14 November 2008

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS

Batu dalam puisiku

kubawakan batu dari negeri 1000 sungai
kuantarkan sungai dengan 1000 batu
yang kudulang hingga jari-jariku
mengeras dan lebam

di negeri 1000 sungai
selalu kudulang batu
dan kuasah jadi puisi

ada cahaya di sana
ada kilau batu
di dalam puisi-puisiku

di hatimu…


/banjarmasing-tanjungkarang, 2007




Belajar dari laut

aku belajar dari laut
tentang kehangatan cinta
mengukir nama dan kenangan
di pasirpasir pantai
membikin aku abai
akan janji maupun sumpah

kupegang jemarfi-jemarinya
berlari di antara kecipak ombak
“ah, persetan kenangan
maupun kesetiaan!”


/mutun, 6 april 2008; 15.06



Selamat malam laut

selamat malam laut yang telah membuatku rindu
lelapkan aku di dalam selimut gelombangmu
telah letih tubuhku sudah sempurna kantukku
tapi tiada pembaringan kecuali di pangkuanmu

selamat datang petualang
di laut dalam kau akan lelap panjang
di selimut gelombangku
kau tak lagi akan gelisah

aku tak datang bersama perempuan
tapi kubawakan dendang
seirama dengan ilalang
buluh bambu kutiupkan

apakah senandungnya
sampai ke tubuh karang?


/selatsunda,3.11.08—bandung 4.11.08




Anak gelombang

jika laut tak memberimu tempat
ke mana lagi kau berbaring
jika pantai cuma sediakan singgah
ke payau mana kaulepaskan lengah

di laut ataupun pantai
di payau maupun ladang bakau
apa akan sama untukmu terlelap?

jangan katakan pasti sampai
setelah kau berada di laut lepas
hanya bayang-bayang lampu
atau suar yang samar
sebagai penanda usia yang memar

kau jadi anak gelombang
terempas sebagai bayang


selatsunda 3.11.08-lembang 5.11.08











Sungai kelahiran

aku seperti dungu. kemarin kau datang padaku untuk berdamai
jika menyambutmu penuh senyum, tapi setelah pintu rumahku
terbuka bagi kedatanganmu kau tujah aku. luka dan darahku
melukis di sungai kelahiran kita. “apakah kita ingin kembali
memerani kabil dan habil? kita berbunuhan di depan ibu?” tanyaku
lalu melarikan lukaku, mengeringkan darahku di rerumput
dekat sungai yang menuju rumah kelahiran

tak perlu kau katakan ingin bermaafan lalu kita berpegangtangan
dan jalan bersisian. ke bukit di mana dulu kita berikrar: “di bumi ini
kita dilahirkan, di sini pula kita bersaudara—meski ibu kita tak satu,
ayah tak bernama—dan membikin jalan hingga ke perbatasan.”

alangkah indah. tangan kita erat berkait. sekin terlipat di pinggang,
tali pinggang tak terkunci. “jika celanaku robek, apakah kau mau
menjahitnya?”

kau tersenyum. mencari rumah baru…

10.2008




Karena rambutku

selepas hujan petang itu, kuhabiskan rambutku yang membuatmu
jadi gelap. jalan tak lagi punya tujuan. kutu beterbangan dan
hinggap ke gedung dewan, kantor ambtenar, pengadilan, buku-buku
hukum, peraturan pilkada dan pemilu

kiranya karena rambutku, kau tersasar dalam hutan perjudian

2008




Bilik suara

aku tertipu oleh waktu. ia datang tidak dengan detak. senyumnya
sebilah sekin: “jangan bergerak, jika kau tak ingin mati,” ancammu
sehabis pemilihan raja, siang berhujan dan aku amat haus dan lapar

aku menunggu yang datang, memberiku selembar uang atau janji
apa-apa. akan kuterima dan lalu kumasuki bilik itu:
“menusukmu!”

3.9.08



Tentang Setangkai Bunga

ia bawakan untukmu serangkai bunga, tapi saat kau terima duri bunga itu
melukai telapak tanganmu. “Aku luka, ini darahnya,” katamu sambil menahan
perih. kau biarkan darah di tanganmu hingga mengering: warnanya tak merah tapi
kecoklatan. apakah ada darah berwarna lain? tak ada pertikaian soal
darah. seperti para pasien yang tak pernah berteriak ketika ingin membeli darah
beharga mahal, atau para pendonor akan ikhlas jika diganti uang: “bagaimana mungkin
gratis, aku perlu sate kambing dan vitamin?” kata para pendonor, setelah sepakat harga ia pun memberi darahnya.

“bahkan untuk sepetak kematian, kau harus bayar…”


05.10.2008



Tentang Kabar Rindu

aku makin mencintaimu. kau yang imut makin menggodaku saat cemberut. setiap
hari kaukabarkan rindu hingga ingin selalu temu. menulis getar waktu. mengukur
luas sepi yang dititipmu jika aku pergi. “esok bawa kembali apa yang kutitip
padamu agar tak layu,” katamu saat aku pamit pulang. kemudian bibirmu melambai,
dan hatiku jadi helai demi helai

1028




Tentang Setahun Pertemuan

setahun usia pertemuan ini, sayang, sudah berapa waktu kita lepas rindu? aku datangi
hari-hari sendirimu. kugambar pantai karena kau meminta. kutulis setiap gerak
ombak sebab rindumu pada laut. kukisahkan padamu indahnya pegunungan dan
mekarnya bakau agar kau setia datang ke tepi pantai

jika aku lupa—tapi aku tak akan pernah alpa—kau akan ingatkan dengan suara
dari mulutmu serupa gemuruh ombak. aku akan datang dan membawamu untuk
menikmati pantai: mengenang ketika pertama kali angin pantai membelai
rambutmu, pipimu, bibirmu…

“aku mau hidup layaknya anak pantai, bersamamu,” bisikmu

tapi prahara dan bencana, tak bisa ikhlas aku mengabulkan mimpimu
hidup di tepi pantai

2007-2008



Tentang Perkawinan

segudang sudah cintaku, tapi belum juga aku dipindahkan ke pelaminan. tinggal
sepi mengiris raguku.

jika setiap pertemuan tak pernah ada akhir, apakah cintaku tak akan beralamat
pada pelaminan?

kau selalu janji, aku terus-terusan menanti!


2008




Tentang Perjamuan

alasan apa aku akan melupakanmu lalu buru persinggahan lain; rumah-rumah
baru, bedeng-bedeng biru. alasan apa aku dapat meninggalkanmu, dan cari lain
paling rindu; tempat-tempat persinggahan yang haru

perjamuan demi perjamuan membuatku tak mampu melupakanmu. setiap yang
tersaji akan selalu membayang wajahmu. telah kucecap lidahmu, tubuhmu yang
daging sudah kugulai sebagai sarden, sate, sop, ataupun gule. “paling tak kusuka
rendang, jadi jangan tanya padaku cara memasaknya,” tukasmu.

lalu alasan apa aku akan meninggalkanmu? kau sudah saji mimpi-mimpiku
pada setiap perjamuan. lalu apa alasanku bisa melupakanmu?

- kau tersaji di setiap perjamuan—pagi, siang, senja, dan malam—yang
kusantap sepenuh lapar


08.10.2008

Tidak ada komentar: