17 November 2008

Pasca Penggusuran PKL:

BK Sepi, Transaksi Sembunyi

Oleh Isbedy Stiawan ZS



SETELAH Pemkot Bandar Lapung sukses menggusur pedagang kaki lima (PKL), terutama yang beroperasi di Pasar Bambukuning (BK), suasana di pasar tertua itu sekarang tidak saja rapi tapi benar-benar sepi. Para pembeli bisa dengan mudah sekali masuk ke dalam pasar tersebut.

Tetapi, kesuksesan pemkot menertibkan PKL di sana tidak sertamerta menyelesaikan kemacetan di sekitar BK. Perparkiran di sana kerap tidak tertampung. Kenderaaan mobil yang terparkir di bagian Barat dari BK terkadang dua baris berjejer, kerap menyulitkan kenderaan yang hanya numpang lintas. Parkir mobil kadang sampai mendekati pos polisi.

Beberapa kali saya singgah di BK hanya ingin menikmati ketakriuhan seperti sebelum penggusuran. Memang terasa longgar (tidak sumpek) dan saya dengan mudah sekali mengelilingi dalam BK dan keluar lagi tanpa harus “bersenggolan” dengan pengunjung lainnya. Barangkali “tangan jahil” pada kondisi seperti sekarang, tidak akan berani—bukankah para pencopet akan piawai di dalam situasi berdesakan?—dan sulit sukses menjarah korbannya.

Saya juga sempat ke lantai II yang telah direnovasi oleh swasta, aduhai rapi karena belum semua terisi. Saya, mungkin juga pengunjung lainnya, akan menghirup udara segar karena belum tercemar bau keringat yang biasanya dalam suasana sesak. Hanya “sekali tolakan” rasanya saya bisa memutari seluruh kios yang ada di lantai II itu.

Informasi yang saya peroleh dari seorang PKL, untuk mendapatkan fasilitas di lantai II mereka dikenakan biaya mendaftar Rp500 ribu, bok (hamparan) Rp1.200 ribu, dan perbulan dikenakan lagi Rp300 ribu—total Rp5.300 ribu. Sementara itu, sewa pertahun Rp8 Juta. Tentu saja biaya-biaya itu di luar salar perhari dan barangkali ada juga untuk uang kebersihan.

Pedagang di lantai II yang mayoritas pemilik toko Iantai I—konon bisa mengambil 3 sampai 4 bok—sebenarnya tidak bernasib baik seperti di lantai I. Omset mereka jauh menurun dengan penghasilan yang didapat di lantai I. Diperkirakan menurun 80 persen. Jelas ini kendala untuk memakmurkan para pedagang di BK.

Ketika saya menaiki tangga yang hanya terbikin dari besi untuk menuju lantai III, pertama kali saya digayuti rasa cemas. Pasalnya saya meragukan tingkat kekokohan tangga itu, apalagi bila rencana pemkot berhasil memindahkan seluruh PKL dan PKL mau mengisi fasilitas yang disediakan—konon gratis—oleh pemkot, karena pembeli—ini hanya asumsi—akan ramai ke lantai III sebab harga jual PKL sangat miring. Maka bisa dibayangkan peluang kecelakaan sangat terbuka. Tetapi, asumsi lain, tetap pembeli tak akan berani ke lantai III disebabkan rawan ambruk. Saya kira tim dari Unila juga telah menyangsikan kekokohan lantai III.Tingkat berbahayanya sangat tinggi.

Sebagai orang yang biasa berangan-angan (berimajinasi), ada semacam ketakutan akan peristiwa misalnya jika lantai III BK ambruk disebabkan tak mampu menahan beban pembeli yang mungkin saja berlebihan. Atau tangga menuju lantai III itu patah karena terus-menerus menyanggah beban pengunjung yang lalulalang. Alih-alih BK yang memang usianya sudah lumayan tua walau telah direnovasi, insiden dari banyak pasar modern yang jebol dindingnya atau tangga yang ambruk maka perlu juga BK ini dikhawatirkan dan dicermati tingkat kecelakaannya. Meski insiden atau kecelakaan bagian dari takdir Ilahi.


Sembunyi-sembunyi

Maka bukan mengada-ada rasanya jika para PKL yang tadinya memenuhi pinggiran empat pesegi BK dan dianggap biang keruwetan dan kesemrawutan oleh pemkot sehingga terbit kebijakan penertiban (lebih popularnya “penggusuran”) berkeras tak mau pindah atau mengisi lantai III, meskipun ada jaminan “gratis”. Maaf, sengaja saya kasih tanda petik (“) karena ukuran gratis di negara kita ini acap interpretasi (dan konotasi) ganda.

Para PKL akhirnya memilih melakukan “perlawanan” kepada pemkot, betapa pun yang dilakukan para “wong cilik” itu tidak frontal maupun anarkis. Saya menyaksikan para PKL tetap berdagang dengan cara menawarkan kepada pembeli layaknya pedagang asongan. Mereka tak lagi meletakkan barang-barangnya di lapak seperti sebelum penggusuran, melainkan mengemas ke dalam tas asongan. Berkeliling sambil menawarkan ke setiap pengunjung BK. Memang cara ini ada yang sukses, tapi lebih banyak “apes”.

Seorang PKL—ibu rumah tangga, sebut saja Mimi—yang sempat saya tanya, mengaku berdagang dengan “cara baru” itu hanya bisa membawa pulang Rp200 ribu perhari tapi paling sering tidak terjual sehelai pakaian pun. Wajahnya yang digelayuti kecemasan karena khawatir “dicokok” Pol PP yang setia setiap saat mengawal ketertiban di sana. Wajah-wajah cemas dari para PKL adalah potret setiap hari yang bisa kita saksikan di BK pasca-penggusuran. Sebuah potret buram dari rencana besar pemkot untuk merebut kehormatan bernama Adipura!

Pemandangan lain yang kini bisa kita saksikan dari para PKL yang tergusur di BK, seakan mereka berubah menjadi manusia yang ligat, cekatan, dan selalu waspada terhadap lingkungannya. Selain itu, tumbuh kekompakan—perasaan solidaritas—di antara mereka. Apabila Pol PP memergoki mereka masih berjualan walau secara sembunyi dan lalu memburu para PKL, PKL lainnya berteriak-teriak maupun bersuit-suit sebagai rambu-rambu bagi yang lain sekaligus untuk memecahkan konsentrasi Pol PP. Para PKL yang tengah menawar atau mencari pembeli, secepatnya melempar barang dagangannya kepada keluarganya yang biasanya sengaja duduk di motor atau menyembunyikan ke sembarang toko yang ada di BK. Setelah aman, mereka ambil lagi dan kembali menjajakan. Sepertinya, mungkin karena solidaritas akibat sama-sama teraniaya, sedikitpun tak khawatir barangnya kemudian raib.

Cara sembunyi dan sesekali kucing-kucingan layaknya pedagang asongan di stasiun ataupun di pelabuhan dan terminal, kini tak lagi merupakan pemandangan aneh di BK. Apabila Pol PP bernyali ingin mendekati para PKL maka keluarganya yang tergabung dalam organisasi (anggota) HPKL (Himpunan Pedagang Kaki Lima) secepatnya membikin pagar tubuh (mengganti istilah pagar betis yang saya tengarai masih rapuh). Sekiranya sudah dianggap aman, HPKL kembali ke tempatnya masing-masing sambil tetap berkelompok dan para PKL memulai aktivitasnya lagi. Ini terus berlangsung hingga sore.


Intimidasi

Cerita lain lebih ironi dari PKL BK bahwa tak jarang Pol PP menangkapi para PKL yang berani tetap berdagang secara sembunyi-sembunyi. Jika tertangjkap langsung digiring ke pos pamong. Di sana PKL disuruh menandatangani perjanjian bermaterai yang isinya, kira-kira, apabila kedapatan masih berjualan di BK akan dimasukkan ke tahanan selama 6 bulan dan didenda Rp5 juta.

PKL yang tertangkap barang dagangannya ditahan, menyerahkan KTP, dan pada sore harinya diambil. Karena irtu yang tertangkap pada hari itu tidak akan berdagang, dan itu berakibat tak akan membawa pulang uang. Padahal,bukan tak mungkin, anak-anaknya di rumah menanti orang tuanya membawa uang unrtuk makan esok dan iain sebagainya.

Tak jarang pula, menurut seorang PKL, Pol PP mengeluarkan kata-kata cemooh yang cenderung berbau SARA dan tak layak dikeluarkan oleh seorang pamong. Ketidaknyamanan seperti itu akhirnya berbuntut pengaduan atas perlakukan tak senonoh Pol PP ke polisi.

Seharusnya ini tak terjadi. Bagaimana pun intimidasi dan cacimaki (cemooh) bisa tidak dilakukan, sekiranya Pol PP yang ditugaskan dapat menahan diri. Artinya, tidak arogan. Apalagi semata-mata untuk memuaskan satu pihak—dalam hal ini pengusaha yang merenovasi lantai II, karena menganggap aktivitas PKL yang kini “berkeliaran” telah menganggu perekoniian para pedagang di lantai II—sehingga tega-teganya mereka berbuat kasar kepada PKL.

Tampaknya sikap kewkeh para PKL tak bepindah ke lantai III BK disebabkan urusan keberlangsungan hidup keluarga. Berdagang di tempat lama, walau hanya menjelang Lebaran dan tahun ajaran baru sekolah baru menangguk pembeli cukup banyak, mereka masih punya harapan setiap harinya. Berbeda jika harus atau dipaksa menempati lantai III yang selain rawan bahaya juga akan berkurang pembeli berkunjung ke sana. Masyarakat saat ini sudah terbiasa dididik hal-hal praktis sekaligus dimanjakan oleh kemudahan. Pasar modern, misalnya, dilengkapi fasilitas lift dan eskalator, serta ruangan ber-AC. Harga yang juga acap bersaing dengan yang ada di BK. Jadi, kalau hanya mau membeli pakaian dan celana untuk apa sulit-sulit ke lantai III BK. Lebih baik dan gampang ke supermarket kan?

Kebersamaan (kekompakan) yang tercipta di antara PKL itu patut dipuji, sekaligus ini sejatinya adalah peluang bagi elit politik jika ingin memobilitaskan. Bukan bermaksud ingin melebar ke masalah politik mengingat saat ini jelang pilkada di Lampung, cuma alangkah sayangnya jika potensi besar mendulang “suara” dari (keluarga) PKL itu dibiarkan menguap. Saya katakan “menguap”, sebab tak mustahil, para PKL yang setahun teakhir seperti dilupakan, ditinggalkan, dan dibiarkan menanggung sendiri penderitaannya akan berubah apriori pada Pilkada—bahkan berakibat akan membentuk gerakan golput. Jelas ini akan merugikan semua kandidat dan pendidikan politik kurang berjalan baik. Maka potensi ini harus dicari solusinya.


BK Square

PKL yang tergabung dalam HPKL kian menunjukkan kebersamaan. Seraya tetap mempertahan eksistensinya di BK, HPKL bekerja sama dengan PT Istana Karya Mandiri kini sedang merencanakan pembangunan Pasar Wisata Bambukuning Square di kawasan Stasiun KA Tanjungkarang.

Sengaja pasar wisata itu tetap menggunakan nama Bambukuning, menurut saya, untuk mereduksi popularitas BK. Konon tim BK Square sudah beberapa kali menggelar peremuan di Bandung dengan pihak PT KAI dan pengembang. Mereka—eks PKL BK—beharap tidak terlalu lama impian berdirinya Pasar Wisata BK Squaere terwujud di Bandar Lampung. BK Square ini juga ditengarai akan menjadi percontohan dalam pengembangan pasar.

BK Square memadu antara pasar modern dan tradisional, (mugkin) layaknya Pasar Beringharjo (Yogyakarta) dan Pasar Sukowati (Bali), akan dijadikan sektor lain bagi devisa pariwisata sebagaimana namanya: Pasar Wisata. Karena itu, tepatlah jika BK Square didirikan sekaligus dapat menunjang program Visit Lampung Year 2009 yang dicanangan Pemda Provinsi Lampung.

Perjalanan BK Square sejatinya sudah mencapai pengguliran. Tetapi, konon, masih terkendala oleh belum diberikannya rekomendasi dari Pemkot Bandar Lampung. Boleh jadi, di sini adanya tarik menarik kepentingan pemkot dengan HPKL BK, dan boleh jadi pihak-pihak lain sehingga rekomendasi bahkan bisa pula izin pembangunan (IMB) itu akhirnya terhambat atau dihambat.

Sekali lagi, ketika saya berdialog dengan seorang pengurus HPKL, pemkot menginginkan Pasar Wisata BK Square harus bisa merangkul seluruh PKL di Tanjungkarang (Jl. Pangkal Pinang, lingkar cincin Bambukuning, Pasar Tengah, dan Pasar Bawah). Sementara pihak HPKL BK mengatakan baru bisa memrioritaskan PKL BK mengingat BK Square hanya bisa menampung 400 unit. HPKL BK tentu akan mendahulukan anggotanya daripada PKL lain, meskipun sama-sama bernasib buruk karena penggusuran tapi merasa punya hak yang sama dalam hal mencari nafkah di kota ini. HPKL BK juga bersikeras yang mengelola pasar tersebut karena merasa menggagas pembangunan BK Square, selain itu kalau mereka yang mengelola sewa bisa ditekan sekecil mungkin sebab sesama anggota/pengurus HPKL maupun senasib sebagai PKL di BK.

Bahkan, ironinya, pekembangan teranyar pemkot sudah menemui Direktur Utama PT KAI di Bandung agar dapat mengalihkan pembangunan BK Square dari HPKL BK ke Pemkot Bandar Lampung. Itu sebanya, kemungkinan rekomendasi yang diperlukan HPKL BK sebagai syarat yang diminta PT KAI Bandung sampai kini belum pula diterbitkan.

Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Syaiful Anwar sebagaimana dilansir salah satu media di daerah ini (9/4), pihak pemkot sudah “mengantongi” izin pengelolaan lahan stasiun unrtuk PKL. Pertemuan pemkot dengan pihak PT KAI juga sudah disepakati harga sewa Rp500 juta dan pemkot menyiapkan anggaran Rp1,4 miliar. Sungguh, dalam hal ini pemkot telah berhasil “mencuri” wacana pembangunan pasar bagi PKL di kawasan PT KAI stasiun Tanjungkarang. Sementara penggagas awal yakni HPKL BK yang telah bertemu langsung dengan Dirut PT KAI di Bandung dan siap menyewa selama 25 tahun, seperti tertutup oleh suara pemkot.

Boleh jadi pemkot telah membaca peluang yang “menggiurkan” di dalam pembangunan BK Square. Artinya dari rencana ini, pemkot tak saja bisa memetik pendapatan dari pajak bangunan, izin membangun (IMB), penunjukan pengembang yang sejauh ini ditengarai berpeluang bisa “main mata”, sampai penyewaan unit (kios) setelah pasar rampung yang sering berharga tak sesuai kantung PKL.

Ibarat sebuah lingkaran setan perlu dicari “mantranya”, layaknya benang kusut maka dibutuhkan jemari lembut untuk bisa mengurainya. Selamat berjuang….*

Tidak ada komentar: