Jadwal Perjalanan
selalu kaukirim nama-nama baru. perangai lain dengan cara goda lain pula. sebuah
tiket pesawat, uang saku, nomor kamar penginapan—juga jam kencan—tertulis
dalam jadwal perjalananmu. tak lupa uang tunai untuk jajan dan membeli
buah tangan.
beberapa hari, sepanjang liburan, pesan dia. kau sangat menginginkan
perjalanan ini. mengunjungi kota yang selama ini hanya dalam anganmu. dan
selembar alamat, juga nomor telepon di dompetmu. “aku akan datang dengan
lipstik paling wangi,” katamu setelah jam keberangkatan tak lama lagi. tapi kau
lupa pada kawan lama yang mengenalkanmu dengan dia; “dia manager, kekayaannya seloker,” janji temanmu, dan kau sumringah.
tak ada lagi kartu nama yang lama. bahkan kau sudah lupa pada namanya. “yang
kuingat dia hanya pendengkur, dan saat bersama-sama dia pencemburu sekali,” ujarmu.
“itu sebabnya kau ingin meninggalkan dia?” temanmu menggoda, “karena itu yang
kutawarkan ini cocok dengan seleramu. sesekali bisa kaudustai.”
“bukan hanya pencemburu dan pendengkur. dia anjing sekali, suka dengan daging
busuk—terutama yang tersembunyi dan disimpan di antara pangkal paha!!” jawabmu,
“aku paling benci pada lelaki yang menyerupai anjing. tapi apakah semua lelaki
anjing?”
entahlah
selama ini aku menyukainya. sudah berulang kami menjelma
jadi anjing. saling kejar di pasir-pasir pantai. bantai-membantai
di kamar, taman, halaman rumah. “pernah juga di tong sampah
ketika berebut sisa makanan.”
dan sebuah alamat, nomor telepon, serta selembar tiket pesawat masih rapi
di tanganmu. sedangkan nomor kamar penginapan—juga jam kencam—yang tercatat
dalam jadwal perjalanan tak pernah lupa. “uang saku sudah kutransfer ke rekeningmu,”
pesan teman barumu untuk kencan beberapa hari sepanjang liburan. “jangan kuatir
akan kukirim lagi jika yang ada itu ternyata kurang. aku bisa jual mesin-mesin ini.”
cukuplah!
setelah pesawat ini mendarat, kau akan lihat wajahku yang memar serta
pakaianku yang sudah lepas. “selama penerbangan tadi, seseorang
menarikku ke dalam toilet. entahlah, mengapa aku tak mampu menolak
saat sesuatu peristiwa terjadi. tubuhku cabik-cabik,” katamu. tangismu
telah menggelincirkan pesawat itu. udara jadi merah bercampur
kehitaman….
2008
Massage
singgah. kau tak ada dan rumahmu masih terkunci. lampu-lampu belum dimatikan,
dan jalan menuju pintumu penuh tanah dari sepasang sepatu. tak ada lagi pembantu
bahkan tukang cuci beberapa hari telah absen. “aku menginap di rumah teman.
bersama teman-teman,” tulismu di depan pintu.
temanmu banyak. rumah mana yang kauinapi? tak ada sinar untuk membuka tabir
kau tertidur. di kamar temanmu. “aku sakit, kau mau memijit?” harapmu. lalu
dengan senang hati kaupun dipijit. dimulai telapak kaki, pindah ke pundak dan kepalamu,
tak lupa kedua tanganmu. “tapi yang ini masih nyeri,” ujarmu menunjuk kedua betis
dan pahamu.
sejak itu kau ingin sekali dipijit. temanmu sangat ahli.
2007/2008
Kamar Kontrakan
hari tak lagi sunyi. anak dan kedatangan kedua cucu menggugurkan
rencana-rencana. kau pasti sendiri dan kesepian di kamar sewaan, menunggu
reda hujan atau datang seorang teman membawamu menembus rentetan air
dari langit. hanya menunggu di kamar kontrakan membikin langkah
jam amat lamban. tanpa kesibukan dan kehadiran sang kekasih, bisikmu,
meski kutahu kau tak akan juga bertandang; menyibak hujan. “bajuku
tak mungkin basah oleh guyuran hujan…”
tentu kau masih menunggu ia datang. tetapi, sejak hujan tak juga reda, ia
tak lagi datang padamu. “aku datang bukan untuk mendengar dongeng-
dongengmu. ceritakan kenangan-kenanganmu saat anak-anak lahir
dari rahimmu,” katanya. anak-anak selalu riang setiap mendengar kisah
ibu bapaknya semasa muda. menguping tentang percintaan orang tuanya,
dan kau akan menjadi pendongeng yang baik.
jika siang ini sang kekasih tak bertandang, bukan karena hujan menyergap
perjalanan. sebab ia merindukan kanak-kanak: bermain dengan dua cucu. tertawa
dan menangis. memanjat meja, lompati kursi. terjatuh. lalu tangis anak-anak:
ah, sesekali lebih damai bersama anak-anak
ketimbang memanjaimu. dan kau tetap cemberut
atau diam-diam main mata
2008
Pulang ke Rumah
jalan mencatat langkahmu rumah melupakan sisa tidurmu
lalu kau mengumpulkan catatan setiap perjalanan. mengatur jadwal pergi,
tapi menghapus agenda kepulangan. di sakumu daftar kota-kota yang
sudah dan akan kausinggahi; seribu kota kaukenal dan masih asing
dalam anganmu—juga daftar penginapan hanya untuk menghapus
lelah—menari dan berlari. berlarian makin jauh, melupakan langkah
menghapus setiap kenangan
di antara kota-kota itu namamu lalu hilang, di sejumlah penginapan
desahmu tertera. jadi perjalanan baru bagi anak-anak yang datang
kemudian
dan cinta—dan nama-nama lelaki—semakin mengabur dalam daftar
di dompetmu. juga nomor-nomor telepon tak bisa lagi dihubungi: “maaf
nomor yang anda hubungi tidak aktif atau di aluar area,” sebuah suara
mengingatkanmu. mungkin mereka sudah mengganti kartu penghubung,
atau sudah ganti jadwal kencan
kau pun pulang ke rumah yang telah menghapus setiap sisa tidurmu
kecuali tumpukkan jejakmu minta dicatat kembali dalam daftar lain
“tapi tak ada rencana hari ini, aku sakit.”
2008
Isbedy Stiawan ZS, lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Buku puisi terbarunya Laut Akhir (Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Ia bergiat di Dewan Kesenian Lampung sebagai Ketua I Bidang Teater dan Sastra. Pernah diundang pada Utan Kayu Literary Binnale Festival dan pada September 2007 diundang Ubud Writers and Readers Festival.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar