14 November 2008

Almarhum Mas In

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Sebelum mati, ia lebih dulu melampaui saat-saat kritis yang membuat cemas sekeluarga; biji matanya seakan hendak menggapai ubun-ubunnya, bibirnya berkomat-kamit namun bukan menyebut nama-nama Tuhan ataupun berdoa—entahlah apa yang ia ucapkan sebab tak satu kata pun terdengar jelas.

Begitulah. Barangkali saat sakrataulmaut mencabut nyawa seperti itu. Sepertinya liwat ubun-ubun dan tidak dengan pelan ataupun lembut. Layaknya mencabut sumbu kompor, dengan sekali betotan. Pastilah ia menahan sakit tak terhingga. Hanya ia sudah tak bisa lagi menceritakan kepada keluarga, terutama istrinya yang setia menemaninya saat-saat kritis empat jam lalu. Keluarganya pun—apalagi tak seorang pun di dunia ini yang diberi mukjizat untuk mengetahu prosesi sakratulmaut—tak bisa merasakan, kecuali menatapnya sedih.

Sat-saat kritis empat jam lalu, seluruh keluarga sudah pasrah. Kalau memang sudah waktunya, silakan ambil. Tetapi jangan membuatnya menderita di saat-saat meregang nyawa. Melepas ruhnya kembali ke pangkuan Ilahi. Karena permohonan itu tak dikabulkan juga, terbukti dari tarikan nafasnya seperti sapi yang menunggu ajal setelah pedang diangkat dari leher: dengkur si pengorok, seluruh keluarga yang mengelilinginya mulai tidak karuan untuk mengungkapkan kesedihannya. Gelisah bercampur cemas. Tangisan pun saling berpacu.

Istrinya menuntun suaminya agar melafalkan syahadat. Kata tetua yang sudah turun-temurun, bila seseorang mengalami kesulitan saat-saat sakratulmaut sebaiknya jangan lengah menuntun untuk mengucapkan syahadat. Jika bibirnya sudah benar-benar tak lagi bisa bergerak, cukup dituntun: “Allah Allah…”

Tetapi si calon mati ini, tak lagi mampu mengucap itu. Hanya gemeretak giginya yang beradu, getar bibirnya, biji matanya yang mendelik dan mengatup seperti hendak lepas memburu ruh yang dicabut dari ubun-ubunnya. Nafasnya seperti dengkur seorang pengorok. Saat itulah seluruh keluarga bertangisan.

“Papa, aku ikhlas pergilah kalau memang sudah waktunya. Jangan tersiksa seperti ini, jangan buat keluargamu cemas… Mama sayang, mama sudah ikhlaskan papa…” ujar istrinya dekat di telinga lelaki itu.

“Mama kok…” anak sulungnya yang berusia 25 tahun protes. “Papa jangan tinggalkan kami…”

“Mama keterlaluan, mama suka ya papa ma…” dukung anak keduanya.

“Kalian salah faham. Maksud mama…” Linda hendak menjelaskan, tapi si sulung sudah bicara.

“Mama memang suka kalau papa mati. Mama mau….” anak sulungnya kembali berkata..

“Ah, kalian semua keterlaluan. Mama sangat mencintai papamu. Tapi, kalian liat sendiri, sudah empat jam yang lalu papamu kritis seperti ini. Dia….”

“Tapi, ma, soal mati urusan Tuhan. Bukan mama. Sudah, jangan susahin papa lagi. Papa sudah cukup susah dalam hidupnya. Mama yang nyusahin….” anak ketiga, keluarga itu menyebut “Si Bungsu” yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.

Perdebatan hampir meruncing. Salah satu keluarga, adik dari sang papa, segera melerai. Tak seorang pun berani membantah jika Om Is sudah berkata. Suaranya yang bariton—sedikit serak—intonasinya terjaga, dan penampilannya berwibawa: “Tak ada satu pun yang boleh buka suara, kecuali menuntun papamu mengucapkan kalimat-kalimat toyibah.”

Lalu bibir mereka terkatup. Hanya terdengar, seperti bisik, menuntun yang sedang menghadapi ajal itu dengan “Allah Allah”. Sementara keluarga lainnya mengaji surat Yaasin.

Om Is kembali merapatkan mulutnya ke telinga kakaknya yang nafasnya turun naik. “Mas In, kami sudah ikhlas. Tak ada yang kekal di dunia ini, semuanya akan dipanggil Tuhan. Mungkin mas harus dipanggil lebih dulu, ya aku dan keluargamu sudah sangat ihklas. Ucapin mas ‘Allah Allah’, ayo mas…”

Suara om Is menggetarkan daun telinga kakaknya. Layaknya telinga gajah sedang mengipas-ngipas. Bibirnya terbuka. Suaranya bagai hewan yang digorok lehernya. Kecuali Om Is yang mendengar kakaknya itu mengucap “Allah”—hanya sekali, sedang lainnya tidak mendengar apa pun. Setelah itu bergeming. Tak lagi bergerak.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…” Om Is mendesis. Ia kemudian mengusap tangannya ke wajah kakaknya, menutup mata jenazah Mas In.

*

LELAKI itu, kini sudah terbujur kaku, hampir enam jam melewati masa kritis. Ia dilarikan ke rumah sakit kemarin malam karena terjatuh di depan kamar mandi, tak sadar dan layaknya orang mati suri. Tak ada yang tahu penyebabnya. Bahkan apa penyakit yang dideritanya.

Jenazah lelaki tiga putra itu kini sudah ditutupi kain panjang, sedangkan wajahnya tertutup selendang hitam. Kain tipis penutup wajah itu berulang dibuka dan ditutup oleh pelayat sekadar ingin melihat wajah almarhum. Sedangkan persis di dekat kepalanya ada Alquran—ini hanya tradisi dan keyakinan turun-temurun agar jenazah tak diganggu iblis maka didekatkan kitab suci dekat kepala jenazah atau dibacakan surat Yaasin—yang tetap tertutup.

Om Is tidak setuju ada Alquran atau pelayat yang melantunkan ayat-ayat Alquran. Si mati sudah tak akan bisa ditolong lagi oleh kalam Tuhan. Ia sudah membawa pulang amal kebaikan dan perbuatan ingkarnya. Itulah yang akan menimbang si mati. Tetapi, keinginan Om Is tersebut ditentang banyak orang. Pelayat—terutama tetangga—malah menyalakan setanggi, merangkai kembang tujuh warna dan memasukkan ke dalam beberapa botol air. Dan, yang lainnya, menghidupkan tungku: memasak.

Sulit memang mengabaikan tradisi yang sudah temurun itu dan galibnya bagian dari ritual agama. Om Is tak bisa bebruat banyak. Ia lupakan kesibukan di rumah orang yang sedang terkena musibah. Ia tak pernah jauh dari jenazah kakaknya. Sebentar lagi akan dimandikan, lalu dikafankan. Mungkin dua jam kemudian, si mati akan dimakamkan. Tujuh langkah pelayat terakhir meninggalkan pemakaman, malaikat penanya di kubur akan bertanya. Saat itulah si mati tak akan bisa, berbohong, ataupun beralibi.

“Siapa Tuhanmu?” Bisa dibayangkan sekiranya kita sewaktu di dunia tak pernah mengenal Tuhan, akan dijawab apa pertanyaan malaikat di kubur itu? Tidak mungkin kita akan menjawab, misalnya, “jabatan”, “harta”, atau apa pun yang pernah kita per-tuhan-kan.

Itulah masalahnya yang dikhawatirkan Om Is—barangkali juga ketiga putra almarhum—tentang kakaknya yang kini terbujur kaku, hanya ditutup dua lembar kain panjang dan selendang berwarna hitam menutupi wajahnya. Ia tahu benar bagaimana perngai dan sifat kakaknya semasa hidup. Soal kikir, seluruh keluarga tahu. Sifat itu sejak kecil sudah disandangnya.

Setiap peminjam uang padanya, begitu melunasi haruslah membayar lebih. Almarhum selalu berdalih, kelebihan uang itu sebagai tanda balas budi. “Soal kelebihan pengembalian ini bukan bunga. Saya bukan rentenir. Tetapi, apa saya salah minta persenan karena saya sudah membantu?” katanya suatu kesempatan.

Ia lalu mencontohkan, di Pegawaian pun jika kita meminjam uang dengan menggadaikan barang ada kelebihan uang saat melunasi. Walaupun tempat menggadai barang itu bermoto “Menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Siapa bilang tanpa masalah? “Jadi, tak salah dong kalau saya juga minta kelebihan uang pelunasan?”

Nasihat keluarga soal cara itu tidak dibenarkan agama sebab itu sama artinya membungakan uang, ia tepat bergeming. Akhirnya tak seorang keluaga pun yang mau mengulangi. Apalagi ia didukung istrinya. Jadilah ia berbuat sesukanya. Dan, memang sukses, rumahnya mewah: garasinya terparkir dua mobil. Ketiga anaknya kuliah di Jakarta dan Jogjakarta.

Kesibukannya makin banyak di luar rumah. Istrinya ikut mengimbangi. Keduanya jarang bertemu dan mengobrol. Sebab saat ia pulang istrinya sedang di luar, begitu sebaliknya Kehidupan keluarga itu memang sangat aneh. Meksi begitu, tak pernah suami istri itu bertikai apalagi sampai chaos—misalnya—bercerai.

Istrinya tahu kalau suaminya suka bersenang-senang dengan para perempuan di tempat hiburan. Suaminya juga bukan buta kalau istrinya kerap dibawa lelaki lain, bahkan kadang anak muda ke luar kota. Sepertinya mereka menganut faham: terpenting tidak saling mengganggu dan rumah tangga tidak moyak.

Dan, keluarga besar pun akhirnya masabodoh. Tak acuh. Om Is pernah mencoba masuk ke masalah keluarga mereka, namun kakaknya menampik. “Uruslah rumah tanggamu saja. Tak ada masalah kok di keluargaku,” kata si almarhum waktu itu.

Om Is tak jera. Ia berujar, “Mas In boleh saja mengatakan tak ada masalah. Tetapi, saya sebagai adik mas In, merasakan bahwa rumah tangga mas ada masalah. Mau apa rumah tangga ini, kalau suami istri tak pernah satu rumah. Masing-masing sibuk di luar rumah dengan urusan masing-masing. Memangnya saya tidak tahu apa yang dilakukan Mbakyu Dewi? Apa saya buta apa yang dikerjakan mas In di luar sana? Bersenang-senang kan? Berfoya-foya kan? Membungakan uang kan?”

Om Is kemudian dihardik. Ia pun melenggang dari rumah mewah kakaknya itu. Sejak itu dia tak lagi menginjakkan kaki ke rumah kakaknya, kecuali hendak menguburkan ini. Semula ia juga berat menjenguk di rumah sakit, sekiranya istrinya tidak memaksanya.

“Mas In sudah kritis. Tak baik mendendam. Kalau ada apa-apa kelak pada mas In, kau menyesal selamanya. Memaafkan itu lebih baik dan mulia, ketimbang melukai hati orang lain. Ayolah mas, aku temani…”

Di rumah sakit, ia memaafkan kesalahan mas In. Ia juga meminta maaf dan minta diikhlaskan sekiranya pernah melukai hati kakaknya. Om Is juga menyuruh mbakyu Dewi dan anak-anaknya agar mengikhlaskan jika ada perlakukan mas Is yang telah melukai hati mereka.

“Mungkin ini saat terakhir kita saling memaafkan,” ujar Om Is pelan.

*

Ya! Itulah saat paling akhir untuk saling mengikhlaskan. Mereka pun bertangisan. Ratap mengharu-biru. Terutama ketiga putra mas In, tak pernah lepas saling berpelukan. Pakaian mereka basah oleh airmata. Mbakyu Dewi, meski sesenggukan, tetap tak melunturkan eyeshadow, garisan pensil di alismata, pupur, dan lipstik. Ia masih kelihatan cantik.

Berpakaian dan penutup rambut berwarna hitam serta berkacamata yang juga sama warnanya, Mbakyu Dewi ikut mengantar suaminya ke peristirahatan terakhir. Ia berjkongkok di sisi kiri liang, tak henti menabur kembang setiap tanah dijatuhkan ke lubang.

Mbakyu Dewi seperti ingin mengatakan kepada semua pelayat: “Lihatlah, ini buktinya, kalau aku mencintai mas In—suamiku. Aku rela berpanas-panasan di pemakaman ini.”

Ketiga putra almarhum berulang melirik ke ibunya, lalu mencibir. Mereka ingin sekali protes pada mamanya: “Bukan saatnya menunjukkan cinta dan sayang di sini. Tetapi, mengapa bukan dulu ketika masih hidup bersama?”

“Mama munafik!”

“Biar kami percaya kalau mama mencintai papa? Papa sakit karena ulah mama. Papa habiskan waktunya di tempat-tempat hiburan malam, sebab protes pada mama yang telah mendustai cinta papa!”

Om Is seolah membaca apa yang berkecamuk di hati mereka. Ia segera menyudahi sambutan atas nama keluarga musibah dengan kalimat: “Jika ada utang-piutang di antara pelayat atau yang lainnya, segeralah menyelesaikan kepada kami. Apabila di hati masih ada yang mengganjal terhadap almarhum, mohon kiranya diikhlaskan. Sekiranya kita, di sini, hadir hanya berpura-pura bersihkan segera hati dengan niat karena sunah mengantar jenazah sampai ke pemakaman, dengan demikian kedatangan kita akan dicatat jadi amal ibadah.”

Tak seorang pun tak terharu. Hujan pun tercipta dari setiap bola mata pelayat. Karena yang ditinggal hanya memiliki kesedihan dan airmata. Ada pun si mati, setelah tujuh langkah pelayat terakhir meninggalkan pemakaman, siapa bisa memastikan yang berlangsung di dalam liang?

Hanya malaikat dan binatang yang diberi kepercayaan oleh Tuhan dapat mendengar tawa, tangis, jerit kesakitan si mati. Konon begitulah. Om Is, sekali lagi, menengok ke belakang, ke kuburan mas In. Ia tak akan pernah bercerita kepada siapa pun, bahwa saat ia meletakkan jenazah kakaknya seolah tanah tak menerima. Tiba-tiba liang itu menyempit dan tubuh almarhum memanjang. Tanpa ada yang tahu, pelan-pelan ia tekukkan kaki kakaknya hingga bisa masuk. Kemudian ia tahan dengan sebongkah tanah berbentuk bola di belakang lutut dan tumit. *


Lampung, 5-6 Oktober 2008

Tidak ada komentar: