03 Januari 2010

Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS

Anjing Dini Hari

terbangun tengah malam, aku sudah menjadi anjing
termangu di teras rumah menunggu ayahku pulang
dari klubmalam bersama perempuan jalang
menabur uang
yang didapatnya dari
menjarah milik negara

berwaktu-waktu kutunggu, ayah yang juga majikanku

saat aku jadi anjing, tak juga pulang
ibuku, yang juga tuan putriku, hanya bisa menangis
karena menyesal bersuami seperti ayah
padahal, seperti cerita ibu, kuketahui kalau
ibu pernah dicintai pemuda sastri
namun ibu yang tak suka pemuda alim
dan keluarga ibu amat mencintai harta
akhirnya ibu menjauhi pemuda santri,
dan pemuda alim itu lalu
menyunting perawan pondok. kini, seperti cerita ibu,

mereka bahagia mengelola pondok dan hidupnya
juga cukup kaya

ibu masih menitikkan airmata di ruang tamu
menunggu ayah pulang,
namun hingga kini tak ada tanda ayah akan
ingat rumah, apalagi dengan ibu

aku pun iba pada ibu. hingga berangku pada ayah semakin kuat
aku janji dalam hati, jika melihat ayah menginjak teras ini
setelah memasukkan mobil di garasi
segera aku menyalak, gigigigiku kian runcing, lidahku penuh liur menjulur
dan siap menerkam ayahku: menggonggong
di tengah malam pekat

tubuh ayah akan kucabik-cabik dengan kukuku, gigiku,

dan tubuhku yang sudah beringas

tubuh ayah yang telah moyak, lalu kuseret dengan

menggigit pakaiannya yang juga sudah sobek
kutarik tubuh ayah di jurang atau belantara hutan
kuingin tubuh ayah yang berdarah segera
menggiurkan hewan liar
lain untuk menghabisinya

(tapi ketika kuceritakan lamunanku ini,
ibu justru memarahaiku, ia berang padaku.
ibu berujar, "dia tetap ayahmu, tak akan pernah bisa diubah
atau tergantikan. dia juga suami ibu sampai kapanpun,
kecuali kami bercerai. Meskipun dia juga anjing. Bapaknya anjing!")

entah kenapa, dendamku pada ayahku
tak juga padam
meski nasihat ibu kudengar berkali-kali...

*
Ibu menciptakan sungai di kedua pipinya. setiap malam
ia menggali airmata dari sumur kekecewaan
kepada ayah yang tak henti menyakiti

dan aku dikutuk jadi anjing setiap dini hari
menjaga kedatangan ayah di teras
memandang bengis wajah ayah yang kulihat serupa badak
terasa kami saling bermusuhan: meski sulit seekor anjing dapat
mengalahan badak, namun ayah tak mungkin sekali hentak
bisa melumpuhkan aku

aku pun membenci ayah. ingin mencabiknya jika lengah
sebagai tanda aku mengasihi bunda
tapi ibu melarangku. ia tak ingin darah tumpah di rumah kami
walau setiap malam sebenarnya darah ibu
sudah menggenangi lantai rumah:
darah yang membeku

itulah yang membuat ibu tak punya lagi gairah
melayani badak tua, walau ayah masih
menarik. dan ibu tetap menggairahkan

"jka kau masih punya niat mencabik ayah,
sebaiknya tinggalkan ibu sendiri. kuikhlaskan kau
merantau dari rumah ini, karena cinta ibu pada ayah
tak akan terhapus oleh
apa pun," kata ibu

lalu aku hanya menjulurkan lidah, dan liurku semakin deras
menetes

nafasku sengal. degup jantungku berpacu
kencang. tapi aku tak punya mangsa, selain mencabik tubuh badak
musuhku di dunia ini hanyalah ayah

kucari ayah lengah. kuingin ayah terluka dalam cabikku
tanpa ibu tahu. itulah hadiah kasih sayangku
kepada ibu. balas budku pada rahim ibu menyimpanku sembilan bulan

tapi niatku diketahui ibu. dia pun tak jemu menasihatiku agar
menjaga ayah. "sebab ia suami ibu, karena dia ayahmu!"

kalau tidak? ibu membolehkan aku membunuhnya. tapi, kalau ayah adalah sumi ibu tak mungkin
dia menyakiti rusuk kirinya sendiri

karena itu, dalam pikiranku, ayah bukanlah suami ibu. ia telah menyakiti hati ibu

dan siapa pun berani melukai hati ibu,
harus berhadapan denganku

ibu separuh dari nafasku. tali ariariku pernah terikat di rahimnya
air tubaku sempat membasahi paha ibu
dan ibu hampir mati ketika
melepasku dari rahimnya

lalu kenapa tak juga kucabik-cabik tubuh ayah?


jkt 281009; 00.38


Ruang Tunggu

CATAT kembali nama dan alamatku, juga jika penting tanggal
dan tahun kelahiranku, sebelum aku jauh darimu

lalu ingatlah segala kenangan juga jam keberangkatan
karena itulah waktu akhir tangan kita berjabat
sebagai perpisahan:
--sementara?--
tanyamu cemas

aku pun mulai dirundung gelisah
tapi bukan karena perpisahan,
aku hanya mencoba untuk merka apakah kepergianku ini
menuju pertemuan
kembali?


branti, 271009



Sunyi Rumah

jika hujan ini berhenti, tanganku akan menjelma sayap
rambutku yang panjang kukepak sebagai jubah:
aku pun terbang menuju asal air
memetik setiap rintik lalu kepersembahkan
padamu sebagai mahar

dan aku ikrarkan muakad, kalimat pertama adam
ketika menyunting hawa
di bumi amat luas ini
setelah berabad mencari karena
dipisah oleh satu kutukan

sebagaimana adam yang berikrar akan

selalu menuntun hawa menuju rumah selain di surga,
aku pun akan mengajakmu membangun kembali
rumah yang telah diruntuhkan bencana

di bumi luas ini
setiap adam akan bersusah menegakkan rumah
dan hawa untuk mendiaminya

begitulah kisah dinukil dalam kitab

lalu, jika kuetumekan selalu sunyi rumah
apakah aku harus mengeluh?

261009

Tangismu Lahir dari Airmataku

sepenggal bulan menggantung di langit berkabut
bayang buram di tanah sisa hujan: bermain-main dengan wajahku
yang tetap memancar senyum

di malam yang hanya tersisa dari lampu yang rutin mati
tak kulihat lagi wajhmu yang selama ini muram
atau memancar api
di tiap detak nafasku

di tikar ini, sebagaimana paderi, aku berikrar: kini langkahmu

adalah kakiku, lidahmu ialah ucapku, pandangmu hanyalah mataku

tanganmu sebagaimana genggamanku

: tangismu lahir dari airmataku
sedang tawaku pancaran dari riangmu


251009


Di Bawah Lampion: Solaria

di bawah lampion, kita bersitatap. matamu dan mataku menyatu
bibirmu dan bibirku berdekap dalam cakap
tentang cahaya yang jatuh tepat di pipimu
seperti siluet jalan panjang menuju pembaringan

ingatlah selalu akan ahad, dimana tanganku dijabat
dan mengikrar satu akad;
iktikad sejalan menghitung tiap denyut waktu

kini kau sayapku dan aku kepakmu
bersama-sama di bawah hujan dan matahari berkelebat
atau lampion itu menjadi penunjuk arah

di mana kita lelapkan segala resah

solaria, solaria
kita bersua dalam bahagia dan luka
airmata dan tawa...

251009; 16.21



Menyiapkan Musim

maka laut yang pernah jadi daratan lalu kembali dan menenggelamkan satu kaum
kini jadi titiaku menyeberangimu saat hari mengukir ahad
dan aku berucap akad
hingga wajahmu benar-benar melekat
sangat dekat
mengukir jalan baru yang sebelumnya tak pernah kau tahu

--berbaju koko, beraun gamis dan kerudung--
kau pun melangkah. dituntun menaiki anak tangga kebahagiaan

"jangan turunkan aku dari ketinggian ini, liwat anak tangga yang sama," bisikmu
sebab di luar ini, cuaca selalu tidak menentu
bumi sudah ramai penghuni hingga saling berebut
saling menuntut!

"aku akan kalah. pasti sengsara," katamu lagi

di singgasana taman ini, kita akan siapkan panen
menyempurnakan musim musim

231009; 23.52


Peristiwa Lain tentang Laut

kenapa selalu kau menyebutku lalut, sedang aku cumalah air terhampar
menyilakan kapal-kapal berlayar mencari bandar
ataupun pada akhirnya terdampar
--tenggelam?--

mestinya kau tidak memanggilku laut, karen adaku tak pula kuketahui
: apakah aku danau, kolam, atau...?

hingga akhirnya musa membelah jadi dua bagian
lalu si laknat yang datang kemudian terjepit setelah titian itu kembali pecah
oleh satu pukulan tongkat. jadilah daratan, kembalilah ke asal!

apakah asalku adalah gelombang sehingga kau selalu menyapaku laut
mungkin pula aku daratan lalu banjir dari kota nuh memuara sehingga kau memanggilku laut laut...?

alangkah rindu aku pada genangan, banjir bandang
atau kota-kota yang dijungkirbalikkan
agar aku jadi peristiwa lagi, seperti telah kau ceritakan
turun temurun
di nukil dalam kitab-kitab yang mungkin bisa kautinggalkan di lemari

akankah musa datang lagi dan menghentakkan tongkatnya ke tubuhku
agar para laknat terkubur dalam jiwaku

bahkan kuinginkan nuh membikin kapal lain sebelum banjir,

kemudian aku pun ikut menghanyutkan kota
jadi tak bertanda:

di antara gunung-gunung, kapal-kapal, angin yang menggulung
aku pun jadi hidup bersama gelombang, topan, dan ancaman

untuk kau tandai
sebagai rahasia
betapa maut dan hidup sejalan dalam denyutku


ss, 191009; 14.02


Aku Ikan di Kolam

kolam di belakang rumah yang dulu kulihat jelas tanahnya
mulai menampung segala air mataku
dan ikan-ikan dari potongan tulangku
tengah mencari kenikmatan lain
seraya menunggu kau pancing

akulah ikan itu kini
menggelepar di kolam yang kering oleh musim panas panjang

dan sebagai ikan, siripku menggapai
mulutku mengucap-ucap
meski tak kutahu apakah doa atau serapah

di kolam belakang rumah, aku jadi ikan
menunggu musim berganti dan peri mencabut kutukan!

141009: 02.20

************

Isbedy Stiawan ZS lahir dan besar di Tanjungkarang-Lampung. Menjadi dunia sastra sebagai profesi guna menunjang hidup keluarganya sehari-hari. Selain menulis puisi, dia juga menulis cerpen, esai, dan menulis untuk apresiasi dan workshop penulisan karya sastra. Sejumlah karyanya terdokumentasi dalam sejumlah buku cerpen dan puisi yang diterbitkan oleh penerbit sekelas Gramedia hingga Bukupop.

REFLEKSI: Kesenian (di) Lampung 2009 *)

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Sastrawan


Kesenian tardisisional masih mendapat tempat lebih baik baik dibanding modern di Provinsi Lampung, meski sebagian orang akan membantah pernyataan ini. Tetapi juga kesneian tradisional (Lampung) ternyata belum bisa banyak berbuat, manakala berhadapan dengan strategi kebudayaan yang dibuat pemerintah (daerah). Pasalnya, pemerintah masih menomorsatukan dunia pariwisata yang dianggap bisa mendulang devisa bagi pendapatan asli daerah (PAD).


Sehingga anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, konon pada 2010 bahwa 80 persen untuk pariwisata dan sisanya bagi kebudayaan, demikian pernyataan Dr Khaidarmansyah dalam disukusi bilik jumpa seniman dan mahasiswa (Bijusa) di UKMBS Unila beberapa waktu lalu. Artinya kebudayaan (di dalamnya kesenian yang harus pula berbagi antara tradisional dan modern) amatlah kecil. Dus ini menunjukkan pemerintah provinsi masih kecil perhatiannya kepada kesenian.


Lantas kesimpulan diskusi bahwa pemerintah paling bertanggung jawab (kepedulian) untuk memajukan kesenian yang hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah ini masih sulit diharapkan bisa terwujud. Sektor lain di luar kesenian, seperti politik dan pembelanjaan paratur pemerintah, masih mendominasi. Padahal, kalau saja hasil pajak dari dunia hiburan bisa dimaksimalkan, niscaya bisa mengongkosi kegiatan berkesenian. Atau bantuan dari pihak ketiga bisa diberdayakan niscaya pula bisa menghidupi kesenian (termasuk yang modern).


Geliat kesenian (di) Lampung pada 2009 sebenarnya terbilang semarak. Misalnya, teater: dua grup tetaer papan atas Lampung yaitu Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama dan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) yang digawangi Ari Pahala Hutabarat telah mengukir prestasi di panggungb teater. Teater Satu, selain mementaskan “Kisah-kisah yang Mengingatkan” di Taman Budaya Lampung, juga tampil di Salihara Jakarta. Begitu pula KoBer yang mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola telah tampil di Padangpanjang, Bengkulu, dan Salihara Jakarta. Kekuatan dua grup teater ini, tanpa mengabaikan kelompok lainnya, sudah cukup memperkenalkan Lampung di kancah seni nasional.


Sayangnya, pemerintah daerah rasanya belum menyentuh kedua teater secara maksimal. Boleh jadi pemda berkilah, yang “diurus” bukan hanya grup teater melainkan banyak jurai kesenian yang mesti dipedulikan. Namun perimbangannya yang mesti diperhatikan. Berapa besar pemda menggelontorkan bantuan ke sanggar-sanggar seni yang ternyata ada yang cuma papan nama, sedangkan grup teater yang nyata-nyata “bekerja” tidak didukung: tidak dibantu.


Seni rupa juga punya peran membangun kesenian di daerah ini. Pada 2009 berbagai event lokal dan nasional dikkuti sejumlah perupa Lampung, seperti Joko Itrianta, Subardjo, Mas Pulung, Sutanto, dan lain-lain. Kemudian tari, di pengujung 2009 Rumah Tari Sangishu tampil di UKMB Unila (25/12). Begitu perfilman yang ikut bergeliat menambah semaraknya dunia seni di Lampung. Apalagi, sadar atau tidak—diakui atau tidak diakui—tampilnya film “Identitas” karya sutradara Arya Kusumadewa yang not6abene putra Lampung—sebagai film dan sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2009 mencitrakan daerah ini dikancah nasional. Lalu musik juga punya hak untuk dicatat, kendati bibit-bibit baru di dunia musik di daerah ini agak tersendat.


Sementara dunia sastra, tampaknya maish belum digeser oleh kesenian lainnya. Sastra masih tetap menjadi primadona daerah ini. Alasannya, membicangkan sastra nasional tanpa menyertakan sastra(wan) Lampung belum lengkap. Itu sebabnya, seorang Nirwan Dewanto pernah menyatakan bahwa Lampung sebagai lumbung penyair. Sementara F Rahardi berujar, yang bisa menyamai geliatnya sastra di Lampung adalah Bali dan Jawa Timur.


Sastra berbahasa Lampung juga bermunculan. Meski belum ada ruang di media massa, ternyata sastra dalam bahasa Lampung sempat tercatat di kancah Rangace. Sayangnya tahun 2008 tidak lagi muncul buku sastra berbahasa Lampung, setelah Udo Z. Karzi mendapat pernghargaan Rancage setahun sebelumnya. Namun pada 2009, syukurlah dua buku karya Asarpin dan Oki Sanjaya diterbitkan. Sudah tentu penerbitkan dua buku itu sasarannya adalah Rancage 2009.


Daerah Lampung sepertinya tak tandus oleh bibit baru. Daerah ini begitu subur memunculkan sastrawan-sastrawan baru. Catat saja misaalnya, di dunia prosa ada F. Moses, S.W. Teofani, Ruth Marini, Aleksander Gebe, lalu di puisi setelah “menghilangnya” Lupita Lukman, muncul Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, Didi Arisandi, Endri Y, M. Harya Ramdhoni, dan lain-lain.


Wajah-wajah baru ini yang jika tidak salah olah, bisa menjaga kehidupan sastra di daerah ini semarak, dan bukan tidak mungkin “melestarikan” Lampung di tingkat nasional sebagai lumbung penyair (sastrawan). Tinggal lagi kerja sama antara media massa, pemerintah, lembaga kesenian, dan sesama seniman itu sendiri. Sesama seniman, yang saya maksudkan, tidak saling menjatuhkan atau “menusuk dari belakang”—karena persoalan ini yang acap mengganggu energi berkesenian.


Meski semarak bersastra di Lampung cukup membanggakan, namun tercoreng pula oleh tindakan memalukan dari sedikit sastrawan Lampung yang ingin cepat jadi, dikenal, atau ingin disebut paripurna. Mereka melakukan sesuatu yang hina, yaitu memplagiat karya orang lain. Sesuatu yang sulit diampuni (dan mendapat pengampunan) karena yang “mencuri” itu adalah sastrawan yang sudah jadi. Sayang sekali, ulah plagiator seakan merusak susu sebelanga.


Ketika saya menghadiri Pesta Penyair Nusantara ke 3 di Kualalumpur Novemebr lalu, masalah plagiat cerpen yang dilakukan Y Wibowo atas cerpen yang telah dimuat di Jurnal Bogor jadi perbincangan sastrawan-sastrawan muda. Begitu pula plagiat yang dilakukan Dahta Gautama atas esai pengantar Shella Walia dalam bukunya Edward Said dan Penulisan Sejarah. Betapapun boleh jadi mereka berkilah, untuk menguji pembaca di daerah ini atau apalah alasannya, tetap cara-cara seperti itu amatlah salah.


Paragraf plagiat ini sengaja saya apungkan dalam mencatat refleksi kesenian 2009 di Lampung untuk menggarisbawahi bahwa semaraknya sastra di Lampung tercoreng pula oleh noda yang sulit diabaikan. Selain itu sebagai warning bagi seniman lain yang tengah mengeksiskan dirinya. Bisa jadi plagiarisasi ini bisa terjadi di dunia tari (koreografi), film, senirupa, ataupun musik, sekiranya di antara seniman itu tak saling mengoreksi atau menganggap masyarakat seni adalah sekolompok orang bodoh.


Kemudian peran Dewan Kesenian Lampung (DKL) juga sudah cukup baik meski masih belum maksimal, setidaknya sudah mewarnai perkembangan kesenian di Lampung sepanjang 2009. Sayangnya DKL belum mendapat dukungan dari kalangan lain, selain masih berharap dari APBD Provinsi Lampung. Sekiranya ada kelompok elit dari pengusaha, elit politik, dan sumber-sumber lain yang tak mengikat, niscaya harapan untuk memberikan reward kepada seniman dengan bentuk bukan sekadar piagam akan tercapai.


Bagaimana pun dengan adanya penghargaan (award) akan memacu para seniman lebih kreatif, dus itu akan memperkancah gagasan para seniman dalam berkarya dan akhirnya menumbuhkan inovasi-inovasi. Tentu saja dengan pemilihan yang objektif. Saya kira ini sekelimit refleksi kesenian (di) Lampung 2009. Tabik.


Bandarlampung, 28 Desember 2009


*) Dimuat Harian Lampung Post, Catatan Akhir Tahun, 31 Desember 2009