melunta

lupakan segala cinta,

dan bangun rumah

di ranah lain

"di sini kami tanam pohon

yang dulu lagi. pohon yang

telah menelantarkan, karena

kami tersasar di rimbanya,"

katamu sebelum kita

jauh masuki rimba

denganmu di sini

aku makin sakit

apalagi mengenang

kecupan pertamamu

yang membuatku

terusir jauh

22.7.2005




Beri Aku Cinta


beri aku cinta

akan kujadikan pedang

untuk mengasihimu

walau di ruang ini

kau ganas sekali

mencabik tubuhku

dengan sayapsayapmu

habis gairahku

hilang cintaku

: kukutuk diri

yang tak bisa balas

segala ganasmu

maka kuminta cinta

akan kujadikan pedang

untuk mengelus dirimu

sampai lenyap bayang

di benakku dari mana

para kasih tiba

2003-2005



Pesan Panjang


jangan sisakan ludahmu

di baris bibirku, jika ingin pergi

atau lampu menyala

pintu terbuka

aku selalu lupa menghapusnya

pesan lengang

sisa liurmu menggenang

membiarkan kapal berlayar

menuju persinggahan lain

sisa liurmu menyisakan pesan panjang

melampaui batas waktu

seperti mau melipat jalan

ke dalam ingatan

yang kubawa pulang

sebagai hadiah

bagi pacar di rumah

yang menanti gerah

sehari-semalam

mengigau kesunyian

aku terdampar di tepi ruang

2006



Belum Malam


belum malam

lampu masih benderang

tapi kau tergesa

mengajakku pulang

“aku harus mengemasi

pembaringan yang kusut,

kamar semrawut

sebelum ia menjemput,”

katamu terdengar gelisah

ingin menarikku paksa

tinggalkan tempat itu

di bawah langit kelam

sehabis hujan

dan musik yang gaduh

sedang aku masih

ingin di tempat ini

kumpulkan sisa malam

dan menyimpannya

ke dalam impian

tapi kau menarikku

meski kini dengan santun

lalu menuntunku

ke dalam degup

penuh gugup!

2 Agustus 2005



Maut pun Menjemputku


aku sapa tanganmu

bibirmu mengecup

aku panggil namamu

cintamu merapat

aku sebut bibirmu

matamu mendekat

kau raba kelaminku

aku tunjukkan rambut senjaku

aku katupkan matamu

maut pun menjemputku

2004/2005

Dalam Rumah

apakah kau tetap pergi

selagi pagi masih jauh

dari pukul sembilan

membiarkan rumah

belum dibersihkan:

piring, sendok, gelas

berserak di tempat pencucian

sejak subuh tadi kau berbaring

lalu bangun dan ke kamar mandi

berhias dan mengenakan baju

terbaik yang kaugantung di lemari

mungkin petang nanti

kau akan pulang

seperti tahu setiap kepergian

akan kembali ke dalam rumah

hanya untuk melepas lelah

apakah kau tetap akan pergi

membiarkan anak-anak tak mandi

dan meja makan yang sepi?

sewarna bajumu yang cerah

langit tiba-tiba rebah

menangkup gelisah!

2004-2006



Rumahku

(ingatan pada Rawasubur)


rumah yang kubangun hampir

setengah abad lalu

mulai berlumut kini:

dinding sewarna hijau

lantai membayang peta

(tapi alangkah tak terbaca)

aku susuri liku air

tenggelam dalam kubangan api

mendedah payau

mendapati pukau

di bawah atap bercahaya matahari

aku semadi untuk kelahiran ini,

melarungi luka, menulis sisa usia

: melepas ribuan merpati

ke langit paling sepi

menebarkan kain ke muara-Mu

tengadah aku kini

dengan kedua telapak tanganku

yang semakin patah;

berdarah,

menabur tulah!

rumah yang kubangun

hampir setengah abad silam

kini tinggal kenangan,

dinding dipenuhi uban

lantai tiada ubin

membentang peta

(alangkah sulit terbaca)

melepas kembali merpati

ke langit paling sepi

tapi, aku tak mau juga pergi

sebab malam dan siang

membuatku selalu rindu

pada rumah

setiap kali membuka

dan menutup pintu

aku terkenang wajahmu

juga senyummu menanti

atau ketika jendela

terbuka dan mengatup

seperti kurasakan

hati yang bergetar

ingin mengajakku

lama berdekap

lalu bagaimana bisa

kulupakan rumah

yang telah kubangun

hampir setengah abad ini

sedang langkah

tak pernah merantau?

(rumahku dulu

makamku nanti)

2005-2006



Malam dan Bagai Kunangkunang

: bersama acep zamzam noer


bagai kunangkunang

ini malam

aku tak memiliki sarang

terbang ke mana

aku mau: -tapi aku

tak punya tempat

sekadar hinggap

kayu-kayu penyangga

terkelupas oleh rayap

tapi, aku kunangkunang

akan selalu terbang

meski tiada sarang

segala pucuk harapan

ah lupakan alam

yang tak beri salam

juga hormat

agar terbang jadi riang

dan pasrah…

alam dan malam

hidupku mambang

kepakkan sayapku

lampu-lampu sebagai penanda

menujumu

aku pun lupakan

segala ceracau

dan kilau

bikinku selalu risau

pada tubuhku ini

yang tak mau kembar

hingga nanar

21 agustus 2006

Mengikuti Angin

ada yang meninggalkan kita, desisku

sewaktu melihat segerombolan orang

pulang dari pemakaman

berjalan tertunduk

atau bercakap-cakap

mencium aroma sedap

ada yang datang setelah

meninggalkan kita, desismu kemudian

hanya aku masih menerka

berapa waktu mesti ia gadai

untuk perjalanan mencapai

perbatasan:

pemakaman masih saja hening

selalu diam-diam menyimpan

rahasia yang tak patut kau urai

jika hanya berdiri di pintu

- masuklah, masuk…

kalau engkau masuk

yang di luar akan kaulupa

dan jalan yang terbentang

serupa impian,

yang selalu jadi harapan -

pergilah, kau sudah milik sesiapa

orangorang datang dan mengantar

lalu beriringan pulang setelah engkau

istirah. seperti getar yang merantau

tanpa harap kembali

dan rumah yang dulu hanya dirindu

maka sekarang makin ungu

tersimpan dalam rabu

ada yang meninggalkan kita, desisku

saat serombongan orang

melangkah di bawah sengat matahari

dan cakap pun bagai desau angin

- ke mana pergi,

aku akan ikut –

27-08-06



Hujan Pertama


hujan yang pertama luruh

setelah berbulan-bulan kemarau - panjang –

tak juga membuat kota ini basah

seperti bibirmu berwarna gincu

merayu ia untuk berenang - sejenak –

melupakan letih, menarikan musafir

kota yang dikelilingi laut

perahu-perahu sandar

di mana pula bandar?

rumah-rumah malam terang

namun sepanjang trotoar tetap remang

dan kau turun sebagai hujan

dari rambutmu memancur air

dari bibirmu tercipta anaksungai

agar ia berteduh

melepas lenguh

- di sini tak perlu keluh -

hanya dengan 200 ribu

kau dapat berlabuh

sekadar menyegarkan pembuluh

di dalam kota tumpah angin

laut, - layar kapal mengembang –

jika takut masuk angin

merapatlah semakin ingin

hanya dengan 200 ribu,

katamu, ia akan berlayar

menembus laut hitam

kota-kota legam

dalam waktu yang diam

meninggalkan riuh

melambai pada sepi!

(kota ini kembali membawa

padanya ingatan

tentang persahabatan

dan perpisahan

tahun-tahun silam)

dan kini ia susuri

setiap nama jalan, gang,

ataupun lorong: mengingat

nomor-nomor rumah

yang kiranya sudah banyak berubah

dan lenyap oleh cuaca

kemarau tahun ini lebih lama

hujan yang pertama luruh

tak membuat kota ini basah

terdengar desah

ia makin gelisah!

makasar 9/2006



Ingin yang Berembun


sampai juga ia

di kota lama hanya

dalam peta, lembaran

gambar perempuan belia

dilapisi bodo

dalam ingatan

berdiri anggun

dalam belaian angin

pakaian berkibar

bangkitkan ingin

di hati, aduhai, berdebar

apa gerangan

membuat kenangan

sudah amat silam

kini berlompatan?

di kota kelahiranmu

ia susuri lagi jejak

tangis pertama

sebagai muasal

tawamu kemudian

tapi ia hanya dapati

bekas langkah

yang memecah

alamat telah berganti

nomor rumah mati

lalu kenangan jadi rabun

ingin yang berembun

2006



[1] Mengutip anekdot warga Malaysia yang kala itu menyebut Indonesia dipimpin oleh seorang cacat netra dan bisu (Abdurrahman Wachid dan Megawati Soekarno Putri).

[2] adin/kyaii/udo = kakak, atu = kakak perempuan, datuk = kakek, nyai = nenek (Lampung)

[3] rumah (Lampung)