16 November 2008

Kemerdekaan ialah...

Oleh Isbedy Stiawan ZS

SEORANG tua merasa kesulitan menjawab untuk satu pertanyaan anak kecil: “Kek, apa arti kemerdekaan?”

Bahkan penguasa, pemimpin, guru bangsa, dan sejuta lebih pahlawan di Tanah Air yang masih mencecap dan menghirup 63 tahun kemerdekaan, akan pula sulit menjawab. Sampai usia yang lebih dekat pada aroma tanah, pak tua itu masih kesulitan mencari kalimat—bahkan paling puitis—sebagai ungkapan menjelaskan makna kemerdekaan.

Kakek itu kemudian menyuruh sang cucu agar mencari pengertian kemerdekaan di buku-buku pelajaran, terutama buku sejarah. Kalau di dalam buku pelajaran tak juga ditemukan, ia memerintahkan anak kecil itu untuk membongkar halaman sejumlah kamus.

Anak kecil itu mengaku sudah melakukannya. Tapi, tak satu pun penjelasan bisa memuaskannya. Maka itu ia menemui kakek, sebab orang tua itu diketahuinya salah satu pahlawan.

Mendengar kata pahlawan, pak tua itu sumringah. Airmukanya mengaroma. Senyumnya berbunga-bunga. Ia seakan kembali ke dalam ingatan saat-saat revolusi jelang kemerdekaan. Tanpa alas kaki ia masuk ke luar hutan, kebun, ladang tak bertuan. Ia susuri sawah-sawah menghijau, mendaki dan turuni gunung dan bukit, melintasi atau menyisir sungai. Hanya berbekal sekadarnya dan senjata pengaman seadanya yang terbilang sederhana.

Jadi, yang diketahui kakek itu hanya mengusir penjajah dan memerdekaan negara ini. Tetapi, ia pun tak begitu paham arti kemerdekaan sesungguhnya. Sebab, setelah negeri ini merdeka, silih berganti penindasan dan pertikaian terjadi di dalam negeri sendiri.

Ia akhirnya sulit memaknai kemerdekaan. Kemerdekaan yang diperjuangkan dulu kala untuk menciptakan rasa damai, terhindar dari saling tindas dan tikai. Justru yang ia saksikan selama ini, seakan terjadi penyimpangan memaknai kemerdekaan yang luhur. Penguasa mengintimidasi rakyat, masyarakat berlomba-lomba untuk membuat makar. Sesama bangsa saling curiga.

Kakek itu, layaknya Khidir, kemudian mengajak sang cucu untuk berjalan-jalan. Sebelum melangkah ia mengingatkan anak kecil itu untuk tidak bertanya macam-macam. Tetapi saksikanlah dengan matamu, hatimu, pikiranmu, seluruh tubuhmu—pesan pak tua.

Setelah sepakat, keduanya pun berangkat. Negeri ini yang tinggal beberapa hari lagi merayakan kemerdekaannya, aromanya sudah sangat terasa. Setiap mata memandang, warna-warni berbagai umbul-umbul terkembang. Bendera dalam berbagai ukuran dan bentuk—tentu saja bendera kebangsaan negeri—melambai di hampir setiap pinggir jalan.

Gambaran tentang fenomena penjual bendera, setiap jelang perayaan kemerdekaan, orang tua itu teringat kalimat begini: “di sepanjang trotoar kotaku,/dihiasi warna-warni bernuansa proklamasi.//betapa menjulang kesadaran warga kotaku,/betapa menjulangkah?//oh, tuhanku…/ternyta para pedagang bendera/merdeka bila bendera terbeli.” (pesan pendek dari Ponco Pujiraharjo ke handphone saya beberapa hari lalu).

Apakah kemerdekaan, tegasnya apakah nasionalisme itu, hanya dibuktikan dengan membeli selembar bendera lalu dipasang (tepatnya: dipajang) di depan rumah, sebelum dan seusai 17 Agustus. Apakah kemerdekaan dan juga nasionalisme (mencintai negeri), bila kita sudah menggantungkan kertas-kertas berwarna merah dan putih sepanjang gang masuk perkampungan/komplek perumahan? Juga menghiasi gedung-gedung perkantoran, rumah toko, gapura depan gang?

Ya, adakah kita merasa “merdeka bila bendera terbeli” atau “kesadaran warga menjulang” karena mereka mau mendagangkan bendera itu. Atau para pemuda yang menjaja dan menawar bendera-bendera kecil kepada pengendera di perempatan jalan maupun lampu merah? Padahal, terutama yang menjegat di lampu merah atau perempatan jalan menawarkan bendera hiasan kenderaan, tak jarang mengganggu lalu lintas? Tak jarang pula sedikit gertakan?

Kesadaran nasionalisme setiap jelang hari kemerdekaan, ditandai—dibuktikan?—hanya jika kita ikut menyumbang beberapa lembar puluhan ribu rupiah kepada panitia perayaan. Kecintaan pada kemerdekaan, lalu diramaikan dan dimeriahkan dengan berbagai pertandingan atau lomba—yang sejatinya tidak ada sangkutpautnya dengan arti kemerdekaan dan cinta pada negeri ini: makan kerupuk, lari karung, main bola dengan kain sarung, ibu-ibu bermain sepakbola, memasukkan pinsil ke dalam botol, memindahkan belut dari satu baskom ke baskom lainnya atau memasukkan ke dalam botol, gaple, catur, pertandingan voli, dan seterusnya.

Lalu pada malam pengumuman dan penyerahan hadiah digelar organ tunggal hingga dini hari. Apakah ini yang dinamakan kemerdekaan? Adakah kemerdekaan ialah lomba dan pesta sambil beriangjoget sampai pagi? Apabila kita tak sejalan dengan panitia perayaan agustusan, alamat seluruh warga bakal mengucilkan: diragukan nasionalismenya, dipertanyakan rasa kebangsaannya. Akibatnya, seseorang yang telah dianggap tak sejalan, jangan-jangan “kemerdekaannya” akan terganggu. Pada tingkat kelurahan, mungkin segala urusan akan sulit. Begitu pula jika sampai kecamatan, dan seterusnya.

Pernah suatu ketika, kakek itu ditawari bendera kecil oleh sekelompok pemuda dari salah satu ormas. Bukan membuat ia simpati lalu membeli selembar bendera kecil hiasan mobil, tetapi justru sebel. Cara menawar dengan setengah memaksa ditambah “ancaman” dianggap tidak mencintai bendera kebangsaan, agar orang mau membeli.

“Cuma setahun sekali pak, ini juga untuk merayakan kemerdekaan. Kayak gak punya nasionalisme aja. Cuma 25 ribu kok!” tawar, saya kira ini memaksa, salah seorang penjual bendera hias.

Itulah fenomena yang selalu berulang setiap jelang hari kemerdekaan. Semua orang, dari beragam lapisan masyarakat, seakan merasa memiliki nasionalisme yang tinggi. Seakan kesadaran bernegara dan merdeka demikian tinggi menjulang. Orang-orang memanfaatkan nasionalisme dan kemerdekaan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, yang sifatnya sesaat.

Kenapa sesaat? Sebab, setelah itu, nasionalisme dan arti kemerdekaan yang ditafsirkan masing-masing kepala secara berbeda itu, setelah meliwati Agustus bisa dipastikan akan pula turut terhapus. Bahkan untuk bekas jejaknya pun tiada dikenali. Seluruh warga kembali pada pergulatan hidupnya masing-masing, terkepung dan tak bisa mengelak di kedalaman airmata kami (puisi “Tanah Airmata” Sutardji Calzoum Bachri).

Dan, 63 tahun merdeka, kiranya kita belum mampu memerdekan kemiskinan yang terjadi di pelosok-pelosok Tanah Air. Kemerdekaan yang sudah berusia 63 tahun, ternyata belum bisa “mendamaikan” segala bentuk pertikaian dan kerusahan antarsuku di nusantara.

Artinya, kemerdekaan selama ini, masih dimaknai secara parsial; hanya kulitnya, dan tidak mengakar di hati kita. Kemerdekaan hanya diartikan dengan perayaan hura-hura, pameran pembangunan, pawai obor ke taman makam pahlawan, pidato dan berulang pembacaan teks proklamasi dan teks pancasila di lapangan, juga pawai kenderaan hias.

Semua itu, kemerdekaan yang dimaknai itu, hanyalah “pamer” kemeriahan dan kemewahan, tetapi pada sisi yang sama masih banyak rakyat yang hidup menderita dan belum benar-benar merasakan kemerdekaan. Intimidasi atau tuduhan sparatis masih terus menghantui warga.

Berbeda pendapat, kritik pada penguasa, dan sejenis itu masih dianggap hal tabu. Karena itu harus dihindari ataupun dituding akan berbuat makar. Rakyat seperti “diharamkan” menyuarakan kebenaran dan kejujuran sebagai bentuk kemerdekaan. Rakyat tak boleh berpihak atau mendukung kepada seseorang di luar penguasa. Jika itu terjadi dianggap tidak netral; diragukan netralitasnya.

Amboi, sejauh mana kemerdekaan bisa kita maknai secara tulus? Adakah batasan dari makna kemerdekaan? Kemerdekaan berarti kita tak lagi dijajah dan terjajah oleh bangsa asing, lalu bagaimana itu terjadi justru sesama bangsa?

Tampaknya rumusan kemerdekaan yang ada masih sangat ambigu. Karenanya setiap kepala dapat menafsirkan menurut yang ada di kepalanya. Seperti juga hukum dalam KUHP kita; bisa ditafsir sesuai kapasitas (keperluan?) masing-masing penerjemah hukum.

Kemerdekaan ialah, ah, terlalu banyak rumusannya; begitu multitafsir tampaknya. Tergantung dari mana anda melihatnya dan untuk keperluan apa. Silahkan menafsir makna kemerdekaan RI ke-63. Dirgahayu Indonesia!

Tidak ada komentar: