15 November 2008

Rumah, Puisi, Penyair

(Kisah Rumah: Perpuisian Indonesia Modern)

Oleh Bandung Mawardi


… suasana desa Komplang yang gelap, sepi, dan tidak menyajikan tawaran “apa pun” untuk dinikmati menjadikan Sapardi memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. Ia menegaskan, “Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang banyak dan ‘kesendirian’ yang tak bisa saya dapatkan di tengah kota”.

Akan tetapi, tampaknya, keputusannya untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati “kesendirian” itu tidak menghentikan kegiatan kluyuran-nya. Adapun kluyuran dimaksud bukan kluyuran dalam arti fisik di dunia nyata, melainkan di dunia batinnya sendiri. Dengan kata lain, Sapardi terus-menerus melakukan pengembaraan. Jelasnya, dengan “masuk ke dalam telinganya sendiri” Sapardi menyusup ke dalam sanubarinya, sambil membongkar-pasang kata, untuk mendengarkan secara lebih jelas dan terang bisikan yang diucapkannya padanya (Soemanto, 2006: 7-8).

Kisah itu dituturkan Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006). Konon perpindahan Sapardi ke rumah di kampung Komplang (Solo) menjadi babak awal proses kreatif menjadi penyair. Sapardi mengakui: “Saya belajar menulis puisi pada bulan November 1957.” Saat itu usia Sapardi 17 tahun. Sapardi mengalami sekian perpindahan rumah sebelum dia bisa dan mau belajar menulis puisi. Sapardi lahir di rumah di kampung Baturono lalu pindah ke rumah di kampung Ngadijayan lalu pindah ke rumah di kampung Komplang. Rumah yang terakhir itu layak dikatakan sebagai rumah biografis dan rumah puisi awal Sapardi Djoko Damono sebelum dia melakukan perpindahan ke rumah-rumah yang lain.

Persoalan rumah dalam kerja kreatif diakui M. Poppy Donggo Huta Galung (Proses Kreatif, Pamusuk Eneste (ed.), 1984: 158) memberi pengaruh besar dalam biografinya sebagai pengarang. Poppy mengatakan: “Selama berumah tangga, beberapa kali saya pindah rumah. Rupanya suasana rumah juga mempengaruhi saya. Ketika tinggal bersama orang tua saya di Grogol, dalam keadaan “gembul” (hamil), saya bisa mengarang; begitu juga ketika saya pindah lagi ke daerah di seberang rumah orang tua saya. Tapi ketika saya pindah lagi ke seberang lainnya – masih di Grogol – saya sama sekali tak bisa dan tak mau membuat apa-apa. Mungkin ini disebabkan bisingnya jalan di depan rumah kontrakan kami itu, atau bau got yang sering kali menyengat hidung.

Joko Pinurbo dalam wawancara dengan Koran Tempo mengakui bahwa rumah yang sekarang ditinggali di Yogyakarta itu diperoleh dengan kerja keras dan puisi. Joko Pinurbo mengatakan: “Saya beli rumah ini dengan susah payah banget.” Sebelum itu Joko Pinurbo tinggal di rumah kontrakan selama 14 tahun. Pengakuan itu dengan eksplisit menyebut ada relasi antara Joko Pinurbo, rumah, dan puisi. Relasi kreatif dituturkan dalam narasi ini: “ … menulis puisi juga membutuhkan tempat yang kondusif. Selain di bawah sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya, kantor Yayasan Dinamika adalah tempat favoritnya (Joko Pinurbo) melakukan permenungan serta pengendapan ide” (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007).
Kisah Joko Pinurbo dengan rumah biografis itu menjadi representasi puisi Indonesia modern yang lahir dari kehadiran penyair dalam ruang geografis dan imajinasi. Joko Pinurbo mengalami proses kreatif yang memungkinkan ada bentuk kerja kreatif relasional yang dikonstruksi dari penyair, rumah, dan imajinasi. Barangkali proses merenung dan menulis puisi di rumah mengantarkan Joko Pinurbo pada diksi-diksi rumah yang jadi kekuatan besar dalam puisi-puisinya.

Sejarah, Diksi, Imaji Rumah: Mengenang, Membaca Puisi
Sejak kapan puisi Indonesia modern mengenal diksi rumah? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa dilacak dari ceceran sekian puisi yang terbaca. Ingatkah pada bait terkenal Hamzah Fansuri pada akhir abad abad XVI. Hamzah Fansuri menuliskan diksi rumah yang kelak diingat orang: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah / Mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah / Di Barus ke Qudus terlalu payah / Akhirnya dapat di dalam rumah. Bait itu mengabarkan kisah pencarian manusia terhadap Tuhan. Pencarian pada ruang geografis jauh dan dianggap suci tidak memberikan jawaban. Pencarian itu berhenti karena kembali pada rumah. Hamzah Fansuri menuliskan rumah religious yang menerima kehadiran manusia-manusia pencari Tuhan.

Puisi yang arogan dan menjadi kejutan awal relasi puisi, penyair, dan rumah dituliskan Chairil Anwar pada 27 April 1943. Puisi “Rumahku” dalam babak-babak yang lain menjadi prototipe yang memberi pengesahan terhadap kerja kreatif penyair Indonesia modern. Chairil mewariskan kerja kreatif dengan rumah puisi dan estetika yang mumpuni.

Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang satu.
27 April 1943

Puisi “Rumahku” mencatatkan kisah penyair yang menjalani hidup dengan kerja kreatif dan estetis. Chairil berhasil menciptakan hukum untuk penyair Indonesia modern. Hukum identifikasi rumah adalah puisi sebagai hasil kerja penyair. Konstruksi rumah penyair adalah rumah kreatif yang hidup dengan nilai-nilai estetika terakumulasi dari tegangan peristiwa di dalam dan di luar rumah. Rumah produktif yang diciptakan Chairil Anwar membuat suatu alur yang eksplisit bahwa rumah itu dunia asal dan kembalinya penyair. Rumah memberikan dirinya untuk kerja penyair dengan segala risiko yang ada. Penyair tidak lari dan melakukan hubungan negatif dengan rumah. Chairil Anwar memberi warisan laku hidup (biografi) penyair Indonesia modern.

Arogansi Chairil Anwar mendapati suatu godaan lemah dari Sitor Situmorang yang menulis puisi “Rumah”. Sitor belum bisa mengonstruksi rumah dalam wacana estetika puisi modern. Imajinasi rumah diciptakan dengan rayuan dan sikap penerimaan yang konvensional dan klise. Rumah menjadi ruang yang tidak memberi kemungkinan-kemungkinan produktif dan mobilitas makna. Sitor justru menghadirkan dirinya sebagai penyair yang memainkan peran kearifan seorang pertapa: Laut dan darat tak dapat lagi didiami / Benahilah kamar di hatimu / Atau mari diam dalam rumahku, / Bumi yang tak berumah satu. Peran Sitor masih terlihat dalam puisi “Upacara di Rumah Adat”. Puisi ini mengantarkan Sitor pada biografi antropologi yang membuat penyair merasa hidup. Sitor yang dikenal sebagai seorang pengembara di Barat dan Timur akhirnya kembali pada rumah antropologi. Wacana biografi dan pengetahuan yang diucapkan dengan suara-suara berbeda dalam puisi-puisi Sitor tidak membuat puisi “Upacara di Rumah Adat” menjadi puisi dengan taraf rendah dan sepele. Sitor menyatakan diri dalam relasi penyair dengan asal kebudayaan yang mengonstruksi identitas individu dan sosialnya. Sitor tanpa rikuh memberi kesadaran rumah antropologis pada puisi Infonesia modern. Rumah antropologis Sitor mungkin bisa terpahamkan dengan latar belakang hidup (biografi) penyair: di pusat rumah adat / tempatku subur kembali / di rahim marga.

Puisi “Rumah Asal” dari A.D. Donggo mungkin layak jadi reaksi terhadap puisi Sitor Situmorang “Upacara di Rumah Adat”. Reaksi yang tidak melawan atau membantah biografi antropologi penyair Sitor. A.D. Donggo sekadar meragukan keinginan untuk kembali ke rumah asal dalam pengertian antropologi kebudayaan. A.D. Donggo menulis: Kembali ke rumah asal / Benih apa yang kau tabur? Pertanyaan yang mendeskripsikan suatu sejarah hidup yang lahir, pergi, dan kembali pada rumah asal dengan syarat yang kaku dan formalistik. Penyair dalam rumah antropologi ini susah menemukan bentuk kebebasan dan pencapaian-pencapaian hidup yang berbeda atau bertentangan dengan anutan nilai kebudayaan asal.

Rumah antropologis dikisahkan dengan menarik oleh Darmanto Jatman dengan penjelasan-penjelasan yang berasal dari kosmologi Jawa. Kebudayaan Jawa yang diusung Darmanto menentukan kehadiran konstruksi rumah dalam puisi “Rumah”. Puisi ini bisa dikatakan terbuka dibandingkan rumah antropologis Sitor Situmorang yang bersumber dari kebudayaan Batak. Darmanto Jatman mengabarkan puisi rumah dalam pengertian rumah kelas priyayi yang dikosntruksi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol kosmologi Jawa: Sang Guru laki kepada Rabinya: / Rumah itu Omah / Omah itu dari Om dan Mah / Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, / bersifat jantan / ah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya / tanah, bersifat betina / jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya / karenanya kupanggil kau Semah, karena kita serumah. Penjelasan yang diajukan Darmanto melibatkan hubungan lelaki dan perempuan sebagai pemilik dan penghuni rumah. Rumah antropologi Darmanto adalah rumah yang dituliskan dari hubungan intim penyair dengan rumah biografis penyair.

Diksi rumah dihadirkan Subagio Sastrowardoyo dalam definisi sunyi dan nostalgia. Subagio menciptakan rumah yang tidak mengabarkan biografi penyair dengan terbuka. Rumah diletakkan dalam konsep yang berhadapan dengan imajinasi-imajinasi lirik. Subagio sekadar bisa menceritakan dalam puisi Lima Sajak Tentang Perempuan (Rumah): Rumah ini tak kosong meskipun tak / ada yang menghuni. Di ruang sunyi / masih melekat kenangan pada dinding, / ranjang dan lemari. Imajinasi ruang, benda, dan suasana dalam bait itu ada karena penyair menjadi seorang arsitek yang tidak bekerja dalam epistemologi rumah. Rumah kembali dipandang sebagai rumah yang dikenali oleh orang-orang yang ingin definisi sunyi dan nostalgia.

Toto Sudarto Bachtiar hadir sebagai penyair lirik yang kalem ketika bicara rumah. Toto membuktikan diri bahwa ada kepemilikan dan keintiman penyair pada rumah yang memberinya ruang estetika untuk menulis puisi (kisah manusia). Penyair dengan sadar menganggap rumah adalah dualisme pamrih hidup. Rumah yang ditinggalkan dan rumah yang didiami memiliki energi berbeda yang bisa diolah dan dikisahkan penyair. Kesadaran rumah Toto membuka fragmen biografi penyair Indonesia yang memiliki rumah-rumah berbeda. Inilah kekaleman Toto dalam puisi “Rumah”: Terkadang terasa perlunya ke rumah / Atau terasa perlunya tak pulang ke rumah / Berceritera dan berkaca pada hari-hari kupunya / Di rumahku besar sekali nubuah sebuah kisah. Puisi ini dipakai Toto untuk presentasi yang mungkin menarik untuk obrolan tentang rumah, penyair, dan puisi dalam tegangan biografi-biografi penyair Indonesia modern.

Penyair Rendra yang awal besar dengan balada-balada menuliskan puisi yang memakai metafora rumah dalam tataran kosmologis. Puisi “Lautan” kentara membuat perbandingan-perbandingan lugas antara daratan dengan lautan yang kelak terus dibicarakan Rendra dalam konteks sejarah maritim (lautan) dan agraris (daratan). Inilah puisi yang khas dengan pandangan dunia Rendra: Daratan adalah rumah kita / dan lautan adalah kebebasan. // Daratan adalah rumah kita, / dan lautan adalah rahasia. Dunia perbandingan itu kurang memunculkan wacana rumah sebagai persoalan biografi penyair Indonesia modern. Puisi “Rumah Kelabu” justru menghadirkan rumah yang dikonstruksi Rendra dengan persoalan sepi, bunuh diri, dan teka-teki. Puisi ini mengesankan dunia penyair yang sanggup meletakkan rumah sebagai ruang hidup dan kematian untuk penghuninya. Rendra menghadirkan rumah yang impresif: Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi / di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri? // Rumah batu, rumah kelabu / kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki.

Romantisisme penyair Indonesia modern terhadap rumah dituliskan dengan liris oleh Eka Budianta. Puisi yang memakai desain lama dan mengulangi imajinasi-imajinasi dari tradisi penyair yang intim dengan rumah dan alam. Penyair merasa perlu mengabarkan imajinasinya tentang rumah yang sudah menyebar dalam dongeng dan mimpi. Inilah puisi “Rumah-Rumah Cinta” yang ditulis pada tahun 1997-1998: Inilah rumahku / Pondok kecil di tepi hutan / Kecuali pohon-pohon berdoa / Bintang-bintang bernyanyi // Inilah rumahku / Tempat rembulan terlena / Matahari menunggu / Langit menetes embunnya.

Keraguan epistemologis terhadap rumah dinyatakan Landung Simatupang dalam puisi “Rumah” (1974). Landung skeptis dengan hubungan-hubungan yang sudah dan hendak diciptakan antara biografi individu dengan rumah. Landung yang penyair membuat suatu pembayangan utopis tentang rumah dan kondisi manusia. Pertanyaan bersyarat menemukan alternatif jawaban yang meragukan: jika ingin bersendiri tanpa bersepi / jika ingin hening di tengah bising yang mati / jika terus ingin lari lalu selalu rindu kembali / jika ingin tempat menetap tanpa tersekap / jawablah: / kepadamukah kumesti pergi? Penyair ragu untuk pergi dalam rumah. Persoalan yang pelik adalah pandangan penyair tentang keberadaannya yang harus berhubungan dengan rumah. Berada dalam rumah mungkin bisa jadi jawaban untuk penyair yang pergi dari rumah dan ingin kembali. Alasan-alasan itu bakal diuji dengan pengalaman kepemilikan dan kehadiran dalam rumah yang mengandung makna-makna dilematis untuk dipilih dan dimiliki penyair. Rumah yang dipandang sebagai pembatas (imajinasi tertutup) bakal menghancurkan. Rumah yang dipandang memberi imajinasi terbuka memungkinan penyair hidup.

Bandingan yang setaraf dengan puisi Landung Simatupang terbaca pada puisi Isbedy Stiawan ZS “Batas Bayang dan Diri” (2002). Isbedy menyadari bahwa keberadaan rumah dalam biografi penyair adalah utopia dan obsesi yang memberi sepi. Isbedy percaya dengan pandangan bahwa: Rumah cuma angan-angan / yang sepi menanti. Kesadaran penyair ini membuat suatu deskripsi yang berjarak mengenai relasi rumah dengan penyair Indonesia modern. Rumah tidak harus dimaknai sebagai ruang kreatif, dan etstetika karena terjadi perubahan peran dengan pelbagai alasan internal dan esternal. Isbedy sekadar mengakui: Rumah cuma didatangi / bila rindu. Selebihnya sunyi, tertutup. Rumah mengalami perubahan nilai dan peran. Rumah itu identik dengan sepi dan sunyi. Rumah identik dengan pikiran, imajinasi, situasi, dan pandangan dunia yang tertutup. Identifikasi negatif terhadap rumah yang terus menemukan kepercayaan dari penyair-penyair Indonesia modern.

Afrizal Malna dalam jarak yang jauh Chairil Anwar mengabarkan “Kematian Rumah”. Puisi Afrizal jadi babak puisi yang tragis: Jangan panggil kami, kami berdua tidak punya nama. Kami / berdua lahir dari kematian rumah. Pemaknaan rumah adalah kehadiran identitas, wacana bahasa, dan konstruksi ruang. Nama yang tidak dimiliki mengartikan tidak hadirnya pengucapan identitas dengan bahasa-bahasa yang bisa membuat orang percaya. Kelahiran menjadi perkara tragis karena tak ada legitimasi hidup (tranformasi). Kelahiran itu berasal dari kematian ruang dan tempat yang mestinya menjalankan misi mengonstruksi identitas manusia yang ada dan hidup di dalam rumah. Diksi rumah epistemologis Afrizal Malna seakan berjalan pada alur puisi yang lari dari jalan besar.

Puisi “Negeri yang Hilang” dari Radhar Panca Dahana mengabarkan rumah yang menyimpan sejarah dan nubuat hidup manusia. Rumah berada dalam pengertian psikologis yang membuka kesadaran manusia mencari dan menentukan nilai-nilai hidup. Sesal, gelisah, rindu, penantian, dan bingung menjadi rumusan pertanyaan besar tentang keinginan untuk kembali ke rumah dan berada dalam rumah. Inilah tragisme psikologis yang dijalani manusia: mencari asal / kupunya rumah. mencari sesal awalku gelisah. / aku pulang tanpa diriku. kuingat aku / tertinggal di pangku ibu. mana bisa kupergi / berbekal nama cuma. tanpa kukenal siapa nama, / semak belukar titian lalu, rumah kujelang / ibu menunggu. kusibak tirai nampak teras rumahku. / adakah aku tetap di situ?

Radhar dalam puisi “Surat Para Pencari Pintu” (1993) memberi deskripsi lain tentang keinginan untuk pulang ke rumah. Rumah berada dalam wacana mobilitas manusia untuk masuk atau keluar dengan kepercayaan waktu, pamrih, dan kerja hidup. Pada taraf yang atas terjadi suatu kegamangan epistemologis terhadap rumah dan pemaknaan dengan bahasa yang tak utuh terpahamkan. Inilah puisi rumah yang getir: seperti aku, / kau pun masuk-keluar rumah seolah / maling yang tak punya pintu dalam / kosa katanya. dan kita, begitulah, / senantiasa terlalu larut pulang.

Puisi Joko Pinurbo “Rumah Persinggahan” (1999) mengisahkan hubungan aku lirik dengan sebuah rumah yang diberi komentar ambivalensi: Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku / jauh dan tersembunyi. Tidak mudah menemukan alamatnya. / Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya, / bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung / dalam keluasannya. /Tapi aku selalu ingin singgah ke sana. Rumah dalam imajinasi Joko Pinurbo itu mengesankan ada pengambilan jarak dan keinginan menjadikan rumah itu sebagai persinggahan. Rumah sebagai ruang yang luas mungkin membuat orang yang ada di dalamnya jadi kecil dan kebingungan menanggung risiko-risiko.

Dorothea dalam puisi “Akhirnya Aku Pulang” mengisahkan ada kehendak untuk pulang (kembali) ke rumah meski ada derita. Rumah terpahamkan sebagai asal dan tempat kembali dari derita yang harus ditanggung manusia. Puisi ini mengonstruksi imaji rumah sebagai bukti kodrat manusia menjalani hidup: akhirnya aku pulang setelah waktuku / penuh dengan jarak dan mimpi. aku pulang / pada rumah yang kubangun di punggung: / sebagai beban bertahuntahun. // aku pulang pada rumah, bangunan / yang menyatu dalam tubuhku, / namun menciptakan jarak begitu kelu. / menyusun baitbait sakit waktu ke waktu. Derita manusia dalam hubungannya dengan rumah adalah derita asal, derita buatan, dan derita yang dipalsukan manusia itu sendiri. Puisi Dorothea yang lain “Memo: Rumah-Rumah Batu” (1996) mengisahkan sesuatu yang negatif dan definisi keras dari diksi rumah. Rumah diletakkan dalam imajinasi yang berhenti pada taraf tragedi: beratustahun lagi, mungkin, rumahku akan tetap / sebuah batu. // rumahku: akan tetap sebuah batu.

Rumah sebagai pemberhentian akhir digarap dengan liris oleh Isbedy Stiawan ZS dengan membawa pengaruh religiositas. Puisi “Ada Daun Gugur” (1994) mengabarkan penyair yang merasakan ada pencarian yang belum tentu ditemukan dengan pengertian dan peta yang jelas. Isbedy menyatakan: hatiku gemetar / memandang namaku / yang mencari-cari rumah / akhirku. Puisi ini jadi fragmen kecil dari keinginan penyair Indonesia modern menciptakan relasi individu dengan rumah metafisik. Kehadiran rumah metafisik itu dimungkinkan karena kecenderungan penyair yang mengonstruksi puisi lirik dengan imajinasi-imajinasi dan diksi yang metaforis.

Puisi rumah metafisik Isbedy bisa dicari jejak awalnya dalam puisi Saini K.M. Penyair ini menuliskan diksi rumah dalam porsi kecil dibandingkan mayoritas puisi-puisi yang lain. Puisi “Rumah Cermin” (1971) adalah konstruksi puisi yang dibuat oleh penyair dengan diksi-diksi metaforis dan tatanan lirik sebagai bentuk yang mungkin untuk menempatkan rumah pada wacana metafisik. Frase rumah cermin yang dituliskan Saini K.M. menempuh jalan kecil dari perpuisian rumah Indonesia modern: Sebuah rumah cermin dan kita terperangkap di dalamnya / Sosok dan wajah pecah bertabur dalam bingkai / dan warna beribu kaca. Janganlah bertanya / karena kata-kata pun berubah arti, layu bagai bunga. // Rumah dimaknai sebagai persoalan yang dihadapi manusia untuk bisa hidup, memakai bahasa, mencari bentuk, perubahan-perubahan arti. Saini K.M. meloloskan diri dari konsep rumah yang biasa hadir dalam puisi-puisi penyair Indonesia modern meski tidak memberi pengaruh besar dalam pemaknaan wacana rumah.

Isbedy dalam fase yang lain melakukan pergeseran wacana rumah yang mulai masuk dalam nostalgia dan romantisisme penyair Indonesia modern. Puisi “Aku Menanam Diri” (2002) masih harus memakai lirik untuk bisa mengucapkan sunyi dan krinduan penyair pada rumah dan pembayangan hidup. Puisi ini membuat Isbedy sanggup menyatakan relasi yang kentara antara dunia ciptaan penyair dengan rujukan rumah. Isbedy membuat wacana rumah yang jauh dari puisi-puisi keras: Entahlah apa aku akan menemui rumah sunyiku. Kecenderungan puisi-puisi setaraf ini menyebabkan rumah puisi Indonesia modern sibuk dengan kenangan-kenangan individual yang terasing dan sedih. Isbedy Stiawan ZS dalam perpuisian Indonesia modern adalah penyair yang identik dengan diksi dan wacana rumah. Puisi-puisi Isbedy dengan tematis rumah terhitung dalam jumlah besar dibandingkan dengan penyair-penyair lain. Kumpulan puisi Isbedy Menampar Angin (2003) menghadirkan tematis rumah dalam puisi-puisi “Begitu Sering Kutinggalkan Rumah”, “Berapa Kali Aku Harus Kehilangan Rumah”, “Kumasuki Rumah”, ‘Song of Life”, “Rumah Bercinta”.

Biografi: Rumah Penyair, Rumah Puisi
Puisi Toto Sudarto Bachtiar dengan judul “Malam Dingin” (1955) mengesankan puisi rumah yang dirumuskan dengan nostalgia (sejarah), waktu, kepercayaan, dan hubungan manusia. Puisi ini versi lain dari imajinasi rumah Toto yang mengisahkan rumah dengan subjektifitas dan konklusi sederhana: Kita terlalu jauh mengenang / Kapan mendirikan rumah / Dan tinggal betah / Padahal kita tak percaya // Rumah-rumah runtuh pada saatnya / Bagai harapan kita / Tinggal kepercayaan pada hubungan / Orang-seorang pada alam dingin. Puisi “Malam Dingin” bisa dijadikan perantaraan untuk menilai perpuisian Indonesia modern. Rumah puisi modern dalam sejarah “resmi” yang dikonstruksi sejak tahun 1920-an atau malah sebelum itu menunjukkan suatu konstruksi rumah yang belum bisa memberi keyakinan atau janji besar. Proses mengenang puisi Indonesia modern niscaya menyebutkan Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, dan yang lain. Jarak hari ini dengan puisi awal Muhammad Yamin lumayan jauh yang menyebabkan ada tafsiran-tafsiran berbeda. Meletakkan Muhamad Yamin sebagai deretan awal mungkin bisa diterima dalam wacana perpuisian Indonesia modern.

Pertanyaan yang susah terjawab adalah kapan mendirikan rumah puisi Indonesia modern? Jawaban itu susah diajukan karena ada rasa tak percaya dan kecurigaan atau keraguan historis. Pertanyaan itu terus disimpan dan rumah puisi dikonstruksi terus: pembaharuan, revisi, pemberontakan. Kisah-kisah yang ada adalah kelahiran dan kematian dari penyair, puisi, atau malah rumah? Bukti yang membuat rumah puisi Indonesia modern layak ada karena penyair-penyair betah hidup di dalam rumah dengan sangsi dan mimpi yang berbeda.Barangkali Toto tak mengarahkan puisi ini untuk bicara perpuisian Indonesia modern. Ramalan yang mungkin kontroversial adalah rumah puisi Indonesia modern runtuh pada suatu saat.

Puisi Toto bisa membuka peta yang lumayan terbaca mengenai kisah penyair dengan rumah yang dihuni. Para penyair awal menuliskan puisi dari rumah-rumah yang berbeda. Ada penyair yang menulis dari sebuah rumah di Jawa atau Sumatra. Ada yang melakukan migrasi dan perpindahan rumah. Barangkalai sejak Balai Pustaka rumah terus dimaknai ruang kerja kreatif penyair meski menyisakan kisah-kisah penyair yang pergi dari rumah (berada di luar rumah) tanpa hubungan batin atau estetika yang kentara. Rumah dalam paparan itu mungkin adalah pusat geografis dan mungkin ruang tumbuh imajinasi. Segala hal layak jadi puisi. Penyair bicara apa saja ketika menuliskan puisi. Rumah jadi ruang untuk kerja kreatif dan perjalanan imajinasi dengan anutan estetika tertentu. Rumah sebagai diksi dan sebagai wacana dalam puisi Indonesia modern tercatat dalam hitungan yang banyak. Catatan jumlah dan intensitas itu membuktikan ada relasi dan operasi kerja yang merepresentasikan penyair, puisi, dan rumah dalam rumah puisi Indonesia modern.

Diksi rumah yang kuat dan tragis hadir dalam puisi Joko Pinurbo “Penyanyi yang Pulang Dinihari” (1991). Bait puisi ini layak dijadikan pertanyaan besar untuk relasi penyair Indonesia modern yang pergi dari rumah-rumah dengan rumah sebagai tempat untuk pulang (kembali): “Bukankah ini rumahmu? / Apakah engkau takut atau lupa sama sekali?” Tanya itu mengingatkan pelbagai kisah dan biografi yang lahir dari para penyair Indonesia modern. Sekian penyair Indonesia pergi dari rumah sendiri. Ada yang tidak mau pulang dan ada yang pulang dengan rasa takut atau lupa. Kisah dan biografi itu adalah fragmen yang kerap menjadi anutan penting dalam perpuisian Indonesia modern. Kesadaran rumah penyair dinyatakan dala tuturan yang kalem oleh Joko Pinurbo: “Ya, ini memang rumahku. Saban kali aku meninggalkannya, / saban kali pula harus mengenalinya kembali.” Bait ini mengisahkan kesusahan yang dihadapi penyair Indonesia modern untuk menjadi dan menulis puisi dengan kiblat dan orientasi estetika tertentu.

Kisah lama atau dunia dongeng dihadirkan kembali oleh Beni R. Budiman dalam puisi “Rumah Pasir” (1999). Puisi ini suatu permainan yang berisiko untuk sesuatu yang bisa selesai atau gagal yang berulang. Puisi ini mungkin bisa diletakkan bersama puisi Toto “Malam Dingin” untuk membicarakan rumah puisi Indonesia modern. Rumah puisi yang dikonstruksi dan diwariskan diterima penyair-penyair mutakhir dengan penerimaan tanpa keluhan atau sangsi. Sikap kontroversial yang kadang terjadi adalah keinginan membuat rumah lain dengan niat dan bahan-bahan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan yang diinginkan mungkin adalah argumen-argumen diciptakan atau yang diolah ulang atau pemunculan dongeng-dongeng lama yang dipercayai memiliki keunikan dan keotentikan estetika.

Inilah puisi “Rumah Pasir”: Kini kami sedang membangun rumah / Tapi tak tahu apa main-main lagi / Atau hanya mimpi yang mustahil jadi. Ada tegangan yang mengkhawatirkan antara keinginan (eksperimen) dengan sikap main-main. Tegangan itu menghasilkan rumah yang riil atau malah mimpi yang mustahil. Membuka catatan perpuisian Indonesia modern bakal bisa tergambarkan dari bait puisi itu. Amir Hamzah diakui sanggup membangun rumah dengan tematik religious dan penguasaan bahasa Melayu-Indonesia. Chairil Anwar sanggup membangun rumah dari puisi-puisinya yang sedikit tapi besar. Sutardji Calzoum Bachri membangun rumah dengan kredo dan mantra-mantra yang kontroversial. Sapardi Djoko Damono membangun rumah lirik dengan kalem dan dunia imajinasi anak. Afrizal Malna membangun rumah dengan diksi-diksi mutakhir dan tematik modernitas. Joko Pinurbo membangun rumah dengan humor dan tragedi. Ada penyair-penyair lain yang terus ingin membangun rumah tapi tidak terdaftar atau diakui dalam catatan resmi. Ketiadaan penyair-penyair lain dengan rumahnya sendiri lantas dinyatakan sebagai penerus, pewaris, peziarah yang menginduk pada otoritas besar penyair yang sanggup membuat rumah dalam perpuisian Indonesia modern.

Frase rumah pasir barangkali bisa ditafsirkan dengan melihat relasi penyair dengan rumah biografi dan rumah puisi dalam konteks ruang imajinasi, estetika, dan kreativitas. Penyair-penyair besar itu hanya bisa memberi informasi kecil terkait rumah biografisnya dibanding rumah imajinasinya. Pengetahuan terhadap biografi selalu membawa tanya alamat dan lingkungan sosial-kebudayaan penyair. Fenomena yang masih mungkin diketahui adalah penyair bekerja dari rumah geografis yang terkadang jauh dari rumah asal. Chairil menulis puisi di rumah Jakarta. Sutardji menulis puisi di rumah Bandung dan Jakarta. Sapardi menulis puisi di rumah Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Afrizal Malna menulis puisi di rumah Jakarta, Makasar, Solo, dan Yogyakarta. Joko Pinurbo tidak berlari jauh dari rumah (Yogyakarta) ketika menulis puisi.

Imajinasi dan Wacana Geografi: Rumah Desa, Rumah Kota
Puisi “Sebentuk Rumah” dari Piek Ardijanto Soeprijadi merepresentasikan pandangan penyair terhadap rumah sepi. Piek membuat imajinasi rumah yang jauh dari ruang geografis penyair Indonesia modern yang terpusat di kota. Piek menyadari ada pilihan sadar penyair untuk meletakkan diri dalam ruang geografis tertentu. Hubungan desa dan kota yang terus tegang membuat penyair menentukan posisi diri untuk kerja kreatif. Piek memilih membuat konstruksi imajinasi rumah yang negatif di ruang gografis desa: sebentuk rumah di puncak bukit / cuma seonggok sepi yang resah / rindukan mentari / penyibak kemelut. Rumah yang diciptakan Piek adalah rumah yang mungkin membuat siksa dan mengabarkan situasi kematian yang membuat penyair ingin pergi dari rumah atau lari dan menghuni dalam rumah.

Slamet Sukirnanto menuliskan puisi yang berasal dari imajinasi rumah yang jauh. Puisi “Di Atas Bukit” (1970) berada dalam konstruksi dunia yang menghadapkan desa pada kota. Rumah kehilangan makna pertemuan manusia yang selalu membawa pamrih dan mimpi-mimpi. Pertemuan dalam rumah menjadi persoalan temporal yang bakal diselesaikan dalam situasi hidup di kota. Slamet membuat kontras yang pragmatis: Rumah di atas bukit / Tiada kekal bagi pertemuan / Hanya semak di sela bunga-bunga, kolam dingin airnya / Semoga jadi bekal, turun ke kota.

Deskripsi rumah yang masih menyisakan gairah hidup (optimisme) dituliskan Zawawi Imron. Puisi “Rumah Terpencil” (1987) membuktikan perbedaan besar dengan imajinasi rumah Piek dan Slamet Sukirnanto. Rumah dalam imajinasi Zawawi Imron diletakkan dalam latar belakang kebudayaan pedalaman. Rumah menemukan pengungkapan yang mungkin asing untuk kebudayaan kota: Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari. Rumah menjadi suatu perlindungan dan pertahanan hidup dalam ruang besar (hutan) yang mengancam dan menghidupi. Zawawi seakan berani membuat peta yang biasa tentang situasi penyair dan rumah. Penyair yang ingin memencilkan diri (alienasi) mungkin harus berada pada ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan.

Imajinasi rumah dalam puisi-puisi Indonesia modern dalam pertumbuhannya harus berhadapan dengan realitas kota sebagai tanda besar modernitas. Rumah agraris, rumah dongeng, rumah religious, rumah epistemologis, rumah antropologi akhirnya harus menemukan bandingan dengan rumah industri, rumah modernitas, rumah kota. Juniarso Ridwan menuliskan puisi “Tentang Rumah Jagal” (2000) yang layak dihadapkan dengan puisi Piek, Slamet Sukirnanto, dan Zawawi Imron. Imajinasi rumah Juniarso berasal dan diletakkan dalam ruang kota. Realitas rumah kota membuat penyair mengabarkan berita buruk (negatif) tentang kurungan dan siksa: kota seperti kehilangan oksigen / dan kita terkurung dalam rumah jagal, / disiksa angan-angan tak menentu. Rumah kota dari Juniarso Ridwan menggambarkan makna dan situasi yang tidak kalah negatif dengan gambaran pusi rumah terpencil dan rumah di bukit.

Rumah dalam ruang kota dikisahkan dengan tragis oleh Wiji Thukul. Puisi itu dituliskan dari atau tentang rumah di kampung Jagalan yang berada di kota Solo. Pertumbuhan kota dengan bentuk dan nilai modernitas meminta kompensasi (tumbal) yang merugikan kaum lemah dan tak memiliki otoritas. Wiji Thukul mengisahkan rumah kota yang rentan untuk hancur dan disingkirkan. Inilah puisi “Suara dari Rumah-Rumah Miring” (1987): di sini kamu bisa menikmati cicit tikus / di dalam rumah miring ini / kami mencium selokan dan sampah / bagi kami setiap hari adalah kebisingan / di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat / bersama tumpukan gombal-gombal / dan piring-piring / di sini kami bersetubuh dan melahirkan / anak-anak kami // di dalam rumah miring ini / kami melihat matahari / dari atap ke atap / meloncati selokan / seperti pencuri.

Wiji Thukul fasih bicara rumah kota karena itu adalah biografi ruang dan kultural yang dikonstruksi penyair. Thukul menyadari keberadaan diri sebagai penyair dan rumah yang menempatkan dirinya pada ruang kecil dan miring. Puisi-puisi lahir dari ruang dan situasi yang terbentuk dalam rumah kota. Rumah biografi Tukul adalah ramuan imajinasi dan realitas yang terbaca di ruang kota Solo. Otoritas yang tidak dimiliki penghuni rumah terhadap kebijakan publik mengantarkan pada nasib yang miring dan tak menentu. Thukul melahirkan iajinasi dan mimpi yang berada dalam batas mungkin dan tidak mungkin: kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak / tapi bersama hari-hari pengap yang / menggelinding / kami harus angkat kaki / karena kami adalah gelandangan. Manusia yang gelandangan adalah bukti ada manusia tidak sanggup hidup layak dengan pemenuhan kebutuhan papan (rumah). Gelandangan fisik dan nilai tentu tidak lahir karena situasi sosial yang bebas dari kepentingan ekonomi, politik, ideologi, dan kebudayaan. Penguasa dengan otoritas publik yang dimiliki kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melegitimasi dan membesarkan jumlah gelandangan secara kualitatif dan kuantitatif. Mimpi Thukul tentang rumah dan nasib sebagai gelandangan adalah implikasi dari kebijakan penguasa.

Persoalan gelandangan, rumah, dan kota menyibukkan Emha Ainun Nadjib untuk bicara keras pada penguasa. Rumah sebagai pembentuk identitas manusia terus mengalami perlakuan negatif dari penguasa yang mengonstruksi kota sebagai pusat modernitas. Keprihatinan Emha adalah keprihatinan ketika ruang kota tidak memberi hak untuk kepemilikan rumah sebagai hunian dan ruang imajinasi, mimpi, utopia, atau pengharapan. Emha menuliskan puisi rumah “Trotoar Buat Manusia” (1991) dengan tanya keras dan memelas: “Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk mendirikan rumah bagi manusia, serta sepetak kamar saja buat hati puisimu yang lunglai?”

Keprihatinan terhadap kaum urban dalam pertumbuhan modernitas kota menjadi perhatian Wowok Hesti Prabowo. Penyair ini identik dengan puisi-puisi sosial yang mengisahkan kaum buruh, orang miskin, dan perlawanan sosial. Keprihatinan Emha dibicarakan kembali oleh Wowok dengan konstruksi imajinasi rumah yang bisa ditemui pada ruang-ruang kota besar. Wowok menuliskan puisi “Rumah Menangis”: Aku singgah pada rumah-rumah menangis / Api membakar api. Pohon-pohon dicabuti / Akar njelma tanda yang dalamnya berpenghuni duka // Tapi orang-orang tetap saja membangun puing-puing / Rumah-rumah tetap menangis / Dengan alamat tak seragam. Nasib yang menimpa kaum urban dan miskin diterima karena itu niscaya terjadi dan berulang. Perlawanan yang menarik adalah rumah terpahamkan sebagai kepemilikan yang tidak bisa dimusnahkan penguasa meski dengan penggusuran, perusakan, atau pembakaran. Niat dan keinginan terhadap rumah dibuktikan dengan proses membangun puing-puing dan adanya alamat tak seragam. Wowok menyadari realitas itu dengan pandangan penyair yang meletakkan rumah sebagai wacana kota dan layak bicara dalam rumah puisi Indonesia modern.

Rumah kota yang selalu jadi berita buruk dan keprihatinan sosial terus terjadi. Rumah dalam ruang kota adalah persoalan dilematis yang membuat penyair membuat penilaian dengan kesadaran sosal-politis atau malah ada representasi dari kesadaran rumah biografis. Dilema itu akhirnya menyisakan ruang rindu (nostalgia) yang sifatnya komparatif antara rumah kota dengan rumah desa. Ulfatin CH. intens untuk terus bicara rumah desa yang mengesankan pemihakan subjektif. Inilah puisi “Rumah Bambu” (1990): mungkin aku yang merindukan lagi / sebuah rumah bambu beratap rumbia / jalanan sepi di tengah desa / penuh kesederhanaan. Puisi Ulfatin ini sekaan jadi pewaris dari penyair-penyair awal yang membuat suatu konstruksi baku tentang rumah desa dengan siatuasi sosialnya. Ulfatin menguatkan imajinasi rumah nostalgia itu dalam puisi “Rumah yang Dulu” (2001): Rumah masih yang dulu / berjendela kayu beratap tembikar. Nostalgia itu mengantarkan Ulfatin pada hubungan sosial (kolektif) yang terbentuk dan tumbuh dalam rumah lama: Rumah masih yang dulu / aku rindu bersapa kawan, saudara /dan pohon-pohon yang tumbuh / berjalan menelan usia

Kematian Rumah, Alienasi, Tragedi
Afrizal Malna dalam jarak waktu jauh dari Hamzah Fansuri dan Chairil Anwar mengabarkan “Kematian Rumah”. Puisi Afrizal jadi babak sejarah puisi yang berakhir tragis: Jangan panggil kami, kami berdua tidak punya nama. Kami / berdua lahir dari kematian rumah. Pemaknaan rumah adalah kehadiran identitas, wacana bahasa, dan konstruksi ruang. Nama yang tidak dimiliki mengartikan tidak hadirnya pengucapan identitas dengan bahasa-bahasa yang bisa membuat orang percaya. Kelahiran menjadi perkara tragis karena tak ada legitimasi hidup (tranformasi). Kelahiran itu berasal dari kematian ruang dan tempat yang mestinya menjalankan misi mengonstruksi identitas manusia yang ada dan hidup di dalam rumah. Diksi rumah epistemologis Afrizal Malna seakan berjalan pada alur puisi yang lari dari jalan besar.
Puisi “Negeri yang Hilang” dari Radhar Panca Dahana mengabarkan rumah yang menyimpan sejarah dan nubuat hidup manusia. Rumah berada dalam pengertian psikologis yang membuka kesadaran manusia mencari dan menentukan nilai-nilai hidup. Sesal, gelisah, rindu, penantian, dan bingung menjadi rumusan pertanyaan besar tentang keinginan untuk kembali ke rumah dan berada dalam rumah. Inilah tragisme psikologis yang dijalani manusia: mencari asal / kupunya rumah. mencari sesal awalku gelisah. / aku pulang tanpa diriku. kuingat aku / tertinggal di pangku ibu. mana bisa kupergi / berbekal nama cuma. tanpa kukenal siapa nama, / semak belukar titian lalu, rumah kujelang / ibu menunggu. kusibak tirai nampak teras rumahku. / adakah aku tetap di situ?

Radhar dalam puisi “Surat Para Pencari Pintu” (1993) memberi deskripsi lain tentang keinginan untuk pulang ke rumah. Rumah berada dalam wacana mobilitas manusia untuk masuk atau keluar dengan kepercayaan waktu, pamrih, dan kerja hidup. Pada taraf yang atas terjadi suatu kegamangan epistemologis terhadap rumah dan pemaknaan dengan bahasa yang tak utuh terpahamkan. Inilah puisi rumah yang getir: seperti aku, / kau pun masuk-keluar rumah seolah / maling yang tak punya pintu dalam / kosa katanya. dan kita, begitulah, / senantiasa terlalu larut pulang.

Puisi Agus R. Sarjono “Syair Pindah Rumah” (1995) membawa berita skeptisisme rumah dan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi. Rumah diletakkan sebagai tanya besar dalam mobilitas hidup dan keinginan manusia membuat permainan makna dengan lakon yang diperankan. Rumah dikonstruksi sebagai hunian dan pusat eksistensialis. Agus membuka puisi dengan tanya yang substansial: Sambil mengemasi barang-barang dan kenangan, berapa kali / sebenarnya kita sanggup berpindah rumah, mengubah alamat / dan tempat pulang? Tanya itu menemukan jawaban yang skeptis dan obsesionis dengan melihat kondisi hidup dan manusia yang tidak bisa berada dalam ranah eksistensi yang meyakinkan dan tetap. Takdir atau hukum berat yang diberikan manusia dengan merujuk pada kisah-kisah teologis dan cerita lama (sejarah manusia) adalah sebagai pengembara yang bergerak, singgah, dan berpindah untuk eksistensi. Stereotipe manusia pengembara itu terjadi terus dalam perubahan masyarakat modern yang masih terus mencari rumah. Puisi rumah Agus bicara: Tapi kulihat juga orang-orang terusir / dari tanah-tanah leluhur, ladang dan sawah yang subur / menjadi pengembara sambil membawa-bawa sapu / dalam ingatan, melewati ribuan malam, ribuan siang / menggumamkan impian tentang rumah / dan sebuah halaman kecil untuk bisa disapu setiap pagi / agar anak-anak bisa berlarian di bawah matahari. Deskripsi yang menyebut manusia sebagai pengembara bisa dicari referensinya pada masyarakat desa dan kota yang tumbuh dengan nilai-nilai modernitas dan industri. Rumah menjadi persoalan yang kompleks dalam sistem sosial. pertanyaan eksistensialis dilontarkan Agus untuk mengisahkan keraguan eksistensialis manusia terhadap rumah: Tapi berapa kali / sebenarnya dalam hidup kita sanggup berpindah rumah, / mengubah alamat dan tempat pulang?

Tanya berulang diajukan penyair Robby Akbar dalam puisi “Benarkah Rumah Tempat Kembali?” Puisi Robby menguatkan pertanyaan konvensionil dalam puisi Indonesia modern yang mengurusi rumah. Inilah pertanyaan dengan pengaruh perkara yang sentimentil: Setelah jauh pergi / Dan roda waktu menghapus seluruh jejak / Di jalan yang pernah kulalui / Aku pun tersesat / Tak tahu jalan pulang. Rumah dalam pengisahan penyair-penyair Indonesia dalam alur skeptis ini kurang bisa menghadirkan persoalan yang riil untuk dikomunikasikan dengan melihat transformasi sosial mutakhir. Rumah dalam pemahaman publik bergeser jauh dari desain atau arsitektur yang berada dalam imajinasi penyair.

Wacana rumah dengan pikiran-pikiran mutakhir dikisahkan Afrizal Malna dalam Puisi “Pembunuh Rumah” (1998). Kisah manusia dan rumah menjadi suatu relasi njlimet dan berada pada batas-batas tragedi. Afrizal membuat kisah rumah yang representatif dengan pembacaan situasi sosial atau wacana urban dan kota yang menciptakan alienasi dan kematian diri terhadap rumah. Afrizal dengan diksi dan imaji rumah mengatakan: Aku pulang, aku ingin pulang. Jangan kunci pintumu. Kalau / kamu kunci aku tidak bisa masuk. Aku tak ingin mencungkil / jendela. Rumah akan mati dalam diriku. Aku ingin pulang. / Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Tempat aku tahu / kau sedang beriri menghadap jendela, dan aku duduk / dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan / sanggulnya penuh daun-daun setelah hujan. Aku ingin pulang. / Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Keterasingan dan kematian dikisahkan Afrizal terjadi pada orang-orang yang harus hidup dan tumbuh dalam ruang social yang bergerak cepat dengan hukum-hukum ekonomi, politik, dan sosial yang membunuh individu. Afrizal memberi kabar tragis: Dan kamu / tidak pernah pulang lagi. Dan aku tidak pernah pulang lagi. / Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri, yang tak / pernah bisa aku masuki lagi.

Alamat Rumah Puisi: Tambahan Kurang Penting?
Pencantuman tanda alamat rumah atau ruang dalam puisi meungkinkan pembacaan yang intim dan kritis terhadap ruang kerja kreatif penyair. Alamat itu terkadang dicantumkan sebagai kota, rumah, atau ruang-ruang yang lain. Pencantuman alamat atau rumah puis itu tidak kerap muncul dibandingkan dengan penandaan waktu penulisan puisi. Puisi-puisi Chairil yang mencantumkan alamat dengan eksplisit terhitung sedikit. Puisi “Situasi”dan “Dari Dia” ditulis di Cirebon, puisi “1947” dan “Dua Sajak Buat Basuki Resobowo” ditulis di Malang. Puisi Muhamad Yamin “Tanah Air” dan “Indonesia, Tumpah Darahku” ditulis di Tanah Pasundan. Puisi Linus Suryadi AG “Lagu Larut Malam” dan “Gelung Konde” ditulis di Iowa City. Puisi-puisi Dorothea dalam buku Para Pembunuh Waktu (2002) mencantumkan sekian alamat puisi itu ditulis: Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Magelang. Puisi-puisi Wiji Thukul dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru (2004) mencantumkan alamat puisi: Kalangan, Solo, Semarang, Sorogenen, dan Jagalan.

Penyair Made Wianta dalam puisi-puisinya kerap mencantumkan alamat (rumah) untuk proses penulisan puisi. Buku-buku puisi Korek Api Membakar Almari Es (1996), 2 1/2 Menit (2000), dan Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York (2003) menghadikran puisi-puisi yang eksplisit mencantumkan alamat rumah puisi: Yogyakarta, Denpasar, Bandung, Basel, New York, San Fransisco, Apuan, Nusa Dua, Malaysia, dan alamat-alamat yang lain. Kesadaran alamat rumah puisi ditunjukkan oleh Raudal Tanjung Banua dalam buku puisi Gugusan Mata Ibu (2005). Puisi-puisi dalam buku itu dengan eksplisit mencantumkan penanda rumah (alamat): Denpasar, Yogyakarta, Padang, Ubud, Bandung, Lombok, dan Malang.

Konvensi perpuisian Indonesia modern selama ini jarang yang melakukan pencantuman alamat rumah (ruang) kelahiran puisi. Pencantuman yang kerap ditemukan adalah penandaan waktu. Pelacakan puisi dan tafsiran untuk dekat dengan biografi penyair dan konteks ruang sosial dan kebudayaan dalam proses kreatif penulisan puisi kurang representatif dengan ketiadaan alamat rumah puisi. Pembicaran puisi memang jarang yang meletakkan puisi dengan latar ruang (rumah). Pembicaraan puisi kerap hanya mencari sejarah dan kronologi waktu. Banyak penyair yang abai dan sadar untuk tidak mencantumkan penandaan alamat rumah. Barangkali dari sikap abai itulah pembacaan dan tafsir puisi Indonesia kurang bisa memberi wacana alternatif dan komprehensif karena tak memiliki alamat rumah puisi. Begitu.


DATA PUISI
Abdul Hadi W,M. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan.
Afrizal Malna. 2002. Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. Yogyakarta: Bentang
Agus R. Sarjono. 2003. Suatu Cerita dari Negeri Angin. Yogyakarta: Jendela.
Beni R. Budiman. 2003. Penunggu Makam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Chairil Anwar. 1993. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
D. Zawawi Imron. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta: Grasindo.
Darmanto Jatman. 1997. Isteri. Jakarta: Grasindo.
Dorothea Rosa Herliany. 1999. Mimpi Gugur Daun Zaitun. Jakarta: Grasindo.
Dorothea Rosa Herliany. 2002. Para Pembunuh Waktu. Yogyakarta: Bentang.
Eka Budianta. 2000. Masih Bersama Langit. Magelang: Indonesia Tera.
Emha Ainun Nadjib. 1993. “Trotora Buat Manusia” dalam Indra Tranggono dan Iman Budhi Santosa (ed.) Sembilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isbedy Stiawan ZS. 2003. “Aku Menanam Diri” dalam Puisi Tak Pernah Pergi: Sajak-sajak Bentara 2003. Jakarta: Kompas.
Isbedy Stiawan ZS. 2005. Kota Cahaya. Jakarta: Grasindo.
Joko Pinurbo.2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Landung Simatupang. 1999. Sambil Jalan …. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
M. Poppy Donggo Huta Galung dan A.D. Donggo. 1999. Perjalanan Berdua. Jakarta: Grasindo.
Piek Ardijanto Soeprijadi. 1996. Biarkan Angin Itu. Jakarta: Grasindo.
Radhar Panca Dahana. 1994. Lalu Waktu: Sajak dalam Tiga Kumpulan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rendra. 1981. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rendra. 1983. Sajak-sajak Sepatu Tua. Jakarta: Pustaka Jaya.
Robby Akbar. 2003. “Benarkah Rumah Tempat Kembali?” dalam Jurnal Puisi Nomor 11-12-13 2003. Depok: Yayasan Puisi, Yayasan Indonesia Tera, dan Yayasan Bentang Budaya.
Saini K.M. 2000. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo.
Sitor Situmorang. 1989. Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang). Jakarta: Gramedia.
Slamet Sukirnanto. 1982. Catatan Suasana. Jakarta: Balai Pustaka.
Subagio Satrowardoyo. 1993. Simfoni Dua. Jakarta: Balai Pustaka.
Toto Sudarto Bachtiar.1962. Etsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toto Sudarto Bachtiar. 1977. Suara. Jakarta: Balai Pustaka.
Ulfatin CH. 1996. Selembar Daun Jati. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ulfatin Ch. 2001. “Rumah yang Dulu” dalam Jurnal Puisi No. 01 Tahun 2001. Depok: Yayasan Puisi, Yayasan Indonesia Tera, dan Yayasan Bentang Budaya.
Wiji Thukul. 2004. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera.
Wowok Hesti Prabowo. 2000. “Rumah Menangis” Korrie Layun Rampan (ed.) Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Biografi Penulis
BANDUNG MAWARDI, pendiri dan pengelola KABUT INSTITUT (Pusat Studi Sastra, Filsafat, Agama, dan Kebudayaan). Pendiri dan redaktur buletin sastra PAWON (Solo). Koordinator Program RUMAH SASTRA (Solo). Alamat Blulukan I, RT 4 RW 2, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174.

Tulisan di atas merupakan salah satu pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007.

::

Tidak ada komentar: