16 November 2008

Mengadu Nasib di Lahan Caleg

Oleh Isbedy Stiawan ZS

GEDUNG legislatif pada 2009 bakal diburu banyak orang. Laksana lahan pekerjaan orang-orang akan berlomba untuk jadi anggota legislatif. Banyak partai yang bermunculan jelang Pemilu 2009, indikasi kursi dewan sangatlah menggiurkan. Partai—juga jalur independent—bukan tak mungkin sebagai lapangan baru untuk mengadu dan syukur nasib bisa beryubah.

Tengoklah partai-partai yang lahir, cermati pula nama-nama “pemilik partai”, serta baca daftar bacaleg (bakal caleg) dan caleg yang diajukan ke KPU, mungkin bisa dijadikan bukti sesungguhnya politik adalah hal yang seksi. Pemilu bukan semata-mata (sekadar?) pendewasaan berpolitik, melainkan arena pertaruhan meraih status “terhormat” di kursi legislatif.

Ramai-ramainya partai dibentuk seiring konflik dalam partai berlangsung, semata bukan untuk menegakkan idealisme dan penegakan hukum. Disadari atau tidak, yang diperjuangkan partai dan caleg tersebut cuma untuk melenggang ke arena Pemilu 2009. Sebab muaranya ialah untuk mendapat pengakuan secara hukum dan bisa terdaftar sebagai peserta pemilu di KPU.

Kalau benar-benar berniat memperjuangkan nasib rakyat, apa perlunya berdemo ketika seorang kader tak terpilih oleh partai sebagai caleg? Mengapa pula elite parftai otomotis nomor urut kecil dalam daftar caleg atau dianggap patut dipromosikan menjadi prsiden, gubernur, serta bupati/walikota? Apa makna konflik yang terjadi di dalam partai, selain memperebutkan status dan kehendak tercatat dalam daftar peserta pemilu?

Menjadi anggota lgislatif seperti sama artinya berkompetisi jadi PNS. Jika mendaftar calon PNS saja harus (?) siap dana tak kurang Rp10 juta, mengapa tidak dana sebesar itu ditanam ke lahan caleg. Begitulah itung-itungan dalam mengadu nasib di lahan caleg.

Artinya apa? Dengan masa pendaftaran caleg di partai masing-masing, terbuka ruang negosiasi: kedekatan dan uang. Barangkali hanya beberapa partai yang memrioritaskan kadernya, selebihnya terbuka untuk umum. Keterbukaan itu membuka kesempatan bagi yang punya dana, pamor (ketokohan), dan mereka yang kesohor (artis) mendaftar sebagai caleg.

Politik pada akhirnya bukan lagi panggilan nurani. Politik, sama dengan karier lainnya, adalah untuk mengubah status dan kehidupan. Bahkan, sebagian orang menganggap (untuk) gagah-gagahan.

Jangan ditanya motivasi atau niat mengapa mereka mendaftar sebagai caleg. Jawabnya pasti mirip-mirip dan klise: panggilan hati untuk membela kepentingan rakyat. Lalu, rakyat mana yang mereka bela kepentingannya? Rakyat yang (hanya) mendukung—kontituens—ataukah rakyat yang dalam pengertian kita bersama sebagai bangsa dan telah ditoreh dalam UUD 45?

Kalau ya, mata anggaran mana dalam APBD ataupun APBN yang berpihak kepada rakyat? Kalau demi membela kepentingan rakyat, mengapa anggaran yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak tidak dipangkas? Misalnya, anggaran studi banding ke luar daerah atau luar negeri yang acap diprotes hanya menghambur-hamburkan uang negara, tetap dipertahankan bertahun-tahun? Kenapa pula ada isu di gedung legislatif yang kerap “bermain mata” dengan gubernur, bupati, atau kepala satuan kerja untuk mempertahankan pengajuan anggaran? Ini sudah menjadi rahasia umum.

Menjadi anggota legislatif memang peluang untuk meraup penghasilan bisa dari mana saja dan dari berbagai hal. Bayangkan dari rapat-rapat dan kunjungan ke suatu tempat disediakan anggaran. Belum lagi fasilitas yang disediakan, seperti kenderaan, rumah, dan seterusnya. Meminjam pendapat Djadjat Sudradjat (Nuansa Minggu Lampung Post), nafas bagi pejabat dan anggota legislatif sudah ditanggung negara. Itu sebabnya, boleh jadi, menuju gedung legislatif adalah jalan yang seksi dan menggiurkan. Dan, jadi anggota legislatif bertujuan bagaimana hidup bisa berubah. Beharap dilayani dan dimanja oleh negara dengan atas nama mewakili rakyat.

Setidaknya, kalau sebelumnya hanya sebagai pemborong atau “penganggur elite” maka setelah menjadi legislatif ia mendapat julukan baru dan terhormat: “anggota dewan”—syukur-syukur memegang jabatan ketua panang, ketua fraksi, dan ketuga dewan—yang stratanya di mata masyarakat akan naik. Setidaknya ia adalah wakil rakyat, sedikit berada di atas yang bernama rakyat (kebanyakan).

Benarkah anggota legislatif sudah demikian terhormat (dan mulia) di mata rakyat? Teringat saya manakala begawan Omar Kayyam yang mendapat mosi dari Sang Raja sebab kritikan pedas pada kebijakan raja. Ia diopsi menjadi abdi kerajaan (setara anggota dewan sekarang), diusir dari negara, atau hukuman penjara (pancung?).

Untuk opsi pertama, Omar Kayyam menjawab, kalau untuk mendapatkan abdi kerajaan tak perlu seorang Omar Kayyam. Sebab di kerajaan yang luas banyak orang yang dapat dijadikan abdi jika sekualitas abdi yang sudah ada. Apabila sang raja hendak mengusirnya dari tanah kerajaan, dijamin berabad-abad tak akan lagi mendapatkan seorang seperti Omar Kayyam. Dan, bila raja memasukkan Omar Kayyam ke dalam bui, lalu siapa yang akan berani “mengingatkan” raja jika melakukan kesalahan? Akhirnya, Omar Kayyam diberi kebebasan berekspresi untuk berkarya, sekaligus mengkritisi sang raja.

Jadi, memang, mencari anggota legislatif dengan kualitas seperti sekarang sangatlah tidak sulit. Pagi ini saja ada anggota legislatif yang direcal atau dipecat (ditarik oleh partai), siang atau dua hari kemudian sudah bisa mendapat penggantinya. Apatah lagi kini di negeri ini betapa banyaknya partai politik terdaftar, namun hanya berapa banyak politisi yang berjiwa negarwan alias politisi sejati? Tak sebanding dengan pengamat/pakar politik atau orang-orang yang memiliki kepedulian “meluruskan jika politik bengkok, mensucikan politik jika kotor”.

Akibatnya, politik bisa ditafsir oleh para elite saja. Rakyat seakan tak punya ruang ikut berpendapat. Sementara pengamat/pakar politik, bukan lagi rahasia, jelas keberpihakannya pada salah satu elite atau penguasa. Netralitasnya bisa diuragukan. Pada pungkasnya, rakyat menjadi bingung. Mana yang benar dan yang mana harus diikuti?

Reformasi sepertinya hanya untuk menumbangkan Soeharto dan mencegah kekuatan ABRI di kancah politik, akan tetapi masalah politik dan politisi sampai kini belum tersentuh oleh cita-cita reformasi. Wallahu’alam.

--dimuat Lampung Post, 15 Oktober 2008 -


Tidak ada komentar: