16 November 2008

Indonesia dalam Hitungan 100 tahun

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Berikan padaku 10 pemuda, aku akan mengguncang dunia!” ujar Soekarno.

BOEDI Oetomo, berusia 20-an tahun pada 1908, mencetuskan Stovia—kemudian menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari dunia pendidikan BO bergerak untuk menumbuhkan semangat kebangkitan. Artinya, di sini pendidikan dalam benak BO amat sangat urgen bagi pembentukan karakter bangsa. Dari kawah yang bernama pendidikan akan terukur kualitas berbangsa.

Betapa pentinganya pendidikan, sehingga Kaisar Jepang pada saat Hirosima dan Nagasaki luluhlantak dibom atom tentara sekutu pada 1945, hanya mengajukan satu pertanyaan: “Bagaimana nasib dan keadaan para guru?” Kaisar tidak begitu peduli—walaupun ia pasti sedih dan berduka—menyaksikan Hirosima dan Nagasaki hanya menyisakan puing, selagi nasib dan keadaan para guru dilaporkan baik-baik saja. Dan, tak lama dari kehancuran negeri Sakura oleh sebab bom atom, Jepang pun bangkit—bahkan kini berada jauh di depan Indonesia.

Ini kontradiktif saat beberapa daerah di Tanah Air juga hancurluluh tersebab bencana alam—tsunami, banjir, gempa, longsor, lumpur panas—tak satu pun dari pemimpin Indonesia yang mempertanyakan bagaimana nasib dan keadaan para guru? Alihalih bertanya soal nasib guru, banyak bangunan sekolah yang nyaris ambruk layaknya “kandang ayam” itu, sekadar prihatin nyaris tak terdengar.

Apatah lagi kita “melawan” Jepang, berhadapan dengan Malaysia saja rasanya, aku meminjam puisi Taufiq Ismail Malu Aku Jadi Orang Indonesia, benar-benar dipermalukan. Kalau dulu para guru Malaysia dikirim ke sini untuk berguru, sebaliknya kini banyak guru di sini yang harus belajar ke Malaysia. Belum lagi pengiriman besar-besaran tenaga kerja ke negeri Jiran itu karena Indonesia tak mampu menyejahterakan anak bangsanya sendiri.

Peribahasa “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” seperti sudah tidak berlaku lagi. Masyarakat kini berpikir lebih baik hujan emas di negeri orang ketimbang mati kelaparan di dalam negeri. Itu sebabnya, walaupun akhirnya, para tenaga kerja Indonesia harus benasib malang di luar negeri. Atau para pekerja wanita yang pulang tingal membawa nama atau “berbadan dua” karena ulah majikan. Tetapi, toh, “ekspor” tenaga kerja tetap berlangsung secara besar-besaran.

Lalu, berapa pulau milik Indonesia yang tercaplok negeri bekas jajahan Inggris itu? Ah, rasanya aku tak adil kalau tak menyebut Singapura yang juga pelan-pelan melalui tepi pantainya telah mencaplok tanah-air-udara Indonesia.

Lalu di mana kebangkitan nasional bisa kukenang? Anggaran bagi pendidikan ternyata masih sangat tak memadai. Nasib para guru masih di bawah standar. Bangunan-bangunan sekolah dibiarkan hancur ataupun tak terawat. Para pemuda lulusan sekolah tak sebanding dengan tersedianya lapangan pekerjaan. Belum lagi anak-anak putus sekolah yang seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara dibiarkan telantar.

Aku di sini berdiri hendak mengenang kebangkitan nasional. Aku menafsir apakah nasionalismeku sudah bangkit setelah 100 tahun dicetuskan BO? Nasionalisme macam apa? Apakah aku mesti meradang tatkala Indonesia dicabik-cabik oleh bangsa lain, ataukah aku harus menerjang ketika pulau-pulau dipreteli satupersatu dari peta Indonesia oleh negera tetangga? Apakah aku harus turun ke jalan meneriakkan yel yel dalam barisan demonstran, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, anteean premium lantaran pasokan terbatas, melangitnya harga barang, upah bagi buruh yang selalu di bawah minimum, tiadanya jaminan bagi guru kontrak dan honorer, mahalnya biaya pendidikan sementara anggaran yang diberikan pemerintah tak kunjung memadai, anggota legislatif yang cenderung tak memperjuangkan nasib rakyat yang memilihnya, juga pemimpin yang bermanis-manis wajah dan murah tangan saat kampanye tapi kemudian melupakan rakyat pendukungnya? Apakah itu, lagi-lagi, yang mesti kulakukan? Apakah “pengadilan jalanan” sangat dibutuhkan bagi bangsa yang telah 100 tahun bangkit ini?

Kebangkitan nasional yang diidamkan BO adalah dimulai dari dunia pendidikan. Mengapa lalu kita seperti mengabaikan hal ini? Aku sedih ketika pendidikan kita sekarang hanya terfokus pada hasil kelulusan 100 persen. Sehingga setiap sekolah seakan benar-benar bangga karena merasa berhasil, jika kelulusan mencapai angka maksimal tersebut. Meskipun, akhirnya, harus melakukan apa saja.

Jangan salahkan BO apabila kebangkitan nasional kita tafsirkan seperti yang terjadi saat ini. Sejatinya para pemuda Indonesia pernah menafsirkan amat brilian dan berani. Adalah sekumpulan pemuda bersama-sama menafsirkan kebangkitan nasional lalu sefaham dan sepakat dengan mengikrarkan “berbangsa satu, bertanahair satu, berbahasa satu adalah Indonesia. Sumpah Pemuda yang dirumuskan oleh Mohammad Yamin itu dicanangkan pada 28 Oktober 1928.

Sumpah Pemuda yang menurut Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi dengan “P” kapital itu, sangatlah menjadi kenyataan 17 tahun kemudian. Isi sumpah para pemuda itu demikin: “Kami putra putri Indonesia bersumpah berbangsa satu bangsa Indonesia/Kami putra putri Indonesia bersumpah bertanah air satu tanah air Indonesia/Kami putra putri Indonesia besumpah berbahasa satu bahasa Indonesia.

Para pemuda di tahun 1928 berwawasan futuristik. Betapa tidak, Indonesia waktu itu masih in absentia—masih absurd, apatah lagi bicara tentang bangsa, tanah air, atau pun bahasa. Akan tetapi, para pemuda Indonesia sudah berani berangan, membayangkan, berandai-andai tentang bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia. Dan angan-angan itu menjadi kenyataan pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta mewakili atau atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Indonesia merdeka.

Bersamaan proklamasi kemerdekaan itu, lagu “Indonesia Raya”-pun secara terang-terangan dan berani dikumandangkan. Lagu ciptaan W.R Supratman itu dengan eksplisit mengajak “bangunlah jiwaku, bangunlah ragaku/untuk Indonesia Raya.” Tetapi, ternyata 30 tahun lebih semasa rezim Soeharto, jiwa dan raga bangsa ini tak pernah bangun. Aku, barangkali juga, jutaan bangsa ini tak merasa merdeka sebenar-benar merdeka. Kekuasaan refresif membungkam perbedaan berpendapat. Kita dicekoki oleh adagium “persatuan untuk kesatuan”, bukan seharusnya “persatuan dalam keberagaman” sebagaimana nafas bhinneka tunggal ika.

Dari rezim ke rezim yang memimpin Indonesia, seakan lupa yang mesti dibangun dari bangsa yang lebih separuh abad ini merdeka. Pembangunan fisik secara besar-besaran digalakkan, tetapi jiwa dan raga bangsa ini dibiarkan terpuruk. Lalu, apa lagi yang mesti kumaknai dari kebangkitan nasional? Apakah kebangkitan itu dibuktikan hanya dengan pembangunan fisik seperti bangunan (gedung) hingga menggapai langit, jalan layang bertingkat dan meliuk-liuk, jembatan terpanjang, berjutaan patung memenuhi kota, jembatan di atas laut, dan seterusnya? Sementara itu, jiwa dan raga bangsa Indonesia dibiarkan kropos dan rapuh?

Sepanjang Orde Baru berkuasa, aku mencatat Indonesia hanya melahirkan para birokrat yang bersuara “wek wek wek” dan selalu menanti “petunjuk dari bapak presiden” kalau hendak berpendapat. Atau legislator yang hanya mampu menciptkan koor “setujuuu….” Selebihnya, yang “berani beda” dengan rezim akan dikucilkan, diburu, dibui, atau diculik dengan tuduhan pengacau keamanan dan stabilitas negara (kerap disingkat GPK). Barangkali, sekiranya istilah “teroris” popular di zaman Orde Baru, pastilah istilah itu akan pula didayagunakan. Sehingga semakin panjang kecemasan-kecemasan menggerogoti jiwa dan raga bangsa ini.

Sektor pendidikan juga tak tersentuh maksimal. Orde Baru hanya berhasil membangun banyak sekolah inpres, tapi berapa banyak lulusan dari sekolah inpres yang merasa pendidikan itu penting karena telah mengeluarkan dirinya dari kebodohan, dari ketidaktahuan, dari ketakmampun dan ketakberanian berkata maupun beraksara. Walaupun lalu dicanangkan wajib belajar (Wajar) 9 tahun, toh Indonesia belum juga mampu menyiapkan anak didik yang siap kerja (pakai). Dunia pendidikan kita, mengutip Afrizal Malna dalam puisinya, hanya mengajarkan bagaimana murid menggambar gunung dan matahari di sela gunung, jalan yang mengecil di bagian atas, di sisi kiri dan kanan terbentang sawah, serta pohon di setiap sisi jalan menuju bukit. Sangat stereotipe.

Fakumnya atau tidak berjalannya kebangkitan karena diredam sepanjang 30 tahun lebih berkuasa Orde Baru, akhirnya atas kesadaran demi “menyelamatkan bangsa” maka para pemuda—diwakili mahasiswa dan elemen masyarakat—mendesak Soeharto turun dari tampuk kepresidenan. Kita mencatat gerakan mahassiswa dan elemen masyarakat itu pada 1998 sebagai keinginan (me)reformasi kepemimpinan di Indonesia. Sasarannya penguasa Orde Baru: Soeharto. Ya, cuma Soeharto. Gerakan mahasiswa 1998 yang kita kenal “gerakan reformasi” itu, hanya bertumpu untuk menumbangkan Soeharto, tanpa menyiapkan tokoh setelah penguasa Orde Baru itu tumbang.

Ibarat penebang pohon, gerakan reformasi hanya menumbangkan batang pohon tapi membiarkan akarnya tetap menghunjam. Akibatnya, setelah Soeharto turun dan aktivis reformasi pulang “ke kandang”, akar-akar yang lupa dipangkas kembali bertunas. Bukan tokoh-tokoh reformis yang mengisi ruang kosong itu, tapi elite-elite yang tumbuh dan hidup dari akar pohon yang ditumbangkan. Orang-orang lama berwajah paradigma baru kembali mengisi kursi-kursi kepemimpinan. Bahkan, seorang Harmoko yang dicatat sebagai “yang memulai dan yang mengakhiri” Soeharto setelah beberapa tahun menghilang, kini siap-siap turun lagi ke gelanggang politik.

Lalu, aku mencari di mana para reformis di tahun 1998 mampu menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa lebih 30 tahun? Padahal, sama-sama kita catat, buah dari Reformasi 1998 tak sedikit pemuda (mahasiswa dan elemen masyarakat) yang mati atau hilang tak tahu nisan dan di mana ia disekap? Bahkan, sampai 10 tahun usia reformasi: siapa penembak mahasiswa Trisakti, siapa pelaku sehingga menewaskan Muhammad Yusuf Rijal (Ijal) dan Saidatul Fitria (Atul) pada Tragedi Kampus UBL? Kita tidak pernah tahu, boleh jadi kita ikut pula (diam-diam) melupakannya.

Kini, 2008: 10 tahun Reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, aku belum banyak mencatat adanya perubahan signifikan bagi bangsa ini. Tak perlu berdiri di hadapan negara adikuasa, dalam percaturan di Asia saja sudah tak bisa menunjukkan diri sebagai bangsa besar yang dihuni jutaan rakyat, memiliki ribuan pulau, luasnya tanah air, berlimpahnya sumber alam, suburnya tanah, meruahnya simpanan air, dan sebagainya—sampai-sampai Koes Plus menyebut “tongkat kayu jadi tanaman”.

Aku mengenal aktivis yang berjuang pada 1998, kini seperti tak lagi garang lantaran dininabobo oleh berbagai jabatan. Lahirnya beragam partai politik, juga melahirkan banyak aktivis baru yang menduduki kursi legsilatif. Partai politik bagai kue manis yang dikelimuni semut. Kursi dewan layaknya busa empuk yang membuat para politisi itu lupa berdiri untuk melihat nasib rakyat. Kecuali untuk berjamaah melakukan studi banding ke berbagai daerah dan luar negeri.

Setali tiga uang dengan eksekutif. Para pemimpin—presiden, gubernur, walikota, bupati—hampir semua adalah orang (pemain) lama. Setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi, apakah kita tak berpikir menyiapkan tokoh yang mampu memangkas satu atau dua generasi peninggalan Orde Baru? Apakah tokoh yang diidamkan untuk mengawal reformasi harus dilahirkan, seperti 1908 melahirkan BO, 1945 munculnya Soekarno dan Hatta, Orde Baru dengan Soeharto dan Golkar-nya? Sedangkan 1998 tak melahirkan tokoh dan yang ditokohkan. Sungguh, ini suatu ironi yang seharusnya disesali.

Tahun 2008: aku berdiri di sini bertepatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi. Tetapi, aku masih belum fasih bertanya: apakah Indonesia telah bangkit seperti keinginan BO atau sebagaimana pula impian W.R. Supratman “bangunlah jiwaku/bangunlah ragaku/untuk Indonesia Raya”?

Rasanya pula pertanyaanku itu, biarlah untuk sementara tetap menjadi pertanyaan. Seperti juga selalu kuajukan pertanyaan kepada calon gubernur, walikota, bupati, dan anggota legislatif: sanggupkah mewujudkan Indonesia benar-benar bangkit, membangun jiwa dan raga bangsa. Dan, bukan membangun rumah-rumah pribadi, menumpuk harta kekayaan, menjejali kursi-kursi dengan kolega dan keluarga, menilep uang negara, mengaburkan nomor kendaraan dinas seakan milik pribadi, melimpahkan proyek-proyek negara ke rekanan fiktif.

Ah ah, mengapa aku harus bersikap seperti orang yang berang? Ayo, bangkit Indonesia! Jaya Indonesia! Rebut kembali marwah kebangkitan (tapi aku benar-benar sedih: di arena olah raga saja, Indonesia tak mampu membawa piala Thomas dan Uber. Mari sama-sama menangisi nasib Indonesia). Sehingga tak lagi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” karena mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Apa mungkin? Bila? Jangan kautanyakan pada ombak, matahari, dan rumput yang bergoyang. Jangan….

20 Mei 2008; 02.35

*) Dibacakan pada “Orasi Politik” pada Mimbar Pemuda 2, digelar BEM Unila di GSG Islamic Centre Bandarlampung, 20 Mei 2008

Tidak ada komentar: