Isbedy Stiawan ZS
Laut Akhir
DAFTAR ISI
Di Ngarai, Hujan Berurai
Jam Gadang
Pantai Kuta
Pengembara
Pagi Mekar
Dari Negeri Sajak
Seperti di Negeri Sendiri
Saputangan
Aku Menunggu di Halaman
Sehektar dari Lahan itu
Serupa Embun
Menunggu Kereta Tiba
Anak Anak Berselendang Biru
Kalimat-kalimat Hutan
Bukit Jagal
Sembilu Kata
Kau akan Sampai ke Diriku?
Sampai Tulangbawang
Sebagai Pohon
Jelang Sarapan Pagi
Kuberi Sehalaman
Hutan Sangsai
Lelaki Rantau
Asam Urat
Lonceng dalam Dagingku Bernyanyi
Musim Kawin-Kawinan
Pagi ini Jadi Lain
Kembali Sunyi
Jangan Cari Namaku
Menuju Sungai
Peristiwa di Kali
Dan Kita Mengeja Jejak
Tersasar ke Dalam Senyummu
Kolam Segala Muara
Laut Akhir
Ia akan Mengecupmu
Rumah Ikan
Cincin di Ruangan
Selepas Malam-Malam Girang
Kenangan pada Juni
Setiap Mengingat Laut
Impian Siang
Setiap Kau Datang
Melepas Jalan-jalan
Seperti Malam
Di Ranjangmu
Terkurung dalam Ruang
Beri Aku Cinta
Pesan Panjang
Belum Malam
Maut pun Menjemputku
Dalam Rumah
Rumahku
Malam dan Bagai Kunangkunang
Mengikuti Angin
Hujan Pertama
Ingin yang Berembun
-------Di Ngarai, Hujan Berurai
di ngarai sianok, ketika langkahku nyentuh dingin
hujan pun berurai. segelas kopi tiba-tiba gigil
seperti meninggalkan mantel di jalan
--pagi berkabut, malam berembun—
Seperti sijingkat maut
Seperti bibir mengulum
ada cerita yang kemudian dilupakan
dari benteng japang
menyusuri lengang
suara-suara sumbang
aku amat cemburu. Mengapa tak kaubawa
kisah lama, malin yang duduk di wajah batu
atau ibu yang menadah ke curahan hujan
sebelum petaka benar-benar tiba. (mungkin aku
yang dikutuk atau terkutuk: sebagai batu
lalu berabad-abad menunggu hujan reda
dari kelopak mataku. (Tapi di pelipisku masih tampak
bekas luka yang kauhunjamkan sebagai dendam)
aku sangat cemburu. Bertahun-tahun kubaca kaba dan tambo
di sepanjang jalan menuju pantai kisah.
Dan ngarai ini selalu membawa kenang
Selalu melupakan ingatan:
aku orang baru asing…..
Jam Gadang
waktu selalu tak abai. Ia merekam segala geraksegala lirik,
meski aku diam-diam hendak membunuhmu seusai
ciuman dan senyuman: pagi tadi, malam-malam lalu….
tapi kau tak pernah sedih melihat waktu terus mendaki
lalu tergelincir di balik matahari tenggelam. Di bagian barat
tubuhmu, sudah kutandai seluruh berkas
-- segala sisa jemariku –
akan kausebut apa lagi, bahkan akan kaucatat dengan apa
segala percintaan dan pertikaian? di bawah menara ini (mercusuar?)
matahari tetap jalan, bayang-bayang hilang
dan aku-kau masih bersitatap
seperti menanti malam mendekap
simpan suara ganto di hatimu yang papa
sebelum kerbau-kerbau itu benar-benar datang
membawakan padamu lenguh panjang
kita akan rebah
selamanya istirah
bukitting 1997, 2003
Pantai Kuta
mungkin kau akan tenggelam dan hanyut
ombak yang deras ini akan memagut
menghitung hari-hari
dengan jemari legam
sebelum selancar melarung
ke laut paling ulung
kecuplah pasir-pasir pantai
tubuh-tubuh yang telentang
mabuk yang tak kepalang
masuk ke dalam ingatan
entah pada hitungan ke berapa
kau akan kembali ke tepi pantai
atau tenggelam di dalam gulungan pasir
yang tiba-tiba meledak
lantakkan seluruh kota-surga
yang diimpikan dunia
dan ledakan itu
akan sampai ke tubuhmu
dan aku tak bisa pulang
kuta 1998/2002. lampung 2002
Pengembara
ia tersenyum. katanya kemudian, biarkan aku dilumat
oleh petang demi petang. dalam pengembaraan yang diwarnai cinta,
apa yang tak indah? tanah selalu ditumbuhi bunga, langit lembayung
pelangi. di tubuh ini bermekaran benihmu yang akan kusemai
di musim panen nanti. (lalu ia menggamit lenganmu, mendekap-rapat
di keluasan cintamu).
“aku bukan Juliet yang mati meminum racun
di pembaringan pengantin yang lama disiapkan,” ia berbisik.
lalu bau pantai menguar. lalu aroma taman meruap. ia pun seperti
lelap: ia bayangkan hidup di firdaus penuh buah dan bunga—pohon
larangan untuk didekati—melambai, seperti hendak menggapai. kau
lalu memeluknya, sangat ingin mengecupnya sekali lagi. kau
amat khawatir tak ada lagi pertemuan, tak akan ada jalan
pengembaraan setelah ini. sebab seluruh jalan sudah patah,
dan kau akan kembali ke rumah. menemani keriuhan sambil
menghitung-hitung kesunyian,
“sebenarnya petang sudah makin beruban. jendela kamar
tempat kita singgah sementara seharusnya sudah ditutup untuk tidak
membiarkan angin membelai tubuhmu,” katamu seraya menutup
rapat selimut ke tubuhmu dan dirinya.
“selamat malam, selamat tidur. jika pagi esok kaudapati
matahari di tepi jendela, artinya waktu masih setia untuk kita. maka pejamkan
matamu, kota-kota yang riuh akan mati.”
ia lalu tersenyum. melupakan perjalanan yang telah jauh ditempuh,
khianat yang laknat. cerca yang diam-diam dalam tertanam,
dan entah esok akan menggemuruh sebagai ledakan-ledakan
“tapi aku akan mencatat tanda di tubuhmu, tanggalkan
pakaianmu. kuhitung untuk kuingat berapa bekas kecupanku berlabuh,
dan entah kapan pastilah kujadikan suluh,
ketika mataku buta dan tongkat tiada,” ia berkata
setengah memaksa.
ia tersenyum. demikianlah kisah ditulis dan kita membacanya
di rumah-rumah sunyi
di rumah-rumah yang hangat oleh cinta sekalipun!
kau tersenyum. demikian kisah dibaca dan ditulis
dalam lembar-lembar pengembara
lelaki khianat, betina laknat
--dan kisah-kisah itu terbaca oleh kita—
di hari lain suatu ketika…
denpasar juni 1998-lampung 2001
Pagi Mekar
PAGI mekar di kelopak matamu bagai ombak
selalu riang melepas rindu pada pantai
kenanglah perjalanan semalam yang membuatmu
tak mau pisah dari detak. dari kisah-kisah yang retak
lalu kau merapikan dan kembali merekatkan
jadi bangunan cinta: rumah bersama
KARENA rindu kautempuh pulau-pulau,
berjuta-juta mil yang terlipat dalam genggamanmu
lalu kauledakkan di dadanya
SETIAP waktu..
denpasar-yogya, juni 1998
Dari Negeri Sajak
: bersama hudan hidayat
aku tamu tanpa lebih dulu mengetuk pintumu
pada siang yang pukang. lalu kau menyambutku
dengan wajah tulang; seribu pendatang
telah terusir dan kini menggelandang
seperti piatu yang membawa genderang
-
menunjuk sejumlah barak penampungan
untuk menunggu dipulangkan
mungkin aku mengenal mereka meski
dari wajahnya yang lebam atau garis-garis
di kulit berbentuk kilatan. “ini bekas tinju
dan cambuk,” seseorang mengadu
aku tahu, hidup di negeri orang
tanpa ketukan akan melunta
aku tamu yang membawa ketukan
meski belum sempat mengetuk pintumu
aku sudah pula terusir. “setiap pendatang
dari negeri tanpa kata dan mata,[1]
di sini akan melata,” ujarmu
tapi aku datang dari negeri sajak
di sakuku berjuta kata
akan membuatmu kenyang
walau mataku tak bisa membaca
segala gerak dan tanda
- di hatiku tumbuh bunga
silahlah kau memetik
dan letakkan dalam vas antik
Johor Bharu, April 1999-Kualalumpur, Desember 1999
Seperti di Negeri Sendiri
seperti di surau sendiri aku bentang sajadah
di setiap jengkal bumi. Tuhan pun ada di sini
merekam gerak dan laku: aku mau sujud
di setiap surau yang engkau bentangkan
meski di puncak bukit bersila patung budha
terbikin dari emas: kuning-cahaya. Tuhan pun
ada dipuncak bukit
gerak dan laku: aku bertasbih dan berdzikir
mengesakan dan mengkabirkan,
Ia yang mencipta segala yang
tak dapat kaucipta, sebab punya kun1) maka
kunlah! - (Apakah kaubisa saksikan yang
kami lakukan dan katakan di bawah
bukit ini?) – sedang kau bermandi kala hujan
dan berkeringat saat penat.
menunggu badai benar-benar tiba
meruntuhkan bukit itu berkeping-keping
layaknya tursina di mata musa
seperti di negeri sendiri, aku sujud
di mana kusuka. memanggil-manggil nama-Mu
dan memohon tiba-Mu
hatjay desember 1999
1) jadi, maka jadilah (Alquran)
Saputangan
kau datang lalu pulang
di sakuku tersimpan kembang
yang kau jahit di lembar saputangan
yang kuterima satu jam lalu
cukuplah warna kembang
mewakili lidah dan hatiku
bila aku tak mampu berkata-kata
- kau katakan itu sebelum lalu -
kupandangi saputangan berwarna ungu
berhias kembang biru muda:
kau bisa ingat pertamakali kita jumpa
aku mengenakan kaus ungu
dan celana panjang warna biru muda
aku tahu kau sangat menyukai
warna itu, ucapmu lagi
tapi sepulangmu
saputangan itu telah kubikin layanglayang
dan kini entah tersangkut di mana
aku tak sedih seperti anak-anak
ketika layanglayangnya putus,
sebab aku sudah melupakannya
seperti aku tak lagi mengingatmu
2000/2001
Aku Menunggu di Halaman
setelah sampai dan pintu rumahmu masih terkunci
aku menunggu di halaman (teparnya di teras)
melepas keringat membiarkan angin mendarat
kemarau ini banyak menerbangkan debu
menyelimuti tubuhku dan bibirku begitu kelu
mengucap-ucap namamu
Kekasih, o berapa lama lagi aku menunggu
hingga kaudatang dan mengecup keningku?
di halaman rumahmu tak kudapati jalan
yang membawaku ke hadapanmu
sedang rindu kencan sangatlah kabir
di halaman waktu
aku jadi ragu
memandang kilatan—seberkas api
seperti dulu kurasakan di bukit tandus
Kekasih, apakah aku harus lagi menandu kayu
membelah golgota seperti ia duga?
darahku tak pernah mengucur
meskipun aku harus hidup asing
2001
Sehektar dari Lahan itu
KITA pun bertemu di taman tebu. matahari ngengat
aku pun berlari hingga masuk ke perut ladang,
mencium tanahnya: “ini ulayat poyang
demi kemakmuran para cucu!” kudengar suara
cuma sekarang bukan lagi warisanku
sejak ia datang dan menanam besi,
membangun gilingan—mesin yang menjadikan
segala jadi gula—lalu para cucu kian menepi
ke dalam hutan atau melata di perbatasan
MAKA kusebut pencuri jika kalian masih juga
beramai-ramai menanam tebu
di lahan-lahan yang berabad-abad
kami tanami pohon-harapan
“sehektar dari lahan itu
tertanam usia kami.”
2002-2003
Serupa Embun
embun di ujung daun
yang kutemukan pagi ini
sangat lain dari hari lain
sewarna putih
serupa usiaku yang pipih
kujaga embun dari kejatuhan
tapi daun itu tak henti bergoyang
mengikuti tarian angin
hingga membuatku bimbang
mungkin usiaku serupa embun
selalu ragu bertahan di daun
2004
Menunggu Kereta Tiba
aku masih menunggu kereta tiba
di peron yang gemuruh
sinyal belum juga dibuka
rel terasa beku, menggigilkan tubuhku
kau yang kunanti belum datang
padahal aku sudah ingin pulang
dengan kereta penghabisan
yang datang dan pergi
tak pernah tepat waktu
(si perantau itu makin ragu
untuk sampai di rumah masalalu
sebelum ada kereta yang datang
dan melintas di rel yang lengang)
di ujung peron di sedikit
waktu yang menunggu
aku pun semakin gelisah:
dengan kereta apa
aku bisa sampai di rumah?
hari semakin petang
sedang aku rindu sekali pulang
gambir 2004
Anak Anak Berselendang Biru
“pilu hati ini
maka aku kangen
pada kematian.”
anak anak kian kehilangan
kesempatan bercanda
sejak hari harinya cuma menunggu
para orangtua yang akan
menandu, atau membawakan
kereta berwarna ungu. dibalut
selendang biru milik ibu:
(juga) kain batik dari pekalongan
setelah itu,
iringan panjang itu
iringan panjang
yang menghitam
satu jam lalu ditambah hari hari
pilu, anak anak itu menanggung sakit
(kekurangan gizi, muntaber,
atau polio…)
masuk rumah sakit, tapi keluar
cuma tak mampu menebus kwitansi
bertulis daftar obat dan sewa kamar
- dan tangan dokter yang putih –
selendang biru milik ibu
membayang sebagai tali plastik
tergantung di bububungan
menjuntai maut
anak anak itu ingin sekali
memanjat selendang biru milik ibu
ingin sekali terbang tanpa harus
membikin sayap. dalam waktu penuh
gaduh ini, tak perlu orang menjelma
kupu kupu
tak harus kematian
menunggu terlalu lama,
“pilu hati ini
telah membuatku makin
kangen pada maut.”
di sembarang waktu
di lorong mana pun
di sepanjang koridor yang sunyi
iringan panjang itu,
sekelimun orang yang menghitam
mengantar lalu pulang
anak anak itu terlalu indah
untuk cepat pergi
terlalu pagi untuk mati
atau mematahkan usia
dan mengubur sejuta hari
di muka,
dengan selendang biru milik ibu
dengan kertas kertas terbuka
di meja dekat pembaringan
“kenapa tak kauberi waktu
untukku menyusuri hari
lebih lama lagi?”
malam malam garing
panen semakin kering!
2005
Kalimat-Kalimat Hutan
: dahta gautama
aku makin kesasar
ke dalam belantara
siang yang agung
--minggu murung?—
aku masuki belantara
tanpa nama
“wahai pengembara
sudah berwaktu-waktu
kutunggu pertemuan ini,
tapi tak kulihat juga
kau tiba?”
-pekik serak-
di lain waktu
janji bertemu
(sekian ratus halaman
penuh oleh kalimat
: sekarat,
--mungkin pula khianat?—
dan kesumat)
hanya sendu
pilu
kalimat-kalimat hutan
tumpah sebagai serapah!
17 Juli 2005
Bukit Jagal
sampai di leher bukit. matahari terasa menggigit,
tapi kakiku yang makin letih tak juga mau memilih
aku belum ingin berhenti sebelum waktu
benar-benar mati. apalagi aku sudah jauh
membelakangi rumah. –juga dirimu?—
cuaca makin berselimut
penuh oleh kabut
dan tanah bercincau
mungkin sesaat lagi mautkah memagut?
ini leher bukit, sangat terjal
seperti batu-batu yang terjungkal
sebelum kupanggul mencapaimu
yang kubaca di dalam kisah-kisah
ini leher bukit, sangat terjal
tempatku terakhir untuk kaujagal!
duh, Bapak
bagaimanapun aku ini anakmu
2005
Sembilu Kata
pulang dari libur panjang
melayarkan keriangan
ke laut waktu,
angan menari binal
di seribu ranjang pekat
--malam-malam gelap--
tak tiba tanganmu memikat
sebilah kata
menujah!
Hari-hariku luka
jadi laut bencana
di
mengapa aku bersua
wajahmu bagai hantu
menatapku liwat punggung
sehabis pertemuan siang itu
sebilah katamu jadi linggis
di dadaku,
lukanya mengerang, anyirnya
mengalir sampai jauh
sebagai sauh
merenangi mata orang-orang
yang ikut pula mengerang
sebab tak bisa melihat
pertikaian:
kata-kata, aku tahu begitu sakti
di lubuknya menyimpan benci!
Aku tahu sudah lama
lupakan seluruh kata
yang mengucur dari lidah-sembilumu
: tapi, kautahu warna dengki?
2005
Kau akan Sampai ke Diriku?
di tepi parasku
kudapati dirimu pasi
jangan tikam dengan cara itu
sebab aku akan terus geliat
seperti ular-ular (liar) itu
yang lahir dari lubang pekat
menyisir semak, menyimak
sungai: di dahan paling tinggi
setiap waktu aku mandi matahari
-- kau akan sampai ke Diriku?
(capai dulu tangga usia ini.
meliar sebagai ular untuk sampai
atau kau akan menjelma cacing
yang terlunta di tanah gembur)
seperti penggotong batu
berlari sampai bukit
sebelum kembali ke diri --
sewarna apa parasmu
ketika kecam
minta menari?
di depan cermin
penari buruk pun
merasa indah meliuk
menulis lentik
menjejak larik
menuding tinggi…
2005.07
Sampai Tulangbawang
di pinggir pagi,
sesaat lagi sampai sungai
batu-batu itu kaupilih
dari serpih-serpih
kalimatmu yang pipih,
padahal kemarin malam
kau mengadu, suaramu mengaduh
terdengar hingga peraduan
bergoyang…
ah, tidak. kutahu itu gempa
menumpahkan ranjangmu
yang menjelma laut berahiku
ingin kuhunus parang
malam-malam ganggang
sekelebat bayang
tampak mengambang
di muka sungai
“sampai tulangbawang
adakah hidupku tertulis
sebagai sejarah pula
sebagai risalah,
silsilah?” kujeritkan
kecewaku,
sebab sejuta pendatang
hanya jadi pembangkang
makan lalu berak
lalu muntah
atau meludah
di sini
2003/2005
Sebagai Pohon
ke mana tuah
sehingga lupa
pada jampi?
aku tumbuh dari akar
membesar sebagai pohon
selimutmu dari semua terik
dan payung dari segala air
di lahan ini
kita sama-sama pohon
tegak karena akar
dan tanah yang subur
bunga mekar
jadi buah
ke mana tuah
sehingga lupa
pada jampi?
ayat-ayat mengekal
kalimat-kalimat bebal
muntah dari jampimu
di siang yang penat
ini waktu
aku tak boleh kalah
seperti sapi
ke luar pacuan,
maka kukembalikan jampi
sebagai teluh
- mati
2005.06-07
Jelang Sarapan Pagi
batu itu tak pernah diterbangkan
kecuali seusai tanganmu melontar
jadi hujan. sebagai sayap malaikat
terbang ke dalam ranjang.
membuka matamu,
menciptakan sayap bagimu hingga
jadi kupu-kupu. hinggap di pucuk-
pucuk mawar. gugur bunga tujuh warna
yang kaupetik sebagai doa
bukan, kata sesuara
berupa burung
bersarang di jendela,
ke peraduan
- ahai, aku kini hamil
tanpa belulang,
yang mengendus sejak di taman
(kemarin ibu-bapak dirayu
membuatnya mengembara
sepanjang tahun seluas semesta!)
dan lahir di peraduan
anak-anak cerca itu
kini kubaca
setiap jelang sarapan pagi
2004/2005
Kuberi Sehalaman
: cerita buat Afrizal Malna
untukmu sehalaman kuberi
kau bangun kebun, rumah,
dan sesekali ke taman
sekadar canda
di situ setiap waktu
akan turun matahari
atau aroma bulan
tapi usah berlayar
kau akan terdampar
untukmu kuberi sehalaman
dari pekarangan samping
lalu bangun rumah
setiap malam kau tertawa
memandangi bulan
yang leleh di lehernya
mengirim kota-kota
dalam lipatan
celana dalam
kuberi sehalaman untukmu
ciptakan mimpi-mimpi
dari pepohonan
07 Maret 2005: 10.50
Hutan Sangsai
tapi, harus kaulupakan
seluruh peristiwa
yang kaulalui kemarin
melipat masasilam
bukan berarti
mengingat pulang
sesudah berpanjang
langkah melenggang
seperti burung terbang
lalu lupa sarang
kecuali hinggap
di kawat-kawat listrik
atau pohon tak rindang
sekadar istirah
setelah itu
kembali terbang
mencari remang
di mana kau simpan
seluruh masasilam
ketika jalan
pulang makin kelam?
tersasar di artefak,
nama-nama jalan,
arus sungai,
dan hutan-hutan
yang dulu, katamu,
telah menulis usiamu
di seluruh rambut
hingga berlumut
- di rantau
alamat payau
terasa jauh
kampung masa kanak
kini makin bergetar
membuatmu gemetar
dan terpukau:
“di mana aku ada?”
bisikmu
lekuk sungai
hutan sangsai
tak pernah
sampai
ke dalam diri!
/2005-2006
Lelaki Rantau
setelah itu cuma igau
lelaki rantau pulang
hanya melepas kerinduan
tentang kenangan di samping rumah
museum yang menyimpan silsilah
atau lembar-lembar sejarah,
hutan bakau, ladang cengkih,
kebun kopi, dan hutan damar
yang kini hilang tenar
tanah hitam
sisa arang
udara berselimut asap
bagai kabut di tanah eropa
namun karena rindu
setiap waktu mandi kabut
setelah itu cuma igau
bahwa tanah kelahiran
segala muara kenangan
ingatan yang mesti diambil lagi
maka ia buru ke sudut-sudut
hutan damar, kebun kopi, ladang
cengkih, atau hutan bakau
- seperti penyelamat lingkungan
yang jadikan lahan mangrov –
sebagai buku kenangan
namun museum di
dan lelaki rantau berdiri di tangga rumah
menyerpihi setiap silsilah
mencari-cari sejarah yang raib
membuang jauh segala aib
“kita punya banyak warisan
melebihi kemegahan
kenapa tak dijaga dan harus dilupakan?”
lalu ia sebut adin, atu, kyai, udo,
datuk, dan nyai[2]
untuk duduk bersila di lamban[3]
menghitung yang hilang
mengumpulkan perlawanan!
2005/2006
Asam Urat
tengah malam aku terbangun
mendapati kakiku bengkak
dan sangat nyeri. “aku akan
lumpuh di sisa hidupku,”
kataku amat khawatir
sambil menatap istriku
berwajah cemas pula.
aku tak bisa lelap
sepanjang sisa malamku
memegangi kakiku yang
terus membengkak
dan nyeri. aku seperti
menatap ribuan ulat bulu
merayap di kaki itu, membuka
jalan ke tempat-tempat
tak kukenal dan pekat
-segala muara maksiat-
katamu, kemarin senja
hotel-hotel berbintang
kurasa sangat kelam
setiap waktu kudengar
tawa goda para perempuan
yang keluar dari kamar-kamar
rias: hendak pula merias
tubuhku,
-sauna, mandi
kucing…-
kau mau minum susu?
“kakiku nyeri, terus membengkak.”
(kata orang, asam urat…”
ah, esok pagi kau akan
lihatku pakai tongkat!
(tapi, dengan tongkat itu
aku sulap dunia jadi nirwana)
/10-13 April 2006
Lonceng dalam Dagingku Bernyanyi
lonceng dalam
dagingku bernyanyi
tubuhku pun menari
tanpa lantai
irama samsara
tabuhan tifa
warna dan suara
menyatu pekat
--hitam kulitku,
putih tulangku—
di tanah air
yang memerah
getar selalu mekar
tumbuh jadi pinang
di bukit-bukit kapur
di hutan tanah hitam
di
alamat kelam
berzaman-zaman
: diperah….
alangkah baiknya
aku merantau saja
bila tanah lain
mendirikan rumah
lonceng dalam dagingku
kini bernyanyi. pilu
--memendam rindu
pada pinang
dan kapur:
dirajah—
semalam aku pergi
/2006
Musim Kawin-Kawinan
biarkan orang-orang
mengingat masalalu
bersandar di tiang
dari rumah panggung
memandang kehijaun
kebun kopi dan lada
atau sekadar menikmati
musik sungai
yang kini hanya kenangan
bahkan di
yang cuma satu museum
tak lagi menyimpan
kenangan-kenangan itu
masakanak yang pecah
artefak telah retak
ibu kehilangan tutur
dan para remaja
bermandi cahaya…
biarkan mereka
bermain dengan angan
dan kenangan-kenangan
barangkali itu menyenangkan
meski juga menyengsarakan
sebab apatah nikmatnya
bercumbu bayang-bayang?
(sedang kota kita ini sudah tak memberi tanda lagi,
tiada yang mampu kaukenali, telah penuh
oleh warna-warna—sebagai
terus berbenah menjadi ribuan jalan,
ratusan hotel, relestat, mal, ruko, dan
taman-taman serta kolam renangnya…
lalu di mana akan kau letakkan masalalu
sebagai kenangan bahwa kau pernah
dilahirkan di sini dengan tumpahan
ketuban dan darah dan ariari
kemudian setiap malam
sepekan lamanya
dihidupi lampu sentir di tepi rumah?)
meninggalkan dan melupakan
masalalunya, kenangan-kenangan
menyenangkan: mainan
kanak-kanak, gobaksodor, engrang,
ataupun petak umpet
di bawah bulan bugil bulat
atau menuju perkebunan karet
memunguti biji-bijinya
lalu atas-bawah
dan bagian samping
dilubangi untuk kitiran
Dan bila musim kawin-kawinan
kita punguti biji-biji salak
kemudian dibuat cincin
untuk persembahan
pada mempelai perempuan
ah, biarlah mereka mengenang
ketika mencari pasangan
di saat menjaga damar
malam-malam perhelatan
sambil menulis dan
berkirim
di bawah remang api damar
yang bertahan hingga fajar
(tapi
hutan damar, perkebunan sawit,
dan kenangan-kenangan percintaan.
…
hotel-hotel adalah hutan damar
yang menyediakan gemerlap
perkebunan sawit telah jadi
yang membuatmu bisa bertemu
pacar tiga kali lebih sehari….)
karena itu, biarkan orang-orang
itu mengenang masasilamnya
/wayheni 2003,2005--bandarlampung 2005-2006
Pagi ini Jadi Lain
pagi ini jadi lain
pohon di halaman rumah
telah berubah warna
seperti rambutku,
tak kudapati uban
yang dulu meranggas
dan gegas mencapai
awan. daun dan bunga
tumbuh jadi coklat
seperti rambut boneka
di tangan anak-anak
menari-nari setiap kali
tiba angin sambil
mengelus lembut
pagi ini jadi lain
di kepalaku seperti
tumbuh ladang cokelat
hingga pohon di halaman
semakin terpikat
pada warna
Pada warna?
/April 2006
Kembali Sunyi
bangunlah sebelum
malam muncul
di ambang wajahmu
bersama pekatnya
yang luruh
kau tahu
itulah waktu
bagi kita bersua
--tak lupa bersapa—
sambil mengurai
peluh karena
sepanjang siang
hanyalah melanglang
bahkan sebagaimana
ahasveros yang cuma
terlunta tanpa
mengenal pintu rumah
kau tahu?
saatnya kita kembali
berpisah. menyusuri
kisah adam dan hawa
pertama kali
diturunkan di bumi
lalu keduanya
melata di padang-padang
terbentang dan menganga
: asingmu,
sunyiku
bangunlah sebelum
kelam benar-benar
luruh di sudut wajahmu
dan aku akan meraba
untuk memelukmu
: kau jadi asing,
aku kembali sunyi…
/April 2006
Jangan Cari Namaku
jangan cari namaku
di semak atau belantara
tak akan kautemukan
selain bekas langkah
namaku selalu
bertunas di keningmu
sebagai kenangan
lalu kaulupakan
biarlah bekas langkahku
mengeras sepanjang jalan
setiap kaulintasi
akan mencapai senyumku
bahkan di halaman
koran hari ini pun
tiada kausebut namaku
selain bekas ciumanku
yang dulu kaurindu
serupa buah dadu
berputar dan memancar
: kemenangan
ataukah kehancuran
di semak
atau belantara
tiada lagi halaman
memberi tempat
namaku….
jangan cari namaku
karena tak akan kautemukan
selain bekas langkahku
serta sisa ciumanmu
mengekal ketika
mencapai malamku
/Maret-April 2006
Menuju Sungai
Lelaki menuju sungai
dia hanyutkan impian
kemudian naiki bukit
dan rebahan di tepi
Tatapnya menyapu
seluas jurang
semampu pandang
menanti bayangmu
(entah bila kembali,
sampai senja ganti kelam
hanya terlihat sosok
seperti sebatang lidi)
melayang,
mengalir
Di sebatang malam
sungai menjelma jadi naga
hendak menerkam
sangat lapar
Dan, lelaki itu tertidur
menunggu sungai berair
untuk ia hanyutkan impian
ke lepas semesta
Di tepi jurang
Di bukit paling tinggi
lelaki itu hanya menanti
kabar lain
dari benua lain
Maret 2006
Peristiwa di Kali
hanya perempuan
duduk di sebatang kali
setiap pagi hingga jelang senja
menjaga awan tidak hanyut
terbawa lumpur
dan kembali berubah hujan
basuh tubuh setiap pagi
keramas jelang sore
di
matahari tak selalu datang
bahkan lebih kerap pergi
sehingga kamar selalu gelap
di sebatang kali
perempuan mandi
memamerkan tubuhhalusnya
ke wajah matahari
: tertawa…
hilang airmata
2006
Dan Kita Mengeja Jejak
luruh senja
bersama gerimis
dalam debur batu
anakanak menari
sungai menyanyi
melepas baju
terjun ke air
“hari ini aku tak
menangis, mama,”
katanya riang
anakanak ingin
sekali berumah
di air. bangun
bangga di sungai
lalu terjun
ke dalam debur
seperti ikanikan
menyelam-berenang
mencari rumah baru
di luar cuaca
di sini anakanak
jadi ikan
berenang-menyelam
: riang
dan kita
mengeja jejak
mengarifi anakanak
liwat suaranya
barangkali, harapmu,
esok ada yang lelap
di sisi saat tidur
dan terbangun
Tersasar ke Dalam Senyummu
SENJA.
kita besijingkat
susuri jalan
di bawah guguran
slayer melingkar
di lehermu jenjang
berkibar pada cuaca
senja tak berwarna
lalu sebutir tahilalat
di pipi kirimu
ingin biarkan aku
masuk jelajahi
rahasia senja
aroma kembang
tapi selalu saja
aku mau tersasar
ke dalam senyummu
dan warna senja
yang rahasia….
jelajahi
senja ini
serasa kudapati
warna matahari
luruh di ufuk
dan
aku memetiknya
dari wajahmu
kukecup
bersama guguran
sebelum pamitan
GGM
Kolam Segala Muara
di matamu tumbuh
kolam, dan aku
jadi angsa di
merenangi hingga
tepian…
dan kuingin
kau tetap kolam
muara segala hujan,
ibu semua ciuman
daun-daun bagai
rambutmu melambai
bagi petualang
yang pergi, yang datang
“tapi, biarkan aku
jadi lautan
menyimpan kesepian.”
Lautan? Ia telah
menenggelamkan
dan kekasih lama
di matamu
selalu kutemukan
pepohon yang
membuatku lelap
di
terima segala sayapku
yang kini sudah melipat
ingin mendekap
kau kolam
segala muara
bandung-lampung, Mei 2006
Laut Akhir
sebagaimana laut punya akhir: pantai atau muara
dan pada selangkangan bakau,
segala pusat risau
resah dan gelisah di sematkan
tapi bulan ini, yang katamu,
lebih mulia dari seribu purnama
akankah memiliki akhir
mengalahkan umur?
sudah 48 kali purnama!
getar doa
malam-malam ganjil
iktikaf yang gigil
halaman lambung
yang selalu kosong
(ada juga dahaga
yang selalu dijaga)
sepanjang siang
akankah punya akhir?
tapi orang-orang dari jauh
mengenakan pakaian lusuh
membikin
berdatangan dengan
kedua tangan selalu menadah
seperti ia faham
di bulan, yang katamu,
lebih mulia dari seribu purnama
banyak orang murah tangan
melemparkan sedekah
dari setiap tubuhnya
mengalirkan laut
langit merestui
penghuni langit turun
bersama sayap-sayap berkilau
hendak meminangmu
dan getar doa
juga tangan yang menadah
akan pula dibawa terbang
kau tahu ke mana akhir
segala pengembaraan
kalau tak ke taman-taman
yang dulu sekali ditinggalkan?
beri salam pada malaikat
sebelum laut sampai ke tepian
akhir segala perjalanan:
pantai atau muara,
juga pada selangkangan bakau:
segala pusat risau
untuk dilelapkan….
lalu pantai atau muara
akan membuka halaman
bagi sujudmu selepas subuh
sebelum matahari di kepalamu
benar-benar meluruhkan ubanmu
demikian laut punya akhir
bulan yang memancarkan
kemuliaan seribu purnama
tak henti pada pantai atau muara,
bahkan di selangkangan bakau
kau akan mekar
cahayamu menguar
melebihi tahun-tahun usia
getar doa
selalu memanggil-manggil
septmeber-oktober 2006
Ia Akan Mengecupmu
jika malam tak sampai ke peraduanmu
ia akan datang memelukmu
dan sebagai malam,
ia labuhkan waktu
di dinding dadamu
menghitung butiran matahari
di keningmu. Melebar halaman
dipenuhi tulisan tentang senja
atau magrib yang raib
ia akan mengecupmu
jika malam tak datang ke tidurmu
adakah senja akan ingkar
burung-burung tak ke sangkar
dan mambang tak pulang?
ia akan menciummu
seperti malam
yang mendekapmu
untuk melelapkan
entah pagi kau terbangun
atau cuma ngungun
memandangi peraduanmu
berlayar…
september 2006
Rumah Ikan
demikian kau jadi lelampu
di sepanjang tepi pantai
sebagai aroma lain
sengat laut yang asin
“mari singgah
sejenak istirah
segala rasa sedap
yang datang dari laut
tersaji dan boleh dipilih,” hasutnya
lalu ia jadi lelampu pula
sebagai penerang
dalam temaram
lesap di gumulan desah
“lupakan penat
mari berkhianat,” ajaknya
tapi ia sekejap menjenguk
lalu pergi bersama kantuk
tak ada apa-apa di sini
selain elusan lembut
angin laut
yang katamu rasanya
lebih sedap dari coto
atau sop konro
demikian, ajaknya
setiap kau lalang di tepian
sekadar ingin mampir di rumah ikan
hingga menguyup malam
menggusur cintamu, kekasih
makasar, 7 september 2006
Cincin di Ruangan
jangan tinggalkan cincinmu di ruang ini
karena aku tak mau diusik oleh tanda
yang membuat kenangan selama ini
terbelah
cincinmu hanyalah tanda. gairah
saat kini yang bukan kenangan
ataupun harapan. sedang aku
selalu mengharap, sementara
kau melepas;
burung-burung akan singgah
jika senja memburam. mendiami
sarangnya untuk sesaat istirah
lalu esok pagi akan kembali
menembus angkasa,
menemui birahinya
karena itu baiknya kenakan cincinmu
sebelum kau lupa, dan kenangan itu
akan tertinggal di ruangan ini
sebagaimana sisa percakapan
dan sedikit pertikaian soal
cinta dan dusta
di plafon labirin
yang mengering
terekam tubuh kita
dan kau tahu
itu bukan percintaan
tapi sebuah tikam
2006
Selepas Malam-Malam Girang
sebab cincinmu tertinggal
aku pun memburumu lagi
walau harus membarakan
birahiku, mengacengkan belatiku:
“akan kubunuh kau bila temu
meski di
baik sebagai kijang maupun singa.
Tak peduli setelah dendamku,
seusai birahiku, aku harus mati
lalu namaku tak terpatri. Tapi
aku telah menabung janin
yang esok pagi menjelma
sebuah lukisan: lelaki tampan
serupa yusuf yang membuat
jemari julekha hampir putus,”
desahku menyamai kesumat
ternyata aku mesti mencarimu,
memburumu, walau ke
atau rimba. ingin mengembalikan
cincinmu yang tertinggal di kasurku,
selepas malam-malam girang
waktu yang terang
dan aku-kau dalam telanjang
di maha-lebar kanvas lukisan
sebagai kijang atau singa
sebab cincinmu tertinggal
aku harus memburumu kembali
mengingatkan pengalaman
yang telah jadi kenangan
lalu kuajak kau mengulang
tapi malam tak lagi terang
tak lagi hatiku girang
laut telah menghapus
gelombang menggulung
benci tumbuh
jadi suluh
entah sebagai kijang atau singa
kita pun melata
di keluasan rimba
serupa manusia
kehilangan surga
di kanvas maha-lebar
hatiku berdebar
tersebab kehilanganmu
karena cincinmu tertinggal
ruangan jadi hitam padam
dan aku menjelma jadi singa
yang melumatmu sebagai kijang
ngaceng gigiku
tak bisa lari ke luar….
2005-2006
Kenangan pada Juni
sebuah hari pertengahan tahun
pada kalender merekah
kulingkarkan satu angka
yang mengingatkan
darah tumpah jadi sungai usia
lalu berpangkal di laut
mengayuhkan setiap kapal
melukis beribu peta
di mana aku pernah bersuara
hanya sesaat sebab hujan
kemudian menghapusnya
melenyapkan setiap peta
dan melempar kapal-kapal
ke batas kanal
di laut tiada yang abadi
betapapun aku bersikukuh
hendak mengekalkannya,
bisik setiap kapal
yang kini terdampar
tapi dulu aku selalu
membenci maut
menepis segala gaib
menghamba akal
dan kekal
dan setelah Juni berkabut
oleh hujan yang mengabut
hingga melepas
dalam kalender buram
tak lagi kudapati peta
yang dulu kaucipta untukku
selain setiap kapal
harus terdampar di kanal
jadi karat
dan sekarat
bahkan pantai suatu-waktu bisa surut
menggelaparkan lokan dan cumicumi
sehabis gelombang membuncah
ke dalam diri: mengelamkan usiaku
mengenang Juni
dan hujan menghapus
jejaknya di kalender
aku makin terbata
membaca peta sendiri
5 Juni 2006
Setiap Mengingat Laut
ia selalu berdiri di tepi jendela;
pagi berlumur emas
angin amat malas
dan ia tetap ceria
matanya menyapu halaman
seperti mencari silsilah
di setiap pohon
yang enggan melambai
“di
segala ingatan sudah lama terkubur
seperti tak ingin membangun cerita
bahkan pohon-pohon tiada warna
dulu ia sembunyikan harapan
“aku pernah menulis di batangnya
setiap kudapati keriangan
atau kisah yang kudulang
dari lekuk hari-hariku,” bisiknya
ia selalu berdiri di tepi jendela;
memandang gumpalan ombak
yang suatu hari pernah mengental
di dalam benaknya: ombak yang
pernah berlari ke
menelan seluruh riang
dan sejak itu, seluruh cerita
miliknya lenyap. tenggelam?
sejak itu ia tak lagi punya ingatan
ia jadi piatu dan gelandangan
: tak punya catatan
cuma matanya tak pernah lelap
ia selalu berdiri di tepi jendela
--entah pagi entah pula senja—
memandang ke luar menunggu
ada kisah baru
di setiap lembaran daun
tapi tak pernah kisah
datang dari percikan ombak
karena setiap mengingat ombak
(bahkan laut)
hatinya berdetak
seperti hendak merutuk:
“segala yang kupunya
telah kau bawa pergi jauh?”
ia tak lagi punya apa-apa
dan sesiapa. ia piatu dan membatu
sebagai gambar di bingkai jendela
hingga rambutnya sewarna perak
akhir Agustus 2006
Impian Siang
akan ke mana siang ini
selagi matahari menyelinap
dan jalan terlihat berair,
keringat cair?
ke tempat itu lagikah
sepasang burung bersarang
atau mengitari luas
memilih tempat naung
melepas sayap murung
tak lagi punya waktu
membangun sarang
atau sekadar canda
(apalagi mendaratkan
ciuman. Sayap-sayap luluh
udara
di seluas igau)
burung tak selamanya mengepak
udara sesekali meremang
jalan akan pula membentang
seperti waktu menyediakan jarak
: apakah diam di sini
mengeram masa datang?
09 Agustus 2005
Setiap Kau Datang
“setiap kau datang,
hatiku kian lengang.”
Ia ucapkan itu
sesore kemarin
sambil menoleh kiri
pada iringan semut
yang menandu
sepotong makanan
ia lalu melempar daun
ke arus sungai
seperti menurunkan perahu
ke tepi laut
“setiap kau pergi,
sukmaku terasa mati.”
kau ucapkan itu
dengan perasaan rindu
di hadapannya
cuma ia tak menoleh
-apatah tersenyum-
iringan semut berbeban
lebih menarik sebagai mainan
juni-akhir agustus 2006
Melepas Jalan-Jalan
melepas kembali
jalan-jalan silam
yang berwarna
di lipatan saku celana
aku pun mengenang
aroma kamar
penuh memar
dan pulau hitam
terus tumbuh
di benakku...
hanya angan
--juga impian—
kian menumbuh
sebagai silam
yang telah malam
mataharimu jugakah
yang terbit esok pagi
di ambang jendela
seperti hari-hari lalu?
4 agustu 2005
Seperti Malam
maka seperti malam
engkau benderang
menanti seseorang
berlari ke rimbunan
: kemudian senyap
karena sasap
7 agustus 2005
Di Ranjangmu
alir kata
berhulu di
ranjangmu
sprei membentuk perahu
mengayuhkan kasur
ke laut laut
tanpa desis
yang meracau
sepi di mejamu
dan laci terbuka
yang kehilangan kertas
jadi tisu setiap
kau keluar masuk
toilet
akan kau tabur di mana
setelah kata terbuang
seperti sehelai tisu
dimasukkan ke toilet?
2005
Terkurung dalam Ruang
aku makin sakit
di hadapanmu
terkurung dalam ruang
amat asing
hanya berdua
menafsir perih
sepasang kekasih
yang diusir dari sini
lalu melunta
lupakan segala cinta,
dan bangun rumah
di ranah lain
"di sini kami tanam pohon
yang dulu lagi. pohon yang
telah menelantarkan, karena
kami tersasar di rimbanya,"
katamu sebelum kita
jauh masuki rimba
denganmu di sini
aku makin sakit
apalagi mengenang
kecupan pertamamu
yang membuatku
terusir jauh
22.7.2005
Beri Aku Cinta
beri aku cinta
akan kujadikan pedang
untuk mengasihimu
walau di ruang ini
kau ganas sekali
mencabik tubuhku
dengan sayapsayapmu
habis gairahku
hilang cintaku
: kukutuk diri
yang tak bisa balas
segala ganasmu
maka kuminta cinta
akan kujadikan pedang
untuk mengelus dirimu
sampai lenyap bayang
di benakku dari mana
para kasih tiba
2003-2005
Pesan Panjang
jangan sisakan ludahmu
di baris bibirku, jika ingin pergi
atau lampu menyala
pintu terbuka
aku selalu lupa menghapusnya
pesan lengang
sisa liurmu menggenang
membiarkan kapal berlayar
menuju persinggahan lain
sisa liurmu menyisakan pesan panjang
melampaui batas waktu
seperti mau melipat jalan
ke dalam ingatan
yang kubawa pulang
sebagai hadiah
bagi pacar di rumah
yang menanti gerah
sehari-semalam
mengigau kesunyian
aku terdampar di tepi ruang
2006
Belum Malam
belum malam
lampu masih benderang
tapi kau tergesa
mengajakku pulang
“aku harus mengemasi
pembaringan yang kusut,
kamar semrawut
sebelum ia menjemput,”
katamu terdengar gelisah
ingin menarikku paksa
tinggalkan tempat itu
di bawah langit kelam
sehabis hujan
dan musik yang gaduh
sedang aku masih
ingin di tempat ini
kumpulkan sisa malam
dan menyimpannya
ke dalam impian
tapi kau menarikku
meski kini dengan santun
lalu menuntunku
ke dalam degup
penuh gugup!
2 Agustus 2005
Maut pun Menjemputku
aku sapa tanganmu
bibirmu mengecup
aku panggil namamu
cintamu merapat
aku sebut bibirmu
matamu mendekat
kau raba kelaminku
aku tunjukkan rambut senjaku
aku katupkan matamu
maut pun menjemputku
2004/2005
Dalam Rumah
apakah kau tetap pergi
selagi pagi masih jauh
dari pukul sembilan
membiarkan rumah
belum dibersihkan:
piring, sendok, gelas
berserak di tempat pencucian
sejak subuh tadi kau berbaring
lalu bangun dan ke kamar mandi
berhias dan mengenakan baju
terbaik yang kaugantung di lemari
mungkin petang nanti
kau akan pulang
seperti tahu setiap kepergian
akan kembali ke dalam rumah
hanya untuk melepas lelah
apakah kau tetap akan pergi
membiarkan anak-anak tak mandi
dan meja makan yang sepi?
sewarna bajumu yang cerah
langit tiba-tiba rebah
menangkup gelisah!
2004-2006
Rumahku
(ingatan pada Rawasubur)
rumah yang kubangun hampir
setengah abad lalu
mulai berlumut kini:
dinding sewarna hijau
lantai membayang peta
(tapi alangkah tak terbaca)
aku susuri liku air
tenggelam dalam kubangan api
mendedah payau
mendapati pukau
di bawah atap bercahaya matahari
aku semadi untuk kelahiran ini,
melarungi luka, menulis sisa usia
: melepas ribuan merpati
ke langit paling sepi
menebarkan kain ke muara-Mu
tengadah aku kini
dengan kedua telapak tanganku
yang semakin patah;
berdarah,
menabur tulah!
rumah yang kubangun
hampir setengah abad silam
kini tinggal kenangan,
dinding dipenuhi uban
lantai tiada ubin
membentang peta
(alangkah sulit terbaca)
melepas kembali merpati
ke langit paling sepi
tapi, aku tak mau juga pergi
sebab malam dan siang
membuatku selalu rindu
pada rumah
setiap kali membuka
dan menutup pintu
aku terkenang wajahmu
juga senyummu menanti
atau ketika jendela
terbuka dan mengatup
seperti kurasakan
hati yang bergetar
ingin mengajakku
lama berdekap
lalu bagaimana bisa
kulupakan rumah
yang telah kubangun
hampir setengah abad ini
sedang langkah
tak pernah merantau?
(rumahku dulu
makamku nanti)
2005-2006
Malam dan Bagai Kunangkunang
: bersama acep zamzam noer
bagai kunangkunang
ini malam
aku tak memiliki sarang
terbang ke mana
aku mau: -tapi aku
tak punya tempat
sekadar hinggap
kayu-kayu penyangga
terkelupas oleh rayap
tapi, aku kunangkunang
akan selalu terbang
meski tiada sarang
segala pucuk harapan
ah lupakan alam
yang tak beri salam
juga hormat
agar terbang jadi riang
dan pasrah…
alam dan malam
hidupku mambang
kepakkan sayapku
lampu-lampu sebagai penanda
menujumu
aku pun lupakan
segala ceracau
dan kilau
bikinku selalu risau
pada tubuhku ini
yang tak mau kembar
hingga nanar
21 agustus 2006
Mengikuti Angin
ada yang meninggalkan kita, desisku
sewaktu melihat segerombolan orang
pulang dari pemakaman
berjalan tertunduk
atau bercakap-cakap
mencium aroma sedap
ada yang datang setelah
meninggalkan kita, desismu kemudian
hanya aku masih menerka
berapa waktu mesti ia gadai
untuk perjalanan mencapai
perbatasan:
pemakaman masih saja hening
selalu diam-diam menyimpan
rahasia yang tak patut kau urai
jika hanya berdiri di pintu
- masuklah, masuk…
kalau engkau masuk
yang di luar akan kaulupa
dan jalan yang terbentang
serupa impian,
yang selalu jadi harapan -
pergilah, kau sudah milik sesiapa
orangorang datang dan mengantar
lalu beriringan pulang setelah engkau
istirah. seperti getar yang merantau
tanpa harap kembali
dan rumah yang dulu hanya dirindu
maka sekarang makin ungu
tersimpan dalam rabu
ada yang meninggalkan kita, desisku
saat serombongan orang
melangkah di bawah sengat matahari
dan cakap pun bagai desau angin
- ke mana pergi,
aku akan ikut –
27-08-06
Hujan Pertama
hujan yang pertama luruh
setelah berbulan-bulan kemarau - panjang –
tak juga membuat
seperti bibirmu berwarna gincu
merayu ia untuk berenang - sejenak –
melupakan letih, menarikan musafir
perahu-perahu sandar
di mana pula bandar?
rumah-rumah malam terang
namun sepanjang trotoar tetap remang
dan kau turun sebagai hujan
dari rambutmu memancur air
dari bibirmu tercipta anaksungai
agar ia berteduh
melepas lenguh
- di sini tak perlu keluh -
hanya dengan 200 ribu
kau dapat berlabuh
sekadar menyegarkan pembuluh
di dalam
laut, - layar kapal mengembang –
jika takut masuk angin
merapatlah semakin ingin
hanya dengan 200 ribu,
katamu, ia akan berlayar
menembus laut hitam
kota-kota legam
dalam waktu yang diam
meninggalkan riuh
melambai pada sepi!
(
padanya ingatan
tentang persahabatan
dan perpisahan
tahun-tahun silam)
dan kini ia susuri
setiap nama jalan, gang,
ataupun lorong: mengingat
nomor-nomor rumah
yang kiranya sudah banyak berubah
dan lenyap oleh cuaca
kemarau tahun ini lebih lama
hujan yang pertama luruh
tak membuat
terdengar desah
ia makin gelisah!
makasar 9/2006
Ingin yang Berembun
sampai juga ia
di
dalam peta, lembaran
gambar perempuan belia
dilapisi bodo
dalam ingatan
berdiri anggun
dalam belaian angin
pakaian berkibar
bangkitkan ingin
di hati, aduhai, berdebar
apa gerangan
membuat kenangan
sudah amat silam
kini berlompatan?
di
ia susuri lagi jejak
tangis pertama
sebagai muasal
tawamu kemudian
tapi ia hanya dapati
bekas langkah
yang memecah
alamat telah berganti
nomor rumah mati
lalu kenangan jadi rabun
ingin yang berembun
2006
[1] Mengutip anekdot warga
[2] adin/kyaii/udo = kakak, atu = kakak perempuan, datuk = kakek, nyai = nenek (Lampung)
[3] rumah (Lampung)