16 November 2008

Tujuh Pemuda dan Seekor Anjing

Isbedy Stiawan ZS


TUJUH pemuda dan seekor anjing akhirnya meninggalkan kesunyian dan melebur dalam keriuhan. Dari persembunyian yang cukup lama—mungkin berabad-abad?—itu mereka dapatkan banyak pengalaman berharga yang tak pernah diperoleh di luar gua.

Pertama-pertama yang mereka rasakan setelah beberapa jenak mengasingkan diri; terhindar dari ketertindasan, bebas sebenar-benarnya bebas dari segala intimidasi, provokasi, ataupun janji-janji. Dan, paling utama, merdeka sebenar-benar merdeka dari raja lalim.

Kalau harus memilih ke tujuh pemuda dan seekor anjing itu akan kerasan tinggal dalam persembunyian. Tetapi, suratan sudah menyuratkan mereka dibangunkan dari kelelapan, dan mesti kembali ke keramaian.

Mereka tersadar. Raja sudah diganti. Alat beli dan tukar yang dimilikinya tak lagi berlaku. Orang-orang tak pula dikenali. mereka seakan asing di antara warga kota. Berbagai bangunan banyak yang baru. Pasar tumbuh di mana-mana. Jalan berliku dan bercabang. Kota menjadi berwarna-warni.

“Kau tahu apa yang terjadi di kerajaan ini?” pemuda satu melontarkan pertanyaan begitu matanya tertumbak banyaknya umbul-umbul dan baliho di hampir setiap ia menatap.

“Ulang tahun kemerdekaan kerajaan,” pemuda ketiga mencoba menerka.

Pemuda keempat mencela. “Untuk apa kemerdekaan? Adakah warga di sini sudah benar-benar merdeka? Merdeka dari apa?”

“Mungkin saja sewaktu kita di dalam gua, ada penjajah asing yang bertamu lalu merampok isi kekayaan negeri dan menindas penduduk? Kemudian warga melawan hingga tetes darah penghabisan demi kebebasan dari penjajah? Para penjajah pun hengkang, lalu negeri ini menyatakan kemerdekaannya?” pemuda kedua ikut menimpal.

Seekor anjing yang sedari tadi hanya memperhatikan ke tujuh rekannya, kini ikut menyalak: “guk guk guk guk guguk guk….” (apabila diterjemahkan ke bahasa manusia berarti kira-kira begini: “ah, kalian—dasar manusia—sok tahu!”)

“Diam kau anjing!” pemuda satu kini menyalak. Ingin sekali melempar anjing yang pernah ikut berlama-lama dalam pengasingan dan selama itu pula menjagai keamanan rekan-rekannya dari pengejaran penguasa zalim.

Segera anjing itu mencoba menghindar, namun urung. Justru ia melompat dan menerkam segumpal makanan dengan moncongnya. “Nah, begitu dong kawan. Masak aku mau ditimpuk, padahal berabad-abad aku menjagai kalian. Hehehe tapi salah lempar kan? Karena itu, aku tak sudi mengucapkan terima kasih. Guk guk…” ucap seekor anjing itu sambil mengibaskan ekornya dan mengusung lidahnya.

“Diamlah anjing!” bentak pemuda kedua. “Batu atau bolu bagimu sama saja. Masih untung rekanku tak benar-benar menyambitmu dengan batu!”

“Tapi, apakah aku salah jika urun pendapat?” tanya anjing itu seraya matanya mendelik. Menyelidik. Ia benar-benar tak habis pikir pada bangsa manusia; mengaku berjuang untuk demokrasi, tapi menyatakan pendapat dianggap penghambat. Menganggap paling toleransai, tapi begitu berbeda pendapat dicurigai akan merongrong demokrasi.

Ke tujuh pemuda itu menggeleng-geleng. Entah membenarkan pendapat anjing itu, atau ingin kembali menyalahkan seraya menggebahnya.

“Saya kira, tak ada ruginya kalau kita dengar pendapat rekan kita ini,” pemuda tujuh memberanikan diri berkomentar. Sambil menyilakan seekor anjing, ia berkata: “Silakan sohib. Mungkin saja pendapatmu yang benar…”

Anjing itu pun mengibas-ngibaskan ekornya, menjulurkan lidahnya lebih panjang. “Tuan-tuan budiman,” anjing itu memulai bersuara. Wajahnya sumringah. Liurnya meleleh. “Izinkan saya meminta maaf untuk khilaf kata saya tadi…”

“Segeralah kau bicara…”

“Hemm, soal kemerdekaan, saya sependapat. Memang negeri ini tengah memeringati hari ulang tahun kemerdekaan. Selama kita di pengasingan, sesungguhnya telah terjadi banyak peristiwa. Negeri ini dijajah beberapa abad oleh negara lain, dan tiga tahun lebih oleh negera yang lain. Dan, pada satu peristiwa terjadilah kemerdekaan, yang kini sedang dirayakan. Yang kedua, jika kita melihat umbul-umbul dan baliho yang tersebar itu. Saya menengarai akan terjadi pemilihan raya untuk raja yang baru!”

“Saya sepakat dengan kau, anjing!” teriak pemuda lima. Sebagaimana nujum yang saya dapatkan, memang akan berlangsung pemilihan raya. Tengoklah baliho-baliho itu. Sejumlah, ada tujuh, gambar tokoh terpampang. Merekalah calon raja yang akan berlaga dalam pemilihan raya kelak.”

“Karena itu kita harus berpartisipasi. Jangan sampai antipati!” teriak pemuda enam.

“Untuk apa?” selidik pemuda dua.

“Ya, apa untungnya buat kita?” sambung pemuda tiga.

“Kalau hanya mendapatkan mudarat, lebih baik kita kembali ke persembunyian. Menghindar dari keriuhan pesta ini…”

“Guk guk guguk…” (artinya: “setujuuu….”). “Guguk gugugukkk…” (“golput nih ye…”)

Yup!” pemuda keempat memberi jari jempol. “Dari ketujuh calon raja dan tujuh calon wakil raja itu, tak satu pun kita kenal pribadi-pribadinya. Apatah lagi misi dan visinya. Kecuali, saya menengarai, mereka hanya ambisi ingin jadi raja. Karena itu, meminjam omongan anak Kiay NU Ilyas Ruhiyat—Acep Zamzam Noer yang penyair asal Cipasung—itu, tidur yang paling enak dan nyaman pada saat hari pencoblosan!”

“Golput?” anjing itu bersuara.

“Kenapa tidak?” pemuda keempat kembali menegaskan.

Anjing yang sudah mendapat tempat di hati ke tujuh pemuda itu, bersuara lagi: “Bagi saya ikut memilih atau golput, tak akan berpengaruh bagi kehidupan bangsa anjing. Saya juga tak berharap banyak pada calon-calon raja yang akan berlaga itu. Jika menang apakah akan benar-benar mensejahterakan bangsa anjing? memerdeka anjing dari perbudakan para tuan-tuannya. Dari makan tempe setiap hari, berubah memakan daging sehari tiga kali atau lebih. Rumah-rumah anjing dimegahkan, mendapat tempat istimewa di dalam rumah para tuan. Tidak diburu-buru oleh petugas sebagai binatang yang menyebar virus.”

“Ah, kau terlalu banyak menuntut anjing!” salak pemuda satu.

“Tapi, boleh juga kita dengarkan pendapat anjing ini. Bagaimana pun, piye-piye anjinge dhewe, begini-begini biarpun jelek ia adalah sohib kita. Apalagi pendapatnya bersandar pada pikiran manusia. Mari kita analisa bersama…” pemuda lima membela anjing.

“Dari kacamata politik. Tak satu pun dari ke tujuh pasang kandidat itu, benar-benar ingin membangun dan mensejahterakan negeri ini. Lagipula, saya pun tak mau kalah denganmu saya mengutip pendapat orang bijak, politisi kita hanya pemain karena itu mereka hanya bermain-main dalam politik. Tidak memasuki politik secara subtansi. Tak punya niat untuk mengubah—mereformasi—hal-hal yang sudah kadaluwarsa. Hanya kepentingan sesaat, yakni jabatan dan kekayaan!”

“Guk guk guk….” (kesimpulannya: kita kembali ke dalam gua?)

Ke tujuh pemuda itu bergeming. Matanya kosong saat tertumpu pada mata anjing itu.

“Keadilan terlalu mahal di negeri ini. Raja yang sedang memimpin dan mengaku ingin memuluskan jalan pemilihan raya, juga tak adil. Ia menggembor-gemborkan netralitas. Ia larang komunitas dan orang-orang kerajaan untuk ikut mendukung secara terang-terangan pada salah satu kandidat. Tetapi, diam-diam, ini asumsi saya lo, nyatanya ia condong ke salah satu kandidat…” ujar pemuda lima.

“Belum seumur jagung ia memimpin, sudah dibabat habis kroni-kroni raja sebelumnya. Untuk mematahkan seluruh kekuatan yang akan memenangkan salah satu kandidat,” dukung pemuda dua.

“Jangan sampai kita jadi keparat…”

“Lalu?”

“Kita mesti sadarkan rakyat. Hati-hati memilih. Pilihlah sesuai yang membisik di hati. Boleh tidur pada hari pencoblosan, jika nurani berkata ‘tidak’ untuk semua kandidat,” simpul pemuda satu.

“Guk guk guguguk gukguk gugugugukkkk guk…” (transletnya: “kalau memang itu pilihan, sebab rakyat pun diberikan kebebasan dan dilindungi undang-undang setiap komitmennya, kenapa tidak? Sudah saatnya rakyat harus lebih cerdas dari pemimpinnya!”)

“Ah, kau tahu apa, anjing!”

sudut kemiling, 8 agustus 2008

*) tulisan ini merupakan orasi dari “Mimbar Bebas” serangkaian Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) ke-14, 8 Agustus 2008, di Sekretariat AJI Kota Bandarlampung

Tidak ada komentar: