16 November 2008

Pilgub, Etnis Jawa, dan Impian Damai

Oleh Isbedy Stiawan ZS

KETIKA diskusi kebangsaan dengan tema “Nasionalisme Mati Suri” di Umitra Bandarlampung 5 Juni lalu, saya sebagai salah seorang pembicara, melontarkan persatuan (nasionalisme) dalam keberagaman bangsa ini sesungguhnya sudah terpecah-pecah. Tidak disebabkan politik devide et impera yang dilakukan penjajah, melainkan bangsa sendiri. Saya mencontohkan pada Pilgub 2008, masyarakat etnis Jawa akan terpecah-pecah ke dalam tujuh kandidat. Bagai bom waktu, dipantik sedikit saja bisa chaos di tubuh etnis Jawa.

Apa yang diperjuangkan Boedi Oetomo (BO) melalui ranah pendidikan untuk “membakar” semangat nasional, kemudian diejawantahkan oleh para pemuda Indonesia pada 1928 melalui “Sumpah Pemuda” yaitu ‘berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu (bernama) Indonesia’. Para pemuda Indonesia di tahun 1928 itu ternyata selain berwawasan nasionalis, juga berpikiran futuristik dan moderat.

Mereka—para pemuda yang pikirannya kemudian dirumuskan dalam “Sumpah Pemuda” oleh Mohammad Yamin—dengan sukarela dan legowo melepas pakaian etnis masing-masing. Identitas kesusukuan seperti jong java, jong ambon, jong selebes dst.nya diabaikan untuk sementara, untuk mendapatkan “rumusan” kebangsaan: bangsa, bahasa, tanah air Indonesia. Sejatinya, Indonesia saat itu masih abstrak: ia in absentia, dalam bentuk abstraksi di dalam angan-angan (khayalan). Pada 1945 (17 Agustus 1945), angan-angan para pemuda itu mewujud: menjadi kenyataan.

Tetapi, bangsa yang berpikir hanya segera merdeka, tentu masih banyak terabaikan. Tengok dan cermati kembali isi proklamasi yang dibacakan Soekarno dan Hatta: “dalam tempo sesingkat-singkatnya” tanpa dibarengi rumusan tentang persatuan dalam keberagaman ataupun bagaimana menjaga kebudayaan dan adat masing-masing etnis di Indonesia. Apalagi untuk rumusan “berbudaya” dalam keberagaman di Indonesia, makin diperparah pada rezim Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun.

Entah disengaja ataukah (hanya) kebetulan, Indonesia ini dipimpin oleh etnis Jawa kecuali B.J Habibi, itu pun sayangnya tidak lama. Tampaknya etnis Jawa mendominasi bangsa ini. Dari etnis Jawa pula seakan ikut menentukan hari-hari nasional seperti Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Pahlawan, dan seterusnya. Apakah tidak mungkin Tjut Nyak Dhien bisa menyamai emansipasi R.A. Kartini? Adakah perjuangan Sarikat Islam jauh sebelum BO, meskipun berbasis agama namun telah menyebar ke nusantara, tidak bisa disebut cikalbakal kebangkitan nasional?

Tetapi, begitulah Indonesia. Sejarah berkebangsaan yang sangat cepat dan kemerdekaan yang “dalam tempo sesingkat-singkatnya”, serta berkebudayaan yang terus berproses “menjadi Indonesia” namun tidak pernah direnstrakan di Departeman Kebudayaan. Bahkan lebih ironi, kebudayaan hanya dipandang bagaimana mendapatkan devisa sehingga harus dijual kepada wisatawan.

Akibatnya setali tiga uang dengan semasa imperialisme, rezim Soeharto secara besar-besaran memindahkan orang Jawa ke pelosok tanah air. Atas nama pemerataan daerah, pulau Jawa yang nyaris tenggelam karena padatnya penduduk akhirnya ditransmigrasikan ke daerah-daerah yang dianggap masih kosong. Tetapi pemindahan besar-besaran itu tidak diimbangi dengan pengetahuan (ilmu) budaya dasar tentang masyarakat yang di tuju. Kata-kata bijak di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung tidak mengkristal dalam diri kita, sehingga kata-kata itu berhenti sebagai jargon. Bisu.

Sampai suatu ketika komunitas anshor tersadar bahwa mereka adalah pemilik sah tanah kelahirannya, ketimbang pendatang (muhajirin). Sikap seperti inilah yang lalu memicu pertikaian antaretnis setempat dengan pendatang, atau perkelahian sesama pendatang, serta persekutuan antarpendatang yang menyerbu etnis setempat. Selain itu sikap “reformis” salah kaprah, meniupkan semangat putra daerah yang berhak memimpin dengan mengenyampingkan kemampuan sebagai syarat. Isu putra daerah diembuskan di setiap akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan gubernur (pilgub).

Proyek transmigrasi di masa berkuasa Soeharto, kini terasa dan masih tersisa. Terutama di Lampung yang notabene paling dodimonasi etnis Jawa, setelah itu beragam etnis, dan ulun Leppung sebagai masyarakat yang minoritas—kalau tak boleh dibilang terpinggirkan. Karena itu, jika ingin meniupkan “isu” putra daerah harus memimpin daerah ini sesungguhnya menginggkari semangat nasionalisme yang dikobarkan sejak SI dan BO maupun semangat para pemuda di tahun 1928 lalu dikonkritkan pada 17 Agustus 1945.

Cuma masalahnya tidak berhenti pada soal putra daerah yang mesti berperan aktif dalam pembangunan daerah ini. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa etnis Jawa memang mendominasi, seakan “bibit unggul” dan menjadi rebutan. Sedangkan masyarakat dari etnis lain seperti Minang, Batak, Banten, Batanghari (Sumsel), Bengkulu, Bugis, Sunda, dll. sepertinya tidak dihitung.

Kue lapis Pilgub

Barangkali, kalaupun etnis lain disatukan dan menyatu, orang Jawa di daerah ini masih lebih banyak. Karena itu, dalam berbagai hal dan kesempatan, etnis Jawa tetap beruntung dan diuntungkan. Apatah lagi di saat-saat pilkada atau pilgub. Perjalanan pilkada di Lampung telah membuktikan bahwa etnis Jawa tetap memegang kendali, entah sebagai orang nomor satu maupun di nomor dua.

Berdasarkan pemikiran itu (pandangan?), pada Pilgub yang pertama kali dilakukan secara langsung di mana masyarakat sebagai penentu, semua kandidat (ada 7 kandidat terdaftar) pilgub merangkul orang Jawa. Baik sebagai gubernur ataupun wakil gubernur. Masyarakat awam bisa mengetahui dari nama kandidat yang selalu ada huruf “o”.

Ke tujuh pasang cagub/cawagub Lampung tersebut—sekadar untuk menyegarkan ingatan—adalah Andy Achmad Sampurna Jaya berpasangan dengan H.M. Supardjo, M. Alzier Dianis Thabrani-Bambang Sudibyo, Muhajir Utomo-Andi Arief, Oemarsono-Thomas Azis Riska, Sjahroedin ZP-M.S. Joko Umar Said, Sofjan Jacob-Bambang Waluyo Utomo (Sari Nongko), dan Zulkifli Anwar-Akhmadi Sumaryanto. Artinya, dari maisng-masing kandidat sudah tahu strategi apa dan bagaimana untuk memenangkan Pilgub Lampung 3 September mendatang, yaitu harus merangkul (memasang) orang Jawa sebagai masyarakat mayoritas. Strategi (dalam politik) itu jelas sudah dihitung matang oleh para kandidat.

Bangsa ini belum terbiasa menerima kekalahan dalam suatu permainan, itu sebabnya setiap pertandingan harus keluar sebagai pemenang. Dengan demikian, cara apa pun disiapkan agar tidak dipecundang. Maka memasuki ranah politik, dalam benak banyak orang, sebagaimana dikemukakan penyair Acep Zamzam Noor, hanya bermain politik dan bukan berpolitik. Yang jadi tujuan utama adalah uang. Masuk DPR (dan kepala daerah, iszs) bukan karena mau membela rakyat, tapi karena di situ banyak proyek yang bisa dimainkan (Kompas, 8 Juni 2008, “Persona” hlm. 12).

Apa yang dilakukan tujuh pasang cagub/cawagub dengan merangkul orang Jawa—kecuali Muhajir dan Oemarsono yang justru merangkul (bukan sebaliknya, dirangkul?) pada Pilgub Lampung, bukan tak mungkin akan membenarkan asumsi (praduga, predikisi, ramal) yang pernah saya lontarkan dalam diskusi kebangsaan seperti saya kutip ulang pada paragraf pembuka di atas. Tanpa berharap terjadi chaos, setidaknya orang Jawa di Lampung laksana kue lapis: rasanya memang lezat karena itu ditimangsayang, tetapi juga diberai selapis-selapis. Kalau dibidik secara matematis, misalnya, penduduk Jawa di Lampung adalah 4 juta saja terdaftar sebagai pemilih, maka jumlah itu dibagi tujuh. Alasannya sederhana, setiap pasang kandidat ada orang Jawa.

Kalau alasan memilih itu demikian sederhananya, seperti Pilgub bisa diamsalkan juga sebagai permainan dimana harus ada kalah dan menang, tentu yang bermain tetap sama-sama terhibur meski berada di pihak yang kalah atau menang. Layaknya menonton pertandingan sepak bola tanpa ada klub yang dipaforitkan, kita pun akan menyaksikannya dengan riang. Begitu pula jika etnis Jawa dalam Pilgub kelak sudah benar-benar melek politik, niscaya dukung-mendukung kandidat (parpol) tak akan berakhir gontok-gontokan. Cukup para kandidat yang bersaing, akar rumput bernama masyarakat tetap berhati dingin dan tidak terpancing untuk pula mengadu otot. Biarkan para kandidat saling ngotot merasa paling banyak massa pendukungnya, namun tidak harus rakyat ikut-ikutan di arena perkelahian apalagi sampai darah membanjiri persada.

Sayang sekali persaudaraan terpecah untuk suatu kemenangan semu. Jangan sampai politik adu domba (devida et impera) yang pernah dimainkan imperialisme terulang dalam bangsa ini. Harus diakui, etnis Jawa di Lampung amatlah potensi bagi pembangunan provinsi ini, sebab itu harapan kita agar suasana damai dalam Pilgub 3 September 2008 tidak tercoreng.

Sebagai etnis potensial yang menyebabkan semua kandidat berharap besar dari masyarakat Jawa pada Pilgub 2008, maka apabila tidak kita jaga suasana damai yang ada selama ini akan menjadi fatal. Saudara kita itu, sekali lagi, kini ibarat “kue lapis” yang sedang dincar dan jadi rebutan (bahkan “dimanfaatkan”). Dan, membangun kesadaran bahwa kita (ber)satu lebih sulit, tinimbang memecah-belah hingga terberai

Pilgub sifatnya temporal dan sesaat dus lebih banyak nuansa euforia saja, sedangkan kebersamaan dan persaudaraan lebih mengekal dan bernilai. Bahkan, jangan khawatir dikatakan kerdil—lagi pula dijamin UU—daripada harus tumpah darah, jika pun kita tak ada pilihan: “tidur paling enak adalah saat hari pencoblosan,” kata Acep Zamzam Noor, penyair Cipasung, Tasikmalaya (Jabar) yang putra kiyai dan sepuh NU (alm) K.H.M. Ilyas Ruhiyat, memberi resep.

Ya. Ojo dumeh tak ada kawan abadi tiada lawan yang kekal di dalam politik karena paling utama ialah kepentingan yang sifatnya sesaat pula, maka untuk apa dan bagi siapa sehingga harus gontok-gontokkan—pertumpahan darah—sesama saudara-se(suku)bangsa?*

Tidak ada komentar: