Oleh Isbedy Stiawan ZS
Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.
------------
SUDAH keliwat capek Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 harus berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lainnya: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).
Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung—saat itu Poedjono Pranyoto—pada pengukuhan pengurus DKL pada 1993 akan dibangun bagi pengembangan dan kemajuan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung tidak juga terealisasi sekaligus menjadi “utang budaya” Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka “kran” di bantuan rutin APBD.
Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE 1 ditinggalkan Poedjono Pranyoto. Sempat beberapa tahun DKL tak mememeroleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik para elit di Lampung mengimbas ke DKL. Kala itu sejumlah “orang penting DKL” ikut bermain dalam kancah perpeolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada Ketua Umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di Pilgub. Entah karena “perintah Oe”, yang jelas anggaran DKL di APBD saat itu nyaris ditahan. Kemudian tahun berikut dan Oe tak lagi menduduki BE 1, DKL hanya dikucurkan sekitar Rp50 juta di APBD.
Persoalan “utang budaya” Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov “sekadarnya” mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah senibudaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?
Politik pasca Pilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabrani yang terpilih sebagai Gubernur ibarat “prahara” dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: kemudian kita tahu Sjahroedin ZP berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Awal kepemimpinan Sjahroedin ZP, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada senibudaya Lampung akan berjarak—walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariatnya di wisma atlit milik KONI Lampung, dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).
Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di harian Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung “bersuara kencang” menolak sekretariat DKL hengkang dari wisma atlit di Pahoman. Mendengar “teriakan” para seniman, Sjahroedin bukannya berang atau menutup sama sekali ruang kiprah DKL dan seniman Lampung.
Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjahroedin mengeluarkan statemen yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan bukan mengusir DKL dari Pahoman melainkan karena gedung itu adalah milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni. “Kalau pun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan,” ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di Kompleks PKOR/LKDL Wayhalim.
Dari sini saya, tentu dengan sangat hati-hati, “membaca” visi-misi Sjahroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia senibudaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana-budaya ke Cirebon dan Banten. Di dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa “janji” membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.
Sayang seribu sayang, harapan dan impinan para seniman untuk memiliki gedung kesenian terhalang oleh pemilihan langsung Gubernur Lampung yang dilaksanakan 3 September 2008 lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan, kalau Sjahroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye untuk memenangkan Pilgub 2008.
Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang refresentatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjahroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi—Ketua Umum DKL—baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.
Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran senirupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.
Impian adanya Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat—bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjangnya penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan “pelunasan utang budaya” yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan senibudaya di daerah ini.
Adalah (di tangan) Sjahroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm) Zainal Abidin Pagaralam itu, telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang “menyulap kebun binatang” di Cikini Jakarta menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban senibudaya di Tanah Air.
Pembangunan GK di PKOR Wayhalim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan senibudaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik.. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruislag GOR Saburai jangan digulirkan lagi. Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.
Meski gonjang-ganjing para elit politik pasca-Pilgub 2008 yang bukan tak mungkin terganggunya hasil pemilihan, jangan sampai roda pemerintahan (di dalamnya rencana pembangunan 5 tahun ke depan) menjadi stagnan. Kini ke enam pasang kandidat Pilgub berjamaah menolak hasil Pilgub 2008 karena ditengara cacat hukum, ditambah pernyataan yang memasalahkan pencairan dana mantan Gubenur Lampung sehari setelah Syamsurya Ryacudu dilantik sebagai gubernur yang baru (Lampung Post, Rabu 10 September 2008). Jangan sampai pertarungan antara yang kalah dan menang dalam laga Pilgub 2008 berbuntut ke para legislatif, misalnya turut berenang di air keruh politik atau menjadi steru legislatif-eksekutif parth two.
Karena itu memanasnya suhu politik di kalangan elit di Lampung itu, tidak lantas sampai mengimbas—terutama—pada pengembangan kehidupan berkesenian (kebudayaan pada umumnya) di daerah ini. Betapa pun, kita mahfum, kesenian (kebudayaan) tidak mengarus ataupun memuara pada suhu perpolitikan. Kesenian dan kebudayaan berada dalam wilayah sendiri yang diharapkan steril, dan politik akan (selalu) memengaruhi berbagai bidang—boleh jadi, termasuk, membayangi kesenian-kebudayaan.
Di sinilah saya tetap yakin bahwa seniman (budayawan) tak perlu cemas pada “tirani” politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat. Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor maka seni yang mensucikan; dan bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra untuk menggerakkan arus dari dalam partai komunis Indonesia (PKI). Akibat terlalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik—kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.
Berpijak pada hasil quick count dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual oleh KPU Lampung, Sjahroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009-2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko.
Tidak berlebihan—apalagi muluk-muluk—sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjahroedin membangun dan mengembangkan senibudaya di daerah sudah terasa.
Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!
Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan senibudaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi senibudaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak terlanjur subdin kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi senibudaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.
Mengawali 5 tahun ke depan kepemimpinan Sjahroedin-Joko Umar Said dan 16 tahun terbentuknya DKL serta beberapa tahun MPAL, diharapkan sejarah makin ditancapkan: berdirinya Gedung Kesenian Lampung. Selanjutnya, akankah kehidupan senibudaya tetap dijamin kelaknya? Mari kita tunggu, sebab bola belum dilambungkan roda belum digelindingkan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar