30 November 2008

Kumcer: PEREMPUAN SUNYI

Isbedy Stiawan ZS


Perempuan Sunyi

(Diterbitkan Gama Media, Desember 2004)



Daftar Isi

Ibu.......................................................................
Rumah dan Sepasang Penghuni.....................
Dia Amanda......................................................
Utang Ayah.........................................................
Tuhan Mengambil Anakku..............................
Aku Ingin Segera Mati, Sayang.......................
Setiap Malam Kami Dengar Jeritan
dari Ladang Tebu itu........................................
Mata Elangmu Nyalang...................................
Meniti Sepi, Menanti yang Pergi.....................
Riwayat Sebelah Mata.....................................
Tapi, Peluru Siapa?..........................................
Perempuan Sunyi............................................
Perempuan dalam Bayangan.........................







1
Ibu


IBU masih menungguku di ruang tengah sambil terkantuk-kantuk, ketika aku tiba di rumah. Aku yakin ibu menanti kehadiranku sejak salat Isa. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00. Perjalanan kapal laut dari Nunukan sungguh menyita waktu, membuatku sangat lelah. Badanku seperti ditusuk-tusuk oleh ranting-ranting tajam. Nyeri.

Aku lihat ibu seperti kehilangan rindu saat menerima kedatanganku. Berkali-kali aku mengetuk pintu, tapi tak juga dibuka. Kugerakkan daun pintu dan terbuka. Rupanya pintu tak dikunci. Aku membelai rambut ibu dan mencium tangannya. Ia terpana dan memandangku lama.

“Kau??” kata ibu seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Maaf, ibu tertidur. Tak tahu kalau kamu sudah datang…” lanjut ibu lagi.

“Kenapa ibu tidak tidur di kamar saja?” ujarku. “Enggak usah ditunggu pun, aku pasti datang kok. Is juga minta maaf, sudah menggangu ibu. Kapalnya lamban sih.”

Ibu tersenyum. Ah, betapa menyejukkan senyumnya! Aku seperti masuk ke dalam telaga yang sangat dingin dan sejuk. Aku bagai anak angsa yang tengah berenang di telaga yang bening, itulah hati ibu. Sebuah hati yang selalu subur karena disirami rasa kasih dan cinta. Telaga yang tak pernah kering, betapa pun sang angsa tak memberi apa-apa. Benar, kata orang bijak, kasih ibu sepanjang jalan. Tak kering meski kemarau menerpanya berabad-abad.

“Kau sehat? Aman di perjalanan?” ibu bertanya penuh perhatian. “Ibu kira kau akan bernasib seperti para TKI lainnya: menderita. Syukurlah kau datang dengan sehat, itu lebih penting. Jangan kau pikirkan lagi kegagalanmu di negeri orang. Anggaplah pelajaran, meski harus dibayar mahal…”

Aku mengiyakan. Kupeluk tubuh ibu erat sekali. Kuciumi pipi dan keningingnya. Kubelai rambutnya yang tinggal sedikit dan dibanjiri uban itu. Ingin rasanya kupetik satu atau dua helai rambut putih itu. Ah, ibu ternyata sudah lebih tua dari usia sesungguhnya, batinku. Padahal, sepertinya baru kemarin aku izin untuk bekerja di negara bagian Malaysia, uban ibu baru beberapa helai. Tapi, sekarang, layaknya tak ada sehelai pun rambut ibu yang masih hitam. Semuanya putih. Seperti hati ibu.

“Ibu tak bisa tidur sejak mendengar para pekerja Indonesia diusir dan dicambuki di sana. Ibu digoda ketakutan kalau-kalau kau kena hukum cambuk. Ibu selalu berdoa setiap malam. Ibu ingin kau pulang secepatnya, jangan tunggu berhasil dulu.”

Ibu menyeka airmatanya. Aku yakin ibu sedih sekaligus bahagia melihat anak gadisnya ini pulang selamat, meski tak memberinya ole-ole. “Ibu marah ketika dengar para TKI bakal dihukum cambuk. Ibu bayangkan bagaimana wajah para TKI saat dicambuk, namun ibu tak bisa bayangkan pedihnya,” ibu menambahkan dengan wajah duka.

“Tapi, kan sekarang aku sudah pulang, sudah bertemu lagi dengan ibu. Jadi, jangan ibu pikir macam-macam tentang negara itu. Ya negara mana pun, pemerintah selalu tak ingin diganggu oleh rakyat. Karena itulah, mereka buat peraturan-peraturan yang tak masuk akal,” ucapku.

Tiba-tiba aku seperti tak lagi merasa keletihan atau pun ingin tidur segera mungkin. Ibu telah mengobati rasa penatku, wajah ibu telah melenyapkan rasa kantukku. Ibu memang telaga bagiku, anaknya. Ibu adalah lembaran-lembaran kehidupan tanpa palu hukum, tanpa dendam, tanpa rasa sakit meski kadang sang anak mengecewakannya.

Ah, ibu! Aku sesungguhnya sudah lama merindukan ibu. Setiap waktu terkenang wajah ibu, kasihsayang ibu, senyum ibu, telaga bagiku berenang dalam kedamaian. Tetapi, aku coba untuk pelan-pelan tegar di luar telaga. Setiap kali aku rindu pada ibu, kukirim surat-surat doa, kugelar sajadah bagi kenderaan yang akan mengantarkan rinduku. Itulah kenapa aku bisa bertahan hampir enam tahun merantau di Johorbahru, sampai undang-undang hukuman cambuk itu diberlakukan, dan kami mulai ketakutan hingga lari mencari persembunyian atau perlindungan.

Ya! Kalau saja ayah tidak memaksakan kehendaknya untuk menjualku kepada “bandot tua” Sumarta, juragan pabrik giling gabah, yang sudah beristri dua, tentu aku tak lari dari rumah dan memutuskan bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia. Bahkan, awalnya aku pilih bekerja di Arabsaudi, Jepang, atau ke negara Eropa sekalian. Biar jauh, biar lupa pada kampung, pada ayah, bahkan tanah air! Cuma aku terbayang wajah ibu, telaga kesejukan bagi hidupku, maka aku memilih bekerja di Johorbahru. Negara bagian Malaysia ini kupikir tak begitu jauh dari Tanah Air, lewat Batam sekali naik jet-foil (kapal cepat) bisa sampai, atau bisa singgah dulu di Singapura atau melalui negara bagian yang lain. Aku pun bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada tahun pertama kujejakkan kakiku di sana, kemudian aku lari lantaran aku hendak diperkosa majikan. Sejak itu, karena pasportku ditahan, sebagai TKI gelap aku bekerja di sebuah rumah makan Minang milik orang Indonesia. Berkali-kali aku berpindah dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya, dengan tetap milik orang Minang.

“Kau sudah makan, Is?” tiba-tiba ibu meluruhkan lamunanku.

Aku tersadar, sejak di atas angkot menuju rumah ini memang aku lapar sekali. Aku ingin segera menyambar piiring, mencentong nasi, mengambil lauk-pauk, dan langsung memasukkan ke mulutku. Tetapi, begitu aku bertemu ibu tadi, laparku seperti hilang. Kasih dan rindu ibu telah membunuh laparku.

“Ayolah, makan. Ibu sudah siapkan masakakan kesukaanmu. Ibu yakin kau lapar sekali, segeralah supaya jangan sakit…”

Aku menatap wajah ibu. Lama sekali. Mataku tertuju ke mata ibu yang juga kurasakan beningnya. Ibu mengangguk memberi isyarat agar aku segera menuju meja makan. “Tapi, bu, aku belum lapar. Aku masih kangen sama ibu…” jawabku manja.

“Ya, sudah kalau belum lapar. Kamu ke kamar mandi dulu, basuh badanmu dengan air hangat biar seger. Itu sudah ibu masakkan air panas di termos…” kata ibu kemudian.

Lagi-lagi aku kehilangan gairah untuk membersihkan badan. Tepatnya aku tak hendak meninggalkan ibu sendirian di ruang tengah barang seditik pun. Aku lama sekali meninggalkan ibu seorang diri di rumah tua ini, sejak ayah meninggal setahun setelah aku di perantauan. Kata ibu dalam suratnya, ayah meninggal karena menanggung beban penyesalan kepadaku. Karena egois ayah membuatku terpisah dengan ibu, dan ibu marah-marah. Lalu ayah sakit-sakitan hingga diopname sepekan di rumah sakit sampai ajal menjemputnya. Kubalas surat ibu tiga halaman kertas buku, kukatakan aku belasungkawa dan sedih. Hanya aku belum bisa pulang, karena penghasilanku belum cukup untuk ke Tanah Air.

“Nanti ajalah, Bu, sekalian salat subuh. Kan sebentar lagi,” kataku melihat jam dinding: 04.30. “O iya, mungkin ibu capek, mau kupijit?” lanjutku memijit pundak ibu.

“Tak usah, kalau ibu kuat mestinya kamu yang ibu pijit. Kan kau capek di perjalanan. O iya berapa hari kau di Nunukan?”

“Seminggu, bu!”

“Lama sekali? Memangnya tak ada bantuan kapal ke Jakarta?”

“Entahlah. Bantuan kapal dari pemerintah sepertinya lamban sekali. Kami terkatung-katung di penampungan itu. Makanan dikirim untuk kami sekadarnya. Itu sebabnya, banyak yang terjangkit penyakit, beberapa TKI yang tak tahan akhirnya meninggal di sana…”

“Keterlaluan!” desis ibu. “Memangnya kalian itu orang tahanan di sana? Dibiarkan menderita, kelaparan?”

“Entahlah, bu!”

“Padahal, enggak mungkin rakyat mau mencari nafkah di luar negeri kalau di sini terbuka tempat pekerjaan. Tetapi, karena di sini menganggur, akhirnya beramai-ramai mereka cari hidup di negeri orang. Kayaknya memalukan sekali sebagai bangsa!” kata ibu lagi dengan suara meninggi. Aku faham, ibu berang.

“Tapi, sudahhlah, Ibu. Yang penting aku sudah pulang dengan selamat. Aku tetap sehat…” tukasku menenangkan hati ibu. “Kalau ibu sudah ngantuk, tidurlah. Nanti aku bangunkan kalau azan subuh.”

“Ibu belum ngantuk.”

“Tapi, ini sudah malam ibu. Waktunya ibu harus tidur…”

“Ibu belum mau tidur. Lihat nih mata ibu masih besar…”

“Mata ibu memang besar. Lagian apa hubungannya mata besar dengan ngantuk dan mau tidur? Ibu ini…”

“Ya ada. Kalau ibu sudah ngantuk, mata ibu akan menyipit. Itu artinya harus tidur,” jawab ibu sekenanya. Aku tersenyum mendengar alasan ibu yang dicari-cari. Lucu. Ibu masih seperti dulu: penuh homur.

Lalu kami mengobrol sampai azan subuh. Kami salat berjamaah. Ibu yang jadi imam. Inilah hari pertama aku jadi makmum ibu, setelah enam tahun berpisah. Usai salat, ibu menanyakan keadaanku di Johorbahru. Terutama apakah aku sudah berkeluarga?

Aku jelaskan pada ibu, aku belum berumah tangga. Tetapi, aku sudah menjalin kasih dengan pria asal Lampung. Bahkan, kami berjanji bulan depan akan menikah. Sayang undang-undang Pemerintah Malaysia keburu keluar, membuat cita-cita kami bubar. Agusta tertangkap polisi dan kabarnya ia ditahan. Apakah Agusta mendapat hukuman cambuk, aku tak tahu. Komunikasi kami putus, begitu malam naas itu berlangsung sangat cepat. Polisi menyerbu kos kami, memorakporandakan kamar-kamar kami, mengambil barang-barang berharga kami, dan membawa kami ke pos polisi. Agusta yang tinggal di kamar kos paling ujung, begitu mendengar gaduh sepatu polisi segera keluar dan menggedor pintu kosku, lalu memerintahkan aku dan Siti untuk segera lari. Kami keluar lewat pintu belakang lalu naik tembok setinggu dua meter dan kabur.

*


IBU sudah selesai memasak, saat aku bangun tidur siang ini. Ia hanya tersenyum ketika melihat langkahku yang masih sempoyongan.

“Kamu masih ngantuk, Is. Lanjutkan dulu tidurmu, biar ibu yang memasak,” kata ibu. Aku ingin mengambil piring-piring kotor di meja untuk kucuci, tapi ibu mencegah. Kata ibu, “Biar ibu yang cuci, kamu masih capek. Ayo, ke kamar lagi, ndak usah bantu ibu. Ibu biasa bekerja sendiri.”

Ah, aku mendesah. Ibu kelewat memanjakan aku. Di mata ibu, aku seperti kanak-kanak yang segala sesuatunya telah disiapkan. Setiap gerakku untuk membantu, ibu seakan mengkhawatirkan kemampuanku. Apakah ibu tak percaya kalau Ismiyati sekarang ini bukan lagi anak-anak, tetapi sudah menjadi gadis dewasa, berani hidup di perantauan, melawan tatkala hendak diperlakukan kasar oleh majikan. Bahkan, aku sudah punya kekasih dan kalau tidak karena peraturan pemerintah Malaysia yang kuanggap tak berperikemanusiaan itu, kami sudah menikah bulan ini. Namun, aku maklum: ibu ingin menunjukkan cinta kasihnya kepadaku yang telah enam tahun tak bersamanya. Aku mengalah, kembali ke kamar tidur. Duduk di bibir ranjang menghadap cermin gantung.

Kupandangi wajahku yang memantul di cermin. Aku memang sudah dewasa! Usiaku kini pas 25 tahun, usia yang sudah pantas bagi perempuan untuk berumah tangga. Tetapi, mungkinkah di desa yang para lelaki juga berkeliaran di kota, aku bisa mendapatkan jodoh? Jangan-jangan bandot tua-bandot tua lagi yang akan diberikan kepadaku seperti saat ayah masih hidup, karena tinggal para bandot tua yang menjaga kampung. O, tidak! Aku akan menolak sekeras-kerasnya. Meski pun ibu yang menawarkan.

Apa ibu setega itu, memberi bandot tua untuk suamiku? Aku tak percaya ibu akan melakukannya. Ibu sangat sayang padaku. Mana mungkin ibu yang penuh cinta akan mencelakakan putrinya dengan perbuatan seperti itu. Aku yakin itu! Ibu bukanlah ayah yang materialistis: mengukur sesuatu dengan nilai materi. Sampai hari ini, ibu masih menjanda dengan hidup sederhana.

Saat aku terdampar di Nunukan, ibu yang penuh kasih dan cinta tak henti-henti membayang di benakku. Kupikir hanya ibu yang akan menjadi labuhan bagi keluh-kesah kegagalanku di perantauan. Hanya di pangkuan ibu, tali kesia-siaanku akan kutambatkan.

“Ibu kira kau sudah tidur, Is??”

“Ooo ibu… aku enggak ngantuk,” aku menjawab sembari menggeser sedikit untuk memberikan tempat bagi ibu duduk di ranjangku.

“Kamu sudah dewasa sekarang, mestinya kau sudah berpikir untuk berumah tangga. Biar ada orang yang melindungimu, yang menanggung hidupmu. Biar kau tetap di kampung ini, menjaga ibu yang sudah tua ini,” kata ibu kemudian hati-hati. Terbata.

“Maksud ibu?”

“Apa kau sudah punya pria pilihan lain untuk menjadi suamimu? Ibu ingin suamimu adalah orang kampung ini juga. Biar kau tidak dibawa merantau…”

Aku menggeleng. Aku belum tahu arah pembicaraan ibu. Terdiam. Memandang wajah ibu di cermin.

“Kalau belum, bagaimana kalau ibu yang menjodohkan kamu…”

“Maksud ibu?

“Ibu ingin… Maksud ibu, kalau kau setuju, ibu mau kau menikah dengan Pak Sumarta…”

“Apa? Bandot tua yang dulu ayah mau jodohkan padaku itu, masih ada di sini? Dan ibu ingin aku jadi istrinya? Yang ke berapa? Ke tiga, empat, lima, atau hanya jadi istri simpanannya?” kataku mulai meninggi. Aku protes, aku kecewa pada ibu yang tenryata juga sudah berubah.

“Itu kalau kau setuju, ibu tak memaksa,” jelas ibu lembut. “Tetapi, karena penolakanmu dulu, keluarga kita berutang padanya. Ayah keburu mengambil uang lamaran Pak Sumarta yang tidak kecil dalam ukuran keluarga kita, karena ia berpikir kau pasti tak akan menolak ayah. Namun sebaliknya, kamu justru meninggalkan rumah. Ayah pun tak bisa mengembalikan uang itu lantaran sudah dibelikan tanah dan ternak, yang ternyata bangkrut. Sampai kini ibu harus membayar cicilan setiap bulan, sedangkan bunganya terus beranak…”

“Ooohh…”

Hanya itu yang keluar dari bibirku. Tubuhku kemudian lunglai, melorot ke lantai: aku pingsan. Angan-anganku hilang, bahkan untuk menjadi istri bandot tua itu! Tak tahu, apakah nasib para TKI yang masih di Nunukan, juga punya kisah mirip denganku ketika selamat di kampung halaman?


Lampung, 2002-09-14






2
Rumah dan
Sepasang Penghuni


Lukisan rumah dengan sepasang penghuninya berdiri di teras dan tiga kepala bocah menyembul di jendela, pagi ini kaubakar.

KAU tersenyum. Bahkan terkekeh. Kobaran api yang menjilati seluruh halaman lukisan itu kaupandangi dengan perasaan puas. Seperti Nero yang terkekeh di ketinggian setelah kota Roma dia bakar. Habis sudah harapan dan impian pada bangunan rumah yang menyimpan dan menebarkan cahaya ketenteraman. Di rumah itu, menurutmu suatu ketika, pernah bernaung cinta. Dari genting-gentingnya bersayap cinta. Dari setiap dindingnya menebarkan kedamaian. Dan dari setiap sudut lantainya, mencahayakan ketenteraman.

Ah! Api kini mulai melahap rumah itu. Juga sepasang penghuninya, tiga kepala yang selalu menyembul dari jendela kala pagi dan senja. Bundaran matahari mulai menciut dan mengabur oleh gumpalan asap. Rembulan dan bintang tenggelam dalam kepulan api. Kobaran api yang berawal dari halaman tengah lukisan kemudian akan merambat ke setiap tepi. Setelah itu, kanvas lukisan rumah itu sebentar lagi akan habis terlalap api. Tiada lagi gambar sepasang penghuninya yang senantiasa berdiri di teras rumah, atau bersisian untuk kemudian saling mengecup pipi setiap meninggalkan halaman rumah. Tiga kepala bocah yang menyembul akan kehilangan senyum. Karena matahari atau bulan dan bintang yang setia menatapnya dari sela rimbunan pohon, tak pernah lagi menampakkan diri. Selamanya, untuk seterusnya.

Kau pernah melihat peristiwa seperti itu, di suatu kota entah di negara mana. Rumah-rumah dan toko dibakar oleh sekelimunan orang tidak dikenal. Mereka tak beridentitas. Demikian misterius. Menyerbu perumahan, mengepung kota di kala riuh. Kelimunan orang misterius itu merangsek setiap benda bernama bangunan. Menimpuki dengan batu atau pun besi berbeban berat. Kaca-kaca hancur. Genting luruh berantakan. Setelah itu mereka lemparkan percikan api setelah gedung itu mereka siram dengan bensin. Sungguh sekejap saja kota pun memerah. Langit diselimuti gumpalan hitam.

Kota yang menyengat semakin membara. Terdengar jerit dan rintih di mana-mana. Mereka terkepung api untuk selanjutnya gosong terbakar. Kalau pun ada yang mampu menyelamatkan diri, tetapi ia tak bisa membawa serta barang-barang berharga. Selain pakaian di badan dan sisa ciuman—istri atau suami dan anak-anak—mereka berlarian meninggalkan rumahnya yang dipenuhi oleh api. Api. Api.

Mungkin ini peristiwa pertama selama hidup yang pernah kausaksikan. Selebihnya hanya cerita bahwa di neraka kobaran api amat mengerikan. Membakar tubuh para pendosa dan pengingkar ayat-ayat Tuhan. Tidak pernah kaubayangkan pada suatu kesempatan dalam hidupmu menyaksikan kobaran api, seperti di neraka meski yang kaulihat kini belumlah sebanding. Akan tetapi, kau tetap tak sanggup menyaksikan. Wajahmu menampakkan kengerian yang sangat. Kau ikut menghindar dan ingin sekali bersembunyi. Cuma keinginan untuk menyaksikan peristiwa pembakaran kota yang begitu kuat merayumu, akhirnya kau bertahan di situ. Tersenyum. Bahkan terkekeh. Menyaksikan orang-orang yang pukang lantaran ketakutan. Api menjebak para penghuni kota. Asap yang menghitam memerahkan pandangan mereka. Siapa yang membakar kota itu? Tiada yang bisa mengidentivikasi. Seusai kerusuhan tiba-tiba kota menjelma lautan api. Cuma itu. Meskipun beberapa jam sebelum api menjilat bangunan rumah dan toko di kota itu, memang ada kelimunan massa yang berdemo. Lalu terjadi chaos saat para pendemo berhadapan dengan aparat keamanan. Entah siapa yang lebih dulu memulai, yang jelas hujan batu turun di kota itu.

Rakyat kecewa. Keamanan keliwat represif. Menyemprotkan gas airmata dan memuntahkan peluru ke tubuh massa. Di jalan itu berjatuhan massa pendemo. Sementara presiden tersenyum-senyum di istananya, sambil memoles lipstik dan alis mata di muka kaca rias. “Hai, anak-anak manis kenapa kalian tiba-tiba beringas. Akibatnya begini… kota terbakar…”

Dan, kota-kota lain di dalam peta republik ini, juga ikut membara. Kobaran api tak hanya membakar hutan, tapi telah meluas ke pasar, supermarket, bioskop, rumah ibadah, hingga perkampungan. Kota dan perkampungan beserta bangunan dan penghuninya telah kehilangan wujud, seperti lukisan yang terbakar itu. Sehingga kau tak lagi menemukan cinta di sana. Persaudaraan sudah mencair dan bahkan gosong terbakar api. Ke mana cinta sepasang pengantin usai mengucap ijabkabul? Adakah lagi kasihsayang yang terpancar dalam diri suami isteri itu? Bahkan, lembaga perkawinan seakan ikut rapuh dan melepuh dilalap api.

Siang menyengat. Kau menyeka keringat. Matahari makin tertimbun oleh gumpalan asap. Jalanan merekah. Gang menuju rumahmu kian terasa gerah. Kampung itu lumat. Kota itu kehilangan bangunan. Seperti napas saudaraku yang lepas dari tubuhnya, ketika peluru-peluru aparat keamanan menembusi dada dan jantungnya. Sudah berapa lama peta negeri ini memendam dendam dan amarah? Entah berapa kampus dimasuki serdadu sambil memuntahkan kebencian dari mulut senapangnya. Tak terhitung massa hilang tiada rimba atau mati di tempat. Kaulah serdadu itu. Yang memuntahkan peluru ke tubuh rakyatmu. Kaulah Nero itu yang membakar rumah dengan sepasang penghuni tengah bermesraan di teras dan tiga kepala bocah tersenyum menyembul di jendela dalam lukisan itu. Pagi ini. Kau Nero, kau juga serdadu!

Kau tersenyum, bahkan terkekeh, ketika terpilih untuk dikirim ke daerah-daerah konflik. Karena dengan begitu, kau mendapat keabsahan untuk membunuh. Tak kecuali anak-anak yang hendak ke sekolah atau ke ladang. Kau bangga bisa menewaskan orang atau beberapa orang. Ceritamu akan terdengar hingga ke bilik-bilik rumahmu, dikabakan kembali oleh keluargamu kepada tetangga. Kau dibolehkan membunuh, karena itu kau manfaatkan hak itu sebaik-baiknya. Kalau perlu kauaniaya mereka, sementara para perempuannya kauperkosa di ladang-ladang atau di dalam gedung yang belum habis arangnya.

Kau terkekeh. Di negeriku memang menghabisi nyawa orang lain tidak diharamkan. Bahkan mendapat legimitasi dari tingkat parlemen, pengadilan, sampai ke presiden. Terutama nyawa para pemberontak. Entah apakah sudah tepat kata pemberontak itu, bagi sekelompok massa yang memrotes kebijakan pemerintah. Akan tetapi, karena cara mereka membahayakan bagi kestabilitasan negara, sah saja darah pemberontak itu tumpah ke tanah. Begitu ajaran yang kau terima dari pimpinan. Karena tugasmu langsung berhadap-hadapan dengan para pemberontak, sebagai serdadu mesti adu cepat untuk menumpas. Rakyatmu selalu kalah sedetik. Mereka terbukti lebih banyak yang menjadi korban. Mati di tempat.

Rumah dan penghuninya yang masih sisa kemudian kaukepung dari berbagai arah. Dengan moncong senapang yang awas memburu mangsa, kau lempari lebih dulu bangunan itu dengan granat. Atau kaumandikan dengan bensin, setelah itu kau sulut dengan obor. Saat pagi membeku. Tak ayal bagai anak-anak ayam kehilangan induknya, penghuni dari rumah-rumah itu menjerit histeri keluar dari kepungan api. Sungguh di pagi itu, pemandangan mengerikan berlangsung. Orang-orang mati terpanggang. Bau sangit dari tubuh yang terbakar menebar ke pelbagai arah. Akan tetapi, kau tersenyum dari persembunyian. Bahkan terkekeh. Kau telah jadi Nero saat membakar kota Roma. Untuk sebuah drama yang mengenakkan.

Bagaimana aku bisa mendongengkan lagi semua ini kepada tamu yang datang? Aku bukanlah pencerita ataupun pembawa kaba yang mampu memukau. Seorang peracau sepertiku ini, pantasnya hanya menyaksikan semua peristiwa menyeramkan itu, dengan lutut yang gemetar dan detak jantung yang bergemuruh. Kautahu, jangankan menyaksikan kota dan penghuninya yang dibakar, aku pernah tak bisa berdiri lagi ketika seorang bandit tetanggaku ditarik paksa dari rumahnya. Saat itu para penembak misterius (akrab disingkat petrus) diberlakukan negara. Aku tak berani keluar rumah, cuma mengintip dari sela-sela dinding papan rumahku. Untunglah bulan dapat tugas ronda, sehingga aku bisa jelas menyaksikannya. Cuma aku tak kuat lagi melihat kekerasan. Akibatnya lututku gemetar, dan aku tak sanggup menahan tubuhku. Aku pun melorot ke lantai rumahku. Istriku tertawa, mencemooh jiwaku yang lemah. Katanya, “Kekerasan yang kaulihat malam ini belum apa-apa. Kau akan menyaksikan kekerasan yang lebih sadis, di suatu ketika.” Mendengar itu, aku makin bergidik. Kali kesempatan, ketika kusaksikan serdadu menembaki massa dan mahasiswa hingga beberapanya tewas, aku menangis sejadinya. Ini kekerasan yang lebih sadis itu seperti dikatakan istriku pada puluhan tahun lalu. Peristiwa kekerasan yang lebih sadis itu berlangsung antara 1980—1989-an, dan belum habis hingga 2004 ini.

Oleh karena itu, ketika pagi ini kau membakar lukisan rumah dengan sepasang penghuninya berdiri di teras dan tiga kepala bocah menyembul di jendela, sesungguhnya aku baru saja menyelesaikan lukisan terbaruku. Aku jadi tak berani menunjukkan padamu atau memajang dalam ruang pameran, sebab bukan mustahil lukisanku yang baru jadi akan juga kaubakar. Lukisanku yang berjudul “Rumah dan Sepasang Penghuni” itu hendak mengungkapkan bahwa rumah sebagai lembaga perkawinan, akhir-akhir ini telah kehilangan legimitasinya. Rumah hanya dimaknai sebagai tempat singgah saat lelah dan rindu. Perkawinan antardua manusia berlain jenis dan beda kultural, pada zaman kini sulit sekali menyatukan individu menjadi romantis penuh kasihsayang dan saling percaya. Seperti rumah-rumah yang kaubakar, rumah perkawinan bagai puing yang mengaromakan kegosongan. Aroma sangit menyebar dari sana. Seperti para penghuninya yang senantiasa penuh dengan kepura-puraan. Bagaimana cinta dan kasih sayang hanya kita peroleh pada saat bersenggama. Setelah itu kau dan aku saling curiga, tak percaya, dan menikam dari belakang. Seperti meracik foto-foto saat berdua. Sungguh, rumah perkawinan kian mengabur maknanya. Penuh asap dan bau sangit.

Dan pagi ini, lukisan itu telah kaubakar. Habis dilumat api. Sepasang penghuni bersama tiga kepala bocah di dalamnya tak lagi menebar senyum. Wajah mereka sudah lama tenggelam dalam tumpukan asap dan gumpalan api yang membara. Aku melihat sendiri, bagaimana api dari percikan korek api gasmu, sekejap saja melumat seluruh gambar rumah itu. Kemudian tiga kepala bocah yang sejenak lalu menyembul di jendela memamerkan senyumnya, tiba-tiba berubah mengerikan. Pasi. Pandangannya kosong, tubuhnya menjadi membara. Tangan-tangan mereka melambai padamu. Sementara kita hanya diam di tempat ini. Tidak berani menembus kobaran api yang sedang mengganas itu. Membiarkan sepasang penghuni dan tiga kepala bocah lesap dalam api.

Lukisan rumah dengan sepasang penghuninya berdiri di teras dan tiga kepala bocah menyembul di jendela, pagi ini kaubakar.

Kau menyaksikannya dengan senyum. Menyimpan misteri. Apakah kau kemudian tahu bagaimana akhir cerita dari lukisan itu? Kau menggeleng. Aku pun tak punya cerita lagi tentang lukisan itu. Juga tak mungkin mampu melukis ulang persis seperti yang kaubakar itu. Sebagai pelukis, aku tidak pernah mencetak karya-karya lukisan. Tetapi aku tengah menuangkan imajinasiku ke dalam kanvas. Liwat goresan warna dan tumpahan darah kreativitasku. Aku tak akan bisa mengulang apa yang telah kubuat. Aku juga tak mau berhenti melukis, meskipun parang kaupasang di leherku. Semakin diancam agar berhenti berkarya, seniman akan semakin berkembang. Aku teringat ucapan Sade.

Oleh karena itu, aku orang pertama yang menangis ketika lukisan rumah dengan sepasang penghuninya yang berdiri di teras dan tiga kepala bocah yang menyembul di jendela tersebut dibakarmu. Aku tak akan mungkin mampu mengembalikan kemesraan sepasang penghuni rumah itu. Aku pasti gagal memulangkan senyum ketiga bocah itu yang menyembul di jendela, setiap pagi dan senja. Aku tak mampu membawakan lagi matahari ke dekat jendela mereka. Matahari sudah jengah karena didera oleh suara letupan senjata dan dentuman granat. Pohon-pohon yang berselimut daun hijau sehingga memberi keindahan di dekat rumah itu tak bisa kutumpahkan ulang ke kanvas, setelah kau membakar lukisan itu. Jadi, sangat beralasan jika aku kini tak menunjukkan karya lukisanku yang terbaru. Aku juga takut memamerkannya. Para serdadu dan massa akhir-akhir ini makin beringas dan kehilangan akal sehatnya. Main hakim sendiri. Sangat cepat bermain api.

Maafkan kalau sudah beberapa tahun ini, aku tak mengikuti berbagai even pameran lukisan. Karya-karyaku hanya kusimpan di kamar kerjaku. Entah sampai batas waktu kapan, aku tidak berpameran secara tunggal ataupun bersama pelukis lain. Kenyataannya, orang-orang sudah jengah dengan gambar rumah. Orang-orang mulai merasakan tak lagi begitu penting sebuah rumah, kecuali untuk suatu hajat: tidur, membunuh lelah, melepas rindu, berak, kencing, dan berhubungan intim dengan pasangannya. Maafkan….

*

LUKISAN rumah itu dengan sepasang penghuninya dan tiga kepala bocah yang menyembul di jendela, sekejap lagi ludes terbakar. Kobaran api saat ini tengah merayapi bingkai di keempat sisi kanvas itu. Seperti luapan api yang melumat bangunan di kota republik ini pada setiap kesempatan. Orang-orang seperti tak lagi percaya pada cinta, pada ketulusan, dan kasihsayang. Sebab salingpercaya sudah terkikis dari dalam diri kita: sepasang manusia yang terhukum dan telontar di bumi ini. Maka lebih dari sejuta kau melempar api setelah menyiram bensin ke rumah-rumah yang menganga itu.

Api. Dendam. Ah, bila berakhir?

“Setelah kita mengembalikan kepercayaan, kasihsayang, dan cinta. Senyum yang telah kerontang, kembali bersemi…” katamu.

Kapan itu? Aku tak punya waktu sebagai penanda dari sebuah perjalanan hidup ini. Jam sudah mulai mbalelo, tak setia dengan perhitungan detik. Penunjukan waktu makin setia dengan perbedaan. Kita pun sama-sama mempertahankan, betapa pun darah kita harus mewarnai tanah ini. Seperti kanvas yang ketumpahan cat. Akan tetapi, selalu saja kita tersenyum seperti tidak memiliki penyesalan lagi. Kita bikin rumah lagi untuk dibakar kembali. Kita kawin untuk mati gosong di dalam luapan api.

Sungguh, lukisan rumah dengan sepasang penghunyinya dan tiga kepala bocah yang menyembul di jendela, tiada henti kita pajang. Meskipun setelah itu, kau yang membakarnya. Sebagaimana negeriku saat ini. Seperti nasib bangsaku pada kesempatan ini: setia terpuruk dan terbakar.

Kau dan aku sudah kehilangan kepercayaan. Kita selalu riang menanam kebencian dan pertengkaran!


Lampung, 12 Mei 2004








3
Dia


DIA AMANDA. Nama yang tidak asing, tetapi di mana ia pernah bertemu atau berkenalan? Kartu nama yang terselip di antara bunga di meja kerjanya, memunculkan berbagai pertanyaan.

Sejak sebulan ini, setiap akhir pekan ia selalu mendapatkan bunga di mejanya. Ini sudah yang ketiga kali ia dikirimi bunga oleh pengirim yang sama: Dia Amanda. Tetapi, ia benar-benar kesulitan mengenali nama itu. Sungguh! Sudah lebih dari 20 nama perempuan, baik kenalan lama maupun yang baru, tak ditemukan nama Dia Amanda. Ia juga mengingat-ingat teman-teman perempuan sewaktu di SMA. Tak ada juga nama itu. Jangan-jangan nama samaran, ia membatin.

Pagi tadi ia menelepon teman akrabnya sewaktu di SMA di Medan. Dia tanyakan kalau-kalau temannya itu mengenal nama Dia Amanda. Ternyata Dedy Ardiansyah yang kini menjadi wartawan di Medan kehabisan memori untuk mengenal nama yang ditanyainya. “Sungguh Boy, aku yakin nama itu tak ada dalam daftar nama teman perempuan kita di SMA. Kau harus yakinlah dengan memoriku, apalagi urusan…” kata Dedy.

“Oke oke. Aku yakin. Siapa tak kenal kau yang Don Juan di SMA,” ujar Cakra yang biasa disapa Boy oleh teman-temannya. Lalu tertawa.

“Tapi, aku penasaran…”

“Aku maklum. Tapi, mestinya kau bersyukur digoda oleh karangan bunga. Coba kalau dikirimi kardus berisi bom?” Dedy menggoda.

“Itu namanya teror! Aku tak perlu minta bantuanmu, tapi langsung ke pihak keamanan!” jawab Boy kesal meski terdengar tawanya.

“Tenang kawan. Jangan temperamen begitu. Aku berjanji segera mengabarimu jika aku tahu siapa Dia Amanda. Kau harus percaya dengan keahlianku. Mungkin memoriku sekarang lagi ngadat sehingga tak bisa mengetahui nama yang kaucari itu. Oke kawan?”

“Oke,” jawab Boy pendek. Sebelum gagang telepon ia letakkan kembali di pesawat ia berpesan, “Jangan sampai rambutmu rontok ya mengingat semua nama perempuan yang kaukenal. Aku tidak bertanggung jawab!”

“Kenapa kau tidak hubungi alamat atau nomor teleponnya? Biasanya di kartu nama ada alamat dan nomor telepon?” Dedy mengingatkan.

“Itu masalahnya. Di kartu namanya, cuma tertulis Dia Amanda. Tiada alamat, tak ada nomor telepon. Tapi, aku tak akan menghubungimu kalau itu ada!”

“Wah, benar-benar misterius dong! Hati-hati kau sedang diteror…” terdengar tawa Dedy.

Gagang telepon ia tutup. Kemudian dipandangnya bunga yang masih segar di mejanya. Selembar kartu nama terikat di antara tangkai bunga itu. Ia panggil pelayan kantor, tapi Bang Udin tetap saja tidak tahu siapa yang mengantar bunga itu.

“Saya selalu mendapatkan di depan pintu, Bos. Karena karangan bunga itu untuk Bos, ya saya letakkan di meja itu,” jelas Bang Udin dengan membungkuk-bungkukkan badan.

“Memangnya kau buka kantor jam berapa?”

“Setengah tujuh, Bos!”

Boy mendesah. Berarti bunga ini sudah diletakkan di depan kantor jam 6 atau lebih pagi lagi. Ia menggumam. “Bang Udin tahu di mana penjual bunga di sekitar sini?”

“O di sana, Bos. Dari lampu merah sana lurus saja, lalu belok kiri begitu ada jalan kecil. Di sana banyak penjual bunga…” jawab Udin.

Boy mengangguk. Tiba-tiba ia ingin ke tempat penjual bunga. Ia mau menanyakan siapa pembeli karangan bunga. Kalau pengirim bunga ini memang beli di tempat itu, tentu mereka akan tahu. Setidaknya dapat memberikan ciri-ciri orangnya. Siapa tahu pula pengirim bunga kepadanya adalah pelanggan, yang boleh jadi akan tahu alamatnya. Ia berharap begitu. Dan, itu akan memudahkan mendeteksi pengirim bunga itu. Dia akan tahu siapa Dia Amanda. Ah, nama yang indah semoga seindah orangnya. Ia tersenyum.

Boy memang tak begitu suka dengan bunga. Lelaki yang menyukai bunga, selalu ia katakan, seperti perempuan. Oleh karena itu, pertama kali ia ditunjuk memegang jabatan kepala direksi di perusahaan ini, ia singkirkan bunga di meja kerjanya. Kepada pelayan kantor ia berpesan di mejanya harus bersih dari bunga, kalender duduk, dan hiasan lainnya. Sejak itu, tak ada vas bunga di mejanya, lazimnya meja seorang direktur. Bahkan di meja tamu di dalam ruangannya juga tak ada bunga, kecuali dua buah asbak rokok. Namun yang masih tetap dipertahankan sejak ditinggalkan direktur yang lama, ialah beberapa lukisan abstrak yang tergantung di tembok. Ia juga menambah dua lukisan karya Nashar yang dibelinya dari seorang kolektor di Jakarta.

*

VAS bunga itu ia masukkan ke dalam tas plastik. Ia akan mampir ke penjual bunga seperti yang diberi tahu pelayan kantor tadi. Ia mau menanyakan apakah bunga yang dibawanya dibeli di tempat itu. Ia juga akan menunjukkan kartu nama yang tetap terikat di antara tangkai bunga.

Ia masih sabar meski sudah dua kios penjual bunga mengaku tidak mengenal pembelinya. “Kalau pun dia beli di sini, kami tak bisa mengenalnya. Soalnya banyak yang mampir ke sini,” kata salah seorang penjual bunga. “Tapi, saya memang tak menjual bunga seperti itu,” kata penjual bunga lain yang didatanginya.

“Maaf pak, apa bunga ini dari sini?” tanya Boy pada kios bunga yang keempat. Ia menunggu jawaban penjual bunga yang masih mengamati vas bunga di tangan Boy.

“Bunga ini memang beli di tempat saya. Ada apa, Pak? Tidak sesuai? Bisa kok kalau mau ditukar degan bunga yang lain. Tetapi kalau mau dikembalikan, kami tak menerima…”

“Tidak, tidak dikembalikan. Tidak juga mau ditukar.”

“Lalu, mau apa pak?”

Ia menarik napas sejenak. Wajahnya mulai tampak cahaya. Ia berharap penjual bunga itu tahu siapa pembeli vas bunga ini. Kalau mungkin tempat tinggalnya. Biar segera ia menemui pengirim bunga yang datang setiap pekan itu.

“Ini kan bunga yang dikirim ke PT Angan Angin, pak?”

“Bapak tahu?”

“Anak saya yang saban Sabtu pagi yang mengantar ke sana.”

“Jadi, bapak tahu siapa pembelinya?”

Penjual bunga itu menggeleng.

“Lo, bagaimana caranya dia membeli?”

“Hanya liwat telepon. Dia meminta langsung diantar ke alamat yang dikasihnya. Lalu, sore atau minggu pagi ada orang suruhannya yang membawa uang bayaran ke sini…”

“Laki-laki?”

“Ya. Usianya seperti saya.”

“Bapak tak pernah bertanya kepada pengantar uang itu?”

Diam sejenak. Penjual bunga itu memperhatikannya, dari ujung rambut sampai ke ujung sepatu. Ia mulai hati-hati. Ragu.

“Memangnya kenapa, pak?”

“Saya merasa diteror oleh pengirim bunga ini. Saya tidak kenal pengirim bunga ini, tapi saban akhir pekan di meja saya ada kiriman bunga. Siapa yang membuat nama di kartu nama ini?”

“Eee…,” penjual bunga itu terbata. “Maaf, pak, saya tidak bermaksud meneror bapak. Saya hanya penjual, memberikan pelayanan yang baik kepada setiap pembeli…”

“Saya tahu itu. Saya maklum. Bapak tidak salah, bapak benar. Sebagai penjual bapak benar, harus menjadikan pembeli sebagai raja, harus melayani pembeli sebaik mungkin. Begitu tatacara berdagang,” kata Boy membangkitkan keberanian pedagang bunga itu. “Hanya saja, saya ingin tahu apakah kartu nama ini dari pembeli itu, atau…”

“Bukan, pak. Kami yang membuat. Di sini juga ada alat sablon, pembeli bisa memesan sekalian kartu nama di sini,” jawab pedagang bunga itu memberanikan diri.
“Dia tak memberi alamat?”

“Saya sudah tanya, tapi ia bilang cukup nama saja. Alasannya, bapak sudah kenal dengannya…”

Gila! Justru tanpa alamat dan nomor telepon di kartu nama ini, yang membuatku sibuk seperti ini. Kalau Dia Ananda menyertakan alamat dan nomor telepon, tak perlu aku menelepon Dedy Ardiansyah di Medan, Sobirin di Pangkalpinang, Odhys di Pontianak, Wachid di Jogja, Aslan di Makassar, atau pun Arcan di Bali. Boy juga tak harus bersusah-susah menyisir dari satu kios ke kios bunga di tempat ini. Tetapi soalnya, Dia Ananda adalah nama asing dalam memorinya. Inilah pangkal sebabnya.

“Yang menelepon bapak lelaki atau perempuan?”

“Perempuan, pak. Tetapi, saya benar-benar tidak tahu apakah benar-benar dia yang memesan. Atau yang menelepon saya itu hanya suruhan juga…”

“Ah, saya benar-benar bingung…”

“Bapak juga bingung. Saya jadi merasa bersalah dengan Bapak…” ulang penjual bunga itu. Pedagang bunga itu, sekali lagi, meminta maaf padanya. Ia hanya menjalankan tugas. Ia juga mengira, seperti para pembeli lain, biasanya sudah saling mengenal. “Lalu untuk apa mengirim bunga kepada bapak, kalau bapak sendiri tak mengenalnya?” penjual bunga itu menambahkan setelah beberapa kejap terdiam.

“Saya tidak tahu, pak, apa motivasi pengirim bunga ini. Tapi, saya berpikiran baik saja, pengirim bunga punya niat baik kepada saya. Hanya…”

“Cuma apa, pak?”

“Mungkin ia belum berani menunjukkan alamatnya. Inilah kesalahannya. Boleh jadi nama ini hanya samaran…”

“Artinya, bapak sebenarnya tahu atau kenal. Begitu?”

“Boleh jadi begitu. Bisa juga salah.”

“Ah, saya makin pusing,” kata pedagang bunga itu. “Sebentar pak, maaf saya mau melayani pembeli dulu…” lanjut lelaki paro usia itu, seraya mendekati seorang pembeli. Perempuan. Cantik.

“Masih ada bunga seperti yang dipegang orang itu?” tanya perempuan cantik itu sambil menjunjuk vas bunga di tangan Boy. Lelaki paro usia penjual bunga itu mengangguk setelah menengok pada Boy.

“Yang ini kan?”

Perempuan itu mengangguk. Menatap sejenak pada Boy. Tersenyum. Berujar pelan. “Untung ada Anda, saya tak harus memilih-milih dulu. Terima kasih…”

Boy mengangguk. Ia tatap dalam perempuan yang berada di sisi kirinya. Perempuan itu sepertinya pernah ia lihat sebelum ini, tapi di mana? Ya! Ia mulai ingat. Ia pernah satu pesawat dari Medan ke Makassar, setahun lalu. Bahkan ia duduk di sebelah perempuan itu.

“Saya pernah jumpa Anda. Kalau tak salah ingat sewaktu penerbangan dari Medan ke Makassar, November lalu. Anda masih ingat?”

“Ya! Saya masih menyimpan kartu nama Anda. Saya juga masih ingat Anda pernah bilang tak suka dengan bunga. Tetapi saya lihat sekarang anda menenteng bunga, apa sudah mulai menyukai?” ucap perempuan itu sambil melihat vas bunga di tangan Boy.

“Ini bukan bunga saya. Ada yang mengirim ke kantor setiap Sabtu pagi. Sudah tiga minggu ini. Cuma saya tak mengenal pengirimnya. Maka itu saya bawa ke mari, siapa tahu bapak itu tahu dengan pembelinya…”

“Bapak itu tahu?”

Boy menggeleng. “Katanya, pembelinya hanya berpesan liwat telepon. Juga nama di kartu nama ini langsung dipesan di sini. Pemesan selalu membayar yang dibawa oleh orang suruhannya…”

“Misterius sekali…” kata perempuan itu. “O iya, dulu saya belum mengenalkan nama saya. Saya Anandia Sasmita, baru dua bulan di sini. Saya…”

“Sasmita adalah nama suami Anda?” Boy tergoda dengan nama Sasmita di belakang nama perempuan itu. Ia mulai menyelidik.

Tersenyum. “Saya dimutasi ke kota ini. Saya berkantor di Dinas Pertambangan, tak jauh dari lampu merah itu.”

“Wah, kantor kita bertetangga dong. Mampirlah akalau ada waktu ke kantor saya,” Boy membuka diri.

“Mestinya Anda yang mampir ke kantor saya,” Anandia menawarkan.

“Tak ada yang marah kan?”

“Cuma silaturahmi, siapa yang berhak marah?” Anandia menantang.

*

“KALAU kutahu pengirim bunga itu kau, tak harus aku bersusah-susah,” kata Boy membuka pembicaraan. Kain warna-warni, macam-macam bunga, dan aroma pewangi ruangan masih terasa. Bahkan tumpukan kado dari undangan, amplop berisi uang juga dari para undangan, belum dibuka. Masih bertumpuk di sudut kamar. Keduanya tampak lelah seharian menerima tamu. Ini malam pertama keduanya mengarungi rumah tangga.

“Kalau aku tak memakai nama samaran, itu bukan menguji,” jawab Anandia manja.

“Kalau aku tak ke pedagang bunga itu, pasti kita tak bertemu. Waktu itu, aku benar-benar penasaran dengan si pengirim bunga. Aku bertekad harus mendapatkannya, dan jika perempuan apalagi secantik kau akan kujadikan istri…”

“Kalau lelaki?”

“Akan… hust, akan kulempar ke wajahnya. Hahaha…”

“Dan, sekarang tidak penasaran lagi kan?” goda Anandia.

“Masih pena….” Boy langsung menjatuhkan tubuhnya ke pelukan istrinya.

“Sudah mulai menyukai bunga, kan?” Anandia berbisik, merapat di telinga suaminya.

“Kenapa kau kirim aku bunga? Kau kan tahu kalau aku tak suka dengan bunga?” Boy ingin tahu alasan istrinya saat itu menerornya dengan bunga.

“Karena aku ingin katakan sesuatu liwat bunga…”

“Wow! Puitis sekali!”

“Aku memang suka puisi. Dan, ternyata berhasil kan? Kau penasaran dengan pengirimnya. Waktu itu, aku memang sengaja datang ke kios itu berpura-pura membeli bunga seperti yang kau pegang. Kita pun berkenalan, kita pun…

“Menikah…”

“Tapi, tidak karena bunga kan?”

Lalu keduanya pun sepakat menjadikan bunga untuk menyatakan sesuatu. “Jika kau marah padaku, aku akan memberimu setangkai bunga. Begitu sebaliknya…” usul Anandia. “Dengan begitu, kau makin suka dengan bunga, makin menyayangi bunga.”

“Kalau begitu kita mesti menanam bunga di halaman depan, kan susah kalau harus ke kios bunga dulu,” Boy balik mengusul.

“Setuju. Tapi, kau yang merawat tamannya? Oke?” Anandia meminta. Ia kibaskan rambutnya yang sebahu. Menatap dalam ke mata suaminya yang merebahkan kepala dia tas kedua tangannya.

Keduanya kemudian tersenyum. Tertawa. Bulan di luar seperti menerbangkan bunga-bunga ke peraduan. Malam menjadi indah. Seperti di dalam taman bunga.


Lampung, Mei—Juni 2004







4
Utang Ayah


SEJAK aku bercerai dengan Sumanto, juragan beberapa pabrik penggiling padi di desaku, aku merasakan benar-benar bebas. Mungkin inilah kemerdekaan. Teman-teman sepermainanku semasa kecil gembira merespon perceraianku. Bahkan di antaranya ada yang berjanji akan mengajakku ke kota: mencari penghidupan yang lebih baik di sana.

Aku jadi istri Sumanto bukan karena cinta. Bandot kampung—dalam hati aku biasa menyebut suamiku begitu—menikahiku untuk melunasi utang keluargaku yang cukup besar padanya. Rasanya sulit terbayar meski hanya diangsur selama lima tahun. Cara ini memang sengaja dibuat bandot kampung itu, agar aku menyerah padanya. Menjadi istrinya, baik terpaksa maupun suka.

Dan, aku tak bisa mengelak. Jaminannya adalah kedua orang tuaku. Jelas aku tidak tega membiarkan keluargaku merangkak keluar, begitu orang-orang Sumanto mengeksekusi rumahku. Itu sebabnya, aku pasrah harus bersanding saat ijabkabul dengan bandot kampung itu. Meski, setelah itu, aku seperti tengah meniti di atas api yang sangat panas. Layaknya aku berada di neraka.

Sebagai istri keempat, mungkin juga istri-istrinya yang lain, aku diperlakukan tak lebih hanya untuk dicangkuli pada malam hari dan jadi pembantu di siang hari. Sungguh kehidupan rumah tangga seperti itu membuatku tersiksa. Jangankan memrotes, menolak secara halus pun jika ia menginginkan sesuatu dariku alamat tangannya akan mendarat di tubuhku. Lama kelamaan hidup dalam ketakbebasan dan siksaan seperti itu, aku jadi tidak tahan. Suatu hari aku membantah. Sumanto berang. Ia memukuli dan menendangiku. Cuma aku sudah siap. Aku mengelak setiap tangannya hendak melayang, aku berkelit begitu kakinya ingin bersarang dit ubuhku. “Ternyata kau bisa menghindar ya? Kamu diam-diam punya ilmu bela diri ya? Kamu sudah berani melawanku hah?!” Sumanto berteriak. Ia hendak mengambil kayu penghalang pintu, tapi segera aku ambil langkah seribu. Aku tidak pulang malam itu. Tidak tidur di rumah orang tuaku, tapi bersembunyi di rumah temanku.

Dua hari aku lari dari rumah. Bandot kampung itu mengerahkan orang-orang bayarannya untuk mencari persembunyianku. Pada hari keempat aku ditemukan, dan dibawa pulang oleh para algojo suamiku. Aku diperlakukan kasar oleh Sumanto begitu sampai di rumah lagi. Aku “diberi pelajaran” justru di hadapan istri-istrinya yang lain. Sialnya, mereka tak punya keberanian untuk berpihak kepadaku. Hanya membisu. Meski kurasakan hati mereka pun menjerit. Protes. Tapi, apalah artinya protes yang disampaikan liwat kebisuan? Aku pun kecewa pada perempuan-perempuan itu. Dan, aku lebih kecewa lagi
Sumanto awalnya berang atas ketegasanku untuk minta berpisah. Bandot kampung beranak lebih selusin dari tiga istri itu memaksa keluargaku untuk memulangkan uang pinjaman kepadanya, jika aku lari dari cengkeramannya. Aku tidak peduli. Kukatakan padanya: “Lima tahun aku jadi ‘gundik’, melayanimu dari pagi sampai pagi lagi, lebih ratusan kali tubuhku jadi sansak tanganmu, itu lebih dari cukup buat melunasi utang keluargaku!”

Ia tak bisa berkutik. Apalagi aku mendatanginya dengan ditemani seorang temanku semasa kecil yang kini di LSM pembela kaum perempuan di kota. Sumanto ditakut-takuti bisa dipidana jika menghalangi perceraian ini. Akhirnya ia membiarkan aku angkat kaki dari rumahnya, meski ia gunakan kekuatan Bapak agar tetap menjadi istrinya. Aku bilang pada Bapak, “Tanpa harus menjadi istri Sumanto, aku dan kita bisa tetap hidup. Bapak jangan khawatir, utang-utang Bapak sudah kulunasi. Dia tak akan menagih lagi, tak akan mengancam Bapak lagi.”

Bapak hanya diam. Menundukkan kepala. Air mukanya masih tampak bimbang. Cuma kubilang lagi pada Bapak, setelah bercerai aku akan ke kota. Aku akan bekerja dan menabung, lalu mengirim uang ke Bapak buat membangun rumah. Aku bisa membayar utang Bapak pada Sumanto kalau dia masih menagih. Lalu bapak tersenyum, sepertinya yakin kalau aku tak akan mengecewakannya.

*

DIBANDINGKAN ketiga istri Sumanto yang lain, aku lebih muda dan cantik. Aku juga berpendidikan, meski hanya punya ijazah SMP. Itu sebabnya, meski aku orang kampung dan keluargaku tak mampu, kalau ke pesta atau ke pasar di Kota Kecamatan orang mengira aku dari keluarga cukup. Karena itu pula, aku yang paling sering dibawa pesta oleh Sumanto atau ke pasar, dan ke mana pun ia pergi. Hanya sesekali Sumanto mengajak istri-istrinya yang lain, dan biasanya dalam keperluan yang tidak begitu penting.

Ketika aku belum menjadi istri Sumanto, bahkan seorang lelaki tampan, pedagang kelontongan di Pasar Kecamatan, mengira aku datang dari kota. Hanya liburan ke kampung. Aku hanya tersenyum-senyum.

Pada pekan berikutnya, pedagang itu menanyai rumahku. Kujawab sekenanya tanpa harapan ia akan datang ke rumahku. Ternyata pada malam Minggu, waktu baru menunjukkan pukul 19.15, ia sudah mengetuk rumahku. Tentu saja kaget, “lelaki ini benar-benar nekat, rumahku yang sejauh ini bisa disambangi!”

“Kamu kaget ya? Tidak percaya kalau saya bakal datang ya?” ia membuka percakapan, begitu aku berada di hadapannya. Aku sampai lupa menanyai namanya. Untung ia segera menyebut namanya: “Saya Wawan,” katanya. “Masih ingat kan? Waktu kau ke pasar dan berbelanja di tempatku, sepekan lalu?”

Aku mengangguk. Tersenyum. Menyilakannya masuk dan duduk di ruang tengah rumah. Aku ke belakang untuk mengambilkan segelas air teh. Wawan berbasa-basi agar aku tidak usah repot-repot, namun aku tetap ke belekang. Ayah keluar dan menyalami Wawan, duduk di pojok ruangan. Kudengar ayah mengajak ngobrol Wawan. Memanyakan tempat tinggal, pekerjaan, dan seterusnya. Kudengar semua pembicaraan mereka. Wawan tak sungkan dan tegas menjawab semua pertanyaan ayah. Ia juga menanyakan soal musim dan panen. Ayah menjawab, “Bagaimana mau panen, Nak, bapak tak punya sawah. Bapak hanya menunggu diajak memanen sawah orang lain?”

“O iya, memangnya bapak tak punya sawah? Wah, kalau panen sawah sendiri enak ya, pak?”

Kudengar lagi suara ayah. “Ya. Tapi, sudah lama sawah bapak dijual untuk membayar utang dengan Sumanto. Cuma belum lunas juga… bunganya besar sekali.”

Setelah itu kudengar suara ayah mendesah panjang. Mungkin ayah menyesal kenapa meminjam uang dengan rentenir Sumanto yang bunga setiap peminjaman terus membengkak. Akan tetapi, waktu itu ayah tak punya cara lain kecuali meminjam pada Sumanto. Ibu yang harus diopname di rumah sakit umum di Kota Kecamatan, membutuhkan uang tidak kecil. Kami hanya berpikir harus punya uang, meskipun dengan cara merenten. Kalau panen, pinjaman dibayar. Sialnya panen tak seberapa banyak, ayah mesti menunggak utang pada Sumanto. Sialnya lagi, bunga yang beranak ikut berpinak. Itulah yang membuat Sumanto merongrong ayah terus agar menyerahkan aku padanya, jika utang ayah ingin dianggap lunas. Sore tadi, orang-orang Sumanto datang lagi. Meminta kesediaan aku menjadi istri keempat Sumanto. Ayah tak bisa menjawab apa-apa pada orang suruhan Sumanto. Sepertinya ayah tidak sampai hati menggadaikan aku kepada bandot kampung itu.

“Ayah tak punya hak memaksamu, Nduk. Karena yang akan menjalani rumah tangga itu adalah kamu, Minah. Tetapi, ayah juga tak akan bisa melunasi utang dan bunga-bunga itu pada Sumanto. Sawah yang sudah kita jual padanya pun belum bisa menghabisi utang kita. Ayah hanya menunggu mukjizat sekarang…” Ayah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku yakin yakin ayah menangis. Dan, inilah pertama kali aku melihat ayah mengeluarkan airmata.

Aku tak kuat menyaksikan ayah menangis. Segera aku lari ke dalam kamar tidur. Menjatuhkan tubuhku ke kasur dan menutup seluruh wajahku dengan bantal. Ibu yang setahun lalu meninggal, seakan datang dan menemaniku. Ah! Aku merasakan kasihsayang ibu saat ini. Ibu seperti mengelus pipiku, membelai rambutku yang panjang. Kalau saja kami tahu Tuhan pasti mengambil nyawa ibu, tentu tak perlu ayah meminjam uang pada Sumanto. Aku membatin. Hanya saja, ketentuan Tuhan soal maut seseorang tidak bisa diketahui. Amat rahasia. Maka tiada pilihan bagi ayah, harus meminjam uang pada rentenir itu kendati dibebani bunga yang mencekik. Oh, kenapa harus ada orang seperti Sumanto di desaku ini? Lagi-lagi aku menyesali nasib.

Setelah itu, aku terlelap. Karena lelah memikirkan nasib keluargaku. Kedatangan Wawan malam ini, membuatku terbangun. Ayah mengetuk pintu kamarku dan mengatakan kalau ada tamuku di depan. Sebelum aku menemukan Wawan, aku sudah yakin pastilah dia yang bertamu.

“Maaf kelamaan, memasak air dulu,” kataku sambil meletakkan air ke depan Wawan. Ayah menambahkan, “Minumlah, nak, cuma air saja.”

“Terima kasih, pak. Ini pun sudah lebih dari cukup,” jawab Wawan. Sejenak ia menatapku. Tersenyum. Aku mulai gelisah, karena kudengar suara langkah beberapa orang di luar rumah. Ayah menyambut mereka.

“Sebentar, nak, bapak tinggal sebentar. Ada tamu di luar…” ayah pamit. Wawan mengangguk. Aku kian gelisah. Pastilah suruhan Sumanto lagi.

“Bagaimana pak Warki, tawaran Pak Sumanto sore tadi. Sudah dibicarakan dengan Minah?” aku dengar suara mandor dan sekaligus centeng rumah Sumanto, Kang Pertanda, membuka pembicaraan. Lagi-lagi ayah tak membuka suara. “Pak Warki dengar tidak sih, saya bicara?” centeng itu meninggikan suaranya.

Wawan mulai salah tingkah. Ia pasti mendengar suara bentakan tamu itu pada ayah. Aku menyuruhnya tenang, ketika Wawan hendak berdiri. “Itu rusan ayah, biasa soal hidup di kampung…” kataku menenangkan Wawan, sekaligus menenteramkan diriku.

“Tetapi…” Wawan mau bicara, tapi terhenti karena salah seorang tamu yang lain meninggi suaranya. “Jangan sampai pak Sumanto yang datang menagih sendiri ke sini, bisa berabe. Pak Warki dan Minah bisa diusir dari rumah ini atau membawa Minah, kecuali bapak bisa melunasi utang…”
“Bagaimana, pak Warki?” timpal yang lain. Ya! Ada empat orang, suruhan Sumanto, yang menemui ayah. “Ada tamu Minah, ya? Ingat Pak Warki, sebelum bapak memberi kepastian, Minah jangan menerima tamu lelaki dulu. Kalau pak Sumanto tahu Minah menerima tamu lelaki, bisa terancam keluarga bapak…”

Wawan makin gelisah. Perasaanku mulai tidak enak, orang-orang Sumanto sudah berlebihan: membawa-bawa orang lain yang tak tahu masalah. Wawan hendak pamit pulang, tetapi aku mencegahnya. Ayah berkata kepada orang-orang Sumanto, “Apa yang salah kalau kami menerima tamu? Ajaran agama melarang kita menolak tamu yang berniat baik. Setiap tamu yang berniat silaturahmi, membawa rezeki dan manfaat. Kami tak boleh menolaknya…”

“Jangan menasihati kami, pak. Kami hanya menjalani perintah pak Sumanto. Atau kami….”

Ayah mulai terancam. Salah seorang anak buah Sumanto kulihat mengacungkan tinju. Aku segera memburu keluar, menarik ayah masuk. Tatapanku menghunjam ke mereka. “Pergi dari rumahku! Katakan pada Sumanto, aku siap menjadi istrinya. Besok pagi dia bawa penghulu ke sini, dan nikahi aku. Tetapi ingat, begitu aku jadi istrinya kupecat kalian! Ayo, segera pergi dari sini!” suaraku bergetar. Meninggi. Lalu tak kuasa aku membendung hatiku yang galau dan sedih. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak kusangka Wawan memelukku dan membawaku ke balai-balai, ketika aku tak sadar. Beberapa jenak setelah aku siuman, Wawan permisi pulang.

“Aku mendoakanmu semoga kau bahagia,” bisik Wawan. Entah kenapa aku segera memeluk lelaki yang baru kukenal itu. Ayah hanya memandangi kami. Setelah itu, Wawan tak lagi berkabar. Bahkan ketika aku ke pasar setelah menjadi istri Sumanto, aku tak melihat berniaga. Mungkin ia sudah berkeluarga, mungkin masih melajang. Aku tak mengetahui pasti keberadaannya.


*

AKU meninggalkan ayah dan rumah yang telah membesarkan aku dan sudah menyatukan kami sekeluarga. Kutinggalkan kedua adikku yang masih bersekolah di bangku kelas 2 dan 3 SMP. Kulupakan Sumanto, bandot kampung itu, yang bagaimana pun pernah menjadi suamiku.

Sebagaimana janji temanku semasa remaja, maka aku diajak bekerja di Pulau Jawa. Tepatnya di Tangerang. Di kota inilah aku memulai hidup. Di kota ini pula kuawali lembaran baru. Betapa pun lembaran yang kumaksud itu tidak lagi berwarna putih. Kususun kalimat-kalimat, yang sederhana sekali pun, dalam lembaran hidup baruku. Tentu saja tanpa pendamping. Tentu saja sebagai janda.
Aku bekerja di sebuah pabrik sepatu. Masuk pagi dan pulang ketika matahari sudah tiada di ufuk Barat. Tetapi, penghidupan baru yang kuharapkan itu belum juga kurasakan. Aku mulai tidak kerasan di perantauan. Selalu terkenang pada ayah, pada kedua adikku, pada gubukku, pada kampung kelahiranku. Juga bandot kampung yang meski telah tua namun tetap seperti singa. Ganas. Suka mencakar.

“Oh, sedang apa dia kini? Jangan-jangan sudah mendapat istri baru lagi?” aku membatin. Sumanto selalu merasa kurang, meski sudah memiliki istri dua. Bahkan setelah aku dinikahinya sebagai istri ketiga, ia masih melirik perempuan bau kencur tetangga sebelah. Aku menolak keras. Kalau tidak pasti ia sudah menikahi perempuan itu. Aku tak cemburu, tapi aku mencegah kerakusan Sumanto pada perempuan. Ia tak sepenuhnya mencintai perempuan yang dia nikahi, kecuali hanya memenuhi nafsu serakah. Itulah yang tidak kusuka. Itu pula yang kutolak. Karena sikapku yang keras menolak itu, tubuhku menjadi sasaran pukulan. Sumanto menjadi amat membenciku. Namun pada sisi lain karena aku paling cantik dan muda di antara istri-istrinya yang lain, ia kerap membawaku menghadiri pesta dan pertemuan di berbagai tempat.

Ah, mengapa pula aku mengingat bandot kampung itu? Ia sudah jadi masa lalu, suatu kenangan yang tak begitu penting untuk diingat. Karena setiap kali mengingatnya, setiap kali itu pula terasa pahit. Pedih. Aku jadi menyesal mengapa aku mau dinikahinya? Kenapa aku kalah di hadapan bandot kampung itu? Setiap muncul pertanyaan-pertanyaan ini, aku lalu memrotes Tuhan. Kenapa aku dilahirkan dari keluarga miskin? Kenapa kemiskinan membuat setumpuk utang dalam keluargaku? Kenapa Sumanto yang seolah menjadi dewa bagi keluargaku, kemudian berubah jadi singa dan menerkam masa depanku?

Sampai di sini, terkadang aku ingin membunuh Sumanto. Memasukkan potongan tubuhnya ke dalam satu karung, lalu menghanyutkannya di sungai. Biarlah tubuhnya membusuk tersangkut batu atau tiang jembatan. Lalu koran-koran daerah memberitakan penemuan potongan tubuh Sumanto. Pihak kepolisian kemudian menyidik. Menanyai semua saksi, para tukang pukulnya, dan istri-istri Sumanto. Pada gilirannya aku dijadikan saksi, setelah itu diseret sebagai tersangka. Aku diancam hukuman penjara seumur hidup! Membayangkan hidup di penjara selama hidup, hatiku menjadi ciut. Aku tak sanggup hidup selama itu di dalam kurungan. Belum lagi menghadapi para wartawan. Cemoohan para tetangga karena tiba-tiba aku diketahu sebagai pembunuh. Suatu kejahatan yang tak terampunkan di mata masyarakat. Keluargaku akan shock mengetahui aku jadi pembunuh. Ayahku pasti lebih dulu stres dan sakit, dan bukan tidak mungkin akan mati lebih dulu sebelum aku keluar penjara. Kedua adikku akan gagal melanjutkan sekolahnya. Karena harapan biaya satu-satunya dariku sudah terputus. Bukan tak mungkin Santi akan mundur duluan dari bangku sekolah, lalu mencari kerja ke kota atau bekerja di luar negeri. Ah, aku tak yakin Santi bakal bekerja seperti itu. Ia pemalas dan pesolek. Ia akan mencari pekerjaan yang mudah dengan penghasilan yang besar. Ia akan memilih menjadi pelacur!

Tidak. Aku tak ingin melakukan itu. Kulucuti seluruh dendam dalam diriku pada Sumanto. Biar dia hidup dengan caranya. Dengan begitu keluargaku akan hidup damai. Aku menyayangi keluarga lebih dari segalanya. Aku mencintai ayah. Aku menyayangi Santi dan Dedi. Aku yang harus bekerja keras untuk mereka. Karena itu pula, pembaca, aku rela menjadi istri simpanan kepala gudang tempatku bekerja. Dari kucuran dana darinya dan gajiku yang tak pernah terpotong, aku sering mengirim uang ke kampung. Seperti malam ini, di kamar kosku, aku ditemani kepala gudang itu. Kami menikah di bawah tangan, sepekan lalu. Jika memungkinkan suatu ketika, akan kuperkenalkan suamiku pada keluargaku, pada teman-temanku di kampung dan di perantauan ini. Sekarang belum saatnya. Mas Ramono, suamiku, mengaku perkawinannya denganku belum berani diketahui banyak orang. Terutama sekali istrinya. Tetapi, ia berjanji tak mau main kucing-kucingan.

“Mas akan memperkenalkanmu dengan mbakyu,” kata Mas Ramono pada malam pertama kami menikah. Ia juga menjelaskan kalau dengan istri pertamanya belum memeroleh anak. Padahal sudah 12 tahun mereka menikah. Aku hanya tersenyum. Bagiku tak begitu penting, apakah aku akan dikenalkan pada istri pertamanya ataukah tetap seperti ini. Yang ada di hatiku sekarang, aku sungguh-sungguh bahagia. Aku kini sedang menikmatinya. Menitinya…


lampung, mei—juni 2004




5
Tuhan Mengambil Anakku


AKU masih menyesali kematian anakku. Aku kecewa pada petugas medis yang tak sanggup mencegah penyakit yang telah merenggut nyawanya. Ya, sampai kini aku masih mengutuk dokter yang kunilai sangat lamban, dan cepat sekali memvonis bahwa anakku tak bisa bertahan lama.

Belum genap dua tahun kasih-sayang kutumpahkan untuknya. Aku belum merasakan anakku dengan sempurna memanggil kami “Papa” atau “Mama”. Karena itu, aku sempat merutuki Tuhan yang terlalu pagi mengambilnya. Kenapa anakku yang diambil cepat, kenapa tidak yang lain saja?

Boby lahir setelah sembilan tahun aku dan Desy merindukan seorang anak. Bayangkan, setelah bertaun-tahun aku ingin punya anak dari rahim istriku (memang mulanya aku tak mempersoalkan apakah kami dikaruniai anak lelaki atau perempuan, dan aku sungguh bahagia ketika kutahu istriku hampil pada tahun ke delapan perkawinan kami), dan ternyata hidupnya sebentar sekali. Belum seluas pipi aku menciumnya, Boby sudah tiada.

Kukira sudah cukup sabar menanti istriku hamil dan melahirkan anak dari benihku. Dan, dalam penantian panjang itu, tak pernah aku bermimpi (apalagi berniat) untuk menikah lagi, meski Desy pernah menawari. Tidak terbersit sedikitpun. Aku sangat mencintainya sampai kapan pun, kendati rahimnya tak bisa membuahkan benihku. Pengorbanan Desy untukku begitu besar, sulit kusetarakan dengan nilai apa pun di dunia ini. Ia berani memberontak pada kedua orang tuanya, bahkan diusir hanya untuk menjadi istriku. Ia rela dicoret dari hak waris orang tuanya yang memang kaya, lalu hidup bersamaku di rumah sewaan berukuran kecil.

Aku ingat ketika ia keluar dari rumah besar milik orang tuanya, hanya dengan pakaian di badan. Desy lalu menggandeng tanganku meninggalkan rumahnya, setelah lamaranku meminangnya ditolak oleh kedua orang tuanya. Tidak kulihat sedikitpun ia mengeluarkan airmata—bahkan memberiku senyuman—menyeret kedua kakinya menuruni anak tangga di rumahnya. Setelah itu mengangguk, menunduk seperti tak hendak menatap kedua orang tuanya, dan membawaku keluar.

“Ke mana kita?” bisikku setelah berlalu dari gerbang rumahnya. Aku masih berani memandang kedua orang tuanya yang terpaku di ruang tamu, berharap mereka memanggil kami. Lalu menerima kehadiranku untuk selanjutnya menikahkan kami. Ternyata tidak, mereka diam. Kulihat dari wajahnya, membiarkan kami pergi.

“Ke penghulu. Kita minta dinikahkan!” jawab Desy tegas.

“Kau tak membawa surat persetujuan dari ayah?”

“Akan kukatakan kalau aku tak disetujui orang tua, dan penghulu harus segera menikahkan kita. Daripada…”

Aku tak menyahut. Kami segera menemui paman Desy, dan meminta bantuannya sebagai wali dan saksi. Akhirnya kami menikah, berumah tangga, dan menanti bertahun-tahun lahirnya seorang anak. Betapa besar pengorbanannya, sampai ia menolak Daniel Latulangie—anak pengusaha teman ayahnya—yang dijodohkan oleh orang tuanya. Itulah yang menyebabkan ia mendesakku agar segera melamarnya.

Kalau kini aku kecewa karena kematian anakku, kukira wajar. Aku amat mencintai Desy, aku menyayanginya karena begitu besar pengorbanannya untukku. Ia siap diusir bahkan dibuang dari keluarganya, asalkan tetap menjadi istriku. Dan, kutahu saat melahirkan ia siap mati asalkan Boby selamat. Waktu itu, menurut dokter, Desy harus dioperasi jika ingin menyelamatkan janin di dalam rahimnya. Mendengar itu, sungguh aku yang sangat khawatir pada keselamatan istri dan calon anakku. Akhirnya, keduanya selamat meski Desy kemudian harus menjalani opname sepekan.

Tetapi, kedua orang tua Desy (masih layakkah kusebut mertua?) tak juga membezuk anaknya yang sedang diopname. Mereka juga tak melihat (apalagi menggendong dan mengadzani) cucunya yang baru lahir. Padahal, aku yakin mereka tahu kalau Desy melahirkan dan sedang diopname. Sampai berusia setahun lebih mereka tak juga menengok anak dan cucunya. Habis sudah harapanku bahwa kami akan diterima kembali sebagai bagian dari keluarga Radin Ismail Djajanegara Gelar Raja Negara, setelah kami dikarunia anak! Kami makin terasa dibuang. Dianggap telah mati.

Ah, hidup tak selamanya indah. Tak selamanya orang tua atau keluarga bisa abadi. Sebaliknya, orang lain atau tetangga justru bisa lebih menjadi keluarga, tinimbang keluarga sendiri. Kami menyadari itu, merasakan hal seperti itu. Teman-temanku juga teman-teman Desy di kantor tak henti datang. Kehadiran mereka sangat menghibur kami. Begitu pula tetangga kami di kompleks perumahan ini, setiap jam bezuk berkunjung ke rumah sakit. Ketika Desy diopname, Boby diurus oleh ibuku dan sesekali ibu-ibu di kompleks. Aku bersyukur. Meski aku sangat mengharapkan kedatangan mertuaku: orang tua Desy.

Jika aku sangat mengharap, Desy justru sebaliknya. “Sudahlah mas, jangan terlalu berharap kedatangan papa dan mama. Toh, tanpa dia kita bisa selesaikan masalah yang kita hadapi…”

“Tapi, Des, mereka tetap orang tua kita. Karena itu, kita masih tetap berharap kedatangannya pada saat seperti ini. Meski, mungkin, mereka sudah menganggap kita tak ada lagi. Tetapi, kita tak bisa menganggap mereka bukan orang tua kita. Tanpa mereka, tak mungkin kita ada di dunia ini. Itu sebabnya, aku selalu berdoa agar Tuhan membuka hati mereka…” kataku dengan perasaan sedih. Aku benar-benar kesepian tanpa kehadiran orang tua di saat kami membutuhkan sekali.

Doaku tak terkabul. Harapanku sia-sia. Tidak itu saja. Mertuaku tak juga membezuk. Bahkan hingga setahun usia Boby dan sampai harus meninggalkan kami tanpa pernah melihat wajah opa dan omanya. Amat menyakitkan. Aku merutuk kenapa Tuhan menciptakan jenjang sosial yang begitu besar. Kenapa di zaman yang telah maju seperti ini, masih ada orang tua yang berpikiran picik. Memaksakan kehendak kepada anaknya, bahkan untuk perjodohan. Seperti kisah Siti Nurbaya. Padahal, mereka tahu, bahwa jodoh, rezeki, dan kematian adalah takdir Tuhan.

“Sudahlah, mas, lupakan saja mama dan papa. Untuk apa kita berharap kalau mereka justru telah melupakan kita. Yang terpenting kita jangan ikut berbuat dosa dengan mengutuki mereka. Tak ada kata bekas anak untuk orang tua, dan sebaliknya.”

“Ya, aku mengerti, Des,” kataku. “Hanya aku kecewa kenapa kebencian dibiarkan berlaru-larut. Kenapa orang tua justru mengajarkan ketidakbaikan?”

“Tak ada manusia bersih dari kekhilafan. Begitu juga orang tua,” ucap Desy tenang. Ia tampak lebih tenang menghadapi berbagai cobaan. Berbeda sekali denganku. Itulah yang membuatku bertambah-tambah kagum kepadanya.

Kupeluk tubuhnya. Kuciumi kening, pipi, dan bibirnya. Ia tersenyum. Agak meringis karena menahan perih jarum infus yang tertekan oleh tanganku. Segera kuangkat tanganku. Aku pun tersenyum.

“Sakit, sayang…?”

Ia mengangguk. Kemudian tersenyum lagi. Ia balas menciumku.

“Mas sayang padaku? Mas masih mencintaiku?”

Aku tertawa. Terbahak. Lucu, pikirku. Segera jariku mencubit hidungnya yang mancung. “Pertanyaanmu ada-ada saja. Tentu aku sayang padamu, jelas aku amat mencintaimu.”

“Akan terus mencintaiku? Menyayangiku?”

Aku mengangguk. “Tak ada alasan untuk mencabut cintaku padamu, sayang…” Dan, kami pun kembali berpelukan. Mesra. Sampai suster yang bertugas pagi hari, menyadarkan kami.

Tetapi, mama dan papa tak juga datang. Sampai Desy meninggalkan rumah sakit. Sampai Boby meninggal dunia karena penyakit. Boby dimakamkan tanpa dilihat opa dan omanya. Aku tak yakin kalau kedua orang tua Desy tidak mengetahui, soalnya begitu Boby meninggal segera Desy menelepon papa dan mamanya. Dan, sampai tiga malam takziah tak kulihat mereka datang. Kandas sudah harapanku. Karena itu, wajar kalau aku makin membenci orang tua Desy: notabene mertuaku!

Ya! Dalam hatiku tumbuh kebencian pada mereka. Dulu menolak lamaranku, tak merestui pernikahanku, membuang anaknya, dan kini mereka tak datang ketika cucunya meninggal. Padahal, seperti kata para ustadz, diwajibkan kita melayat dan bertakziah bagi orang yang terkena musibah kematian. Apalagi terhadap keluarga sendiri.

“Papa keterlaluan, Des! Keterlaluan! Mestinya mereka datang pada saat anaknya tertimpa musibah seperti ini. Aku malu pada keluargaku, pada teman-teman, dan tetangga,” kataku merutuk.

“Sudahlah, mas, jangan ditambah lagi kesedihanku. Lagi pula, tak ada gunanya kita berharap, kalau yang diharap tak mungkin mengerti perasaan kita,” istriku memohon. Memelas.

Aku diam. Memandang wajahnya dalam. Ada duka bersemayam dalam mukanya yang bening. Aku ingin memasuki kolam terbentang di sekujur wajahnya itu. Ingin berenang di sana. Meraup ketabahan yang tidak pernah kumiliki selama hidupku. Ya. Ya. Seperti aku harus banyak belajar dari kolam yang seakan membentang di tubuh istriku.

*
AKU menyesali kematian anakku, Boby. Baru dua tahun aku merasakan kehangatan menimang anak. Setelah sembilan tahun aku berharap dan merindukan seorang anak dari rahim istriku. Tetapi, Tuhan terlalu cepat mengambilnya kembali. Aku merutuk takdir, menuding Tuhan tidak adil.

Apalagi, setelah Boby tiada, kehidupan rumah tanggaku didera cobaan. Datang seperti tiada jemu. Istriku keluar masuk rumah sakit. Mertuaku berkali-kali menerorku agar aku mengembalikan anaknya. Alasannya, Desy menderita karena diriku.

“Kalau dulu Anda tidak membawa lari Desy, tidak seperti begini nasibnya…” kata papa.

Aku tak menjawab. Tak berani aku membantahnya, meski aku menolak pernyataannya bahwa akulah biang penderitaan Desy. Apa mereka bisa menjamin Desy akan bahagia jika ia kawin dengan lelaki pilihannya?

Dan, Desy selalu menasihatiku agar tidak terpancing setiap orang tuanya meneror kami. Ia selalu katakan, diam bukan berarti menerima kesalahan dan kekalahan. “Untuk apa kita tanggapi, kalau malah memperburuk hubungan kekeluargaan?” kata Desy kemudian.

Lalu, aku diam seribu bahasa. Bahkan, kepada pembantuku selalu kutitip pesan, jika mertuaku menelepon dan mencariku katakan aku tak ada di rumah. Hal yang sama dilakukan Desy. Dengan begitu, kuiharap mertuaku akan mendatangi kami. Mengobrol, atau kalau mungkin berdebat dan memarahi kami. Harapnya, pada akhirnya, akan menerima kami menjadi bagian keluarganya.

Kini kehidupan kami terasa sepi. Tiada lagi suara anak yang mengusik saat kami terlelap atau kelelahan. Tak ada senyum bocah yang meruap di rumah kami. Dan, sampai tahun keempat ini, tak ada tanda-tanda Desy hamil kembali. Aku mulai gelisah. Aku juga mulai terusik pada ucapan banyak orang bahwa kasus yang dialami Desy akan sulit hamil lagi. Apakah Desy bakal tak hamil lagi? Apakah aku tak punya anak selamanya? Benarkah ucapan mereka? Sementara itu, dokter selalu mengatakan tak ada masalah bagi rahim Desy. Juga spermaku masih memungkinkan membuahkan janin. Masalahnya sampai kapan?

Banyak pengalaman yang kudapat dari para ibu rumah tangga. Begitu hamil pertama dan gagal, maka bertahun-tahun lagi harus menunggu kehamilan berikutnya. Bahkan, seperti pamanku yang sampai mati tak lagi punya anak, sejak istrinya gagal melahirkan anak pertamanya.

Temanku di kantor juga sampai tahun keduabelas perkwinannya masih menunggu istrinya hamil. Kasusnya sama denganku. Anak pertamanya—setelah empat tahun usia perkawinannya baru istrinya hamil—meninggal dunia pada usia setahun. Kini ia beristri lagi. Mendapat dua anak dari istri keduanya.

Lalu, apakah aku juga mesti mengikuti jejak temanku seperti yang selalau dia sarankan, setiap aku mengajaknya berdiskusi? “Belum dikatakan sempurna kelelakian kita sebelum punya anak,” katanya suatu kesempatan. Kurasakan temanku itu sangat bangga mengucapakkan itu. Karena itu pula, tanpa sepengahuan istrinya dia menikah. Dan, mendapatkan anak. Cuma istri pertamanya menggugat cerai. “Ya, kukabulkan. Gampang saja, kok!”

Gila! Enak saja ia menggampangkan persoalan. Mudah sekali ia jalani rumah tangganya. Kupikir ia tak adil. Ia sudah melecehkan perempuan. Aku serta-merta memrotesnya saat itu. Kukatakan padanya, apakah anak adalah satu-satunya garansi dalam sebuah perkawinan? Apakah rumah tangga harus ditandai dengan suara anak-anak? Bagaimana kalau Tuhan mentakdirkan tanpa anak bagi sebuah rumah tangga? Apakah kemudian ia harus kawin cerai? Sampai kapan?

“Tanpa pernah kita ingin kawin, bagaimana tahu sperma kita baik?” ujarnya lagi. Kali ini pertemuan kami yang keempat. Ia tak bosan menyarankan aku agar menikah lagi. Ia bahkan menawari perempuan, adik dari temannya. Dia meyakinkan kalau aku tak bakal kecewa. “Dia cantik, masih muda. Usianya tujuh tahun di bawah Desy,” ia menambahkan. Menggodaku. Aku tetap bergeming.

Ketika ia mengajakku menemui perempuan itu suatu malam, aku tak bisa berkelit. Dengan mobil merek Torano-nya, kami membelah malam kota TJ. Ini kali pertama aku berdusta pada Desy. Sore tadi, sebelum tutup kantor, kukatakan padanya aku ingin melihat pameran lukisan bersama Kurnia. Desy memaklumi, karena ia tahu aku memang menyukai karya-karya lukisan.

“Kenapa kau diam, In?” tanya Kurnia yang menyetir mobilnya di sebelah kananku.

“Aku baru saja berbuat dosa. Aku membohongi Desy. Kukatakan kalau aku ingin melihat pameran lukisan…” jawabku lirih.

“Ah, soal itu saja kaupikirkan. Lupakanlah itu, kalau kau menginginkan kesehatan,” Kurnia menasihatiku—ah, tepatnya—meracuniku dalam hal berselingkuh! “Kau tahu berbohong demi kebaikan, hukumnya dibolehkan…”

“Tak ada kebohongan yang baik, Kur! Macam-macam saja kau ini!” potongku dengan suara keras. Menggerutu.

“Ada,” katanya. “Misalnya, kalau kau jujur di hadapan istri tapi karena itu kalian bertengkar, kan lebih baik berdusta?”

Aku diam. Kurnia memacu kendaraannya lebih cepat. Ia bercerita, dulu juga ketika ia hendak mengambil perempuan lain untuk menjadi istrinya, ia banyak melakukan pembohongan. Bahkan sampai istrinya mulai mengendus permainannya di luar rumah, ia tetap bersikeras membantah. Katanya, banyak alasan yang bisa kita rangkai. Lalu ia tertawa. Sementara hatiku tertekan. Desy selalu membayang di benakku. Itulah yang memberanikan aku untuk membelokkan setir Kurnia: menyuruhnya pulang.

“Aku tahu kau sudah tak sabar ingin menggendong anak lagi. Aku merasakan apa yang ada dalam hatimu. Tapi, aku juga ragu apakah aku bisa hamil lagi?” ujar Desy menguapkan lamunanku, suatu malam, sebelum kami bercinta. “Kalau kau ingin juga punya anak, aku rela…”

“Ssstt!” aku mengunci bibirnya. “Jangan kau teruskan ucapanmu, Desy.”

Aku tak ingin melukai hatinya. Meskipun aku tak mungkin membohongi perasaanku: aku merindukan anak. Aku ingin kau melahirkan anak dari benihku. Aku membatin.


Lampung, Juni--Juli 2004





6
Aku Ingin Segera Mati, Sayang


…matilah segala yang harus mati, sebelum mati
sesudah mati. para pembantai, algojo,
penjagal… harus mati!

(1)
BEBERAPA hari terakhir ini, aku punya keinginan yang dianggap aneh. Setiap ada kesempatan mengobrol dengan keluarga dan punya sela, selalu kulontarkan keinginan itu: “Akhir-akhir ini aku rindu akan kematian. Ya. Aku ingin segera mati, sayang.” Istriku tak menggeleng tidak pula mengangguk. Menatapku dalam. Namun aku bisa menembus ke dalam wajahnya. Di situ jelas sekali menampakkan keriangan. Semacam kematian yang dinanti olehnya. Benarkah itu?

Keinginan segera mati itu melebihi semangatku untuk hidup. Aku tak penrah berharap dapat hidup seribu tahun lagi.* Untuk menggenapkan usia sampai 80 tahun pun, tak terbersit dalam keinginanku. Aku bisa bayangkan pada usia seperti itu bukan kenikmatan yang kuperoleh, malah akan menyusahkan diriku dan juga keluargaku. Aku menjadi manusia jompo atau manula—manusia usia lanjut usia—yang selalu dibenci setiap orang: diasuh di panti-panti jompo atau sebagai kanak-kanak lagi yang segala sesuatu dilayan oleh keluarga. Setiap hari kerjanya hanya tidur atau duduk di kursi roda, didorong mengitari dari ruang ke ruang atau menyusuri halaman rumah. Ah, seorang manusia yang tiada guna lagi, membebani, dan memalukan! Karena itu, setiap detik aku selalu merindukan malaikat Izrail menjemputku, namun yang sangat kuinginkan pada malam hari saat aku tidur. Aku berharap—mungkin tepatnya berdoa?—sesegera mungkin mati.

Keluargaku sudah mengetahui keinginanku ini. Kecuali Rani--anak bungsuku, yang lain memaklumi. Istriku dan ke lima anakku yang lain—termasuk bedinde—seperti sudah menyiapkan kepergianku untuk selamanya. Kata istriku yang setiap malam memergokiku mengigau, tampak sekali aku sudah siap menerima kematian. Wajahku kelihatan ceria, bibirku tersungging senyum selalu, rambutku tersisir rapi, kulitku yang memang putih senantiasa memancarkan kebeningan. Mendengar cerita itu, sungguh aku makin bahagia. Hatiku berbunga-bunga. Aku meyakini bahwa maut segera memanggilku.

“Aku ingin segera mati, sayang,” ujar istriku menirukan ucapanku saat mengigau. “Apa sungguh-sungguh bapak mau mati segera? Bagaimana kami semua?” dia bertanya.

Aku tak menjawab. Kupikir ia bisa menjalani roda rumah tangga ini. Ia bisa menghidupi anak-anak kami dari pensiunanku. Atau istriku bisa menikah lagi, cari suami yang lebih baik dan kalau mungkin banyak uang.

Lalu, istriku mengulang lagi, aku begitu riang saat menanti kematianku. Wajahku berseri saat mengharap maut datang dan menggandeng ruhku. Seperti tak ada penyesalan, kata istriku lagi, aku begitu pasrah menyambut kematian. Bagai lelaki yang tak alang kasmaran kepada kekasihnya.

Tetapi, Rani terus protes. Ia menganggap keinginanku untuk segera mati, karena aku gagal menjadi bapak. Aku dinilainya tak lagi mampu mendampingi ibu, gagal sebagai suami. Rani malah menuduhku tak bertanggung jawab. “Pengecut. Bapak egois!” Ia menudingku. “Ketika banyak orang ingin hidup lebih lama, bapak malah minta cepat mati. Apa bapak tidak iri kepada para penguasa yang setiap waktu berdoa minta dipanjangkan usia biar makin banyak kesempatan korupsi?”

Aku tak mengiyakan dan juga tak membantah tudingan Rani. Aku hanya tersenyum. Kunikmati tudingan, tuduhan, dan cacian anak bungsuku yang sangat kusayangi itu. Rani kemudian menganggapku sudah gila. Betapa tidak, katanya. Ketika banyak orang mengharapkan dipanjangkan umur oleh Tuhan—bahkan kalau mungkin mengecap hidup di dunia selama seribu tahun—justru aku hendak mengakhiri hidup. Tepatnya, aku ingin Tuhan segera memerintahkan malaikat pencabut nyawa mendatangiku. Apa lagi kalau bukan pikiran gila? Rani pernah menyatakan itu di hadapanku, ibu, dan kakak-kakaknya. Sementara aku selalu tersenyum mendengarnya. Kuraih anakku yang mulai memasuki remaja itu sampai merapat ke tubuhku. Kuciumi kedua pipinya, keningnya, rambutnya.

“Kamu tak akan pernah tahu apa yang ada di dalam hati bapak. Tak akan pernah memahami. Sebagaimana kematian atau kehidupan, apa yang bapak inginkan ini adalah rahasia juga. Tidak setiap orang bisa menafsir kerahasiaan itu. Kecuali mereka yang memiliki kesamaan berpikir dan perasaan,” kataku suatu sore sambil tetap memeluk tubuh Rani. Sepertinya aku tak hendak berpisah darinya. Sekali lagi, berkali-kali lagi, kuciumi pipi dan kening Rani. Kubelai rambutnya. Kuelus dagunya yang runcing. “Bapak seperti yakin dengan mati segera maka semakin kecil dosa-dosa bapak, semakin ringan beban tanggung jawab bapak. Selain itu, kalian semakin tak banyak kehilangan kekaguman pada bapak.”

Tak kusangka Rani malah menangis. Tangis yang keluar dari emosi yang lama dipendam. Menangislah, sayang. Muntahkan terus airmatamu, sebab jika kaupendam akan membahayakan dirimu. Aku berbisik. Tak ada yang bisa melarang ataupun mencegah seseorang supaya tidak menangis. Bapak akan mencurigaimu kalau pada saat seperti ini, tak setetes pun airmata keluar dari bolamatamu. Bapak malah curiga kalau kau tak bersedih mendengar bapak hendak mati. Orang yang tak lagi punya rasa sedih sangat membahayakan. Ia bisa menjadi tiba-tiba beringas: amuk. “Karena itu, bapak menganggap kau menangis adalah benar. Bukan cengeng, sentimentil. Tetapi, bapak juga tak lantas menyalahkan ibumu dan kakak-kakakmu yang tidak menangis untuk keinginan bapak ini, karena mereka sudah kehilangan rasa sedih. Tidak. Bukan itu maksud bapak. Mungkin ibumu, kakak-kakakmu, di hatinya lebih menangis…”

Setelah itu, Rani mendesakku untuk menjelaskan mengapa aku tiba-tiba ingin segera mati. Padahal usiaku sekarang baru berjalan beberapa hari menuju 49 tahun. Mengapa? Suara Rani dikeraskan. Aku tak menjelaskan secara telanjang. Aku berikan analogi. Bahwa jika suatu pohon sudah tak lagi menyumbangkan kesuburan bagi tanah dimana ia di tanam, tak lagi memberi musim dengan buah-buah yang matang, daunnya selalu rontok sehingga mengotori lingkungan. Maka untuk apa lagi dibiarkan hidup. Pohon tersebut sudah tak lagi berguna, karena itu mesti dilenyapkan.

Analogi yang kuberikan itu kian keras ditentang Rani. Tidak logis menganalogikan manusia dengan pohon, meski sama-sama sebagai ciptaan Tuhan. Kemudian ia tambahkan, manusia lebih mulia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya. Karenanya manusia ditunjuk Tuhan sebagai pengelola di bumi ini. Tidak kepada yang lain: binatang, tumbuh-tumbuhan, laut, gunung, ataupun bintang. “Jadi Rani menentang pikiran bapak yang menyamakan manusia dengan pohon. Jelas sekali berbeda dan juga manfaatnya!” ia tetap terisak ketika mengucapkan itu.

Aku tak mau berbantahan dengan Rani. Ia terus menentang keinginanku yang mau mati segera. Meski begitu, aku tidak lantas membiarkan pikiran-pikirannya yang kuanggap sudah melampaui usianya. Misalnya, ia akan mengutuk Tuhan jika harapanku direstui. Ia menganggap Tuhan bisa diperintah olehku. Berarti itu bukan Tuhan, karena itu tidak seharusnya disembah. Ia sangat percaya pada ajaran yang kami tanamkan padanya sejak kecil, bahwa Tuhan akan selalu mengabulkan keinginan-keinginan yang baik seseorang. Kita baru punya niat baik saja, Tuhan akan segera mencatatnya sebagai amal kebaikan. Kalau niat kita buruk, Tuhan akan mencatat setelah kita benar-benar melakukannya.

Aku katakan pada Rani, ini bukan persoalan niat baik dan buruk. Hanya berharap agar Tuhan segera menurunkan kematian padaku. Kukatakan juga ini hanya penyimpangan pemikiran. Ketika banyak orang menghendaki panjang umur dan memeroleh kemurahan rezeki, aku ingin dipendekkan usia dan ditutup segala pintu rezeki. Bukankah ini semacam ujud dari rasa terima kasihku pada Tuhan? Aku bersyukur diberikan waktu selama 48 tahun untuk bernapas dan mengecap segala rezeki-Nya, beristri, memiliki anak-anak, dianugerahi cinta pada keluarga dan sesama. Mendapat kemuliaan bisa tinggal di rumah yang tidak buruk seperti ini.

“Setelah semuanya kuperoleh, apa lagi yang kuminta dari Tuhan? Bapak tak ingin seperti orang kebanyakan itu, para pemimpin bangsa ataupun para anggota dewan berdoa suaya tidak cepat mati, agar makin menumpuk harta dengan cara korupsi. Bapak tak mau hidup hanya untuk menumpuk-numpuk dosa, penipu rakyat, dan sebagainya.”

“Bapak belum banyak beramal!” Rani menandaskan. “Bapak tak harus seperti mereka? Para pemimpin itu, anggota dewan yang rengsek itu. Para pencuri harta negara dan rakyat itu. Para penzina itu. Para penipu itu. Tak harus begitu, bapak. Tetapi, dengan mengharap diberi umur panjang, justru bapak bisa benyak melakukan amal saleh.” Ia kemudian mengungkit betapa banyaknya aku melakukan kesalahan kepada istri, anak-anak, dan sesama. Terutama sekali pada ibu, ucapnya lirih. Sehingga ibu menderita selama bersamaku. Dosa itu belum bisa terbayar, lalu buat apa berkeingian segera mati. “Urungkan niat bapak. Aku mohon cabut keinginan aneh macam itu!”

Diam. Aku biarkan obsesi-obsesi Rani yang menentangku. Aku mengatupkan mata pelan-pelan. Istriku barusan menggantikan sarung bantal dan sprei setelah cairan wewangian ditaburkan di atasnya. Semerbak aromanya terasa dekat di hidungku. Membuatku cepat melupakan kehidupan ini. Melupakan Rani yang sesungguhnya belum beranjak dari sisi ranjangku. Istriku duduk di dekat kepalaku. Dokter baru saja menyuntikkan obat penenang.

Aku turun dari ranjang. Berjalan dengan langkah pelan. Memasuki ruang yang menurutku asing. Aku belum pernah meliwati jalan ini, sayang. Aku berbisik pada istriku dan Rani. Tak kutahu di mana aku berada. Gedung-gedung yang menjulang angkasa seperti tak pernah kutemui sebelumnya. Nama-nama jalan, sungai di pinggirnya, gang-gang memasuki pemukiman, serbaasing. Cuma rumah ayah yang masih kuingat. Sebuah bangunan sederhana, dinding yang masih tampak batubatanya, kuyakini adalah rumah ayahku. Rumahku semasa aku kecil sampai aku beristri. Lihatlah pohon jambu dan pohon kapuk di sebelah kiri dan kanan halaman rumah, masih seperti kutinggalkan dulu. Lalu, di mana ayah? Ke mana ibu? Aku ingin disambut mereka, seperti ketika ayah ibuku menyambutku setiap pulang sekolah. Tersenyum di depan pintu. Kemudian ayah mengajakku ke bawah pohon jambu, mengambil sebiji jambu untukku. Atau memburu kupu-kupu yang hinggap di pucuk kembang. Setelah tertangkap, ayah mengambil plastik putih dan measukkan kupu-kupu itu di dalamnya. Aku senang memainkan kupu-kupu yang sayapnya penuh warna itu.

“Bapak bermimpi lagi. Sejak tadi tak ada nenek dan kakek membezuk. Kan…” Rani menjelaskan, setelah kubuka mata dan menanyakan apakah ayah dan ibu datang membezuk. Rani menggeleng-geleng. “Sebaiknya bapak jangan berpikir macam-macam. Makanya buang jauh-jauh pikiran mau mati!” Rani tampak sangat kesal dengan tingkahku yang dinilainya tak masuk akal.

Sebenarnya aku ingin menjelaskan bahwa aku benar-benar melihat kedua orang tuaku, kakek-nenek Rani. Namun aku menghindar berbantah dengan anakku sendiri. Ya. Aku yakin betul tadi tidak bermimpi. Aku bertemu dan disambut kedua orang tuaku di depan rumah. Ayah dan ibu mengajakku ke rumah barunya yang indah, asri, tenang. Meski kurasakan rumah itu tidaklah begitu besar, bahkan kalau boleh kukatakan terlalu kecil untuk ukuran rumah orang-orang kota.

Teman-temanku juga datang. Aku menyalami Anwar, Agus, Yeti, Daman, Ayu, Daniel, Iful, Murdoko, dan banyak lagi. Mereka, sahabat-sahabatku yang baik, mengelu-elukan kedatanganku selayaknya menyambut sahabat yang bertahun-tahun lamanya merantau. Kami melepas rindu masing-masing. Mereka mengajakku jalan-jalan ke berbagai kota: Pekanbaru, Medan, Banjarmasin, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Palembang, Jambi, Surabaya, Bali, Bengkulu, Madura, Ambon, Aceh, Batam, Tanjungpinang, Solo, Bengkalis, dan Pangkalpinang. Kota-kota yang dulu, semasa muda, pernah kusinggahi. Kota-kota yang telah menancapkan kenangan yang tak dapat kuhapus. Apakah itu kenangan manis ataukah kenangan yang penuh kepahitan.

Ah, ya! Kota-kota yang juga membuatku harus lama tidak bertegur sapa dengan istriku. Kota-kota yang mengingatkan aku pada pertikaian antarwarga yang tak habis-habis. Itu sebabnya, aku selalu menyebut untuk beberapa kota yang pernah kusinggahi, sebagai Kota Bangkai. Karena sebutan itulah, istriku berang. Ia tidak setuju istilah bangkai diterakan pada kota. Kata istriku, bangkai sangat tepat untuk menyebut orang-orang busuk, mereka yang senang sekali memakan daging mentah atauu barang yang bukan miliknya.

Kukatakan padanya, tapi kota-kota yang kusebut sebagai Kota Bangkai karena orang-orang saling membunuh seperti sudah disahkan. Setiap hari dan setiap malam di sembarang tempat kita menemukan manusia yang sudah menjadi bangkai. Siapa yang terkapar dan siapa yang menghabisi, tak satu pun warga mengetahui. Sipil dan Militer sama saja. Sama-sama tak punya hati. Selayaknya binatang di belantara, saling membantai. Entah untuk tujuan apa. Meski telah kujelaskan panjang-lebar, istriku tetap protes. “Pokoknya aku tak setuju kau menyebutnya Kota Bangkai,” ia menentang. “Apa kau sudah biasa memakan daging mentah, di berbagai kota yang kausinggahi?”

Aku tak terima tuduhan itu. Meja yang ada di depanku kugebrak. Piring-piring kosong dan mangkok berisi lauk, kubanting ke lantai. Suara “praangg” pun terdengar riuh di ruang makan di rumahku. Anak-anakku segera datang melihat apa yang telah terjadi. Rani mendekatiku dan menenangkan emosiku. Anak-anakku yang lain membawa istriku masuk ke kamar. Sampai beberapa hari kemudian, kami pun tak bertegur sapa. Istriku seharian tidur di kamar depan: tidak masak. Kami ke warung jika hendak makan. Pada malam hari, istriku tidur di ujung kiri ranjang dan aku di sebelah kanannya.

Perjumpaan dengan teman-temanku, aku diputarkan sebuah film. Film yang kata mereka, kualitasnya tak ada duanya. Sungguh promosi mereka ampuh. Padahal aku tak biasa menonton film. Tetapi, aku tak bisa mengelak ketika mereka mengajak masuk ke dalam bioskop. Ah, kukira ini bukan gedung bioskop. Begitu asing dengan bentuk bangunannya. Lupakan soal bioskop atau bukan. Yang jelas mereka memutar satu film untukku. Aku pun serius menyaksikannya. Gila! Mengapa aku menonton diriku? Siapa orangnya yang diam-diam merekam seluruh aktivitasku? Tiba-tiba saja aku jijik menyaksikan diri sendiri. Aku menonton berbagai penyimpangan dari kehidupanku selama ini. Tidak satu pun kesalahan yang pernah kubuat tersensor. Sama halnya sekecil apa pun perbuatan baikku terekam di sana. Iqra binafsih. Aku bagai membaca lembaran-lembaran catatan diriku dengan utuh. Cuma lebih banyak perbuatan buruk yang kusaksikan kini dalam film itu. Mulanya kupikir film itu tak adil memotret diriku, namun aku memaklumi karena pembuatan film itu bukan rekayasa. Itulah gambaran sesungguhnya seseorang.

“Hentikan film itu!” aku membentak, menuding muka mereka. “Kalian ingin mempermalukan diriku. Kalian hendak mempertontonkan seluruh aibku. Sungguh kalian biadab, tidak berbudaya. Tak pantas kalian menjadi temanku!”

Mereka terpana. Memandangku hikmat. “Iqra binafsih!” kata mereka serentak.

“Mau apa kalian dengan memutar film itu di depanku?” kataku kemudian. “Tak kukira, kalian yang selama ini kuagungkan sebagai sahabat setia. Ternyata hanya segini…” lanjutku sambil menunjukkan ujung kuku jari kelingkingku.

Kali ini mereka tak lagi terpana. Pandangan mereka tajam, seperti hendak menujah kedua kelopak mataku. Satu-satu, pelan sekali, mereka mendekatiku. Kedua tangannya mengembang dengan telapak tangan terkembang. Perasaan takut menyergapku. Bergidik. Jantungku berdegup kencang. “Kamu memang pantas mati!” Suara salah satu dari temanku, mengamcam. “Kau harus mati di tangan kami!” ancam yang lain. Aku mundur selangkah. Kakiku terantuk sesuatu. Mungkin kursi, atau sesuatu benda. Aku tak sempat melihat. Pandanganku cuma tertuju pada mereka yang terus mengepungku. “Jangan.” Aku memohon. Suaraku lirih.

“Tidak bisa! Kamu tak mungkin bisa menghindar. Ini saatnya, ini waktunya, kami harus menghabiskan dirimu. Kau mesti mati. Sekarang juga. Kau lihat tangan-tangan kami sudah seperti kuku-kuku singa, sekejap lagi akan menerkammu. Mengoyak lehermu, dadamu, matamu, mulutmu, tanganmu, kakimu, kemaluanmu!” salah satu mereka makin mengancam. Tiba-tiba aku melihat gigi-giri mereka seperti taring tajam.

“Hatimu bagianku untuk kumakan!”

“Aku bagian kelaminnya” sambung yang lain.

Aku ketakutan. Keringat dingin mengucur di sekujur badanku. Selangkah lagi aku mundur, tapi mereka maju dua langkah. Di sudut ruangan itu aku pun terjepit. Tangan-tangan mereka tinggal beberapa sentimeter menyentuh diriku.

“Tolooongg…” aku berteriak sekuatnya. “Aku tidak mau mati. Ampun. Aku janji, siap tunduk pada kalian. Aku siap menjadi budak kalian, asal kalian tak membunuhku!” kataku mengiba. Suaraku—tentu saja—parau, karena ketakutan yang sangat.

“Nah, mimpi lagi bapak!” Rani mengguncan-guncang badanku. Kubuka mata. Menatap Rani yang masih setia menungguiku di bibir ranjang.

“Tadi suster datang. Menyuruh makan obat ini kalau bapak sudah bangun,” imbuhnya. “Suster juga pesan, kalau bapak ingin sembuh dan cepat keluar dari rumah sakit, sebaiknya bapak jangan berpikir macam-macam. Bapak harus banyak istirahat, tidur yang cukup…”

Aku diam. Lelah sekali.

(2)
SEORANG penjambret di biskota jadi bulan-bulanan massa. Meski tinggal terdengar lirihnya, tak melunturkan emosi mereka. Penjambret yang sudah babak-belur itu terus dihajar, sepertinya mereka tak kehabisan tenaga. Kondektur bis bahkan nyaris dihakimi, karena hendak menyelamatkan penjambret itu. “Kamu temannya, ya?!” bentak salah seorang penumpang bertubuh besar, gondrong, berpakaian setelan levis.

“Maaf, pak. Saya bukan kawannya. Saya takut kalau dia mati di dalam bis ini, kami…”

“Ya sudah, kalau dia bukan kawanmu! Jangan ditolong!” bentak yang lain.

“Dia harus mati. Para penjahat jangan dikasih hati. Hukuman yang setimpal buatnya ialah mati. Percuma kalau hanya ditahan, dia bakal kambuhan setelah keluar penjara!” lanjut lelaki berambut gondrong seraya menghantamkan balok pengganjal ban ke kepala penjambret.

Aku duduk di bangku tengah. Aku tak sanggup menyaksikan pembantaian massal seperti itu terhadap seorang yang secara fisik sudah tak mampu melawan. Berkali-kali kedua telapak tanganku menutup mataku. Aku berharap aparat keamanan segera datang untuk menyudahi penghakiman di jalan itu. Aku juga berdoa, penjambret itu tidak mati. Semoga ia bisa bertahan, setidaknya punya semangat hidup, sehingga maut segera pergi. Bagimana pun kematian dengan cara seperti itu, seharusnya tidak boleh terjadi. Ini kematian yang dibuat-buat. Massa tiba-tiba menjadi pencabut nyawa. Tetapi, aku menjadi heran, kematian semacam ini kerap terjadi di negeri ini. Seperti kematian yang sia-sia, kematian seekor anjing kudis…

Suara penjembret itu sudah tak terdengar lagi. Badannya berbalik. Wajahnya sudah berselimut darah. Tergeletak di lorong antara kursi kiri dan kanan. Persis di sebelah kananku. Aku ketakutan. Dadaku berdegup. Tak berani aku melangkahi badannya untuk pindah ke kursi belakang atau kursi dekat supir. Sesekali aku melirik ke penjambret yang sudah tak berdaya itu. Kuamati tubuhnya. Aku seperti masih merasakan degup napasnya. Meski sangat pelan. Kuyakini ia belum mati, tapi pura-pura mati.

“Dia sudah mati!” aku berteriak. “Jangan diteruskan lagi kekejaman ini!” aku menambahkan. Suaraku menghentakkan seluruh penumpang di biskota ini. Menyadarkan mereka bahwa telah terjadi pembunuhan. Para penumpang yang duduk di belakang dan paling depan, segera berdiri dan melihat tubuh penjambret. Entah mengapa, tiba-tiba aku berani bersuara. “Sekarang, siapa di antara kalian yang ikut memukulnya tadi, mau bertanggung jawab di depan kepolisian dan pengadilan. Dan, siapa dia antara saudara-saudara yang pertama kali mengatakan bahwa ia penjambret, dan siapa orang pertama yang memukulnya! Saya harap bapak-bapak mau jujur, dan mau bertanggung jawab. Karena ini persoalan nyawa, persoalan pembantaian bersama-sama.”

Tak satu pun yang menunjuk. Kulihat mereka saling berpandangan. Lelaki muda berambut gondrong bersetelan levis yang kutahu telah menghantamkan balok pengganjal ban ke tubuh penjambret, seperti seorang yang dungu. Ia celingak-celinguk. Yang lain juga saling menoleh pandang.

“Sekarang, tak satu pun yang berani mengacung tangan. Ada apa ini? Inikah cara kita mempertanggungjawabkan perbuatan?” suaraku makin menggelegar. “Kalian sudah jadi algojo, si pencabut nyawa! Kalian sudah menempatkan diri sebagai Tuhan, mensegerakan kematian bagi orang lain. Bagaimana kalau takdir dia sebenarnya belum saatnya, tetapi kini ia harus mati di tangan saudara-saudara. Siapa di antara kalian yang berani menjelaskan kepada polisi, soal kematiannya?”

“Bukan saya saja, tapi kita semua!” lelaki berambut gondrong terpancing. Ia bersuara. Tetapi, kuyakin sesungguhnya ia ketakutan, karena itu meminta dukungan yang lain.

“Tidak semua penumpang di bis kota ini. Apakah saya ikut memukul? Apakah bapak tua itu ikut berperan, ibu itu, anak remaja itu? Tidak kan? Juga kondektur bis kota ini, juga tidak. Dia malah sudah melarang kalian untuk menghentikan pembanataian. Sayangnya kalian justru mencurigai kondektur ini sekongkol dengan penjambret, dan nyaris kalian hakimi juga!” aku kembali berkata.

Sungguh, aku paling benci pada orang-orang munafik. Berani berbuat tetapi tak berani mengakui perbuatannya. Yang paling tidak kusukai, mereka sudah semena-mena mengakhiri hidup seseorang. Padahal, berulang-ulang hingga suara pejambret itu lirih, ia memohon dan meminta ampun supaya massa tidak menghakiminya. Kudengar sekali suaranya yang lirih berujar, “Tolong, jangan bunuh saya. Saya belum mau mati. Saya berjanji tak ingin menjambret lagi. Saya punya anak istri. Sekarang istri saya di rumah sakit, saya terpaksa. Bukan saya yang melakukannya. Saya hanya…”

Tetapi, massa yang sudah beringas seperti tidak mendengar lirih pejambret itu. Bahkan semakin kalap menghantam kayu balok, besi, tongkat, tinju, dan tendangan. Juga tas, sepatu, air ludah. Masih belum puas atraktif tersebut, seorang mahasiswa menarik tas plastik berisi cabai dari tangan seorang ibu, lalu meremas-remas cabai itu dan memupuri mata penjambret itu. Aku saja yang menyaksikan, sepertinya darahku tak beralir lagi. Kubayangkan, mungkin lebih perih lagi yang dirasakan oleh penjambret itu.

Seorang bapak yang rambutnya sudah dipenuhi warna putih keperakan, menyodok tongkatnya ke mulut penjambret hingga masuk sekitar sepuluh sentimeter. “Rasakan! Kau makan tongkatku ini!” katanya dengan amat berang. Lalu dia tarik lagi tongkatnya. Kulihat ia kemudian tersenyum. “Saya dendam dengan penjambret. Saya pernah kecopetan di bis, uang pensiun saya ludes. Jangan-jangan teman dia ini…” kata bapak itu lagi.

Mungkinkah manusia telah kehilangan rasa kasih sehingga menjadi beringas? Melenyapkan nyawa orang lain, sudah menjadi hal biasa? Bersekutu untuk membunuh orang sudah dianggap kemuliaan? Dadaku sesak. Degup jantungku makin tak beraturan. Aku khawatir penyakit jantungku kambuh.

“Kami tak mau ke kantor polisi. Karena kami tak ikut berperan menghabiskan nyawa penjambret ini,” kataku lagi beberapa kejap berlalu. Dadaku tambah sesak. “Siapa saja di antara saudara-saudara yang ikut memukulnya, itulah yang ke sana. Bawa mayat penjambret ini…”

“Tidak bisa, Pak! Bapak juga harus ikut ke kantor polisi. Bapak adalah penumpang bis kota ini juga, bapak juga melihat, bapak bisa jadi saksi. Dan, ingat pak, kenapa bapak tetap membiarkan kami ketika menghakimi penjambret ini. Itu sama artinya bapak merestui pembantaian ini,” kata lelaki tua yang membawa tongkat.

“Saya pikir, kondektur bis sudah mengingatkan saudara-saudara. Tetapi, kalian tak mengindahkan…” jawabku membela diri. “Kami diam bukan berarti merestui cara-cara sadis yang kalian lakukan!”

“Jangan pakai ‘saya pikir’, pak. Kenyataannya bapak hanya diam, sewaktu kami memukuli penjambret ini,” potong lelaki gondrong.

“Benar!” kata yang lain. Mendukung lelaki bersetalan levis itu.

“Kalau bapak tadi melarang kami, mungkin akan lain. Mungkin kami agak takut pada bapak yang bertubuh kekar,” ujar penumpang lain yang ikut memukul.

“Kalau kondektur yang melarang, kami tak percaya. Bukan rahasia lagi pak, banyak awak bis sekongkol dengan penjahat. Setidaknya, awak bisa sengaja menaikkan para penjahat. Padahal bukan mustahil mereka tahu mana penumpang baik-baik dan mana penjahat, karena sehari-hari hidup di jalan,” sambung lelaki berambut pendek. Di kedua tangannya terhias tatto.

“Jahanam orang-orang ini!” aku membatin. “Sudah begini, mereka pintar bersilat-lidah. Ingin lepas tangan, tak bertanggungjawab, hipokrit!”

“Sebaiknya mayat ini kita lempar saja ke jalan. Setuju?” usul yang lain, yang tadi kulihat memasukkan sepatunya ke mulut penjambret.

“Sebentar lagi, kita akan meliwati kawasan hutan. Lempar saja ke semak-semak,” satu penumpang di bangku sebelahku mendukung.

“Bagus itu. Bagus. Usul yang baik,” kata lelaki tua yang mengaku uang pensiunnya pernah dicopet di biskota.

“Ya, juga, pak. Kita yang susah kalau mayat ini diserahkan ke polisi,” angguk seorang mahasiswa.

“Kejam!” aku berteriak lagi. Menegakkan pandangan mereka. “Kalian benar-benar sadis! Orang yang sudah menjadi mayat, mau kalian buang lagi di jalan. Ditarok di mana hati kalian?!”

“Ah, persetan dengan hatinurani! Ini sangat emergency! Kami tak punya waktu berurusan dengan kepolisian. Toh, hanya seorang yang mati, dan kita pun tak tahu identitasnya. Kecuali dia penjambret, penjahat!” bantah lelaki berambut pendek, agak kurus tubuhnya.

“Benar. Zaman penembak misterius dulu, justru lebih sadis dari yang kita lakukan ini. Para petrus dulu, setelah menarik paksa penjahat dari rumahnya lalu dimasukkan ke karung dan dilempar ke atas mobil seperti melempar barang. Setelah didor, mayat penjahat itu dibuang ke semak-semak sampai membusuk kalau tidak ditemukan orang.”

Sungguh, aku tak berkutik. Para penbumpang lain yang kukira sefaham denganku tak mendukungku. Kuperkirakan sekitar 10 orang yang tak ikut membantai penjambret itu, tetapi ternyata mereka belum tentu sepaham dengan pikiranku. Kecuali hanya mengangguk jika dianggapnya aku yang benar, atau mengangguk-angguk juga begitu para pembantai yang berbicara.

Mereka sudah sepakat. Sebentar lagi penjambret itu dilempar ke jalan. Kulihat beberapa orang telah menarik tubuh yang tampak kaku itu ke dekat pintu belakang. Aku berdiri. Seseorang mencegahku. Ia mengira aku akan menghalangi pengevakuasian itu. Aku menggeleng. Melangkah ke pintu depan. Sopir memandangku dan bertanya apakah aku akan turun. Aku diam. Berdiri di depan pintu. Aku melirik ke orang-orang yang hendak melempar penjambret di pintu belakang. Aku ingin lompat begitu mereka melempar penjambret itu. Lelaki itu harus ditolong, ia tak boleh mati dulu, karena tadi kuperhatikan ia memang belum mati. Fisiknya sangat kuat menahan pukulan bertubi-tubi dari para pembantai itu. Tuhan belum mentakdirkannya mati, meski orang-orang menginginkan dia segera tewas.

Aku menanti dengan cemas. Perasaanku berdebar. Apakah aku mampu melompat di saat bis sedang melaju? Aku tak lagi muda. Dalam hati, aku berharap sopir bis akan melambatkan laju mobil begitu penjambret itu dilempar. Dengan begitu aku segera melompat. Kuharap tidak terjadi apa-apa denganku. Bis mulai memasuki jalan sepi, semak, dan sekejap lagi kawasan sedikit belantara. Barangkali di tempat itulah mereka melempar tubuh lelaki penjambret itu. Benar! Separuh badan lelaki yang tak berdaya lagi itu mulai keluar, dan kemudian mereka lepaskan. Aku pun melompat. Bergulingan di rerumputan. Perih mulai terasa di beberapa tubuhku. Terutama telapak tanganku, lutut, dan pungungku. Darah.

“Wah, nekat bapak itu!” kudengar komentar seseorang di bis begitu aku melompat.

“Saya kira ngapain dia berdiri di pintu.”

“Cari masalah saja bapak itu. Kalau mati bagaimana?”

Kepala mereka menongol di jendela. Melihatku yang terjerambab di semak-semak. Aku merangkak mendekati tubuh penjambret itu. Dadanya kupegang. Masih berdegup, aku membatin. Hanya sangat pelan. Kecemasan menyergapku. Bagaimana mungkin aku bisa menyelamatkan nyawa lelaki itu. Ia sudah amat susah bernapas. Sementara aku tidak tahu di mana puskesmas. Aku juga tak tahu apakah kampung masih jauh dari tempat ini. “Sabar nak, sabar. Kamu harus tertolong. Kau tak boleh mati dulu. Kamu sangat dibutuhkan oleh anak istrimu,” bisikku memberi semangat. Lelaki itu tak bisa lagi merespon.

“Air… air…” aku mendengar lirihnya. Ia kehausan.

Aku tak berani memberinya air. Lagi pula di mana aku harus mencari segelas air? Pengalaman mengajarkan, orang yang sekarat jangan diberikan air meskipun ia mengharapkan sekali. Itu pertanda ia akan mati. Tidak. Aku tak akan memberimu air, bahkan setetesmu kalau itu untuk mengantar kematianmu. Kau harus selamat, keluargamu sangat mengharapkan kepulanganmu. Istrimu di RS menunggumu membawa uang. Tapi, apa yang bisa kuperbuat di tempat sepi dan jauh dari pemukiman warga? Aku menunggu mobil liwat. Akan kustop bila ada kendaraan liwat untuk membawa penjambret ini ke puskemas atau RS. Sialnya, sudah beberapa menit tak satu pun kenderaan yang lalu. Kulihat jam di pergelangan tangan: “Sudah jam 5 sore,” aku membatin. Sebentar lagi daerah ini menjadi gelap.

Kuletakkan tanganku di dadanya. Tak lagi kurasakan degup itu. Oh! “Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun…” Cuma doa itu yang meluncur dari bibirku. Setelahnya, tubuhku lemas. Airmataku deras mengalir. Baru kali ini dalam hidupku, aku menangisi kematian orang yang tak kukenal dengan kesedihan yang sangat. Aku seperti berhadapan dengan mayat anakku sendiri. Terbayang wajah Ronald, anak tertuaku, seperti terbujur kaku di depanku.

“Tidak! Kau tak boleh mati. Kalian kejam telah menghabisi nyawa orang yang sudah tak mampu melawan! Sadis. Kalian pembunuh, tak punya perikemanusiaan! Kenapa kalian membunuh orang yang sudah tak berdaya. Sekarang, kalian semua pergi. Meninggalkan orang yang sudah mati. Tidak bertanggung jawab. Jahanam!” aku berteriak-teriak, mengutuki para pembantai yang kini entah sudah di mana. Menyumpah dan mengumpat para pembunuh yang mungkin kini sudah di rumah masing-masing. Tentu mereka kini sedang bercerita tentang peristiwa yang mereka lakukan di biskota, tentu pula dengan nada gagah dan angkuh. Sementara aku dan mayat penjambret ini masih di tempat sepi. Menanti “dewa” penolong…


(3)
SUHU badanku meninggi lagi. Suster datang tak lama setelah Rani memanggil liwat pesawat telepon antarruang. Aku disuntik lagi. Cairan obat kembali memasuki tubuhku. Dua butir pil kapsul disodorkan ke mulutku. Istriku tak di ruangan. Aku tak begitu penting padanya. Cuma Rani tahu apa yang kucari. “Ibu pulang sebentar. Pakaian di sini sudah kotor semua.”

Kemudia Rani menanyakan lagi apakah aku didatangi peristiwa aneh lagi selama aku tertidur tadi? Aku menggeleng pelan. Entah mengapa kali ini aku berdusta padanya. Untuk apa kuceritakan kejadian pembantaian terhadap penjambret di bis, kalau kemudian ia tak percaya? Buat apa kalau akhirnya Rani bilang, “Makanya bapak jangan berpikir macam-macam, akhirnya terbawa sampai ke dalam mimpi. Harusnya pikiran bapak juga istirahat, jadi bisa tidur enak…”

Bagaimana mungkin aku tidak berpikir? Bukankah orang hidup harus berpikir, dengan begitu ia mengakui keberadaannya, meyakini bahwa ia ada. Orang-orang yang sudah tak lagi berpikir, sama saja mati. Namun di zaman seperti ini yang penuh oleh budaya instan dan hedonis, masih pentingkah berpikir? Robot dan remote sudah ada di mana-mana. Tinggal menekan, benda-benda yang kita inginkan terseut bekerja sendiri. Para pendidik cukup dengan silabus-silabus lama dan usang di depan kelas. Para siswa membiarkan otaknya dicekoki oleh hafalan-hafalan, tanpa pernah diberi kesempatan berpikir tentang hal-hal yang besar. Lahirlah generasi-generasi sarjana yang memformalitaskan ijazah, untuk ditawarkan ke mana-mana demi penghasilan yang besar. Rakyat tidak lagi mendapatkan pikiran yang jenius dan terobosan dari para pejabat dan legislatif, demi mengubah bangsa ini. Selain mereka hanya meributkan gaji besar, purnabakti, fasilitas ini dan itu, dan seterusnya dan seterusnya. Para legislator dan eksekutif layaknya segerombolan monyet, cuma menunggu diberi pisang. Setelah mendapatkan, mereka nyengir memamerkan gigi-giginya yang penuh selilit keju dan daging. Membuat rakyat semakin jijik, mual, dan terkadang muntah. Uaakkkhhhh!

Ya. Aku benar-benar muntah. Makanan yang belum tercerna keluar semua. Ada butiran nasi, serat-serat daging ayam, dan entah apa lagi. Kulihat Rani hampir ikut muntah saat mengepel sisa makanan yang keluar dari perutku. Aroma busuk menyergap. Segera ia mengambil pewangi ruangan dan menyemprot lantai yang terkena muntahku.

“Kenapa, pak? Bapak masuk angin?” Rani mengurut leherku.

Aku menggeleng. Mungkin ketika sehat, aku terlalu banyak makan yang tidak halal. Memakan yang bukan hakku. Membeli makanan dari uang yang tak jelas kuperoleh. Sesekali aku memang mencuri, korupsi di tempat pekerjaanku. Menipu teman sejawat. Lupa membayar utang. Kini, mungkin, makanan-makanan itu menolak tinggal di dalam perutku. Dan, muntah. Uaaakkkhhh! Muntah lagi.

“Rani panggil dokter ya, pak?”

Aku menggeleng. Tersenyum. Aku lemas.

“Mungkin ini saatnya bapak mati,” lirihku. Rani menatapku. Dalam sekali. “Bapak sudah tak kuat, bapak mau mati segera…”

“Jangan bicara begitu, pak… Tak baik. Bagaimana Rani kalau…”

Aku tak menjawab. Aku menginginkan sekali malaikat pencabut nyawa menjemputku. Menggandeng ruhku ke atas sana dan meletakkan di tempat yang telah disediakan Tuhan, berkumpul dengan ruh-ruh lainnya yang lebih dulu dariku. Si pejambret yang mati di tangan massa di bis kota tersenyum menyambutku. Mencium tanganku. Menyilakan aku duduk. Ia memperkenalkan aku kepada yang lain, siapa diriku dan apa hubungannya dengan dia semasa hidup.

Seorang lelaki mendekatiku, dan ketika ia menyebut namanya aku teringat pada seseorang yang ditembak pada malam hari di rumahnya kemudian mayatnya ditemukan keluarganya diikat di batang pohon. Lelaki itu mengaku dibunuh karena ditubuh militer sebagai anggota pengacau keamanan. Pintu rumahnya—juga pintu rumah-rumah yang lain—sudah lama diberi silang sebagai penanda atau target orang yang harus dilenyapkan. Ia kemudian menjelaskan, kalau sebenarnya ia bukan salah satu anggota pengacau keamanan. “Saya guru ngaji. Mengajari anak-anak muslim agar mereka bisa membaca dan memahami Alquran. Apa saya salah mengajari anak-anak mengaji?” ujarnya setengah protes.**

Aku mengutuk kekejaman militer yang beraninya menghabisi bangsa sendiri. Aapakah tak ada cara lain selain memuntahkan peluru dan membantai rakyat? Soalnya bukan serius benar mereka hendak merdeka, tetapi ungkapan protes terhadap keserakahan pemerintah pusat. Dalam sejarah bangsa pun, orang-orang beraaroma ganja itu sangat setia pada negara. Setelah merdeka, kekayaan alam mereka dikeruk dan dibawa ke pusat. Kemudian sisa-sisanya—boleh jadi hanya ampas—dibiarkan untuk dibagi-bagi kepada rakyat di sana. Kukira tak ada kutukan lain, selain rakus dan semena-mena. Wajar kalau rakyat di sana melawan dan bahkan hendak berpisah dengan pusat!

Lalu aku diperkenalkan pula dengan seorang gadis berusia 12 tahun yang mati karena membakar dirinya.*** Tapi, bekas bakar di tubuhnya tak tampak lagi. Gadis itu mulus, karena yang ada di tempat ini bukan jasad melainkan ruhnya. Gadis kecil itu menyesali cara kematiannya. Seharusnya, dia mengaku, tak menyiram tubuhnya dengan minyak lalu menyulutnya dengan api. Seharusnya ia masuk ke kamar mandi lalu mengguyur badannya dengan air dan menyabun tubuhnya. Kalau dulu itu ia lakukan, pastilah badannya menjadi segar. Tidak gosong dan mati.

“Pikiran saya kalut waktu itu. Karena kesal sama ibu, jadinya ambil jalan pintas,” kata gadis itu. “Saya pikir buat apa saya hidup. Ibu tak memberi saya uang untuk ulangan sekolah. Ibu tak punya uang sama sekali. Saya malu dengan teman-teman kalau tidak ikut ulangan. Jadi, ya saya ambil jalan pintas. Nyiram minyak ke badan, lalu saya menyulut badan saya dengan api.”

“Sakit?”

“Nggak tuh, enak! Ya… sakit dong. Hangus. Kulit melepuh. Perih. Saya tidak tahan. Dan, saya mati sebelum sampai ke RS.” Ah, gadis itu masih bisa bergurau. Padahal, orang yang mati bunuh diri alamat tak akan pernah mengecap surga. Sungguh aku tak mengatakan ini pada gadis itu. Aku hanya mendesah, panjang.

Kemudian si penjambret itu menjelaskan diriku kepada mereka. Katanya, “Sebenarnya bapak ini sudah berusaha keras supaya aku tak mati secepat itu. Bantuan bapak ini sangat besar padaku, namun Tuhan menentukan lain. Saya mati sebelum ditolong oleh dokter.”

“Tapi, saya yang salah. Saya lambat menolong anda. Coba waktu di bis saya punya keberanian mencegah mereka, mungkin anda bisa terselamatkan. Saya menyesal tidak cepat mencegah, jadinya anda mati…” kataku kecewa. Penyesalan yang tak mungkin terhapus selamanya.

“Tidak, pak. Saya memang harus mati saat itu. Orang-orang memang menginginkan supaya saya mati. Karena mereka anggap, orang seperti saya tak pantas menikmati hidup. Begitu hina, sementara dunia demikian mulia.”

“Apakah mereka yang membantai itu lebih mulia? Mereka pikir, merekalah yang berhak bernapas? Siapa yang bisa mmenjamin kalau mereka tak pernah melakukan kesalahan, bersih dari dosa, sekali pun tidak mengambil hak orang lain? Siapa yang bisa menunjukkan bahwa mereka bermoral, untuk menegakkan moralitas?” ujarku dengan meninggi. Emosiku tak bisa kutahan. “Bahkan bagi mereka yang mengaku-aku selalu menegakkan hukum, apakah ada jaminan kalau mereka bersih tan tak pernah melanggar hukum? Para wartawan yang mengaku palang pintu kontrol sosial, demokrasi, dan moralitas, ternyata sering melanggar. Mereka berkolusi dengan para pejabat, pengusaha, legislatif, hakim, pengacara. Berita-berita mereka dipenuhi aroma uang.”

“Sudahlah, pak, tak baik menyesali yang sudah terjadi. Yang jelas, sekarang saya sudah mati dan tak bisa dihidupkan lagi. Bapak juga tak mungkin bisa kembali ke dunia lagi. Kita semua di sini adalah ruh-ruh…”

Aku mengangguk.

“Lantas, kenapa bapak ingin sekali mati? Padahal aku yang penjahat, sangat ingin menikmati hidup lebih lama lagi. Seperti kata si penyair Chairil Anwar itu, ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’. Sayangnya tak kesampaian. Saya mati pada usia 27 tahun. Bapak berusia 48 tahun. Tak ada yang mati pada usia seribu tahun, bukan?” kata lelaki muda itu, si penjambret yang pernah kucoba menolongnya agar tetap hidup saat dia sekarat.

Aku mengiyakan. “Setidaknya, semangat itu yang hendak kita pertahankan,” kataku kemudian.

“Lalu, kenapa bapak ingin segera mati?”

Sulit kujawab pertayaannya. Ketika aku benar-benar mati seperti ini, aku kehilangan alasan mengapa aku ingin segera mati. Padahal kematian itu ternyata tidak menyenangkan. Tak bisa lagi makan, bercengkerama, bersendagurau, beramal baik, bercinta dengan istri, dan mencintai. Tiada lagi kamus kemanusiaan dan kehidupan. Alam selalu pekat. Mataku tak lagi berfungsi. Pandanganku tiada. Mati rasa, pikiran mati. Kami hanya menunggu kiamat tiba, saat itulah kami dibangkitkan.

Sedang apa Rani? Lagi apa istri dan anak-anakku yang lain? Apakah mereka sekarang tengah membacakan Yaasin untukku? Ataukah tidak melakukan apa-apa buatku? Aku bertanya-tanya. Dengan sekuat kemampuan, ingin kubuka kelopak mataku. Tanganku meraba-raba, mencari tubuh Rani, istriku, atau anak-anakku. Tak teraba. Kugerak-gerakkan tubuhku dengan sisa tenagaku. Tapi, tak juga berhasil. Kugerakkan kelopak mataku agar terbuka lalu melihat sekeliling, namun tenagaku yang kecil membuatku tak mampu. Oh. Aku berdoa, aku berharap supaya Tuhan memberiku kekuatan. Aku ingin hidup sebentar saja. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Tak lebih. Karena tadi aku lupa mengucapkan itu. Rani sedang membuang bekas muntahku.

“Rani… Rani…” lirihku.

Ada sentuhan kulit di tanganku. “Aku belum mati, aku belum…”

“Siapa bilang bapak sudah mati?” kudengar suara Rani dekat di telingaku. “Bapak hanya sakit, hanya perlu istirahat. Bapak mimpi lagi? Mengigau lagi? Makanya…”


(4)
“AKU ingin mati segera, sayang…” suaraku lirih. “Kehidupan yang membosankan ini, hanya dipenuhi oleh pertengkaran dan kecurigaan, membuatku malas mempertahankan hidup. Aku ingin mati segera. Kematian membikinku bahagia…”
“Bapak mau mati? Bapak mau… jangan, pak?!” minta Rani. Menangis sesenggukan.

“Ya, pak. Kalau minta jangan minta cepat mati, tetapi kekayaan,” sambung Ronald, anak tertuaku.

“Memangnya ibu sudah tak lagi menggairahkan? Ibu akan melayani bapak lagi seperti malam pertama perkawinan kita. Ibu janji…” bisik istriku.

Aku tak menyahut. Kupikir bukan soal itu, mengapa aku ingin segera mati. Alasannya amat sederhana, kemanusiaanku telah menjadi batu, menjadi benda di antara benda-benda di planit bumi ini. Karena itu, untuk apa lagi aku berkeras mempertahankan hidupku? Ketika adaku seperti ketiadaan? Ketika keberadaanku tidak memberi apa-apa bagi adaku. Bahkan, jika saja aku seorang pemimpin atau anggota legislatif yang tak punya manfaat bagi bangsa, aku juga akan mengakhiri hidupku. Aku akan tampil ke podium dan berpidati di hadapan rakyatku yang memilihku. “Maaf aku tak mampu duduk di kursi kekuasan ini. Selama aku duduk di sini tak ada yang bisa kulakukan. Kecuali aku hanya berpikir bagaimana menumpuk kekayaan, memperpanjang kroni agar aku gampang berkolusi. Setiap waktu hanya berpikir bagaimana bisa korupsi!” Tapi, apakah itu mungkin? Aku hanyalah kepala rumah tangga, ayah dari anak-anakku, suami dari istriku. Dan, aku merasa gagal mengemban tugas dan tanggung jawab itu. Aku sadar itu.

Tiba-tiba aku ingin mencari cara terbaik untuk mengakhiri hidupku. Cuma dengan cara apa dan alasan apa? Rani diam. Istriku tak menjawab kecuali menangis. Anak-anakku yang lain menunduk. Tiada yang berani bersuara. Mungkin khawatir, mungkin memang tak punya kata-kata. Ruang pengobatan ini benar-benar kehilangan arti. Seperti mati. Seperti aku kini. Menjadi dinding, jendela, ventilasi, lampu, lemari, obat, botol infus, slang, alat suntik, tabung gas, pispot, ranjang, sprei putih, bantal yang sudah melempem, dan seterusnya. Tak berkata-kata. Kaku. Dingin. Mati.

jalan-jalan matilah, gedung-gedung mati
pasar-pasar, terminal-terminal, matilah
birokrat, legislatif, pengadilan
militer matilah presiden, menteri,
rakyat, manusia matilah segala
yang harus mati, sebelum mati
sesudah mati. para pembantai, algojo,
penjagal… harus mati!

Lampung, Mei—Juni 2004-11; 11.15




7
Setiap Malam Kami Dengar
Jeritan dari Ladang Tebu itu


DULU kami hidup tenang. Setiap pagi kami ke ladang dengan iringan dadi, atau kami sengaja membawa gambus lunik. Sambil istirahat saat matahari di atas kepala, hambus lunik itu kami petik. Menghibur. Tak lama kemudian para perempuan kami datang membawa serantang makan siang. Usai makan kami mengobrol di dangau, bahkan tak jarang kami mendiskusikan masalah desa. Selain itu, kami isi waktu istirahat dengan mendongeng, berpantun, merafalkan warahan kepada anak-anak kami.

Jika menjelang pemilihan Kepala Pekon, kami juga berembug di sela-sela istirahat siang. Para calon Kadus acap datang ke ladang, mengharap dukungan kami. Akibatnya, ladang kami berubah menjadi arena kampanye pada masa pemilihan Kadus, selain warung-warung kopi dan pos keamanan. Kami senang dengan situasi tenteram seperti itu. Karena dengan begitu, kami bisa berladang dengan aman dan tenang. Bila musim panen, kami berlomba menyemai dan saling membantu.

Tak terhitung hektar ladang kami. Tanah ulayat itu kami miliki secara turun-temurun. Tanpa sertifikat, tetapi jelas batas-batas hak pemilikan. Dan, itu diakui oleh kepala adat, kepala pekon, juga sampai ke tingkat Kecamatan. Setiap penjualan atau pemindahan hak pemilikan, harus diketahui minimal oleh kepala adat. Kami taat dengan peraturan adat. Kami bisa diusir dari desa dan dikeluarkan dari adat, jika kami melanggar peraturan atau menyerobot ulayat. Sudah ada warga yang diputuskan pengadilan adat, kemudian sekeluarga harus meninggalkan dusun dengan menanggalkan marganya. Bagi yang sudah cakak pepadun, maka gelarnya dibatalkan oleh peradilan adat.

Adat kami junjung tinggi. Kami boleh menentang aturan pemerintah, tetapi jangan coba melawan kepala adat. Siapa berani menentang, ia akan dikucilkan oleh adat. Bahkan ia tak akan memeroleh ulayat, diusir dari desa. Tetapi, kepala adat tak sembarang mengeluarkan keputusan. Tak main-main menggelar peradilan. Juga tak setiap saat membuat cakak pepadun: mengangkat marga bagi seseorang. Begitulah kami punya adat, sehingga kami dihormati oleh suku dan bangsa-bangsa lainnya.

Karena adat pula, piil pesenggiri kami letakkan paling tinggi. Kami siap mati jika kehormatan kami diinjak-injak. Ingatkah tatkala Radin Inten bertanya “api ubat malu, ibu?” maka ibunya menjawab: “mati!” Tetapi, adat kami amat terbuka. Para pendatang kami terima dengan tangan dan hati mengembang. Kami letakkan pendatang sebagai saudara sendiri, seperti kaum anshor menyambut kedatangan para muhajirin. Kami sediakan lahan bagi pendatang untuk mengolahnya. Bahkan kami juga dengan sukacita memberi sebagian ladang kami kepada pendatang. Begitulah adat mengajarkan kami.

Kami angkat para pendatang menjadi bagian dari jiwa kami. Menjadi jurai dalam silsilah kami. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ke lembah kami berpegangan, ke bukit kami saling membantu. Kami punya beras, para pendatang tak boleh kelaparan. Sejak lama bumi kami ditempati para pendatang, namun kami tak pernah merasa kehilangan. Dari Gedungtataan sampai ke pelosok Rawajitu, para pendatang menetap. Demikian adat tertulis di lontar.

Tetapi, kemudian pengiriman pendatang dimobilisasi oleh negara. Pemerintah Pusat mengirim besar-besaran ke sini. Maka lahan kami makin menciut. Belantara habis dibabat untuk pemukiman dan ladang. Belum lagi para penguasa meminta tanah kami untuk ladang-ladang dan pabrik. Sebagaimana di desa ini, berhektar-hektar tanah kami dikuasai penguasa untuk ladang tebu dan pabrik gula. Para pekerja bukan jelma ekam, tetapi dipasok dari tanah seberang.

Begitulah. Kami akhirnya pasrah melepas tanah, meski kami kehilangan lahan untuk meladang. Bahkan si Chairil, Ahmad, dan lebih dari 3.000 warga tak lagi punya ladang. Tanahnya dipaksa jual dengan murah kepada penguasa. Tinggal satu pekon—atau sekitar 150 keluarga—yang masih bisa bertahan membuka ladang di pinggiran pembatas ladang tebu. Mereka yang telah melepas tanah ulayatnya dengan harga murah, akhirnya mencari kerja ke kota Kabupaten atau ke kota lainnya. Sedangkan yang tak hendak merantau terpaksa menjadi buruh di ladang tebu dan ladang-ladang milik warga kampung sebelah.

Kami tak begitu saja pasrah melepas tanah yang kami terima dari turun-temurun. Warga kampung yang dikomandoi Chairil pernah menolak pencaplokan tanah. Kami juga tak mau menerima ganti rugi yang diberikan penguasa, untuk pembebasan tanah kami untuk pendirian pabrik gula dan ladang tebu. Penolakan itu kami buktikan dengan pembakaran seluruh ladang, lalu kami mendirikan kemah di sana. Siang-malam kami jaga penyerobotan ladang oleh penguasa yang dibantu aparat keamanan. Sampai akhirnya pertikaian tak dapat dihindari. Tentu dari pihak kami yang banyak jatuh korban. Pemilik pabrik gula itu adalah penguasa yang ditakuti. Namun, sampai kini warga di sini masih dendam. Hendak merebut kembali tanah mereka yang dicaplok.


CERITA para tetua itu sudah jadi sejarah di kampung ini. Semacam legenda yang diakui kebenarannya. Dan setiap orang tentu hafal menceritakan kembali peristiwa mengenaskan itu meski ia lahir sebagai generasi kedua. Dendam kepada pemilik pabrik itu pun tak pernah hilang. Oleh sebab itu, setiap malam dari tengah ladang tebu itu selalu terdengar jeritan orang. Suatu jeritan kesakitan atau erangan orang yang sedang menghadapi kematian. Suaranya amat memilukan, jika tak ingin dikatakan mencekam. Hampir setiap malam, sekitar pukul 01-02 dini hari!

Jeritan orang kesakitan itu—kadang pula terdengar erangan merintih—acap ditingkahi lolongan panjang puluhan ekor anjing hutan. Suara itu terdengar sayup dari tengah ladang tebu. Bila suara yang amat menyayat itu terdengar, kami tak keluar. Lebih baik mengunci rapat pintu dan jendela. Memeluk istri rapat-rapat, setelah memastikan anak-anak aman di kamar lain. Lalu mematikan lampu kamar. Menghentikan persetubuhan, meski kami sudah orgasme.

Kami—maksudnya keluargaku dan sekitar 100-an warga lain—yang membuka ladang dan pemukiman di dekat batas ladang tebu itu, setiap malam selalu mendengar jeritan itu. Tetapi, keesokan paginya kami tak pernah dengar kabar siapa yang mati semalam. Kami tak pernah tahu sesiapa yang dibawa ke rumah sakit. Benar-benar misteri. Padahal setiap malam kami selalu memastikan ada korban di sana.

Ternyata bukan aku saja mendengar jeritan itu. Seluruh warga juga mendengar jeritan atau erangan orang dari tengah ladang tebu, hanya tak satu pun mengaku melihat korban keesokan paginya. Mereka yang pernah memasuki ceruk ladang tebu pun, seperti tak menemukan tanda sehabis pertikaian. Tiada bekas pembantaian. Tak ada pula sisa darah. “Jadi, siapa yang berkelahi setiap malam?” tanya Mat di warung kopi, pagi harinya.

“Aku juga heran. Kita sama-sama mendengar orang menjerit. Cuma tak satu pun dari kita yang tahu siapa korbannya…” ujar Herwan. “Soalnya kalau ada pekerlahian di sana pasti kita lihat bekasnya. Kalau ada yang mati, kita tentu ikut melayat. Benar-benar misterius…”

“Jangan-jangan, korbannya langsung dikubur di tengah ladang tebu itu. Siapa tahu?” tukas warga lain.

“Tapi, sepekan lalu. Setelah suara jeritan lenyap, kudengar deru mibil dari sana,” ucap warga lainnya.

Aku tak meningkahi. Aku enggan membicarakan sesuatu yang tetap misteri. Inginku kejelasan. Siapa yang menjerit setiap malam dari tengah ladang tebu itu? Anjing-anjing siapa yang melolong pada waktu bersamaan? Ini masalahnya. Karena jeritan itu, lolongan panjang anjing-anjing itu, yang membuat kami setiap malam dicekam ketakutan. Setiap kami utarakan kepada kepala pekon, tak pernah ada tanggapan serius.

“Jangan mengarang cerita, bisa dianggap kalian ingin meneror supaya warga ketakutan. Hukumannya amat berat!” kata Suherman, kepala pekon. Rumah kepala pekon memang jauh sehingga tak akan mendengar suara orang yang menjerit.

“Kami tak membual, pak. Bukan saya saja yang mendengar, bapak bisa tanya pada warga yang lain…” kataku saat melapor pada kepala pekon. Namun, dia tak acuh. Ia juga tak mengkonfirmasi ke warga lain. Laporanku itu akhirnya dilupakan. Meskipun suara jerit atau erangan orang dari tengah ladang tebu itu, tak bisa kami lupakan.

Karena istriku berulang mengingatkan agar aku jangan melapor lagi pada kepala pekon, akhirnya peristiwa setiap malam itu jadi bagian hidup kami. Istriku mengkhawatirkan keselamatanku bila terus-terusan mengusik masalah itu. “Biar kita saja yang mendengar dan merasakan ada suara jeritan orang. Setiap malam,” kata istriku lagi.

Sebenarnya kami pernah mencoba cari tahu sumber jeritan. Kami diam-diam menembus kepekatan ladang tebu pada dini hari, di saat embun bagai ujung jarum menusuk-nusuk kulit kami. Sekitar 10 orang memasuki perbatasan hingga ke tengah ladang tebu, dengan mengendap-endap. Malam yang pekat dan ladang tebu yang lebat, membuat pandangan kami terhalang. Suara erangan dan jerit mengaduh—seperti orang yang tersembelih lehernya—sangat jelas kami dengar. Hanya, selalu tak pernah kami saksikan secara persis apa yang terjadi di ladang tebu itu.

Ya. Ladang tebu yang sangat luas (mungkin dua ribuan hektar lebih) telah menyulitkan kami mencapai sumber jeritan. Itulah yang membuat kami tak persis tahu siapa yang bertikai: antara siapa dengan siapa. Urusan apa dan demi mempertahankan kepentingan apa-sesiapa. Akhirnya kami hanya mendengar jeritan dan erangan itu dari kejauhan, menyaksikan dengan samar-samar pucuk-pucuk daun tebu yang bergerak kencang karena tersentuh orang. Sekejap lalu suara mobil menderu, meninggalkan ladang tebu. Setelah irtu, kembali hening.

“Tetapi, apa kita hanya menutup mata dan telinga dengan kenyataan itu?” tanyaku.

“Daripada kita dituduh kepala pekon hanya membuat cerita bohong. Kenapa tidak?” ia balik bertanya.

Sejak itu kami seperti melupakan peristiwa yang setiap malam kami dengar dari tengah ladang tebu. Betapa pun kami selalu mendengarnya. Karenanya, kami menganggap jeritan dan erangan orang setiap malam itu sebagai orkestra. Musik yang membuat kami makin terlelap berselimut kengerian. Akhirnya kami terbiasa dan lama-lama kami seakan imun dengan suara itu. Sampai suatu subuh, kami dihebohkan dengan penemuan tiga orang yang tewas berlumuran darah!

“Sekarang bapak yakin apa yang saya laporkan dulu bukan cerita bohong?,” kataku pada kepala pekon. “Tiga orang sekaligus mati!”

Kepala pekon hanya mengangguk. Terasa pelan. Merunduk. Memandangi tiga jasad berlumuran darah, yang ditemukan subuh tadi satu meter di luar pagar ladang tebu. Johansyah yang pertama melihat jasad itu. Ia kemudian memberi tahuku, lalu segera kulapor pada kepala pekon. Kemudian warga pun datang, berkumpul. Hanya kami tak mengenal ketiga tubuh yang telah kaku itu. Asing.

“Mereka bukan warga sini,” kepala pekon menyimpulkan. “Mungkin dari pekon sebelah.”

Semua warga diam. Mungkinkah ketiga warga ini dari keluarga yang masih dendam karena tanahnya diserobot oleh pemilik pabrik gula, kemudian membuat onar setiap malamnya? Kali ini ia terkena batu? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Seperti cerita yang pernah kudengar dari orang tuaku, banyak warga di sini yang menyerahkan tanahnya secara terpaksa. Lalu mereka meninggalkan kampung dengan membawa dendam. Para warga itu kemudian kerap melakukan demonstrasi di gedung Dewan. Memohon para wakil rakyat dapat mengembalikan tanahnya. Sampai kini tuntutan mereka tidak berhasil. Barangkali itulah mengapa kemudian mereka sering menjarah dan membuat onar di dalam pabrik gula. Konon pula, mereka tak segan-segan menghabisi nyawa para buruh pabrik yang mayoritas didatangkan dari luar daerah. Atau meletakkan bom molotov di pemukiman para buruh, gudang tebu, dan seterusnya. Lalu jerit dan erangan itulah yang setiap malam kami dengar.

Aku perhatikan kepala pekon tak terlihat cemas. Tidak lazimnya seorang kepala dusun yang bila menemukan mayat di wilayahnya. Ia tenang. Para petugas dari rumah sakit segera mengangkut ke tiga mayat itu ke dalam mobil ambulans. Lalu membawa pergi. Entah ke mana. Meninggalkan kami yang masih digelayuti beragam pertanyaan.

“Bapak-bapak boleh kembali ke rumah. Atau yang ingin ke ladang, silakan bekerja. Anggap saja bapak-bapak tak melihat sesuatu, karena memang tidak ada kejadian apa-apa,” kepala pekon berpesan. Tetap tenang.

Tidak satu pun warga berani membantah. Istriku sumringah ketika melihatku tak bersuara meninggalkan tempat itu. Ia memegang tangan kiriku, sementara tangan kanannya melingkar di pinggangku. Istriku berbisik. Mengajak tidur kembali karena sempat terganggu. Memang kami mesti melupakan ihwal yang selama ini selalu mengganggu tidur kami malam hari. Suara jerit dan erangan dari tengah ladang tebu itu.

Karena, syahdan, kepala pekon yang memberi titah demikian. Dan, sebagai warga yang baik dan tak hendak dituding teroris maka kami melupakan segera setiap kami mendengar jerit orang terbantai. Sebagaimana daun-daun tebu yang menari dibelai angin, begitu pula kehidupan kami. Menari dan menyanyi untuk satu-dua-tiga dan sejumlah orang yang mati dalam pertikaian di tengah ladang tebu. Antara merebut kembali tanah dan mempertahankan riuh mesin pabrik gula. Kami dititahkan untuk selalu membisu.

“Jadilah seperti daun tebu. Bagai tangan-tangan ia hanya bisa melambai bila angin membelai. Tetapi tak pernah ia kenang. Ia segera lupakan…” pesan itu tertanam dalam di benak kami. Secara turun temurun. Diingatkan kembali oleh kepala pekon, bila kami mungkin lupa.



DULU kami hidup tenang. Setiap pagi kami ke ladang dengan iringan dadi, atau kami bawa gambus lunik—alat muski tradisional—dan kami petik saat istirahat ketika matahari di atas kepala. Sambil menanti para perempuan kami datang membawa serantang makan siang, kami menembangkan satu atau dua lagu. Hidup kami damai, tiada terdengar keributan.

Namun, waktu telah mengubah keadaan kami. Para pendatang secara besar-besaran singgah dan meminta tempat hidup di sini. Kami sambut dengan tangan terbuka, tanah yang masih belantara kami persilakan dibuka. Pada tahun-tahun berikutnya, para penguasa dan orang-orang kaya di pusat ikut pula berlomba menanamkan cakarnya. Lalu tanah kami, berhektar-hektar, dicaplok. Dibangun pabrik, ditanami sawir, cengkih, nanas, kopi, villa, dan lain-lain. Hasilnya mereka bawa ke pusat.

Kini ribuan hektar ladang tebu membentang dari Utara-Selatan atau Barat-Timur. Bila kemarau, debu dari tengah ladang tebu yang diterbangkan puluhan mobil yang masuk dan keluar pabrik, akan menutupi awan di daerah kami. Layaknya menanti turun hujan di musim panas. Bila musim penghujan, jalan sepanjang ladang tebu benar-benar becek dan licin. Pada musim tebang tebu, ribuan buruh entah dari mana, menangguk rezeki di sana.

Sejak itu kami berontak. Tak bisa kehormatan diri diinjak-injak begitu saja. Tanah ulayat adalah pusaka nenek-moyang yang tak ternilai. Akhirnya unjuk rasa meletus, keonaran terjadi, pertikaian tak dapat dielakkan. Meski yang bertikai kemudian antara warga asli dengan pekerja pabrik dan buruh ladang—para pendatang itu.

Cuma kami seperti tak pernah tahu, mungkin pula tak boleh banyak tahu, sesuatu yang terjadi setiap malam yang membuat kami tercekam dan takut. Kepala pekon selalu mengingatkan, “jangan menyebarkan kabar bohong, hukumannya berat karena dianggap telah meneror masyarakat.”

Tetapi, pernahkah rakyat berkata tidak jujur? Maka kami memilih diam, jika kalian bertanya mengenai kejadian di tengah ladang tebu itu. Meski ada yang mati setiap malamnya. Kami juga akan membisu bila ditanya pemicu pertikaian di ladang tebu. Menggeleng pun enggan. Maaf, kami tidak tahu. Maafkan, kami tak menyaksikannya. Selalu jawaban kami begitu. Karena takdir kami sebagai patung.*

Bandar Lampung, 18 Juni 2004

Keterangan: dadi : sastra tradisional Lampung, gambus lunik: alat musik petik tradisional Lampung; warahan: cerita/sastra tutur masyarakat lampung; pekon: dusun (Lampung); cakak pepadun (naik helar): khusus Lampung pepadun, mengambil atau mengangkat gelar bagi seseorang maka yang bersangkutan mesti memotong kerbau, dan gelar adat pun diberikan. Namun perkembangannya kemudian, cakak pepadun tidak semata untuk orang Lampung, sebagaimana Megawati Soekarnoputri (Presiden RI) dan Taufik Kiemas pada 15 Juni 2004 memeroleh gelar sebagai Sutan Ibu Negara dan Sutan Raja Negara, dan banyak pejabat lainnya di Indonesia yang disematkan gelar; piil pesinggiri: kehormatan (harga) diri; dangau: rumah-rumahan yang ada di ladang/kebun/sawah; ulayat: tanah warisan (adat) turun-temurun; “api ubat malu, ibu?” (bahasa Lampung sai batin yang berarti “apa obat malu, ibu?). Radin Intan adalah pahlawan Lampung; jelma ekam: orang saya, atau orang Lampung.

Catatan: ketika Soeharto berkuasa, keluarga Cendana membangun sejumlah pabrik gula di daerah Menggala (kini Kabupaten Tulangbawang) antara lain Gunung Madu Plantation dan Swit Indo Lampung. Konon untuk pendirian pabrik dan penanaman tebu, masyarakat sekitar—terutama Warga Bakung dan lain-lain—“wajib” menyerahkan tanah ulayat mereka dengan ganti (sangat) rugi. Setelah reformasi, masyarakat di sana kembali hendak mengambil haknya meskipun belum berbuah hasil. Baca pula puisi “Yang Melata di Perbatasan” (Aku Tandai Tahi Lalatmu, Isbedy Stiawan ZS, Gama Media Yogyakarta, Januari 2003) dan “Di Ambang” (Menampar Angin, Isbedy Stiawan ZS, Bentang Budaya Yogyakarta, Oktober 2003).




8
Mata Elangmu Nyalang


11 Juli 2003
KAU ada di antara orang-orang itu. Duduk di kursi paling depan di dalam gedung pertunjukan yang tak begitu megah. Sebatang rokok putih—sepertinya tak pernah lepas di antara dua jarimu—seakan menjadi hiasan di bibirmu. Asapnya tak pernah lenyap.

Duduk dekat kembang pembatas antara gedung dan halaman. Matamu yang bagai elang begitu awas. Tajam. Anak ayam mana yang hendak kautangkap lalu kaubawa terbang? Aku seperti menyaksikan seekor elang yang tengah menanti lengah induk ayam demi memangsa anaknya.

Akukah yang hendak kaumangsa? “Jika kau menginginkan, suka, dan ikhlas? Mengapa tidak?” katamu. Mata elangmu nyalang. Kau benar-benar menantang. Bukan sebagaimana buah kentang yang mudah diiris-iris sampai tipis.

Namamu Bunga. Itulah yang kuketahui dari rekanmu saat tanpa dia sengaja memanggilmu keras. Telingaku yang masih baik dengan jelas menangkap dan mencatatnya kemudian dalam benakku. Meski aku justru lupa pada nama hari.

Begitulah. Bunga kemudian tumbuh di sembarang ruang. Bunga ada di taman, halaman, juga sebuah vas yang dipajang di ruangan mewah. Bunga selalu mengirimi aroma. Kepada orang yang lalu, kepada mereka yang sedang kasmaran. Kepada yang sedang putus cinta dan siap bunuh diri, tapi kemudian urung karena merasakan aroma sekuntum bunga.

Kaukah itu yang menggagalkan orang lain ingin bunuh diri?

Jangan tumbuh dekat parit. Tubuhmu akan sebau comberan. Penuh tinja dan limbah. Nafasmu sudah cukup bau racun nikotin setiap kaubicara. Betapa pun jarak kita bicara sekitar satu meter. Cuma aroma nikotin bagiku yang perokok, menjadi terasa candu! Sayang aku sudah lama meninggalkan kenikmatan rasa asap ganja. Mungkin daun ganja senikmat orang yang tengah menari sambil memukul-mukulkan dadanya.

Aku pernah singgah di Aceh. Kau tak percaya? Aku pernah memasuki ladang ganja dan memetik daunnya secukupnya. Untuk penyedap masakan. Kami anak ranah Rencong, seorang Aceh yang berkunjung ke kotaku pernah berujar, biasa menyantap nikmatnya rasa ganja dalam setiap rasa masakan. Tetapi, orang Aceh tak pernah mabuk. Tak pernah berjalan sambil bermimpi. Mereka selalu berpikir logis dan realistis. Sepertimu yang kau tunjukkan dengan sebatang rokok putih di antara kedua jarimu. Mata elangmu yang selalu awas menanti anak ayam yang lengah dari induknya.

Lalu, siapa di antara kita yang sesungguhnya dimangsa?

Ikan-ikan di bawah bagan yang berenang, tak pernah berniat sembunyi dari kejaranmu, meski mata elangmu yang nyalang telah pula siap menerkam. Sayapnya berkipas hendak turun ke permukaan air atau tanah. Siap menerkam mangsa—setelah benar-benar tertangkap—dan kemudian menjepit tubuhnya di paruhmu sambil meninggi terbang.

Kuharap kau bukan elang. Tetapi bunga yang menjadi penghias, terselip di atas telinga seperti perempuan Bali. Atau di antara kerah baju, bagai pengantin yang hendak ke pelaminan. Penyebar aroma di ruang pengantin yang tengah menikmati bulan madu.

Apa, kau tak ingin menjadi bunga? Kau tetap menginginkan sebagai elang. Terbang membelah angkasa, menukik dan menyambar mangsa. Oo, kalau itu maumu, kupanggil penyihir. Bimsalabim! Jadilah kau elang. Bermata nyalang...

Sejurus kemudian kau telah menjelma elang. Membelah angkasa raya bagai si garuda yang kini selalu tersasar dan terpuruk. Sebagaimana pesawat terbang kau mesti mendarat tidak di sembarang pacuan. Memilih tempat pendaratan yang licin serta memenuhi standar gengsi. Sungguh, hanya terhadapku kiranya kau mau kompromi.

Aku tak tahu apakah itu yang kaumaksud selera?

Biarkan orang beranggapan apa tentang pertemuan ini. Biarkan orang berprasangka apa pun mengenai kau memilih jadi elang daripada bunga. Juga soal rokok putihmu yang selalu terselip di antara dua jarimu, tak jadi soal. Bahkan apakah kau elang betina ataukah jantan, biarkan orang-orang menduga. Tetapi kutahu, kau mau mengatakan, betina atau jantan tidaklah begitu penting. “Bahkan di antara keduanya—jantan dan betina—kuikhlas menerimanya!”

Sungguh, akhirnya kau memang hidup di antara keduanya: sesekali betina pada kali lain menjadi jantan. Kaumemangsa para lelaki pada suatu waktu, dan memangsa para betina di lain kesempatan.

Sebagai elang jantan kaunamakan dirimu Jony.
Sebagai elang betina kauselalu ingin disapa Jeny.

Ini kali, pada pertemuan tak disengaja, kau menjadi elang betina. Kupanggilmu Jeny dengan sangat mesra. Kausuka sekali. Bibirmu yang bersepuh merah, aduhai menggodaku. Aku mabuk, seperti tatkala aku mengisap tembakau terbuat dari daun ganja.

Aku melayang, Jeny. Aku terbang sebagaimana pesawat yang membelah angkasa. Kota-kota menjadi amat kecil, sungai bagai ular nan panjang. Kita berpacu bagai kuda di awan. Kuda terbang. Kuda yang hendak selalu mengalahkan waktu. Kita terbang dan singgah di berbagai kota. Menancapkan kaki-kaki di setiap pertemuan. Sprei kusut, ranjang kumuh. Kamar pun temaram.

Ah, tidak! Kau tetap elang dengan matamu yang selalu nyalang. Pandangan yang senantiasa awas. Menukik dan menangkap mangsa, selanjutnya mengepakkan sayapmu kembali. Adakah aku kini mangsamu?

“Kita sama-sama elang, bagaimana mungkin dapat saling memangsa?” kau berbisik. “Kau dan aku malah saling mencabik. Waktu pun berdarah. Kenangan-kenangan menjadi hitam...”

Jeny, selalu kuinginkan kau membawaku terbang. Kepakkan terus sayapmu. Pacu tubuhmu bagai kuda yang memacu debu. Kuda terbang, kuda di ranjang. Kuda yang membawa selalu kenangan-kenangan. Di padang Sumbawa. Di padang yang berpasir entah di mana. Hiruplah embun yang luruh di pagi ini, setelah subuh merekah. Kita mandi. Berbasah rambut.

“Jeny, apa maumu datang ke mari. Lalu memanggilku dan mengajakku terbang?” kataku. Siang terasa panas sekali. Sebatang rokok yang masih terselip di antara dua jarimu, kurasakan isapan daun ganja. Aku telah mabuk dan jatuh cinta pada Aceh. Karena di sana tubuhku pernah melepuh. Bersama ratusan orang yang juga melepuh setelah sekarat di tikam ujung peluru.

Ayo kita terbang ke sana Jeny. Mengenang Fansuri, Teuku Umar, atau pun Tjut Nyak Dien. Jangan sebut Puteh lagi di depanku. Aku benar-benar cemburu. Tersebab kaupernah pula membawanya terbang. Menjadi kuda tunggangan. Kini Puteh tersandung, Ia bakal dimasukkan ke sel. Ia telah menilep uang rakyat hanya untuk terbang bersama pesawat capungnya. Jangan-jangan ia pernah membawamu?

Apa urusanmu aku pernah atau tidak pernah bercinta dengannya? Buktinya sekarang aku bawamu terbang. Pandanglah mataku yang menyala. Lihatlah mata elangku yang nyalang. Tidakkah kaudapatkan kasihku tak bertepi di sana? “Ini kudaku, ia akan terbang. Ia akan mendarat di ranjang...” katamu yakin.

Kemudian aku diam. Tak ingin berbantah hanya urusan cemburu. Lagi pula aku tak kenal dengan pejantan itu. Hanya sekali melihat wajahnya dalam sebuah foto, entah kutemukan di mana. Mungkin di sebuah surat kabar, mungkin pula di album milikmu.

“Oke, Jeny, oke. Aku akan melupakan lelakimu itu. Untuk semu kecemburuanku. Itu lebih baik demi kemesraan kita, untuk suatu persahabatan yang lama. Bukankah begitu?”

“Aku setuju. Kita memang mesti melupakan hal-hal yang sudah menjadi kenangan. Masa lalu bukan untuk diungkit, dikenang, ataupun disoalkan. Ia akan menghambat langkah kita. Kau tahu, banyak orang-orang besar melupakan masa sakitnya tempo doeloe. Tetapi, kita sebagai pembaca sejarah, bolehlah mengenang biografi orang-orang besar itu sebagai spirit untuk maju...”

“Tetapi aku tak setuju kalau masa lalu harus kita kubur. Justru dengan masa lalu, kenangan-kenangan yang pahit atau pun manis, maka kita bisa berkaca darinya. Kau tak mungkin ada dan merajut kisah di sini, kalau bukan untuk menulis kenangan. Iya kan?”

“Setiap orang menulis kisah, setiap orang punya kenangan dan masa lalu. Cuma kita juga punya hak mengubur masa lalu, menghapus segala ikhwal kenangan itu. Kita hanya membikin sejarah dan kenangan, tapi tak harus kita mengenangnya. Berbuat untuk kemudian melupakan, bisa jadi mengajarkan kita untuk tidak pongah.”

“Aku mengerti. Aku faham, Jeny...”

Setelah itu aku bergumam. Membatin, tepatnya. Karena aku tak ingin melupakan apa yang telah kuperbuat. Melupakan kenangan dan sejarah yang telah kutulis dalam suatu masaku. Dengan begitu, aku bisa bercermin. Apakah aku akan mengulang melakukannya, ataukah mencampakkannya. Sebagaimana pepatah, ada masanya kita jangan terpuruk pada satu lubang yang sama dalam dua masa.

“Kau takut melakukan dosa?”

“Yang kutakutkan adalah hukuman dari perbuatan itu. Aku menjawab. Maaf, kalau aku membantah pendapatmu. Dosa memang hal abstrak. Tetapi, dampak dari itu yaitu hukuman, ia konkrit. Itulah masalahnya.”

Setelah itu kau diam. Kau memintaku untuk menjauh segera dari tubuhmu, juga mencium aroma bungamu. Kau menurunkan aku di suatu padang, bukan di atas ranjang. Lalu, ucapan “selamat tinggal” kaukalungkan di leherku. Dan, pesanmu: “Jangan sampai pertemuan kita ini jadi kenanganmu. Lupakan bahwa kita pernah bertemu, terbang, dan...”

Aku ternyata tak bisa menghapusnya...


7 Agustus 2003
AKU heran mengapa aku begitu sulit melupakanmu. Mata elangmu yang nyalang. Pandanganmu yang selalu hendak memangsa, seakan mengikuti ke mana aku pergi. Dalam tidurku, matamu nyalang memandangku buas. Ingin memangsaku. Baiklah, kalau kaumau melumatku, sekaranglah waktunya. Bahkan, sejak dulu aku sudah siap. Menyiapkan segalanya.

Namun sebelum kau melumatku, izinkan aku mengatakan sesuatu. Sesungguhnya aku tidak mengenalmu. Kita tak pernah berjumpa sebelum ini. Jadi kau tak punya alasan untuk memangsaku. Apa yang dapat kuberikan padamu, juga kepercayaanku, jika kita belum pernah berkenalan atau pun bersua. Sebelum pertemuan saat ini?

Jangan mengigau! Katamu. Kau hanya bermimpi tak pernah bertemu denganku. Kau pelupa. Ya. Penyakit lupamu sudah akut sekali. Padahal belum lagi setahun kita bertemu, kau sudah lupa denganku. Bukankah dulu aku pernah membawamu terbang. Menaiki sayap elangku. Kau pernah terpenjara dalam mata elangku, tak berkutik dalam sorot nyalangku yang selalu menyala-nyala. Bagaimana kaubisa lupa? Aku tidak yakin. Boleh jadi kau sengaja ingin melupakan apa yang telah terjadi padamu?

Aku benar-benar tak mengerti. Kau bersikeras bahwa kau mengenalku. Bahwa kita pernah bertemu dan terbang bersama sayapmu, menunggangi kuda terbangmu dan singgah di sembarang ruang. “Kau siapa sih sebenarnya?”

“Aku Jeny. Apa kau benar-benar sudah lupa padaku? Baiklah, akan kupaksa kau untuk mengingat...”

“Bagaimana mungkin? Namamu saja aku tak tahu...”

“Namaku Jeny. Elang betina bermata nyalang yang jika memandang selalu menyala-nyala. Aku kuda betina dengan sayap-sayapku yang pernah membawamu terbang...”

“Aku hanya tahu kuda yang berpacu kencang, yang meninggalkan debu dari kaki-kakinya saat melangkah.”

“Akulah kuda itu. Apa kau benar-benar sudah lupa?”

“Aku tak mengenalmu...”

“Aku elang betina. Mataku nyalang menyala-nyala...”

“Aku hanya pernah melihat elang yang terbang di atas kandang ayam lalu menukik dan menyambar anak ayam...”

“Aku yang menyambarmu. Kau tak berdaya ketika kubawa terbang. Menyaksikan kota-kota yang kecil di bawah sana. Kita kemudian bersarang di ranjang. Membuahi kepompong...”

“Aku tak pernah!”

“Pernah, sayang. Apa kau lupa? Apakah kau menginginkan aku memaksamu agar ingat lagi?”

“Tidak.”

“Ya.”

“Jangan...”

10 Agustus 2003
AKHIRNYA kita benar-benar dalam satu perjalanan. Menuju suatu kota yang sebelumnya tak kita kenal, karena kita tak pernah menyinggahinya.

“Ini kota tak akan pernah menandai. Maka kau harus membuang penyakit lupamu. Kita nikmati pertemuan ini. Mari...”

“Kau siapa?”

“Jeny, elang betinamu. Yang pernah membawamu terbang. Yang memerangkapmu dalam mata nyalangku yang menyala-nyala.”

“Baiklah aku menyerah sekarang. Dekaplah aku ke dalam sayapmu. Naikkan aku dan paculah kudamu yang bersayap itu...”

“Sekarang kita sudah terbang. Hati-hati ada pemburu. Nanti kau cemburu...”

Diam. Kukatakan padamu, aku tak mau lagi cemburu. Pada siapa pun yang akan menggodamu. Lalu, kita masuki laut. Kita susuri kota asing ini, siang dan malam. Lihatlah, betapa banyak mata elang yang nyalang menyaka-nyala. Bagai percikan api dari kepala korek api. Memanaskan tubuh kita yang semula dingin.



13 Agustus 2003
CUKUPLAH kita bertualang di angkasa ini. Aku mengkhawatirkan sayapmu akan melepuh oleh terik matahari. Mata nyalangmu akan kuyu di bawah matahari yang menyala. Aku tak ingin kau mati dalam pelukanku. Aku pun tak ingin tak berdaya dalam dekapan sayapmu. Mata nyalangmu seperti ujung pisau, menyilet-nyilet tubuhku. Darahku...



14 Juli 2004
“HAI!”

“Siapakah kau? Aku baru mengenalmu...”

“Aku elang jantan, mataku yang nyalang pernah memperdayakanmu. Suatu waktu...”

“Aku tak mengenalmu. Di mana kita pernah jumpa?”

“Aku Jony. Apa kau sudah benar-benar lupa padaku? Kita pernah bejumpa di suatu kota tak bernama. Kau telah menyatakan begitu cinta padaku...”

“Tidak!” aku berteriak. “Bagaimana mungkin aku mencintai elang jantan? Aku lelaki...”

“Kenyatannya, kita pernah bercinta?”

“Jangan memfitnahku...”

“Kenyataannya?”

“Aku tak akan mencintai sejenis...”

“Kau betina. Aku jantan. Mengapa tidak mungkin kita saling mencintai dan bercinta?”

“Aku jantan, tahu! Ingat itu, aku tak mungkin bercinta dengan satu jenis. Aku bukan ho...”

“Apa pentingnya warna kelamin?”

Dan, aku pun tak mampu memberontak. Sayapmu amat luas dan kokoh. Aku masuk dalam sarung-sayapmu yang maha lebar. Kita pun bergumul. Aku mencari pintu keluar yang bukan pintu masuk.



21 Juli 2004; 01.23
“ADA apa denganmu?”

Aku tersadar dengan nafas masih tersengal-sengal. Ternyata lamunanku sudah demikian jauh. Aku baru saja dibawa dalam angan-angan masa lalu. Lamunan panjang. Terbang. Menyinggahi ruang dan kota-kota yang asing dan tak bernama. Lengang...

Berkali-kali aku digoda oleh elang betina bermata nyalang yang setiap menyorot akan menyemburkan nyala api. Namanya Jeny. Dan berkali-kali pula, aku disinggahi elang jantan bermata nyalang yang setiap memandang ada nyala di sana. Namanya Jony. Aku tak berkutik. Tak bisa mengelak. Aku bergidik. Tak mampu menghindar. Menampik bencana ini.

“Kau melamun lagi ya, mas?” istriku berujar lagi. Menyadarkan aku. Lamunanku berantakan.

Aku diam.

“Masih juga bertemu dengan elang betina dan jantanmu yang matanya nyalang dan selalu menyala jika memandangmu?”

Aku tak sanggup menjawab.

“Sudahlah lupakan semua itu. Jangan biarkan kenangan lama mengganggumu. Aku juga sudah melupakan masa lalumu. Yang pahit dan manis. Yang benderang dan temaran...”

Aku menatapnya.

“Mari kuletakkan kau di atas ranjang...” istriku menggoda.

“Untuk apa?”

“Aku punya kuda. Kuda yang bisa terbang...”

“Tapi...” Aku tak mampu meneruskannya. Tenggorokanku tersekat.

“Masih juga kaupikirkan elang itu? Dia hanya rekaan...” ia mengingatkan. “Akulah elang itu, yang setiap saat datang padamu...”

Aku ingin membantah, mau kukatakan sesungguhnya elang itu ada dan bukan hasil anganku. Cuma istriku sudah menukikkan paruhnya di tengkukku. Kemudian membawaku terbang dan melemparku ke atas ranjang. Aku direbahkan dengan tubuh telentang. Tanganku mengembang. Mulutku berbusa. Aroma ganja menyebar dari mulutku. Aku mabuk, sayang. Mabuk oleh cintamu...

Lampung, 21-22 Juli 2004







9
Meniti Sepi,
Menanti yang Pergi


KAU tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu? Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu?

Malam telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kaupikirkan? Tentang anak-anak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain? Kawin dan beranak? Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen?

Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu.

Dan, setahun lalu anak lelaki kita diterima bekerja di kota M. Cukup jauh dari rumah ini. Amat melelahkan apabila dengan kenderaan mobil jika ingin menemuinya. Hanya dengan pesawat, itu pun ditempuh dengan perjalanan tiga jam lebih di udara ditambah tak kurang tujuh jam menempuh darat dan selat. Pasti melelahkan. Kau mendesis. Sepertinya, itulah penyebab mengapa kau sedih sekali waktu itu. Berturut-turut anak kita ke luar dari rumah ini, menggores kesepian di hati.

Sebenarnya kita berhapar mereka bekerja dan berjodoh di kota ini saja, kota kelahirannya. Biar selalu dekat, selalu dengan mudah dapat diawasi. Cuma kita tak bisa menentukan rezeki dan jodoh, juga (jangan lupa!) maut. Sama seperti kenapa aku mengawinimu, mengapa kau mau menjadi istriku. Apa lagi yang menarik dariku? Apa pula yang amat berkesan pada tubuhmu yang membuatku tergila-gila waktu jejaka dulu?

Sudahlah, tak perlu nelangsa. Tersenyumlah untuk segala kesunyian. Tertawalah buat kesedihan dan kesepian. Kau dan aku, bersyukurlah, masih ada. Cinta dan kasih sayang tak akan (pernah) pergi. Lukisan Picasso dan Jeihan masih bisa membunuh lara kita. Perempuan-perempuan Jeihan dengan kedua matanya yang selalu gelap, pelajaran bagus buat kita yang terasa kian menua.

Ah, tidak! Usia kita belum 50 tahun. Kau masih sintal bagiku. Aku “si Kuku Bima” dalam berbagai pertarungan. Terbukti dalam berbagai pergumulan, tak ada yang kalah atau pun menang di antara kita. Selalu saja kita bisa menyelesaikan pertarungan dengan keringat di tubuh layaknya danau. Saat itulah kau mau tersenyum untuk pertarungan kita. Dan, aku terpuasi. Setelahnya, sepi kembali menyergap. Kepiluan bertandang. Kerinduan pada anak-anak (kita hanya punya dua anak dari perkawinan sepanjang 23 tahun) membuat kita tak lagi berkata-kata. Bisu. Ruang tamu diam. Ruang makan berkabut. Kamar tidur berselimut sunyi. Suara televisi yang malam-malam terakhir ini menayangkan diskusi dan debat calon presiden, tak pernah menarik kita agar terhibur. Malah kita dibuat bebal. Janji-janji yang verbal.

“Kenapa? Apa yang terjadi denganmu?” aku tak tahu pertanyaan tersebut sudah berapa kali kuajukan padamu. Kau tak juga bersuara. Hanya meremas-remas jarimu. Atau menutup wajah dengan selimut. Selalu kubayangkan, di balik selimut itu aku seperti menyaksikan tarian maut.

Jangankan tersenyum, bersuara pun kau tak. Apakah kini tanpa anak-anak di sisi kita, kau benar-benar merasa sepi? Bukankah aku bisa menggantikan mereka? Aku senantiasa mengihiburmu dengan kisah-kisah humor. Dengan lelucon-leluconku yang saat berpacaran kau bisa senyum, bahkan tak jarang kau terkekeh? Adakah leluconku sekarang tak mampu lagi menarikmu untuk sekadar menyunggingkan bibirmu yang (masih terlihat) ranum?

Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berkali-kali kurangkai lelucon. Kau bahkan berang. Tak mau dekat denganku. Tidur di kamar Selvi. Kau merajuk. Aku selalu membujuk. Tetapi, kau tetap ingin tidur sendiri di kamar sebelah. Bersama boneka dan mainan Selvi yang ditinggalkannya setelah ia dibawa suaminya. Lalu, siapa yang benar-benar merasa sepi semalaman? Akukah? Kaukah itu?

Tiada jawaban yang membuat aku puas. Kenapa di masa senja perkawinan kita, yang kita rangkai adalah pertikaian? Saat cinta di paruh ujung kebersamaan kita dalam satu biduk rumah tangga, perilaku kita menjadi aneh. Kita mengutuk kesepian yang tak mendasar. Perkawinan yang terlalu cepat merebut Selvi dari dekapan kita, itukah yang senantiasa kausesalkan? Bukankah suatu kelak, waktu akan memisahkan kita dari mereka? Juga perkawinan kita, betapa pun sudah sedapat kita untuk mempertahankannya.

Pandanglah lukisan Jeihan di sudut ruang tamu. Sekali-sekali kau amati lagi karya Picasso yang indah itu. Tafsirkan menurut hatimu apa yang ada di balik mata gelap dari perempuan Jeihan tersebut. Tak perlu sungkan salah menafsirkan. Karena demikianlah karya seni: ia menjadi kaya karena ragam pemaknaan tafsir. Kuharap dengan begitu, kau akan mendapati keriangan. Sepimu akan hilang, berganti keramaian. Seperti warna-warna dalam kanvas Picasso. Sebagaimana lorong pekat penuh pengharapan dalam mata perempuan-perempuan Jeihan. Seperti diriku yang selalu mendapatkan itu, setiap kali aku memandangi karya lukis dari seniman besar itu.

Matamu nanar. Penuh basah. Selalu kuinginkan leluconku atau kisah-kisah humorku akan membunuh kesepian yang terpantul dari wajahmu. Biar hari-hari kita, mungkin hanya sisa dari langkah perkawinan kita ini, kembali mendapati matahari. Pagi hari. Saat kedua telapak kakimu membelai sisa embun di pucuk rumput taman di depan rumah. Kau memang suka sekali menyepuh kaki dan betismu dengan sisa embun itu. Sejak muda dulu.

Kau pernah bilang, sisa embun banyak manfaat bagi kulit dan tulang. Namun, menjadi petaka apabila embun yang luruh terkena kepala. Itu sebabnya, katamu, para pelancong malam dan centeng selalu bertopi. Menutup kepalanya dari embun malam.

“Itu sebabnya, mengapa anak-anak balita yang belum juga berjalan pada usia yang mestinya sudah bisa melangkah, orang tuanya akan mengusap kaki anaknya ke rumput berembun.” Waktu itu, memang Selvi belum dapat berjalan pada usia hampir dua tahun. Dan benar, mungkin karena memang sudah waktunya, anak kita bisa melangkah dan kemudian jalan. Perasaan kita senang tidak terkira.

Kemudian kaukabarkan pada kedua orang tuamu tentang khasiat embun yang membuat Selvi bisa berjalan. Kaupuji ibumu, karena saran dialah agar Selvi dibawa setiap pagi ke rumput yang menyisakan embun supaya cepat jalan. Aku tak bisa menyembunyikan kegiranganku. Meski aku tak terlalu percaya kalau embun dapat mempercepat anak yang lambat berjalan. Tetapi, aku tak hendak menunjukkan ketidakpercayaan itu. Aku tidak ingin melihatmu kecewa. Seperti hari-hari belakangan ini.

Karena itulah, kalau kau mau tahu, supaya kau mau tersenyum aku sering mengobrol dengan tetangga atau teman-temanku di kantor untuk mencari kisah lelucon dan cerita humor. Bahkan aku masuki toko-toko buku, mencari bungarampai kisah humor dan membacanya di sana. Tentu secara diam-diam, karena pelayan toko akan memamerkan wajah tak sukanya kalau bukunya dibaca atau plastik pembungkusnya disobek. Setelah kudapat, aku akan menuturkan padamu. Tak lain supaya kau terkekeh, setidaknya tersenyum untuk hari-hari kita yang memang terasa sepi. Hanya kau tak pernah terpancing, kau tak juga terpingkal ataupun tersenyum. Ada apa dengamu?

“Aku kangen sekali dengan Selvi…” suaramu lirih. Pelan. Hampir tak kudengar. Aku nyaris tak percaya ketika kuyakini kau bersuara. Benarkah itu?

“Apa?” Sebenarnya aku ingin kau mengulang ucapanmu. Ya. Aku ingin sekali lagi mendengar suaramu. Kau sudah lama pelit pada kata-kata. Padahal, semasa muda dulu kau paling tangkas berbicara. Itu sebabnya kau menyukai diskusi. Ada saja bahanmu untuk membuka dialog. Di rumah ini, denganku, atau dengan anak-anak kita. Setelah itu, kau kuasai pembicaraan. Mengagumkan.

“Aku rindu Selvi. Ingin ketemu cucu. Lagi apa ya mereka?” kau ulang, tapi dengan kata-kata yang lain. “Apa Selvi juga kangen dengan kita? Bagaimana dengan Yanto, kenapa dia tak menelepon atau mengirim surat?”

“Benar kau rindu?” aku bertanya. Kuingin sekali lagi kau mau bersuara. Namun, beberapa menit setelah kunanti ternyata kau hanya diam. Membisu? Ah, aku mengkhawatirkan kau akan menutup mulut lagi. Tak bicara. Merajuk. Tidur di kamar sebelah. Mendekap mainan dan boneka Selvi. Seperti biasa.

“Aku yakin Selvi pasti kangen sama kita. Cuma mungkin dia belum punya waktu ke mari,” lanjutku kemudian setelah tak kutemukan isyarat kau mau berkata. “Mungkin Yanto sangat sibuk dengan pekerjaaan di kantornya, makanya tak sempat menelepon ataupun berkirim surat. Tetapi, yakinlah, mereka sehat.”

Diam. Kau menunduk. Seperti sedang menyusun kata-kata, sebelum kauucapkan. Kutunggu. Sekejap, dua kejap. Tak juga keluar. Aku kembali gundah. Tentu kau akan mengakhiri percakapan ini. Malam ini. Sebelum kemudian kita lelap. Tidak dilalui dulu dengan bercinta…




KAU tidak juga tersenyum, meski aku sudah berkali-kali membikin lelucon. Sebenarnya ada apa denganmu? Kugali-gali lagi cerita humor dan kukemas semenarik mungkin. Tapi, tetap saja kau tak terpancing. Pikiran apa yang mengganggu benakmu?

Aku mulai kehabisan sabar untuk segera mungkin melihatmu tersenyum. Ayo sayang, senyumlah untuk usia senja kita. Jangan kaugenapkan sepi ini dengan ulah anehmu. Bayangkan bahwa kita baru menikah, bahwa kita sedang menikmati bulan madu. Jadilah merpati, yang muda dan aduhai, demi warnai kembali semangat kuku bimaku. Kepakkan sayapmu untuk perkawinan kita yang mulai masuk ambang.

Lalu kuajak kau memandang perempuan Jeihan. Kuingin kau seperti perempuan dalam lukisan itu, tapi tidak untuk kedua matanya. Bola matamu lebih indah, itu salah satu alasan mengapa dulu aku kesengsem padamu. Ayolah ke ruang depan, sudah lama kita tak menikmati perempuan Jeihan. Aku mengajakmu. Hendak menggandeng tanganmu, seperti dulu kupegang tanganmu tatkala menuju pelaminan seusai akad nikah. Tetapi, kenapa tak juga kau beranjak dari ranjang itu?

“Aku tak lagi muda, tidak seperti perawan di kanvas itu,” katamu. “Sejak Selvi menikah aku merasa bukan lagi muda, dan begitu ia melahirkan aku merasa makin tua. Aku pun menyandang sebutan oma…”

“Ya. Setiap orang pasti akan menuju tua, itu alami. Seperti siang berubah malam, itulah bukti bahwa hidup ini fana—berjalan. Lalu, mengapa kau gundah dengan perubahan?”

Aku tak gundah. Katamu—tepatnya membantah pendapatku. “Aku cuma menyesali mengapa Selvi begitu cepat meninggalkan kita. Andainya dulu kau, sebagai bapaknya, mau menunda pernikahannya tentu tidak seperti ini jadinya. Aku tak begitu cepat menghadapi kesepian seperti ini,” lanjutmu.

“Aku tak bisa menolak jodoh, seperti kita tak mungkin mengingkari usia. Jodoh bagi Selvi sudah datang pada kita, dan aku sebagai bapaknya hanya merestui. Cuma merestui. Dengan begitu, kuharap ia akan bahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya,” jawabku lembut. Aku tak ingin kau tersinggung, kalau aku ikut bersuara keras.

“Kenyataannya?”

“Selvi bahagia sekarang dengan suami dan anaknya. Aku yakin itu…”

“Kenapa ia tak mengabarkan kebahagiaannya, kalau dia benar bahagia?”

“Apa kau lupa, ia sering meneleponmu? Dua malam sekali?”

“Tapi, hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Batinku berkata lain: ia tak bahagia hidup di perantauan. Ia tak pernah jauh dariku…”

“Sekarang ia harus mulai belajar hidup mandiri. Saatnya dia lepas dari ketiak ibunya. Dan, kau juga mestinya menerima kenyataan ini, seperti busur melepaskan anakpanah. Jangan dia kaubebani dengan kekhawatiran-kekhawatiranmu, yang mungkin saja tak begitu benar,” kataku kemudian. “Jangan perasaan yang ada dalam dirimu untuk mengukur kebahagiaan orang lain. Aku kok sangat yakin Teuku Ashar Pasa tak menyia-nyiakan anak kita.”

Kau seperti ragu untuk mengangguk. Diam. Kembali menunduk. Ah, sudah lama memang rumah ini sepi. Seakan tiada penghuni. Tak ada tawa dan pertengkaran kakak-beradik. Rumah yang kini benar-benar sunyi. Sepi yang memagut setiap waktu.

“Besok pagi aku mau menemui Selvi. Aku sudah benar-benar rindu.” Tiba-tiba, seperti lontaran peluru, kau berujar.

Apa? Aku kaget mendengarnya. “Kau pikir, rumah Selvi hanya dua atau tiga kilo meter? Kita mesti butuh waktu sekurangnya 12 jam!”

“Tak soal. Yang penting aku bisa temu dia. Juga cucuku.”

Kalau kau sudah meminta, sulit aku membujukmu agar menunda. Maka kutelepon Selvi. Malam ini juga. Kuutarakan keinginan ibunya.

“Biar Selvi saja yang pulang. Ibu tunggu saja di rumah, aku yang pergi yang akan pulang. Aceh bukan dekat…”

“Tapi, ibumu berkeras. Dia yang mau menemuimu.”

“Jangan ayah. Biar Selvi yang pulang. Aceh belum bisa menjamin nyawa orang. Di sini kematian sama dekatnya dengan urat leher kita…” kata Selvi.

“Tapi…”

“Lagi pula, aku sekalian pulang memboyong Upita. Aku tidak tahan hidup di kota yang tak bisa menjamin keselamatan. Teuku Ashar tak mau meninggalkan kampung kelahirannya, meski perang di Aceh belum berhenti. Kata dia, kalau harus memilih ia lebih memilih merawat ibunya daripada bersamaku dan Upita. Ya, itu pilihan dia. Dan, Selvi juga punya pilihan…”

“Jadi, maksudmu…”

“Ya. Selvi mau tinggal bersama ibu dan ayah lagi,” potongnya. “O iya, mana ibu. Biar Selvi bicara langsung.”

“Jangan, nak. Malah ibu nanti sakit kalau mendengar ceritamu. Ayah saja yang menyampaikan kalau ibu tak usah berangkat, karena kau akan pulang besok dengan pesawat pagi. Kami akan menjemputmu di Bandara Radin Inten. Telepon saja kalau kau sudah sampai di Cengkareng.” Lalu pesawat telepon kumatikan.

Sebelum tidur, kusampaikan maksud Selvi. Tapi, tak kuberi tahu kalau ia akan kembali dan tinggal bersama kami seperti dulu. Cukuplah aku dan Selvi yang tahu, bahwa ia akan hidup menjanda. Barangkali juga hingga membesarkan Upita. Entahlah.

Dan, istriku merasa senang mendengar kabar Selvi akan pulang besok. Berulang kali ia tersenyum, tak henti-henti kulihat wajahnya sumringah. Malam ini ia mau menemaniku tidur. Kuharap ia tak lagi menyesali sepi. Perubahan itu yang membuatku sangat bahagia. Aku seperti kembali muda. Menancapkan kuku bima di bulan limau.


Lampung, 12 Juli 2004; 00.35






10
Riwayat Sebelah Mata


ANDA mungkin tidak percaya kalau sebelah mata bagian kiriku lepas. Pada saat bersamaan seekor kucing berbulu hitam-putih lalu dan menerkam mataku yang jatuh, kemudian membawa lari. Sejak itu aku memburu sebelah mataku yang dibawa kucing kampung (aku sengaja menggunakan istilah “kampung” yang biasanya untuk menyebut anjing yang tak memiliki tuan, sebab kucing ini pun bukan kucing piaraan) itu yang bersembunyi entah di mana.

Aku berharap cemas kucing itu tak langsung memakan sebelah mataku. Kalau itu terjadi, selamanya aku hanya memiliki satu mata. Aku berdoa, kucing itu cuma menjadikan mataku itu sebagai mainan—seperti kucing-kucing lain yang riang memainkan bola misalnya—dan tidak suka memakan biji mata.

Entah bagaimana sebabnya sebelah mataku melompat. Aku tak ingat benar. Mungkin mata kiriku itu sudah bosan bertengger di situ karena selalu kugunakan untuk melihat hal-hal yang semestinya tak kulihat. Kalau pun aku mampu menulisnya untuk Anda kesempatan ini, pastilah riwayatnya panjang. Tak akan cukup lima atau sepuluh lembar kertas. Dengan sebelah mata yang masih berfungsi, sungguh amat menyiksa. Aku tak lagi sempurna melihat sesuatu, apalagi yang indah-indah.

Pernah kacamataku retak dan aku tak sempat menggantikan sebelah kaca yang rusak itu, aku memandang alam tak lagi sempurna. Seperti ada penyakit yang bersemayam di mataku. Apalagi kini malah sebelah mataku yang hilang. Aku tidak lagi dapat bayangkan bagaimana memandang hal-hal yang indah menawan, cuma dengan satu biji mata. Mungkin tak jauh beda dengan para pemijit tunanetra yang setiap malam lalu di depan rumahku. Mungkin lebih beruntung mereka, sekalian tak mengetahui dan merasakan indahnya semesta ini.

Istriku tentu saja senang dengan peristiwa ini. Ia berharap dengan satu biji mata yang kini kumiliki, aku tak lagi sering ke luar rumah. “Sekarang baru kaurasakan pentingnya mata. Iya kan?” ujar istriku suatu malam, sebelum kami terlelap.

“Dari dulu juga aku tahu itu, mata sangat penting,” sanggahku setengah berang. “Ngomongmu itu macam-macam, bukannya ikut memikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan sebelah mataku itu. Cobalah kau ikut membantuku mencari kucing keparat itu!” suaraku makin meninggi.

“Di mana aku harus temukan kucing itu? Kalau orang hilang bisa diiklankan di media, nah ini kucing,” timpal istriku. Aku tahu ia tak acuh tentang sebiji mataku yang dibawa lari kucing. Ia berharap aku tak lagi memikirkan hilangnya sebelah mataku.

Aku memandangnya kesal. Istriku mengetahui perubahan sikapku. Segera ia berujar, tepatnya meralat dan menyarankan. “Kenapa tidak memakai kacamata saja, mas, kalau ke luar rumah?”

“Kau pikir dengan kacamata, dapat menyelesaikan sebiji mataku yang hilang itu? Tetap saja orang menganggapku cacat!” aku protes. Sungguh, sebelum peristiwa menyakitkan ini, aku tak pernah membayangkan bakal kehilangan sebelah mata. Mimpi pun aku tak pernah. Aku tak dapat bayangkan kalau kenyataan kini aku tengah memasuki masa gelap. Seperti para tunanetra yang sewaktu kecil acap kugoda jika mereka lalu di depanku.

Oh! Betapa sedihnya aku. Kini aku tak dapat melihat dunia nan indah dengan sempurna. Setiap melihat sesuatu, seperti memandang istriku yang kutahu masih tetap cantik, walau dengan memicing dan memiringkan kepalaku. Tentu sangat menyiksa, bukan? Sebab itu, aku dendam pada kucing yang membawa lari sebiji mataku. Aku mengutuk mengapa riwayat seperti ini menimpaku.

Sialnya, ketika istriku membawaku ke dokter, para medis tak dapat menambal rumah korneaku. Para dokter kehabisan akal cara yang paling baik dapat menutup bolong kelopak mataku. Mereka menyarankan aku berobat ke Singapura saja. Karena negeri Singa itu, ini menurut para medis kita, terlengkap dan para dokternya hebat-hebat di Asia. Berarti aku sia-sia kalau mencari rumah sakit di Jakarta sekalipun untuk soal ini.

Alhasil kini kelopak mataku bolong. Hal itu yang membuat anakku kerap ketakutan. Seperti hantu bermata bolong, anakku mengomentari. Sejak itu pula aku tak lagi ke luar rumah. Aku juga meminta cuti kerja selama biji mataku belum kudapatkan. Ke luar rumah aku hanya berani pada malam hari. Setiap malam kerjaku cuma memburu kucing sialan yang telah mengumpetkan mata kiriku. Aku memburu sampai ke pelosok-pelosok kampung, bahkan mencapai beberapa kampung lain. Tetapi belum juga kujumpai kucing itu, juga sebelah mataku yang kuanggap telah hilang itu. Sudah enam bulan lebih sepuluh hari...

*
DOKTER spesialis mata langgananku menawarkan mengganti mataku yang hilang itu dengan sebiji mata orang lain. Tetapi, menunggu orang yang wafat dan berwasiat mendonorkan mata kirinya, soal nasib baik alias untung-untungan.

“Apakah itu ada, dokter?”

Tersenyum. “Cuma selama ini orang mendonorkan sepasang mata dan biasanya ia tak mau sebelah matanya dipakai si A dan biji mata yang lain oleh B. Itu masalahnya. Selain itu, setahun belum tentu ada...” jawab dokter itu.

“Tak apa, dok. Saya akan sabar menanti orang yang mau donor mata...”

“Biar pun setahun, dua tahun, sep....”

“Tiga puluh tahun pun saya tunggu, dok!” kataku bersemangat. Tetapi, tiba-tiba aku berpikir ulang, baru delapan bulan aku tak punya mata kiri aku mulai bosan. Harapan ada orang mendonorkan mata—hanya sebelah mata—akhirnya kulupakan. Dokter spesialis mata langgananku itu tak juga mengontakku. Ia dimutasi ke rumah sakit di kota lain.

*
AKU mulai melupakan musibah sebelah mataku, tetapi aku tak pernah melupakan kucing yang membawa lari. Setiap melihat kucing lalu, segera kuamati dengan teliti. Setiap langkah kakiku bergerak, mataku yang kini sisa satu mensigi setiap jengkal tanah. Aku tetap berharap aku dapat menemukan kembali sebelah mata kiriku. Walau harapan tersebut amat kecil.

Dengan sebiji mata yang kupunya, keluargaku yang merasa diuntungkan. Soalnya aku mulai betah tinggal di rumah. Kasihsayangku pada anakku yang cuma seorang kian berlimpah. Perhatianku pada istri yang sebelumnya terabaikan, kini sepenuhnya kucurahkan. Entah mengapa, aku sekarang begitu cemas dicampakkan oleh keluarga. Terkadang pikiranku jauh menerawang, suatu waktu istriku mencaciku, “Picek, buta, keluar dari rumah ini. Sewaktu kamu gagah, kau biarkan kami merana kesepian karena rindu. Sekarang gantian saya yang mengusirmu!”

Aku selalu menumpahkan perhatian pada mereka. Sangat besar bahkan, yang membuat istriku pernah berkomentar: “Kau berlebihan. Bukan cara itu yang kuharapkan...”

Walau begitu, aku tak berubah. Caraku menunjukkan bahwa aku memerlukan perhatiannya, memang begitu. Aku memang menginginkan sekali pada saat seperti ini, istriku selalu menjagaku. Tetapi, apakah itu mungkin? Sampai kapan ia bertahan sabar mendampingi suami yang kini cuma bermata satu? Muncul rasa cemasku. Aku menunggu waktu saja, istriku bakal mendepakku kemudian menikah dengan lelaki lain yang lebih gagah dan tak cacat. Sebelum aku diperlakukan begitu, aku segera keluar dari rumah: meninggalkan istri dan anakku. Aku akan pulang setelah kudapatkan sebelah mataku.

“Jangan pergi, mas. Jangan tinggalkan kami,” harap istriku, ketika dia tahu aku akan pergi dari rumah. “Teganya kau pergi, padahal aku amat menyayangimu. Aku juga tak memasalahkan apakah kau cacat atau tidak. Sejak dulu sampai kini, cintaku tak pernah berubah...”

Aku diam. Walau hatiku meragukan ucapannya. Benarkah cintanya masih seperti dulu, ketika aku belum kehilangan sebelah mata? Bukankah aku kini seorang cacat, bermata satu? Bahkan, kelopak mataku tampak bolong. Dan tak ada medis yang mampu menutup bolong itu?

Diam-diam, saat mereka terlelap, aku keluar. Aku mulai memburu kucing berbulu hitam putih yang telah membawa lari sebelah mataku. Aku susuri setiap jengkal tanah, siapa tahu kudapatkan bola mataku yang konon seperti kelereng. Terus melangkah. Entah sudah berapa batas kampung kulalui, berapa meter (ah, mungkin kilometer) kaki melangkah. Mata kiriku yang terjatuh dan untuk sementara kukatakan hilang, tak juga kutemui.

Setiap kucing yang lalu di depanku, segera kudekati. Jika ia lari, kukejar betapa pun ia sembunyi di semak atau sudut rumah orang. Kuamati mulutnya, kalau-kalau masih mengulum biji mataku. Jika tak ada, kutendang kucing itu sekuatnya hingga terhuyung dan terpental beberapa meter.

Seekor kucing berbulu hitam putih pernah tewas seketika karena kutendang. Aku tak pernah merasa berdosa setelah menzalimi binatang. Riwayatnya begini. Pada suatu malam, persisnya menjelang isya. Kami sekeluarga sedang menyantap makan malam. Kudengar suara kucing di depan pintu hendak masuk. Mungkin kucing tersebut tergiur oleh bau ikan. Kutinggalkan meja makan, mengendap-endap menuju pintu. Benar. Kucing berbulu hitam putih (entah apakah kucing itu yang membawa lari sebiji mataku) segera menghambur ke dalam rumah. Secepat refleks kakiku yang sudah dilumuri dendam mengayun ke tubuh kucing itu. Sangat kuat. Seketika kucing tersebut terpelanting ke luar, berguling-guling, lalu ngek: tak bernyawa lagi.

“Kalau kau saja dapat mencuri mataku, kenapa aku tak berani menghajarmu!” kataku membatin. Puas. Istriku dan anakku mendekatiku. Lalu keduanya menggeleng.

Istriku kemudian berujar, “Apa kau yakin kucing itu yang membawa biji matamu. Jangan setiap kucing kau aniaya...”

Aku tak menyahut. Kembali ke meja makan. Menyantap habis sisa makanan di piring. Setelah itu keluar. Mengambil bangkai kucing dan kuikat dengan tali, kugantung di ranting pohon. Kalau anda sesekali anjangsana ke rumahku, bangkai kucing itu masih tergantung di pohon itu.

*
KUKATAKAN sekarang aku sudah jauh meninggalkan rumahku. Mungkin sudah sepuluh atau lebih kampung yang kuliwati. Berapa kilometer? Ah maaf, aku tak berpikir untuk menghitungnya. Hatiku galau, pikiranku saat ini tepusat pada biji mataku. Pandanganku serbasebelah sejak bolamataku hanya berfungsi satu. Semesta kulihat antara gelap dan terang. Orang-orang yang berpapasan di jalan, dalam pandanganku tampak cahaya dan pekat: kebaikan dan kejahatan. Pohon-pohon terlihat berwarna kuning dan hijau. Bulan dan gemintang yang memantul di mataku tak lagi menawan. Tegasnya, apa yang kulihat tidak lagi sempurna seperti mataku saat ini.

Aku jadi serbasulit. Tidak dapat membedakan lagi antara kebaikan dan kejahatan. Inilah kehidupan yang pernah kujalani sebelum sebelah mataku jatuh dan dibawa lari seekor kucing. Aku kerap melakukan kejahatan, berbuat maksiat, lupa pada fungsi mata yang diciptakan Tuhan. Setiap yang indah selalu hendak kurusak. Sampai-sampai aku pernah punya keinginan untuk membakar rumahku sendiri. Karena dalam pandanganku, rumahku itu amat indah, tak pernah terdengar kerusuhan. Aku bayangkan ketika rumahku dalam kobaran api, aku tertawa-tawa. Mataku berguncang-guncang seperti menyaksikan sebuah lukisan penuh cat merah.

Kini? Aku tak lagi melihat keindahan. Para perempuan yang kulihat bagaikan kunti menyeramkan, dan harus kubunuh. Para lelaki juga sama: layaknya makhluk yang selalu menyeringai, dan mesti kumatikan. Dan, setiap melihat seekor kucing, dari mataku yang sisa satu ini seakan memberi parang kemudian kuayunkan tepat di tubuh kucing itu. Ia mati dengan tubuh terbelah. Darah bermuncratan di tanah. Aku puas sesudah melakukan kekerasan.

“Minah, Minah... Santo... aku baru membunuh lagi. Lihatlah ini, bangkai orang dan di tangan kiriku seekor kucing yang telah mati. Kau tahu, inilah kucing yang telah membawa lari sebiji mataku. Aku yakin itu...” aku berteriak, menyebut istri dan anakku. Walau di depanku, juga di tanganku, tak ada apa-apa.

Aku sampai di kota. Masuk ke sebuah terminal besar. Baru sekarang aku merasakan sangat letih. Di sebuah bangku kujatuhkan pantatku. Tetapi aku tak dapat tidur, walau aku merasa mengantuk. Aku kembali melihat orang-orang seperti tidak utuh. Ada yang turun dari bis tanpa kepala. Ada yang cuma kepala melangkah dan menaiki mobil, atau orang yang bertubuh kiri, dan yang lainnya berjalan dengan tubuh kanannya. Ya. Segala yang kulihat serbasebelah. Tidak utuh. Beginikah ujud orang-orang pada suatu masa?

Dan, aku dikagetkan oleh segerombol polisi yang tiba-tiba berada di hadapanku. Aku gelagapan. Kupikir istriku yang meminta para polisi itu untuk menangkap dan membawaku pulang. Aku maklum, sudah sebulan kutinggalkan keluarga.

“Ada apa, pak? Saya tak mau pulang, saya tak ingin membuat keluar saya menderita karena saya sudah cacat...” kataku berharap.

“Siapa yang menyuruh anda pulang?” sergah salah seorang, pastilah dia komandannya. “Kami akan membawa saudara ke kantor polisi!”

“Ada apa, pak? Apa salah saya??”

“Kami membutuhkan informasi dari saudara. Seorang perempuan korban pemerkosaan di jalan itu, mengatakan kalau anda satu-satunya orang yang melihat peristiwa itu.”

“Tepatnya, saya dijadikan saksi?”

“Benar.”

Orang-orang mulai mendekat. Mengelilingi kami. Kulihat di antara mereka saling bertanya, ingin mengetahui apa yang terjadi. Tetapi, tak satu pun yang dapat memberi penjelasan secara pasti. Seorang fotografer membidikkan kameranya ke arahku. Tiba-tiba sebiji mataku lagi melompat dan jatuh persis di dekat sepatu komandan polisi.

“Ha? Apa ini?” polisi itu kaget, dan tanpa sengaja menginjak biji mata kananku yang jatuh terkena sinar kamera.

“Itu.. ma... ta saya, pak...” gugup. Aku memang tak melihat apa-apa lagi. Serbagelap. Bagaimana mungkin polisi dapat menyeretku sebagai saksi?

Bandar Lampung, 2-4 Agustus 2004





11
Tapi, Peluru Siapa?


AKU ditunjuk jadi eksekutor. Sebuah pengalaman pertamaku sejak ditugaskan ke kesatuan ini. Tak ada yang boleh tahu perintah ini. Komandanku mengingatkan. Aku berdiri tegap, memberi hormat. Aku berjanji tak akan membocorkan semua ini.

Tapi, benarkah aku akan setia pada janji? Sekeluar dari ruang komandan, tiba-toba aku didera peluh dingin. Aku gugup. Wajahku pasi. Gemetar sekujur tubuhku.

Oh. Aku tidak boleh menunjukkan perasaan seperti ini. Apa jadinya kalau orang lain tahu perubahan dalam diriku? Mereka lalu bertanya—tepatnya menyelidik: apa yang diperintah komandan saat aku dipanggil menghadap? Akhirnya aku kembali ke ruangku dengan hati tak menentu.

Dua hari lagi, tepatnya esok dini hari, aku akan memasuki gudang amunisi dan keluar menyandang sebuah senapan. Aku yakin kalau senapan yang diberikan padaku telah di isi peluru. Eksekutor lain pun sepertiku bahwa peluru ada di dalam senjatanya. Cuma aku tidak tahu siapa mereka?

Aku akan keluar dari gudang persenjataan dengan wajah tertutup seperti ninja. Lalu menuju kenderaaan, entah mobil yang mana. Begitu pula eksekutor lain melakukan yang sama. Kami tak saling mengenal dan menyapa. Sebab tidak ada ruang untuk mengenali apalagi bersapa. Seperti robot yang kerap kusaksikan di berbagai cerita layar lebar, begitulah adaku.

Di rumah aku tak banyak laku. Istriku jadi heran melihat perubahanku. Aku banyak diam atau mengunci diri di kamar. Tidak ingin diusik, entah kenapa. Bayangan sebagai algojo berdiri di hadapan orang yang gelisah menanti peluru mengoyak jantungnya.

Aku berdiri di tengah sementara kesepuluh sniper lain berdiri di samping kiri dan kananku. Sama-sama mengarahkan moncong senapan ke arah seseorang dengan mata tertutup. Mengarah tepat ke jantungnya. Sementara sang sasaran berdiri dengan tubuh terikat di batang pohon mahoni.

Dini hari. Suasana di tanah lapang ini amat pekat. Sulit menandai satu sama lain. Kecuali aku dapat menghitung berapa orang yang sama-sama menanti eksekusi: 11 eksekutor, 1 komandan, 1 dari pengadilan, 1 rohaniawan, dan beberapa lagi dari tim medis dan tak kutahu lainnya dari mana.

Kami menanti aba-aba. Tapi sudah hampir 45 menit, belum ada tanda dimulai eksekusi. Pandangan kami cuma tertuju pada sang komandan. Jangan sampai ketika ia memberi aba-aba kami lengah, atau salah mengartikan perintah. Dadaku berdegup kencang. Wajah istriku dan anakku yang sudah di SLTA membayang amat jelas.

“Siap!” aku terperanjat. Aku tersadar, itu bukan suara komano. Anakku sudah di ambang kamar. Ia selalu menggangguku, jika dilihatnya aku melamun.

“Jangan buat jantung Bapak berhenti...” kataku. Sebenarnya aku memrotes ulahnya yang membuatku kaget. Tapi karena ia membalas dengan senyum, sambil berujar, “Maaf Bapak...” akhirnya aku cabut kemarahanku.

“Lain kali jangan begitu lagi ya? Sudah makan sana.”

“Bapak enggak tugas hari ini? Libur? Memangnya hari apa?” Joni, anakku, bertanya sebelum meninggalkan aku di kamar.

Aku menggeleng. “Bapak hanya malas ke kantor,” kataku kemudian. “Entah mengapa, badan Bapak lemas saja. Pikiran Bapak juga galau.”

“Memangnya Bapak ada masalah? Boleh saya tahu, siapa tahu dapat membantu...”

“Terima kasih, Jon. Tapi, Bapak dapat menyelesaikan sendiri kok. Kamu tak usah berpikir masalah Bapak ya?” ucapku. Kupandang anakku yang berbalik, lalu keluar dari kamar.

Selepas anakku pergi, aku kembali gelisah. Pikiranku galau. Seandainya boleh memilih, aku akan menolak tugas yang kuanggap amat berat ini. Tapi itu tak mungkin, karena perintah komandan adalah wajib dilaksanakan. Menolak berarti dianggap desersi.

Istriku tahu perasaanku. Seperti biasa, ia tidak banyak mengusik. Kecuali pada saat hendak makan, baru ia memanggilku. Entah mengapa selera makanku tiba-tiba menurun.

“Kalau ada malasah, baiknya tidak berpengaruh pada selera makanmu. Bisa-bisa mas malah sakit kalau tak mau makan. Ayolah makan, ini sudah kusiapkan,” ucap istriku dari balik pintu.

Aku diam. Mendesah. Mengapa eksekusi—hukuman mati—haruis ada? Apa hukuman penjara belum maksimal? Hukuman mati, misalnya tembak atau pancung, sama artinya mendahului takdir. Dan, itulah yang tidak sesuai dengan nuraniku.

“Tapi, ini adalah perintah. Adalah tugas bagi seorang prajurit. Lupakan hal-hal di luar tugas,” pesan komandan dengan tekanan nada perintah.

Aku menunduk. Sejenak kemudian, aku segera berdiri tegap dan hormat. “Siap, pak!”

“Kamu dalam keadaan sehat?”

“Siap!”

Sang komandan tersenyum. Mengangguk-angguk. Ia seakan yakin kalau aku siap menerima perintahnya.

“Tugas yang akan kamu laksanakan itu suci. Ingat itu, dan ini demi kariermu. Jadi jangan ditolak.”

“Siap!”

Setelah itu, aku diperbolehkan angkat kaki dari depan mejanya. Aku diperintah istirahat dua hari, namun sebelumnya harus cek fisik dan psikis. Aku mengiyakan, kemudian meninggalkan ruang kerjanya.

Itulah pertemuanku dengan komandan empat hari sebelum eksekusi bagi terpidana terberat pengedar narkoba digelar. Hatiku tidak sepenuhnya menerima tugas ini, yang kata komandanku sucu dan demi karierku. Sayangnya aku tak sanggup menolak, karena aku sudah terikat sumpah setia dan wajib tunduk pada perintah komandan.



MENJELANG eksekusi.
Aku mulai gamang. Inilah detik-detik eksekusi akan dilakukan. Seorang terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati tembak berdiri dengan tubuh terikat di sebatang pohon. Matanya ditutup kain hitam. Tanah lapang dini hari. Pekat. Aku dan kesepuluh sniper dengan wajah tertutup berbaris menjang, 10 meter di depan terpidana. Dan, sebelas congor senapan mengarah tepat ke jantung lelaki yang selalu tertunduk di batang pohon mahoni.

Terdengar hitungan dimulai. Seseorang maju mendekati terhukum. Entah apa yang dikatakan, tapi kami tahu orang yang mendekat itu adalah rohaniawan. Beberapa jenak rohaniawan itu mendekatkan mulutnya di telinga terhukum.

Hitungan kedua terdengar. Seseorang lagi mendekat terpidana, mengucapkan sesuatu tapi aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Orang kedua ini sedikit lebih lama dibanding rohaniawan tadi. Aku mulai tak sabar untuk menyelesaikan tugas yang kata komandanku suci (dan demi karier!) ini. Lalu, setelah tugas kulaksanakan, kuharap dapat segera pulang dan memeluk istri dan anakku. Aku akan menangis dalam pelukan mereka. Sungguh-sungguh menangis.

Aku akan katakan pada mereka. Lihatlah kedua tanganku ini. Di kedua telapak tanganku ini telah tertulis dosa. Kalaulah ada darah yang muncrat dari penembakan dini hari tadi, tentu darah yang berwarna merah itu tak akan pernah hilang dari tubuhku. Darah itu akan terus mendampingku ke mana aku pergi, akan mengejar-ngejarku. Membayangi dan menakut-nakutiku. O! Aku tak mungkin dapat mengelak, apalagi bersembunyi, dari peristiwa penjagalan ini.

“Aku sudah menjadi penjagal. Baru saja mencabut nyawa orang!” aku akan katakan itu kepada istri dan anakku, begitu pekerjaan ini selesai. Lalu akan meminta perlindungan.

Istriku akan menasihatiku. “Segeralah mengadu pada Tuhan, minta ampun pada-Nya. Katakan dengan tulus, karena memang kau tak dapat menolak demi menjalankan tugas...”

Aku akan mengangguk. Mataku terus berair. Anakku kemudian akan pula mendekati, dan menyemangatiku. “Bapak pernah menasihati kami, jangan larut oleh sesuatu perbuatan yang kita anggap telah membuat dosa. Tetapi, jadikan itu untuk bertobat. Bukankah begitu, Bapak?”

Kini hitungan kudengar. Lagi-lagi seseorang mendekat terpidana yang tengah cemas karena menanti waktu tembak mati. Para eksekutor telah siap mengokang, dan sekejap lagi sebutir peluru akan muntah dari moncong senapan. Seperti tadi, aku tak juga mendengar apa yang dipercakapkan. Sayup-sayup pun tak sampai.

Aku cuma melihat seseorang yang mendekat itu kian merapat. Kemudian memeluk terpidana, mengecup wajahnya. Tampak seseorang itu hendak membuka kain hitam penutup mata terpidana, namun segera komandan memberi siyarat. Seseorang itu sadar dan kembali memperbaiki kain penutup itu. Setelah itu dia mundur dan kembali ke tempat semula. Berdiri di sisi rohaniawan.

“Saya banyak kenangan indah dengan si calon mati. Terlalu susah dilupakan bahkan tak mungkin dihapus. Ia sebenarnya orang baik, banyak membantu orang yang memerlukan. Ia juga suka memberi. Saya sering ditolongnya...” kata seseorang itu. Kini kudengar, walau sayup, suaranya. Baru kutahu kalau seseorang itu adalah perempuan.

“Apa hubungan anda dengan terpidana? Saudara dekat misalnya?” tanya seorang yang lain, berdiri di sebelahnya.

“Eee, ya cuma dekatlah. Tapi tak perlu saya beri tahu. Cukup kami berdua saja yang tahu,” jawabnya singkat. Tampak ia ingin mengelak diselisik.

Aku terpengaruh. Pikiran dan telingaku terfokus pada perempuan itu. Adakah dia istri terpidana hukuman mati itu? Mungkin ia pernah berhubungan intim. Jangan-jangan dia adalah teman khusus terpidana. Ah, mengapa pikiranku jauh mengembara seperti ini? Pikiran kotor! Aku mendesis.

Tangan kiriku mulai gemetar. Seperti dikerubungi ribuan semut. Aku keletihan. Kedua tanganku sejak 25 menit lalu menyangga senapan. Mata kiriku terasa perih karena terarah pada satu titik: jantung. Cuma, sebagai serdadu, aku tak boleh melakukan kesalahan. Harus tegar, tidak boleh senapan di tanganku jatuh karena keletihan.

Kalau kini aku ragu tembakanku tak tepat sasaran, kukira dapat dimaklumi. Bagaimana pun hal itu manusiawi. Semalaman kemarin aku tak sanggup memejamkan mata sekejap pun. Pikiranku pecah, galau. Itu membuat tubuhku tidak fit. Belum lagi sejak sore tadi aku sudah dikarantina di ruang khusus. Tidak dibenarkan bertemu atau bicara dengan siapa pun. Aku juga steril dari keluargaku.

Selain itu, sejak beberpa menit tadi pikiranku mulai gamang. Aku meragukan sumpah setiaku sebagai prajurit. Sejak ditugaskan ke kesatuan ini, sesungguhnya bukan karena kehendakku. Itu sebabnya aku pernah ingin mengajukan pindah, tapi urung lantaran mendapat saran. Lagipula, mengapa dulu aku melamar jadi polisi?

“Dua... setengah...” terdengar aba-aba. Seseorang, mungkin terakhir, meminta pada komandan untuk diberi waktu mendekati terpidana yang berdiri di batang pohon mahoni itu. Komandan menyilakan. Ia lari mendekat, melepas jaketnya dan mengenakan ke terpidana.

Kemudian memeluk seperti orang sebelumnya, lalu mencium pipi dan mengecup bibir lelaki yang terikat itu. Syahwatku bangun. Aku memang sudah sepekan lebih tidak berhubungan intim dengan istriku. Tiba-tiba aku ingin sekali menyetubuhi istriku, bercinta habis-habisan.

Istriku juga tentu amat merindukan itu. Sedang menantikah ia kini di rumah? Mungkin Lastri kedinginan, seperti lazimnya dia saat dini hari. Pada waktu-waktu seperti ini, kami kerap bersetubuh.

Kini aku di tanah lapang. Dini hari. Angin melambai gigil. Aku kedingian. Kuhangati diriku dengan hawa yang kuhembuskan dari mulutku. ”Dua setengah...” komandan mengulang.

Aku siap memencet pelatuk, walau gamang.

“Ti... ga...!”

Bersamaan itu terdegar letusan. Dua perempuan yang mengaku dekat menjerit lalu menghampiri terpidana, selepas suara letusan. Histeris.

Kucari bekas selosngsong di sekitarku berdiri. Tak ada. Yang lain juga melakukan. Mereka serempak menggeleng. “Tak ada...” Pelan.

Seorang terpidana yang diikat di batang pohon mahoni, kulihat sudah lunglai. Sesorang lain, mendekat, memeriksa nadi, kemudian mengacungkan ibu jari ke udara. Tersenyum. Tapi segera ia merunduk. Seorang rohaniawan maju dan menadahkan tangan. Berdoa. Untuk terakhir kali.

Kami saling menatap. Tak satu pun para eksekutor dapat meyakini dirinya kalau peluru yang bersarang di jantung terpidana itu bukan dari senapannya. Aku malah optimis itulah peluruku. Aku memang dikenal penembak jitu selama ini. Tak pernah meleset sasaran, setiap sebutir peluru begitu kumuntahkan.

“Selamat. Selamat...” kata komandan menyalami kami. Ia seperti bangga terhadap kami, bawahannya. Karena sukses menjalani tugas.

Tapi, kami tak diberi tahu dari moncong senapan siapa peluru yang bersarang di jantung terhukum mati itu? Semua, para sniper, boleh saja mengklaim “itu peluru dari senapan saya” walau kami juga tahu hanya satu peluru yang dipasang, selebihnya senapan kosong.

Kalau begitu, yang bersarang di jantung terpidana itu peluru siapa? Saya yakinkan Anda, yang pasti cuma satu peluru dari satu senapan! Tapi, dari mocong senapan yang mana? Pertanyaan itulah yang terus membayangiku sampai hari ini. Seakan mengajakku untuk menyarangkan peluru di jantungku.

Lampung, 09-13 Agustus 2004






12
Perempuan Sunyi


waktu semalam bung
aku bermimpi
bertemu ular bung
besar sekali


AKU merasa didatangi ular. Besar dan panjang sekali. Beberapa malam terakhir ini. Seperti dalam nyata. Tetapi aku tetap yakin bahwa aku bermimpi. Karena itu aku percaya kalau itu cuma kembang tidur.

Aku memang sangat letih. Seharian bekerja tak hanya tenaga yang dikeluarkan, namun juga pikiran. Maka begitu sampai di rumah usai kerja, aku langsung menuju pembaringan. Ranjang yang sejak aku berkeluarga kuanggap istana paling nimkat. Malah bukan rumah seperti anggapan banyak orang.

Mula-mula aku hanya menelentangkan tubuh, lalu pikiranku mengerayang dan itu kunikmati. Setelah benar-benar letih dan mataku seakan perih karena menahan kantuk, barulah aku terlelap. Tak lama dengkurku bertaruh cepat ingin mengalahkan pacunya waktu.

Saat itulah aku mimpi bertemu ular panjang dan besar sekali. Dalam mimpi itu ular membujukku masuki taman dan menawari buah yang rasanya tiada bandingan. Awalnya kutolak tawaran itu. Namun karena ia mendesak dan memberi keyakinan padaku bahwa buah tersebut hanya didapat di taman itu, karena akan menyesal selamanya jika tak mau mencicipi maka aku pun tergiur.

Aku mengambil sebiji. Hendak memasukkan ke mulutku. Kubayangkan senikmat makanan eskpor yang sulit diperoleh di sini. Buah yang, kata ular itu, jika dimakan akan membawa kita terbang. Benarkah itu?

Maka itu kaucicipi buah ini. Ini buah hanya tumbuh di firdaus. Ular itu makin meyakiniku. Aku mulai tergiur. Percaya sekali dengan rayuannya. Buah—entah apa namanya—tampak warna-warni, dan aromanya seperti wangi tubuhmu yang tak pernah alpa selalu kucium. Aku benar-benar tergiur, dan ingin sekali mencicipinya.

Ayolah, kapan lagi? Aku makin terpana. Pesona warna ular dan aroma tubuh itu menggiurkan jakunku. Ingin kuambil, tapi tak tergapai sebab tiba badai. Taman ini jadi pikuk. Aku menepi cari perlindungan, dan ular itu kembali ke dalam semak.

Ia datang lagi ketika hujan berhenti. Masih menawarkan buah tadi, dan membuatku terasa kian lapar. Kuambil. Kumasukkan ke mulutku. Betapa nikmat rasanya. Walau kemudian padanganku jadi nanar.

Aku tak lagi dapat melihat ular itu dengan jelas. Apakah ia berlalu dan lesap ke dalam semak, ataukah menjelma jadi perempuan? Di ranjang sejuk dan beraroma. Menguar sepanjang malam.

Aku khawatir kalau ia menyulap diri jadi perempuan, lalu membawa lari lelakiku. Aku pun disergap cemburu. Ular itu mungkin yang telah merayu dan membawa lari lelakiku. Atau barangkali saja telah mematuknya hingga mati.

Aku perempuan sunyi kini. Kenangan-kenangan hilang. Taman tak lagi menawarkan ketenteraman. Penuh dengan dusta, orang-orang selingkuh. Aku tak lagi ingin mengenang bahwa di taman ini mula bertemu aku dengan lelakiku. Berabad silam. Sebelum kau tiba-tiba hilang dan kami pun dipisahkan oleh waktu.

Lelakiku mendesis. Melata sebagaimana seekor ular. Memburu rawa dan belukar. Kini ia jarang menemaniku sekadar membunuh kesunyianku. Apakah aku di rumah tertawa dan menangis, ia tak peduli lagi.

Ular itu datang lagi pada malam ketiga mimpiku. Ia tak lagi membawa buah yang rasanya nikmat itu. Lelakiku tiada pula beserta. Ke mana lelakiku? Ular itu diam. Tubuhnya melilit pada sebatang pohon. Mata tajam. Wajahnya berbinar. Aku makin luka sekaligus duka.

Aku perempuan sunyi kini. Mimpi buruk yang datang tiga malam berturut-turut membuatku sedih. Aku sunyi, akan mati ditikam sepi!



SEJAK ular itu datang dalam mimpiku, aku menanam cemburu. Kata orang, mimpi adalah kembangnya tidur, tapi ia merupakan pecahan realitas. Hampir persis dengan peristiwa hidup ini. Maka aku mulai percaya. Lelakiku tak kembali. Pergi tanpa kutahu ke belukar mana. Dililit oleh ular apa.

“Ke mana saja kau setiap hari pulang larut?” kataku begitu kubuka pintu saat lelakiku pulang dini hari. Ia tak terusik dengan pertanyaanku. Masuk menuju kamar tidur. “Dari mana kau? Tak ada orang lembur atau rapat sampai pagi. Kecuali kau...” lanjutku dengan suara agak keras.

“Diam!” Lelakiku membentak. Aku capek dan perlu istirahat. Kalau mau bertengkar besok saja setelah aku bangun tidur.”

Aku menahan geram. Ingin kulempar asbak ke wajah lelakiku. Ia telah banyak mengecewakan aku. Apakah macam begini nasib perempuan, terpenjara di dalam istana rumah tangga? Menjadi penunggu ranjang. Menyusuri sepi saban waktu.

Kupandang foto perkawinanku di dinding kamar. Di sana kami menebar senyum. Kebahagiaan menguar. Ingin rasanya kukembalikan putaran waktu ke masa lalu. Saat itu lelakiku selalu mengumbar senyum, mengutarakan cintanya. “Cintaku padamu tak akan lapuk oleh musim. Kalau warnanya putih, ia tetap putih selamanya. Tak akan berubah jadi hitam,” kata lelakiku sepuluh menit jelang pernikahan. Kala itu aku bahagia mendengarnya. Serasa aku terbang. Terasa aku adalah milik lelakiku, dan ia adalah milikku satu-satunya di jagad ini. Tak mungkin ada orang yang menggantikan posisiku, demikian sebaliknya.

Tapi apa kenyataannya? Waktu membuktikan, lelakiku berdusta. Kata-katanya menjelang nikah, cuma kaset yang dapat diputar di sembarang waktu. Menjadi tak bermakna.

O lelakiku. Kini aku benar-benar sepi. Aku perempuan sunyi. Dan, benar kata teman-teman di kantor, mimpi tak harus ditafsir sebagai kembangnya orang tidur. Mimpi dapat jadi layar dari kehidupan. “Karena itu, tak musykil kenyataannya begitu. Sebagai isyarat, dan itu tak setiap orang diberi kemampuan menafsir mimpi,” Suci, teman kantorku berujar.

“Kau beruntung Ri diberi kemampuan itu. Bukan apa-apa, aku memang pernah melihat suamimu jalan berdua. Masuk restoran...” Marta ikut bersuara. Ia menambahkan, “Maaf bukan maksudku mau merusak rumah tanggamu, Ri. Sungguh aku menyayangimu dan aku prihatin pada rumah tanggamu.”

Aku mengangguk. Tersenyum. Aku ingin menunjukkan pada mereka kalau aku dapat tegar dan senang menerima masukan. “Tak apa-apa kok. Aku malah berterima kasih, kalian masih berkenan memperhatikan aku,” kataku kemudian. “Kalian bersyukur, perkawinan kalian harmonis. Suami kalian sangat mencintai.”

“Nasib orang memang berbeda, Ri. Untuk menunjukkan mahadilnya Tuhan,” ucap Suci lagi.

Lagi-lagi aku cuma mengangguk. Tersenyum. Walau hatiku sesungguhnya teriris, perasaanku perih. Akan tetapi, dalam hati, aku bertanya mengapa Tuhan mencipta kesunyian? Mengapa itu diberikan kepadaku? Yang kurindukan di dalam perkawinan ini ialah keriangan, cengkerama penuh hiruk. Tertawa sepanjang malam. Bukan seperti ini.

Setiap malam, di tempat ridur, anganku pesiar. Aku membayangkan lelakiku tengah bercengkerama dengan perempuannya yang lain. Memasuki mal, diskotek, mungkin pula bungalow. Sedangkan aku terlelap hanya karena lelah seharian di kantor ditambah lagi menyiapkan makan malam. Meski terlalu sering makanan bersisa dan esok pagi dibuang di bak sampah.

Wahai lelakiku, kau dengar jeritku? Perempuan sunyi. Akan kaumainkan apa bagi dunua perempuan? Bagi sebuah perkawinan? Aku kini berani mengutuk sepi. Protes pada ketakadilan lelaki .

Aku perempuan sunyi. Rindu campur benci tentang mimpi. Kembang tidur yang acap membuat terlena.

waktu semalam bung
aku bermimpi
bertemu ular bung
besar sekali

Dan, pada mimpi berikutnya ular itu mematukku. Aku pingsan. Lelakiku tak datang menolong. Aku merangkak, menaiki ngarai. Di puncak tebing, kupergoki lelakiku bergumul dengan ular. Apakah ia bertarung, ataukah sedang bercinta? Lelakiku bergumul. Berguling-guling. Ular itu panjang dan besar sekali. Seperti yang kerap muncul dalam mimpiku.

Aku menyaksikan dengan pandangan berkabut. Malam masih pekat. Belum beranjak...



TAMAN penuh oleh warna. Di tempat ini, suatu masa, telah berlangsung peristiwa. Seorang lelaki tak dapat menahan inginnya pada buah yang rasanya nikmat. Ia tergoda rayuan seekor ular yang menjelma ke dalam diri perempuannya. Padahal berkali-kali ia diingatkan, jangankan memakan buah itu mendekati pohonnya pun dilarang keras. Tetapi, lelaki selalu saja lemah hatinya jika dalam pelukan perempuan. Sejarah itu terus berulang. Para lelaki bertekuk lutut pada wanita—juga tahta dan harta. Sampai sekarang dan masa mendatang. Walau setelah puas melumat buah berasa nikmat itu, para lelaki kembali mengembara ke lain taman. Seakan merayakan kemenangan.

Dan, perempuan—seperti aku—akan selalu sunyi. Menunggu masa berganti.



AKU berkemas diri, ini kebiasaanku, menjelang ke peraduan. Lima belas menit aku mematut-matut wajahku di depan cermin. Dari memoles alat pelembab ke wajahku, mengenakan lipstik, alis mata, dan pengharum tubuh. Setelah itu aku menuju ranjang. Jika belum terserang kantuk, aku akan membaca-baca majalah dan tabloid perempuan sampai mataku terpejam. Hampir enam tahun ini aku tertidur tak diantar dengan cerita dan canda menarik dari lelakiku.

Aku akan terbangun jika bel pintu yang kupasang di dalam kamar berdering. Itu pertanda lelakiku datang. Aku sudah hapal saat itu pagi akan menjelang. Kalau tiada dering bel, aku terbangun subuh. Memandang ke sisi kiriku, tempat lelakiku terbujur lelap. Kini sering tak terisi. Bantal dan guling selalu kutemukan tetap rapi.

Di rumah ini aku sering sendiri. Tak pernah kudengar suara anak: suara yang amat kurindu sepanjang perkawinanku. Perutku selalu kempis. Entah siapa yang bermasalah. Siapa yang tak mampu membuahkan janin. Kami tak berani konsultasi ke dokter.

Pernah aku hendak mengambil anak. Tetapi lelakiku berkeras melarangku. Untuk apa adopsi anak, akan menyusahkanmu saja. Ia mewanti-wanti jika aku mengambil anak, ia akan pergi dari rumah ini. Kemudian lelakiku menghibur, suatu kelak kami akan dikaruniai anak. Dari benihnya. Tetapi, sudah sepuluh tahun usia perkawinanku, anak yang didamba tak juga bersemayam di rahimku. Lelakiku bahkan membiarkan aku selalu sunyi. Hidup dalam mendamba.

Lampung, 14-15 Agustus 2004







13
Perempuan dalam Bayangan


SEPULANG dari rumahmu malam itu, hujan deras. Aku harus menembus garis-garis basah itu, sementara ban motorku kempis. Tak mungkin aku kembali, karena aku telah pamit pada orang tuamu. Pakaianku kuyup, tubuhku gigil.

Dapat kaubayangkan betapa sialnya aku. Tetapi sudahlah, takdirku memang harus begini malam ini. Apa kau masih berpikir tentangku sepulang dari rumahmu? Mungkinkah kau juga memperkirakan aku akan kehujanan di jalan?

Aku tidak tahu. Walau kulihat kau memandang langit sewaktu mengantarku sampai teras rumahmu dan kau mendesis, “Langit pekat sekali, seperti mau hujan.”

Aku hanya tersenyum. Mengharap kau mencegahku untuk tidak segera menembus cuaca mendung. Karena kau tak memberi isyarat, maka aku pamit pada orang tuamu.

Kau adalah perempuan yang baru kukenal dua hari lalu. Kita bertemu dan kebetulan satu bis dari kota B ke J ini. Kau duduk di sebelahku. Kita mengobrol banyak sepanjang perjalanan. Dari hal temeh sampai soal politik negeri.

Kau setuju ketika aku berpendapat bahwa politik negeri ini amburadul. Para politisinya menggunakan politik munafik. Suka berkoar idealisme tapi di belakang masih mencari peluang memperkaya diri. Bahkan politik munafik itu merebak juga ke lembaga KPU ke lembaga KPU. Para anggotanya memanipulasi suara karena dibayar.

“Aku sependapat denganmu. Aku tahu, ada anggota KPU di kota XL yang dinonaktif karena ketahuan menggelembungkan suara. Aku setuju orang seperti itu dipecat saja!” teriakmu. Aku teringat pada semangat aktivis.

Lalu kita tak cuma berdiskusi malam itu tapi diselingi debat. Hingga aku kerasan bertamu dan lupa waktu. Orang tuamu berdehem, kulihat jam dinding rumahmu: pukul 23.10. Aku pun pamit pada orang tuamu dan juga kau.

Tetapi, sekali lagi kukisahkan, tak lebih 150 meter dari rumahmu—hujan deras dan ban motorku kempis. Akhirnya kutuntun motorku mencari penambal ban. Aku cemas tak mendapatkan kos penambal ban yang masih buka selarut malam ini.

Kususuri jalan kutembus hujan. Kudorong motorku. Gigil dan lelah. Aku ingat kamu saat pertemuan tadi, kita bercakap dan sesekali bercanda. Kalau saja aku tahu waktu, tidaklah aku kehujanan seperti ini. Jaketku penuh air hingga berat. Tak ada lagi tersisa kering di badanku. Aku khawatir masuk angin. Jika esok aku tak mengabarimu, berarti aku sakit. Aku mulai diserang flu.

Oh, di mana penambal ban? Kecemasanku menjadi-jadi. Aku ingin berteduh, tapi hatiku mencegah. Sebab telanjur basah. “Kenapa tidak tadi saja sebelum hujan deras,” hatiku berujar.

Aku bimbang dapat menjumpai kios penambal ban. Selains udah larut malam, hujan amat deras. Mereka lebih baik tutup kios dan tidur. Adakah kau mengenangku?

Sungguh, saat seperti yang kuanggap amat sial ini, aku menyesal pamit dan meninggalkan rumahmu. Mengapa aku tak bertahan sejenak membiarkan hujan reda, baru aku pulang. Kau pasti setuju bukan?

Tetapi sudahlah. Toh kini aku tak lagi dapat kembali ke rumahmu. Aku sudah jauh menyusur jalan, menyisir malam, menembus hujan. Badanku kuyup, aku gigil. Apakah kau juga merasakan.

Aku tidak yakin kau mengingatku. Aku pesimistis kalau kau merasakan juga apa yang kurasakan. Kau mungkin sudah lelap kini. Yakin aku. Makanya aku mesti sampai di rumah, walau harus menuntun motorku dan tetap kehujanan. Malam terus beranjak.

Kupikir ini bagian dari pengorbanan. Esok jika kita bertemu lagi (itu jika kau menginginkan pertemuan lagi denganku) akan kuceritakan persitiwa ini, dan kuharap kau menilai apa yang menimpaku ini sebagai pengorbanan seorang lelaki. Dan, aku akan bangga mendengarnya. Lalu aku akan katakan padamu, “Ini belum seberapa, Sinta.” Aku tersenyum. Kau tertawa.

Kadang kubayangkan kau bersamaku sekarang. Ikut membantuku dorong motor, sambil sesekali mengobrol. Hingga melupakan keletihan. Bahkan hujan deras pun tak terasa. Seperti sepasang kekasih dalam layar lebar yang sering kita saksikan. Diputar secara slowmotion. Ah, betapa indahnya.

“Aku ingin kamu jadi ibu dari anak-anakku...” bisikku dalam hujan, mengutip baris dari puisi Rendra. Aku memang sangat menyukai penyair itu, karenanya banyak kuhapal puisi-puisinya.

Sementara kulihat kau tersenyum. Seperti menanti aku mengulang kalimat itu. Tetapi justru aku bicara lain. Soal kuliahku yang nyaris berantakan karena terlalu sibuk dengan aktivitas di luar kampus. Aku juga bertanya soal kuliahmu di bahasa Prancis. “Biasa-biasa saja kok, Sis,” jawabmu pendek. Kau lebih suka menyapaku Sis—kependekan dari namaku yang panjang: Siswoyo Ardinugraha. Ah ya! Aku memang berdarah Jawa dari ayahku dan ibuku adalah perempuan Sunda. Sedangkan kamu percampuran darah Batak dengan Sumbawa. Tetapi, apa pentingnya kita bicarakan suku di sini? Itu akan membuat kita terjebak pada sikap primordial. “Ah, tidak juga. Asalkan kita tak saling menganggungkan etnis kita, dan bukan untuk kepentingan politis. Kenapa tidak? Artinya kita memang berasal dari keragaman. Bukan begitu?” katamu sekejap kemudian.

Aku diam. Aku lelah. Sejak empat puluh lima menit lalu aku menuntun motor. Aku khawatir makin rusak ban dalam jika kunaikkan. Tetapi, mana pula kios penambal ban? Sejak tadi tak kulihat. Aku berharap kutemukan kios penambal ban, dan tutup akan kugedor. Aku mohon penambal ban mau bangun dan berkenan membantu menambal ban motorku. Rumahmu masih jauh, kemungkinan sekitar 7 kilometer.

“Tak apa. Aku akan membantumu. Mendorong motormu. Setidaknya menemanimu...” aku seperti mendengar suaramu. Aku menoleh. Kulihat kau tersenyum padaku. Memberi semangat agar aku terus mendorong motorku dengan cepat.

Nah! Itu dia kios penambal ban. Sekitar 100 meter di depan, di jalan seberang. Pada lampu merah itu aku harus menyeberangkan motorku. Aku akan mengetuk, dan meminta tolong. Syukurlah si Batak berkenan menolongku. Cuma ia meminta upah lebih. Aku setuju saja daripada harus mendorong motorku sampai rumah.

“Dari mana mas, hujan-hujan?” tanya penambal ban. Aku tahu ia basa-basi.

“Rumah teman...” jawabku ringan.

“Ada yang ngerjain nih mas. Wah, pakunya besar sekali...”

“Mungkin juga lai.*) Tapi, sudahlah yang penting bisa ditambal,” kataku enteng. Aku tidak percaya tetanggamu jahil memasang paku di ban motorku. Lagipula, motor kuparkir di dalam pagar halaman rumahmu. Siapa yang nekat melompat pagar?

Hanya beberapa menit ban motorku selesai ditambal. Kubayar 5 ribu rupiah padanya, lalu kuhidupkan mesin motor. Sekejap kemudian aku sudah melaju di jalan. Menembus rintik hujan. Kembali riang. Aku bersenandung. Tentu saja lagu-lagu indah. Esok pagi aku akan meneleponmu, menceritakan semua peristiwa ini. Kau pasti akan tertawa-tawa. Aku pun akan membalas tawamu.

*

BETAPA aku kasihan padamu. Pulang dari rumahku hujan pun seakan ditumpahkan begitu saja dari langit secara tiba-tiba. Sangat deras. Aku sudah ingin memanggilmu, tetapi keburu kau melajukan motormu dengan kencang. Kau ingin mengalahkan laju hujan? Oho, bagaimana mungkin? Langit gelap sudah sedari tadi, ketika aku ke teras rumahku dan memandang ke langit.

Kalau ada bulan dan langit dihiasi bintang malam ini, sebenarnya aku lebih senang kau ajak aku mengelilingi kota ini. Atau kita menonton teater di gedung kesenian. Kebetulan lakonnya bagus, grup yang bermain juga berkualitas selama ini, sutradaranya pun tak diragukan kemampuannya di jagat teater di kota ini. Kita menonton teater sambil bernostalgia tentang kota ini yang tak lagi ramah, kota yang tak punya karakter, dan kehilangan silsilah, tiada jiwa**)—betapa indahnya!

Karena cuaca tak mendukung, langit mendung, akhirnya kuurungkan keinginanku. Mungkin esok malam, kalau kuliahku pulang cepat, aku akan meneleponmu, dan memintamu menemaniku ke gedung kesenian. Tentu kau suka dengan pertunjukan seni, bukan? Seharusnya suka, biar jiwa kita tidak kering. Agar nilai-nila humanis tak terkeruk dari hati kita. Orang yang menyukai kesenian, kata seorang seniman ternama tapi aku lupa namanya, perasaannya akan halus. Tak menghendaki barbarisme! Dan aku, entah setuju entah pula menampik.

Aku menyesal mengapa tak segera mencegahmu, Andre, agar tak menembus hujan. Kini aku bayangkan kau gigil kedinginan, di atas motor yang laju kencang yang tak saja menembus air melainkan angin. Kuharap kau tidak masuk angin atau sakit begitu sampai di rumahmu. Aku selalu berdoa supaya kau diberi kesehatan, walau kau berhujan-hujanan. Ingat ya Andre, sesampai di rumah segera ambil handuk dan keringkan rambut dan badanmu. Lalu mandilah dengan air panas. Jika kau punya ramuan jahe, seduhlah segera. Wedang jahe amat baik untuk memanaskan tubuh yang baru kehujanan. Angin segera bablas.

Kau tahu kini aku sedih, menyesali ketololanku. Mengapa aku tak menahan kepergianmu tadi? Sekiranya aku tak membiarkanmu pamit dari rumahku, tentunya kau tak kehujanan. Aku menyayangimu, Andre. Aku membayangkan kau kini sedang di jalan di bawah hujan deras. Atau kau menumpang berteduh di rumah orang atau warung di pinggir jalan?

Mudah-mudahan motormu tidak bertingkah. Motor yang selalu baik pada majikannya. Begitulah kuinginkan. Bukan motor yang menyusahkan: mogok atau apalah yang intinya akan membuatmu susah. Kuingin kau tetap riang sepulang dari rumahku. Kau mengenang pertemuan kita tadi, percakapan kita tadi, sepanjang jalan pulangmu. Lalu kau rebah di pembaringan sambil mengenangku. Seperti aku saat ini. Membayangkan wajahmu, mengenang suasana indah kita tadi.

Aku ingin menuju meja tempat pesawat telepon. Tiba-tiba aku hendak meneleponmu. Tetapi, apakah kau dapat mendengar dering telepon selulermu pada saat hujan deras seperti ini? Aku urung. “Maafkan aku, Andre. Tapi, bukan karena aku tak punya perhatian padamu,” aku bergumam.

Lalu aku terlelap. Kuharap esok pagi aku dapat bangun dengan tubuh segar, matahari memancar, jendela kamarku mengembang. Kuingin saat itu, wajahmu menatapku. Tersenyum.

*

DI halte, di depan kampus.

“Sis!” kata Andre setengah berteriak, begitu melihat Sisca berdiri di sana.

“Hei, Andre!”

“Mau ke mana? Ikut?”

“Aduh, sori, Andre. Aku....” tergagap.

Sekejap kemudian, sebuah mobil sedan berhenti persis di depan Sisca. Perempuan itu bergegas melesap ke dalam mobil mewah berwarna cerah itu. Tangannya layu melambai. Tiada senyum di wajah nan ranum itu. Layaknya sebuah bayangan.

Tapi, siapa lelaki separuh baya di depan stir itu? Andre tak berani menduga-duga pertanyaannya sendiri. Siang benar-benar gerah. Debu meruap. Asap dari beribu knalpot kenderaan menampar wajahnya.

Lampung, 22-28 Agustus 2004







Notes
* pernyatan dalam baris puisi Chairil Anwar yang terkenal, karena itu pula yang mendorong lahirnya cerita ini.
** informasi ini saya peroleh dari Jurnal Aceh Kita, bahkan foto yang ditewas dan terikat di batang pohon mendapatkan penghargaan foto terbaik tentang pelanggaran HAM. Banyak pintu rumah warga Aceh yang ditengarai anggota GAM disilang (X) oleh pihak keamanan sebagai target “pengamanan” seperti pada zaman PKI tahun 1965.
*** berita Patroli Indosiar, 11 Juni 2004, menyebutkan seorang perempuan berusia 12 kelas 6 SD ditemukan tewas di rumahnya karena membakar dirinya. Alasannya sudah lama ia tak harmonis dengan orang tuanya.
*) sapaan akrab untuk lelaki Batak.
**) ini saya kutip dari katalog pertunjukan “Nostalgia Sebuah Kota (kenangan tentang tanjungkarang)” Teater Satu, sutradara/naskah Iswadi Pratama pada pertunjukan di Taman Budaya Lampung, 21-22 Agustus. Lakon dibawa keliling ke Bandung, Jakarta, dan Makasar pada September 2004.

Tidak ada komentar: