30 November 2009

Sastra, Bangsa, dan Kemanusiaan

**Catatan dari PPN 3 di Malaysia



Oleh Isbedy Stiawan ZS


Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke 3 yang ditaja Persatuan Penulis Nasional (Pena) Malayssia berlangsung di Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur, 20-22 November 2009. Diikuti para penyair dan akademisi dari Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Thailand menampilkan sejumlah kertas kerja serta pembacaan puisi di dua tempat: Menara Kualumpur dan Rumah Pena.

PPN 3 menyorong tema “Puisi Suara Kemanusiaan” dengan pembicara kunci (ucap utama) sastrawan negara Prof Dr Muhammad Haji Salleh yang tampil pada jam dan hari pertama. Tidak salah memang jika panitia memilih sastrawan negara ini untuk tampil sebagai pembicara kunci dalam perhelatan sastrawan Nusantara kali ini.

Ada yang menarik dan perlu kita cemrati bersama dari pernyataan Muhammad Haji Salleh. Dia menegaskan bahwa bangsa yang besar tidak mengabaikan sastra. Bahkan, dia melanjutkan, bangsa yang besar selalu menghargai karya sastra (dan sastrawannya). Dia menunjukkan contoh beberapa negara besar yang peduli terhadap kehidupan sastra, di antaranya Inggris, Uni Soviet (kini Rusia), Amerika, dan jazirah Arab, juga Jepang.

Hal ini pula yang tengah dirintis oleh Malaysia. Di negeri jiran itu, betapa sastra menjadi “kesayangan” negara. Penghargaan yang diberikan negara terhadap sastra terbukti dari mudahnya penerbitakan karya-karya sastra melalui Dewann Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia. DBP juga menerbitkan sejumlah majalah sastra dan budaya, bahkan bagi sastrawan muda dan pembaca sastra kalangan remaja ada majalah tersendiri.

Malaysia juga menghargai para sastrawannya dengan anugerah “Sastrawan Negara” di mana mereka mendapat tanggungan dari pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Meski secara realitas, sastrawan Malaysia maish jauh keberhasilannya dibanding dengan sastrawan Indonesia. Tetapi setidaknya, dengan bebragai failitas penghargaan yang diterima sastrawan dari negara, semakin memacu mereka untuk sejajar dengan sastrawan tetangga lain.

Muhammad Haji Salleh juga menyarankan agar sastrawan mampu mengolah imajinasi dan tema secara seirus. Menurut dia, puisi bukan hanya barisan kata. Tetapi, dengan kata lain, bagaimana penyair mampu mengolah bahasa yang ada menjadi kalimat yang memiliki kekuatan puitik, metafora, dan gagasan besar bagi kemanusiaan. Tentang ini saya teringan dengan pernyataan penyair peraih Nobel Pazz, puisi adalah suara (lain) kemanusiaan. Artinya, puisi tak sekadar mengangkat realitas, melainkan menuangkan yang ada di balik realitas tersebut.

Sebab, kalau boleh saya mendedah apa yang diinginkan sastrawan negara Muhammad Haji Salleh, sastra yang baik dan besar pula akan menyurakan kemanusiaan. Suara kemanusiaan yang menjadi sasaran karya sastra. Dengan demikian, bangsa besar menghargai karya sastra (besar pula). Sehingga sejalan dengan tema yang diusung PPN 3 yakni penyair (sebagai) juru bicara kemanusiaan.

Pemikiran ini diperkuat sekretaris umumPena sekaligus ketua pelaksana PPN 3 Syed Mohd. Zakir Syed Othman (SM Zakir) bahwan pertemuan ini untuk menegaskan posisi penyair sebagai juru bicara kemanusiaan. Sebab, kata dia, penyair bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan juga mampu menangkap dan menguraikan berbagai macam fenomena tersembunyi dari suatu kejadian tanpa ragu dan takut dengan berpegang teguh pada kebenaran.

Dan, “kebenaran” inilah yang menjadi dasar atau aras bagi seorang sastrawan dalam memotret fenomena kemanusian untuk dituangkan dalam karya sastra, tatkala “kebenaran” barangkali mulai dilupakan banyak orang dalam ranah lain. Artrinya, ketika banyak orang takut mengemukakan kebenaran, saat itulah—seharusnya—sastrawan tampil di muka mengatakan kebenaran di antara kelimunan ketimpangan dan ketakjujuruan. Atau, meminjam Seno Guminira Ajidarma, ketika pers dibungkam maka sastra yang bicara.

Memanglah pada kenyataan belakangan ini, para penyair Malaysia mulai “berani” menulis kebenaran di dalam karya-karya puisinya. Meski yang dilakukan para sastrawan Malaysia jauh terlambat dibanding apa yang telah dilakukan sastrawan Indonesia, misalnya melalui karya-karya Rendra, Emha Ainun Nadjib, Remy Silado, Yudhistira ANM Massardi, Wiji Thukul, Acep Zamzam Norr, F. Rahardi, Putu Wijaya, N. Riantiarno dll. Setidakbya, aura reformasi juga mulai berhembus ke sastrawan Malaysia yang selama ini kita tahu hanya membicarakan persoaoan alam, individu, dan seterusnya.

Bahkan, ini yang menarik, pengolahan tatanan puisi pun mulai terasa maju. Bahasa melayu yang kita ketahui sangat terbatas dan kaku—berbeda dengan bahasa Indonesia yang memiliki padanan dan banyak memiliki metaforma—mulai diterobos oleh sastrawan di sana. Salah satunya, yang banyak mendapat pujian pula, tatkala salah satu penyair muda Malaysia tampil pada malam pembukaan, puisinya sangat berbeda dengan tradisi pepruisiaan di sana. Ia berani menerobos imajinasi yang telkah menjadi mainstrem para penyair di sana, sehingga terjadi lompatan di sana.

Di sinilah tampaknya peran penyuir di tengah era globalisasi semacam ini, haruslah berani dan bertanggung jawab untuk melakukan lompatan sekaligus keluar drai tradisi yang mungkin sudah terbina selama ini. Barangkali ini pula yang dimaui Prof Dr Muhammad Haji Salleh, sastrawan negara Malaysia saat mmebentangkan kertas kerja dalam sesi pembicara kunci di awal acara.

PPN 3 menhghasilkan sejumlah rumusan yang ditandatangani oleh para wakil dari maisng-masing negara peserta. Dari Indonesia diwakili Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), dan Vidy AD Daery (Jatim). Tim perumus juga tekah menyepakati PPN 4 akan berlangsung di Brunei Darussalam pada 2010. Keempat waklil Indonesia sekaligus menjadi koordintaor masing-masing wilkayah/zona kepenyairan yang akan ditentukan kemudian.

Sementara itu, pembicara lain dalam PPN 3 itu adalah Dato’ Dr Ahmad Kamal (lebih dikenal sebagai sastrawan Kemala), Jasri Matani (Malaysia), Acep Zamzam Noer , Ahmadun Yosi Herfanda (Indonesia), Noridah Kamari/Sharifah Khadijah (Singapura), Zefri Ariff (Brunei) dll.

Klaim Budaya
Meski masalah klaim budaya milik Indonesia oleh Malaysia tidak menjadi perbincangan dalam diskusi, namun sempat pula mengemuka pada saat pembacan puisi di Rumah Pena. Salah satu penyair terkumka Malysia sempat menyinggung kemarahan Indonesia atas Malaysia yang ditengarai mengklaim kebudayaan Indoensia.

Menurut dia, bangsa Malaysia mayoritas adalah Indo atau migrasi dari Indonesia: Minang, Jawa, Aceh, Kalimantan, Bugis, ataupun Bali. Jadi, tak heran pula jika kebudayaan leluhur itu ikut terbawa ke tanah yang baru bernama Malaysia. Sebab, kata dia lagi, setiap pendatang di sini akan membawa “kampung halaman leluhur” untuk dikekalkan, setudakinya di dalam diri masing-masing. “Jadi sangat kami sesalkan jika saundara-saudara kami di Indonesia emosi dengan mengacung bambu runcing untuk menunuh saudaranya sendiri, karena dianggap telah mencuri Pendet,” katanya yang mendapat sambutan peserta.

Pada akhirnya kita memang mesti berpikir ulang secara jernih dan tidak dibebani oleh kemarahan, jika menyoal “pencurian” kebudayaan. Tetapi, kita boleh tak bersetuju dan menentang apabila satu persatu pulau milik Indonesia diserobot, baik oleh Malaysia mapun Singapura. Artiunya, soal wilayah, kita boleh berseberangan atau steru! Tabik.*


**) sudah dimuat Surat Kabar Harian Radar Lampung, Senin 30 November 2009

02 Agustus 2009

Mencari Format Menjual Wisata

Catatan buat Festival Krakatau XIX


Oleh Isbedy Stiawan ZS



Empat hari bukan waktu yang cukup untuk menghelat sebuah event sebesar Festival Krakatau dengan anggaran yang juga besar. Selain itu dukungan—“promotor”—cukup banyak, baik pemerintah maupun pihak swasta. Tetapi sudah Festival Krakatau XIX, tetap kurang gereget bahkan terkesan monoton.

Kritik pedas malah dari “orang dalam” seperti Ir Citra Persada. Ia menyarankan Festival Krakatau (FK) diformat ulang, baik dalam hal program yang bakal ditampilkan termasuk pula kemasan yang hendak disajikan. Citra menunjuk bahwa bule tak suka duduk berdiam-dagu sambil mendengar sambutan dalam bentuk seremonial.

Saya setuju dengan pandangan Citra Persada. Betapa seakan apa yang dilakukan Pemperintah Provinsi Lampung dalam event FK selama ini suatu pekerjaan “mubazir”, artinya hanya menjalankan agenda yang memang sudah dianggarkan tiap tahunnya.

Tetapi “tujuan” dari FK yakni menarik kesukaan wisatawan ke Lampung masih kecil, memberdayakan potensi seniman di daerah ini belum bisa dibanggakan, kemudian dampak dari FK bagi perajin khas daerah ini sungguh belum terasa padahal berbagai hasil kerajinan amat banyak yang bisa dijual kepada para turis bule tersebut.

Selain itu, keberadaan kesenian tradisional yang mulai dilupakan sehingga perlu dilestarikan seakan terabaikan. Barangkali kita tak pernah mau berpikir, sepuluh tahun mendatang kesenian Lampung bernama dadi, reringget, wawancan, ataupun warahan bakal punah apabila tidak ada kesadaran untuk melestarikan melalui sosialisasi kepada generasi muda.

Seharusnya agar kesenian-kesenian tradisional seperti itu terus dihidupkan agar disenangi oleh yang lebih muda. Caranya tentu melalui berbagai penampilan. Diangkat dalam bermacam event, berulang, dan tak kenal lelah.

Ini baru hal kesenian tradisional yang ada. Apatahlagi kesenian muasir (modern) yang kerap malah kurang dipedulikan, apakah mati atau hidup dengan cara pembiaran. Sehingga event FK hanya bersifat seremoni. Penampilan tari massal pada saat pembukaan ataupun dalam punggung kesenian yang diadakan selama FK. Kemudian pemilihan Muli Meghanai yang jelas “dimanfaatkan” untuk apa setelah itu. Kemudian tur ke Gunung Anak Krakatau yang tanpa meninggalkan kesan selama perjalanan di atas kapal.

Jangan-jangan masyarakat Lampung akhirnya lupa dengan fungsi dan tujuan dilaksanakan FK. Boleh jadi malah sebagian masyarakat Lampung tidak mengetahui ada perhelatan FK. Coba sesekali ke sejumlah hotel dan penginapan di Bandarlampung selama FK, apakah ada peningkatan bagi hunian kamar? Semua ini harus dihitung. Karena, bukan rahasia, sekiranya para pengusaha hotel ikut membantu sehingga wajar kalau mereka ingin memeroleh sesuatu dari FK.

Kalau dibanding dengan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dan Pekan Kesenian Bali (PKB) yang berlangsung selama sebulan, tampaknya hanya FK yang cuma memerlukan lima hari. Dari waktu peneyelenggaraan saja FK sudah jauh ketinggalan. Belum lagi soal kegiatan yang telah diagendakan.

Pada tahun 2006 saya pernah diundang menghadiri Kongres Dewan Kesenian se Indonesia di Papua. Saat itu bertepatan dengan Festival Kesenian Papua. Saya terharu mendengar tim kesenian datang dari perlosok Papua hanya untuk memeriahkan festival itu. Bahkan ada tim kesenian yang harus berperahu dan mendaki perbukitan dengan waktu tempuh beberapa hari hingga sampai di Kota Jayapura.

Dan jauh lebih meriah dibanding panggung seni yang ditaja FK. Para turis, benar-benar turis bule, amat banyak yang menyaksikan berbagai penampilan kesenian khas Jayapura. Memang pada akhirnya, turis bule sangat menyikai hal-hal yang eksotis. Mereka terpesona dan bahkan “ekstase” melihat hal-hal bersifat eksotis.

Apakah Lampung memiliki hal ini? Saya tak meragukan pasti ada, hanya saja kita tak mau bersusah mencari dan menggali untuk kemudian “menjualnya” di hadapan para turis (wisatawan) bule. Kita kerap terpukau karena hal sepele, sanjungan yang sesungguhnya semu.

Festival Krakatau bukan cuma dibuka dengan menghadirkan sejumlah menteri dan sejumlah duta besar negeri sahabat, bukan pula tari-tarian massal dan memamerkan kepiawaian gajah. Event ini berutang kepada kebudayaan daerah dan para senimannya. Terlalu banyak seniman Lampung yang tidak diminta turut berperan menyukseskan FK.
Kenapa tidak, misalnya, selama FK berlangsung di jalan protokol seperti Kartini dibuat panggung-panggung kecil untuk pertunjukan kesenian. Di beberapa tempat strategis dirikan videofon untuk menayangkan berbagai kesenian khas daerah ini. Lalu berdayakan Taman Budaya Lampung untuk menggelar event seni berskala nasional, mungkin juga regional dan internasional.

Kalau tidak mampu, saran saya potong satu tahun kegiatan. Anggaran yang sudah dimasukkan dalam APBD (APBN juga?) alihkan kepada pembangunan infrastruktur menuju dan dari objek wisata yang ada, selain untuk merenovasi beberapa objek wisata yang kondisinya sudah memalukan.

Karena saya yakin, sejatinya objek-objek wisata di daerah, terutama sekali wisata pantainya, tidak kalah dengan wisata pantai di Bali dan Lombok. Kondisi ini juga diakui oleh sutradara perempuan Nia Dinata. Bahkan ketika saya ke objek wisata Pantai Canti pertengahan Juli lalu, turis dari Perancis dan Jerman mengagumi pantai itu. Dua turis bule itu dengan berani mengkritik Krakatau Nirwana Resor (d.h. Kalianda Resor) sebagai objek wisata buatan yang berdampak tak menarik di samping hal-hal lain yang ada di sana. Kedua turis itu berkali-kali menyatakan kekaguman terhdapat Pantai Canti, apalagi jika dirawat.

Sayangnya kedua turis itu mengaku baru sekali datang ke Lampung dan baru menemui Pantai Canti. Bagaimana kalau dia sempat ke Tanjung Setia dan pantai-pantai lain di Lampung. Tentu akan berteriak, “Ini rumah kedua untuk ditempati (bukan sekadar disinggahi)!” *



*sudah dimuat Harian Radar Lampung, 1 Agustus 2009

Membahanakan FK, Membumikan Budaya

Oleh Isbedy Stiawan ZS


TATKALA rekan Christian Heru Cahyo Saputro menulis “Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya” taklah membuat saya heran. Sejatinya memang wisata adalah (sebagai) kendaraan untuk melestarikan (ke)budaya(an).

Kemudian untuk menggerakkan wisata, tentu banyak cara atau harus ada kegiatan. Maka di Provinsi Lampung ada Festival Krakatau dan sejumlah festival lainnya. Jika di Yogyakarta maka ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), apabila Bali ada Pekan Kebudayaan Bali (PKB) dan seterusnya.

Masalahnya di kedua daerah (provinsi) itu lebih terasa bahananya, lebih jelas visi dan sasarannya. Sedangkan di Lampung, hingga Festival Krakatau (FK) ke 18—artinya sudah lebih 18 tahun karena setahun kalau tak salah pernah absen—belum terdengar bahananya. Lalu bagaimana mungkin akan membumikan (pelestarian) budaya?

Sudah berulang saya menulis soal ini. Mungkin akibatnya banyak yang kurang suka, tapi inilah kenyataannya. Saya kerap kecewa setiap FK digelar. Dimulai dengan pembukaan yang condong sangat seremonial, yakni mengundang para duta besar negara sahabat atau Eropa yang “mungkin” pula diongkosi lalu mengikuti pembukaan dan diajak jalan-jalan ke objek wisata, setelah itu ada tari-tarian di panggung kesenian yang diarsiteki secara megah. Kemudian ditutup dan lalu hilang.

Tahun 2009 ini diklaim FK punya teroboson, karena bisa mengundang 15 duta besar yang diajak ke Tampang Belimbing (Tambling) melalui udara. Amboy, benar-benar “dimanjakan” para dubes tersebut. Sebagaimana foto-foto yang saya saksikan, di Tambling itu para dubes juga “disuguhi” binatang buas.

Kemudian para dubes diajak pesiar ke Gunung Anak Krakatau. Dubes Amerika Serikat diwawancarai wartawan dan menyatakan kekaguman pada keindahan Gunung Anak Krakatau dan mengakui alam Lampung sangat indah dan berpotensi menjadi daerah tujuan wisata. Lantas, menjadi pertanyaan, setelah dubes itu meninggalkan Lampung apakah ada tindaklanjutnya? Ini yang mestinya diburu.

Saya sependapat dengan Christian Heru Cahyo Saputro, tampaknya gelar FK selama ini terkesan hanya seromoni dan rutinitas. Sebuah kegiatan yang tiap tahun diadakan karena sudah dianggarkan dalam APBD provinsi.

Serangkaian kegiatan yang mendukung, seperti Pemilihan Muli Meghanai dan sebagainya hanyalah pundi-pundi hadiah untuk menentukan kabupaten/kota mana yang menjadi juara umum dan berhak membawa pulang piala gubernur.

Sehingga tujuan utama mengikuti berbagai event kesenian yang belum tentu “prestasi” melainkan hanya “prestise”. Dampaknya memang luar biasa, terjadi kecurangan di berbagai bidang kesenian dan salah satunya misalnya pada pemilihan Muli Meghanai 2009.

Sementara itu, pelestarian kebudayaan seperti tidak tersentuh. Apatah lagi mengangkat kesenian yang nyaris ditinggalkan masyarakat setempat. Sebenarya Lampung memiliki banyak kekayaan seni, di antaranya warahan, dadi, ataupun cangget bakha. Apakah hal itu sudah disentuh kemudian dipromosikan di hadapan wisatawan, utamanya para duta besar yang hadir?

Aneh sekali apabila para wisawatan dan 15 duta besar negara sahabat yang hadir hanya disuguhi sambutan-sambutan yang terkesan seremoni. Sementara selama perjalan yang memakan waktu berjam-jam menuju Gunung Anak Krakatau ataupun kembali, tidak ditampilkan kesenian yang khas Lampung.

Padahal, para bule terutama yang menyukai traveling wisata sangat membutuhkan hal-hal yang unik dan eksotis, bukan seperti dilakukan dalam FK XIX yang konon menampilkan musik dangdut. Di sinilah kealpaan panitia FK XIX, sehingga meski sudah ke 18 seakan tak bisa mendulang pundi dari pasar pariwisata.

Saya teringat pada 2008 diundang dalam pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia Papua. Saat itu bertepatan Festival Kebudayaan Papua. Sungguh, saya benar-benar disguhi aroma eksotis masayarakat pedalaman. Dan, seperti saya ketahui kemudian, mereka mendatangi festival itu hanya untuk menampilkan keseniannya harus berhari-hari di dalam perjalanan, karena ditempuh melalui laut, sungai, dan pegunungan.

Dalam helat festival di Papua, ternyata tidak disiapkan piala karena memang dalam kesenian sejatinya tidak bisa dinilai secara matematis. Tetapi, mengapa masyarakat (seni) pedalaman Papua rela menempuh perjalanan berhari-hari? Dan para seniman pedalaman Papua itu saat tampil tidak mengecewakan.

Begitu pula tatkala Pekan Budaya Bali yang benar-benar berlangsung selama sepekan, ternyata juga diikuti para seniman tradisi dari berbagai pelosok desa. Hal sama ketika Festival Kesenian Yogyakarta digelar, selama sepekan berbagai kegiatan seni, baik tradisi hingga muasir, dipertontonkan.

Hal inilah yang tampaknya kurang tergarap. Panitia FK XIX hanya terfokus pada seremoni pembukaan, penutupan, Lampung Expo—meski digelar oleh lembaga lain—serta tur Gunung Anak Krakatau. Setelah itu tanpa evaluasi, misalnya berapa jumlah hunian hotel-hotel di Bandarlampung selama FK digelar? Begitu pula dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya para pengrajin khas Lampung?

Sangat disayangkan, justru konon para duta besar diberi kenang-kenangan. Bukan sebaliknya, biarkan mereka amencari oleh-oleh khas Lampung sehingga terasa dampaknya bagi masyarakat. Maka belajarlah sungguh-sungguh dari event-event serupa di daerah lain, bukan cuma jalan-jalan…



*) sudah dimuat Harian Lampung Post, Jumat, 31 Juli 2009

Dari Batuserampok hingga Sumurputri

Kado HUT ke 327 Kota Bandarlampung


Oleh Isbedy Stiawan ZS


KOTA Bandarlampung merayakan hari jadi pada Rabu (17/6) lalu, sebuah kota yang tempo ‘doeloe’ pernah beribukota Telokbetong, lalu Kotamadya Tandjungkarang-Telukbetung atau populer dengan nama Kota Kembar dan Kota Tante (Tanjungkarang-Telukbetung). Terakhir, sejak menjadi Kotamadya Bandar Lampung, dua kota tertua itu pun luluh di dalamnya.

Kota Bandarlampung tak lagi meliputi hanya Tanjungkarang-Telukbetung, melainkan hingga Panjang, Sukarame, Kemiling, Labuhanratu, dan lain-lain akibat pemekaran wilayah. Itulah mengapa, akhirnya masyarakat lebih suka menyebut, “Saya orang Bandarlampung” tatkala ditanya “Lampungnya di mana?”

Pada saat kota yang dipimpin Eddy Sutrisno dan Kherlani ini memasuki lebih dua belas hari berusia 327 tahun, tak ada salahnya sekadar mengenang tentang kota ini masa lampau.

Sejatinya kota ini pernah memiliki banyak aset, terutama bangunan-bangunan bersejarah dan tua yang tergolong unik dan khas, seperti Bengkel Hoffman, Gedung Bengkok (Kantor CPM) di depan Plaza Bambukuning, Gedung Dasaad di depan Masjid Taqwa Jalan Kotaraja, serta masih banyak lagi.

Kemudian, konon—ini perlu penelitian—di bawah Kota Bandarlampung ini ada terowongan yang telah ditemukan di dekat Hotel Hartono atau Hutan Monyet dan di halaman SMAN 2 Bandarlampung. Kabarnya, terowongan dari Hutan Moyet menembus di SMAN 2 itu.

Kota Bandarlampung pada usia 327 tahun telah berubah wajah. Tidak lagi dipenuhi pepohonan, bahkan di dekat Kantor Walikota yang dahulunya banyak ditumbuhi hutan bambu dan sebuah sungai kecil yang airnya jernih di bagian Jalan Dionegoro, kini pun sudah tiada lantaran pemekaran lahan kantor pemkot itu.

Ada banyak perubahan, tapi banyak pula penggerusan. Itulah risiko dari pembangunan. Ada banyak tercipta rumah toko (ruko) dan pasar modern, tapi kian mempersempit ruang terbuka hijau (taman, alun-alun). Kian bertambah kemajuan, tetapi masih banyak kawasan kumuh. Kota diperbarui, wajah kota dipercantik, namun itu tak diimbangi dengan membaiknya drainase, jalan, bantaran sungai yang dibiarkan menyempit, serta perbukitan sebagai penyerap air habis-habisan digerus.

Begitulah tatkala kota hendak menjadi metropolis. Ada risiko yang mesti dkorbankan, meski seharusnya jika memiliki rencana tata ruang kota yang baik hal itu tak akan pernah terjadi. Hal sama, pemkot juga mestinya berani membuat program yang ‘mengembalikan’ aset-aset yang pernah ada, dan dikenal oleh banyak masyarakat.

Misalnya Batuserampok, persis berada di dekat jalan layang PT Batubara Bukit Asam Srengsem. Kawasan itu, karena hendak membetangkan rel kereta api, mesti dihancurkan. Padahal, siapa tak mengenal Batuserampok? Novelis Motinggo Busye, ‘anak Padang’ kelahiran Telukbetung, telah mengabadikan Batuserampok dalam karya novelnya, hal sama beberapa penyair yang menulisnya dalam puisi agar tak hilang dalam ingatan (kenangan).

Terakhir, sebuah kapal akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883 hingga terdampar di kawasan Sumur Putri. Sayang, pemerintah saat itu, tak berpikir kalau kapal itu akan memiliki sejarah dan bisa dijadikan aset pariwisata. Sebagaimana aset-aset berupa banguan bersejarah lainnya yang punah di kota ini, kapal itu pun tak tersisa lagi karena besi-besinya digeroogoti warga.

Sebab itu, di saat kota ini berulang tahun ke 327, marilah merenung ulang tentang aset-aset bersejarah dan memiliki keyakaan wisata yang ada di kota ini. Tidaklah ada kata terlambat, jika saja pemerintah punya keinginan dan masyarakat mengharapkan.

Kalau tak salah informasi, pemkot juga berencana melakukan penelitian terowongan di dekat Hutan Monyet dan SMAN 2 Bandarlampung. Selain itu, ingin membuat reflik Batuserampok dan reflik kapal di Sumurputri. Selain, untuk wisata hewan, kenapa tidak diberdayakan Hutan Monyet dekat Hotel Hartono itu?

Kalau Pemprov Sumatera Barat berani menciptakan jembatan Siti Nurbaya, yang jelas-jelas tokoh ini hanyalah rekaan Marah Rusli, kenapa tidak Pemkot Bandarlampung bisa membangun reflik Batuserampok dan kapal: keduanya jelas-jelas bukan fiktif.

Kota Penyangga
Ketika bergulir wacana Natar dijadikan kota baru untuk ‘menampung’ kesumpekan Kota Bandarlampung, banyak pengamat yang menerima positif.

Gagasan yang dilontarkan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memang layak disambut, mengingat Bandarlampung sudah sangat padat, sementara tata ruang kota tidak ‘karuwan’—jika tak ingin dikatakan tidak ada. Kota baru Natar direncanakan untuk pusat perkantoran Pemprov Lampung.

Tetapi, pendapat yang bergulir menyambut gagasan Sjachroedin, saya amati hanya persoalan ‘ansich’ kota baru demi meminimalisir kepadatan (dan kesumpekan) Bandarlampung. Padahal, saya kira, ada hal terpenting dari ‘membedol’ kota baru Natar tersebut. Saya istilahkan Natar sebagai ‘kota penyangga’ bagi Kota Bandarlampung.

Alasannya, saya bercermin pada DKI Jakarta. Bagaimana Pemda DKI Jakarta demi meminimalisir sekaligus tetap ingin mengeksistensikan daerah Jakarta itu, dirangkullah wilayah di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sehingga ketiga wilayah ini secara emosional menyatu dengan jakarta, namun dari administrasi atau pemerintahan tetap berbeda.

Inilah yang semestinya dikancah sekiranya kota baru Natar tersebut terealisasi. Para pakar perkotaan, lingkungan, sosial, budaya, dan lain-lain duduk bersama-sama mengancahnya. Sehingga kota baru Natar, nantinya, bukan sebagai kota yang sekadar untuk mengalihkan kepadatan (kesumpekan) di Bandarlampung. Kota Natar hendaknya dijadikan ‘penyangga’ Bandarlampung yang saling menguntungkan.

Bahkan, bukan cuma Natar. Bandarlampung harus pula ‘merangkul’ wilayah sekitar lain, misalnya Gedungtataan/Gadingrejo, Tanjungbintang, Panjang, dan Padangcermin. Dengan demikian, kota Bandarlampung tak terdesak oleh kepadatan moda dan manusia. Salam.*


*udah dimuat Harian Radar Lampung

15 Juli 2009

Puisi Isbedy Stiawan ZS

berteman

mentari tak akan pernah menyapaku
sebab pagi berlalu selagi aku masih lelap
setiba fajar tadi, seusai subuh yang membuluh
dan aku akan beranjak begitu di ubunku dihujani matahari
atau mendung yang menggantung di ujung rambut putihku...

aku pun bergegas, mengumpulkan sisa rempah
yang ditinggal ayam atau cacing
entah ke mana, apa pula
hingga malam lagi, dini hari

"tuhan, jadikan aku berteman dengan matahari," bisikku

*

aku selalu merindu matahari, seperti tanah merindukan pohon
seperti pohon akan selalu berharap hujan
atau pantai yang kangen pada ombak
tapi apakah peduli mentari, kala aku tak dulu menyapa

adakah sinar akan kubaca jika retinaku katup
apakah kulihat kelebat sekikarnya aku terpejam
bahkan tak pernah ada debar
sekiranya aku tak fahami denyutnya

sebagaimana tak kuakrabi jantungku
pabila di sana sesungguhnya ada rindu...


2009





fajar lain

seperti pucuk daun,
malam terkulai dan embun membelai
mungki sudah lama kutinggal bulan
kulupakan bintang

juga wajahmu menggoda
aku akan tetap berlayar
membelah laut kelam

sedang di pembaringan,
kau sudah menarikku
ke dalam mimpi
dan embun seperti ujung lidahku
tetap menjilati
ujung malam

amboi, sudah hampir aku sampai padamu
fajar lain....
"gegaslah membasuh, lelap di teras subuh."
buang sendu,
jatuhkan ragu!

*juni 2009


--




Memasuki Dirimu

bila kau belum juga fahami aku
sebaiknya ambil jarak lebih jauh
karena biasanya dari kejauhan
kau bisa melihat seluruhnya
dan merasakan rindu.

kalau tak, kau mesti makin merarapat
karena dengan merasakan aroma
kau mampu mengakrabi aku,
atau masuk ke dalam tubuhku
karena begitu tak lagi luput
mengetahui diriku.

sebab, selama ini aku mencintaimu
sebab aku sudah masuki dirimu
meski masih banyak pula
sesungguhnya dirimu...

*Juni 2009






Radin

kita pun berpisah setelah meliwati sungai itu, tak ada lambai
karena daun-daun melinjo sudah luruh bersama puting
yang kau katakan sebagai baling-baling
mungkin esok pagi saat matahari tumbuh dari sebalik pohon
aku akan temukan wajah lain, si radin yang pernah
berdiri di depan: di tepi pantai. mengusir kapal-kapal meneer
yang mau menghabisi lada, kopi, dan...

aku teringat lagi tatkala radin bertanya: “api ubat malu, ibu?”
lalu ibu menjawab, “mati!” sejak itu aku diajarkan untuk
tidak pernah ingin malu, kujaga segala marwahku
“aku tak ingin mati menanggung malu, ibu!”
itu sebabnya kutaruh usiaku di rumahmu, kuminta kau
menjaganya hingga aku kembali membawa yang kau mau

meski sudah berapa dermaga kusinggahi, berapa kali kapalku
berlabuh. tak juga kudapati rempah-rempah itu: lada, kopi...
palka kapalku tak pernah bermuatan. lama aku di lautan ini,
mencari tanda di mana gunung rajabasa, atau batuserampok
yang kokoh itu? itulah mercusuarku untuk aku berlabuh.

jika tak kutemukan, aku akan kembali ke laut lepas

sebagai radin inten, tak mungkin kutinggalkan tanah ini
sebab aku tak ingin para meneer menghabisi rempah-rempah

aku berdiri kini, di depan jalan menuju rumahku. tiada yang
hendak senyum padaku. gigil dan terik kulalui.
“aku kini hanya patung, penghias kotamu. menjelang
sampai ke rumahmu, ibu...”

*april-juni 2009


*) catatan: Radin (nama pahlawan Lampung, yaitu Radin Inten). Semasa remaja, sebelum berjuang membela tanah Lampung, Radin Inten berasal dari Kalianda, Lampung Selatan, ini bertanya kepada ibunya, “apa obat malu ibu?” lalu sang ibu menjawab, “mati”. Sejak itu, merasa ‘permalukan’ oleh penjajah, ia pun berjuang mati-matian mempertahankan tanah Lampung.


Dua Kawan di Tepi Pantai

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Berjalan ke arah matahari terbenam, sore hari, kemilau langit. Setelah gang pertama dari tempat kos, aku terus menyeret kedua kakiku. Entah apa yang ada di benakku. Benar-benar kosong.

Pikiranku akhir-akhir ini memang kacau. Tak menentu. Tetapi, aku selalu membunuhnya. Sehingga pikiranku benar-benar kosong. Aku terkadang tersenyum, di waktu lain geram.

Inginku cuma satu, tiba lebih cepat di tepi laut. Dari tempat tinggalku, ah lebih tepatnya kamar sewaan, ke laut hanya membutuhkan waktu sepuluh menit berjalan kaki. Itu juga harus mengambil jalan pintas. Sedikit menembus ilalang setinggi pinggang, melompati anak sungai, kemudian masuki hutan bakau.

Sore hari menjelang magrib, kupikir asyik berada di tepi laut. Apalagi jika ada sunset, meski aku sendiri tidak mengerti keindahan apa yang didapat dari matahari terbenam lalu melihatnya dari tepi laut? Aku tak faham soal estetika itu. itu sebabnya, kadang aku heran banyak orang merebut suasana sunset. Katanya indah. Para fotografer tahan berlama-lama menanti di tepi laut, hanya untuk mencuri momen itu. Terutama akhir tahun…

Aku tidak yakin sunset itu begitu indah. Karena selama ini, aku mengunjungi laut bukan karena ada atau tidak sunset. Aku malah tak peduli. Cuma aku merasakan cahaya matahari di waktu sore, persisnya saat berada di ujung ufuk Barat, betapa nikmatnya. Selayaknya dikujuri air hangat-hangat kuku. Sering sambil mandi di laut. Jika tidak ada pengunjung lain, aku malah tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhku.

Saat-saat seperti itu, sungguh aku menjadi manusia tanpa batas. Bertelanjang tanpa sehelai kain, aku berlari-lari di tepi pantai. Ditendang ombak, dilempar ke air, kemudian diempas ke pasir. Kudirikan rumah-rumahan dari pasir, lalu aku tak merasa kecewa manakala ombak merubuhkan tanpa sisa.

“Bukankah kau bisa membangun rumah lagi di sini, tanpa biaya? Tidak seperti kau bangun rumah sungguhan. Perlu lahan, dibutuhkan uang untuk membeli bahan bangunan. Di pasir ini? Cukup kau keruk pasir dengan kesempuluh jarimu, lalu dirikanlan rumah di sana,” kata seorang anak kecil, tanpa memanggilku kakek, kakak, atau adik, bahkan menyebut namaku.

Anak kecil ini seperti ingin diakui teman. Oke, akan kupanggil namamu, sayang.

“Pipit, aku tahu apa yang kau katakan. Tetapi membangun rumah di tepi pantai, resikonya amat berbahaya. Kau ingat bagaimana warga Aceh habis dilumat tsunami? Aku tak mau mati seperti itu. Aku ingin kematianku tenang di kasur berbusa…”

“Harapan boleh saja. Cuma apa kau yakin, kematianmu pasti di kasur?” tanya dia menyudutkan.

“Setiap orang punya harapan kan? Kalaupun aku harus mati di tepi pantai, aku tetap menginginkan ada kuburan. Nah, pemakananku ada di darat, bukan di lautan!” sergahku.

“Kau pikir, setiap menyebut pemakaman pastinya di darat? Seperti ketika menyebut kuburan, mesti ada nisan, gundukan, bunga-bunga, atau bagi kristiani harus ada RIP dan seterusnya?”

“Padahal, ada orang yang mati dilarungkan di laut. Ada yang meninggal dibakar lalu abunya disimpan atau ditaburkan di lautan? Kau ingin berkata begitu kan?”

Dia mengangguk. Senyum Pipit bagai pernah kurasakan saat burung pipitku, karena sudah bosan dan terlalu membela perasaan akhirnya kulepas, namun pipitku itu kembali ke sarang. Ia berkicau lagi. Bernyanyi setiap pagi.

“Ya, kematian kan hanyalah perpindahan nyawa dan jiwa seseorang dari bumi ini menuju alam lain. Sementara tubuh atau jasad ini, karena ia berasal dari tanah, maka kau letakkan di mana pun akan tetap menyatu pada tanah,” katamu.

“Seperti api tidak akan pernah berpisah dengan api. Api akan membesar jika disiram sesuatu yang merangsangnya. Tetapi akan mati dan menjadi api kembali, jika tidak tersentuh ataupun dielus angin…” lanjut Pipit.

Aku terdiam.

Anak itu memang sudah kuanggap keterlaluan. Tidak memanggilku sebagai panggilan seseorang yang usianya di bawah kepada orang yang lebih tua, eh, berani pula mengajariku, menasihatiku, bahkan mengajakku berdebat.

Soal perdebatan, aku pernah mendapatkan ajaran dari tetua. Ilmu itu bisa kau dapat dari anak kecil sekalipun. Jangan engkau abaikan anak-anak, karena siapa tahu dari ucapannya menyimpan hikmah. “Ingatlah tatkala Nabi Muhammad ditegur, saat ia mengabaikan seorang jamaah yang buta?”

Maka, memang sudah beberapa bulan ini, bocah dara yang tak kutahu di mana tinggalnya, selalu datang di sore hari sebelum matahari tenggelam di ufuk Timur. Dia akan menemaniku, dan aku akan mengajaknya berdialog. Kami adalah dua kawan yang sama-sama terdampar dan tersasar di tepi pantai ini.

Sampai suatu kesempatan, rumah-rumahan yang kubangun bersama dia dihancurkan ombak besar. Tidak hanya rumahku, melainkan aku dan Pipit ditendang gelombang amat besar, paling dahsyat dari gelombang-gelombang yang pernah kulihat dan kurasakan.

Aku terlempat beratus-ratus meter dan tersangkut di akar bakau. Sementara Pipit, aku tak lagi tahu, di mana dia?

Aku tersadar ketika matahari benar-benar tenggelam. Seulas tangan mengusap mukaku, merapikan rambutku, mendekati hidungku. Mungkin ingin mendengar dengus nafasku. Mataku terbuka. Pipit tersenyum. Entah siapa yang memulai. Wajah kami sudah begitu dekat, bibir kami tinggal sesenti…

“Ah, rumah kita diterpa gelombang!” gerutu bocah itu.

“Kalau ingin kecewa, jangan bangun rumah di tepi laut…”


*Lampung 22 Juni 2009


*)= catatan: telah dimuat Lampung Post, 26 Juli 2009

02 April 2009

Puisi Isbedy Stiawan ZS

Demikian dari Pemamakan itu

demikian aku tak mampu pulang setelah lama pergi hingga
lupa pada asal di mana matahari dulu yang memberi warnanya
saat kutinggalkan halaman. rumput dan bunga-bunga yang mekar
begitu kusapa dengan segayung air dan senyuman, kini apakah
masih menunggu?

engkau tak bisa lagi beri kabar atas kepergian, karena sudah
jauh aku pada pintu rumah. jendela yang selalu kubuka tiap pagi,
apakah pula akan bisa terbuka lagi: grendelnya berkarat, juga
papan yang mulai hilang warna

di jalan aku selalu tak bisa lupa padamu. wajahmu, atap rumahmu,
pintu-pintu yang selalu kumasuki dan kutinggalkan
seakan melambai. seperti kepada pelayat yang menjauh
dari pemakaman itu. tak henti kehilangan rindu…


2009



Kita sama-sama Mengutuk

selesaikan saja segala lambai dengan ucapan kasih
atau segala kasih dengan ciuman. karena kenangan
sulit melampaui waktu-waktu di dunia ini: sebab usia
akan cepat tanggal, sedang kenangan akan seperti
tanah yang mengekal bersama bunga yang ditanamkan
dan diberi selapis air.

tapi bukan air yang telah membuatmu ada lalu menghirup
udara ini sebagai perjalanan bersama. di tempat ini sebab
kita sudah sama-sama mengutuk tiap berbau lumpur!

2009



Mungkin, dari Situ Gintung

sepagi ini kudengar jeritmu, sesubuh ini seperti gemuruh
dari bukit-bukit tanpa huni yang terban. entah siapa pula
yang dipanggil. entah berapa pula yang telah menyusul
selepas subuh, mungkin, sebab tak kutahu kapan
kau berlari bagai memburu angin dengan teriakan
yang tak kutahu pula akan sampai ataukah lesap

air itu begitu besar: memburu setiap yang lelap dan lengah,
mengejar yang lari ketakutan sambil mencari bebukitan
“tapi, di sini tiada lagi bebukitan. tak ada lagi perahu
yang pernah terdampar ditinggal nuh itu.”

kecuali waduk yang dipenuhi maut. air yang sudah lama
haus tapi kau tak pernah memberi tanda dan juga belaian,
maka sepagi ini ia memburumu. dan aku kehilangan
untuk sekian abad lamanya. mungkin…


30/3/2009

Puisi Isbedy Stiawan ZS

Jalan ke Pemakaman

perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun
lalu tersenyum. “aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak
lagi membuatku ingin selalu mengenangmu.”

tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua
pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah
ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. “dan jalan
ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai
ke perumahan itu.”

sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang
pemberianmu, jadi setaman…


2009





Lupakan Perjalanan

“jangan sakiti aku,” harapmu, setelah beberapa malam kau lelap sendiri
sementara aku terus-terusan mencecap embun, dan menyusuri kelam
sejumlah jalan. kota semakin berkabut, jalan-jalan basah, dan orang-orang
terdengar batuknya.

ah, dua kanak-kanak tak bisa lagi menahan lelahnya—juga kantuk—lalu
di tepi jalan, di bibir trotoar, ia pun lelap. berpeluk lutut, berselimut
rekat. “akan kulindungi adikku dari sengat dingin, juga embun, dan
debu dari roda kenderaan. malam semakin meruncing.”

jalan pagaralam susut, meski warung-warung tetap memancarkan sinar. dan
aku menyeret letih ke pembaringanmu, kekasih!

lupakan dua kanak-kanak itu, sambil menyimpan sakit hati


2009




Setelah Kota dan Dirimu Kutinggalkan

setelah kota ini kutinggalkan, kaupun ingin menjamah bayangku. aroma
tubuh yang terbungkus angin, masih sempat kau hirup: --aduhai, berangkatlah
selagi keringat belum basah di ketiakmu. sebelum...-- makan siang di terminal,
entah tak bernama, mencecap nasi dan ikan asin sambil mengingatmu yang
terpaku ketika kutinggalkan kotamu,

di tepi jalan kau melambai, aku sangsai: memandangmu kelu, tubuhmu
berpeluh.

meski bebera jam tadi kau telah ingatkan aku agar tak lupa pada sandal yang
kuletakkan di depan pintu, tetap saja aku lupa. kini sepasang sandal di kakiku
pernah pula menemanimu berhari-hari. tapi, mungkin di kota lain setelah ada
pemberhentian, akan kuganti sandal di kakiku dengan sepatu. aku pasti seperti
mempelai saat bersepatu, walau aku tak lagi memiliki mahar.

lalu akan kutunai dengan apa segala cinta dan kesetiaanmu?





























Isbedy Stiawan ZS


Epitaph

sudah lama aku tak melihatmu, aku juga tak lagi membaca namaku yang
tertulis di wajahmu. tiap kau sebut namaku, hilang pula kenanganku
pada lembar wajahmu, pada kesturi ketiakmu.

halaman rumahmu selalu tertutup, taman-taman tak bermekar
namaku terbakar. aku semakin pada namaku sendiri yang terpampang
di pagar halaman, sementara kau membaca biografiku

“isbedy… wafat pada hari jumat, jam 14.00, tanggal 5 bulan 6 tahun…”


2009

10 Maret 2009

Puisi Isbedy Stiawan ZS

Dayung (Part One)

jika letihmu adalah letihku pula
kangen jadi lautnya dan rindu sebagai sampannya
kita akan arungi laut malam ini dengan peluk dan belai
sebagai dayung

*

bila dayung telah dipatahkan dan perahu dibocorkan
lambung mana lagi sebagai istirahat kita

bila laut masih gelora dan angin berkesiut di tiap layar
pulau mana lagi akan jadi singgah kita

bila pulau telah hilang dan dermaga tenggelam
peristirahatan mana akan labuh kita

bila labuh tak lagi beri sauh ditambat
akankah kita tertambat di laut jauh?

dayung yang kita buat dan pelihara
sekiranya benar-benar patah,

ke mana kita berlayar lagi?

*

baiklah malam ini biarkan jadi senyap
sebab laut pun akan hilang angin
dan gelombang pesiar di buritan
maka kita akan segera sampai
mencium segala pasir dan cangkang

2009




Di Antara Dua Kota

Setelah jauh aku tinggalkan punggung bukit itu
Pantai yang mengering hingga bekas langkahku hilang
Jalan-jalan jadi mengapung, bekas hujan di dadamu
Aku bisa bercermin, wajahku yang luka
pelipismu yang memutih: "jangan biarkan
aku sendiri di sini," haramu

Tapi, aku tak bisa menemanimu lagi
Aku sudah lama ingin sendiri, mengepung jalan
Membalikkan langkahku yang lama sudah patah
Di jalan yang dulu sekali buatku tersesat
Di antara dua kota dalam sejarah lama
Memandang kosong...

2009








05 Maret 2009

Puisi ISBEDY STIAWAN ZS

Cerita Lama Belum Selesai


AKU berdiri di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur
julang ke angkasa: lambaian pohon terasa dekat, dan anginnya
membelai rambutku. tubuhku goyang, jiwaku kini guncang

"ah, aku sudah amat rindu padamu. anak-anak yang ditinggal
dan jauh dari telapak tanganku. pasti kau pun rindu."

"aku memang rindu. hanya berapa waktu kali perama kau
lepaskan sandal di depan rumah. setelah itu aku pun lupa,
tak pernah lagi mengingat rindu rindu."

di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur aku berdiri,
memandang rumah yang dulu pernah jadi tempat lelapku
tiap malam aku ingin tidur, atau siang saat perutku menggeremang

"kini aku tak bisa lagi menikmati rumah itu, setiap kali rinduku
ingin menarik langkahku. tubuhku sudah amat batu!"

"tapi, aku tak pernah menginginkanmu kembali pulang
sebab aku sudah biasa tidur tanpa lebih dulu kau mendongeng."


*

HANYA serpihan kalimat janji yang masih tertulis di buku yang
ada tanda tanganmu dan tanda tanganku. juga foto masa remaja

aku lalu jadi peziarah, seperti ahasveros tapi tak pernah sasap. karena
kangenku akan selalu berumah. pangkuan cinta yang terbangun dari
khianat. jadi benar, katamu, sekali berdusta maka akan selamanya
ingin berbohong

maka aku mengelana. di jalan-jalan kuludahi kebohongan, perempuan
yang dirajam sebab ia pernah mendustai kekasihnya dengan sebiji
buah. setelah itu, ia ajak kekasihku menuruni lereng setelah melepas
baju dari balutan taman

"kita pun telanjang....."


*

DI suatu masa kita pernah dipertemukan. lalu kita bersua tiap waktu, di meja
saling bertatap. di ranjang kita pun bertempur. "anjing! apakah tak ingin kau
bawaku ke bak-bak sampah itu hingga lupa makanan yang baik?"

tahu apa dengan makanan yang bersih, sedangkan daging mentah lagi busuk
pernah menemani piringku. entah di rumah makan mana atau warung kecil
di mana, aku dan kau satu piring menikmati lezatnya daging yang membusuk

dan seorang pengumpul sampah--ah, barangkali juga pengemis--menadah,
sambil lidahnya menjulur dan meleleh liurnya...



AKU ingin kau seperti dulu lagi. menyambut setiap aku datang dengan senyuman,
dan membukakan pakaianku. melepas sepatuku lalu meletakkan di tempatnya,
sangat rapih. menjemur baju kausku karena basah oleh keringat atau membuangnya
di tempat cucian.

dan menanggalkan celana dalamku kemudian mencuci bersama pakaian dalammu,
dan esok pagi akan melambai di tali jemuran. menantang terik matahari. hingga
sore ketika kau pulang, jemuran itu pun kering. "kita harus berhemat, tukang cuci
belum dibayar. gadaikan barangku, apa yang masih bisa dihargai," kataku.

kau mendelik. pegawai pegadaian tertidur sejak pagi. kantor ini sudah tutup
sejak lama. krisis global. orang-orang akan kehilangan uangnya. buku tabungan
terbakar, atau dihanyutkan banjir tiap hujan datang

"bencana selalu mengancam. sedikit lengah akan habis barang kita, juga nyawa
yang sudah berpuluh-puluh tahun kita pertahankan. kita tepis tiap maut
mau mengintai," katamu

apalah artinya nyawa kita? maut tak juga merindukan diri kita: biar pun kita
tinggalkan tanah ini, air ini, udara ini--juga hutan belantara ini--tak akan ada
yang rindu

"lalu apakah kita mentimun bengkok? sekedar buah jengkol atau petai?"


*

AKU sudah kehabisan ingin. padahal tumpukan kata hingga jadi kalimat
masih kusimpan dalam tabungan. dan setiap kuingin menulis sapa atau cacian
akan datang kata-kata minta dikenakan. tak perlu mengais lagi dari kamus
yang telah kujadikan semacam buku tabungan

tapi aku sudah kehabisan ingin menulis. sebab puisi-puisi sudah bertaburan
sebagai promosi ataupun kampanye. iklan sabun mandi, pesan moral tentang
bangsa dan pemimpin.

apakah kau tahu, hari ini hingga esok, presiden datang? membuat jalan-jalan sepi,
pasar mati, tempat hiburan makin gelap: "awas ada intel mengawasimu."

beri satu kata, akan kusudahi jadi puisi yang ditimbun kata-kata


*

AKU tak bisa meneruskan inginku.

kini tanganku amat letih. eksim yang menggerogoti jari-jariku makin perih,
berdarah dan membuat jari tanganku kaku

aku mau memejamkan mataku. meski hanya sesaat. setelah suara pertama
ayam jantan berkokok, segera pula kutinggal kursi ini yang telah menerima
badanku

aku tak mau dilihat orang, pasti aku malu. sebab itu kuingin secepatnya
membangunkan ayam jantan dan kusuruh ia bersuara:

"Sangkuriang, kau kalah. Tak bisa membangun istana. Maka tak rela
kau jadi suamiku, anakku..."

2009

Puisi-Puisi ISBEDY STIAWAN ZS

Tak Punya Kunci Rumah

sesuatu yang kubisikkan ke telingamu sebelum air mengalir, gunung
tegak, laut berombak, pohon jelma hutan, dan langit memayung,
akhirnya jadi lembaran-lembaran sejarah. sebuah buku lalu
dibaca seperti sejarah kita kali pertama tercipta

tidak pula kuingat ketika sekali waktu kau menawarkan buah manis
dari pohon dalam taman itu. lalu aku cicip dan kurasa amat sepat:
apakah buah itu yang dulu ditampik setelah ia diusir, atau sejenis
kurma yang selalu jadi oleh-oleh tiap keluarga kembali ziarah

seperti kenangan kita yang selalu dicerca sebab tak punya perjanjian,
di mana pun menetap atau istirahat: orang-orang akan datang,
lalu meneriaki sebagai pengembara tak punya kunci rumah!

2009




Hanyut ke Mana Pelaminan

surat itu juga yang kuterima darimu, sejak kita jauh dan jalan-jalan
makin memisahkan bayang kita.

sudah kulupakan segala ihwal jalan
menuju rumah, halaman yang dulu selalu kurapihkan jika rumputan
menjalar, dan mengembali tiap tumpahan pupur atau parfum
sehabis kau bersolek

meski aku sangat ingin kembali, mengingat setiap langkah lukaku
dari rumah dan kembali ke rumah. sebab di tiap langkah itu
aku selalu mencium warna perkawinan

tapi hanyut ke mana pelaminan itu?
--aku mau berperahu—


2008/2009




Dari Tumpukan Kalender

aku menemukanmu di antara tumpukan kalender, tahun yang jauh
dari milikmu. sesiang yang penuh matahari. di halaman
depan, sebuah kursi tua, sepiring pempek model dan segelas
kopi hitam. –seperti kopi kesukaan para abang becak, candamu—sambil
menelepon teman permainan,

janji nonton film di 21 malamnya: “aku ikut kalau kau perkenankan,
dan tiga lembar tiket akan kupesan,” aku berharap agar bisa lagi
bersamamu.

(sayang tiket sudah habis, dan kau tetap sumringah). seperti ingin
mengajakku berkeliling supermarket ini, tapi di sini tak bisa banyak waktu
dan tempat santai.
kemudian aku mengajakmu ke kafe, kau pun
mengangguk. “tunggu aku di sana, pesan meja untuk tiga kursi. juga menu
makanan,” katamu. hanya aku belum hafal menu kesukaanmu

“tunggu saja aku di kafe. aku pasti datang.”

(selepas menikmati kudapan dan minuman, aku mengajakmu pulang
bersama. dan kau biarkan temanmu, lalu memilihku untuk pulang bersama
menembus malam…)

2009




Tak Kusebut Bunga

tak bisa kusebut ini bunga ketika kau petik tangkainya lalu kau buang
dalam nyala api. kurasakan kini aroma sangit dari wajah kuyup oleh
air mata. juga sedu dan sendu; --masih tinggal sebutir peluru lagi
yang belum kaucabut dari tubuhku-- tapi aroma bunga tak sesedap
senyap, bau asap, amis tubuh, anyep wajah-wajah yang menunduk
mengelilingi pembaringan.

‘ah, wajah Tuhan seperti membayang. wajah lain yang selalu
menggoda, merayu agar meninggalkan pembaringan yang amat
kukasihi. terbang. tapi, ke mana sedang sayap aku tak punya.
sedang jalan sudah lama membelokkan aku jadi sasap,” aku mengadu,

jangan sedih lalu merajuk. “tiga dara yang berdiri menatapmu dari
balik jendela di lantai dua itu, tak akan pernah beranjak sebelum
kau berlagak. daun-daun kelapa sebagai rumbai, mengarakmu pergi.”

kita memang tak pernah akan sama. di pembaringan ini saja, kau menatapku
layaknya bukan sebagai teman kencan. hanya seteru, dan kau akan
membunuhku!

“maka tujahlah aku, hisaplah darahku jika kau haus karena air
sudah habis dari sumur-sumur bor ataupun minyak yang kian kering
sebab dialirkan ke tangki-tangki bendera lain negeri!”

aku sudah lupakan kau
maka izinkan aku lelap di pembaringan ini
tanpa lagi mengingatmu, meski suatu kali
kau pernah duduk di sebelahku…


2009





Kini Kau Memanggil-manggil Aku

berilah ucap atau sekadar maaf, apabila aku pernah membiarkanmu
terdiam di bangkumu. atau, entah di suatu hari kapan, aku telah
menyakitimu: sebentar lagi aku akan pergi, dengan kenderaan
paling akhir, di saat jam terakhir; kala orang-orang sudah sepi,
dan waku semakin menepi.

hanya malam juga lampu-lampu jalan, selalu akan mencatat
kepergian atau kebersamaan. setelah itu, seperti juga lampu
yang akan padam, aku pun akan sampai

tapi tak perlu lambai.
sebab setiap tangan yang telah
letih, tentu terkulai. –aku pun menghirup wangi nyiur,
harum bunga malam— tapi, tak ada bau kematian,
bahkan anyir darah dari sebuah lubang karena sebutir peluru
tak juga memberi kenangan;

aku tak boleh pergi?

--kini kau memanggil-manggil aku—


2009




Sebentar lagi Bersua

ini orang tak juga mau pergi!

sudah berapa waktu kita bersitegang, dan beberapa kali
waktu pecah; kursi retak, pembaringan patah, kasur
dan bantal amatlah kusut

aku ruwet sekali, katamu
biarkan aku sergap sakit hatimu, biarkan aku lumpuhkan
kepalamu yang penuh tanah, -ah, jangan asingkan aku
pada kesetiaan yang membetahkan hingga berlama-lama
di meja ini (bukan, pembaringan!)-

ini orang tak juga mau mengalah!

lembar-lembar namamu sudah kuhapus dari pohon-pohon,
dari tiang-tiang listrik, tembok-tembok di kota;
sebentar lagi kita akan bersua…

2009





Dayung

Jika kau tak bisa lelap hanya karena tiada belaiku,
Aku akan datang membawakan perahu
Saat laut pasang, angin menegang

Aku tak pernah akan lupa memanggul dayung

2009




Jalan ke Pemakaman

perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun
lalu tersenyum. “aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak
lagi membuatku ingin selalu mengenangmu.”

tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua
pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah
ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. “dan jalan
ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai
ke perumahan itu.”

sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang
pemberianmu, jadi setaman…


2009





Lupakan Perjalanan

“jangan sakiti aku,” harapmu, setelah beberapa malam kau lelap sendiri
sementara aku terus-terusan mencecap embun, dan menyusuri kelam
sejumlah jalan. kota semakin berkabut, jalan-jalan basah, dan orang-orang
terdengar batuknya.

ah, dua kanak-kanak tak bisa lagi menahan lelahnya—juga kantuk—lalu
di tepi jalan, di bibir trotoar, ia pun lelap. berpeluk lutut, berselimut
rekat. “akan kulindungi adikku dari sengat dingin, juga embun, dan
debu dari roda kenderaan. malam semakin meruncing.”

jalan pagaralam susut, meski warung-warung tetap memancarkan sinar. dan
aku menyeret letih ke pembaringanmu, kekasih!

lupakan dua kanak-kanak itu, sambil menyimpan sakit hati


2009




Setelah Kota dan Dirimu Kutinggalkan

setelah kota ini kutinggalkan, kaupun ingin menjamah bayangku. aroma
tubuh yang terbungkus angin, masih sempat kau hirup: --aduhai, berangkatlah
selagi keringat belum basah di ketiakmu. sebelum...-- makan siang di terminal,
entah tak bernama, mencecap nasi dan ikan asin sambil mengingatmu yang
terpaku ketika kutinggalkan kotamu,

di tepi jalan kau melambai, aku sangsai: memandangmu kelu, tubuhmu
berpeluh.

meski bebera jam tadi kau telah ingatkan aku agar tak lupa pada sandal yang
kuletakkan di depan pintu, tetap saja aku lupa. kini sepasang sandal di kakiku
pernah pula menemanimu berhari-hari. tapi, mungkin di kota lain setelah ada
pemberhentian, akan kuganti sandal di kakiku dengan sepatu. aku pasti seperti
mempelai saat bersepatu, walau aku tak lagi memiliki mahar.

lalu akan kutunai dengan apa segala cinta dan kesetiaanmu?





Epitaph

sudah lama aku tak melihatmu, aku juga tak lagi membaca namaku yang
tertulis di wajahmu. tiap kau sebut namaku, hilang pula kenanganku
pada lembar wajahmu, pada kesturi ketiakmu.

halaman rumahmu selalu tertutup, taman-taman tak bermekar
namaku terbakar. aku semakin pada namaku sendiri yang terpampang
di pagar halaman, sementara kau membaca biografiku

“isbedy… wafat pada hari jumat, jam 14.00, tanggal 5 bulan 6 tahun…”


2009

15 Januari 2009

KOTA CAHAYA-Kritik Sunu Wasono

Death and Longing as Inspirations
for the Poems of Isbedy Stiawan ZS


Sunu Wasono
University of Indonesia


----------------------------------------------------------
Book Title: Kota Cahaya (City of Light)
Author: Isbedy Stiawan ZS
Publisher: Grasindo
Year: 2005
Pages: xiv + 154
---------------------------------------------------------



A poet is never limited or limits himself to a certain theme in his creations. Man’s life and environment provide various problems to be written as poetries. Still, without sharpness and sensitivity, those problems remain simply as they are. They do not become stimuli that move a man to write down his opinions in the form of poetry. That’s the difference between a poet and an ordinary man. Perhaps, in the hand of an ordinary man water dropping from the tap, a clock ticking on the wall or a leaf falling to the ground will be not more than a drop of water, a sound of a clock ticking or a leaf detached from its stalk. Those happenings will be considered as something usual that do not need to be bothered at all. However, with his sensitivity a poet will always observe and question about what lies beneath those physical phenomena; water dropping from the tap, a clock ticking on the wall or a leaf falling to the ground will be read as signs of the presence of death, that is always around. Then, from his hand appear poems about water dropping from the tap, a clock ticking on the wall or a leaf falling to the ground which reflect human consciousness of the coming of death.

A number of Subagio Sastrowardoyo’s and Sapardi Djoko Damono’s poems—for examples—were inspired by such ‘trivial’ phenomena. Of course, this does not only apply to the two poets mentioned. Many other poets also take similar ways to write their poems. What matters now is how far the poet can give meanings to the phenomenon by using language considering that the means of poetry are words. Anything can be written as poetry, however, the value of the poetry is defined by the way language is used to talk about the thing. This does not mean that poetry writing should stop at writing techniques. When a problem is translated into lines of poetry, there will be no clear dichotomy between the form and the content. The theme has become one and is united in a certain way with all the words in the poetry. Finally, the content (theme) and the form of the poetry become the two sides of a coin, one completes the other. This is the principle that bases my analysis of Isbedy Stiawan ZS’ works compiled in Kota Cahaya (City of Light).

The poet stated that the one hundred poems in Kota Cahaya were selected from many other poems he had ever written. This statement implies that the total number of his poems is more than a hundred. It also indicates that there are various themes in Kota Cahaya.

Number relates with productivity. From his statement, it seems that this poet from Lampung is quite productive. He started writing in the 1980s and becomes even more productive lately. The number of poems he has produced and the length of time he has spent in writing them show that he is not a newcomer in poetry writing. It can be said that he has more than enough experience. Does it correlate with maturity? There is no simple answer, of course. However, it is clear that productivity and loyalty—in writing poetry—will open the possibility for the birth of many works with various themes. Kota Cahaya offers a variety of themes that goes along with his being a poet and also a journalist who has to face many kinds of incidents and problems everyday.

The poet divided Kota Cahaya in three parts: Nyanyi Sunyi (Song of Silence/part 1) consisting of 21 poems; Menandai Tahilalat (Marking a Mole/part 2) consisting of 25 poems; and Dari Cerita yang Lain (From Other Stories/part 3) consisting of 54 poems. The division is clearly based on thematic considerations and—mostly—chronology. The dates and years written after each poem indicate that the oldest in Kota Cahaya was written in July 1984 (“Tubuh tanpa Ruh”/Body without Soul) and the youngest in May 2005 (“Hujan: Dari Cerita yang Lain”/Rain: From other Stories). By making such an arrangement, Isbedy seems to show his writing history from time to time. He stated that the poems grouped in part 1 were thematically related with the tendency of the 1980s. Then, religious (sufistic) poetry was the mainstream.

He also stated that his later works had various themes. This went along with his being a journalist who often traveled from one place to another. In his journey, he saw much injustice.

Then he wrote the poems he grouped in part 2. The poems in part 3, he said, showed his maturity, as a man who was almost 50. What he meant was not clear, but he mentioned about maturity. He did not claim that in his being a man three years away from fifty he had reached maturity in writing poetries. He left that judgment fully on the readers’ opinions. However, from his statement in the next part, we get the picture that the poems he wrote lately, in his opinion, showed different characteristics from his earlier ones. He did not relate this change with themes, only styles. He said that in his newer poems he employed short straight sentences (p. xii).

It is true that a poet’s statement can be disregarded when readers want to analyze poetries. However, I do not apply that opinion in reading Isbedy’s poetries in Kota Cahaya. From the poet’s introduction at least we can get a picture that the birth of a poem is not always fully related with the poet’s emotions. It is possible that a poem is influenced by a trend which happens to be in accordance with what the poet feels at the moment. At least this is shown by Isbedy’s statement about the poems he grouped in part 1 of Kota Cahaya. Were his sufistic poetries moved more by the trend of the 1980s or by the restlessness of his soul searching for god? Whatever pushes the birth of a poem, in the end it is how the content of the poem unites with the writing style that counts.

In terms of style, it may be true that Isbedy has gone through changes of writing styles, as he stated. In the poems he wrote in the 2000s, which he placed in part 3, this is clearly shown. As he said, he did not compose his poems in long far-fetching lines and sentences. He preferred to write them in short lines and sentences. However, in my opinion, his poems seem to need many lines and verses. This can be seen in his poems “Di Ambang”, “Kota Cahaya”, or “Sampai Aku Terjaga dan Menemukanmu”. Does this mean that basically Isbedy did not really change his style? I still think he tried to change—not in radical and experimental ways—because, if examined closely, his poems do not try to explain anymore. The many lines used are functional and necessary. It is not only a matter of putting lines in the poems. Isbedy seems to consciously try to make his poems slimmer and more solid.

It is also interesting to note his thematic aspect. Even though Isbedy grouped his poems based on his writing “history” and claimed that he had done some efforts to enrich the themes, especially in the poems he placed in part 2, I still noticed that there was a certain theme that appeared several times in Kota Cahaya. Themes of death, longing and searching (for something lost) appeared in part 1, 2 and 3. Therefore, I can say that the themes of death, longing and searching are the bases of Isbedy’s poems. Though it does not automatically mean that those themes are the dominant ones in this anthology.

In the first part, after “Tubuh Tanpa Ruh” appear some poems with themes of death (“Epitaph”, “Doa Jenazah”, “Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu”). Themes of searching can also be found in this part, especially the narrator’s searching for peace. In the poem “Improvisasi II”, for example, the poet wrote about the importance of searching for happiness in smiles and patience.

In the poems placed in the second part, themes of death also appear. In “Ada Daun Gugur” the narrator feels the presence of death by watching the ordinary phenomenon of a leaf falling to the ground. In different ways, “Aku Masih Rasakan”, and “Requiem” also speak about death. The narrator in “Aku Masih Rasakan” who speaks to you tries to remind that I and you (us) will also fall down in the end, like a drop of water on a tree leaf waiting for the “right” moment to fall down. In “Requiem” the narrator tells about the close relationship between life and death. It is said that life and death always repeat themselves. Just like the themes of death, themes of searching and longing also appear in the second part. In “Surat-Surat Cinta” and “Bila Pelayaranku Sampai” the tones of longing appear clearly.

Themes of death are still found in the third part of Kota Cahaya. Though not stated clearly, in “Tak Perlu Teluh”, “Beratuskali Aku Mati”, “Aku Masuki Kolammu”, “Dulu Aku Minta Mati di Laut”, and “Seperti Kematian” death is mentioned. What is described in “Seperti Kematian” is actually a woman; however, the poet describes the mystery of the woman by comparing it with death. The secrecy of the woman’s personality is compared with the mystery of death. Although death only appears as a comparison, its mysterious nature is also discussed here.

There is one more thing which characterizes Isbedy’s poems, i.e. the unity of tone. I did not find tones of humor, jokes, or playfulness in his poems. All has serious tone. Perhaps this was caused by his tendency to be a thinker, so that in his eyes all problems are seen as serious matters, far from humor or playfulness. A poet’s attitude in looking at something is, of course, not our concern. He has the right to choose. And Isbedy, with his chosen attitude, has written a number of poems with a single tone: serious. This kind of poems has found their positions in Indonesian literature. In the end, it is not the tones of humor, jokes or playfulness that matter, it is the poetic means a poet employs to express what he feels, thinks, and suppresses. Kota Cahaya has proven Isbedy a poet with a class and worth mentioning. ***

13 Januari 2009

Banjir pun Datang…

Oleh Isbedy Stiawan ZS



SIAPA nyana banjir datang dan mengepung Kota Bandar Lampung. Hari itu, 18 Desember 2008 jelang sore, hujan yang hanya 2 jam mampu menggenangi sebagian Kota Tapis Berseri—terutama terparah Kecamatan Tanjungkarang Pusat—belum secara pasti kerusakan rumah, namun tak ada korban jiwa.

Warga yang saat itu berada di luar, misalnya di Jalan Kartini, menyaksikan laut bagai masuk ke kota. Jalan macet total. Kendaraan tak bisa bergerak, bahkan sebuah mobil sebagaimana divisualisasikan liwat gambar oleh Radar Lampung (19/12) terombang-ambing laksana perahu.

Menyaksikan penayangan stasiun LTV tentang banjir yang ditengarai terbesar kedua setelah puluhan tahun lalu itu, hati pun berdebar-debar: cemas. Seperti menyaksikan ulang penayangan tsunami di Aceh. Gambaran kecemasan tampak dari wajah warga yang rumahnya terhantam banjir. Perasaan takut memenuhi wajah mereka, terutama yang harus menyelamatkan diri di bubungan rumah.

Seorang teman yang berada di sekitar Jalan Kartini dan mengalami kemacetan, sempat-sempatnya mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya, begini: “Bandarlampung banjir. Jalan macet total. Apa kabar Walikota? Banjir ini merupakan geladi kotor pencanangan Visit Lampung Year 2009? Hehehe…”

Saya tak membalas guyonan pesan pendek dari teman itu. Segera saya kontak kerabat yang tinggal di kawasan Kaliawi, Jalan Teuku Umar dekat RSU Abdul Muluk, serta di Telukbetung. Dari merekalah saya tahu, kalau kawasan Kaliawi, Jalan Teuku Umar, dan Kartini air sudah mencapai setengah meter di jalan raya.


Musibah dari Allah
Siapa pun mahfum dan segera akan mengatakan, setiap bencana adalah musibah. Sedangkan musibah datangnya dari Allah. Ini sudah sunnatullah, tak terbantah.

Tetapi, jangan lupa, Allah pun mengingatkan manusia bahwa kerusakan yang terjadi di laut dan daratan ini karena ulah tangan manusia. Dan, saya sefaham dengan Wakil Walikota Bandar Lampung Kherlani pada Dialog Ekslusif di LTV, bukan saatnya saling menyalahkan. Karena musibah banjir 18 Desember 2008, tidak ada yang salah dan tak ada yang benar. Tetapi yang kita inginkan sekarang, solusi agar banjir yang terjadi ini tak terulang lagi.

Kata kunci yang bisa kita tangkap dari Kherlani, bahwa Pemkot dan masyarakat Bandar Lampung mesti membangun kesadaran pentingnya menjaga lingkungan. Terutama lingkungan yang berpeluang mendatangkan banjir.

Cukupkah kesadaran masyarakat pada lingkungan dibangunkan, sementara pengembang dan ataupun penguasa dibiarkan dengan cara diberi izin mengeksploitasi lahan-lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai penyerapan air?

Bandar Lampung, sebagai ibukota Provinsi Lampung, ternyata sudah sulit mendapati lahan kosong sebagai—seperti disebut Prof. Dr. Ir. Ali Kabul Mahi—(dijaidkan) embung. Bahkan, lahan hijau rasanya cuma satu: Taman Kota di Wayhalim (baca Lampung Post, 18/12; hal. 1).

Selebihnya, bukit-bukit di Bandar Lampung nyaris tak lagi berfungsi sebagai penyerap dan (atau) penahan air. Saya kira pernyataan bahwa bukit-bukit di Bandar Lampung kebanyakan bukit kapur dan tak dapat difungsikan sebagai penyerap air, perlu dibuktikan secara ilmiah. Tetapi, setidaknya, jangan sertamerta terbuka peluang pemkot semena-mena “melelang” bukti-bukit tersebut kepada pengembang atau penguasa untuk dijadikan hunian serta digerus tanahnya untuk menimbun tepi pantai.

Kawasan Kemiling yang berada di dataran tinggi, kini nyaris menjadi “kota baru” sehingga membabat lahan hijau. Hal yang sama di kawasan Susunanbaru, Batuputu, dan seterusnya yang kini pelan-pelan namun pasti akan berubah menjadi perumahan, hunian, dan entah apa lagi.

Pembangunan besar-besaran yang tak terencana dan mengabaikan tata ruang kota, saat musim hujan karena tak ada lagi penahan dan penyerapan air akan berakibat banjir. Kendati pemerintah berulang menanggulanginya dengan cara, misalnya, membikin drainase ataupun melebarkan sungai-sungai (way) yang ada. Serta memindahkan warga yang rumahnya berada di bantaran sungai ke tempat lain. Cara itu tak menjamin Bandar Lampung tak tergenang oleh banjir.

Bandar Lampung tak bisa disamakan dengan Jakarta. Kota ini berada di antara perbukitan dan laut, sedangkan Jakarta di bawah permukaan laut. Kalau Amsterdam saja yang nyata-nyata berada jauh di bawah permukaan laut tak terkena banjir, kenapa Bandar Lampung bisa diterjang banjir?

Banjir, sekali lagi, memang bencana sekaligus musibah. Dan, manusia yang beriman akan berujar: musibah adalah cobaan yang datang dari Allah. Akan tetapi, apakah Tuhan tak memberi kekuasaan pada kita untuk menolak musibah seperti banjir, sekiranya kita sadar pentingnya menjaga, menata, dan memelihara lingkungan? Eksploitasi terhadap lingkungan bukti keserakahan kita.

Idealnya memang, seperti dinyatakan Wakil Walikota Kherlani, persentase antara pembangunan dengan penghijauan haruslah berimbang. Kenyataannya, pembangunan di Bandar Lampung amatlah pesat tanpa (rasanya) memikirkan adanya kawasan hijau. Ada berapa banyak kawasan hijau, bukit yang dibiarkan keasliannya, embung, drainase yang refresentatif, dan seterusnya?

Eksploitasi Bukit Lungsir yang jauh-jauh hari ditolak oleh warga yang didukung LSM peduli lingkungan namun tetap dibiarkan oleh Pemkot, akhirnya terbukti longsor. Dan, di mana Walikota Eddy Sutrisno saat warga sekitar Bukit Lungsir yang menjadi korban menyambangi rumah dinasnya?

Artinya apa? Peran pemerintah sangatlah diharapkan, sebab mengantongi kebijakan. Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya tertumpu pada warga, jika pemerintah terus-terusan memberi izin dan membuka peluang penguasa/pengembang menggerus lingkungan.

Saya membayangkan, jika hujan lebih besar dibanding yang terjadi 18 Desember lalu mengguyur Bandar Lampung, tentu akan lebih besar lagi menelan kerugian dan (mungkin saja) korban. Jika ini tak segera dicari solusinya, ke depan kota ini akan jadi apa jika musim hujan yang datang tiap tahunnya?

Semoga saja, apa yang dibayangkan ini tidak mewujud. Selamat tahun baru warga Bandar Lampung, dan (jangan) lupakan musibah banjir!•

----------------
* sumber Radar Lampung, 23 Desember 2008

Kala Wartawan (ke) Politisi

Oleh Isbedy Stiawan ZS



MENJADI politisi, semenjak reformasi bergulir, layaknya tren yang diminati banyak orang. Mantan pejabat, pensiunan PNS (pegawai negeri sipil), selebritas,dan masyarakat awam pun mulai tergiur pada dunia politik.

Satu sisi, era keterbukaan yang diperjuangan oleh reformasi—terutama di bidang politik, dianggap berhasil. Semua orang boleh dan bebas berbicara politik. Bahkan, kalaupun beralih profesi: jadi politisi.

Karena politik menggiurkan, pemilik modal (yang bermodal) bisa saja menduduki ketua partai politik. Mantan calon gubernur, pengusaha, mantan pejabat, dengan sangat mudah bisa memegang tampuk tertinggi di salah satu parpol. Meski pun ia bukan kader ataupun sebelumnya berkecimpung di parpol lain.

Betapa menggiurnya dunia politik, eksodus “profesi” begitu cepat terjadi. Misalnya mantan pejabat, pensiunan eksekutif, dan apa pun profesi lain bisa saja segera beralih jadi politisi. Terpenting kedekatannya dengan orang nomor satu di parpol.

Kabar anyar paling menarik, kala sejumlah wartawan—57 orang sebagaimana dilaporkan Radar Lampung (11/1)—“eksodus” ke politisi. Para wartawan yang tergabung di PWI Lampung pada Pemilu 2009 ini sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol.

Beralihnya para wartawan ke politisi pada Pemilu 2009 untuk menuju gedung Dewan, tidak saja membuktikan adanya kedekatan selama ini antara wartawan dengan penentu di suatu parpol tapi juga kedekatan emosional sang wartawan dengan parpol tersebut.

Modal itulah kemudian yang mengantar wartawan tertentu (coba-coba) beralih profesi. Ingat, sekali lagi, beberapa tahun terakhir ini anggota dewan—seperti juga profesi lain—menjadi fenomena baru yang diburu lantaran “seksi” sehingga mensugesti banyak orang; banyak parpol bermunculan.

Saya menengarai bahwa politisi (dan partai politik) bukan lagi oase untuk penghapus dahaga untuk mensosialisasikan idealisme seseorang. Menjadi politisi dan melahirkan partai politik bukan untuk alat atau mesin melakukan perubahan politik demi kesejahteraan rakyat. Partai politik cenderung diperalat demi mengubah nasib para politisi agar lebih baik. kalau tidak, bagaimana bisa politisi yang 5 tahun sebelumnya duduk di kursi dewan yang lebih rendah menuju gedung dewan setingkat di atasnya, atau berupaya mempertahankan (merebut?) kembali kursi yang telah didudukinya selama 5 tahun pada pemilu mendatang?

Dan, media massa (pers) yang mengklaim diri sebab sudah terumus dalam undang-undang sebagai salah satu pilar pembangunan yaitu (alat) kontrol sosial, sulit melepaskan diri dari kepentingan pelaku pers itu sendiri. Misalnya, apakah ia akan menggeluti dunia pers seumur hidup? Tentu saja, mungkin ini tidak semua, tidak. Orang hidup harus berubah dan melakukan perubahan.

Karena itu pula, barangkali, sejumlah wartawan (57 wartawan PWI Lampung) mencoba “mengadu nasib” di jalur politik sebagai caleg (politisi) pada Pemilu 2009 demi menuju gedung dewan.

Memang tidak nista—apalagi haram peralihan profesi seperti ini. Apalagi, sekiranya, peralihan ke politisi itu didasari niat demi mengubah arah kebijakan politis pemerintah yang selama ini cenderung tidak berpihak pada rakyat. Dengan sense of jurnalisme atau semangat melakukan kontrol atas kebijakan yang tak berpihak ke rakyat, setelah berada di dalam gedung dewan semangat itu tidak lalu larut dan “dikalahkan” oleh suara legislatif lainnya.

Sulit sekali mengharap jaminan itu. Mengingat parpol yang awalnya diharap bisa melakukan perubahan dan sebagai parpol harapan masa depan, tapi setelah politisinya duduk sebagai wakil rakyat maka harapan tinggallah harapan. Para politisi yang diharapkan itu justru larut di dalam “permainan” parpol besar di gedung dewan.

Santun
Bambang Eka Wijata, wartawan senior, berharap kepada para wartawan PWI yang mencaleg pada Pemilu 2009 agar berlaku santun dan tidak melakukan politik uang saat kampanye. Idealnya bagi wartawan memang begitu, mengingat pers selama ini menganggap dirinya sebagai pengontrol kecurangan dan selalu berada di depan memperjuangkan tegaknya keadilan bagi rakyat banyak.

Peran pengontrol—sense of jurnalisme—mestilah terus dihidupkan, baik saat sosialisasi (kampanye) maupun kala menjadi “wakil rakyat” di legislatif. Inovatif bagi perubahan kebijakan hingga berpihak pada rakyat, serta visionir dalam meloloskan program-program yang berkepentingan pada rakyat. Dengan demikian, para wartawan itu jadi pionir bagi politisi lain di gedung dewan.

Netralitas yang selama ini jadi arah kebijakan pers, mestinya tak tergoda apalagi terganggu oleh salah satu kepentingan politisi maupun parpol. Hal ini yang juga kita harapkan para wartawan cum laude politisi dapat menjaga netralitas dan tetap konsisten.

Media massa, seperti dikatakan A. Rio Teguh—wartawan dan ketua PWI Lampung yang juga caleg DPRD Lampung dari Partai Golkar, harus memberikan ruang secara berimbang kepada para caleg.

Artinya, ini indikasi bahwa caleg dari wartawan pun diperlakukan sama dengan para caleg lain. Jangan sampai media massa jadi “alat” sosialisasi semata-mata untuk wartawan yang mencaleg. Ataupun caleg yang wartawan (walaupun semenjak mendaftar dia nonaktif) tidak lagi mengenakan baju pers saat sosialisasi. Ia sudah menjadi (murni) politisi. Apakah ini mungkin, bisakah hal ini tak dicampuradukkan? Salam.*

Bandar Lampung, 12 Januari 2009

---------------
* sumber Radar Lampung, Selasa 13 Januari 2009

Selamat Datang Wisatawan

Oleh Isbedy Stiawan ZS


Momentum akbar di daerah ini, selain Pemilu 2009, ialah Visit Lampung Year 2009 (Tahun Kunjungan Wisata Lampung) yang telah diluncurkan Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu akhir Desember 2008. Harapan dan target dari Visit Lampung Year 2009 juga sudah digaungkan.

Kepala Dinas Budpar Lampung M. Natsir Ali menargetkan 1,2 juta wisatawan domestik (wisdom) dan 24 ribu wisatawan luar (Lampung Post, 24/8), 3 juta turis lokal-mancanegara (Lampost, 1/11), dan terakhir menargetkan (target waspada) 1,5 juta minimal 1 juta turis berkunjung ke Lampung (Lampost, 4/1/2009). Target itu tampak tak konsisten, atau karena bimbang? Anggaran untuk mensukseeskan kunjugan wisata Lampung tersebut sebesar Rp1,2 miliar.

Untuk mendukung kesuksesan Visit Lampung Year 2009 sejumlah hotel dan tempat hiburan serta bebagai kawasan strategis dimanfaatkan untuk promosi dengan bebagai spanduk atau banner. Hanya sayang, lanching Visit Lampung Year 2009 sebagaimana pemberitaan di media massa lebih terkesan bernuansaq basa-basi. Tampak kurang siapnya Pemda Lampung menggelontorkan program wisata 2009. Seorang karib yang terlibat mensukseskan Visit Lampung Yearr 2009 mengeluhkan minimnya anggaran promosi. Padahal, dunia pariwisata tidak akan bisa berjalan tanpa ditunjang oleh dana promosi.

Bali, sebagai daerah tujuuan wisata (DTW) paling besar dan sukses menyedot devisa dari pasar pariwisata, tidak akan lepas dari persiapan dana promosi yang besar pula. Media promosi dilakukan tak hanya cetak atau elektronik, melainkan website mauoun email. Kesuksesan dunia wisata Provinsi Bali sebab kesediaan fasilitas yang baik, kesiapan masyarakat yang ikut mendukung, serta pemerintah yang tak sekadar menjalani program (anggaran). Sehingga tiap wisatawan—terutama dari luar negeri—yang merasa terpuaskan, mereka akan mempromosikan kepada yang lain. Promosi dari mulut ke mulut dari wisatawan itu lebih cepat dipercaya, tinimbang promosi yang diterima melalui brosur atau media cetak dan elektronik.

Persoalan dunia wisata di Lampung tidak mungkin bisa disejajarkan dengan Bali yang jauh lebih dulu maju. Dengan wisata Jawa Barat saja sulit menandingi. Oleh sebab itu, perlu pengorbanan (dalam hal ini dana) yang tidak kecil di samping keseriusan pengelolaan dunia pariwisata Lampung, jika ingin memegtik buah dari Visit Lampung Year 2009.

Tampak dunia wisata cenderung latah. Hanya karena ada program dari pusat bernama Visit Indonesia Year 2009, daerah-daerah pun terjangkit demam visit. Sementara ukuran visit di daerah seperti Lampung yang andalan objek wisatanya minim serta pengelolaan yang sekadar, sulit rasanya mendulang wisatawan sebagaimana ditargetkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung tersebut. Alih-alih turis mancanegara (wisman), merebut hati wisdom saja mungkin tak bisa tercapai.

Dengan tagline Lampung menjadi rumah kedua sejatinya menunjukkan daerah ini tak berdaya berhadapan (bersanding) dengan daerah-daerah lain yang lebih maju pariwisatanya. Sebagai “rumah kedua”, apa yang dapat diharapkan oleh wisatawan? Mereka—para wisatawan—lebih baik dan lebih menjanjikan kepuasan mengunjungi Bali, Yogyakarta, Jabar, Lombok, Sumatera Utara, Sumbar, atau Sumsel misalnya, ketimbang Lampung.

Banyak alasan bagi wisatawan tak singgah atau memilih Lampung. Di antaranya, objek wisata yang ada di Lampung bisa didapat di daerah-daerah lain; wisata tualang yang mestinya digarap dengan serius sudah disediakan oleh provinsi lain; kecerdikan gajah bermain bola sudah bukan lagi satu-satunya nilai jual daerah ini, pasalnya sejumlah daerah memiliki gajah—bahkan Bali konon kini mendatangkan gajah dari Sumatera! Lalu apa lagi yang hendak ditawarkan (dijual?) dari objek wisata di Lampung, dan rayuan apa yang akan dikemas pemerintah agar wisatawan mau menjadikan Lampung sebagai rumah kedua?

Berharap terlalu muluk pada dunia wisata dengan sarana dan fasilitas objek wisata yang belum terkelola secara profesional, rasanya hanya memperpanjang masa mimpi. Sementara pasar wisata di daerah-daerah lain sudah lama mimpi itu dihapus dan sedang behadapan dengan realitas, bahkan tengah memanen. Hal inilah barangkali yang tak pernah (belum) disadari. Kita hanya asyik dalam mimpi dan takut berhadapan dengan kenyataan.

Membangun kepercayaan wisatawan, butuh dana dan keseriusan kerja. Pasalnya, menjual objek wisata bukan hanya menaburkan brosur, memajang ratusan spanduk, atau menggelar festival yang juga asal berlangsung, maupun mendatangkan wisatawan mancanegara yang ternyata semu. Apakah kita sudah hitung ulang objek-objek wisata yang menjadi andalan sudah siap menerima kunjungan wisatawan (mancanegara/domestik). Bagaimana fasilitas transportasi dari dan menuju objek wisata?

Wisatawan—terutama mancanegara—mengapa memilih Bali walaupun transportasi pesawat terbilang mahal, sebabnya mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Sadar wisata masyarakat Bali yang baik karena merasa dilibatkan bagi kemajuan pariwisata, salah satu pendukung sehingga para bule betah dan menjadikan Bali sebagai “rumah sendiri”—bukan rumah kedua seperti tagline pariwisata Lampung.

Objek pantai di Lampung, walaupun mungkin potensinya tak kalah menarik dengan wisata pantai di daerah lain, karena tidak dikelola profesional akibatnya tidak menjual. Wisatawan mancanegara lebih senang memilih wisata pantai di Bali, Lombok, Makasar—untuk menyebut beberapa objek wisata pantai, ketimbang menyeberangi Selat Sunda yang menyita waktu 6-7 jam apabila liwat darat dan hanya 1 jam jika menggunakan pesawat terbang; tapi tiket melalui udara tak berbeda banyak dengan tujuan daerah lain.

Oleh sebab itu, perlu pembenahan jika Provinsi Lampung ingin mengandalkan wisata pantai sebagai objek yang akan dijual dan menjual. Sejumlah wisata pantai yang membentang Lampung masih dikelola apa adanya dan sangat konvensional. Misalnya pantai Leguna Helau, Krakatoa Nirwana Resort, Pantai Bagus, Pasir Putih, Pantai Selaki, Canti, Pantai Wartawan, hingga Duta Wisata. Lempasing, atau pantai sepanjang Krui mendekati Bengkulu; terkesan kurang dikelola. Tidak eksotis, sebagaimana Kuta, Sanur, Lombok, maupun Makassar.

Apakah Visit Lampung Year 2009 mau menjual wisata tualang (avonturir)? Kaawasan mana lagi yang bisa disulap menjadi wisata yang penuh tantangan? Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) telah dijadikan hutan lindung, Pusat Latihan Gajah (PLG) WSaykambas sudah lama tidak terurus. Penghuninnya, bahkan, sudah dioper ke Batuputu. Gajah Lampung sudah tak lagi menjual dijaidkan ikon pariwisata.

Selain Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Waykambas, dan sejumlah festival di kabupaten/kota yang menjadi andalan, panitia Visit Lampung Year 2009 beharap Festival Durian Januari ini menjadi “maskot” pula. Tetapi, yang menjadi pertanyaan dipusatkan di mana Festival Durian? Di Wayhalim, Palapa, ataukah sekitar Tugu Diarian sepanjang Jalan Radin Imba Sukadanaham?

Pertanyaan lain, sejauh mana konsep sekaligus target dari Festival Durian 2009 dalam upaya menyedot turis berkunjung ke Lampung lantaran tergiur nikmatnya durian? Dan, kita harus jujur, Lampung bukan penghasil tunggal buah durian. Para pedagang, ketika ditanya, ia membeli durian acap dari Baturaja—selain duku. Karenanya, saya menganggap aneh kalau Festival Durian dijadikan program pendukung Visit Lampung Year 2009.

Lalu soal budaya, karena mungkin kesalahan dalam sistem penggalian dan pelestarian yang dilakukan pemda selama ini, kita pun kesulitan mendata kesenian dan kebudayaan (di daerah) Lampung yang masih hidup ataupun tak lagi dikenal. Saya kira, tinggal senibudaya yang masih dimiliki Lampung jadi andalan dan kalau mungkin “dijual” dalam pasar wisata menyambut Visit Lampung Year 2009.

Pemda Lampung mesti mencipta atau membangun kampung-kampung budaya demi melestarikan kesenian (dan kebudayaan) yang kemudian “dipasarkan” kepada wisatawan yang merindukan wisata eksotis, naturalis, dan kultural.

Kalau tidak, jangan berharap muluk-muluk bahwa Visit Lampung Year 2009 bisa memenuhi target 1,5 juta turis (lokal dan mancanegara) berkunjung ke daerah ini! *


-------
* sumber Lampung Post, Senin, 12 Januari 2009

Jangan (Pernah) Mimpi jadi TKW

Luka di Champs Elysees Rosita Sihombing


Oleh Isbedy Stiawan ZS


KARYA sastra, sekecil apapun, membawa daya perubahan, alternatif-alternatif kenyataan yang berbeda dari kenyataan yang telah ada. Sebab, menurut Tan Malaka, karya sastra harus beranjak dan akhirnya kembali kepada kehidupan (“Luka Rosa”, Ari Pahala Hutabarat).

Novel Luka di Champs Lysees karya Rosita Sihombing—kelahiran Tanjungkarang 24 Januari 1974—yang kini menetap di Paris, merupakan novel pertama di Indonesia yang membicarakan sisi gelap kehidupan TKW di luar negeri.

Novel ini mengisahkan Karimah dari Lampung bekerja sebagai baby sitter pada keluarga tuan Alkahtani-madame Haifa di Ryadh, namun selalu mendapat perlakuan kekerasan dari majikan—terutama madame Haifa. Akhirnya, ia bertekad melarikan diri dari majikan tersebut. Tekadnya tercapai saat ia diajak majikannya berlibur ke Paris: untuk mengasuh Omar dan Nashar, anak majikan.

Tetapi, pelariannya di rimba kota Paris bukan membujat hidupnya menjadi berubah. Sebagai warga gelap di negara Prancis, banyak hal yang mesti diwaspadai kalau tidak masuk penjara. Ketika pelarian dari “cengkeraman” majikan, Karimah pingsan karena kehabisan tenaga dan luka di tangannya setelah terjatuh. Ia tak sadar diri di dekat stasiun kereta bawah tanah, dan tersadar setelah ditolong pria asal Aljazair bernama Hamed.

Pertemuan itu berbuah kesepakatan tak tertulis: Karimah hidup seatap dengan Hamed, hingga melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Maharani Karimah. Walaupun anak yang lahir di Paris itu hanya bisa hidup beberapa hari.

Kehidupan tanpa ikatan pernikahan di Paris yang dialami para TKW Indonesia, menurut catatan novel ini, cukup banyak. Padahal, sebagaimana Karimah yang telah bersuamikan Pardi yang pedagang tempe daun di Pasar Tugu dan dikaruniai seorang putri berusia 6 tahun, ternyata para TKW lain pun sudah berkeluarga. Begitu pula Hamed juga sudah beristri dan punya anak di Aljazair.

Selama 2 tahun menetap di Paris bersama Hamed, Karimah tak punya pekerjaan apa-apa. Ia hanya hidup dari belas kasih Hamed yang hanya menjadi buruh. Kehamilan Karimah sangat diharap Hamed, sebab peraturan di Paris seseorang akan mendapat izin tinggal jika mempunyai bayi yang lahir di sana.

Sayangnya, harapan mendapat izin tinggal di Paris itu berantakan. Bayi yang baru beberapa hari lahir tak berumur panjang. Maharani meninggal karena kehabisan nafas saat mereka saling berebut yang membuat bayinya terbanting. Mereka bertengkar sebab Karimah tak mencantumkan nama Hamed di belakang bayinya. Sedangkan Karimah beralasan, Hamed tak berada di sisinya saat-saat ingin melahirkan.

Novel ini memang ingin mengangkat keprihatinan sosial dari kehidupan para TKW sekaligus memberi penyadaran bahwa menjadi TKW tidaklah seindah yang dibayangkan. Betapa banyak para TKW Indonesia yang bekerja di luar negeri, pulang membawa jasad atau pun hanya pakaian di badan. Kegagalan para TKW seperti ini kerap tak dipublikasikan, atau kalah oleh cerita-cerita keberhasilan yang sesungguhnya semu.

Dalam diskusi novel ini (Sabtu, 27/12), Rosita Sihombing menyatakan tidak sedikit TKW Indonesia di Paris yang bernasib sebagai warga gelap kehidupannya amat memrihatinkan, sehingga hanya untuk mendapat segelas teh harus menukar dengan kehangatan tubuhnya.

Novel Luka di Champs Lysees karya perdana mantan wartawan Sumatra Post dan aktivis UKMBS Unila ini, ingin melakukan perubahan bagi para perempuan Indonesia yang berniat menjadi TKW. Hidup menjadi TKW di luar negeri, tak selamanya pulang membawa devisa, baik bagi keluarga maupun negara.

Indonesia, menurut catatan, negara paling besar mempekerjakan para wanita ke luar negeri. Alasan untuk memeroleh devisa, negara mengizinkan ekspor bagi TKW. Pengiriman para TKW, istilah yang diberikan pemerintah, ke negara-negara yang menjalin kerja sama seperti Malaysia, Singapura, Qatar, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang. Tetapi, banyak dari pekerja wanita tersebut tidak memiliki skil dan hanya berijazah (mungkin tak ada) SD. Hanya berpengalaman sedikit di kampung (lokal), mereka masuki rimba dunia (global).

Sedangkan negara-negara lain, terutama di Eropa tidak ada jalinan kerja sama, sehingga kehadiran mereka di Paris misalnya, sebagai imigran (warga) gelap. Sebagaimana Karimah dalam novel Luka di Champs Lysees.

Akibatnya? Karimah-Karimah yang gagal dan hidupnya kelam di luar negeri bermunculan. Kalau tidak, ya pulang hanya jasadnya. Peristiwa para pembantu yang bunuh diri, membunuh majikan, ataupun menjadi wanita penghibur adalah realitas.

Novel Rosita ini diterbitkan untuk momen mudik 2008 (penerbit Lingkar Pena Publishing, Agustus 2008; 188 hal,), diharapkan dapat mengubah perilaku bangsa ini yang suka dan bangga mengeruk devisa dari pengiriman TKW. Tetapi lupa, dari program tersebut justru marwah dan moralitas para perempuan Indonesia amatlah terpuruk.

Novel Luka di Chaps Lysees karya Rita Sihombing ini patut menjadi sandaran bagi kesadaran bangsa, sebelum berjuta-juta perempuan Indonesia “diekspor” ke luar negeri demi memperbaiki hidup keluarga. Meski, di sini, saya kurang sependapat pada pepatah “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” yang menunjukkan bahwa negeri kita tak bisa melindungi warganya (bangsa).

Catatan harian Kompas bahwa di Makao saja, tidak sedikit perempuan Indonesi yang niat awal ingin menjadi TKW akhirnya masuk ke rimba prostitusi. Belum lagi di Hong Kong, dan negara-negara lainnya. Apatah sekadar Batam yang bersebelahan dengan Singapura dan Malaysia, cukup banyak perempuan Indonesia yang menjadi penghangat bagi lelaki seberang.

Memang sebagai penulis, Rosita tidak menjelaksan apakah Karimah di Riyadh sebagai TKW versi pemerintah (legal) ataukah ia dikirim oleh agent-agent sebagai pekerja gelap. Ini harus dibedakan—karena memang sangat berbeda—antara TKW yang mendapat izin dari pemerintah dengan pekerja gelap (pendatang haram, menurut Pemerintah Malaysia).

Sebagai karya sastra, novel ini enak dan penting dibaca. Penceritaannya mengalir dengan kalimat-kalimat (narasi) liris-puitis, suasana dan seting Paris yang menakjubkan, menjadi penyedap mengapa Luka di Champs Lysees ini layak dikonsumsi.

Tidak cuma itu, seperti kata Tan Malaka yang telah dukitip Ari Pahala Hutabarat dalam makalahnya, karya sastra mesti beranjak dan akhirnya kembali kepada kehidupan demi membawa daya perubahan. Karenanya novel Luka di Champs Lysees ini semestinya menjadi bacaan “wajib” bagi calon dan pekerja wanita yang pulang dari luar negeri: “jangan (pernah) mimpi jadi TKW!

Sayangnya dari novel ini tidak menjelajah kebobrokan KBRI, misalnya di Paris. Soal birokrasi yang sulit, mental korup oknum KBRI, dan lain-lain yang kerap dituding menelantarkan para TKW yang gagal dan ingin pulang.

Nasib Karimah yang pulang membawa penderitaan dengan melumat impiannya kembali jadi TKW, sambil bertekad membangun ulang rumah tangganya yang telah ditinggalkan dan dikhianatinya selama 2 tahun. Apakah “pertobatan” Karimah itu sudah dianggap cukup? Akhir (ending) novel ini memang sangatlah manis. Penutup yang indah:

“Segera kutemui keluargaku, kupeluk erat mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka lagi. Tiba-tiba tanganku tergerak membuka tas kecilku dan mengambil sebuah CD Champs Elysees yang bersampul biru dengan gambar Joe Dassin. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkannya di rumah. Aku yakin lagunya indah, seindah Champs Elysees, jalan yang tidak akan pernah kulupkan seumur hidupku. Au revoir, Champs Elysees! (hal. 186)

Rosita memang tak ingin (mungkin menghindar) membangun konflik berlarut-larut. Novel ini juga dibangun secara sederhana dengan pikiran sederhana, sebab itu “keliaran” imajinasi sebagaimana ditemukan dalam novel-novel penulis wanita Indonesia lain tak ditemukan di sini. Itu saja.*


-------------
*sumber Radar Lampung, 5 dan 6 Januari 2009

Sisi lain Potret TKW di Luar Negeri

Catatan atas novel Luka di Champs Elysees

Oleh Isbedy Stiawan ZS



INILAH novel yang mengapungkan sisi gelap kehidupan seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri—dalam novel ini dikisahkan di dua kota dunia: Ryadh dan Paris—bergaya realis; sehingga kita seperti membaca realita…
------


SATU lagi novel yang “mengharubiru” pembaca setelah dua novel best seller Ayat-Ayat Cintanya Habibburrahman Al-Syiraz dan Laskar Pelangi (Andre Hirata), yaitu Luka di Champs Elysees karya Rosita Sihombing (Lingkar Pena Publishing, Agustus 2008; 188).

Novel Luka di Champs Elysees memang tidak berkisah kesuksesan tokoh Fahri—bahkan sangat ideal—pada Ayat-Ayat Cinta atau Ikal yang mampu mewujudkan mimpinya semasa kanak-kanak ke Paris dalam Laskar Pelangi. Rosita Sihombing justru menelisik kehidupan kelam seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Lampung di belantara “surga dunia” kota Paris.

Inilah, kalau boleh dikatakan, novel yang mengangkat sisi lain yang kelam seorang TKW di luar negeri, sebagaimana ditulis pula di sampul depan: “Sebuah kisah haru nan menawan, tentang perjalanan seorang muslimah di negeri yang menakjubkan.”

Paris, semua orang memimpikan kota indah itu, namun di balik keindahannya menyimpan kekerasan hidup—apa lagi buat seseorang yang tinggal secara ilegal. Bagi Nyoto Prihanto, staf KBRI di Paris, mengaku tidak mudah untuk bertahan di kota itu. Begitu pula Karimah, tokoh dalam novel Luka di Champs Elysees ini yang cukup disapa Kari, sebagai warga ilegal di Paris hanya bisa bertahan tanpa tahu bagaimana nasibnya esok hari atau pulang karena kalah. Dan, Kari memilih pulang sambil meremas-remas semua impian kembali jadi TKW!

Novel karya Rosita Sihombing, kelahiran Tanjungkarang 24 Januari 1974 dan lulusan S1 Inggris Unila, mengungkap salah satu realita TKW dengan cara realis pula. Adalah Karimah—ibu berputri satu hasil perkawinan dengan Pardi yang pedagang tempe daun di Pasar Tugu—yang mengadu nasib sebagai TKW di Riyadh. Kari bekerja menjadi baby sitter 2 anak dari keluarga pasangan Alkahtani-Haifa.

Kari menerima perlakuan kasar dari majikannya, terutama Haifa (majikan perempuan). Sepertinya tiada hari tanpa kekerasan. Tidak melakukan kesalahan saja, apalagi teledor, tangan majikan dan benda tumpul akan mendarat di tubuhnya. Ia sudah tidak tahan bekerja di keluarga majikannya itu, namun meminta berhenti tidak mungkin sebab gajinya pun masih tertunda 3 bulan.

Pada musim semi, keluarga Alkahtani-Haifa berlibur ke Paris. Karimah diajak serta untuk mengurus Omar dan Nassar—kedua putra majikannya. Sebelum keberangkatan ke Paris, Kari banyak mendengar tentang kota dunia nan menakjubkan itu. Ia tergiur dan ingin sekali pada saat yang tepat melarikan diri dari cengkeraman majikan.

Niatnya itu terkabul. Tetapi bukan kebahagian diraihnya di negara Napoleon tersebut, melainkan ia kian masuk belantara pekat. Saat pelarian dari majikannya, dalam keadan tak sadar karena kecapaian dan luka, ia ditolong seorang lelaki berkewarganegaraan Aljazair.

Hamed, lelaki itu, dan pendatang gelap juga kelaknya menjadi teman serumah Kari tanpa diikat pernikahan. Ternyata, dari penuturan Kari sebenarnya banyak TKW Indonesia di Paris yang hidup seatap dengan lelaki lain tanpa ikatan perkawinan. Dari hidup sekamar dengan kekasihnya, tak jarang untuk menyewa apartemen yang mahal itu ditopang bersama.

Untunglah Kari tidak bernasib seperti temannya. Ia mendapatkan Hamed yang mengasihi dan menyayanginya. Bahkan ia harus melahirkan anak perempuan—kemudian diberi nama Maharani Karimah—walaupun hanya bernafas beberapa hari karena “kecelakaan”.

Sebenarnya Kari tak menginginkan kehamilan dari hubungan intin dengan Hamed. Tapi ketika hamil, Hamed memintanya agar tak menggugurkan. Alasannya, jika mereka punya anak akan memudahkan mendapatkan izin tinggal di Paris.

Dia melahirkan tanpa Hamed. Bahkan saat berjuang habis-habisan dari apartemen ke rumah sakit, Hamed tak menyertainya. Sudah sepekan lebih “dewa penyelamat” itu tidak pulang ke apartmen karena bertengkar. Hamed menginap di rumah temannya dan melampiaskan kekesalannya dengan mabuk-mabukan.

Hamed kesal pada keluarganya yang menolak kehadiran Kari, dan juga marah pada Kari karena selama hamil amat sensitif. Itu sebabnya, Kari tidak menyertakan nama Hamed di belakang nama Maharani—bayinya yang baru lahir ketika hendak didaftarkan di walikota—sebab Hamed tak juga kunjung bezuk. Kari berpikir bahwa Hamed tak akan mungkin kembali padanya, jadi untuk apa menyertakan namanya di belakang bayinya? Sementara ihwal penyertaan nama di belakang nama anak, bagi Hamed, adalah penting.

Hamed seperti juga Kari, sebenarnya sudah berkeluarga di negaranya. Itu sebabnya yang membuat Hamed tak mungkin dapat menikahi Kari. Begitu pula Karimah tak akan bisa mengikat perkawinan, sebab ia berstatus istri Pardi dan ibu dari Tari (putri berusia 6 tahun). Maka tatkala bayi yang baru lahir buah percintaannya dengan Hamed meninggal, Kari menerima dengan sedih dan suka.

Sepeninggal Maharani, keduanya berpisah. Kari menumpang di apartemen temannya (Enah) sedangkan Hamed dengan temannya senegara. Sebabnya biaya untuk menyewa terkuras untuk ongkos pemakaman bayi mereka seharga 2.000 euros.

Ditampung di apartemen Enah bukan hidup Kari bertambah mulus. Pasalnya, kekasih Enah asal India (Rafik) adalah tipe lelaki matakeranjang. Untuk menghindari pelecehan dari Rafik, Kari kerap keluar bersamaan temannya itu pergi bekerja dan pulang pada malam hari. Tujuan satu-satunya ialah Jalan Champs Elysees, kenangan saat tangannya terluka karena jatuh saat melarikan diri dari majikannya dan ditolong Hamed.

Artinya jalan yang menawan dan menakjubkan itu, selain menyimpan luka juga kenangan indah. Di kawasan ini pula, Kari tak sengaja bahkan seperti kebetulan, berjumpa dengan perempuan Indonesia bernama Imel (hal.150-154)

Dari informasi Imel, Kari mendapat semangat baru untuk mengurus surat-surat di KBRI demi kepulangannya ke Lampung. Situasi kebetulan juga terjadi di novel ini, Hamed menelepon Kari. Bahkan kekasihnya selama 2 tahun di Paris itu bersedia membelikan tiket pesawat ke Indonesia. Kari pulang sebagai orang yang kalah sekaligus pula menjadi pemenang atas dirinya sebelum benar-benar lebur ditelan buasnya Paris.

*
NOVEL Luka di Champs Elysees ini digarap sederhana, sehingga pembaca bisa mudah mengikuti alur tanpa melompat-lompat. Bahkan untuk flashback pun, mungkin Rosita khawatir alur cerita tak terkejar oleh pembacanya, ia perlu memberi penjelasan. Atau langsung dengan menyebut “Dua Tahun Silam”, misalnya. Bab-bab yang dibuat pun kentara kalau penulisnya tak mau berumit-rumit: “awal”, “masa lalu”, dan “kini”.

Saya tak hendak menyebut Rosita sebagai penulis (novel) pemula, sebab dalam kancah penulisan justru perempuan yang pernah jadi jurnalis di Sumatera Post ini sebagai “pemain lama”. Hanya saja, “di dunia cerita” saya baru mengetahui selepas novel ini terpublikasi.

Memang, dua atau tiga tahun lampau, saya pernah berjumpa dengan Rosita di Toko Buku Gramedia. Ia yang ditemani suaminya Patrick (warganegara Prancis) sedang memborong sejumlah buku sastra (novel dan kumpulan cerpen) di antaranya karya Pramudya Ananta Toer. Sejak perjumpaan itu pun lepas warta, dan tahu-tahu dari Lampung Post Rosita meluncurkan sebuah novel.

Cerita kegagalan para TKW, nasib buruk oleh kekerasan majikan terhadap TKW ataupun mendapat pelecehan seksual bahkan hingga tewas, terlalu kerap kita dapati dari pemberitaan media massa. Karena terlalu sering, kisah-duka para TKW di luar negeri seperti bukan lagi kabar aneh serta mengejutkan. Apa lagi, perempuan Indonesia yang ingin bekerja (dipekerjakan) di luar negeri terus mengalir.

Oleh sebab itu, membaca Luka di Champs Elysees sesungguhnya tak lagi mengejutkan, dan kita seperti disuguhkan sebuah laporan. Hanya laporan yang dibuat Rosita Sihombing ini menggunakan media sastra. Atau kalangan jurnalis menyebut jurnalisme sastra. Tetapi, sebab cerita yang dibuat Rosita ini bukan sepenuhnya realita, maka buku ini digolongkan karya fiksi (baca: novel).

Saya sejalan dengan pikiran Fira Basuki, sesungguhnya tema novel ini sederhana ditambah mimpi yang sederhana pula dibalut kata-kata yang sederhana. Ya. Kisah seorang perempuan sederhana dengan pikiran-pikirannya yang sederhana.

Dengan “kesederhanaan” itu, saya tak berharap banyak untuk menunggu ada “kejutan” di akhir cerita, sebab penyelesaian novel ini amatlah manis. Ending yang ditulis Rosita demikian:

“Segera kutemui keluargaku, kupeluk erat mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka lagi. Tiba-tiba tanganku tergerak membuka tas kecilku dan mengambil sebuah CD Champs Elysees yang bersampul biru dengan gambar Joe Dassin. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkannya di rumah. Aku yakin lagunya indah, seindah Champs Elysees, jalan yang tidak akan pernah kulupkan seumur hidupku. Au revoir, Champs Elysees! (hal. 186)

Mungkin karena saya menyukai “keliaran imajinasinasi”, tentu berharap surat Hamed yang tanpa sepengetahuan Kari dimasukkan ke dalam tasnya dan sempat mengundang reaksi kecil Pardi ketika surat itu jatuh di bandara Soekarno-Hatta, menjadi petaka bagi rumah tangganya.

Atau saya menginginkan sekali, dokter yang memeriksa bayi mereka yang meninggal itu melakukan visum secara medis kemudian menyeret pasangan itu berurusan dengan kepolisian. Tentu kisah pahit Karimah akan semakin panjang dan mencemaskan (mengharubiru?), tidak segampang seperti ini. Tetapi rupanya, penulis ingin menghindari konflik yang rumit dan panjang,

Karena bagian ini, saya anggap paling mengganggu, yakni ketika dokter tidak mencurigai kematian karena ajal atau kesengajaan. Apakah mungkin kematian yang tak wajar itu tanpa harus divisum, dan dokter cukup percaya mendengar cerita (laporan) Hamed?

Setahu saya untuk mengeluarkan surat kematian, tidak segampang dilakukan dokter tersebut. Harus ada hasil cek visum, bukan seperti menulis resep. Atau memang cara medis di Paris berbeda: dokter cukup mendengar laporan dari orang tuanya, setelah itu memberikan surat keterangan kematian.

Mungkin pula Rosita punya cara lain. Ia bukan tipe penghukum. Ia justru memberi kesempatan bagi Kari untuk bertobat dan membenahi kembali rumah tangganya yang sempat ditinggal dan dikhianati sepanjang 2 tahun.

Novel ini didominasi seting Paris. Padahal, sebagai pembaca, saya berharap banyak mendapatkan informasi tentang Riyadh. Pasalnya disebutkan bahwa Kari sebagai tenaga kerja di sana. Kecuali bandara King Khaled Riyadh, informasi lain mengenai Riyadh tidak diumbar-umbar penulis. Berbeda dengan Paris, sampai sekecil dan detail bahkan soal politik pilpres Prancis disingung. Saya pun mahfum. Rosita sudah cukup lama menetap di Paris karena mengikut suami.

Saking hafalnya, bahkan tentang jurusan kereta bawah tanah, novelis ini keasyikan sendiri. Walaupun akhirnya pembaca diuntungkan, itung-itung diajak rekreasi (turistik) di kota Paris. Pembaca seakan berada dekat dengan menara Eifel atau menyusuri Champs Elysees.

Rosita dalam hal ini memang piawai memindahkan hasil gambarannya tentang Paris ke dalam novel ini. Hal inilah yang membuat Luka di Champs Elysees menjadi menarik dan memikat. Kata-kata nan indah, narasi-narasi liris, rasa-rasanya yang menambah bagi novel ini betah dibaca.

Yang mengganggu pembacaan saya ialah kesalahan ketik, selain itu inkonsistensi Rosita. Misalnya, apakah ia sebagai tokoh aku ataukah pencerita, sebab di hal. 40 tiba-tiba Rosita menyebut: “Tidak lupa dia memberikan senyuman kepada petugas itu.” (tanda tebal dari saya). Seharusnya bukan dia melainkan aku. Ketidakkonsistensi lainnya, soal sebutan ibu ataukah mama? (lihat bab Nak, Ibu Pulang! hal. 175).

Novel ini tidak begitu tebal. Akibat ingin irit dalam berbagi cerita, Rosita kurang memberi informasi soal Enah dan Icha. Siapa kedua teman Karimah itu, dan bagaimana mereka bisa saling mengenal (berteman)? Apalagi pertemanan mereka sudah amat kental.

Awalnya saya menduga Karimah akan bermain ke rumah Imel setelah ia diberi kartu nama, setidaknya ingin lebih tahu banyak soal pengurusan kepulangannya yang diketahui memang tak mudah buat warga gelap di Paris. Imel sudah memberi rambu-rambu: “Oh ya, ini alamatku. Kalau ada masalah, hubungi aku, ya!” (153-154). Tetapi, jangankan bersilaturahmi ke rumah Imel, tokoh misteri yang dijumpai di taman itu tak lagi (di)muncul(kan).

Selebihnya asyik-asyik saja, karena Luka di Champs Elysees ini tidak berpretensi membuat kita mengerutkan dahi. Rosita cuma ingin menghibur pembacanya dengan pesona nan takjub atas Paris, seraya memasukkan pesan: jangan (pernah) bermimpi indah jadi TKW.

Saya kira, inilah catatan saya buat novel Luka di Champs Elysees Rosita Sihombing. Salam.


23 desember 2008; 03.06

--------------------------
* merupakan bahan bincang pada Diksusi Novel Luka di Champs Elysees karya Rita Sihombing di UKMBS (Unit Kegiatan Bidang Seni) Universitas Lampung, 27 Desember 2008. Tapil pembicara lain adalah Ari Pahala Hutabarat, penyair yang juga sutradara di KoBer.