16 Mei 2008

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS

Merenangi Lekuk Waktu

maka angin pantai yang mengibaskan

rambutmu, kini sebagai layar bagiku

arungi laut demi laut. sebentar kita

katupkan mata, kedua bibir kita bergetar

menahan perasaan yang bergelora

di dalam tubuh. ombak itu juga menepati

janji datang ke tepi pasir ini

dengan tangan mengembang, rambut

berurai, serta bibir yang haus akan

buah kelapa: sekejap tadi kita menyeruputnya

dengan satu pipa. ”bibirmu seranum buah

kelapa, lidahku setajam parang!” ujar sesuara,

entah siapa dan datang dari ranah mana

kita kembali mengunjung pantai ini, setelah lama

ditinggalkan orang-orang. pantai sebagai tempat

memadu kasih dan menyimpan beribu sedih. luka

manusia yang pernah hilang dan hanyut, kenyamanan

yang berumah jadi ancaman begitu gelombang besar

datang dari tengah laut. melumat setiap yang tegak

di tepian: rumah-rumah yang bergulung sebagai

kapal, orang-orang seperti ikan-ikan itu yang

mati sembarang di pantai-pantai. kota menjadi sunyi

dan amis dari setumpuk mayat.

tapi kita tak pernah takut. setiap siang atau senja

berkunjung ke sini. lalu pantai menyambut dengan

nafsu yang sama. melumat tumbuh kita seperti

memuntahkan sejuta bencaba. barangkali anak-anak

yang akan dilahirkan di pantai ini, seperti para pelaut. garang

dan tubuhnya legam. tapi bahasanya tak seperti kita

ucapkan kini. suaranya bagai iblis. lalu membisiki

sesuatu tentang taman dan kejatuhan. ah, tidak. tapi

soal ikhwal orang-orang yang hanyut

dan direnggut maut. tanah pun jadi lautan sesaat

kau tak pernah khawatir. menggamit tanganku,

dan bersama-sama menantang gelombang

karena cinta di hati yang sudah lama mengembang

seperti daun-daun bakau. tumbuh di tanah landai

dan bebatang di payau.

”tapi kini suaramu parau,” bisik sesuara, entah

siapa dan dari ranah mana

sebelum akhirnya kita pulang. meninggalkan hitam laut,

langit kelam, pohon-pohon bakau tertunduk meski

tetap gemulai bagai penari di panggung atau lantai dansa

selayaknya kau yang kini merapikan busana, menyisir

rambut pendekmu. lalu menutupnya dengan kain

yang kugunakan sebagai layar kelak. kita pun

melanjutkan arung ini. merenangi setiap lekuk

waktu yang gemar memainkan cinta kita

2008

Pasir-Pasir Berbuih

seharusnya kita bersitatap lagi, sebelum kemudian

kita melambai. bahkan jarum yang terpancang

di roda waktu tak pernah abai mengucap salam perjumpaan

atau kata-kata perpisahan. lihatlah geraknya yang naik dan turun

seperti tak pernah letih. begitulah usia, demikianlah cinta

selalu datang dan melenggang. kau tahu, sayang, di ranah ini

tiada yang kukuh. seperti awan itu, ia hilirmudik mencari

ruang paling hampa. kau adalah ruang itu, dan aku sebagai

awan yang bergerak untuk singgah.mengecup kehampaan

sekaligus percintaan yang dibikinNya

maka kita mesti bersitatap lagi. semakin lama lagi. sebelum

awan bergerak dan pindah ke ruang hampa. lalu bolehlah

kita melambai untuk kenangan sebentar dan dendam

yang kemudian, mungkin, akan hadir di hati kita

dan lupakan—jika harus untuk dilupakan—setiap gerak

awan, atau lambaian jarum waktu meski ia tak pernah

lelah menjalani tugas mendaki dan ke lembah. bahkan, jika

ada, sisa ciuman yang sudah mengekal sebagai anggur

di bibir-bibir pantai. pasir-pasir berbuih....

2007-2008

Burung

adalah burung di waktu suwung

pagi merekah. aku menemui

tak hinggap di pohon. sayap basah,

hujan telah menguyupkan tubuhmu

aku menangkapmu. tapi tak memerangkapmu

dan membawa ke sarang paling lembut

yang kubuat dari jerami liurku

”kau kini jadi pipit di hatiku,” kataku

lalu membawamu setiap kusinggahi

pegunungan, laut, rumah, dan tempat-tempat

yang kuanggap paling keramat

aku mendekapmu. sayapmu merapat

di tubuhku. hujan telah menguyupkan

tubuhmu. aku pun gigil; dadaku bergelora

seperti ingin terus memelukmu

”tapi seekor kucing menyalang,

menunggumu abai,” bisik kucing berbulu

warna-warni

aku tak akan pernah memberimu

kepada kucing lapar itu. ”kau akan mati

kelaparan dengan liur menderas

bagai hujan pertama setelah

berbulan-bulan kemarau,” ancamku

sambil mendekapmu kian rapat

di tubuhku

”tapi aku tetap pipit. alam adalah

arena bermainku. biarkan aku bebas

mengepakkan sayapku, menjauhi pembaringan

yang kau sulam dengan benang-benang emas. atau

dekapanmu yang sehangat matahari senja. rinduku

cengkerama bersama teman-temanku

di taman-taman,

dalam waktu riang....

2007-2008

Isbedy Stiawan ZS

Pohon Bunda

senja pun datang. engkau turuni

tebing landai itu, mengucap salam

padaku. aku tetap bagai bukit

tapi dari magmaku mengalir cairan

dan membuat anak sungai

air itu akan menjelma jadi anak-anak

lahir dari rahim bunda penuh kasih

dengan susu dari putingmu, ia pun

merangkaki usia. ”hingga kau

menemu bunda lain, perempuan

yang akan melahirkan anak-anakmu.

dan bunda akan kau tinggalkan,

mungkin dilupakan. seperti ari-ari

terkubur bersama tuban

di halaman rumah, dekat kembang

sebelah kiri pohon singkong,” kata bunda,

setelah menidurkan kekasihnya

kini kau mengandung anak-anak

dari pohon bunda

tapi lupa diberi nama....

2006-2007/2008

Isbedy Stiawan ZS, lahir dan besar di Tanjungkarang. Menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Pikiran Rakyat, Lampung Post, Suara Merdeka, Radar Lampung, Jawa Pos, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Horison, Nova, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya. Buku puisi terbarunya Laut Akhir (Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Pada September 2007 diundang ke Ubud Writers and Readers Festival—sebuah festival penulis dan pembaca setaraf internasional.

Tidak ada komentar: