14 November 2008

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS


Menetas puisi

tak ada puisi malam ini, ia membusuk oleh gelinjang dan tarian
liarmu. sebaiknya kutinggalkan kamar yang membuatku tak lagi
bisa bergetar saat menafsir setiap desah waktu dan dingin kota
ini. trotoar makin membeku. jalan-jalan membatu.
sudah kucoba buka jendela kamar. angin menelingsut masuk. ada
yang tiba-tiba hendak mengusik, tapi segera kutampik: “maaf aku
sedang mengeram kata-kata, kuingin secepatnya menetas sebagai
puisi
jadi anak-anak berlari menjauhi sarang,
masuk tanah lapang. buru bayang-bayang atau ikut kau menari
di ruang-ruang akuarium. melupakan kata yang tak pernah mau
menetas jadi puisi

kunikmati tubuhmu saja yang meliuk dan parasmu segigil kabut. tapi
usah ganggu. malam akan pulang seperti kemarin, ke tubuh waktu,
ke penabuh batu. “adakah kau dengar erang ketika aku menetas?”
- pulang lalu bakar sarang! –


bandung, juli 2008



Matahari tergelincir

sebentar kita tertawa dan sekejap yang lain bertikai. tiap kali kucing
dan anjing bertemu, cuma kuku-kukunya bicara. lalu kaukah yang
membiarkan waktu jauh pergi? di tikungan jalan ini kau berjanji,
tapi di sini pula kau ingkari: sebagai pejalan yang lupa
pada rambu ataupun marka, tiang
listrik, papan reklame, juga baliho
berapa wajah sudah kebelah? punggungtanganmu memar, tubuhku
lebam -- ah tidak, wajahku hilang?

Sebentar kita bertikai lalu kembali tertawa. kau menari
aku tergelincir: ilir ilir… selalu usia mengalir seperti ranting
yang tumbuh di bebukit, mati di lereng

“aku menunggumu di depan kuburku; saat matahari
tergelincir.”

2008



Lima puluh

perjalanan sudah amat jauh
dari akar pertama
hingga ke pucuk ranting
tubuh pohon tumbang
di leher sungai…

2008





Orang usiran

akankah kutinggalkan ini rumah dan tanah
ketika orang-orang datang menggebah?
lalu hujan pun tumbuh di sini, hidup dari petaka.
seperti ahasveros, aku pun tak lagi tahu di mana
rumahku. bahkan untuk mengenal warna jendela,
dan halaman bagi pohon sebagai penanda jika aku sasar

tak lagi ada alamat ibu. atau lenguh anak-anak saat
bermain petak umpet maupun gundu. mereka sudah tahu
mana jalan menuju rumah dan mana tanah terbuka. langit
akan setia menjaga, kecuali hujan dan terik: “jangan tampik
hidupku,” kataku agar ditiru anak-anak

cukuplah sebagai urban. dari rumah yang dibangun
dengan peluh dan dijaga sepenuh darah. meski akhirnya
kau gebah, tak menjadi orang usiran

di kota ini, aku pernah dilahirkan…


2008




Gambar di tubuhku

demikian, kau tahukah, gambar di tubuhku sekarang telah jadi tumpukan
warna-warni. jika suka boleh pilih satu warna dari sejumput itu, dan yang
lain beri pendatang baru
tumpukan gambar warna-warni di tubuhku, dulu
kulukis karena ingin mengingat tiap kulakukan alpa. tapi sering melukaimu, tumpukan gambar itu menjelma pohon. akarnya yang penuh
warna melahirkan kembang baru

kau bisa apa dengan tumpukan gambar warna-warni di tubuhku, sebelum masuki tubuhku sebagai gambar pula? Dan gambarku
yang masuk ke tubuhmu lalu pesiar

“tunggu aku di padang lain?” harap sepetak gambar setelah bertubuh
dengan tubuhmu,
berbisik pada tubuhku

2008




Hanya senyummu

hanya senyummu setelah itu benar-benar sepi ketika kutanya
apa arti sajak bagi hidupmu. dan gunung-gunung memuntahkan isinya
serupa lempengan emas, cambuk api membakar tiap pijakan:
inikah sajak, tanyaku lagi, tiap baris-baris kalimat panjang kau pajang
figura berlapis kaca dan terbayang hambur di sana

aku mengalir ke dalam baris-baris kalimat yang panjang itu seperti
memasuki tiap senyummu dan sedebar sepimu: di mana sajak?
inilah sajak, katamu berani, sambil menunjukkan kalimat-kalimat panjang
nama-nama tempat dan alamat-alamat tak jelas; kota yang dihilangkan,
ibar yang dihanyutkan ke dalam kota: kau yang tak lagi bertahana


2007-2008



Tersesat dalam jejakmu

jalan menuju rumahmu hanya ditandai sungai dan kandang ayam
orang-orang akan tahu ke sunyi mana kau pergi tiap hari
: kacar sukukata, merambat dalam celana,
pesiar dari kenangan demi keriangan
ingatan masa kanak tapi kini kau bangunkan lagi
nyanyian yang buatku tersesat di dalam jejakmu!


2007-2008




Di lapis matamu, rembulan turun

(1)

film-film yang kau saksikan telah mengental jadi
ingatan hingga aku terus memburumu
tapi, adakah lebih indah dari kisah-kisah kita?
rasanya tak pernah bisa aku melupakanmu
ikal rambutmu, hitam alis matamu menggodaku


(2)

aku ingin menemuimu seperti laut yang datang pada pantai
nelayan mengayuh jungnya ke laut lepas dan pulang ke dermaga
gemuruhnya tiba juga ke hati: cinta pun terdampar
rembulan turun di lapis matamu, cahayanya sampai ke parasku
aku datang sebab akulah laut dan kau pantai
ingin bercumbu di pasir-pasir, hidup bersama lokan
nama-nama pun berlahiran dari sepi payau
: ingatan tak pernah hilang?


2008



Laguna helau *)

selalu debar ombakmu memecah kesunyian pantai yang ditinggal pendatang. matahari
petang luruh, cahayanya juga pecah dan tak lagi kembali ke dalam riuh. aku tak
berteman, mengurai kenangan: kau tahu aku tak pernah datang ke sini sebelumnya
jika tidak ia membawaku. ia kisahkan keindahan dan pasir yang penuh jejak kaki,
tapi tak ada yang datang selain aku dan ia si pendusta itu

seseorang pernah bercerita sambil membawaku ke sini, kata dia, orang itu lalu
menjelma jadi bidadari. hanya ia lupa di mana ia taruh selendang dan bajunya,
hingga ia pulang ke langit tanpa sehelai kain menutup tubuhnya. di swarga setiap
bidadari tak lagi perlu pakaian, jelas mayangsari seperti dikatakannya padaku

dan kini aku mengulang, menunggu bidadari datang ke pantai ini: mandi. aku pun
mengintip dari sela-sela jendela cottage dengan perasaan gemetar. sebab aku tak
pernah bisa berkawan dengan gelombang yang telah menyeret ibuku…


/kalianda 27.10.08

*) Laguna Helau berarti Laguna Bagus/Indah (bahasa Lampung pesisir), salah satu objek wisata pantai di Kalianda, Lampung Selatan.




Menghadap pantai

menghadap pantai. ombak tak henti melambai. kuingin celupkan telapakku, mengekal
jejakku bagi pendatang. ingin menulis silsilah cintaku padamu yang hidup di pantai-pantai. tiap siap menuju petang kita hampiri pantai. pada pantai yang mengering
kuukir namamu. kubangun rumahan berdinding lokan. tapi ombak mengembalikan
jadi hamparan pasir

tak jemu kubikin lagi rumah dari pasir untukmu habiskan petang. menunggu
matahari terpuruk di ufuk. “tangkaplah cahayanya, lalu simpan di figura rumahmu.”
lalu setiapkali aku tak datang, kau bisa menikmati indahnya matahari senja itu. ingatlah
bahwa di bias matahari itu, aku menyaksikanmu tersenyum

laguna sepi, di riuh gelombang aku makin lengang!


/laguna, 27.10.2008



Pantai ketang

sepi. batu-batu hitam gigil dan diam. berulang ombak menampar tetap tak memar. ia
menunggu pelancong, namun tak juga ada yang datang. seseorang melambai lalu
jalan. susuri jalan di tepi pantai. riuh dari tambak-tambak udang. kincir menyulang air
laut

“berapa lama lagi aku akan sampai di perkampungan? orang-orang pantai turun sebab dari laut ia hidup,” kata seseorang sambil merapikan temali.

dengan apa kunikmati debur ombak selain menerima debar? tapi jika sepi menangkup
lalu bersama siapa kubisa rasakan riuh?
sepanjang jalan pulang cuma wajahmu membayang: ah, segera
aku menemuimu saja untuk lelap di pangkuan pantaimu



/kalianda 27/10/2008-bandar lampung 28/10/2008




Audiensi
: wm

kantuk merajamku. sudah empat jam lebih aku menunggu. “sory, bapak bupati sedang
sibuk, sebentar lagi wawancara dengan wartawan teve swasta lokal selama 1 jam. lalu
menerima tamu—sekitar 12 orang—satu persatu. jika seorang bertamu setengah jam
saja, ia melayani 6 jam di ruangnya!” kata ajudan. mata ajudan itu tampak layu.

sekarang sudah pukul empat sore, aku belum ashar, lalu giliranku pukul 10 malam?
aku mulai menimbang: “sebaiknya menemui bapak selepas magrib di rumah dinas, malam
ini ia menginap di sini,” saran seseorang lagi. Cuma aku janji pulang, berarti aku tak
bawa tangan

sudahlah di sini saja, di ruang ini. “Saya banyak tamu yang masih menunggu. Di sini saja,
apa yang bisa saya bantu?” tanya bapak bupati, tampak sangat lelah. kuberikan map
berisi proposal bertuliskan: “aku sudah belajar banyak dari bupati, jam di tangan seperti
mati.”

sejak di sini aku memang tak lagi mengenal detak jam, keluh bupati.


/kalianda, 2008



Susu Ibu

hari petang dan matahari sebentar lagi melenggang. aku masih berdepan-depan
dengan cahaya. kulitku berpeluh. sudah berapa waktu aku duduk di sini menunggu
yang datang dan berlalu, tapi kau tak juga tiba membawakan berita. masih
seperti tadi pagi aku menatah setiap yang tiba, dan memilah yang pergi. "jangan
dusta, karena aku tahu kau tak beramai-ramai di tempat itu. kau selu beharap
orang-orang pergi hingga yang tinggal berdua. sepasang kelinci lalu mencari
sarang kawin," kataku.

kau terdiam. akhirnya kau kirim berita: mereka sudah pulang beberapa menit
lalu, kini tinggal aku dan ia. kami memasak untuk makan siang. anak-anak
sejenak lagi datang dengan perut lapar. "kau suka cumicumi, sudah kusiapkan
sepiring. juga sambal terasi. makanlah dengan lahap supaya kau sehat."

kau yang dimanja meminta pula dibelikan susu. sejak kecil kau biasa minum
segelas susu—pagi atau malam kalau lupa boleh juga siang maupun petang—sebab
kata paramedis, susu dapat menjaga kesehatan atau memperkuat badan. apalagi
air susu ibu, katamu, itu sebabnya kau selalu menyusu di puting-puting yang
belum punya air.

habis sudah susu ibu, kau pun berkelana memburu puting dalam suasana
genting. di temaram atau remang ruang, di selokan maupun tepi trotoar. aduhai, saat aku mati kenapa lebih berat tubuhku daripada katil?

: habis sudah susu ibu. aku haus


Maret-April 2008



Penyu di kota banal

aku benarbenar jadi penyu. hanya sebab sebagai tamu yang tak paham
bahasa ibu, aku tertipu. leherku terluka. bibirku bergetar kelu. aku hanya
bisa mencaciserapah. sebagai penyu di jalan asing tanpa pernah tahu
bahasa ibu, getar tanganku tak kuat melambai. langkahku berbatu:
apa kiranya Kota ini telah membuatku malu? melambai dan capai;
menjilati setiap debu. ah, sesungguhnya aku baru saja merutuk. leherku
luka, lidahku beku. setelah dibohongimu. sebab aku tak pernah belajar
bahasa ibu, yang selalu mengantarku kembali pahami jalan pulang

“ini cuma salah menafsir bahasa ibu. kau menyebut bulan,
semetara ia mendengar kata siang,” kataku sambil mendedah setiap
sukukata dan menghimpun jumlah kamus. kalau tikus tak akan mungkin
akan jadi harimau belang. di jalan ini tak ada binatang lain kecuali penyu,
katamu, seperti pelancong yang bertandang ke suatu kota baru, tapi tak mampu pahami bahsa ibu maka ia tertipu; lesap ke kelimunan berwajah malu, hati merahlebam sebab menyimpan marah dan sesal

di kota banal…


*palembang, 6 juli 2008




Mencatat perjalanan
- RS -

tak ada lagi waktu bertutur. matamu jauh pergi ke palung malam, dan
sesunyi ini kali angin pun mati. tak lagi terdengar desau. hilang
sengau. gigigigimu beradu seperti mengunyah batu. sungai mengalir
hingga menghanyutkan tubuhmu. hanya mimpi yang tersangkut
di rumput erat kupegang. “malam ini, sepanjang jalan mimpi, hanya aku
menelan sisa langkah minum anggur sepi: kiranya kau urai
sunyi ini ke dalam dengkur setiap putaran
roda…”

perjalanan panjang, jalan mengelam. lengang berdebam. setiap menatap
depan hati pun berdebar. barangkali kita akan hilang arah, tak pernah
hapal tuju. di hutan malam yang rimbun kusasarkan dengkurmu, tapi
mimpimimpimu juga membayang; dengkurmu pula yang mengusikku.
“kita sudah jauh tinggalkan kampung, meski bayang rumah masih
mendengung. entah di mana peluh dibubuh,” aku mendesis. kau
mengiris selapis-selapis kenangan
ikhwal muli di rumah panggung, adin di kebun, dan atu
yang menguyup di sungai. kau tahu, aku belum juga fasih mengucap
bahasa ibu. terlalu jauh lidahku, bibirku kelu. aguy! apakah begitu
jarak lidah ibu dengan bibirku, untuk menafsir setiap tanda
tak mampu?

kini kau makin tenggelam ke dalam palung malam. udara sesunyi
angin pun mati. gigigigimu berpacu. menggergaji setiap kenangan
hendak membayang,
- ini lampung, rinduku membusung –

tapi kita sudah jauh berjalan. tak lupa kampung


*lampung-palembang, 5-6 juli 2008




Aku pergi saat api di matamu


1/ Aku pergi

Aku keluar rumah saat api di matamu semakin menyala. Tak ada waktu lagi
merapikan rambut dan memakai pegharum tubuh. Kecuali beberapa
pakaian yang bisa kuselematkan, sedangkan lainnya terbakar di dalam
matamu. Bola matamu adalah tungku, apinya membara: jilatan
panas membakar dadaku. Tubuh garing, waktu membara.

Kutinggalkan rumah ketika bara di matamu laksana tangan-tangan
menari—ah tidak, seperti lambaian agar aku pulang—tapi aku tak lagi ingat
bagaimana cara membuka pintu. Sudah kubuang kunci yang selama ini
kupakai untuk membuka dan mengunci. Menyangkarkan kau atau
melepasmu terbang. Kujadikan burung yang dimanja; setiap pagi kumandikan
sayapmu dan kubelai jelang tidur.

Kini hanya sisa kenangan. Api yang semakin membara di matamu, kobaran
amarah dari dadamu telah menghanguskan segala kasihsayangku. Aku
sekarang mau pergi jauh, setelah kulempar kunci yang dulu mengingatkanku
selalu akan pulang. Sudah kulupakan pula bagaimana berkencan secara
indah bersamamu. Mengulum setiap kalimatmu, lalu kurekam dalam lidahku
berapa kata yang melelapkanmu.

“Kau tak akan pernah pergi jauh, sayang. Seluruh liurku sudah tertanam
sebagai rumah. Jadi, ke mana pun arahmu melangkah di situlah wajahku
tersenyum. Seperti selalu ingin mengajakmu menumpaskan
hari-hari gerah. Kau tahu, sudah kulumuri tubuhmu dengan liurku, karena
itu kau tak akan sanggup jauh dariku,” katamu, tepatnya mengancam, penuh
kesombongan.

Dan, buktinya aku pergi juga. Kutinggalkan rumah setelah kulempar kunci
entah di mana agar aku tak lagi menemukannya yang membuatku rindu
pulang. Waktu kutinggalkan rumah, kau sedang menyalakan api
di kedua matamu. Sementara matahari yang menyala kau kobarkan terus
dalam dadamu. Sebilah besi kaupanggang di sana, seperti pandai besi,
kau sulap jadi parang. “Engkau bukan Empu Sendok! Hanyalah seorang
perajin dan penyulam.Tapi, tak pernah selesai,” teriakku. Setelah itu aku lari kencang. Tubuhku mengejang.

Tak ada artinya teriakanmu. Bertahun-tahun tubuhmu dalam genggamanku,
kau dalam pengaruhku. “Segala yang kaulakukan dari sihirku. Sekali kukatakan
‘jadi!’ kau akan jadi dalam kehendakku!” Sebab itu, urungkan niatmu tinggalkan
rumah kalau kau tak pernah jauh berjalan. Terlalu lebar halaman ini,
kembalinya ke taman juga. Padang-padang, lautan, dan bukit: lalu mau
ke mana setelah kau tutup pintu rumahmu?

“Yang penting aku pergi. Meski tak kutahu ke mana kulangkahkan kakiku, tak
tercatat nama-nama jalan dan persinggahan. Aku juga buta warna rambu,
namun sekali pergi tak hendak aku pulang. Sekali kukatakan
sudah kubuang kunci yang dulu mengingatkan pada rumah, kini setiap
hasrat membuka pintu telah kugagalkan dengan kuncimu,” jawabku
sambil menyeret sepatu satu-satunya milikku yang buruk, namun sudah
sepanjang usia menemaniku.

Sepatu itu—sepasang sepatu yang telah hilang warnanya—semacam
kekasihku sudah bertahun-tahun mencintaiku, dari pagi hingga tengah malam
baik dalam suka maupun duka. Ia telah berjanji di hadapanmu tak akan
menceraikan aku, tak berhasrat meninggalkan kedua telapak kakiku.
Ia berkata, aku yakin dari ketulusan hati, “Aku sangat mencintai kedua
telapak kakinya, sehingga biarpun tubuhku hancur atau subur tetap
setia aku melindunginya dari duri-kaca-kayu yang ingin melukainya. Aku
mencintainya, meski mata kakinya tak berfungsi.”

Sepatu itu kini turut kutinggalkan. Aku lupakan dia sejak kutitip dengan manis
di sebuah gudang. Walaupun sebagai penghormatan, ia kuletakkan di rak
paling atas dan amatlah rapi. Tetapi ia tetap tak berguna, tak lagi
kugunakan dalam kemarau ataupun hujan. Merasakan kebengisanku,
ia bertutur: “Jangan pernah percaya pada manusia bertutur manis
dan syahdu, sebab di balik itu tersimpan harimau yang sewaktu-waktu
menerkam dan mencacahmu!”

Sepatu-sepatu lainnya hanya memandangnya. Heran. Mungkin mereka
percaya, namun bisa jadi mencibirnya: “Kasihan kau, baru sekarang
kau ungkapkan keburukan-keburukan kekasihmu. Padahal dulu, saat
kau selalu bersamanya dan saling mengasihi, bunga paling beraroma
yang bertunas di bibirmu. Sekarang….”

Aku mesti pergi, meski dengan apa aku harus tinggalkan rumah. Melupakan
setiap kenangan dan masa silam yang pernah menyatukan kita di dalam
buku yang tertera namaku dan namamu. Entahlah, apa pula kusebut
buku itu. Mungkin tak bernama. Tetapi senantiasa ada di sakuku. Buku itu
akan kutunjukkan setiap orang yang bertanya maupun merazia. Meski kau
telah lama kutinggal, sejak kubuang kunci dan berjalan melupakan
pulang…


*


2/ Aku piatu

Setelah jauh dari rumah, dari kenangan tentang kunci, pintu yang terbuka lebar
dan kulihat kau tersedu saat kutinggalkan dengan mata penuh api. Aku pun
tersadar kini; aku piatu. Aku hanyalah sebatang kara. Orang yang keluar
dari kemaluan ibu tanpa kawan. Sejenak menangis, mungkin penanda
betapa aku sesali tercipta sebagai manusia. Toh, pada saatnya nasibku
lebih rendah marwahnya dari hewan. Aku tak akan pernah melebihi apa
yang sudah menjadi hakku atas ciptaanku. Seperti sepasang sepatu
yang kuumpakan kekasihku, aku akan dititipkan pula di kamar kosong
dan berdebu. Tak ada satu pun yang meletakkan kasihsayangnya
di tubuhku. Tak juga senyum atau bunga paling beraroma. Cuma selarik
kata: “Kau kini sudah piatu. Tak berharta dan bermarwah. Hanyalah duafa,
kau duda bagi diri dan cintamu.”

Kalimat itu kurangkai, lalu kukirim padamu sebagai surat. Bacalah! Dengan
menyebut namanya yang tercipta dari segumpal darah….

Kemudian kunikmati kepiatuanku. Merantau tak kenal pintu.

Aku piatu. Kakiku tak bersepatu. Telapak kaki luka karena duri-
kayu-kaca. Menganga. Darahnya tumpah ke laut merah. “Kembalikan
aku sebagai Musa yang terlindung dalam keranjang saat kau hanyutkan
ke sungai itu. Meski aku diasuh raja bengis yang murka, aku tetap terjaga
untuk setia kepadamu.”

Aku adalah piatu…


*

3/ Senja

Di hadapanku matahari kemerahan. Sebentar lagi aku akan ditinggalkan
sendiri duduk di batu hitam ini. Belum juga kudapati jawaban dari
pertanyaan-pertanyaanku sejak kanak-kanak. “Apakah semesta ini ada
karena ia berkeinginan ada? Adakah rupa warna tercipta sebab mata
membuatnya ada? Kalau semesta benar-benar ada, tak bolehkah
ia berpikir? Bukankah aku ada karena kau memberiku akal?”

Waktu berputar. Mempercepat bilangan tahun. Rambutku berubah warna. Kini
mencapai senja. Seperti warna matahari yang mulai lengser di barat,
aku melangkah berat. Tiada emas sekarat pun. Aku tak pernah berpikir,
meski aku diberi akal, menabung yang kupecahkan pada hari nanti.


Ketika matahari amatlah parak. Orang-orang terlalu panas oleh sengat
cahayanya. Tetapi, waktu itu, tak ada lagi perajin payung. Semua orang
jadi bodoh bagaimana menganyam kayu dan merekatkan kertas, lalu
kau jadikan pelindung saat hujan dan terik.

Di dalam benakku, berulang-ulang, bayangan sebuah jembatan. Amat
sangat kecil dan rentan patah. Tetapi banyak orang berani melintas
di atasnya, meniti tujuh helai rambut terbentang. Kusaksikan orang-orang
bagaikan sekelimunan kutu merayap di rambut anakku. Kutu-kutu itu
kutangkap dan kumatikan dengan kuku jempolku, setiap hari. Mungkin
sudah seribuan kutu, mungkin pula lebih, mati ditindas jempolku. Hanya
saja, yang meniti jembatan rentan dan di bawahnya kobaran api yang
memancar dari kedua matamu, dengan anggun dan melambai padaku.

“Terimalah apa yang telah kau perbuat. Berapa langkahmu menyimpang,
sekarang sama kau terima. Sedikit pun tak dikurangi atau ditambah.”

“Lalu, apa yang kau pernah perbuat sehingga dengan anggun kau meniti. Bahkan sesaat lagi kau akan sampai di seberang sana?” tanyaku. Aku
sangat cemas pada diriku. Api yang menyala itu mulai membelaiku,
panas. “Aku mau sepertimu.”

Kembalilah, ingat pada kunci yang kau buang itu. Sebab dengan kunci
Itu kau akan mengerti sesungguhnya pulang dan mengenal kembali
rumah, sangatlah menyenangkan.

Ia surgamu…


*


4/ Malam dan usia di depan pintu

Akhirnya, pulang adalah pilihan setelah kau pergi—betapa pun kepergianmu
jauh atau cuma sebatas tetangga—sebab setiap keinginan pulang
mestilah dimulai dengan pergi. Adakah orang pulang tanpa pernah ia pergi? Orang-orang mau merantau karena tahu nikmatnya mudik.

Aku pergi sebab kutahu indahnya pulang. Rasa nikmatnya saat jalan menuju rumah. Dalam kepergian Itu, kubawa kampung halaman; kukantongi
ingatan-ingatan tentang rumah. Halaman rumah yang dipenuhi rumput hijau, pohon-pohon rindang dengan buah lebat. Seperti ranum wajah kekasih.

Jadi, bagaimana mungkin kau akan lupakan rumah? Pergi untuk
tidak ingin pulang? Kau boleh tinggalkan rumah dan melupakan sepatu
yang teronggok di kamar kosong, serupa gudang itu, namun jangan
pernah melumat ingatan untuk pulang.

Dan, saat malam di usiaku yang keperakan ini, aku tiba di depan
pintu rumah. Menyerahkan semua peluh dan keluh. Membongkar
buah tangan yang hanya dipenuhi debu dan kecewa. “Pasar sudah
lama sepi. Pasar makin megah dan angkuh!” bisikku.

“Itu sebabnya, kenapa kau pulang? Karena kau tak lagi bisa berdagang?
Tawar-menawar nilai diri dan nasibmu?” tanyamu. Meski aku tak tahu
dengan kalimat apa menjawabmu, aku tak sanggup untuk tidak
mengangguk. “Bagus. Kejujuranmu, setidaknya, mengurangi besar
hukuman untukmu.”

Malam ini, usiaku berada di depan pintumu. Tak mampu lagi kuajak
berdusta. Ia enggan kubujuk merantau: memasuki kota-kota
asing, tempat-tempat tak bernama yang hitam, gedung-gedung yang
menyimpan kemalangan dan kecemasan. Ke tepi-tepi pantai yang
kerap membuat orang abai.

Ke tubuh-tubuh sintal dan ranum. Aroma badan yang dapat menyihirku
hingga menjelma peri, lalu melaknat orang-orang lain dengan racun
yang kuperas dari lidah ular. Ular yang dulu sekali telah menjebak
kedua orang tuaku: ayah dan ibuku.

Ular itu menyebarkan fitnah. Sampai keluargaku terbunuh
oleh adiknya sendiri. “Aku akan bunuh setiap akan lahir ular. Rumput liar
tempat paling aman sembunyi ular akan kupangkas hingga ke akar.
Beri aku kesempatan sekali saja sebagai pemangkas rumput, kalau
kau menghendaki tak lahir lagi ular. Kau tahu, racun ular lebih berbahaya
dari liurmu. Tetapi, bisa ular tak mampu mengalahkan lidahmu
tak bertulang. Kau sebarkan kata-kata dusta. Kau fitnahku!”

Sesungguhnya, hidup ini tak aman dari ihwal fitnah. Tak mungkin kita mampu sembunyi dari fitnah dan caci. “Karena itu, kau kembali setelah lama pergi? Menjadikan rumah tempat paling aman dan nyaman
dari segala marabahaya?” tanyamu

Tak berani kukatakan iya, meski sulit menggelengkan kepalaku.



*


5/ Di tepi pantai, suatu siang

Kita bergegas menyisir pantai. Pasir-pasir yang masih menyisakan buih ombak,
melekat di kakimu. Kau biarkan sebagai penanda bahwa kau pernah bersamaku
singgah di pantai ini. Di tepi laut. Memandang jauh, menyaksikan perahu-perahu
nelayan pencari ikan. Yang pergi dan menepi ke pantai.

Para nelayan itu tahu kapan datang badai dan angin tenang. Tetapi, selalu saja,
mereka setia melaut. Menebar jala, melempar mata kail, menjatuhkan bom. Lalu
menangguk ikan tangkapan “ Ke mana ikan-ikan itu akan dibawa?” tanyaku.
Para tengkulak sudah lama menanti.

Tanganmu melingkar di pinggangku. Susuri pantai berpasir ini. Seperti
masa kanak-kanak dulu, kubuatkan rumah untukmu. Rumah pasir. Berdiri kokoh
dan kau ingin segera menempatinya. “Sekiranya jodoh, aku akan bersamamu
menghuni rumah impian ini,” bisikmu kemudian mendaratkan bibirmu
di keningku. Aku membalas.

Hanya saja, rumah yang kubangun tak lama tegak. Serombongan ombak, sekelimun gelombang, meluluhkannya. Tersapu sampai ke daratan. Terhapus tanpa meninggalkan kenangan. Kau pun tersedu. Aku berduka.

“Bila gentar dihantam gelombang, jangan dirikan rumah di tepi pantai. Jika
kerap masuk angin dan tak tahan cuaca pantai, baiknya bangun rumah
di lurah saja,” nasihat seorang nelayan, suatu kesempatan.

Bergeming. Kewkeh. Tetap kubangun rumah di tepi pantai. Untukmu agar setia pada pulang. Pintunya menghadap pantai. Jendela yang terbuka bagi matahari
menampakkan wajahnya. Pada pagi hari, aku duduk di belakang rumah. Membiarkan wajahku disapu cahaya. Dan jika senja hari, kunikmati sunset
yang menawan itu. Matahari yang kemerahan pelan-pelan sembunyi
ke balik ufuk.

Aku abadikan. Kau memajangnya kemudian di dinding. Sampai pada akhirnya
gambar itu hanyut oleh gelombang besar. Bersama rumah dan barang-barangku
yang lain. Juga aku dan kau.

Kita tak perlu tahu jalan menuju rumah, sebab pasti akan pula pulang. Ya, Pulang.

Betapa indahnya, ternyata, arti pulang. Padahal, dulu sekali, aku sangat menginginkan selalu pergi. Mengumpulkan kosakata pergi agar aku tak
Ingat pulang, namun aku kian terlantar dalam makna merantau. Kulempar
kunci rumah ke semak untuk tidak ingin lagi mengingat pulang.

Namun kini aku benar-benar merindukan pulang. Kangen kesumat pada
rumah: tempat kelahiran dan kematian—sebuah surga yang diturunkan.
Di bawahnya, konon sungai susu yang mengalir. Bidadari tersenyum dan
bermain di taman-tamannya,

sehingga membuatku urung pergi. Kuretakkan setiap jalan yang
ingin mengajakku merantau… *







Setelah pintu tertutup

setelah pintu rumah tertutup dan langkahku membekas di halaman,
maka makin terasa jauh berpisah antara aku dan kau. kenangan-
kenangan tersapu waktu. hanya suaramu yang masih melekat
di telingaku, tapi tinggal desah

aku harus pergi. melepas masa lalu di halaman, di pintu rumahmu
aku titip namaku. sebagai pengembara kini kuhapus setiap ingatan
pada rumah. membunuh keinginan untuk pulang. aku begitu
setia pada setiap jalan yang akan membawaku jauh pergi. di sepatuku
hanya tergambar trotoar ataupun persimpangan. lampu-lampu jalan
memancar dari ujung sepatuku. bahkan keringat yang tumbuh di aspal
kini mengekal di telapakku.

lebih baik melepuh seluruh kakiku kalau aku akan bahagia sekiranya
tak ada bayangan rumah atau angan pulang di kepalaku. serupa
kunang-kunang, aduhai, berkelindan dekat di mataku.

biarkan aku jauh pergi karena dengan melupakan pulang
aku tetap akan sampai di depan gerbang!



Menjemputmu

jemput aku, katamu. aku pun bawakan selembar tangan bersayap, akan
kumasukkan kau ke dalamnya. melipat jadi senapas. sebab kau tak lagi
terpisah dari dalam sayapku. “mau terbang ke mana kalau berakhir juga
ke dalam sayap ini?”

mesti tak kutahu dengan apa kau akan setia di dalam sayap ini. menembus
waktu, melampaui padang dan lautan. “jika kau di bukit pasti sudah sejak
dulu kudaki untuk menjemputmu, tapi kau sudah turuni lereng dan
bersemayam di padang dan lautan.”

mesti dengan apa kuyakini kau, kujemput ketika matahari dari timur
di matamu dan cahaya senja di rambutku, saat itu tak sayap tak ada
juga belum tercipta padang, laut, maupun bukit. kecuali aku terbangun
dari penciptaan, kau dalam keadaan letih tertidur di sisiku. kuraba
pinggangku, dan kurasakan ada yang raib. “sebenarnya aku tak bernaung
apalagi keluar dari pinggangmu,” katamu setelah kedua matamu
bercahaya

lalu aku menjemputmu setiap waktu. baik saat letih atau sehat. apakah aku
sedang bersedih maupun tertawa. kita arungi laut, lampui padang, juga
daki bukit. “buka sayapmu, bawa terbang aku,” pintamu.

sejak itu selalu bersama. Kita….



Daun Penutup

jangan kausimpan daun-daun bekas penutup itu, perempuanku,
agar apel yang kumakan dan kini telah rimbun buahnya
tak mengundang kembali ular yang akhirnya kita tersasar
di antara bukit dan padang. aku akan semakin sedih jika
kita terpisah lagi. aku mencarimu di bawah sengat matahari,
dan kau memanggil-manggilku dari kejauhan. tertutup
dan terik matahari: tubuhmu peluh

harus dengan apa kuingatkan lagi, ketika daun-daun bekas
penutup itu kausimpan rapi. selalu katamu: daun-daun itu
adalah kenangan. dan sebagai ingatan, jangan sampai hilang.
tapi karena ingatan-ingatan akan masa silam itu aku tidak
pernah bisa merangkai kenangan baru. hanya berdiam atau
menghitung lembar-lembar daun, meski tak pernah tepat
hitungannya. aku tak lagi ingat sudah berapa kesalahan
dan kebenaran

kutabung dan kusia-siakan



Selalu senyummu

selalu senyummu terkenang setiap kau pergi tiap pagi, meski tanpa pamit
juga melepas ciuman. ia menggenang di ranjang, bufet, ruang tengah,
ataupun jendela kamar. bunga-bunga akan mekar bersama matahari
pagi yang memancar,

sekiranya kau pamit tiap pagi sebelum meninggalkan rumah ini, selalu
senyummu akan memberi salam dan kecupan; dan ranjang, bufet, dapur,
ruang makan dengan sendirinya akan turut menyalami. ia akan bangunkan
aku walaupun semalaman mataku terjaga

mataku akan menerangi jalanmu. mataku pula akan membangkitkan
setiap senyummu akan layu. seperti bunga selalu disiram agar tak kuyu,
begitulah cinta memberi hidupnya bagi semesta ini. senyummu selalu
kumaknai hidupku dan mengalirkan ruh apabila hatiku berpeluh

selalu senyummu menggetarkan bunga di pas yang kau letakkan di tepi
ranjang, di atas bufet, ruang tengah—tempat biasa kita bercengkerama
agar bisa membunuh sepi—dan akan kau sirami setiap pagi jelang
kau tinggalkan rumah ini:

juga aku yang masih lelap sebab semalaman aku terjaga
bagi cinta yang mungkin akan mati. aku menjaganya sebagaimana
kulindungi hidupku dari hempasan gelombang besar itu…

/lampung, 2008



Tanpa jagal

ia tak lagi menemukanmu terjaga setiap membuka pintu kamar, dan
matamu terjaga. bibirmu bergetar: “jam berapa sekarang? kau pasti
lelah?”

ia akan membelai kemudian mengecup kening sebelum rebah
di sisimu. dan malam merestui lelapmu hingga subuh. “kau
bidadariku, bagaimana mungkin aku telantarkan dirimu?” bisiknya
lalu kamar pun sesempurna malam
esok subuh kau segera pamit ke kamar mandi. ia bersyukur bahwa
semalam tak ada yang mati, padahal nubuat tertulis begitu:
pagi ini akan ada iringan panjang mengantarnya ke pemakaman
tanpa jagal dan tak seorang pun menyumbang air mata!


/bandung juli 2008, lampung oktober 2008



Pulau riuh

apa yang memisahkan tawa dan airmata?

aku datang sebab waktu selalu membuka gerbang. sebagai peziarah
maka aku masuk dan keluar dalam waktu yang kau sediakan bagiku
karena rumahku seperti ada dalam dirimu. aku pun berbenah juga
mengacak tiap ruang
tawamu melengking, ruang hatimu tak lagi lengang: “jika di jalan
terasa sepi dan rumah memberi sunyi, di mana lagi kau dapati riuh?”
aku menggoda, dan tiba-tiba airmatamu jadi lautan
lalu membiarkan perahu-perahu berlayar di sana mencari pulau
yang kau tunjuk paling riuh.


/lampung oktober 2008



Sebungkus cokelat

bagaimana bisa sampai ke rumahmu sedang aku tak pernah kenal
warna pintu dan ukir jendela. aku akan mengira-ngira jalan menandai
setiap pohon dan rumputan, juga sungai yang menjagai halaman
rumahmu. kuharap di depan pintu kau menunggu atau di rembang
jendela kulihat wajahmu termangu.
“aku janji tak akan ingkar menemuimu. jika hari membuka, sungai
menjelma jalan dan aku menderu di atasnya.” aku melesat secepat
kilat, kubawakan bagimu sebungkus cokelat

aku ingin sampai secepatnya di rumahmu. tidak liwat
pintu atau mengendap dari jendela. tunggu aku dengan senyum terbuka
jika waktu tak lagi berdetak…



Gambar di tubuhmu

biarpun tidur tetap kurasakan senyummu dari kebang yang memenuhi
wajahmu. ingin sekali kumasuki bibirmu, matamu, belantara rambutmu.
–kau tetap menari biarpun tubuhmu lelap—
nyanyian dari sejumlah penembang bagai berdendang dari mulutmu,
dan matamu ziarah ke dalam mata para penari: kusaksikan getar dari
pura tanahlot,

di tubuhmu bersemayam paradewi, di hatiku begetaran nirwana


/2008



Perahu menyeberangkanmu

Jika kau akan sampai ke rumahku, masuklah dari pintu yang kau suka
aku akan setia menunggu sambil sesekali menerbangkan daun-daun
sebelum tiba di tanah. itulah awal mengapa maut disebut terbang
dan kematian bagai mengambang. perahu-perahu lalu berselancar
di setiap riak ombak. sentuh dan hiruplah buih yang kausangka
susu itu. kecuplah setiap ranting mengapung yang dulu nenek
moyangmu ceritakan sebagai bidadari,

tapi di bumi yang tak lagi subur ini, apakah masih ada
surga? seperti susu ibu habis diperah dan kau kirim entah ke mana!

Pasti kau kecewa kemudian meninggalkan bumi ini, cuma di tanah
mana kau jadi tamu? lalu dicambuk beratuskali sebelum namamu
dicatat agar tak lagi datang. dengan perahu-perahu kau pun diseberangkan:

“nenekmoyangku seorang pelaut, gemar mengarungi
luas samudera, tak takut…”

bagaimana bisa kau menyeberangi lautan, tapi bukan sebagai
pelaut? di lambung perahu kau merintih perih, mengintip ke luas
samudera: “aku bukan cucu seorang pelaut,
aku pencari kerja di negeri orang
tapi dicambuk dan dipulangkan
sebab tiada alamat dan tanda yang terang,” katamu

tubuhmu membiru. ada kilatan-kilatan di kulitmu pertanda hujan
menggenapkan hari-harimu


2007-2008



Peluit terakhir

segeralah berbenah. perjalanan tak memberi waktu lagi buatmu istirahat
bahkan sekadar tertawa bagi pengantar. sesaat lagi peluit terakhir
untuk kau tuju kursimu. dengan cemas kau mesti lupakan tiap kenangan
dan hari-hari kencan. peron kembali menuju sepi setelah pengantar
pulang.

“kereta terakhir telah berangkat, para pengantar diminta meninggalkan
peron,” speaker mengingatkan. kau pun jauh berpacu tanpa tahu jam
berapa tiba di tujuan. para pengantar pulang tanpa mengingat kenangan
saat pertemuan. kembali sebagai pendatang tapi tak mau pulang

kau tiba di stasiun akhir. para penjemput melambai padamu. “selamat
datang di kota yang belum pernah kau singgahi. kota asing yang hanya
ada dalam mimpimu, namun sudah tertulis pertama kau melangkah.”
segera kemasi barang-barangmu, juga bekal yang kau simpan di dalam
tas. “banyak sekali bawaanmu, padahal di kota ini setiap pendatang
tak membutuhkan apa-apa lagi. ia akan memetik dari tumbuhan yang ada
jika lapar dan haus. sungai mengalirkan susu ibu,” pesan penjemput

peziarah siap dengan segala cacian jika kau lupa mengucap salam, sebab
pendatang harus tahu maunya penjemput. kota bukan rumah besar tanpa
penghuni. setiap nafasmu dijaga oleh beribu jam yang tergantung di tiap
dinding jalan: -- merah, kuning, hijau --

kau boleh pilih satu warna saja!

/lampung, 2008



Hutan damar

untuk sebuah perkenalan perkenankan lampu-lampu itu menjaga malam
hingga fajar. sepanjang waktu surat-surat berputar dari tangan ke tangan,
hatimu bercahaya? di terangi wangi damar, malam merangkak sampai
rangka. mencatat tiap getar hati yang berdendang

meja penuh sampah: kulit kacang, sisa rokok, pembungkus yang telah
telanjang. “ayo mana dendangmu. jangan mendendam jika cintamu
tak beremu. kirim lagi surat sebanyak-banyaknya, mungkin kau dapati
jodoh di hutan damar.”

kalau tidak basuh dirimu di sungai yang mengalirkan wangi melati,
pengganti cinta yang pergi. “siapa belum nyubuk?”
ambil kain sarung, sadap getah wanginya


/wayheni 2007, tanjungkarang 2008




Batu dalam puisiku

kubawakan batu dari negeri 1000 sungai
kuantarkan sungai dengan 1000 batu
yang kudulang hingga jari-jariku
mengeras dan lebam

di negeri 1000 sungai
selalu kudulang batu
dan kuasah jadi puisi

ada cahaya di sana
ada kilau batu
di dalam puisi-puisiku

di hatimu…

/banjarmasing-tanjungkarang, 2007



Belajar dari laut

aku belajar dari laut
tentang kehangatan cinta
mengukir nama dan kenangan
di pasirpasir pantai
membikin aku abai
akan janji maupun sumpah

kupegang jemarfi-jemarinya
berlari di antara kecipak ombak
“ah, persetan kenangan
maupun kesetiaan!”

/mutun, 6 april 2008; 15.06



Selamat malam laut

selamat malam laut yang telah membuatku rindu
lelapkan aku di dalam selimut gelombangmu
telah letih tubuhku sudah sempurna kantukku
tapi tiada pembaringan kecuali di pangkuanmu

selamat datang petualang
di laut dalam kau akan lelap panjang
di selimut gelombangku
kau tak lagi akan gelisah

aku tak datang bersama perempuan
tapi kubawakan dendang
seirama dengan ilalang
buluh bambu kutiupkan

apakah senandungnya
sampai ke tubuh karang?

/selatsunda,3.11.08—bandung 4.11.08



Anak gelombang

jika laut tak memberimu tempat
ke mana lagi kau berbaring
jika pantai cuma sediakan singgah
ke payau mana kaulepaskan lengah

di laut ataupun pantai
di payau maupun ladang bakau
apa akan sama untukmu terlelap?

jangan katakan pasti sampai
setelah kau berada di laut lepas
hanya bayang-bayang lampu
atau suar yang samar
sebagai penanda usia yang memar

kau jadi anak gelombang
terempas sebagai bayang

selatsunda 3.11.08-lembang 5.11.08



Sungai kelahiran

aku seperti dungu. kemarin kau datang padaku untuk berdamai
jika menyambutmu penuh senyum, tapi setelah pintu rumahku
terbuka bagi kedatanganmu kau tujah aku. luka dan darahku
melukis di sungai kelahiran kita. “apakah kita ingin kembali
memerani kabil dan habil? kita berbunuhan di depan ibu?” tanyaku
lalu melarikan lukaku, mengeringkan darahku di rerumput
dekat sungai yang menuju rumah kelahiran

tak perlu kau katakan ingin bermaafan lalu kita berpegangtangan
dan jalan bersisian. ke bukit di mana dulu kita berikrar: “di bumi ini
kita dilahirkan, di sini pula kita bersaudara—meski ibu kita tak satu,
ayah tak bernama—dan membikin jalan hingga ke perbatasan.”

alangkah indah. tangan kita erat berkait. sekin terlipat di pinggang,
tali pinggang tak terkunci. “jika celanaku robek, apakah kau mau
menjahitnya?”

kau tersenyum. mencari rumah baru…

10.2008



Karena rambutku

selepas hujan petang itu, kuhabiskan rambutku yang membuatmu
jadi gelap. jalan tak lagi punya tujuan. kutu beterbangan dan
hinggap ke gedung dewan, kantor ambtenar, pengadilan, buku-buku
hukum, peraturan pilkada dan pemilu

kiranya karena rambutku, kau tersasar dalam hutan perjudian

2008



Bilik suara

aku tertipu oleh waktu. ia datang tidak dengan detak. senyumnya
sebilah sekin: “jangan bergerak, jika kau tak ingin mati,” ancammu
sehabis pemilihan raja, siang berhujan dan aku amat haus dan lapar

aku menunggu yang datang, memberiku selembar uang atau janji
apa-apa. akan kuterima dan lalu kumasuki bilik itu:
“menusukmu!”

3.9.08

Tidak ada komentar: