22 November 2008

Kritik: "5 cm." bagi Mimpi dan Idealisme


Oleh Isbedy Stiawan ZS



AYU Utami melalui Saman dan diikuti Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet) seakan mengawali fenomena sastra seks di tanah air. Kemudian para perempuan ayu dan dari kalangan selebritas beramai-ramai menulis karya sastra dan diterbitkan, fenomena sastra seks sedikit bergeser. Muncullah istilah yang popularitasnya hingga ke luar negeri, yakni sastra wangi.

Tentu dari genre sastra itu (kalau boleh menyebutnya demikian), ada hikmah bagi ranah sastra Indonesia. Karya sastra—terutama cerpen dan novel—booming di pasaran. Penerbit memburu para penulis dan bukan sebaliknya seperti sebelumnya. Penerbit-penerbit kecil pun bermunculan dan ikut bersaing dengan penerbit-penerbit sekelas grup Gramedia/Kompas dalam meramaikan pasar buku sastra.

Tetapi “bulan madu” dunia sastra itu tak lama. Pasaran buku sastra menurun, seiring kembali menjauh para “perempuan wangi” dan dari kalangan selebritas meluncurkan karya hinga kembali menyepinya minat masyarakat pada bacaan sastra.

Tatkala Ayat-ayat Cinta diluncurkan dan “meledak” di pasaran, masyarakat—terutama awam—seakan dimelekkan kembali pada bacaan karya sastra. Novel Ayat-ayat Cinta yang bernapaskan islami itu diserbu hingga mengantar buku tersebut menjadi best seller.

Kita seakan tersadar oleh strum novel Habiburrahman: sastra islami meski bertabur dakwah di dalamnya apabila dikemas semenarik mungkin, kesan dogmanya pun tak lagi terasa. Apalagi, kemudian Ayat-ayat Cinta diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Andrea Hirata melalui Laskar Pelangi seperti mendapat “wangsit”, novel yang diklaim sebagai pengalaman hidupnya dan mengangkat dunia pendidikan itu, selain booming dan best seller, juga telah dilayarlebarkan.

Kedua novel di atas, sejatinya tidaklah seberat novel-novel yang dinilai berkelas sastra. Temanya biasa saja—bahkan terlalu suci bagi seorang tokoh Fahri di Ayat-ayat Cinta dan taklah menonjol bagi tokoh Ikal dalam Laskar Pelangi. Tapi yang jelas tokoh utama di dalam kedua novel itu, sama-sama masih memunyai idealis dan cita-cita. Itulah “kata kunci” untuk sukses dan yang selalu dijaga dan digantungkan.

Dan idealis(me) itu pulalah yang dirayakan oleh Donny Dhirgantoro, penulis novel 5 cm, yang hendak kita bincangkan kesempatan ini. Kata kuncinya ialah, kalimat ini: “ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda, kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.” (378)

Ke 5 sahabat yang selalu menyebut dirinya “Power Ranger” itu sangat menjunjung idealisme. Mereka mencintai bangsa dan negaranya tidak semata berdemo di jalan atau menduduki gedung DPR/MPR, melainkan: “Yang berani nyela Indonesia… ribut sama gue,” Ian tersenyum ke teman-temannya. (349)

Atau kita kutip pernyataan Riani: “Dan selama ribuan langkah kaki ini, selama hati ini bertekad, hingga semuanya bisa terwujud sampai di sini, jangan pernah sekali pun kita mau menyerah mengejar mimpi-mimpi kita… Saya Riani, saya mencintai tanah ini dengan seluruh hati saya.” (349)

“Saya Zafran, saya mencintai negeri indah dengan gugusan ribuan pulaunya sampai saya mati dan menyatu dengan tanah tercintai ini.” (348)

Idealisme yang tertanam di jiwa para “Power Ranger” itu, memang terbilang naif di zaman di mana generasi mudanya berpikir hanya bagaimana ia bisa berhura-hura; hidup hanya untuk hari ini; dan seterusnya. Kesadaran yang memang akan dianggap nganeh sekiranya ada generasi muda berbicara: “Apakah kita sudah menjadi manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain?”/”Bukan manusia yang selalu mementingkan diri sendiri, manusia yang selalu mencintai dirinya sendiri.” (323)

Kritik terhadap KKN, dimulai dari diri sendiri: menolak perilaku KKN: “Ya, tapi seenggaknya kita mencoba jangan sampe sedikit pun kita KKN.”/”Karena kita dulu yang teriak-teriak anti KKN bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis sendiri, jadi manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakan-teriakan kita waktu zaman reformasi itu buat apa? Betul nggak, Ta?” (190)


Perjalanan 5 sahabat
Novel 5 cm. ini bercerita tentang perjalanan persahabatan 5 orang sejak masih SMA hingga mahasiswa. Mereka Genta, Zafran, Ian, Riani, dan Arial. Seperti Harry Potter dan Power Ranger saja, atau lazimnya dalam cerita-cerita anak-anak.

Selama 7 tahun tak pernah berpisah dan tiada hari tanpa berjumpa: diskusi, debat, nongkrong, nonton, ke kafe, yang bagai de ja vu itu, akhirnya membuat mereka tiba pada titik jenuh: bosan. Lalu mereka memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama jeda itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka lebih kaya dari sebelumnya.

Pertemuan setelah tak jumpa selama 3 bulan dirayakan bukan di tempat tongkrongan mereka sebelumnya, melainkan di puncah Mahameru. Tepat pada saat Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya: 17 Agustus!

Dalam perjalanan sejak di Stasiun Senen hingga Lempuyangan, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan, terutama sosial, yang didapati mereka. Misalnya soal pungli kondektur kereta api saat di jalan, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai tarif resmi, dan banyak lagi. Semua pengalaman itu, sekali lagi, makin mendewasakan mereka.

Novel best seller ini memang dapat mengayakan batin dan pikiran kita. Meski pun di sana-sini, bahkan hampir setiap halaman dipenuhi oleh kutipan lirik lagu sebagai penyedap untuk menarik kesukaan banyak pembaca muda, tidak mengurangi arti pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Donny sangat piawai untuk tidak terjebak dituding “mendoktrin” P4 kepada pembaca—tak cuma generasi muda!—ketika bicara soal kecintaan pada bangsa, negara, dan tanah air. Realis dan logis. Doktrin P4 tak disampaikan dalam seminar atau sarasehan, tetapi di puncak Mahameru.

Tak sedikit generasi muda menyukai petualangan mendaki gunung. Bahkan beberapa puncak seperti Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Rinjani dan banyak lagi, kerap didaki oleh pecinta alam den para pendaki. Entah sekadar menancapkan merah putih ataupun melakukan upacara detik-detik proklamasi pada 17 Agustus. Tradisi generasi muda itu dipakai Donny untuk menjadikan novelnya tidak hilang logika cerita.

Meski, berhamburan nama-nama dan sekaligus buah pemikitran serta perenungan sejumlah tokoh dunia semacam Alfred Nobel, Einstein, Sade, Plato, Socrates, Frank Sinatra (dan ah keliwat banyak jika dideretkan di sini) terkesan kelewahan. Bahkan menunjukkan seakan-akan penulisnya banyak melahap buku bacaan. Rasanya, sekelas mahasiswa umumnya, sulit (bukan tak ada sama sekali) kita pergoki mahasiswa ideal seperti ke 5 tokoh dalam novel 5 cm. ini.

Donny seperti tak sabar untuk tidak menghambur-hambur seluruh yang telah dibacanya. Pembeberan nama-nama dan juga pemikiran-pemikitan para tokoh dunia, meski bernilai bagi pembobotan novel ini, terkesan dipaksaan karena “nafsu” sang penulis.

Pengutipan lirik-lirik lagu yang kerap seluruhnya, menunjukkan kalau penulis 5 cm. benar-benar sangat hafal dan menguasai. Bayangkan ke 5 tokoh yang bersahabat itu amat fasih menyanyikan lagu-lagu yang ada dan tahu persis siapa pencipta atau yang memopularkannya. Sehingga, mungkin abai atau memang disengaja karena Donny amat berjarak dengan dunia penyair apatah lagi pada puisi, sehingga pemeranan Zafran yang seorang penyair yang selalu bimbang tak satu pun puisi ditonjolkan—bahkan sekiranya ada karya Zafran. Kecuali Zafran mengatakan saat menelepon Dinda (Arinda, kembaran Arial) bahwa ia sedang membuat puisi pesanan.

Karena Zafran justru kerap mendendangkan lirik-lirik lagu tinimbang membacakan puisi, layaknya penyair. Memang kelengahan ini tidak membuat nilai novel ini berkurang. Tetapi, selayaknya seorang dalang, pengarang mesti pula melakukan observasi untuk memberi bobot setiap tokoh-tokohnya dan (juga) seting.

Terus terang untuk seting, Donny sangat menguasai. Membaca biografi di halaman akhir buku ini, mahfum: ia dilahirkan sekaligus dibesarkan di Jakarta. Entah melalui observasi lebih dulu atau memang penulis 5 cm. adalah seorang pendaki, yang jelas seting pendakian Mahameru sangatlah dikuasai. Pembaca benar-benar diajak secara lebih dekat pada situasi pendakian: diperkenalkan daerah-daerah seperti Tumpang, Ranu Pane, Ranu Kumbolo, Arcopodo, Kalimati. Bagi yang belum (tak) pernah mendaki Semeru, jelas nama-nama ini suplemen bagi wawasan pengetahuan juga.


Pengisahan dan bahasa
Pengisahan dalam novel ini mengalir bagai air: bermula dari ketinggian, sungai, dan memuara di lautan. Tiada aral tak ada pula hambatan. Pembaca seolah dibuai mengikuti air yang mengalir itu. Sejak bab 1 hingga 10, walaupun setiap bab pastilah dimulai oleh kalimat—entah itu berbahasa Indonesia ataupun Inggris. Bagi saya tak ada masalah—kecuali bagian "sepuluh tahun kemudian.. "

Tetapi, nanti dulu, kendati tak ada masalah sebenarnya tak lepas dari masalah. Pertama saya ingin mengatakan pada Donny, bagian "sepuluh tahun kemudian" itu sangat dipaksakan. Kalau pun bagian itu dihilangkan, tak akan membuat nilai plus novel ini berkurang—apatah lagi hilang.

Dengan adanya bagian itu pada Bab 10, 5 cm kembali jadi cair padahal pembaca sudah disuguhkan keasyikan dengan berbagai permainan tokoh, kisah, sikap, dan perenungan. Menjadi cair lainnya, Donny justru ingin membenarkan dugaan-dugaan sementara yang ada dalam benak pembaca. Misalnya kalau Riani tak akan mencintai Genta karena ia sangat menyenangi Zafran. Atau Zafran tak akan jadi dengan Dinda meski adik kembar Arial ini selalu diburu cintanya oleh penyair yang selalu bimbang ini. Begitu pula Arial akhinya akan jadi dengan Indy meskipun awalnya ia males-males nanggapi SMS cewek yang ditemui pertama kali di fitnes. Hanya Ian yang tak diberi gambaran dengan siapa ia akan melabuhkan cintanya, dan Genta yang sepertinya misterius bisa menikah dengan Citra yang sekantor dengan Riani sebab tiada pernah dijelaskan di mana pertama kali mereka berjumpa. Hal yang sama bagaimana bisa Arinda dinikahi Dhenik, fotografer dan pendaki, kalau selama di perjalanan mendaki dan menuruni puncak Mahameru tak sekalipun berdialog.

Begitu pula, usia anak-anak mereka yang nyaris tak bejarak—kecuali anak Dhenik-Arinda—membuat saya bertanya-tanya: apakah ke 5 sahabat itu berdekatan tanggal pernikahannya?

Pengisahan antara Ian dengan komputernya yang selalu setia menemaninya saat-saat merampungkan skripsi yang menghabiskan beberapa halaman, rasanya—menurut saya—berlebihan: apalagi isi dialog (tepatnya: perdebatan) antara Ian dan komputernya tak begitu istimewa. Sayangnya, Donny melakukan “kealfaan” yang sama tatkala mengutip seluruh isi SMS, chatting, percakapan telepon antara Zafran dan Dinda, maupun bisikan jahat dan bisikan baik, serta saat Ian menyebarkan kuiseioner: bagian-bagian ini benar-benar melelahkan.

Lalu soal bahasa yang apa adanya, bahasa pergaulan anak muda, satu sisi bahwa demi menarik minat baca dari kalangan remaja dan masyarakat umum (awam) memanglah bisa dikatakan strategi. Dan itu terbukti: 5 cm. hanya 3 tahun dari terbitan pertama kini sudah cetakan ke 12 (November 2008).

Akan tetapi, jika dicermati dengan menggunakan kacamata berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sulit bisa kita harapkan. Kalau untuk dialog, saya kira tak ada masalah. Tak mungkin segenerasi ke 5 mahasiswa itu berbahasa Indonesia berstandard, atau Mas Gembul harus berbahasa layaknya kaum intelektual dan pembaca pidato-pidato. Cuma jika pada narasi, penulis masih menggunakan bahasa anak remaja bahkan untuk suara pun mesti pula diutarakan dalam bentuk tulisan serta masih ditemukan kesalahan tanda baca, apakah mungkin penulis novel 5 cm. belum akrab berbahasa yang baik (dan benar)?

Saya menemukan sejumlah kata “sepilas”, sumpah kalau saya mengerti maksudnya. Saya coba cari dalam kamus (saya memiliki Tesaurus Bahasa Indonesia, Eko Endarmoko, Gramedia, 2006), tapi tidak pula saya dapati kata itu. Setahu saya sekaligus saya akrabi, ialah kata “sekilas”. Mungkin saya yang salah karena keterbatasan pemilihan kata-bahasa saya, karenanya saya mohon maaf dan sudilah Donny berbagi ilmu.


5 cm. dari mimpi dan cita-cita, selebihnya…
Terus terang novel karangan Donny Dhirgantoro ini layak dibaca, walaupun digarap teenlit—artinya novel ini tidak tunduk pada bahasa Indonesia standard (baik dan benar)—dan sebagai novel popular. Novel 5 cm. juga tak berpretensi disebut karya sastra, karena penuh oleh referensi dari banyak pemikiran dan perenungan para tokoh dunia. Donny juga, sepertinya, tak punya pretensi bukunya ini disebut bernapaskan religius (islam), nasionalis, ataupun supaya memeroleh julukan merayakan idealisme yang memang nyaris lenyap dari jiwa masyarakat kita.

Donny hanya ingin, seperti dikatakannya yang saya dapati di google, “Saya tidak akan pernah berhenti dan tidak mau berhenti memberikan yang terbaik bagi 5 cm dan bagi apa saja yang saya lakukan di kehidupan ini setiap hari. Saya akan terus memberikan kehidupan yang terbaik dari diri dan saya tidak akan pernah berhenti….”

Oleh karena itu, barangkali, liwat 5 cm. ini Donny sekadar menanamkan satu benih pengertian bahwa kita harus memunyai mimpi, cita-cita, cinta, dan tekad (keyakinan) menjaganya jika hendak sukses: atau setidaknya bukan sekadar seonggok daging yang bisa berbicara, berjalan, dan punya nama.

Dan 5 cm. adalah sepenggal cita-cita, mimpi, atau keinginan yang harus selalu digantungkan dekat kening. Atau orang bijak memberi nasihat: apa yang diraih sesungguhnya tak jauh dari apa yang dipikirkan. Mengutip 5 cm. Donny dan sekaligus napas sesungguhnya dari novel ini, bahwa “setiap kamu punya mimpi atau keinginan ataupun cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu...jangan menempel. Biarkan dia menggantung.... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu, sehingga ia nggak pernah lepas dari mata kamu.”

Setelah itu, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363)

Akhirnya, apakah ketika langkah kita 5 cm. dari gedung ini menuju pulang, selesai pula mimpi-mimpi, cita-cita, tekad, keinginan-keinginan kita?

• bumi kemiling, ester20, beringinraya: 02.50, 20.11.08


(disampaikan pada Bedah Buku “5 cm.” oleh Pers Kampus PILAR Fakultas Ekonomi Universitas Lampung bekerja sama dengan penerbit Grasindo di Museum Lampung, Jumat 21 November 2008)

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Top bung... Saya sempat salah menilai buku "5cm" ini, ternyata keren...

Anonim mengatakan...

Mungkin saya sedikit terlambat menemukan blog ini sehingga terlambat pula mengomentari esai ini. Tapi, terlepas dari itu, saya setuju dengan apa yang dipaparkan di atas. Membaca 5 cm membuat saya seperti membaca cerpen-cerpen pada majalah remaja, seperti yang dikatakan penulis "novel ini digarap teenlit". Para tokoh yang dibuat terlalu "sempurna" seakan banyak tahu malah memberi kesan bahwa penulis novel ini ingin (mungkin benar terlalu "nafsu") menunjukkan luasnya wawasan yang ia miliki. Lalu beberapa elemen yang menurut saya juga tidak begitu penting bahkan mungkin akan lebih bagus jika ditiadakan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas; perdebatan antara Ian dan komputernya, dan pada bagian "Sepuluh Tahun Kemudian".
Menurut saya, novel 5 cm ini selayaknya mirip dengan novel tetralogi Laskar Pelangi di mana kita dibuai dengan mimpi-mimpi, membuat pembaca terhipnotis dan ikut terbuai oleh mimpi dengan akhir yang "happy ending". Sehingga menurut saya (hanya menurut saya) novel tersebut bergenre "penjual mimpi". Bukankah tidak jarang impian terbentur oleh realita yang tak jarang pula menghempaskan mimpi-mimpi itu?
“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363). Saya setuju dengan penggalan tersebut, namun (lagi-lagi) menurut saya percaya saja tidak cukup, kau harus bangun dari mimpi dan mengejarnya.
Begitulah komentar saya, maaf jika ada kata yang salah, saya hanya mencoba meninjau dari sudut pandang orang awam, terima kasih dan salam kenal :D

Ps: sekalian mau sampaikan, saya suka sekali dengan kumpulun puisi Setiap Baris Hujan.

-Ri

arai mengatakan...

saya membacanya pertengahan 2006 ketika semua orang bergelut dengan Ayat-ayat Cinta.
dan 5cm ini muncul dan menarik perhatian mata serta keinginan saya untuk membacanya ditengah warna-warni dan menariknya sampul novel2 hebat yang tak mau kalah best seller.
saya bisa bilang ulasan anda hebat!!