Oleh Isbedy Stiawan ZS
SETELAH Tugu Siger di Bakauheni (Lamsel) dibangun dan telah diresmikan Pemprov Lampung, awal Juli mendatang satu lagi yang akan menjadi ikon pariwisata bagi provinsi ini mulai dibangun di pusat Kota Bandarlampung. Dengan nama amat “presitisius” bagi dunia usaha dan pariwisata—Bambu Kuning Square (BK Square)—bakal menempati lahan PT KAI Stasiun Tanjungkarang.
Jika Tugu Siger menjadi tonggak, ikon, atau pendanda bagi dunia pariwisata di daerah ini atas inisiatif Gubernur Lampung Sjahroedin ZP, maka BK Square—jika terbangun—akan diingat sebagai buah karya Walikota Bandarlampung Eddy Sutrisno. Kedua bangunan yang boleh jadi akan bersejarah bagi Provinsi Lampung itu, mendakan terbukanya Visit Lampung Year 2009.
Saya terkenang mantan Gubernur DKI (bang) Ali Sadikin, sampai kini dikenang karena karyanya membangun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) dan “menyetujui” terbentuknya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), taman binatang Ragunan, dan lain sebagainya. Kini, Sjahroedin seakan—meski tak terinspirasi dari bang Ali—membuat sejarah bagi Lampung lewat Tugu Siger dan (tak lama lagi) Jembatan Selat Sunda. Mau tidak mau, diakui ataupun tidak (mau) diakui, itu adalah prestasi gemilang kepemimpinan Sjahroedin ZP.
Tetapi, untuk tulisan ini saya tak hendak bicara Tugu Siger. Apalagi setelah diresmikan beberapa waktu lalu dan telah mendatangkan sejumlah tamu dari kedubes luar negeri di Jakarta belum banyak kegiatan berlangsung di sana untuk menyedot pengunjung dan menarik minat wisatawan (domistik dan luarnegeri) berkunjung ke Tugu Siger. Itu sebabnya, pengelola Tugu Siger yang dipercaya Pemrpov Lampung sat ini tengah merancang cara terbaik pusat wisat yang terletak di bebukitan Bakauheni tersebut bisa menarik. Sehingga masyarakat akan berduyun-duyun singgah atau sengaja berkunjung ke Tugu Siger.
Semula, saya adalah bagian yang menolak dibangunnya Tugu Siger. Penolakan saya waktu itu, prioritas daerah ini adalah bagimana “menyelamatkan” masyarakat miskin. Dan bukan pembangunan Tugu Siger yang melambangkan kemewahan karena dana yang dibutuhkan tidak kecil, apalagi menyedot dana APBD. Hanya saja Provinsi Lampung sampai kini tidak memiliki suatu bangun berciri dan menjadi ikon bagi daerah ini. Lampung tak memiliki Jembatan Ampera seperti di Palembang, tak ada tugu Monas sebagaimana Jakarta, tiada Stasiun Tugu yang amat terkenal di Yogyakarta, juga Jam Gadang selayaknya di Bukittinggi (Sumbar).
Beberapa bangunan yang berciri dan sesungguhnya menyimpan sejarah di daerah ini, di antaranya malah sudah punah—dihilangkan, ditiadakan, dihancurkan, ditukargulingkan, dstnya—sehingga “penanda” bagi kota ini benar-benar tak bisa lagi dinapaktilasi. Contohnya, ini berkali-kali saya sebut, gedung bengkok (Kantor CPM) di depan Pasar Bambukuning yang berubah menjadi pertokoan (ruko), Asrama Tentara yang kini ditempati Toko Buku Gramedia, Bengkel Hoffman yang berubah menjadi Toko Buku Fajar Agung, rumah-rumah penduduk berciri di perempetan Tugu Gajah Adipura sehingga dulu kerap pula disebut “Simpang Bengkulu”, sampai Gedung Dasaad yang terletak di depan Masjid Taqba JL Kotaraja yang cirinya kini telah berubah. Masih banyak lagi sebenarnya jika kita akan menapaktilas bangunan bersejarah dan berciri di daerah ini yang nyaris punah ataupun tak terawat dan terjaga kekhasannya.
Tak ada pihak yang bisa disalahkan dan menyalahkan. Pembangunan suatu kota memang cenderung (akan) ada yang korban (dikorbankan), terutama kota-kota yang tengah menuju metropolis seperti Bandarlampung. Apalagi, kita tahu, pembangunan tataruang Bandarlampung ditengarai kurang terkonsep. Oleh karena, sekiranya tak ada desakan “moral” dari masyarakat beberapa waktu lalu atas ruislag GOR Saburai oleh Pemprov Lampung, bukan tidak mungkin kawasan terbuka hujau itu jadi dipindah ke Kemeiling. Dan Saburai yang telah menjadi ikon bagi kota ini akan punah pula. Untunglah Pemprov—dalm hal ini Gubernur Sjahroedin ZP—segera menyadari dan mencabut rencananya. Soal batalnya ruislag GOR Saburai—semoga saja selamanya—juga tak ada yang harus kalah atau menang, disalahkan atau menyalahkan.
BK Square
Perjuangan panjang HPKL-BK (Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning) untuk “mengubah nasibnya” dari pedadang kaki lima yang dinilai pemerintah biang bagi kesemrawutan, kemacetan, dan kesumpekan pasar, kini menaik setinggat dengan memiliki tempat yang nyaman. Para PKL BK pasca penggusuran lalu hidup sebagai pedagang asongan yang diburu-buru para pamong, atau sejumlah PKL BK yang kemudian menganggur dan sangat sulit menghidupi keluarganya pascapenggusuran beberapa bulan (bahkan beberapa tahun) terakhir. Akhirnya “jalan kebangkitan” mulai terkuak, dan sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Eddy Sutrisno, walikota Bandarlampung, tampaknya memiliki persepsi sama dengan HPKL BK dan APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia): tiada yang lebih bijak untuk menyelesaikan masalah PKL ialah turut membuka ruang persoalan itu sendiri. Ketika HPKL-BK bersama APPSI didukung penuh dananya dari PKL-BK dan PT Istana Karya Mandiri untuk membangun BK Square bagi eks PKL Bambu Kuning yang tergusur, Pemkot Bandarlampung segera menyetujui. Sebagaimana pemberitaan media lokal, Eddy Sutrisno telah menandatangani rekomendasi pembangunan BK Square yang memang telah ditungu pihak PT KAI di Bandung.
Artinya, dengan rekomendasi itu sejatinya Pemkot Bandarlampung telah memberi teladan. Bukan ikan yang diberikan sehingga masyarakat menjadi malas, melainkan Walikota menyerahkan pancing lalu masyarakat (dalam hal ini PKL eks BK) berusaha mengail ikan. Satu sisi lagi, PKL eks BK bukan hanya menunggu pemberian ikan dari pemerintah. Dan, selalu “menyusu” kepada pemerintah yang kita tahu segudang persoalan yang mesti diselesaikan. Jadi, bukan hanya persoalan PKL yang diurus dan diprioritaskan pemerintah—dalam hal ini Pemkot Bandarlampung—karena itu wajar jika HPKL-BK menggandeng APPSI lalu meminta dukungan PT IKM untuk membangun sarana untuk mereka memancing.
Tentunya sampai terbitnya rekomendasi Walkot Bandarlampung (21/5), bukanlah “buah” yang hanya jatuh dari langit. Sebagaimana Kemerdekan RI yang tidak diberikan begitu saja oleh penjajah Jepang. Melainkan perjalanan HPKL BK amatlah panjang dan melelahkan. Kronologis yang pernah diungkapkan Ketua HPKL-BK Zulkarnain di media massa bisa dipahami sebagai perjuangan panjang dan meletihkan PKL eks BK untuk mendapatkan kail tersebut.
Peribahasa “jangan berikan ikan tapi berikan kail kepada anakmu” yang berarti untuk melatih anak agar juga berusaha untuk mendapatkan suatu yang diinginkan, dibuktikan oleh Pemkot Bandarlampung dan PKL eks BK. Bahkan, patut dipuji dari PKL eks BK yang hendak menempati BK Square tidak mengemis. Saya tak pernah mendengar keinginan PKL eks BK minta secara gratis bagiannya di BK Square, apatah lagi “memohon” adanya subsidi APBD Bandarlampung. Seharusnya apa yang ditunjukan PKL eks BK bisa dijadikan contoh bagi PKL yang lain—atau komunitas PKL lain—di Bandarlampung, jika berhadapan atau menghadapi masalah serupa.
Setiap usaha wajib memiliki modal. Setiap ada keinginan tentulah harus memiliki jiwa juang. Tiada di bawah matahari ini, buah jatuh begitu saja dari langit. Tak ada perjuangan tanpa membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan materi. Barangkali saja, kata-kata bijak yang entah datang dari “orang bijak” mana yang saya utarakan ini, sudah bukan asing di telinga kita. Maklum saja, Indonesia paling banyak memiliki kata bijak (Kata mutiara), meski kerap kita abaikan dan dilupakan.
Masyarakat selama ini terbiasa memeroleh sesuatu, tapi tanpa—kalau bisa—bekerja dan atau mengerluarkan tenaga. Kecenderungan masyarakat yang tiba-tiba “menjadi miskin” begitu pemerintah meluncurkan program BLT dan sejenisnya. Jumlah keluarga miskin (gakin) meningkat tajam bila ada program pengentasan kemiskinan berbau bantuan (dana). Karena terbiasa dimanja itu, pemerintah acap memainkan perasaan rakyat. Misalnya kenaikan BBM hingga mencapai 28,7% dibarengi dengan pengucuran bantuan langsung tunai (BLT). Padahal akar masalah mengapa pemerintah menaikkan harga BBM, apakah tak ada kebijakan yang lebih populis dan tidak mesti memanjakan rakyat melalui BLT?
Dari sisi pandang ini, maka saya sepakat terhadap upaya HPKL-BK yang menggandeng APPSI membangun BK Square di lahan Stasiun Tanjungkarang milik PT KAI tanpa “menadah tangan” pada APBD Pemkot Bandarlampung. “Kami cukup rekomendasi Pemkot, selebihnya kami berupaya menyediakan modal,” seperti dikatakan Zulkarnain, ketua HPKL-BK.
BK Square tidak saja sebagai sarana menyukseskan Visit Lampung Year 2009, karena dari awal para PKL eks BK memotivasi diri membangun pasar wisata sekaligus pasar percontohan bagi pedagang PKL di Bandarlampung. Selain itu, jika BK Square terwujud, mungkin satu-satunya pasar yang didanai dan mencari dana tanpa melibatkan anggaran pemerintah. Pengelolaannya juga dilakukan HPKL-BK dan APPSI. Karena itu, Pasar Wisata BK Square benar-benar dari dan untuk pedagang kaki lima.
Dari Tugu Siger hingga BK Square yang tak lama terwujud, setidaknya Lampung telah memunyai fasilitas obyek wisata yang siap bersaing dengan daerah-daerah lain. Setidaknya, terutama Bandarlampung, telah memiliki pasar wisata sebagaiman Yogyakarta dengan Beringharjo atau Bali dengan Pasar Sukowati, maupun Bukittinggi dengan sekitaran Jam Gadang-nya.
Akhirnya, sukses buat Pemkot, HPKL-BK dan APPSI melalui BK Square. Menghadapi kunjungan wisata tahun depan, Provinsi Lampung boleh percaya diri dengan adanya Tugu Siger dan BK Square.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar