17 November 2008

Pasar tanpa PKL, tak Asyik....


Oleh Isbedy Stiawan ZS




PASAR adalah tempat transaksi antara penjual (pedagang) dengan pembeli untuk suatu urusan yang sama: jual-beli. Untuk yang lebih makro, pasar adalah sebuah pusat bertrransaksi suatu barang (berharga) dari pedagang kepada pembeli. Kemanfaatan pasar—tradisional maupun modern—dirasa sangat besar bagi masyarakat.

Jika dulu kala, masyarakat hanya memanfaatkan suatu lahan kosong untuk betransaski yang kemudian disebut pasar (tradisional). Seiring pembangunan kota, akhirnya fungsi pasar pun dibuat sesuai kebutuhan masyarakat yang juga terus berkembang. Maka, meski pasar tradisional tidak ditinggalkan, masyarakat pun menghendaki pasar yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih lengkap—bahkan difasilitasi dengan alat pendingin (AC) dan eskalator maupun lift.

Meskipun pasar modern sejenis mal atau supermarket—kini alfamart dan indomart juga menyerbu hingga ke perkampungan demi memudahkan masyarakat pembeli—ternyata warung-warung kecil dan juga pedagang kaki lima (PKL) tidak lantas gulung tikar karena terdepak dan terbunuh. Pedagang kaki lima, ibarat benalu dalam konotasi positif, akan selalu hidup dalam situasi pasar apa pun. Di pasar-pasar tradisional di pedesaan, misalnya, para pedagang bermodal lumayan akan mendirikan tenda, maka PKL hanya berehampar selembar plastik turut meramaikan.

Artinya, PKL akan selalu tumbuh pada setiap tempat transaksi jual-beli. Saya mengamsalkan, PKL seperti rumput. Bayangkan rumput yang tibba-tiba tumbuh justru di dalam pot bunga walaupun tidak kita tanam sebelumnya. Cobalah cermati sebuah pot berisi bunga di halaman rumah, jika tidak kita urus akan tumbuh jenis rumputan.

Begitu pula PKL. Mereka akan segera tumbuh (ada) sepanjang kita menyebut pasar. Jadi pasar dan PKL—atau sebaliknya: PKL dan pasar—tisdak bisa tidak unrtuk kita pisahkan (ceraikan) satu sama lainnya. Hanya saja, jelas ada perbedaannya. Jika PKL tentulah para pedagang yang bermodal tidak besar yang kemudian kita golongkan sebagai pedagang ilegal. Sedangkan pedagang legal adalah pedagang yang memiliki kios, counter, atau toko dengan modal melebihi yang dipunyai PKL. Berbeda dengan PKL, pedagang legal (berdagang di toko) dikenai sewa pertahun dan ditarik pajak usahanya.

Oleh sebab itu, pedagang legal cenderung “dimanjakan” oleh penguasa—dalam hal ini pemerintah—karena dapat membantu pembangunan. Biasanya pula pedagang legal lebih tertib, bersih, dan dianggap selalu (bisa) menjaga ketertiban dan kenyamanan. Sementara PKL kebalikannya: ditengarai kerap menciptakan keruwetan, kesemrawutan, kesumpekan, dan kemacetan di sekitaran pasar.

Dan, layaknya rumput di dalam pot, PKL harus dicabut hingga (kalau perlu) sampai ke akarnya. Hak hidup PKL pada akhirnya sama dengan rumput di dalam pot, tidak diperkenankan. Kalau pun memaksakan diri untuk hidup, dengan cara kekerasan pun dilakukan demi ketertiban, keamanan, kenyamanan, dan keindahan. Apalagi kalau PKL sudah dianggap mengganggu perekonomian pedagang legal, mesti dijaga dan digebah sampai PKL benar-benar tidak bisa begerak di pasar.

Pikiran dan pendapat seperti itulah, boleh jadi, memicu Pemkot Bandar Lampung untuk memperindah kotanya dengan cara menyapu bersih PKL. Adalah PKL di Bambu Kuning (BK), Pasar Pasir Gintung, dan sekitaran Pangkal Pinang, dan lain-lain, menjadi prioritas operasional Pemkot Bandar Lampung. Pembersihan PKL dari kota Bandar Lampung, sebenarnya bukan semata pemkot ingin kembali merebut Adipura sebagai kota terbersih dan terindah, tapi untuk suatu kepenrtingan yang lebih besar. Boleh jadi kepentingan antara pemkot dan pengembang.

Para “juragan” pasar tentu tak mau rugi ketika ia mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk membangun atau mengembangkan sebuah pasar. Setelah pasar dibangun atau dikembangkan maka fasilitas itu harus di isi. Kalau tidak di isi, modal pengembang (pengusaha) pembangunan pasar tersebut tidak akan kembali. Pemodal mana yang mau menanggung resiko rugi?

Itulah mengapa akhir-akhir ini Pemkot Bandar Lampung begitu bersemangat menggusur para PKL di BK. Alasannya sederhana: menyelamatkan pedagang legal yang kadung menempati lantai II BK. Siapa pedagang legal di lantai II? Selain para pedagang yang sudah memiliki toko di lantai I—konon karena mereka punya modal bisa mengambil dua sampai tiga bok di lantai II, juga bweberapa PKL yang mungkin sudah tak tahan diusir dan digusur. Tetapi, berdsagang di lantai II BK ternyata tak bernasib seperti pedagang yang menempati lantai I. Tegasnya, pembeli masih enggan naik ke lantai II: akibatnya sudah sdapat dipastikan, pembelinya sepi. Karena itu berdampak pada omzet penjualan. Jika dibiartkan berlarut-larut para pedagang legal itu akan rugi sdan akhirnya tutup.

Sementara itu, pemkot menyediakan tempat bagi PKL bermodal pas-pasan di lantai III. Konon para PKL yang mau pindah ke lantai III mendapat jaminan bebas sesa alias digratiskan. Persoalannya di sini bukan ihwal gratis bagi para PKL. Yang membuat PKL bersikeras tak mau menempati l;antai III BK, pertama: kondisinya yang rawan kecelakaan. Lantai yang dikhawatirkan suatu saat bisa ambruk, tangga yang hanya terbuat dari besi juga sulit dijamin kekuatannya. Kedua: diperkirakan pembeli enggan ke lantai III setelah tiba di langtai II.Bahkan pembeli sudah merasa cukup berbelanja di lantai I. Ketiga: PKL sudah terbiasa selama ini menempati lingkar cincin BK, sehingga bukan tidak mungkin akan memulai dari nol lagi jika dipindah ke lantai III. Lahan (rezeki) para PKL di lantai I sebelum pembeli memasuki Pasar BK, dan para pembeli ini bukan bersaku tebal dus tak akan mau repot-repot menempuh lantai III. Bukankah masyarakat bersaku tipis cenderung memilih yang praktis-praktis? Kalau harus sulit, mereka akan memilih membeli di supermarket atau mal. Selain “dimanjakan” oleh fasilitas yang ada, sekalian “mejeng”—sikap seperti ini tak bisa dipungkiri dalam masyarakat yang baru “melek kota”.

Apa mau dikata, itu sebabnya barangkali kenapa para PKL BK lebih baik tetap bertahan tak mau pindah ke lantai II dengan berjualan walaupun secara kucing-kucingan dan berubah layaknya pedagang asongan. Para PKL memburu para pembeli sebelum memasuki BK dengan menawarkan barangnya yang relatif murah itu. Strategi baru yang dilakukan para PKL tersebut memicu iri para pedagang legal di lantai II. Sebab, selagi masih “berkeliartan” para PKL, otomatis pembeli yang naik ke lantai II menjadi sepi. Padahal, mefeka telah mengeluarkan uang untuk mendaftar Rp500 ribu, bok (hamparan) Rp1.200 ribu, bulanan Rp300 ribu—total Rp5.300 ribu. Kemudian untuk sewa pertahun adalah Rp8 Juta. Data ini saya perloleh dari salah seorang PKL di BK.

Iri adalah perasaan lumrah manusia. Tetapi, untuk urusan “perut” bisa berakibat lebih fatal. Dari rasa iri pedagang legal di lantai II terhadap PKL, saya bernalogi begini. Karena mulai terasa pembeli sepi ke langtai II, para pedagang legal menganggap “biang dari segala biang” menurunnya omset penjualan di lantai II adalah PKL yang tetap berkeliaran di wilayah BK. Sebagai pedagang legal dan membayar lagi, maka mereka punya hak untuk diperhatikan oleh pemkot dan pengembang. Dari langkah inilah, kemungkinan tak terbantahkan, pemkot “menurunkan” pasukan Pol. PP dengan tugas mengamankan sekaligus membersihkan BK dari PKL yang berkiliaran. Pemkot Bandar Lampung tak akan mampu mendanai ratusan Pol PP setiap hari untuk bertugas di BK, akhirnya bukan mustahil pengembang urun dana dalam masalah ini. Logikanya simpel saja: “pasukan” Pol PP itu butuh makan karena bertugas seharian di BK, juga perlu rokok bagi “ahli hisap”. Kabar yang saya peroleh di lapangan—juga dari PKL—setiap Pol PP memeroleh uang saku Rp15 ribu dari pemkot dan Rp50 ribu dari pengembang BK ditambah nasi bungkus perorang/hari dengan lauk ayam (telur). Kalau rumor ini benar, berapa dana yang harus disiapkan oleh pemkot dan pengembang hanya untuk mematikan hak yang sama dan dilundungi undang-undang untuk mencari nafkah di bumi ini dari PKL?

Bentrok PKL dan Pol PP yang terjadi Kamis (10/4) sehingga kedua belah pihak cedera, diduga—boleh jadi dugaan ini salah—sehari sebelumnya “perang urat syaraf” antara pemkot dan PKL di media massa soal pengelolaan pasar yang akan dibangun di lahan milik PT KAI di Stasiun Tanjungkarang. Seperti diberitakan Radar Lampung (10/4), pihak HPKL BK (Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning) menuding pemkot telah mencatut gagasan mereka untuk membangun Pasar Wisata Bambu Kuning Square di tanah milik PT KAI Stasiun Tanjungkarang. Ketua HPKL Zulkarnaen merasa dikijangi pemkot soal pembangunan BK Square. Ia menuding pemkot seperti sedang memanen di lahan gagasan orang. (Baca Radar Lampung: “PKL yang Merintis, Pemkot yang Panen”). Berita ini menjawab pernyataan Kepala Dinas Pengelola Pasar Syaiful Anwar di harian sama, sehari sebelumnya (9/4).

Sungguh, perang urat syaraf secara terbuka (terpublikasi) ini semakin memeruncing keadan saja. Pada kenyataan, bukan pemkot menghilangkan masalah tapi justru membikin masalah baru. Yang saya ketahui, mungkin sejak 2007 lalu ketika PKL BK digusur, sudah mulai tercetus gagasan dari PKL BK membuka lahan baru. Merintis BK Square ini sudah lama, bahkan sudah muncul saat Kepala Dinas Pengelola Pasar, waktu itu Hanibal HS. HPKL BK-APPSI Lampung pada 1 Januari 2008 bertemu dengan Dirut PK KAI di Bandung untuk mempresentasikan keinginan mereka menyewa lahan di Stasiun Tanjungkarang milik PT KAI. Kata sepakat pun dipeoleh. HPKLBK-APPSI Lampung mengantongi persyaratan dari Bandung, yakni secarik rekomendasi dari Pemkot Bandar Lampung.

Tetapi rekomendasi yang diperlukan HPKL BK tak kunjung diterima, justru pemkot mengeluarkan statemen akan membangun pasar bagi PKL di lahan justru yang sudah lama “diinginkan” HPKLBK-APPSI. Pemkot juga menemui Dirut PT KAI di Bandung. Apakah pemkot tak punya gagasan lain kecuali “menyadap” ide HPKL BK?

Mengenai BK Square yang digagas HPKL BK akan dijadikan pasar wisata—dengan perpaduan tradisional dan modern—yang mengingatkan pada Pasar Beringharjo (Yogyakarta) atau Pasar Sukowati (Bali), dapat dikatakan sbagai kepedulian para PKL mendukung program pemerintah di bidang pariwisata. Apa lagi, Lampung telah mencanangkan pada 2009 mendatang sebagai kunjungan wisata Lampung (Visit Lampung Year 2009). Artinyta, HPKL BK-APPSI Lampung tidak semata hanya memplaning pusat perniagaan di sana, tapi berpikir lebih jauh untuk mendukung kesuksesan pariwisata di daerah ini.

Diakui atau tidak, Bambu Kuning sebenarnya sudah menjadi trade mark, ikon, dan sekaligus menjadi penanda bagi Kota Bandar Lampung. Para pendatang—wisatawan lokal—dari luar Lampung merasa belum ke daerah ini jika tidak menjejakkan kakinya di Pasar Bambukuning. Dan, BK identik dengan PKLnya yang mendenyutkan jantung pasar tertua di Bandar Lampung itu. Ibarat irama, PKL BK yang ikut memainkan salah satu alat musik sehingga mengharmoniskan suatu komposisi.

Oleh karena itu, saya benar-benar miris tatkala terjadi chaos pada Kamis (10/4) lalu antara PKL dan Pol PP sehingga kedua pihak mengalami luka sebagai puncak, konon, dari perlakukan tak senonoh dan pelecehan sebagai bentuk arogansi pihak keamanan sipil pemkot kepada PKL. Insiden ini sudah kali kesekian dialami PKL BK, seolah PKL tak bisa keluar dari kemalangan. Akankah nasib PKL—bahkan yang ada di kota ini—bisa menghirup udara nyaman tanpa harus setiap hari digayuti ketakutan digusur aparat ketertiban umum?

Akhirnya, saya hanya bisa berdoa Pasar Wisata BK Square yang dirintis HPKL BK-APPSI di lahan milik PT KAI di Satasiun Tanjungkarang terwujud. Semoga Pemkot Bandar Lampung bisa menahan diri untuk tidak turut campur apa lagi sampai mengklaim ingin menfasilitasi pembangunan pasar di sana sebagai bentuk kepedulian mensejahteraan para PKL. Cobalah, untuk kali ini saja, pemkot bersikap tut wuri handayani bagi terwujudnya impian para PKL BK yang selama ini termarjinalkan sebagai warga negara.

Bravo PKL BK, selamat berjuang mewujudkan gagasan demi mendukung perkenomian di Bandar Lampung ini. Salam.

Tidak ada komentar: