Meresapi Debar “Kerakyatan” Dirot
Oleh Isbedy Stiawan ZS
TAK dinyana dan tanpa diniatkan sebelumnya, setelah 28 tahun kembali kususuri akar ibu. Cirebon—tepatnya Desa Winduhaji, Kecamatan Sindanglaut—adalah kampung kelahiran ibu yang pernah aku kunjungi terakhir pada 1980. Kunjungan pertama saat aku berusia 5 tahun, lalu ketika kelas 1 SLTA bertandang sendiri, dan terakhir bersama dua adikku.
Kali ketiga pada 7 November 2008. Inilah saat kerinduanku amatlah memuncak pada kampung (kelahiran) ibu. Tanpa diniatkan sebelumnya, seusai acara Temu Sastra III Mitra Praja Utama (MPU) di Lembang yang berlangsung 3 hari(4-6/11), aku menyusuri kembali akar ibu: suatu budaya yang juga mengalir dalam darahku.
Ahmad Subanuddin Alwy, “raja” penyair dan pemikir budaya Cirebon yang setia menjaga independensi Dewan Kesenian Cirebon (DKC) dalam arti tak pernah meminta kucuran dana APBD Pemkot Cirebon, tulus sekali siap mengantarku ke kampung kelahiran ibu jika ingin. Kusambut berkecambah riang tawaran Alwy, panggilan akrabnya.
Tiba di Bandung dari Lembang pukul 17.00 pada Jumat (6/11) dan belum ada tanda kepastian ke Cirebon, bahkan jam keberangkatan. Alwy cuma bilang, ia sedang menunggu seorang teman untuk bertemu seseorang di Kafe Halaman. Siapa yang ditunggu dan siapa pula yang hendak ditemui, tak pernah dijelaskan. Aku menunggu sabar.
Beberapa jam kemudian, seseorang—berambut gondrong dan berjengeot serta mengenakan topi lingkar—turun dari mobil VW merah. Karena bergaya seniman, aku yang berada di depan Kafe Ampera di Jalan RE Martadinata, Bandung, langsung bersuara: menemui Alwy ya? Ia mengangguk, aku pun menyalami. Alwy keluar dari kafe. Kami pun menuju Kafe Halaman.
Pengendara mobil VW berambut panjang itu, ternyata pelukis yang kini sedang naik daun: Dirot Kadirah. Pelukis kelahiran Indramayu, Jabar, itu pernah magang dengan pelukis Sudarso di Bali beberapa tahun (1991-1995). Setelah cukup bekal ia kembali ke Indramayu, dan pada 2000 ia hijrah ke Jakarta dan kini menetap sekaligus studionya di Jalan Kayu Putih 04/01 No. 6 Pondok Cabek Udik, Pamulang Tangerang.
Sementara orang yang akan ditemui di Kafe Halaman, Bandung, tak lain Aminudin TH Siregar—kritikus senirupa, pemilik Galeri Sumardja dan dosen senirupa ITB. Awalnya aku tak tahu pemilik nama Ucok, demikian Alwy dan Dirot menyebut Aminudin, adalah kritikus senirupa yang cukup kritis dan acap kubaca ulasan-ulasannya di sejumlah media massa.
Tersebab sesama seniman—walau aku bukan dari senirupa—percakapan malam itu tetap berlangsung hidup. Pertemuan mereka ternyata hendak merancang pameran tunggal Dirot Kadirah di Galeri Sumardja ITB. Kalau pameran yang direncanakan Mei 2009 itu terealisasi, berarti itu kali kedua setelah Dirot berpameran tunggal di Galeri Nasional, Jakarta, 7-11 Oktober 2008 yang mengusung tema “Negeri Para Pejuang”.
Pertemuan di Kafe Halaman itu berakhir pukul 22.00. Entah bagaimana cara “sihir” Alwy, Dirot memacu mobil kodoknya ke luar kota Bandung menuju Cirebon. Mobil buatan Eropa tahun 1964 itu amat perkasa, dan 5 jam kemudian kami tiba di kediaman Alwy. Sedangkan kami benar-benar lelah, sehingga tak ada percakapan lanjutan. Kami lelap, saling berpacu mendengkur.
Kampung sudah berubah dan bertambah
Jalan menuju kampung ibu sudah berubah, begitu pula dengan kampungnya. Jalan sudah beraspal dan banyak cabang. Menandakan bahwa perkampungan (desa) bertambah seiring kota kian gemerlap. Aku benar-benar terkesima, bahkan pangling. Persawahan, hutan bambu, dan belukar sebagai ciri pedesaan nyaris tak lagi kerap dilihat.
Pada 28 tahun lalu, seingatku Terminal Cilimus terletak sebelah kanan jika dari Cirebon menuju Kuningan. Tetapi bekas terminal itu kini berdiri mesjid agung. Sedangkan terminal pengganti, di sebelah kiri atau behadapan dengan masjid (terminal dulu). Barangkali istilah “tukar guling” juga terjadi di sini.
Indomaret sudah ada di Cilimus. Agar tidak tersesat jangan malu bertanya. Kepada pelayan pasar mini itu Edeng—seniman, voluntir DKC, dan teman setia perjalanan kami—bertanya ihwal kampung bernama Winduhaji. Memang pelayan toko itu tak tahu, untunglah seorang pembeli menjelaskan. Kami pun memasuki Jalan Kanauman di sebelah kiri jika hendak ke Kuningan.
Sepanjang jalan sudah dipenuhi rumah-rumah penduduk, juga ada bangunan besar yang kuduga adalah gudang, dan selebihnya sawah atau pun kebun bermacam tumbuhan. Beberpa kali kami mengulang bertanya, dan selalu dijawab beragam: ada yang tahu kampung ibu, ada yang tak tahu, dan lainnya cuma menduga-duga.
Tetapi, aku tetap optimistis. Pasti kutemui kampung ibu. Aku yakin akan bertemu saudara-saudara sekandung ataupun tidak di sana. Ya! Ibuku tak mungkin lagi akan pulang ke kampung kelahiran. Sebab ia sudah uzur. Cukuplah aku yang mengikat tali silaturahim ini.
Pertama kali kujumpai rumah adik sepupu ibu. Ia, Partanda, adalah mantan kuwu (kuwu hormat). Kuwu berarti kepala desa/dusun. Sejak awal aku hanya menyebut nama dia pada tiap orang yang kutanya, sebab manalah mungkin ibuku akan dikenal lagi?
Dan, rumah ibuku semasa kecil persis di sebelah kanan rumah kuwu. Segera kujumpai dan kupeluk adik perempuan ibuku. Aku banyak mengobrol dengan mantan kuwu Partanda, juga saudara-saudara ibu lainnya. Mereka heran, tak menyangka putra Ratminah, ibuku (di kampungnya ia hanya disapa Teh Ratmi), berambut panjang dan diantar oleh tiga temannya yang juga berambut sama dan nganeh.
Cuma 3 jam aku di rumah ibuku, sudah cukup meresapi dan merapatkan kembali jarak kultur dan akar ibu. Alwy adalah orang yang sangat bebahagia ketika aku bisa sampai ke akar. Edeng, dengan mata bebrinar-binar dan berair, berkali-kali mencuri adegan-adegan harubiru antara aku dan keluarga ibu. Dan, Dirot Kadirah seperti merekam dalam benaknya ihwal yang terjadi di kampung ibu. Ya, tanpa Dirot sulit rasanya aku bisa dengan mudah sampai ke kampung ibu. Ia sangat sabar dan berkali-kali mengucap “santai saja” tiap aku meminta kesabarannya.
Selesai makan siang pukul 13.30 kami kembali ke Cirebon. Malamnya aku harus membayar kebaikan Alwy dan Edeng dengan membaca puisi dan diskusi di sekretariat DKC. Dirot juga siap berdiskusi karena ia ingin pulang ke Jakarta bersamaku, Sabtu (8/11) pagi.
Debar “Kerakyatan” Dirot
Setiap orang menyimpan kampung kelahiran atau kampung ibu di dalam dirinya. Dan, tiap urban akan selalu merindukan kampung halaman, tempatnya lahir, dibesarkan, atau setidaknya akar ibu.
Sepanjang perjalanan pulang ke kampung ibu, aku benar-benar meresapi debar “kerakyatan” yang terekam dalam sejumlah karya lukisannya. Debar dari pekikan rakyat yang diwakilkan para nelayan, sungguh suara yang tak bisa dipungkiri: ia meniscaya. Itulah juga yang saya tangkap dari wajah-wajah manusia yang hidup di Winduhaji—sebuah desa yang nyaris terisolir kalau saja transportasi (jalan dan kendaraan) tak pernah dipedulikan—yang lugu namun perkasa.
Demikianlah, misalnya, aku dan Dirot Kadirah. Aku dilahirkan di Tanjungkarang (Lampung) tentu menyimpan kenangan pada akar dan atau kampung kelahiran ibu. Begitu pula Dirot yang lahir dan berdarah Indramayu (Jabar), namun pernah urban di Bali dan kini di Jakarta. Ia punya kenangan dan kerinduan pada tanah pesisir Indramayu. Kehidupan orang-orang Indramayu yang nelayan. Kehidupan sehari-hari dari hasil kekayaan laut.
Itulah mengapa Dirot sangat kental pada kehidupan nelayan Indramayu. Itu terekam di dalam karya-karya lukisnya (lihat “Dirot Evolution in first Vibration”, 2008) atau sejumlah karyanya yang telah dipamerkan di Galeri Nasional bertajuk “Negeri Para Pejuang” (7-11 Oktober 2008).
Jean Couteau memandang bahwa Dirot adalah “seniman nelayan”. Istilah yang digunakan Couteau ini, menurut Aminudin TH Siregar sangat menarik sebab selain tidak lazim digunakan, juga menunjukkan dua profesi yang berperan sekaligus secara bersamaan.
Istilah tersebut tampaknya diberikan Couteau sebagai prediket yang menerangkan identitas lain dalam diri Dirot (nelayan) serta—tentu saja—menunjuk pula pada bagaimana pelukis ini mengolah pengalaman estetisnya dari menjadi “nelayan” ke “seniman”.
Lebih jauh, Couteau mengatakan, sasaran Dirot mungkin masyarakat sosial, tetapi pelrakuannya adalah apa saja tetapi nyata. Daya tarik dari karya Dirot adalah simbolik dan realitas, sosial dan spiritual yang di dalamnya tak mungkin keluar satu sama lain.
Menikmati karya-karya Dirot seperti membawa kita pulang ke kampung ibu. Sebab kampung ibu, bagi Dirot, adalah pesisir dan para nelayan, maka rekaman ihwal laut, ikan, nelayan ataupun penjala dengan berbagai perspektif.
Ikan di tangan Dirot acap lebih besar bentuknya dibanding manusia. Sementara para manusia ditegasi dengan otot besar dan jelas. Lihatlah “Tangkapan Besar” yang menegaskan betapa kehidupan para nelayan semata bermodal fisik yang tak saja kuat melainkan harus perkasa.
Hal itu juga berarti Dirot hendak memberi gambaran perjuangan para nelayan yang notabene rakyat dari manusia Indonesia, berjuang habis-habisan dari hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Buah dari perjuangan para nelayan menundukkan gelombang besar dan kadang harus melawan badai, setelah berhasil dengan ikan tangkapan ia pulang dengan wajah semringah. Dirot melukis kegembiran “para pejuang” itu liwat karyanya “Ingin Seperti Bapak”.
Dirot sebagaimana dikatakan Aminudin TH Siregar memang berbeda dengan Hendra Gunawan. Jika Hendra lebih dekoratif ketika mewarnai kulit, maka Dirot tidak demikian. Apabila Hendra Gunawan lebih menonjolkan sosok perempua, dalam mayoritas karya-karya Dirot tampak jelas dia cenderung memunculkan sosok laki-laki.
Dan, Dirot Kadirah memang tengah memotret dunia nelayan sebagai “para pejuang” yang tak pernah mendapat pengakuan, apatah lagi penghargaan. Sebab, mereka berjuang untuk keluarganya, untuk dirinya sediri. Hidup itu sendiri adalah perjuangan.
Menyimak karya-karya Dirot Kadirah sama artinya menyelam ke dalam intelektualitas “anak nelayan” yang datang dari laut dan berbicara tentang laut. Sekitar 1986-an aku menulis baris demikian: “karena laut mengajarkan rahasia badai, aku pun setia berlayar” (puisi “Perjalanan Pelaut”) untuk menegaskan bahwa pelaut tentu tahu kapan badai datang namun mereka tetap melaut untuk menangkap kan. Maka Dirot melalui “Membaca Alam” (Dirot: The Evolution of Fish Vibration, 2008) ingin mengatakan orang-orang pantai (nelayan dalam konteks Dirot) selalu faham membaca alam. Karena alam yang mengajarkan mereka untuk berjuang, tabah, dan mencari kehidupan. Pada alam juga mereka kembali (lihat “Back to Basic, 2008: katalog, 29).
Jadi sejalan yang dikatakan Couteau, Dirot menjadikan laut, ikan dan lingkungannya sebagai penanda manusia berhadapan dengan kebsaran alam: antara nyata dan simbolik, andara sosial dan spiritual.
Hidup memang seakan selalu mengulang dan atau mengalir. Apa yang dilakukan orang tua seolah (pasti) turun kepada sang anak. Mengapakah anak nelayan ingin meneruskan tradisi sang bapak? Itulah yang ingin dikatakan Dirot melalui karyanya “Ingin Seperti Bapak”.
Bagi nelayan atau rakyat kecil, mimpi adalah harapan paling akhir tatkala kenyataan hidup menuntunnya menyimpang dari harapan/cita-cita. Harapan-harapan dan attau mimpi-mimpi itu digambarkan Dirot, misalnya liwat “Tertidur”, “Menjemput Fajar”, “Tertidur”, dan “Menggapai Bulan dan Bintang”.
Sedangkan “Honey Moon” bagi seorang nelayan (anak nelayan) tidaklah menjadi prioritas sebagaimana dilakukan pasangan pengantin dari keluarga kaya atau di perkotaan. Karena bulan madu bagi sepasang pengantin dari masyarakat nelayan, tak akan jauh dari laut. itulah yang ingin dibicarakan Dirot dalam “Honey Moon”. Atau imajinasi seorang nelayan bagi pasangannya, layaknya pelaut yang menggamit putri duyung (lihat “Imagination”, 2008: katalog, 46).
Tampaknya karya-karya Dirot dalam “Negeri Para Pejuang” merupakan personifikasi potret dirinya yang nelayan. Bagi Aminudin, kehadian sosok-sosok di dalam kanvasnya itu tak terlepas dari hal ihwal tentang dirinya, sebab Dirot memang tengah membangun narasi tentang apa yang terjadi di sekitarnya.
Kalau Dirot terlahir sebagai anak nelayan dan atau anak laut (“Diri ini Laut”, 2008: 39, “Aku ini Laut”, 2008: 50) ia tak akan melepas diri, bahkan ia menyelami setiap ihwal yang berlangsung di sana. Maka aku tak dapat menghindar dari sergapan kerinduan pada kampung ibu.
Dalam arti lain, kampung dan alam sekitarnya bagi kami sesuatu yang selalu melambai dan ingin sekali digapai…
Lampung, 11 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar