16 Juni 2010

Pilkada di Kota Bandar Lampung

Seandainya Komisioner KPU Dibekukan?

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Komisioner KPU Kota Bandar Lampung didesak organisasi massa (LSM) agar segera segara dibekukan. Desakan menonaktifkan itu disebabkan kelebihan pencetakan surat suara hingga 116.583 lembar bagi pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan berlangsung Juni depan.

Desakan beberapa lembaga ormas itu, boleh jadi, akumulasi dari berbagai pelanggaran yang selama ini dianggap telah dilakukan pengurus KPU, terkait penyelenggaraan Pilkada Kota Bandar Lampung 2010. Bahkan ada tengarai komisioner tidak netral lagi, cenderung berpihak kepada satu kontestan.

Oleh karena itu, desakan komisioner KPU Kota Bandar Lampung dibekukan seperti jadi alternatif. Setelah dinonaktifkan, ‘kekuasaan’ KPU kota itu diambilalih oleh KPU Provinsi Lampung, tentu dengan pengawalan dari lembaga indevendent. Tawaran yang sebut terakhir ini, dari pernyataan seorang teman melalui jejaring sosial dunia maya (facebook). Meski hal itu sangat tidak mungkin, mengingat perhelatan Pilkada 2010 tinggal hitungan hari. Selain itu pula, akan menambah anggaran yang dikelujarkan untuk membayar ‘lembaga baru’ tersebut.

Sulit memang siapa yang benar dan siapa pula yang telah melakukan kecurangan, terkait pencetakan suarat suara yang berlebih itu. Pasalnya, pihak komisioner KPU mengakui bukan disengara. Sementara pihak kontestan, berasumsi ada kesengajaan yang dilakukan KPU untuk memenangkan salah satu kandidat.

Dalam peta politik, memang seakan ‘dihalalkan’ untuk menuding ataupun berkelit. Bahkan, jelas-jelas telah melakukan kesalahan pun menganggap bahwa pihaknya benar. Pernyataan dalam dunia politik menjadi abu-abu. Klaim-klaim bahwa satu pihak paling benar ataupun paling peduli bagi kesejahteraan rakyat, dianggap hal biasa untuk menarik simpati masyarakat. Jargon dan kebohongan sudah sulit ditemukan pembedaannya.

Media masssa telah dijadikan arena yang tepat untuk menampung jargon-jargon politik. Pihak KPU, kontestan, dan lembaga ormas (dan LSM) berlomba untuk saling melempar klaim tentang kebenaran itu. Masyarakat dipaksa untuk meyakini bahwa para pemain di panggung politik itu adalah benar, kebenaran, dan satu-satunya yang berhak memegang jargon tersebut.

Alangkah malangnya dunia politik kita. Setiap politisi berhak mengumbar janji, dan media menampungnya untuk dilemparkan ke publik. Sementara masyarakat terpaksa dijejali dengan berbagai pernyataan, yang cenderung sampah itu. Begitu pula, KPU bersikap layaknya ‘malaikat’ yang bisa semena-mena menentukan (menetapkan) sesuatu atau perhelatan pilkada. Komisioner KPU menjadi ‘kebal hukum’ bahkan tatkala dia dianggap melakukan kesalahan. Contoh ihwal ini sudah cukup banyak. Kegagalan KPU menggelar pemilu dan pilkada, hampir kebanyakan tidak sampai ke penjara. Para pengurus KPU boleh untuk tak menjawab—dengan mematikan alat kontaknya—setiap pihak meminta pertanggungjawaban. Setelah dinilai aman, mereka kembali ke publik dengan persoalan selesai begitu saja.

Kalau kebiasaan-kebiasaan serupa ini, terus dipelihara akan ke mana arah akhir politik di tanah air? Masyarakat menjadi semakin tidak peduli dengan hasil pemilu/pilkada. Siapa pun yang duduk di legislatif maupun yang menjadi kepala daerah, tidak akan memengaruhi tingkat sosial massa. Kecuali orang-orang yang dekat dan bersentuhan secara akrab dengan mereka. Alangkah malangnya hasil dari arena politik di tanah air ini?

Tampaknya sistem perpolitikan di sini yang mesti dibenahi., dan bukan soal lembaganya. Apa pun lembaganya—legislatif maupun KPU—kalau sistemnya memang mudah dicurangi, akan dilakukan juga. Betapapun individu komisioner KPU awalnya dinilai baik dan bersih, begitu memasuki sistem yang karutmarut dan terbuka dicurangi itu maka akan larut pula.

Saya amat menyayangkan, orang-orang baik dan jujur namun karena memasuki sistem politik yang masih karutmarut itu akhirnya luntur. Bahkan, kalaupun masih konsisten tetap saja dicurigai keindependenannya. Seperti buah simalakama.

Menjaga eksistensi

Memasuki bulan terakhir akan dihelatnya Pilkada Kota Bandar Lampung, elok sekali kalau semua pihak sama-sama menjaga eksistensi pesata demokrasi ini. Pihak-pihak—seperti KPU, partai, ormas dan LSM, kandidat, media massa, serta publik—bertanggungjawab bagi lancarnya keberlangsungan pilkada. Menahan diri dari berbagai emosi dan kepentingan pribadi, snagatlah diharapkan.

Terutama pihak KPU yang bagaimanapun sebagai ‘kekuasan tertinggi’ bagi hitam-putihnya pilkada/pemilu, dituntut sebenar-benarnya netral. Tanamkan dalam iktikad, bahwa siapapun pilihan masyarakat itulah yang di kedepankan. KPU hanya menghitung atau mencatat perolehan suara bagi kontentan, tanpa dicampuri oleh kepeningan demi keuntungan pribadi lalu mencurangi hitungan suara.

Lalu para kandidat, masukilah arena pilkada dengan sikap menerima kemenangan atau kekalahan. Jangan menjadikan kekalahan sebagai senjata untuk menggagalkan hasil pemeilihan suara dari masyarakat. Betapa pun, ‘suara rakyat’ pada saat ini sulit disebandingkan dengan ‘suara Tuhan” sebab sudah bisa dibeli. Apabila kecuarangan tidak siginifikan, dapatlah diterima dengan lapang dada.

Dalam perpolitikan, seperti juga di meja perjudian, kekalahan dan kemenangan adalah hal biasa dan sesaat. Karena yang lebih besar, ialah bagaimana membangun darerah ini agar lebih maju dan bisa mensejahterahkan masyarakat. Saya masih optimistis, iktikad kandidat Wali kota/Wakil Wali kota Bandar Lampung semata untuk memperjuangkan pembangunan dan kesejahteraan. Bukan untuk satu-satunya kemenangan, demi kekuasaan.

Sementara ormas atau LSM yang seakan dinisbahkan punya hak turun ke jalan, setidaknya sebelum berdomentrasi dipikir secara matang: apakah yang diperjuangkan itu akan bermanfaat bagi banyak masyarakat? Atau hanya segelintir dari pihak-pihak tertentu yang akan mencecapnya. Di sini, bukan maksud saya, hendak mencurigai integritas dan independensi semua ormas dan LSM yang kerap turun ke jalan. Tetapi kembali mengingatkan saja, ada banyak pihak yang kadang ikut bermain untuk mneikmati hasil perjuangan dan pengorbanan eleman masyarakat yang kritis itu. Jangan sampai elemen masyarakat yang seyogyanya perjuangan demi rakyat kecil, namun yang memetik keuntungannya adalah elit-elit politik.

Dan, kita masyarakat biasa, yang hanya membaca dan menyaksikan gonjang-ganjing perpolitikan—terutama jelang Pilkada Kota Bandar Lampung—tidak harus semakin ora mudeng karena polah para pemain politik tersebut. Masyarakat yang berada di luar garis lapangan, tak mesti terseret sebagai korban. Jangan sampai dunia sepakbola dimana penonton terlalu kerap jadi korban, berimbas memasuki arena pilkada. Jangan. Jangan... *

*) sudah dimuat Radar Lampung

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS

DI JALAN

memandang ke jalan
angin amat lambam
dan waktu daki malam
kuyup rambutku
oleh kabut
atau gerimis
yang terus mengiris

apakah kau yang menggodaku
di seberang jalan
bermuka dandan?

"aku selalu di sini,
ada di tempat ini
sebelum kau datang
atau pamit pergi. jadi
siapa saja yang lalu
pandangku akan tertuju," ujarmu.

godamu....

07.06.2010







MENYIMPAN KENANGAN

sekali kautinggalkan tempat ini,
tiada menulis angka. kau pun
akan melesat jauh: dan entah di mana
kaukembali?

maka kau hanya sejenak menengok
ke belakang, lalu tujumu hanya Satu:
tempat yang dulu menyimpan
kenangan setiap orang
yang datang

kalau aku sampai, apakah pipih tubuhku
makin perih? setelah
mengumpulkan setiap
angka yang gugur,

kini tubuhku semakin berjamur!. kau pun
ini berlalu, melanjutkan
laku

6.610








SEKUNCUP BUNGA DI TAMAN KUPETIK PAGI INI
SETELAH KULIWATI PAGAR BERDURI

pagi ini saat kubangun dan membuka jendela kamarku,
bukan saja matahari dengan mata yang benderang
memandangku penuh senyum seperti ingin mengajakku
berdendang, tetapi sekuncup bunga di halaman samping rumahku
mengirimkan aromanya nan wangi
ke kamarku. daun-daunnya melambai:
aku segera mencapai
meski harus kuliwati pagae berduri di dekat jendela kamarku

biarkan tanganku yang luka ini sebagai tanda
betapa untuk memetikmu tidaklah mudah

seperti juga kaubalikkan halaman kalender, perlu waktu berhari-hari
mencecap panas dan musim hujan
mendaki dan menyigi lurah

maka ketika telah kupetik sekuncup bunga di halaman rumah
pagi ini, aku merasa ada kelopak yang harus
gugur:

apakah itu usiaku, apakah....

5 Juni 2010











JIKA KAUPERKENANKAN KUBALIKKAN JARUM JAM INI

menunggu waktu melipat kalender

jika kau perkenankan akan kukembalikan
jarum waktu berputar-balik
menyusun angka demi angka yang jatuh
lalu kutempel lagi di halaman pertama
almanak yang sudah menguning
karena berkali-kali dibanting

dan aku akan berada di bawah, selalu
memandangi puncak waktu
mengampu setiap angka yang jatuh

aku ingin menghentikan setiap
kausorong angka lima

berdiri agam di antara simpang
di mana kau selalu datang!

04.06.2010









SEUSAI HUJAN, DAN KAU TERNGIANG

bekas hujan masih terngiang di pucuk-pucuk daun, di setiap
langkah yang mengantarmu pergi dari sini menuju Sana
dan awan yang masih menahan beban hujan sudah
tak tahan, ingin menumpahkan lagi ke bumi yang kautunggu
meski kau sudah ingin menjauh atau lari ke balik lindung,
melepas burung-burung setelah kaupasang
mantera, terbang ke angkasa. ke tuju pusat kabut. bercumbu
dengan gumpalan air yang sebentar lagi akan luruh sebagai hujan

lalu bulu-bulu burung yang telah pula gugur sebagai kapas
dan hinggap di ranting-ranting, di pucuk daun,
atau di sekujur pohon. membuatmu teringat
pada malam kudus: ketika yesus memanggul kayu melangkah
dengan berat menggelilingi kota golgota: "tapi dia
bukan Isa! ke mana lelaki Nazaret itu kini, setelah disulap?"

aku menunggumu. di bekas hujan yang mungkin akan
tergenang pula langkahmu yang memanjang, tapi
bukan sebagai labirin. di tempatmu itu akan pula
kutulis setiap jalinan perjalananku: juga memanggul
beban--namun bukan bongkahan kayu berupa salib.
"akulah yang melangkah itu di bawah gerimis,
setelah hujan mengiris."

hari yang penuh luka. di bawah langit dan cuaca yang
sulit kauterka aku tetap berjalan. menuntunmu hingga
di depan gerbang Kota: memandang setiap tugu, setiap patung
yang selama ini tak akan memberi apa-apa, kecuali penat

dan matamu layu. sebab mata-mata patung dan diamnya tugu
sedingin tubuhmu oleh cuaca yang terkadang panas,
kadang pula berhujan....


sebelum dari 5 Juni 2010








TENTANG KEMATIAN

"apakah ada mati dengan indah?" seseorang mendaki
lantai 20 sebuah apartemen,
sedang lainnya ke lantai lima pasar modern:
"alangkah indahnya jika melayang dari tempat ini?” gumamnya,
sepertinya hanya desah atau berkhayal. tapi
ia benar-benar melayang. bukan bagai layang-layang
menuju angkasa, melainkan meluncur ke bawah:
"setiap yang berasal dari tanah akan kembali jadi humus lalu
melekat kembali," katamu, tepatnya cuma berkomat-kamit

"apakah ada yang indah untuk sebuah kematian
yang indah pula?" lalu kau mengukur keindahan dengan
keabadian. serasa tak terukur, bisikmu. tepatnya mulai ragu-ragu

bahwa di dunia ini tak ada kematian yang indah
tak ada kematian tanpa tangisan
atau sesal lalu dilupakan...

03.06.10











SUBUH YANG HANGAT

di subuh yang hangat, kalian datang menyerang
dengan senapan yang siap menyalak

lalu subuh itu pun berubah hujan
-- hujan airmata,
dan darah --

tapi kematian amatlah syahdu,
sangat dirindu saat perjalanan
menuju senyum-Mu

maka apalah arti kematian,
tanpa bertempur
sebab kami
tak dibekali senjata?

apakah orang-orang sedunia
lalu tak akan mengecam kalian:
mengutuk kebiadaban kalian?

lalu kami ditahan
barang-barang kami kalian rampas,
lantas pantaskah kami
menyebut kalian
perompak?

01.06.2010







KALIAN

jika kalian menyorongkan senapan ke muka kami,
sementara kami tak punya senjata
apakah kalain tetap dibenarkan?

jika kami tak punya senapan,
sementara peluru-peluru kalian sudah
lebih dulu menyalak
hingga 19 orang tewas
dan puluhan lain luka
di kapal yang juga tak berbekal senjata
apakah kami dilarang lagi untuk mengutuk?

di perjalanan dengan bendera perdamaian
masih pula kalian serang,
pantaskah kami memanggil kalian
orang?

orang-orang yang tahu kapan menyerang
orang-orang yang sadar
pada tanah yang bukan
lagi milik kelahiran

01 juni 2010: 00.39













SETELAH DIKUTUK

setelah dikutuk tak bertanahair
dan tak berumah di tanah kelahiran
kau pun merantau ke negeri-negeri lain
mengawini anak-anak bangsa
lalu beranak sebagai bangsa baru
di segala benua

kini kau kembali ke kampung
yang lenyap oleh kutukan
melahirkan negeri baru, mengibarkan bendera
yang kau jahit dan kau gambar
sepetak sepetak tanah kau kuasai
sejengkal demi sejengkal
kau gali air
kemudian rumah-rumah kembali tegak
istana ditegakkan
di padang karbala:
gaza bersungai darah

"di sini, dulu sekali, para orang tua kami
diusir. lalu berabad-abad
tanpa rumah
tanpa tanahair
tanpa bendera dan lagu.
tapi kami punya senjata,
punya tipudaya!" kata kau

lalu....

akhir Mei 2010










AHASVEROS

setelah tak lagi mengenal pintu,
aku pun mengembara dan tak lagi pulang:
tak ada rumah dalam ingatanku,
segala rumah sudah tergusur atau dibakar

kini bumi hanya padang sejauh mata memandang
kini bumi tak tumbuh rumah
hingga aku terus mengembara
dari satu benua ke lain benua
tapi setiap singgah, aku pun terusir:
dikutuk tanpa punya rumah
dan tanah air

sampai aku lelah
dan merampok sejengkal tanah
untuk singgah dan membangun rumah

: tapi sebagai ahasveros, setelah dikutuk tak berumah,
aku pun benar-benar
tak mengenal pintu...

31.05.2010









KUCARI JALAN SEPI

karena kelahiran hanya melontarkan tangis,
sudah berapa lama aku tak
mengalirkan airmata?

mungkin saatnya kini aku kembali ke sepi
seperti dulu- dulu lagi: sendiri menegakkan kaki.
selain ibu tiada, saat aku belajar menghitung langkah
sebab tak ada yang bisa menegakkan mataku
mengukir dunia, apakah sudah kulunasi saja
ada-kita?

lalu kucari jalan pulang, yang dulu menyimpan
sendiriku: aku ingin mencintaimu, sepi
bayang-bayang yang kemarin kutakuti

aku melangkah di jalan yang kucari itu, ke dalam diri aku pulang
menggali palung sepi dari berjuta-juta sendiri

2010












MENGGOSOK BATU

sebongkah batu bisa jadi kecil karena diserpihi
lalu digosok agar mengkilap dan cahayanya
memancar dari wajahmu: kedua kelopak matamu
seperti bungur
yang teduh

maka kuserpihi batu dalam hatimu, kugosok
hingga menguar cahaya itu
dan dari kedua matamu menyinar keteduhan

tapi sampai kini aku tak mampu
sebab kau demikian angel
dan menghunjam di dasar bumi!

30.05.10








HUJAN DAN KENANGAN-KENANGAN

1/
setiap hujan datang aku selalu terkenang tentangmu
saat kau berlari ke bawah pohon, dan gigil tubuhmu
hingga ke ranting: menetas sebagai buah


2/
pada hujan yang gugur mengguntur, aku terkenang pada gelombang
yang memburu tepian, menghanyutkan rumah jadi sampan
menuju kota dan kenangan-kenangan silam


3/
apakah guntur dan hujan gugur akan kembali membawa wajahmu
ke depanku, sebagai perahu yang menepi di pantai?


4/
sisakan hujan terakhir itu lalu akan kusimpan di telapak tanganku
kemudian kubawa untuk kujadikan halaman laut


5/
setetes sisa hujan kusimpan di kelopak mataku
dan akan kuguyur lagi begitu kau pergi


090610: 20.20













PERCAKAPAN MENJELANG FAJAR

IA sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. meninggalkan obrolan yang kini
ikut pula mengabut
dan pesan pendek di telepon genggamnya yang belum terbaca, entah siapa
pengirimnya
namun tentulah seorang lelaki--si pengembara dan yang selalu mengaku
pejantan--pada
setiap perempuan yang ditemuinya. "aku don juan," kata lelaki itu suatu
ketika, atau
"aku kaisar yang memiliki banyak selir," ujarnya di lain kesempatan. ia terus
mengirim
pesan ke sejumlah telepon genggam sebagai salah nomor atau jemari yang tak
memiliki
mata. tapi kemudian, terus-terusan lelaki itu menembakkan untaian puitis
dalam pesan-pesan
pendeknya. --memanglah singkat, cuma setajam sembilu--

dan ia akan teriris meskti tidak meringis. sebab ia tahu benar cara
meninkmati untaian kata
manis dan meninabobo. "aku hafal benar cara tidur dalam buaian yang
didongengkan
seorang ibu. ninabobo yang selalu kurindu dari bibir ibu," katanya, lalu
membaca atau
persisnya menikmati setiap inci kata, sebagaimana ia sedang menghitung
berapa lekuk
yang ada di tubuh lelaki itu

dan kini lelaki itu jadi buah bibir. setiap perempuan mana tak akan mengingat
dan menginginkan
lelaki itu? dalam labirin yang pekat. dalam kisah-kisah yang disimpan di
benak warga. "kau pun
telah menonton lelaki itu bukan?"

dan para perempuan dalam pelukan, dalam kisah-kisah yang ditulis lelaki itu
salah satunya
adalah ia, yang kini terlelap dan tak ingin bertemu matahari
sepanjang waktu ia bersembunyi ke balik jam, lampu, dan langit yang
benderang
ataupun temaram

--alangkah sakit karena luka di bibir orang-orang--

lalu ia seperti ingin selalu terlelap. menjadikan siang sebagai malam, dan
kelam dia harap
tak berubah benderang!

10062010; 02,30

15 Juni 2010

SAJAK-SAJAK PENDEK 1 BAIT (2)

Isbedy Stiawan ZS





JANGAN CARI DOKTER

aku sakit,
jangan cari dokter

23-26 mei 2010







JAGA

aku mau tidur
jaga aku hingga pagi
baru kita pergi

26 mei 2010: 02.10







DENGAN APA

ingin mengertimu
tapi kabut selalu
bagai selimut
ingin selalu menyebutmu
namun kata-kata
tertatih di bibirku
dengan apa aku bisa
menerimamu dengan penuh?

25-26 mei 2010

PEZIARAH

sebungkus rokok belum cukup
waktu untuk menemaniku
secawan kopi pahit akan habis
sebelum percintaan dimulai
sebab malam bagi para peziarah
adalah jalan menujumu

*maret-mei 2010






SUNGAI

sungai ini juga
yang mengantarku
ke rahim ibu

*sungai tulangbawang, 2010






LADANG TEBU

di ladang tebu itu
aku tak mencecap gula ibu

sil 2010






SRITI

sekawanan sriti
mencari sarang lain

*kotabumi, april 2010






WAKTU

ikut aku
sebab sisa waktumu sedikit
dan ucapkan pamit...

*kotabumi, april 2010

LAMPU KAMAR

dan lampu kamar ini mulai redup
saat aku membenah diri
dari sisa hujan sore tadi:
peluk aku sebelum ia mengecupku

25 mei 2010





BINTANG DI RAMBUTMU

bekas hujan yang kusimpan
di ujung rambutmu
kini menjelma bintang
dan aku menyanyikannya
sebelum menuju peraduan

26.05.10





MENGGALI USIA

aku masuk ke sumurmu yang kering
menggali lebih dalam usiaku di sana

2010






KAU

kulupakan wajahmu
tapi semakin mengganggu
ingatanku

250510

KURSI DI DEKAT PAGAR

setiap kau ke kafe ini, selalu kaupilih kursi
di dekat pagar itu:
bersandar bagi masa depan,
langit yang berbintang
turun ke wajahmu

kafe roti boy 03.06.2010







DI POJOK

kau yang duduk di pojok,
mengira orang-orang yang datang dan pergi
akan kembali pada suatu hari
meski wajahmu memancar
langit temaram

03.06.2010









MENANAM HARI

berapa sudah kautanam hari
lalu tumbuh menjadi pohon
dan daun-daunnya memayungi usiamu
hingga gugur 52 helai rambut hitammu

03.06.2010







MALAM MENYINGSING

setiap gugur sehelai rambut
aku makin khawatir layu satu hari
dari ranting nafasku
:daun-daun menguning
malam menyingsing!

03.06.2010




DI DEPANMU

di depanmu aku bersimpuh
menunggumu beri aku suluh

04.06.2010






GERIMIS DI HARI JUMAT

yang, gerimis kembali mendatangimu
tapi jemariku akan menjentik butiran
yang singgah di rambutmu
agar mekar bunga-bunga di Sana

04.06.2010







MENITI

meniti jalan setapak menuju ladang tebu
dengan tenggorokan yang kemarau
nanti kuperah manis tebu
dari pokok tubuhmu...

04.06.2010


KERDIP PISAU

pisau yang baru kaubeli di pasar tempel itu
kini berkedip matanya padaku saat kautitip
di meja dapur
sebelum mengiris-menyayat
daging dan tempe:
"tapi, itu bukan tubuhku, bukan?"

04.06.2010







MERANTAU

aku tak ingin pulang
sebab aku sudah kerasan
merantau di jalanmu

Juni 2010







KAU

siapa tahu kau di antara
orang-orang yg menerjang rinai hujan
dan dingin malam, tanpa mantel atau jas hujan
: kau yg bersendagurau itu?

2010



WAKTU LAIN

sehari lebih kutinggalkan
kini masuk ke watu lain, tahun berbilang
yang penuh rahasia:
tundukkan aku dalam
...altar-Mu

2010

SISA USIA

di mana kulabuhkan sisa usiaku
dan langkah yang mengekal di tanah

kujadikan seruling akhir
mengiringiku ke tempat akhir

BAGAI PETIR

suaramu bagai petir menyambar hingga sepuluh rumah
dan hancur: tiada hujan lagi, air sampai lututmu
lalu sampan berlayar di mulutmu
yang bagai langit penuh petir

28.05.2010







MENUNGGU

menunggu yang mengajak pergi
kau berkabar ke mana-mana
buat jadwal dan tempat yang di tuju

28/05/10


JUMAT ISTIMEWA

segala sibuk disimpan di lubuk
segala celoteh biarkan meleleh
segala niaga taruh di beranda
lalu segera menuju panggilan
"jadikan aku hamba yang tahu fana
dan tak ke mana, kecuali kembali ke Sana," doaku
di ujung pertemuan, setelah itu bagai burung
aku beterbangan lagi

28/05/2010; 11.50



TAMAN CINTA

bunga yang kutanam pagi ini tak mekar. tak ada wanginya.

ingin kusemai di lahan wajahmu, namun musim kering

saat ini telah menguncupkan kelopaknya.
di wajahmu ingin kubuat taman cinta

28 Mei 2010: 09.21

AKU TAK MENCULIKMU

aku tak akan menculikmu
sebab kau sudah pergi lebih dulu
lalu pagar yang kau bangun tiap malam
mulai terpajang: memasung
setiap langkah...

2010



KISAH DI RUANG MAKAN

tak ada lagi percakapan
--bahkan ciuman--
sepiring luka
mengurai waktu

2010



JELANG ULANG TAHUN

simpan ucapan atau harapan
panjang umur
ketika langkah kian
dekat di pintu kubur

2010



KADO ULANG TAHUN

selembar pakaian
sebagai kado
menyimpan usia
paling tua


21/05/10

TAR ULANG TAHUN

setumpuk masa lalu
dalam adonan
terigu, telur, gula
dan batang lilin menyala
sejenak lagi kautiup
lalu sebentang jalan
terlihat semakin kelam

21/05/10




BANGUN TIDUR

karena dering telepon
kau pun terjaga
membuka kembali luka

2010





ASHAR

satu harapan
buka aku jalan
tidak ke pembaringan

21/05/10




ANGIN PETANG

mengirim gumpalan awan
ke waktu yang lain
dan asing
: di sini aku basuh wajahku pada matahari

apri-mei 2010



BURU ANGIN

lalu kuburu angin yang lari
di belakang sengat mentari
sebelum kau sampai
dan aku terlempar

22/05/10


BAJU

tanpa baju itu aku akan menikmatimu
kerudung akan mematikan
api dalam rambutmu:
bagai hutan terbakar

22/05/10





KE MANA MALAM INI

seperti siang-siang lalu kau bertanya:
ke mana malam ini?
lalu kubentangkan jalan menuju taman,
bioskop, pasar modern
hingga ke bintang-bintang
"kau pilih mana?" tanyaku

22/05/10




CIUMAN AKHIR

setelah pipimu kubelai dengan bibirku
pecah segala pertemuan

22/05/10




KATA DAN ASAP

hanya kata-kata berulang
dan asap rokok membubung
tak sisa di hatiku!

22/05/10

PUISI

datang dari sungai jauh
mengembara ke padang-padang
hijau atau gersang
mengendap dalam kebunmu

22/05/10

BERI KABAR

setelah kau tutup pintu rumah
dan langkahmu kian membentang
beri kabar aku
tentang kota-kota pualam
jalan-jalan garam
juga sekuntum kembang

21-22/05/2010




MALAM: DI KAFE

hanya suaramu sayup kudengar
lalu kibasan jemariku bagai kipas
membikin ruang ini jadi warna-warni
: kaukah yang tertawa itu?

2010



SENJA

masih mengumpulkan sisa waktu
yang siap diusung ke dalam senja
setelah itu kita tertatih sebagai tunanetra
mencari tempat cumbu...

21/05/10

HILANG

akhirnya harus kusudahi ujung pantai ini
melipat setiap pasir
dan membungkus segala kerang
hingga menguburku di laut dalam:
ketika perahu-perahu itu
tersimpan di matamu
sebagai butiran

17-22/05/10




MEI

api itu membakar tubuhmu, Mei
tangan-tangan hitam itu
menarikmu ke semak:
mengubur masa depanmu

15/05/10






RUMAH PUISI

jangan biarkan aku sendiri
tersesat di dalam hutan kata
dan kubangan asap rokokmu
sebelum sampai di rumah puisi

22/05/10

MASUK

masuklah ke dalam malam
lalu temukan siang:
menusuk jalan

mei 2010





MALAM: TAK ADA ORANG

tak ada orang
meski suaramu genderang
aku tetap sendiri
mengeja gerak kaki

2010




DUA BARIS MELUPAKANMU

sudah kulupakan namamu
sejak berkali-kali kau dusta

april-mei 2010





BAWAKAN AKU BUNGA

"jadi kita pergi?" tanyamu
setelah pukul sepuluh malam
dan halaman rumah lengang
langit berawan hitam
"tapi bawakan aku bunga
agar tidurku makin wangi," jawabku
lalu menggandengmu
menuju taman bagi orang-orang tercinta
yang sudah lama terdiam

22/05/10




ESKSTASE

aku tengah menuju ujung jemarimu

yang menunjuk langit berbintang

bulan berselempang

memilin setiap kuku-kukumu

hingga ke dagu: bagaikan lebah

aku pun bergantungan

ingin mencapai paling malam

MAUT

setangkup roti, segelas kopi

sudah dua batang rokok:

hayalku membubung

membentuk bulatan, segitiga, kotak,

kotakwajik, piramida,

sebilah belati. menujah umurku!

2010

JEDA

sudahi dulu

sejenak saja

segeralah berbasuh

sebelum malam

membasuhmu dengan kelam

2010

SETELAH TERPEJAM

setelah kau terpejam

aku ingin menyusul

mimpi-mimpimu

menangkap setiap dengkur

menyimpan seluruh hembusan

dan menulisnya dalam lembaran malam

: tidurlah tidur

biarkan dengkur

itu jadi sumur

bagiku menggali rahasia malam

-- juga sayang

2010

BULAN MELANGKAH

ke mana bulan melangkah
menatap rasi sebagai arah
agar tak sasar
atau tenggelam sebelum tiba di bandar
-- meski kutahu di situ
kau tak akan menunggu
sebab kita sudah lama membatu

2010

MENAFSIR MIMPI

KAU bilang sudah pagi
aku lihat waktu masih malam
kini kau mengajakku tidur
tapi aku belum ingin mendengkur
-- sedang apa kau dalam mimpi?

2010





PENJARA
: buat relawan kemanusiaan Palestina

ini surga bagi kami
tapi neraka bagi perampok
sebelum kami tiba di dermaga tujuan

01062010

RUMAH DALAM LUMPUR

tak ada jalan lain, kecuali memasuki tubuhmu.
melepas bayang dan angin
jadi kendaraan membawaku
berkesiur: jadi beliung

mengangkat dan menghancurkan

ke padang tak bertiang
manakah rumahku yang pernah kubangun

di dalam tubuhmu, setelag angin kencang itu datang?
aku kini tertidur di kolam lumpur:

bertahun-tahun kemudian

2010

LAUT MALAM

biru langit sebibir bulan berenang di laut malam
aku ingin bersampan menuju pelabuhan
di mana kau selalu memandangku

2010



BERJALAN SEHABIS HUJAN

berjalan di bawah langit sehabis hujan
orang-orang melangkah bagai bawa selimut
putih: kelambu yang membuatmu
bagai barisan membayang
menuju taman. bunga tulip di matamu...

2010






ADA YANG PULANG

ada yang pulang saat gerimis jatuh
lalu kau pergi menyiapkan payung
untuk menyambut saat menyeberang jalan

2010








JADI CICAK

dalam ruangan ini
aku jadi cicak
dan seekor nyamuk mengacungkan
belati

2009-2010

EMBUN DI JARUM JAM

menepis embun
di jarum jam
yang merambat
di angka usiaku

GALI AIRMATA

jika kau sampai selamat
beri kabar cepat
pabila kau senang
simpanlah untuk masadepan
dan bila kau berduka
aku akan gali airmata


JIKA JARAK...

jika jarak bisa kutempuh
dengan apa rindu akan kaurengkuh?



MENABUNG RINDU

betapa jarak terasa jauh
meski percakapan disatukan
karena itu langkah selalu menulis
kalimat rapuh
...membuat jarak
menabung rindu

*) persiapan untuk buku kumpulan puisi tersendiri

**) sejumlah puisi di sini sudah ada yang dipublikasikan di media massa


SAJAK-SAJAK PENDEK 1 BAIT (1)

Isbedy Stiawan ZS




SUNGAI DAN SEPASANG ANGSA

sepasang angsa menyeberangi sungai itu
dan akar-akar pohon bagai ular
ingin melilitnya

2010






DI BAWAH LAMPU JALAN

di jalan pada malam ini
aku tak lagi milikmu
tapi di bawah lampu-lampu
wajahmu tak bisa hilang dari mataku

26-27/05/2010






PEREMPUAN DI KAFE

kau selalu sedih
setiap duduk di kafe itu
menunggu lelaki yang pernah alpa

2009-2010





KAYU DI SUNGAI

hanya patahan kayu hanyut di sungai
dan kau mengejar hingga tepi pantai

2000-2010




WAJAHMU

berenang dalam senyummu
aku tak pernah tenggelam
sampan dari wajahmu
menghantarku ke peluk bandar

24.05.10







PEREMPUAN BERNAMA LUNA

sebab perempuan bernama luna
kau tersesat di kolam iklan
memilih baju dan sepatu,
lipstik ataupun sampo
di depan cermin: wajah retak!

24.05.10







SESEORANG DI PEMBARINGAN

seseorang di pembaringan
merebahkan kemalasan
karena rindu si pacar
yang tak kembali


24.05/2010









MENUNGGU IBU

sudah berapa lama tak lagi kugali garam
dari tubuhmu, sebab aku sudah jauh berjalan
tapi ibu selalu memanggilku: merekatkan
tubuhku ke dadanya
agar aku selalu rindu menunggu
tiap kali ibu menyebutku...

maret-april 2010






BURUNG

kubangun sarang dalam diri
bagi burung yang kurindu
mengeram masa datang

23 mei 2010






MALAM DAN SAAT LAMPU PADAM

aku memagut
sebelum tiba maut

2009-2010







SUATU MALAM

"aku bersama betina," katamu saat kutanya
sedang di mana kau malam ini
tapi kau hanya meniti malam
demi bangun khayalan...

23/05/2010






TENTANG KUPUKUPU

kupukupu bersayap warnawarni
turun di ujung daun
menunggumu pergi

*kober 240510






LELAKI YANG TERTIDUR

di kursi panjang
lelaki itu tertidur
menikmati jalan jauh
yang pernah kalian lampaui

*kober 24/05/10







PELUH

bersama aliran peluh
aku mengaduh!







PISAU

sarungkan pisaumu
sebab di matanya
kulihat maut menari ke dalam tubuhmu

*kober 240510







DATANG

bila kau tandang
kalau aku sudah pulang?

22-24 mei 2010






SETUMPUK INGATAN

setumpuk ingatan
kini sudah cabik-cabik
kutinggalkan di meja
lalu kau mengejanya
menjadi kenangan baru

25052010







TUGU GAJAH
: sai-ijal

di sini namamu ingin kueja lagi
dalam tumpukan kalimat protes
dan lembaran orasi
meski sulit kususn jadi nama
karena tahun-tahun mengubur

12 Mei 2010






PERTEMUAN

seekor kunangkkunang
turun ke tanah membawa bulan
dan embun menulis pertemuan itu

april 2010





MOMEN PANTAI

menuju tepi pantai
kakimu mengangkut ikan-ikan
dari dalam sampan
sedang langit senja
menjelma kaca di wajahmu

lempasing april 2010







MENANTI SAMPAN

burung-burung bergaram
ikan-ikan terbang
aku menanti sampan

mutun awal mei 2010





MASA SILAM

ingin kulihat wajah ibu
di mata anakku
tapi di wajah si bungsu
telah hilang masa silam

februari-maret 2010





MENCARI

seperti mencari anak hilang
inginku kembali ke masa silam
saat merencanakan sebuah rumah
yang pintunya menatap matahari

2010





MENUJU JALAN

rumah ini sudah sangat sempit, katamu
seusai magrib dan berias
menunggu yang datang
menuju jalan
penuh ragam....

23.05.10







KATAK

kulihat kau seperti kanak-kanak
bergegas bagai katak
ke rawa-rawa lampu

23/05/10







SUDAH JAM BERAPA?

kau belum pulang;
sudah jam berapa sekarang?
melupakan bunga-bunga
yang kau petik di taman

23/05/10







SEPERTI MASA LALU

masih seperti masa lalu
kau buru gemerlap malam

23.05.2010







KATAK MENANGIS

induk katak menangis
saat musim hujan
dan menghanyutkan rumah-rumahnya

apri-mei 2010








BURUNG MALAM

melintasi malam
burung itu kehilangan
kelam

2010







TAK BISA

tak bisa kumasiku dirimu
betapa hiruk di kafe ini

27.0510







MELEPASMU

kemudian kau pergi
setelah melepas salam
"di lain tempat, mari kita merapat," bisikmu

270510






TERBANG

jangan,
aku akan terbang

2010






PUISI VS SENSASI

tak ada puisi
karena sensasi

27.05.10; 00.05






LELAKI DI MIMBAR

lelaki di mimbar
berwajah sangar
amat menakutkan

26.05,10






PIDATO

setelah beberapa jam berpidato
lelaki berwajah seram itu
ditanya seseorang: apa yang tuan ketahui
isi pidato tadi?
"aku hanya bisa bicara, tapi aku tak tahu
soal makna," jawabnya

25-26/05/10







JALAN KE MIMPI

beri jalan untukku tidur
akan kupetik mimpi agar
kau lelap esok hari

27/05/2010








MENGIRIM LAUT

gunung-gunung yang kudirikan
kini jadi rumahmu
mengirim laut

2010





KACAMATA

aku tak bisa melihatmu,
maafkan: kacamataku
rusak

2010







LEBIH DEKAT

tak perlu kacamata
jika kau dekat
di bolamataku
-- lebih rapat dari bayang-bayang --

26 mei 2010: 13.45







PATUNG DI MIMBAR

kau menjelma patung
di mimbar itu
hanya terdengar teriakmu...

25 mei 2010







ORATOR

kau mengerti apa yang diucapkan
orator itu, tanya seseorang
kau pun menggeleng: "bahkan,
tak sekalimatpun kudengar," jawabmu

25 mei 2010








KALBU

beribu-ribu lalu waktu
selesai di dalam kalbu
beribu-ribu lalu langkah
habis karena lelah
beribu-ribu lalu lelah
pulang jua ke dalam pasrah

260510: 03.01

14 Juni 2010

Kisah

KISAH-KISAH YANG INGIN KUCATAT AGAR TAK HILANG

Oleh Isbedy Stiawan ZS


MAAFKAN jika sampai kini aku tak mampu membahagiakanmu. Aku hanya manusia biasa. Tak sempurna dan tak sesempurna kau bayangkan. Seorang lelaki yang tak gagah namun tak gagap, lelaki yang tak kurus namun belum sejahtera, lelaki yang setengah gemuk walau jauh dari makmur. Karena beginilah adanya badanku. Dipenuhi noktah.

Aku datang dari suatu keluarga yang biasa-biasa. Ayahku bekerja dengan pangkat rendahan di sebuah pemerintahan. Ibuku adalah gadis manis dari sebuah dusun nan jauh di ujung Jawa Barat, namun semasa kecil tak menikmati kursi sekolah. Ibuku datang dari keluarga di bawah mampu, sehingga mencicipi kue sekolah pun adalah hal yang mahal. Berbahagialah ibuku yang kemudian diangkut ke Jakarta oleh mamangnya demi mencari kehidupan baru, setidaknya agar tidak merepotkan orang tua. Tetapi belum lagi menikmati kehidupan kota Jakarta dan masa remaja direngkuh secara puas, ayahku meminangnya lalu membawa ibu ke Lampung setelah beranak satu: kakak tertua perempuan.

Di daerah yang nyaris sesak oleh kehadiran bergerombol orang dari Pulau Jawa, ayahku memulai kehidupan baru bersama ibu. Selain mengelola perkebunan kelapa yang diwariskan kakek--ayah dari ayahku, ayah juga pandai menjahit. Kedua pekerjaan ini dilakoni seusai ayah pulang dari bekerja di pemerintahan sebagai pegawai rendahan.

Ayah menyukai hewan. Dia memelihara banyak ayam. Karena sayangnya, setiap pagi ia keluarkan dari kandang dan sore hari ia angon agar pulang. Akibat kedekatan ayah dengan ayam-ayam peliharaannya, setiap ibu memotong ayam untuk lauk makan, ayah tak tega menyantapnya. Bahkan, bila ibu menyuruh ayah memotong ayam yang sudah kebanyakan itu, lebih baik ayah serahkan kepada orang lain menyembelihnya. Ayah akan menutup wajahnya, tatkala leher ayam disembelih dengan pisau.

Peliharaan hewan lain ayah ialah seekor kucing berwarna keemasan. Kucing ini tahu benar jam berapa ayah pulang dari bekerja. Kucing akan menunggu di depan jalan, begitu melihat ayah menuntun sepeda ontelnya maka kucing itu melompat ke sadel belakang tempat biasa aku dibonceng jika ingin ke rumah sakit atau ayah antar aku ke sekolah.

Persahabatan ayah dengan ayam-ayamnya dan seekor kucing yang manis dan penurut berlangsung cukup lama. Ketika kucing kesayangan ayah mati, ayah segera menguburkan layaknya manusia yang meninggal. Maksudnya, ayah menggali tanah di dekat kebun labuh lalu kucing yang tak bernyawa lagi dia bungkus dengan kain sobekan (gombal), setelah ayah kuburkan dengan sangat rapi. Sejak kematian kucing itu, ayah tak mau lagi memelihara kucing.

Ayah ketika kami tanya mengapa tak mencari kucing lain untuk dipelihara, alasannya bahwa tak akan menemukan lagi--bahkan hanya menyerupai--kucing yang sudah dikuburkan itu. Karena itu, kata ayah, untuk apa memelihara kucing lagi. Ayah juga sulit melupakan karena kenangan-kenangannya selama bersama kucing yang sudah mati itu. Dia menjelaskan, kucing itu sangat mengerti. Tidak mau membuang kotoran di dalam rumah. Setiap ingin berak, kucing itu akan mengenong meskipun pada malam buta. Kucing itu akan menunggu ayah pulang, jika hendak makan. Seperti tahu bahwa mendahului 'tuannya' makan, tidak sopan.

Jadi, kucing kesayangan ayah itu, akan menunggu di depan rumah. Terkantuk-kantuk, mungkin tepanya karena menahan lapar, sampai ayah terlihat di depan jalan lalu kucing itu berlari dan melompat di boncengan belakang. Setelah ayah menarok sepeda, kucing itu pun melompat dan mengelus-elus kaki ayah. Kemudian ayah mencuci tangan, ke meja dan makan. Kucing kesayangan ayah ikut makan di bawah meja. Setelah ayah selesai makan, kucing itu selesai pula makannya.

Kemudian ayah menyuruh kucing itu tidur di kursi yang sengaja disediakan. Tanpa rewel, kucing itu pun mencari tempat: tidur. Ayah akan bekerja menjahit pakaian milik tetangga. Sampai menjelang ashar, lalu dilanjutkan hingga mendekati magrib. Kucing itu pun akan mengantar ayah ked musala.

Ah. Begitulah ayah. Bagiku dia begitu sempurna. Sesempurna ia mencintai ibu hingga ia meninggal lebih dulu. Kini ibu sudah uzur, tinggal bersama adikku. Tetapi kaish sayang ibu, terutama kepadaku, sungguh tak tertandingi oleh perempuan-permepuan lain mana pun yang pernah kukenal. Bahkan isteriku! Bahkan isteriku! Bahkan...

Sampai seusiaku kini, ibu masih memperhatikan anak-anaknya. Jika sebulan saja ada anaknya yang tidak berkunjung, ibu menyuruh adikku menelepon. Ibu juga akan meminta adikku mengabarkan, sekiranya ibu memasak kesuakaan anak-anaknya. Terutama aku yang amat menyukai sayur jengkol atau sambal goreng jengkol, tempoyak, dan botok khas Bengkulu (pendap), segeralah aku ditelepon. Sampai-sampai aku malu dengan anak-anakku, seusia begini aku masih disuruh makan di rumah ibu. Bayangkan! Semoga saja ibumu seperti ibuku. Selalu ingat kesukaan makanan anaknya.

Maka itu, kuanggap ibu juga sudah begitu sempurna. Meski ia tah tahu baca dan tulis, namun ibu amat pandai menjaga keuangan ayah. Ibu boleh tak bisa mneulis dan membaca, tapi kalau soal berapa uang yang dimilikinya dan berapa yang harus diterima dari belanja, ibu tak pernah salah hitung. Artinya hitung-menghitung--kurangtambah, kalibagi--tak ada masalah bagi ibu.

Ibu juga tak pernah tersasar padahal ia tak bisa membaca jalan. Menurut ibu jika ia ke suatu kota yang belum pernah ia datangi, pertama sekali adalah menandai liwat sbeuah bangunan yang agak lain dari lainnya. Dengan menandai itilah, ibu tak pernah tersasar. Karena itu ibu tak khawatir sekiranya ia mendapat kepercayaan berhaji. Ibu tak akan kesasar. Sayangnya, hingga usianya kini 86 tahun lebih, ibu belum berkesempatan ke Tanah Suci.

Barangkali dua kisah tentang ayah dan ibuku ini, aku berkesimpulan bahwa aku jauh dari sempurna yang dimiliki mereka. Aku gagal menjadi seseorang. Aku tak pernah mampu mengelola cinta, kasih sayang, rasa sosial, pengasih sesama. Juga perhatian lebih pada keluargaku.



MAAFKAN jika sampai kini aku tak mampu membahagiakanmu. Aku juga belum bisa meluluskan permintaan bantuan semua orang. Aku hanyalah seseorang yang sangat biasa. Tak punya kemampuan lebih seperti ayahku yang menyayangi hewan (ayam dan kucing) dan mengasihi anak-anaknya dan isterinya, dan sangat santun dengan tetangga. Nah, soal santun ini, sudah kubuktikan berkali-kali. Waktu aku kecil, daerahku penuh oleh kebun kepala, pohon petai, kebun labuh. Begitu ada orang yang mengiba untuk mendapatkan sepetak tanah buatnya istirahat, ayah akan menebang pohon kelapa lalu memberinya untuk dibangun rumah. Setelah rumah berdiri, dipastikan rumah itu akan dikuasai oleh orang itu. Bahkan ada yang kemudian dijual setelah disertikiasi.

Begitu pula ibu. Dia tak pernah melatang seriap yang telah menjadi keputusan ayah. Apa pun itu. Sehingga, sampai ayah meninggal, bisa kuhitung dengan jari satu tangan, keduanya bertengkar. Mungkin hanya dua atau tiga kali. Itu pun tak sampai piring bisa terbang. Hanya sebentar, lalu keduanya kembali seperti biasa.

Berbeda denganku. Amat sangat berbeda? *


*

Penunggu warung

GAJI ayah sebagai pegawai rendahan di pemerintahan, meski ditambah dengan hasil dia menjahit, pastilah tak cukup untuk menghidupi delapan anak--seluruhnya sekolah. Meski anak ayah--kakakadikku--bersekolah di negeri, tetap saja untuk membeli buku dan biaya SPP membuat saku ayah seperti tersobek-sobek setiap bulan. Dari penghasilan menjahit, tidak setiap hari orang meminta bikinin pakaian.

Untunglah ibu pandai membuat pangaan ringan, yaitu kue. Selain itu, inilah yang membuatku amat sangat salut, tidak pernah mengenal lelah. Ibu bangun tengah malam. Setelah tahajud, ibu menyalakan api di dapur. Memasak kue, seperti serabi, pisang goreng, tahu bunting, roti kukus, dan lain-lain. Seusai salat subuh, beratangan para ibu dan anak-anak yang menjajakan. Para penjaja kue keliling itu, tentu mendapat persentase dari jajanan konsinyasi buatan ibu. Sekitar pukul 10 siang ibu akan meneri para penjaja kue keliling untuk menyetor hasil jualan. Di sini ilmu menghitung uang ibu selalu teruji, dan tidak pernah meleset.

Kue-kue yang tak laku itu, kemudian ibu kumpulkan menurut jenisnya. Kemudian ibu titipkan di warung milik kami. Akulah yang menunggu warung itu sebelum aku berangkat sekolah pukul 12.30.
Ibu sangat percaya padaku. Dia tak pernah menanyakan berapa laku dan mana uangnya. Sebab setiap yang terjual--bahkan bukan hanya kue--uangnya langsung kemauskkan ke kotak terbuat dari kayu buatan ayah, yang oleh ibu setiap pagi sebelum warung dibuka dimasukkan bawang dan cabai seerta selembar daun, namun setelah ibu meninggalkan wakrung benda-benda itu kubuang: seperti membuang kesyirikan ibu!

Beberapa jam menunggu warung, aku banyak belajar tentang banyak orang. Biasa memperhatikan orang lalu lalang di depan warung, kereta yang kerap meliwati depan rumahku, jeritan orang tatkala sepur menyeret orang hingga mati. Anak-anak yang bermain kelereng, gobaksodor, atau berjudi di samping warung ibu. Dan, biasanya para penujudi itu selalu saja berakhir perkelahian: bahkan kerap saling tujah.

Ibu pernah tak sadar ketika dua penujudi berkelahi. Lalu yang seorang karena kalah melawan, kedua pahanya ditancap dengan ujung belati berkali-kali. Belum juga puas, lehernya disobek. Memang tak sampai tewas, tapi seumur hidup sang korban tak bisa lagi berucap dengan baik seperti sebelumnya.

Sebagai penunggu warung, aku belajar untuk selalu jujur. Jujur kepada pembeli, jujur pada ibu, juga jujur kepada diriku sendiri. Aku mendapat pelajaran yang sangat berharga: tidak mau mencuri. Setiap uang pembelian, kumasukkan ke dalam kotak. Setiap pembeli kuhitung hati-hati agar tak salah memberi pengembalian sisa uang pembeli.

Akulah penunggu warung. Seorang remaja yang masih bersekolah di bangku SMP. Penunggu warung yang juga tak pernah membolos sekolah. Penunggu warung yang tak membuang rasa malu, tatkala wanita-wanita remaja datang lalu membeli kue atau pempek atau tahu bunting. Berteduh jika hujan, sekadar sandar apabila lelah.

Sebagai penunggu warung, aku memiliki khayalan dan impian. Tapi mimpi-mimpi yang kupunya itu tidak terlalu muluk. Bukan untuk segera sampai di gedung Dewan, bukan pula menduduki kursi di pemerintahan. Aku tak akan kesampaian tiba di tempat itu. Hatiku seperti menolak. Bahkan tak terbayangkan. Meski nasib kemudian mengantarku menjadi abdi pemerintah, namun kemudian kutinggalkan.

Aku pun merantau selepas SMA. Kota pertama yang kutuju adalah Jakarta. Aku tahu, sebagai syair lagu, "siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh..." cuma lebih jutaan urba dari banyak daerah lain pun, aku juga menyerbu Jakarta. Kota yang di tengah-tengahnya ada Monumen Nasional dan di pucuknya bagai percikan api yang dibungkus emas berwarna kuning, memang sangat menggiurkan di sleuruh pelosok pertiwi. Rasanya belum menjadi (orang Indonesia), kalau belum memandangi monas dari bawahnya.

Siapa suruh datang Jakarta? Ya. Aku memang tak mendapatkan apa-apa. Beberapa lama aku hanya pengangguran. Pergi pagi dari kawasan Penjaringan Jakarta Timur menuju Jakarta Pusat, lalu pulang menjelang isya. Duduk-duduk di kawasan Taman Ismail Marzuki, tanpa makan siang--bahkan terkadang tidak merokok agar bisa pulang karena uang di sakuku dari bibik--adiik dari ibuku--hanya cukup untuk membayar buskota. Itu pun dilanjutkan jalan kaki, sebab untuk membayar ojek sepeda ontel dari terminal ke rumah bibik tak bisa dibayar.

Dalam perjalanan kaki dari terminal ke rumah bibik di malam hari, banyak yang kusaksikan. Para perempuan berhias menor menyapa, mengajak, dan mencolek pantat setiap lelaki yang lalu. Jika terpancing atau bagi lelaki hidung belang yang memang sudah sengaja ke sana, tempat pun sudah mereka sediakan: di kolong jembatan. Di bawah jembatan itu, para penjaja seks itu membikin bilik-bilik dari kardus, kain gombal, dan sejenisnya.

Di bawah jembatan itu, baunya tak sedap. Air kali yang tak lagi mengalir, aroma busuknya sangat menyengat. Tetapi, yang aku herankan, mereka seperti tidaik terusik. Para lelaki yang masuk ke bawah jembatan itu dengan membungkuk-bungkuk, menikmati benar segala yang ada di sana. Menikmati para perempuan yang sudah dipilih itu, meski pupur di wajahnya berharga murah. Atau lisptik yang memoles bibirnya, juga lipstik tak bermerek. Dan, aku pernah pula terdampar di sana...

Kisah kembali ke penunggu warung. Terus terang banyak hikmah yang kuperoleh menjadi anak pemilik warung kue. Selain aku belajar berniaga, kendati hingga seusiaki kini aku tak berani bebrisnis, tapi setidaknya aku belajar bagaimana mengelola modal ibu yang tak seberapa itu. Misalnya, kalau aku punya sifat korup apalah jadinya bisnis kecil-kecilan ibu. Atau kalau aku tak amanah, juga akan bangkrut bisnis ibu.

Aku juga bisa memanfaatkan waktu selama menunggu warung. Bila tak ada pembeli--biasanya lebih banyak anak-anak apalagi warung ibu tak jauh dari SD--akan kuisi dengan membaca. Buku yang amat kugemari adalah cerita-cerita silai dari Kho Ping Ho. Entah karena filosofi China-nya, atau disebabkan cara Asmawaman Kho Pingho itu menuturkan kisahnya dengan indah, sehingga aku terbuai sampai berjilid-jilid aku menyewa buku itu.

China memang tak pernah bermimpi. Ketika mereka memamerkan ilmu beladiri kungfunya di buku-buku cerita silat ataupun di film-filmnya, kenayataannya memang masyarakat China sangat tangguh dan piawai menerapkan ilmunya. Berbeda dengan Amerika, karena pasukannya kalah di Vietnamj maka mereka bikin tokoh rekaan yang perkawa bernama Rambo. Begitu pula Indonesia, yang merasakan penjajahan selama 350 tahun dari Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, dibikinkanlah film-film seperti Si Pitung dan lain-lain, termasuk komik-komiknya Djair dan lain-lain. Sedangkan China? Sudah mereka buktikan, negara itu dalam sejarahnya tak pernah dijajah!

Begetulah filosofi China melekat dalam jiwaku. Ajaran yang sangat kuhafal dan kemudian kujalani sendiri dan kuterapkan kepada anak-anakku adalah, seseorang harus diajarkan beladiri dan ilmu seni. Kata-kata yang masih kuingat dari seorang tokoh dalam cerita silat Kho Ping Ho, yaitu "jika kau memiliki ilmu beladiri tanpa pernah menghayati seni, kau akan kasar dan zalim. Jika kamu hanya mendalami seni tanpa belajar ilmu beladiri, kau akan lemah dan akan dizalimi orang."

Maka orang China, biasanya selain pandai berkunfu juga sangat apresiasi dengan karya seni. Tengok saja arsitektur rumah-eumah orang China atau bangunan rumah-rumah ibadah Konghucu, lampion, dan patung-patung naga yang menghiasinya. Bahkan alat untuk beribadah pun, semisal lilin, bisa dibuat dengan sangat artistik. Bersembahyang pun butuh keindahan. Mungkin mereka menyadari, bahwa Tuhan sangat indah dan menyukai keindahan? Entahlah.

Warung dan kecanduan membaca buku-buku silat Kho Ping Ho seiring sejalan. Karena buku-buku Asmaraman itu pula, kemudian aku mempunya kesenangan melamun, berlama-lama berkhayal. Seperti para seniman yang tengah memburu inspirasi. Aku juga mempunya kegemaran mencoret-coret kalimat di lembaran kertas.

Aku belum tahu, ternyata beberapa tahun kemudian semua ini menghantarku suka menulis sastra. Aku tak juga menyadari seseungguhnya ini semua cikalbakal membentuk diriku menjadi sastrawan seperti sekarang ini. Warung, Kho Ping Ho, berkhayal...


AH, kiranya berkhayal itu tidaki mahal. Mengkhayal mendapat banyak hikmah. Aku diajarkan oleh agamaku, bahwa seorang nabi pernah setiap malam keluar rumah lalu dia bertanya pada bulan apakah bulan itu yang menciptakan dia. Dia juga bertanya pada bintang, apakah bintang asalah Tuhan? Dia tak habis tanya, ditanyalah bukit, batu, langit, dan semesta ini apakah mereka Tuhan? Itulah gambaran tentang sebuah pencarian hakikat Tuhan. Karena tak ditemukan jawaban dari benda dan semesta itu, hatinya berkata: "aku harus mencari Tuhan dan melihat wajahnya!"

Diceritakan lagi dalam kitab suci, lelaki itu pun mendapat bisikan jika ia ingin benar-benar melihat Tuhan, pergilah ke bukit Tursina. Apa yang dilihatnya? Bukit Tursina pecah setelah ada kilatan mahadahsyat. Kilatan itu berasal dari Tuhan, yang tak bisa dilihat secara kasatmata oleh hamba-Nya.

Aku juga selalu bertanya, mencari sesuatu yang mungkin sulit dicari. Menanyakan hal-hal yang berakhir juga dengan kata tanya. Hidup ini penuh misteri. Sastra maka diselimuti kerahasiaan. Seni itu panjang, hidup amatlah singkat.






TEMAN abangku sewaktu belajar beladiri silat, mengajakku bekerja sebagai petugas parkir di Mayestik. Bang Alex, demikian aku memanggilnya, kujumpai di sebuah buskota jurusan Senen-Blok M. Dia begitu menyireni aku sebagai adik Boy--abangku dipanggil begitu oleh teman-temannya: panjangnya Boyke sebagai singkatan dari Buyung kecil. Bang Alex menanyai pekerjaanku di Jakarta, kujawab saja masih menganggur. Dia juga bertanya apakah aku hanya sementara, kukatakan kalau aku ada pekerjaan maka akan menetap lama: mungkin juga akan menjadi warga DKI Jakarta.

Ya. Aku seperti mendapatkan sebuah emas, yang dipreteli taliu pucuk Monas. Bang Alex yang memberi, dan aku menerima senang hati. Aku pun menjadi petugas parkir. Jadi anak jalanan. Minum-minuman: mabuk. Sesekali menjadi kurir ganja bagi pemesan. Bang Alex memang semakin mobile tatkala beberapa kawasan parkir ia serahkan kepada anak buah, sepertiku. Dia sering bolak-balik Jakarta Lampung membawa ganja. Waktu itu daun berasal dari tanah Aceh ini tidak seketat seperti sekarang. Bahkan, kemudian setelah aku kembali ke Lampung, aku pun menanam pohon yang mirip biunga rampai ini di kamar mandi dan halaman belakang rumahku. Tak ada razia.

Selama bersama Bang Alex, aku mulai memasuki dunia hitam. Pelan-pelan tapi pasti, aku mulai menjadi penjahat pemula. Bang Alex mendidikku agar aku membunuh segala bentuk ketakutan dan pengecut. Bang Alex bilang, hidup di Jakarta kalau lemah dan pengecut akan ditindas atau dizalimi. Daripada ditindas orang, lebih baik dan lebih dulu kita yang menindas orang. Itu sebabnya, Ban Alex semakin banyak menguasai lahan parkir. Dia lumpuhkan preman di kawasan itu untuk merebutnya. Setelah direbut, ia serahkan kepada orang yang semuanya dari Lampung. Bang Alex hanya menerima setoran setiap harinya.

Sebagai petugas parkir, aku juga sering menghadapi perlawanan. Tak sedikit aku harus berkelahi dengan genk lain. Bahkan, aku harus tega menggores kenderaan orang lain sekiranya tak mau bayar parkir. Pemiliknya lalu turun, ngomel dan petenteng-petenteng. Tentu saja, gaya seperti itu sangat kutunggu. Sekali tanganku bergerak, dipastikan ada korban. Aku bersyukur, semasa SMP hingga SMA aku belajar karate. Lalu Bang Alex menggenapi aku dengan beladiri silat. Meski aku memiliki ilmu beladiri, tak urung di pinggangku terselip sekin. Senjata tajam berjenis pisau itu, hanya untuk menjaga diri jika aku kalah...

Waktu itu belum ada Front Betawi Rempug (FBR), begitu Front Pembela Islam (FPI) juga belum terbentuk. Karena itu, aku tak pernah berhadapan dengan kedua organisasi massa yang dinilai militan dan acap dengan cara-cara kekerasan itu. Sekiranya kedua ormas yang kini sangat popular, ditakuti, sekaligus juga dikritik keberadaannya, pastilah suatu kesempatan aku akan berhadapan. Dan, aku yakin pula, akan mati di jalan.

Pekerjaanku, pasalnya, sangat berdekatan dengan resiko pertikaian. Selain sebagai petugas parkir, aku juga nyambi mengamankan sebuah diskotek dangdut di dekat Pasar Rumput Manggarai. Bersama temanku anak Betawi asli yang kukenal saat aku mabuk di sana, akhirnya kukuasai daerah itu. Teman baruku ini, memintaku jadi ketua keamanan. Sementara Ribut--sahabatku itu--bagian penagih uang keamanan kepada pemilik diskotek.

Kerja sama dengan warga setempat memang ampuh. Setidaknya, Ribut yang ‘anak Betawi asli”—dan aku memang kerap memanggilnya Aba ketimbang Ribut—kami bisa menguasai kawasan tersebut, tanpa harus beresiko adu tikai.


*) dari kutipan naskah yang akan lebih panjang