Merenangi Lekuk Waktu
maka angin pantai yang mengibaskan
rambutmu, kini sebagai layar bagiku
arungi laut demi laut. sebentar kita
katupkan mata, kedua bibir kita bergetar
menahan perasaan yang bergelora
di dalam tubuh. ombak itu juga menepati
janji datang ke tepi pasir ini
dengan tangan mengembang, rambut
berurai, serta bibir yang haus akan
buah kelapa: sekejap tadi kita menyeruputnya
dengan satu pipa. ”bibirmu seranum buah
kelapa, lidahku setajam parang!” ujar sesuara,
entah siapa dan datang dari ranah mana
kita kembali mengunjung pantai ini, setelah lama
ditinggalkan orang-orang. pantai sebagai tempat
memadu kasih dan menyimpan beribu sedih. luka
manusia yang pernah hilang dan hanyut, kenyamanan
yang berumah jadi ancaman begitu gelombang besar
datang dari tengah laut. melumat setiap yang tegak
di tepian: rumah-rumah yang bergulung sebagai
kapal, orang-orang seperti ikan-ikan itu yang
mati sembarang di pantai-pantai. kota menjadi sunyi
dan amis dari setumpuk mayat.
tapi kita tak pernah takut. setiap siang atau senja
berkunjung ke sini. lalu pantai menyambut dengan
nafsu yang sama. melumat tumbuh kita seperti
memuntahkan sejuta bencaba. barangkali anak-anak
yang akan dilahirkan di pantai ini, seperti para pelaut. garang
dan tubuhnya legam. tapi bahasanya tak seperti kita
ucapkan kini. suaranya bagai iblis. lalu membisiki
sesuatu tentang taman dan kejatuhan. ah, tidak. tapi
soal ikhwal orang-orang yang hanyut
dan direnggut maut. tanah pun jadi lautan sesaat
kau tak pernah khawatir. menggamit tanganku,
dan bersama-sama menantang gelombang
karena cinta di hati yang sudah lama mengembang
seperti daun-daun bakau. tumbuh di tanah landai
dan bebatang di payau.
”tapi kini suaramu parau,” bisik sesuara, entah
siapa dan dari ranah mana
sebelum akhirnya kita pulang. meninggalkan hitam laut,
langit kelam, pohon-pohon bakau tertunduk meski
tetap gemulai bagai penari di panggung atau lantai dansa
selayaknya kau yang kini merapikan busana, menyisir
rambut pendekmu. lalu menutupnya dengan kain
yang kugunakan sebagai layar kelak. kita pun
melanjutkan arung ini. merenangi setiap lekuk
waktu yang gemar memainkan cinta kita
2008
Pasir-Pasir Berbuih
seharusnya kita bersitatap lagi, sebelum kemudian
kita melambai. bahkan jarum yang terpancang
di roda waktu tak pernah abai mengucap salam perjumpaan
atau kata-kata perpisahan. lihatlah geraknya yang naik dan turun
seperti tak pernah letih. begitulah usia, demikianlah cinta
selalu datang dan melenggang. kau tahu, sayang, di ranah ini
tiada yang kukuh. seperti awan itu, ia hilirmudik mencari
ruang paling hampa. kau adalah ruang itu, dan aku sebagai
awan yang bergerak untuk singgah.mengecup kehampaan
sekaligus percintaan yang dibikinNya
maka kita mesti bersitatap lagi. semakin lama lagi. sebelum
awan bergerak dan pindah ke ruang hampa. lalu bolehlah
kita melambai untuk kenangan sebentar dan dendam
yang kemudian, mungkin, akan hadir di hati kita
dan lupakan—jika harus untuk dilupakan—setiap gerak
awan, atau lambaian jarum waktu meski ia tak pernah
lelah menjalani tugas mendaki dan ke lembah. bahkan, jika
ada, sisa ciuman yang sudah mengekal sebagai anggur
di bibir-bibir pantai. pasir-pasir berbuih....
2007-2008
Burung
adalah burung di waktu suwung
pagi merekah. aku menemui
tak hinggap di pohon. sayap basah,
hujan telah menguyupkan tubuhmu
aku menangkapmu. tapi tak memerangkapmu
dan membawa ke sarang paling lembut
yang kubuat dari jerami liurku
”kau kini jadi pipit di hatiku,” kataku
lalu membawamu setiap kusinggahi
pegunungan, laut, rumah, dan tempat-tempat
yang kuanggap paling keramat
aku mendekapmu. sayapmu merapat
di tubuhku. hujan telah menguyupkan
tubuhmu. aku pun gigil; dadaku bergelora
seperti ingin terus memelukmu
”tapi seekor kucing menyalang,
menunggumu abai,” bisik kucing berbulu
warna-warni
aku tak akan pernah memberimu
kepada kucing lapar itu. ”kau akan mati
kelaparan dengan liur menderas
bagai hujan pertama setelah
berbulan-bulan kemarau,” ancamku
sambil mendekapmu kian rapat
di tubuhku
”tapi aku tetap pipit. alam adalah
arena bermainku. biarkan aku bebas
mengepakkan sayapku, menjauhi pembaringan
yang kau sulam dengan benang-benang emas. atau
dekapanmu yang sehangat matahari senja. rinduku
cengkerama bersama teman-temanku
di taman-taman,
dalam waktu riang....
2007-2008
Isbedy Stiawan ZS
Pohon Bunda
senja pun datang. engkau turuni
tebing landai itu, mengucap salam
padaku. aku tetap bagai bukit
tapi dari magmaku mengalir cairan
dan membuat anak sungai
air itu akan menjelma jadi anak-anak
lahir dari rahim bunda penuh kasih
dengan susu dari putingmu, ia pun
merangkaki usia. ”hingga kau
menemu bunda lain, perempuan
yang akan melahirkan anak-anakmu.
dan bunda akan kau tinggalkan,
mungkin dilupakan. seperti ari-ari
terkubur bersama tuban
di halaman rumah, dekat kembang
sebelah kiri pohon singkong,” kata bunda,
setelah menidurkan kekasihnya
kini kau mengandung anak-anak
dari pohon bunda
tapi lupa diberi nama....
2006-2007/2008
Isbedy Stiawan ZS, lahir dan besar di Tanjungkarang. Menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Pikiran Rakyat, Lampung Post, Suara Merdeka, Radar Lampung, Jawa Pos, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Horison, Nova, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya. Buku puisi terbarunya Laut Akhir (Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Pada September 2007 diundang ke Ubud Writers and Readers Festival—sebuah festival penulis dan pembaca setaraf internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar