17 Mei 2008

KADAL



Cerpen Isbedy Stiawan ZS


ADALAH malam kesekian dari sekian malam sejak pertama pertemuan?ia memberi nama malam pertama kali bertemu. Ia duduk bersandar di dinding kursi beton, di sudut taman satu-satunya di kota itu. Tak ada pengunjung lain, barangkali karena malam sudah larut. Secangkir kopi di gelas plastik yang dipesannya di warung malam (maksudnya warung kopi itu hanya berjualan pada malam hari) baru sedikit ia seruput, namun dua batang rokok filter sebagai teman di waktu dingin telah tuntas.

Ia kesepian. Ia merasa benar-benar sunyi. Tiada manusia lain yang menemaninya, kecuali serangga malam dan hewan melata di rumput. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Saat ia berjumpa Nesa?perempuan yang tanpa sengaja apatah lagi diundang?berkunjung ke taman itu. Dengan membawa perasaan yang sama dengannya: sunyi dan caci. Lalu keduanya saling tukar cakap, memberi dan menerima segala yang terkandung dalam hatinya.

"Persis! Kita memang senasib! Karena nasib pula kita dipertemukan di sini malam ini?." kata dia seperti bersorak, seakan hendak menertawakan nasib. "Ini malam apa?" ia tambahkan.

Perempuan itu menyeringai, "Pentingkah soal malam? Apa peduli malam pada makhluk seperti kita? Gelandangan yang tak pernah mengenal pulang? Rumah yang tak akan membuka pintunya bagi seseorang yang keletihan?"

"Tentu penting, karena ia menyimpan makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup kita. Kalau tak ada malam apakah taman seperti ini dapat bermakna karena sangat pentingnya bagi pengembara," ia mengajukan alasan. Lantas katanya lagi ingin melupakan, "tapi tak apa kalau kau menganggap tak penting. Penting tak penting, toh nasib, malam, dan taman ini tetap mempertemukan kita?"

"Persis. Yang bermakna sejatinya adalah pertemuan, bukan lain-lainnya. Bukan pula nasib ataupun malam."

Keduanya lalu mengatupkan kelopak matanya. Mendekat. Menyeruput embun yang jatuh di bibir, sisa dari perjalanan malam. Ah, sebuah kecupan yang indah dan berkesan. Betapa pun rasa asin dan lebih tepatnya hambar tetap menguar. Malam remang. Waktu gamang. Di langit tiada sebiji pun bintang. Juga senyum bulan.

Taman menggeremang. Embun berlomba luruh. Kursi terbuat dari beton anyep, seakan ikut merasakan senyap. Pasangan lain di taman itu rapat dan mendekap. "Mengapa kita tak meniru mereka?" ia memecah kesunyian. Rindu ingin mendekap kini memuncak.

"Kau mau?" perempuan itu menyeringai. "Tak usah ragu. Sebab gamang akan membuat kita salah bertindak?"

Tetapi, ia kini justru ragu. Apakah ia hanya untuk bertemu lalu berpisah? Apa artinya pertemuan kalau esok sudah melupa? Terlalu banyak orang yang semangat bercinta lalu diakhiri dengan saling membenci. Perkawinan lalu perceraian. Bertemu untuk kemudian membatu.

"Kenapa? Kau masih ragu?" pasangannya menggoda. Tak ada ular sebagai jelmaan di taman ini yang akan melontarkan keduanya ke luar sana. Betapa pun hati mereka perih.

Malam sepi.

Satu-satu tamu taman di kota itu meninggalkan tempat duduknya. Melangkah gontai. Menuju gerbang dan menghilang di tikungan. Ada yang menyetop taksi untuk melanjutkan pengembaraannya entah di mana. Atau masuk ke kenderannya dan ikut pula ditelan malam. Atau, seperti menghitung detak jantung, setiap kaki mereka mengayun di trotoar jalan.

?

"Tinggal kita lagi di sini," ia berujar. "Fajar sejenak lagi datang?"

"Kau ingin mandi matahari di sini? Aku akan menemanimu," kata perempuan itu.

Perempuan itu sering menyaksikan turis bule berjemur di tepi pantai, ataupun berjogging di taman tengah kota pada pagi hari. Mereka suka bermandi matahari. Keringat mengucur dari setiap pori-porinya bagai minyak zaitun yang membuat tubuhnya mengilap dan licin. Ia kerap menyukai warna tubuh para bule itu. Ketika berlumur keringat seperti bercahaya. Ia ingin sekali memasuki cahaya itu, bermandi, dan kembali dengan perasaan segar. Cuma selalu tak kesampaian?

Perempuan itu hanya memandang dari kejauhan. Bahkan tak jarang cuma dari ketinggian tebing, dari balik pohon palem.

Ia tak habis mengerti kenapa para turis suka berjemur-jemur. Apakah di tempatnya tiada matahari? Benarkah matahari hanya terbit dan terbenam di daerah tropis. Bukankah Tuhan dengan kekuasaannya bisa saja membagi arah jalan matahari ke seluruh wilayah, sehingga musim bisa dirasakan oleh setiap makhluk di bumi ini. Tetapi, kalau itu terjadi, tak mungkin ada warna kulit dan ras bukan?

Karena ada musim maka waktu bisa berganti. Karena matahari memiliki jalannya sendiri, maka orang menciptakan pengembaraan. Itulah sebabnya, setiap senja perempuan itu senantiasa menyaksikan para turis bule yang berjemur dan mandi matahari di tepi pantai. Cuma dilapisi celana dalam, mereka berjemur sambil tiduran di pasir. Tak sedikit pula sambil meniikmati jemari yang menari di seluruh tubuhnya. Para perempuan setempat tiba-tiba menjadi ahli memijat begitu pantai itu banyak dikunjungi turis.

Perempuan itu sering terbetik keinginan menjadi pemijat juga. Cumja ia tak pandai?apatah lagi ahli. Padahal, seperti ia sering dengar pengakuan para pemijat itu, memijat tak perlu punya keahlian khusus. Kebiasaan dan kehendak ekonimilah yang membuat para perempuan itu memilih profesi memijat. "Daripada menjaja kemaluan?" kata salah satu pemijat, meski ia tetap menambahkan: "kalau ada yang mau membeli, ya kenapa ditolak?"

Perempuan itu tersenyum. Ia tak mau mengkhianati cintanya. Cukuplah menjadi perempuan rumahan: mengabdi pada suami, berbakti pada anak. "Anak adalah panah yang akan menancap di masa datang. Anak adalah harapan keluarga dan bangsa!" ia meyakini nasihat para orang tua, meski peribahasa tersebut sudah tak lagi menyihir banyak orang.

Sebab, kata orang lain yang baru datang dari kota bekerja, keuletan dan tak mengenal sungkan adalah modal mendapatkan uang. Bekerja keras tanpa letih adalah gerbang mencapai kesejahteraan. Tapi benarkah itu? Ia menyangsikan. Suaminya yang merantau ke kota lalu menjadi tekana kerja di luar negeri, nyatanya tak membawa kemakmuran. Begitu pulang ke desa kembali menggarap sawah atau bekerja serabutan. Akhirnya miskin, akhirnya ia dijual kepada lelaki lain.

"Kalau kau menolak, anak semata wayang kita yang kita kasihi akan tak lagi bersama kita selamanya. Ia perlu dioperasi, dan itu membutuhkan uang tak sedikit. Apa kau tega membiarkan Nina sekarat lalu mati tanpa disentuh dokter?" bujuk lelakinya.

"Kau sendiri, apa usahamu?"

"Usahaku mencarikan lelaki yang mau membayarmu."

"Cukup!" ia berontak. Protes. Ia hendak menolak pekerjaan tak masuk akal yang ditawarkan lelakinya.

"Tak cukup dengan berteriak atau protes," suara suaminya tenang. Pelan. "Yang dibutuhkan sekarang adalah kerja dan hasil? dan itu hanya sekali."

Malam benar-benar berubah jadi pekat. Amat kelam. Angin mati. Jalan seperti sepadat batu, sedingin es. Serupa belantara yang diliputi butiran salju. Salju? Ah, di mana pula ia pernah merasakan? Membayangkan pun tak mampu.

Sekali. Kiranya berkali-kali. Berulang terus berulang, dan semacam ketagihan. Sebab nasibnya seperti menghendaki itu. Oleh sebab itu, jangan salahkan ia kalau kemudian ia menjelma jadi kadal. Setiap malam ia melata di rumputan, di taman, dan sesekali merasakan nikmat terlelap di kasur empuk sebuah hotel melati dan bintang.

Kadal itu?bukan ular seperti terkisah dalam kitab yang mendatangi sepasang manusia sewaktu di firdaus?selalu datang di taman satu-satunya di kota itu. Ia muncul dari semak atau pekat taman. Melata untuk menemui?ah, tepatnya mendatangi?setiap lelaki pengunjung taman. Ia datang terlebih dulu menjelma sebagai perempuan yang berbedak medok dan bergincu norak dengan tubuh dilapisi pakaian minimalis dan tipis. Atau berdandan ala perenang jika ia muncul di pantai dan kolam renang. Tak sedikit pula ia tetap sebagai kadal: menjilati jempol dan tumit para lelaki.

Di taman ini aku menjelma jadi kadal. Ia selalu mendesis begitu. Tak tahulah ihwalnya mengapa perempuan itu menjadi kadal. Atau kadal sebagai perempuan. Di kota itu tak ada penyihir yang ahli sebagaimana yang hidup di zaman Musa dan Muhammad. Penyihir di era kini adalah para penyair, hanya itu yang dia ketahui, yang mengumbar dusta dan lamunan. Betapa pun ia pernah menolaknya. Sebab, bagi kadal itu, penyair adalah pekerja moral karena itu sangatlah mulia di mata manusia. Mereka mengabarkan kebenaran lain; suara yang lain, demikian Oktavio Pazz pernah berujar.

Dan, kadal itu tetaplah kadal di taman tengah kota itu. Akan selalu melata dan menggoda?

DI TAMAN ini aku jadi kadal. Ia mendesis. Lidahnya menjulur ke luar. Ludahnya menyembur dan menyihir. Tak ada lelaki yang sanggup bertahan tanpa pingsan di hadapannya. Tiada rerumputan yang tak tertidur malu setiap kali dilaluinya. Ia laksana Ratu Balqis. Ia serupa Yusuf yang tampan membuat tangan istri raja teriris.

Maka setiap kali ia berkunjung, para lelaki akan memendam kerinduan yang dalam seusai ia berlalu. Setiap selesai bercengkerama akan berujung pada tangis berkepanjangan. Orang-orang akan menunggu dan menunggu kedatangannya. Tetapi ia akan makin menjauh, sebab kadal itu tak suka pada sesuatu yang telah dinikmatinya. Ia akan mencari yang lain. Akan menjilati tubuh yang lain. Mendesis dan menyihir makhluk lainnya.

Dan, kadal itu adalah perempuan yang datang beberapa malam lalu dan bertemu dengan lelaki yang singgah sendiri ke taman itu. Lelaki itu amatlah kesepian, setelah bininya lari dari rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana, tetap tak ada kabar keberadaan bininya. Ia coba kunjungi lokalisasi pelacuran kalau-kalau bininya terdampar di sana, namun justru ia tertidur di salah satu kamar pelacur sampai matahari persis di atas ubun-ubun genting. Sia-sialah ia mendatangi lokalisasi itu, kendati ia telah mendapati kenikmatan tubuh lain.

Sepuluh bulan berlalu, sejak ia menganggap telah bercerai dengan bininya, ia peroleh berita kalau istrinya telah menjadi kadal. Seorang temannya sewaktu SMA yang pernah punya hasart mengawini "bunga SMA" itu, mengabarkan kalau ia pernah berjumpa dan bahkan mengajaknya ke sebuah hotel murah di pinggir kali. "Aku mau melakukan itu karena ia katakan kalian sudah bercerai, dan ia tak mau mati karena miskin akhirnya memilih jadi pelacur!

Pukimak! Darah dalam tubuh lelaki itu bergolak. Bagai air yang mendidih di atas kompor. Kedua tangannya mengepal. Ingin ia lontarkan ke wajah sahabatnya itu. Ia bayangkan sbeuah sasak yang tergantung. Tetapi urung. Ia sadar, bukan kesalahan seharusnya dilimpahkan kepada sahabatnya. Lelaki, seperti petani, yang menunggu buah jatuh. Kalau saja posisinya seperti sahabatnya, ia pun akan melakukan yang sama. Apatah lagi sahabatnya pernah mencintai perempuan itu meski bertepuk sebelah tangan.

"Setelah kau bertemu dengannya, maksudku berkencan, ke mana istriku pergi? Apa kau sempat tanya di mana ia tinggal?"

"Seperti katanya, ia bukan lagi binimu," sahabatnya kembali menegaskan apa yang pernah ia dengar dari perempuan itu.

"Kali belum bercerai, ia hanya pergi dari rumah. Dan aku menceraikannya, jadi ia masih istriku," lelaki itu juga mempertegas. "Di mana alamat rumahnya?"

"Aku tak sempat bertanya karena aku kadung tersihir olehnya. Ia juga tak memberi kartu nama," jawab sahabatnya santai. Ia lalu tertawa, batinnya berujar: "Apakah pelacur sangat penting memiliki kartu nama?"

Kedua tangan yang kadung mengepal, lalu ia tumpahkan ke tembok. Lelaki itu mengaduh, tangannya memar dan membiru.

SEJAK itu ia lupakan bininya yang minggat. Ia bahkan berharap suatu hari kelak istrinya ditemukan dalam keadaan bugil tersayat-sayat. Ia juga sudah melupakan sahabatnya yang ternyata sudah merasakan tubuh istrinya. Sungguh petaka! Ia merutuk.

Kalau kini ia memilih taman kota, karena ia masih berharap bertemu perempuan yantg dijumpai beberapa malam terlewati. Setelah ia mengencani dan perempuan itu berjanji akan menemuinya lagi di tempat itu pula, semenjak itu setiap malam ia setia berkunjung ke taman itu. Dengan secangkir plastik berisi kopi dan sebungkus rokok filter, tak lupa pula sebungkus ubu atau pisang goreng. Sampai fajar, hingga matahari mengguyur seluruh badannya.

Bermalam-malam lelaki itu menunggu. Kadal itu tak juga berkunjung. Ia benar-benar dendam, amatlah membenci. Berulang ia mencaci-maki. Pukimak! Tokek! Dasar kadal!

"Kalau kau datang akan aku kuluti tubuhmu," ia membatin.

Tetapi, suara gaduh datang dari sudut taman di pinggir kali. Orang-orang berkelimun, suaranya mendengung bagai lebah.

"Ada mayat perempuan!"

"Terpotong-potong."

"Sudah tak jelas lagi bentuknya."

"Siapa pula yang begitu tega mengutilnya??"

Lelaki itu tak bernafsu ikut dalam kelimunan itu. Ia berpikir hanya sensasi murahan dari orang-orang yang tak punya pekerjaan. Ia tetap menanti datangnya fajar, lalu matahari mengguyur badannya. Tetapi fajar tak datang ke taman itu apatah lagi ia akan bermandi matahari, sebab lelaki itu diseret petugas keamanan dan dijebloskan ke dalam tahanan.

Untuk sementara ia disangka sebagai pengutil perempuan yang ditemukan warga di semak dalam kali, di sudut taman tengah kota yang setiap malam ia datangi. Walaupun ia tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu: apakah kadal yang pernah ia jumpai ataukah bininya?***

Lampung, 19 September 2006

Dimuat di Radar Lampung Silakan Kunjungi Situsnya! 01/14/2007

2 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

aku datang tidak ingin komentar
sebab aku masih duduk sedangkan ia sudah berlari
salam kenal
aku mengenalkan sebuah pencarian
proses yang sangat panjang
mudah-mudahan aku bisa berlari seperti itu jua

Anonim mengatakan...

Bang Bedy memang luar biasa. Ada aja terus idenya. Teruslah berkarya. Semoga karya2 bang Bedy juga bisa sebagai salah satu bentuk dakwah kepada sesama. Amin.