17 Mei 2008

Sebotol Mineral


Cerpen Isbedy Stiawan ZS


PEREMPUAN paruh usia bertutup kepala itu cepat sekali lenyap. Seperti ditelan remang senja. Seteleh mengucapkan terima kasih atas sebotol minertal untuk bernuka puasa. Mas Tohari berkali-kali keluar rumah makan, ingin mencari ibu itu. Tetapi, tak juga dilihatnya bayang-bayang ibu itu sedikit pun. Mas Tohari tampak gelisah, seperti menyesali diri.

"Ibu itu mungkin sudah jauh," kata Halim. Mereka baru tersadar setelah mas Tohari berkali-kali mendongakkan kepalanya keluar pintu, mencari ibu paruh usia yang berpakaian agak kumuh-betutup kela sejenis selendang digulung menyembunyikan rambutnya.

"Kukiran masih dekat. Mungkin ia masuk gang," ujar mas Tohari. Ia hendak mengajak Halim, teman kami yang lain. "Kau ikut aku, Lim, siapa tahu ibu tadi belum jauh. Siapa tahu mengaso di gang sebelah."

Halim beringsut dari kursi. Hidangan untuk berbuka puasa sudah disajikan. Di Ubud ini hanya sedikit mereka menemukan rumah makan yang bisa menyelerakan lidah: masakan Padang. Dan, dari sedikit itu hanya rumah makan ini paling tepat dengan lidah mereka. Itu sebabnya, untuk sahur dan berbuka puasa, rumah makan ini menjadi pilihan.

Semula mas Tohari dan Wira tak tahu rumah makan yang mampu menggairahkan lidah. Untunglah Halim yang kebetulan menyewa sepeda motor mengeliling setiap liku Ubud, dan dapatlah rumah makan khas Minang ini. Sejak itu-selama 5 hari di Ubud dalam rangka mengikuti suatu kegiatan internasional-mereka ketagihan mampir ke rumah makan sebelah Timur kota Ubud ini.

Dan, senja tadi seorang ibu paruh usia muncul di depan pintu. Ia ingin membeli sebotol mineral ukuran besar degan memberi uang Rp5 ribu. Tentu saja, penjual yang hanya pegawai tak memberi karena uang ibu tidak cukup. Mas Tohari segera meminta pedagang itu agar memberikan sebotol mineral itu pada ibu. "Ambillah, ibu. Saya yang bayar," kata mas Tohari.

"Alhamudillah. Terima kasih, uang ini untuk jajan buka puasa saya hari ini," kata ibu itu segera berlalu. Begitu cepat. Sebab hanya beberapa detik dari kepergiannya, mereka tersadar kalau ibu itu tak saja membutuhkan sebotol mineral untuk menghilangkan dahaganya, melainkan ia amat memerlukan uang-setidaknya-untuk membeli makanan untuk berbuka puasa.

"Ya Allah, kita sudah menganiaya diri kita," keluh mas Tohari. Usia Mas Tohari tertua di antara mereka. Ia juga dikenal sebagai ustad dan pemilik sekolah Islam di kotanya. Mas Tohari adalah, ah, tak perlulah kusebut profesinya yang lain yang konon cukup banyak itu.

Tapi, kali ini ia merasa terlecehkan. Rasa peduli sesama manusia kini teruji. Ia menyadari uang untuk membayar sebotol mineral buat ibu untuk bebruka puasa tiada nilanya, dengan uang yang dimilikinya di saku. Selama ini aku menggembor-gemborkan bahwa mencintai Tuhan sama artinya mengasihi orang-orang telantar, miskin, dan papa. Ia menggumam.

Yang lain hanya memandangnya kosong.

Mas Tohari seperti tak sedap duduk. Seperti ada paku yang menancap di kursinya. Ia gelisah sekali. Ia menyadari iblis yang teramat kikir sudah memengaruhi rasa kesetiaannya pada sesama. Mengapa tadi ia tak sekalian memberikan uang barang Rp50 ribu atau Rp100 ribu, toh tak akan menumpaskan isi sakunya? Seharusnya aku tadi segera memberi uang padanya. Tapi, kenapa tak jadi? Ia menggumam lagi. Menyesal sekali.

"Sudahlah, mas, mungkin rezeki ibu itu bukan di sini, bukan dari kita," Dendi berujar. Ia lalu mempersilahkan mas Tohari untuk menyantap. Hidangan sudah tersaji. Waktu berbuka sudah tiba. Bersegera memecahkan puasa adalah wajib. Namun mas Tohari tak lagi berselera mencecap sajian. Hanya membasahi tenggorokannya dengan seteguk air, kemudian keluar, setelah ia memberi uang Rp 100 ribu kepada Wira untuk membayar pada pemilik warung. Ia juga mengingatkan teman-temannya supaya jangan lupa membayar sebotol mineral untuk ibu paru usia tadi.

Mas Tohari kemudian mencari ibu paruh usia yang seakan lesap dalam keremangan maghrib. Sendiri.

Ia susuri sepanjang jalan di Ubud menuju Barat. Tak terasa ia melangkah mendekati Casa Luna, Warung Arys, Puri Palace-tempat di mana ia kemarin diundang makan dan pembukaan sebuah festival internasional. Kemarin aku makan di tempat mewah ini, dengan hidangan selera para turis namun tidak selera lidahku yang lokal ini. Aku hanya mencicipi sekadar untuk selanjutnya kubiarkan tersisa di meja sampai pelayan memungutnya kembali, dan menyajikan makanan lain. Tetapi, senja tadi aku diuji oleh seorang ibu paro usia. Hanya dengan sebotol mineral yang tak sanggup ia bayar untuk membuka puasanya, tentu tanpa makanan.

Dan, aku seperti masabodo pada nasibnya. Hanya membayar sebotol mineral yang tak lebih dari Rp 10 ribu. Sungguh, aku sudah kehilangan rasa syukurku. Apa gunanya aku seharian menahan haus dan lapar, kalau hatiku tak tergerak menyaksikan orang yang untuk membuka puasa pun tak lagi punya. Berulang-ulang ia menyesali keteledorannya. Menyesal mengapa hatinya tak menggerakkan tangannya untuk merogoh sakunya, dan memberi selembar atau dua lembar Rp 5 ribuan kepada ibu paro usia tadi?

Teman-temannya pun tak mengingatkan. Mereka juga baru tersadar dan seolah ingin berlomba berbuat amal, setelah ibu itu menghilang. Amal yang tiada gunanya. Niat yang cuma sebatas bibir.

Mas Tohari belum juga kembali ke rumah makan. Waktu sudah pukul 21.15. Teman-temannya yang ditinggal mas Tohari mulai gelisah. Mereka khawatir mas Tohari tersesap dalam keasingan kota Ubud. Was-was kalau-kalau mas Tohari tak tak tahu jalan ke penginapan.

"Kita harus cari mas Tohari. Aku khawatir ia kesasar!" ajak Halim.

"Ah, tak mungkinlah. Mas Tohari bukan anak-anak lagi. Ia bisa bertanya pada orang ke mana jalan ke penginapannya," bantah Wira.

"Siapa tahu dia benar-benar kesasar. Mas Tohari pergi dalam keadaan kalut, perasaan bersalah, pikirannya tentu lagi kosong!" Dendi mendukung Halim.

"Oke, kalau begitu!" akhirnya Wira menyetujui. "Kita berbagi arah. Halim ke Barat, Dendi ke Timur. Dan aku ke Utara. Jam 23 nanti kita bertemu di depan Casaluna, ya,"

* * *

MENCARI mas Tohari di tempat asing bukan gampang. Mereka pendatang yang baru tiba beberapa hari ini, dan belum seluruh lekuk-liku tubuh Ubud dijelajahi. Jalan yang mereka ketahui hanya dari penginapan ke Indus, Gaya Fusion, Four Session Hotel, Casaluna, Puri Palace, dan rumah makan khas Minang ini. hanya sejengkal dari beribu meter "kampung dunia" para turin ini.

Ketika berjumpa di Casaluna seperti waktu yang disepakati, ketiganya menggeleng. Mereka makin disergap cemas yang sangat. Kekhawatiran tak akan bertemu lagi mas Tohari, membuat wajahnya pasi.

Halim mengusulkan agar melaporkan ke pania. Wira menolak, sebab ia merasakan yang mereka lakukan belum maksimal. Tetapi, Dendi ngotot sebaiknya meminta bantuan pihak kepolisian untuk mencari mas Tohari.

"Bagaimana caranya kita harus menemukan mas Tohari malam ini juga!" kata Dendi.

"Siapa yang membiarkan mas Tohari hilang?" Wira berujar dengan suara sedikit meninggi. "Tapi, bukan begitu caranya. Jangan cepat menyerah. Kita belum maksimal mencarinya. Bagaimana kalau kita cari lagi? Kita susuri jalan ke rumah makan tadi? Di sana aku lihat tadi ada gang, agak gelap dan pengap memang, siapa tahu mas Tohari ada di sana."

"Aku tak yakin mas Tohari ke sana. Aku lihat sendiri tadi ia berbelok ke kanan, bukan masuk ke gang itu," elak Halim.

"Kupikir bisa kita coba usulan Wira."

"Ah, aku malas. Kalian saja," sela Halim. "Aku menunggu di sini saja, siapa tahu mas Tohari ke sini."

Tanpa berpikir lagi, Wira dan Dendi segera kembali menyusuri jalan ke arah rumah makan. Ia masuki gang pengap dan gelap tak jauh dari rumah makan tadi. Tetapi, selain rumah-rumah kumuh dan gubuk-gubuk terbuat triplek di dalam gang itu, mereka tak mendapati mas Tohari.

Entah di mana dan ke mana mas Tohari. Kecemasan mereka makin menjadi-jadi. Saling merutuk diri mengapa tak menemani mas Tohari mencari ibu paruh usia yang misterius itu? Sampai esok pagi mas Tohari tak kembali ke penginapan. Dan, ibu paro usia yang telah membuat hibuk itu, teramat sulit untuk dijumpai lagi di Ubud yang tak terjengkal luasnya oleh kaki mereka. Pohonan yang rindang dan lebat-sangat banyak menghiasi dan menjadi khas Bali-bisa saja menenggelamkan orang semacam ibu tadi.

Dan, mas Tohari sia-sia menemukan ibu itu. Sementara ketiga rekannya juga sia-sia menunggu kedatangannya. Layaknya mendapati sebatang jarum di keluasan padang pasir. ***

(persembahan buat Ahmad Tohari, Marhalim, dan Wiratmadinata)


* Ubud-Lampung, September-Oktober


Dimuat di Suara Karya Silakan Kunjungi Situsnya! 01/13/2008

Tidak ada komentar: