26 September 2008

Perjalanan

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


SELEPAS salat magrib kutinggalkan kamar kontrakan yang baru kutempati lima bulan itu. Sebuah kamar—tepatnya bedeng—terletak di kawasan padat dan agak kumuh. Tak ada kenangan yang indah atau setidaknya menyenangkan selama menempati kamar yang cuma disediakan satu kasur di lantai. Dapur menyatu dengan kamar tidur sekaligus untuk ganti pakaian. Sedang kamar mandi di luar, meski tak jauh dari kamar kontrakanku.

Lebih lima tahun aku merantau di kota ini, hanya berpindah-pindah dari satu kontrakan ke lain kontrakan. Penghasilanku sebagai buruh di pabrik minuman kaleng tidak mampu mengontrak rumah yang layak. Selain kamar sekualitas yang kutempati sekarang.

Ah, kota besar ini hanya pantas diimpikan Indah apabila cuma untuk dikhayal. Tetapi kenyataannya sangat mengecewakan: kasar dan bisa menyasarkan. Mungkin kau pikir aku hanya menakut-nakutimu? Kau boleh coba merantau juga ke mari.

Di kota ini banyak orang yang lupa siapa dirinya. Siapa diriku? Begitulah, orang-orang tak lagi mampu mengenal dirinya, setelah menghirup udara kota ini yang berdebu dan menyantap makanan yang kadang entah diperoleh dari mana. Kau bisa memakan daging setelah diolah kembali dari sisa-sisa makanan di restoran. Atau ayam potong yang kau sangka baru saja disembelih, ternyata ayam mati lalu ditaburi kimia penyegar dan pengawet. Itulah yang kami makan berhari-hari, namun tidak pernah kami mau tahu prosesnya.

Kalau cerewet—tapi apa pentingnya kami cerewet di kota yang sangat individualistis ini?—jangan harap akan menikmati daging. Kebimbangan akan membuat kami hanya makan tempe dan tahu sebagai lauk nasi. Itu sama saja hidup di desa!

Tetapi tak pernah kusesali, apalagi tak membuat badanku terganggu. Menurut dokter di pabrik, para buruh sehat dan layak bekerja. Buktinya sudah lima tahun bekerja, pihak perusahaan tidak memecat kami karena masalah kesehatan. Kami bersyukur bahwa penyakit dalam tubuh tidak menampak saat didiagnose.

Jadi, apa perlunya kami cerewet soal makanan? Syukur bisa mendapatkan nasi dan daging setiap hari dengan harga murah. Untung kami bisa menabung sedikit dari penghasilan perbulan yang tak besar itu. Uang tabungan itulah yang kini kubawa pulang. Mudik setiap jelang lebaran.

Dengan tabungan selama setahun itulah di kampung nanti sebagai pembenaran bagi warga lain: kota besar terbuka lebar buat kita menjadi sukses. Itulah yang kemudian kembali ke kota, para perantau akan membawa pendatang baru. Memenuhi kota.

Ke kota ini aku dibawa Paklik Marto. Sewaktu mudik ia membawa banyak oleh-oleh. Ayahku tergiur, lalu mendatangi paklik agar sehabis lebaran mengajakku bekerja di kota.

“Keponakanmu sudah besar, tak baik menganggur di kampung. Kalau bekerja di kota siapa tahu dia sukses pula sepertimu,” kata ayah kepada adik kandungnya itu, Paklik Marto. Usiaku di bawah 10 tahun dari paklik. Saat diajak ke kota, aku berusia 24 tahun.

Paklik Marto tersenyum. “Gampanglah itu, mas,” katanya kemudian ringan. “Orang lain saja kutolong, keponakan sendiri masak kubiarkan menganggur di kampung!”

Aku baru tahu setelah di kota, Paklik Marto ternyata hanya penjaga keamanan sebuah diksotek. Ia juga nyambi pengojek untuk mengantar wanita-wanita di tempat hiburan itu jika ingin dibooking tamu ke hotel. Dari jasa antar-jemput para perempuan penghibur itu, ia mendapat tip yang lumayan besar.

Semula aku disuruh bekerja seperti itu. Jadi pengganti untuk mengantar-jemput para penghibur ke hotel-hotel yang sudah dipesan, sementara Paklik Marto asyik dengan kanrtu-kartu gaple: berjudi. Hanya kujalani empat bulan. Kemudian aku minggat dari kontrakan Paklik Marto. Aku bekerja di sebuah pabrik ember plastik. Dua bulan berikutnya aku pindah ke pabrik sepatu. Tidak tahan karena jam kerja yang tak tentu, akhirnya aku bekerja di sebuah pabrik makanan kaleng. Sampai kini.

Meski penghasilanku tak cukup untuk hidup membujang di kota, tetapi aku kerasan karena jam kerja yang jelas. Jika kerja lembur mendapat upah tambahan. Selain itu, aku tidak seperti Paklik Marto. Sangat tipis dengan perbuatan haram. Juga berdampingan dengan kekerasan. Tetapi, paklik mengingatkan aku agar pekerjaannya di kota tak boleh sampai ke telinga orang kampung. “Cukup kamu saja yang tahu. Ingat itu…” nadanya mengancam. Aku mengangguk.

Sejak itu aku tak lagi menemui paklik. Apa lagi aku mengontrak jauh dari kontrakannya. Bahkan saling berkabar pun tidak, padahal kami sudah memiliki handphone. Maka sewaktu aku mudik ini, aku tak perlu menghubunginya. Misalnya, sekadar basa-basi untuk mudik bersama atau menanyakan apakah ia mudik juga?

Cuma aku yakin Paklik Marto pasti mudik. Ia akan memamerkan oleh-oleh yang kadang sangat melimpah. Biasanya ia akan menggandeng salah satu perempuan di diskotek, karena tak ingin mudik ke kampungnya. Itu sebabnya, setiap mudik Paklik Marto selalu gonta-ganti pendamping. Ia selalu beralasan, ketika ditanya keluarga soal perempuan yang diakunya istri itu.

“Beginilah hidup di kota. Istri pun sering kawin cerai. Anggap saja belum dapat istri yang cocok dengan selera dan penghasilanku,” kata Paklik Marto. “Doain saja yang satu ini bisa langgeng sampai tua. Bukan begitu, sayang?” kata paklik sambil melirik perempuan di sisinya.

Ketika pertama kali aku diajak paklik, baru aku tahu. Sesungguhnya ia belum berkeluarga. Ia mengontrak sebuah kamar amat kecil dan kumuh. Tiga kali dalam tiga lebaran ia mudik bersama perempuan yang tiga kali ganti pula, sebenarnya perempuan-perempuan penghibur yang mangkal di diskotek wilayah kekuasan paklik. Aku tahu, dan paklik mengingatkanku supaya jangan membocorkan di kampung.

“Beristri di kota seperti ini sangat merepotkan. Paklikmu ini pinginnya praktis-praktis, yang gampang aja.”

“Tapi paklik….” kata-kataku tercekat di tenggorokan. Semula aku ingin membantah pendapat paklik yang kuanggap bertentangan itu. Aku ingin menasihati dia, mengawini perempuan baik-baik akan lebih baik dan banyak manfaatnya ketimbang membawa perempuan lain sebagai istri. Paklik Marto keburu berujar dan mencecar dengan ucapan-ucapan yang kurasa makin melebar.

Akhirnya aku diam. Geming. Setelah beberapa lama kami membisu, aku segera kututup tubuhku dengan selimut. Aku terlelap. Paklik Marto kemudian meninggalkan aku di kamar sendiri. Ia, seperti malam-malam lalu, berjudi kartu domino dengan teman-temannya.

Paklik Marto akan tidur pada pukul 04.20, biarpun ia menang atau kalah. Dan, ia akan membawa masuk ke kamar perempuan mana pun yang dia suka. Sungguh aku muak dengan perilaku paklik. Itu sebabnya aku segera minggat dari rumah kontrakan paklik suatu malam saat ia “bekerja” di tempat hiburan. Tampaknya kepergianku tak mengkhawatirkannya.

Mudik lebaran tahun lalu, aku jumpa dengannya. Ia bawa perempuan yang sangat kukenal saat aku menumpang di rumah kontrakan paklik. Perempuan yang pertama kali aku dikenalkan paklik, membuat jantungku bergetar. Terus-terang aku menyukainya. Tak berlanjut terlau jauh sebab paklik segera melarangku. Menurut paklik, Santi tak pantas menjadi pendampingku. Ia bukan wanita baik-baik.

Aku tahu itu. Santi juga sudah berterus-terang padaku. Ia jujur padaku, bahwa ia pernah bersuami dan sudah mempunyai seorang anak lelaki yang kini diasuh oleh ibunya di Purwakarta. Tanpa sepengetuhan paklik, kami pernah menonton film dan jalan-jalan ke kebun binatang. Saat itulah kutahu kalau Santi juga menyukai sifatku.

“Tapi, aku tak mungkin mencintaimu. Usiamu 2 tahun di bawahku. Lagi pula apa kata paklikmu kalau kita pacaran, apalagi sampai menikah. Ah, buang jauh-jauh pikiran seperti itu dari benak kita,” ujar Santi sambil merebahkan kepalanya di bahu kiriku. Sudah tiga jam kami menikmati sejuknya udara di kebun binatang.

Aku hanyalah lelaki tanpa memiliki keberanian dan punya banyak kata rayuan. Karena itu aku cuma menyetujui setiap ucapan Santi. Meski, diam-diam, kami sering mencuri untuk bertemu. Paklik Marto sepertinya tidak tahu. Atau, jangan-jangan sebenarnya ia tutup mata dan telinga soal aku dan Santi?

Setelah aku pindah kontrakan cukup jauh, aku benar-benar bisa melupakan Santi. Mungkin ia kembali kepada paklik atau barangkali ia dapat pekerjaan lain lebih baik dan tidak haram. Entahlah…

*

BIS yang membawaku sudah memasuki perut kapal fery. Segera aku turun untuk mencari tempat yang nyaman di anjungan kapal. Aku ingin menikmati malam ini dalam suasana perjalanan laut yang kurasa sangatlah indah. Bintang-bintang yang bertaburan di langit dan sedikit dicahayai bulan penghabisan ramadan, bagaikan sebuah hamparan lukisan mahakarya.

Aku memesan segelas kopi sekadar menghangatkan tubuh. Angin laut malam hari menyerap ke seluruh pori-poriku. Sebatang rokok kembali kuhisap. Asapnya segera kuhembuskan ke udara. Benar-benar kunikmati perjalanan laut ini. Kuserap hingga ke dasar hatiku setiap keindahan yang ada di laut lepas. Lampu kapal yang melaju atau rambu-rambu di laut bagaikan kunang-kunang yang beterbangan di pematang.

Ketika aku melihat Paklik Marto dan Santi menaiki tangga menuju anjungan, bergegas aku mencari perlindungan. Ah, rupanya kami satu kapal. Gumamku. Aku berharap mereka tidak melihatku. Kenikmatanku meresapi keindahan malam di anjungan kapal jadi terganggu. Aku kembali ke bis dan tidur.

Jika tak ada aral tepat malam lebaran, kira-kira pukul 11 lebih, aku sudah tiba di rumah. Ayah dan ibu pasti menyambutku dengan sukacita. Adikku yang bungsu akan segera menyaber tas bawaanku ke dalam, kemudian mengobrak-abrik isinya: mengambil oleh-oleh miliknya. Untuk adikku, kini Marno sudah berusia 12 tahun, sengaja sudah kuikat rapih. Ia segera tahu mana kepunyaanku

.

Setiap mengingat sambutan dari keluarga seperti itu, rasanya aku ingin mudik tiap pekan. Begitulah cara orang kampung menyambut perantau pulang. Seakan setiap kepulangan adalah pesta pora. Setiap mudik sama artinya berbagi bahagia atas keberhasilan setahun bekerja di kota. Dan, hari lebaran tak hanya melepas rindu dan meluapkan maaf-maafan. Tetapi juga saling berlomba menunjukkan kesuksesan. Siapa paling melimpah bagi oleh-oleh, pertanda ia dianggap lebih sukses dari warga lainnya. Maka ia akan bertabur puja-puji dan sanjungan.

Paklik Marto selalu memetik semua itu. Sebab ia paling banyak menabur oleh-oleh. Membagi-bagikan uang selepas salat idul fitri. Berinfak untuk masjid satu-satunya di kampungku. Paklik paling ramai didatangi warga, terutama malam hari kadang begadang hingga pagi sambil bermain kartu. Paklik menyediakan berbungkus-bungkos rokok, panganan, dan kopi.

Dulu, diam-diam dari ruang dalam aku menyaksikan paklik selalu mengumbar senyum dan tawa. Ia bagai raja dikelilingi para hamba. Sedangkan perempuan yang diperkenalkan sebagai istrinya kepada tiap tamu setia duduk di sebelahnya. Bahkan tak jarang ikut pula tak tidur.

Sebelum kutahu siapa paklik sesungguhnya di perantauan, sungguh aku sangat mengaguminya. Aku sering iri: kapan aku sesukses seperti Paklik Marto? Tiap mudik disambut gembira, begitu kembali ke kota dilepas lambai tangan dan tangisan.

“Mudah-mudahan lebaran tahun depan, aku masih bisa menyambutmu ya Marto…” itulah ucapan tetua di kampung melepas kepergian paklik. Terkadang ketika lebaran kembali datang, memang ada yang sudah meninggal dan tidak lagi bisa menyambut paklik pulang.

Sudah empat kali aku mudik belum juga menyamai kesuksesan paklik. Karena itu Paklik Marto masih mendapat sambutan dari orang kampung ketimbang aku. Soal ini, ayah hanya tersenyum dan membesarkan hatiku: “Paklikmu sudah bertahun-tahun bekerja di kota, wajar saja ia disambut setiap ia mudik. Suatu saat kau pun akan begitu, makanya kau harus bergiat bekerja.”

Dalam hati tak punya niat sedikit pun kuamini harapan ayah. Cukuplah aku tidak menjadi peminta-minta di perantauan. Tidak pula terhina di kampung. Bukan pujian berlebih yang kuharap, sambutan ikhlas ketika aku mudik dan doa tulus kedua orang tuaku saat balik ke kota.

Ya! Ayah dan ibuku menyambut kedatanganku. Aku benar-benar lelah setelah lebih 26 jam dalam perjalanan mudik. Mungkin keringat dari tubuhku sudah sangat tak sedap. Suara takbir dari masjid dekat rumahku masih terdengar. Menyentuh kalbu.

Adikku, seperti biasa segera menyerbu tas yang kubawa. Secepatnya ia keluakan isinya. Setelah mendapatkan yang dicari, ia tinggalkan tas yang sudah muntah isinya. “Terima kasih ya mas,” ucapnya kemudian masuk ke kamarnya.

Ibu, dengan penuh kasihsayang, seperti biasanya melepas kancing bajuku. Ibu memang selalu begitu. “Bajumu sudah bau keringat. Ayo, segera ke kamar mandi. Basuh badanmu, setelah itu makanlah. Ketupat dan sayur opor ayam kesukaanmu sudah ibu sediakan tuh,” kata ibu dengan suara amat menyejukkan hatiku.

“Tadi, paklikmu mampir. Dia…”

“Paklik sudah sampai? Jam berapa paklik datang?”

“Ia melihatmu di kapal. Katanya kalian satu kapal. Tetapi, kata paklik, waktu ia ingin mendekatimu kau sudah kembali ke bis. Benar?”

Aku mengangguk. Kukira paklik tak melihatku di kapal tadi. Ternyata matanya yang tajam tak bisa alpa setiap ada gerak. Ah, persetanlah. Aku memang sengaja tak mau bertemu dengan paklik dan Santi, itu saja.

“Mungkin juga, maklum penumpang sangat penuh. Mungkin paklik melihatku di kapal tadi. Paklik bersama istrinya?”

“Ya, dengan bibikmu. Bibik Santi. Sepertinya paklikmu akan lama dengan istrinya. Semoga saja tidak kawin cerai lagi. Bibikmu itu tampaknya mencintai sekali paklik,” ujar ayah lagi.

Ingin sekali aku tertawa. Menertawakan Paklik Marto. Sebab hanya aku yang tahu bagaimana sesungguhnya paklik di kota. Namun di kampung ia selalu disanjung. Paklik mendapat tempat di hati ibu-ibu jompo dan para janda karena kerap membagi-bagi kain dan mukena. Pengurus masjid setia menanti infak dan zakat fitrah dari paklik. Anak-anak akan menadah tangan pada hari lebaran. Dan teman-teman sebaya paklik akan menemaninya bermain kartu setiap malam selama berada di kampung.

Para pengemis yang berbaris di sisi lapangan saat salat idul fitri selalu mendapat rezeki lebih dari paklik. Saat salat idul fitri itulah, Paklik Marto seperti saleh sekali. Kopiah putih, baju koko panjang di bawah lutut, sarung yang menyapu tanah, sorban melilit di lehernya, serta sajadah dan tasbih…

Allahu akbar walillahi ilhamd. Takbir, tahmid, dan tasbih merasuk ke relung hati.


© 21 ramadan 1429

3 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

salam
singgah
bercerita andai bisa
semoga kita bisa berkawan

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

salam
singgah
bercerita andai bisa
semoga kita bisa berkawan

yuli nugrahani mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.