02 Agustus 2009

Mencari Format Menjual Wisata

Catatan buat Festival Krakatau XIX


Oleh Isbedy Stiawan ZS



Empat hari bukan waktu yang cukup untuk menghelat sebuah event sebesar Festival Krakatau dengan anggaran yang juga besar. Selain itu dukungan—“promotor”—cukup banyak, baik pemerintah maupun pihak swasta. Tetapi sudah Festival Krakatau XIX, tetap kurang gereget bahkan terkesan monoton.

Kritik pedas malah dari “orang dalam” seperti Ir Citra Persada. Ia menyarankan Festival Krakatau (FK) diformat ulang, baik dalam hal program yang bakal ditampilkan termasuk pula kemasan yang hendak disajikan. Citra menunjuk bahwa bule tak suka duduk berdiam-dagu sambil mendengar sambutan dalam bentuk seremonial.

Saya setuju dengan pandangan Citra Persada. Betapa seakan apa yang dilakukan Pemperintah Provinsi Lampung dalam event FK selama ini suatu pekerjaan “mubazir”, artinya hanya menjalankan agenda yang memang sudah dianggarkan tiap tahunnya.

Tetapi “tujuan” dari FK yakni menarik kesukaan wisatawan ke Lampung masih kecil, memberdayakan potensi seniman di daerah ini belum bisa dibanggakan, kemudian dampak dari FK bagi perajin khas daerah ini sungguh belum terasa padahal berbagai hasil kerajinan amat banyak yang bisa dijual kepada para turis bule tersebut.

Selain itu, keberadaan kesenian tradisional yang mulai dilupakan sehingga perlu dilestarikan seakan terabaikan. Barangkali kita tak pernah mau berpikir, sepuluh tahun mendatang kesenian Lampung bernama dadi, reringget, wawancan, ataupun warahan bakal punah apabila tidak ada kesadaran untuk melestarikan melalui sosialisasi kepada generasi muda.

Seharusnya agar kesenian-kesenian tradisional seperti itu terus dihidupkan agar disenangi oleh yang lebih muda. Caranya tentu melalui berbagai penampilan. Diangkat dalam bermacam event, berulang, dan tak kenal lelah.

Ini baru hal kesenian tradisional yang ada. Apatahlagi kesenian muasir (modern) yang kerap malah kurang dipedulikan, apakah mati atau hidup dengan cara pembiaran. Sehingga event FK hanya bersifat seremoni. Penampilan tari massal pada saat pembukaan ataupun dalam punggung kesenian yang diadakan selama FK. Kemudian pemilihan Muli Meghanai yang jelas “dimanfaatkan” untuk apa setelah itu. Kemudian tur ke Gunung Anak Krakatau yang tanpa meninggalkan kesan selama perjalanan di atas kapal.

Jangan-jangan masyarakat Lampung akhirnya lupa dengan fungsi dan tujuan dilaksanakan FK. Boleh jadi malah sebagian masyarakat Lampung tidak mengetahui ada perhelatan FK. Coba sesekali ke sejumlah hotel dan penginapan di Bandarlampung selama FK, apakah ada peningkatan bagi hunian kamar? Semua ini harus dihitung. Karena, bukan rahasia, sekiranya para pengusaha hotel ikut membantu sehingga wajar kalau mereka ingin memeroleh sesuatu dari FK.

Kalau dibanding dengan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dan Pekan Kesenian Bali (PKB) yang berlangsung selama sebulan, tampaknya hanya FK yang cuma memerlukan lima hari. Dari waktu peneyelenggaraan saja FK sudah jauh ketinggalan. Belum lagi soal kegiatan yang telah diagendakan.

Pada tahun 2006 saya pernah diundang menghadiri Kongres Dewan Kesenian se Indonesia di Papua. Saat itu bertepatan dengan Festival Kesenian Papua. Saya terharu mendengar tim kesenian datang dari perlosok Papua hanya untuk memeriahkan festival itu. Bahkan ada tim kesenian yang harus berperahu dan mendaki perbukitan dengan waktu tempuh beberapa hari hingga sampai di Kota Jayapura.

Dan jauh lebih meriah dibanding panggung seni yang ditaja FK. Para turis, benar-benar turis bule, amat banyak yang menyaksikan berbagai penampilan kesenian khas Jayapura. Memang pada akhirnya, turis bule sangat menyikai hal-hal yang eksotis. Mereka terpesona dan bahkan “ekstase” melihat hal-hal bersifat eksotis.

Apakah Lampung memiliki hal ini? Saya tak meragukan pasti ada, hanya saja kita tak mau bersusah mencari dan menggali untuk kemudian “menjualnya” di hadapan para turis (wisatawan) bule. Kita kerap terpukau karena hal sepele, sanjungan yang sesungguhnya semu.

Festival Krakatau bukan cuma dibuka dengan menghadirkan sejumlah menteri dan sejumlah duta besar negeri sahabat, bukan pula tari-tarian massal dan memamerkan kepiawaian gajah. Event ini berutang kepada kebudayaan daerah dan para senimannya. Terlalu banyak seniman Lampung yang tidak diminta turut berperan menyukseskan FK.
Kenapa tidak, misalnya, selama FK berlangsung di jalan protokol seperti Kartini dibuat panggung-panggung kecil untuk pertunjukan kesenian. Di beberapa tempat strategis dirikan videofon untuk menayangkan berbagai kesenian khas daerah ini. Lalu berdayakan Taman Budaya Lampung untuk menggelar event seni berskala nasional, mungkin juga regional dan internasional.

Kalau tidak mampu, saran saya potong satu tahun kegiatan. Anggaran yang sudah dimasukkan dalam APBD (APBN juga?) alihkan kepada pembangunan infrastruktur menuju dan dari objek wisata yang ada, selain untuk merenovasi beberapa objek wisata yang kondisinya sudah memalukan.

Karena saya yakin, sejatinya objek-objek wisata di daerah, terutama sekali wisata pantainya, tidak kalah dengan wisata pantai di Bali dan Lombok. Kondisi ini juga diakui oleh sutradara perempuan Nia Dinata. Bahkan ketika saya ke objek wisata Pantai Canti pertengahan Juli lalu, turis dari Perancis dan Jerman mengagumi pantai itu. Dua turis bule itu dengan berani mengkritik Krakatau Nirwana Resor (d.h. Kalianda Resor) sebagai objek wisata buatan yang berdampak tak menarik di samping hal-hal lain yang ada di sana. Kedua turis itu berkali-kali menyatakan kekaguman terhdapat Pantai Canti, apalagi jika dirawat.

Sayangnya kedua turis itu mengaku baru sekali datang ke Lampung dan baru menemui Pantai Canti. Bagaimana kalau dia sempat ke Tanjung Setia dan pantai-pantai lain di Lampung. Tentu akan berteriak, “Ini rumah kedua untuk ditempati (bukan sekadar disinggahi)!” *



*sudah dimuat Harian Radar Lampung, 1 Agustus 2009

Membahanakan FK, Membumikan Budaya

Oleh Isbedy Stiawan ZS


TATKALA rekan Christian Heru Cahyo Saputro menulis “Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya” taklah membuat saya heran. Sejatinya memang wisata adalah (sebagai) kendaraan untuk melestarikan (ke)budaya(an).

Kemudian untuk menggerakkan wisata, tentu banyak cara atau harus ada kegiatan. Maka di Provinsi Lampung ada Festival Krakatau dan sejumlah festival lainnya. Jika di Yogyakarta maka ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), apabila Bali ada Pekan Kebudayaan Bali (PKB) dan seterusnya.

Masalahnya di kedua daerah (provinsi) itu lebih terasa bahananya, lebih jelas visi dan sasarannya. Sedangkan di Lampung, hingga Festival Krakatau (FK) ke 18—artinya sudah lebih 18 tahun karena setahun kalau tak salah pernah absen—belum terdengar bahananya. Lalu bagaimana mungkin akan membumikan (pelestarian) budaya?

Sudah berulang saya menulis soal ini. Mungkin akibatnya banyak yang kurang suka, tapi inilah kenyataannya. Saya kerap kecewa setiap FK digelar. Dimulai dengan pembukaan yang condong sangat seremonial, yakni mengundang para duta besar negara sahabat atau Eropa yang “mungkin” pula diongkosi lalu mengikuti pembukaan dan diajak jalan-jalan ke objek wisata, setelah itu ada tari-tarian di panggung kesenian yang diarsiteki secara megah. Kemudian ditutup dan lalu hilang.

Tahun 2009 ini diklaim FK punya teroboson, karena bisa mengundang 15 duta besar yang diajak ke Tampang Belimbing (Tambling) melalui udara. Amboy, benar-benar “dimanjakan” para dubes tersebut. Sebagaimana foto-foto yang saya saksikan, di Tambling itu para dubes juga “disuguhi” binatang buas.

Kemudian para dubes diajak pesiar ke Gunung Anak Krakatau. Dubes Amerika Serikat diwawancarai wartawan dan menyatakan kekaguman pada keindahan Gunung Anak Krakatau dan mengakui alam Lampung sangat indah dan berpotensi menjadi daerah tujuan wisata. Lantas, menjadi pertanyaan, setelah dubes itu meninggalkan Lampung apakah ada tindaklanjutnya? Ini yang mestinya diburu.

Saya sependapat dengan Christian Heru Cahyo Saputro, tampaknya gelar FK selama ini terkesan hanya seromoni dan rutinitas. Sebuah kegiatan yang tiap tahun diadakan karena sudah dianggarkan dalam APBD provinsi.

Serangkaian kegiatan yang mendukung, seperti Pemilihan Muli Meghanai dan sebagainya hanyalah pundi-pundi hadiah untuk menentukan kabupaten/kota mana yang menjadi juara umum dan berhak membawa pulang piala gubernur.

Sehingga tujuan utama mengikuti berbagai event kesenian yang belum tentu “prestasi” melainkan hanya “prestise”. Dampaknya memang luar biasa, terjadi kecurangan di berbagai bidang kesenian dan salah satunya misalnya pada pemilihan Muli Meghanai 2009.

Sementara itu, pelestarian kebudayaan seperti tidak tersentuh. Apatah lagi mengangkat kesenian yang nyaris ditinggalkan masyarakat setempat. Sebenarya Lampung memiliki banyak kekayaan seni, di antaranya warahan, dadi, ataupun cangget bakha. Apakah hal itu sudah disentuh kemudian dipromosikan di hadapan wisatawan, utamanya para duta besar yang hadir?

Aneh sekali apabila para wisawatan dan 15 duta besar negara sahabat yang hadir hanya disuguhi sambutan-sambutan yang terkesan seremoni. Sementara selama perjalan yang memakan waktu berjam-jam menuju Gunung Anak Krakatau ataupun kembali, tidak ditampilkan kesenian yang khas Lampung.

Padahal, para bule terutama yang menyukai traveling wisata sangat membutuhkan hal-hal yang unik dan eksotis, bukan seperti dilakukan dalam FK XIX yang konon menampilkan musik dangdut. Di sinilah kealpaan panitia FK XIX, sehingga meski sudah ke 18 seakan tak bisa mendulang pundi dari pasar pariwisata.

Saya teringat pada 2008 diundang dalam pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia Papua. Saat itu bertepatan Festival Kebudayaan Papua. Sungguh, saya benar-benar disguhi aroma eksotis masayarakat pedalaman. Dan, seperti saya ketahui kemudian, mereka mendatangi festival itu hanya untuk menampilkan keseniannya harus berhari-hari di dalam perjalanan, karena ditempuh melalui laut, sungai, dan pegunungan.

Dalam helat festival di Papua, ternyata tidak disiapkan piala karena memang dalam kesenian sejatinya tidak bisa dinilai secara matematis. Tetapi, mengapa masyarakat (seni) pedalaman Papua rela menempuh perjalanan berhari-hari? Dan para seniman pedalaman Papua itu saat tampil tidak mengecewakan.

Begitu pula tatkala Pekan Budaya Bali yang benar-benar berlangsung selama sepekan, ternyata juga diikuti para seniman tradisi dari berbagai pelosok desa. Hal sama ketika Festival Kesenian Yogyakarta digelar, selama sepekan berbagai kegiatan seni, baik tradisi hingga muasir, dipertontonkan.

Hal inilah yang tampaknya kurang tergarap. Panitia FK XIX hanya terfokus pada seremoni pembukaan, penutupan, Lampung Expo—meski digelar oleh lembaga lain—serta tur Gunung Anak Krakatau. Setelah itu tanpa evaluasi, misalnya berapa jumlah hunian hotel-hotel di Bandarlampung selama FK digelar? Begitu pula dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya para pengrajin khas Lampung?

Sangat disayangkan, justru konon para duta besar diberi kenang-kenangan. Bukan sebaliknya, biarkan mereka amencari oleh-oleh khas Lampung sehingga terasa dampaknya bagi masyarakat. Maka belajarlah sungguh-sungguh dari event-event serupa di daerah lain, bukan cuma jalan-jalan…



*) sudah dimuat Harian Lampung Post, Jumat, 31 Juli 2009

Dari Batuserampok hingga Sumurputri

Kado HUT ke 327 Kota Bandarlampung


Oleh Isbedy Stiawan ZS


KOTA Bandarlampung merayakan hari jadi pada Rabu (17/6) lalu, sebuah kota yang tempo ‘doeloe’ pernah beribukota Telokbetong, lalu Kotamadya Tandjungkarang-Telukbetung atau populer dengan nama Kota Kembar dan Kota Tante (Tanjungkarang-Telukbetung). Terakhir, sejak menjadi Kotamadya Bandar Lampung, dua kota tertua itu pun luluh di dalamnya.

Kota Bandarlampung tak lagi meliputi hanya Tanjungkarang-Telukbetung, melainkan hingga Panjang, Sukarame, Kemiling, Labuhanratu, dan lain-lain akibat pemekaran wilayah. Itulah mengapa, akhirnya masyarakat lebih suka menyebut, “Saya orang Bandarlampung” tatkala ditanya “Lampungnya di mana?”

Pada saat kota yang dipimpin Eddy Sutrisno dan Kherlani ini memasuki lebih dua belas hari berusia 327 tahun, tak ada salahnya sekadar mengenang tentang kota ini masa lampau.

Sejatinya kota ini pernah memiliki banyak aset, terutama bangunan-bangunan bersejarah dan tua yang tergolong unik dan khas, seperti Bengkel Hoffman, Gedung Bengkok (Kantor CPM) di depan Plaza Bambukuning, Gedung Dasaad di depan Masjid Taqwa Jalan Kotaraja, serta masih banyak lagi.

Kemudian, konon—ini perlu penelitian—di bawah Kota Bandarlampung ini ada terowongan yang telah ditemukan di dekat Hotel Hartono atau Hutan Monyet dan di halaman SMAN 2 Bandarlampung. Kabarnya, terowongan dari Hutan Moyet menembus di SMAN 2 itu.

Kota Bandarlampung pada usia 327 tahun telah berubah wajah. Tidak lagi dipenuhi pepohonan, bahkan di dekat Kantor Walikota yang dahulunya banyak ditumbuhi hutan bambu dan sebuah sungai kecil yang airnya jernih di bagian Jalan Dionegoro, kini pun sudah tiada lantaran pemekaran lahan kantor pemkot itu.

Ada banyak perubahan, tapi banyak pula penggerusan. Itulah risiko dari pembangunan. Ada banyak tercipta rumah toko (ruko) dan pasar modern, tapi kian mempersempit ruang terbuka hijau (taman, alun-alun). Kian bertambah kemajuan, tetapi masih banyak kawasan kumuh. Kota diperbarui, wajah kota dipercantik, namun itu tak diimbangi dengan membaiknya drainase, jalan, bantaran sungai yang dibiarkan menyempit, serta perbukitan sebagai penyerap air habis-habisan digerus.

Begitulah tatkala kota hendak menjadi metropolis. Ada risiko yang mesti dkorbankan, meski seharusnya jika memiliki rencana tata ruang kota yang baik hal itu tak akan pernah terjadi. Hal sama, pemkot juga mestinya berani membuat program yang ‘mengembalikan’ aset-aset yang pernah ada, dan dikenal oleh banyak masyarakat.

Misalnya Batuserampok, persis berada di dekat jalan layang PT Batubara Bukit Asam Srengsem. Kawasan itu, karena hendak membetangkan rel kereta api, mesti dihancurkan. Padahal, siapa tak mengenal Batuserampok? Novelis Motinggo Busye, ‘anak Padang’ kelahiran Telukbetung, telah mengabadikan Batuserampok dalam karya novelnya, hal sama beberapa penyair yang menulisnya dalam puisi agar tak hilang dalam ingatan (kenangan).

Terakhir, sebuah kapal akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883 hingga terdampar di kawasan Sumur Putri. Sayang, pemerintah saat itu, tak berpikir kalau kapal itu akan memiliki sejarah dan bisa dijadikan aset pariwisata. Sebagaimana aset-aset berupa banguan bersejarah lainnya yang punah di kota ini, kapal itu pun tak tersisa lagi karena besi-besinya digeroogoti warga.

Sebab itu, di saat kota ini berulang tahun ke 327, marilah merenung ulang tentang aset-aset bersejarah dan memiliki keyakaan wisata yang ada di kota ini. Tidaklah ada kata terlambat, jika saja pemerintah punya keinginan dan masyarakat mengharapkan.

Kalau tak salah informasi, pemkot juga berencana melakukan penelitian terowongan di dekat Hutan Monyet dan SMAN 2 Bandarlampung. Selain itu, ingin membuat reflik Batuserampok dan reflik kapal di Sumurputri. Selain, untuk wisata hewan, kenapa tidak diberdayakan Hutan Monyet dekat Hotel Hartono itu?

Kalau Pemprov Sumatera Barat berani menciptakan jembatan Siti Nurbaya, yang jelas-jelas tokoh ini hanyalah rekaan Marah Rusli, kenapa tidak Pemkot Bandarlampung bisa membangun reflik Batuserampok dan kapal: keduanya jelas-jelas bukan fiktif.

Kota Penyangga
Ketika bergulir wacana Natar dijadikan kota baru untuk ‘menampung’ kesumpekan Kota Bandarlampung, banyak pengamat yang menerima positif.

Gagasan yang dilontarkan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memang layak disambut, mengingat Bandarlampung sudah sangat padat, sementara tata ruang kota tidak ‘karuwan’—jika tak ingin dikatakan tidak ada. Kota baru Natar direncanakan untuk pusat perkantoran Pemprov Lampung.

Tetapi, pendapat yang bergulir menyambut gagasan Sjachroedin, saya amati hanya persoalan ‘ansich’ kota baru demi meminimalisir kepadatan (dan kesumpekan) Bandarlampung. Padahal, saya kira, ada hal terpenting dari ‘membedol’ kota baru Natar tersebut. Saya istilahkan Natar sebagai ‘kota penyangga’ bagi Kota Bandarlampung.

Alasannya, saya bercermin pada DKI Jakarta. Bagaimana Pemda DKI Jakarta demi meminimalisir sekaligus tetap ingin mengeksistensikan daerah Jakarta itu, dirangkullah wilayah di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sehingga ketiga wilayah ini secara emosional menyatu dengan jakarta, namun dari administrasi atau pemerintahan tetap berbeda.

Inilah yang semestinya dikancah sekiranya kota baru Natar tersebut terealisasi. Para pakar perkotaan, lingkungan, sosial, budaya, dan lain-lain duduk bersama-sama mengancahnya. Sehingga kota baru Natar, nantinya, bukan sebagai kota yang sekadar untuk mengalihkan kepadatan (kesumpekan) di Bandarlampung. Kota Natar hendaknya dijadikan ‘penyangga’ Bandarlampung yang saling menguntungkan.

Bahkan, bukan cuma Natar. Bandarlampung harus pula ‘merangkul’ wilayah sekitar lain, misalnya Gedungtataan/Gadingrejo, Tanjungbintang, Panjang, dan Padangcermin. Dengan demikian, kota Bandarlampung tak terdesak oleh kepadatan moda dan manusia. Salam.*


*udah dimuat Harian Radar Lampung