26 September 2008

Jejak Bandu

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

SEMULA kukira menjadi tenaga kerja di Malaysia, pulang membawa perubahan nasib di keluargaku. Karena itu, tatkala lelaki sulungku pamit ingin bekerja di luar negeri, antara melepas dan keberatan, kukabulkan juga. Meskipun aku harus menjual sepetak tanah yang harganya tak seberapa untuk sekadar bekalnya.

“Ini kesempatan Ubak1), kapan lagi kalau tak sekarang. Aku sudah bosan menganggur,” kata Bandu suatu kesempatan memberi alasan. Aku semakin yakin. Anakku yang sudah berusia 24 tahun itu ingin menunjukkan tanggung jawabnya. Tak mau menjadi benalu di keluarga sendiri. Apalagi kondisiku sekarang: kurus dan batuk-batuk membatku sering tak kuat ke kebun.

Waktu itu aku hanya bilang: “Apakah harus ke luar negeri kalau mau cari kerjaan, memangnya di sini sudah tak ada lagi? Kalau mau ubak, kamu tetap di sini. Makan gak makan kumpul.”

“Ini kesempatan baik, ubak, tak akan datang dua kali. Lagi pula aku tidak sendiri, percayalah tak akan gagal.”

“Ubak percaya. Tapi ubak ragu, apa Malaysia ramah buat pendatang yang cari kerja,” kataku. Sebenarnya aku ingin mengusik hatinya yang sudah kewkeh itu, dan aku berharap ia bimbang.

Ternyata tidak. “Banyak TKI yang berhasil di sana, pulang bawa uang banyak. Hanya 3 tahun ubak, setelah itu aku mau berdagang di sini kalau sudah banyak modal. Atau jadi pertani kalau aku bisa kebeli tanah,” ia menandaskan. Ia ingin aku tidak bimbang melepasnya.

“Bandu, tak semua TKI dari sana pasti sukses. Banyak malah yang dikejar-kejar polisi kerajaan Malaysia, dicambuk dan di penjara. Banyak pula yang dipulangkan karena diketahui sebagai pendatang haram,” kataku tak mau kalah.

Aku tahu itu dari sering mendengar berita di televisi. Aku terkadang khawatir sekaligus sedih saat menyaksikan para tenaga kerja kita yang diburu-buru. Pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan hingga tewas, TKW yang membunuh majikannya lantaran tak tahan dianiaya dan ingin diperkosa. Sebuah berita di televisi swasta juga mengabarkan seorang TKW melompat dari lantai 7 sebuah apartemen karena tak tahan menderita.

Dan, putra sulungku tetap pada niatnya. Ia harus ke luar negeri sebagai tenaga kerja. Postur lumayan atletis. Ia juga tak bodoh, tapi tak pula terlalu pintar. Sekolahnya berijazah SMP, tak meneruskan karena aku tak mampu membiayainya. Ia ikhlas tak selesai SMA, namun ia sangat berharap padaku agar kedua adiknya—Banu dan Ayu—jangan sampai berhenti setamat SD.

Aku mengabulkan harapannya. Banu sudah di kelas 2 SMP, sedangkan Ayu masih di kelas 6 SD. Bandu membantu mengolah dua petak sawah peninggalan keluarga umaknya2) hasil warisan, sementara aku juga mendapat warisan sepetak tanah dari abahku yang kugarap sendiri. Bagiku warisan yang diterima istriku bukan hakkku, tapi bisa dimanfaatkan oleh anak-anakku. Maka ketika istriku meninggal 3 tahun lalu, aku bersumpah tak akan menjual tanah peninggalan istriku itu.

Aku berpikir, lebih baik kujual sepetak tanahku untuk bekal sulungku merantau daripada milik istriku. Tak mau aku dicemooh oleh keluarga istriku gara-gara menjual tanahnya. Bahkan aku paling takut dirutuk dan dikutuk. Apa kata orang—terutama keluarga istriku—kalau mereka tahu tanah warisan yang diterima istriku kujual setelah ia meniinggal? Pastilah macam-macam tanggapan dan prasangka.

“Bandon memang ngincer tanah itu. Buktinya ia jual setelah ayuk Mar meninggal. Pasti buat modal kawin lagi!”

“Ayuk Mar meninggal aneh. Masak gak ada sakit, pagi meninggal. Pasti….”

“Alahh… seperti tak tahu saja sifat Bandon. Dia nikahi ayuk Mar karena beharap kebagian warisan, tak mungkin dia dapat warisan dari keluarganya. Keluarganya tak punya harta….”

Martina—umak Bandu, Banu, dan Ayu—kunikahi karena kami saling mencintai. Ia teman permainanku sejak kecil. Ketika berusia 12 tahun aku mencoba bekerja di kota, dan 8 tahun kemudian aku pulang. Martina masih di desa, usianya yang 17 tahun lebih tampak dewasa. Cuma beberapa bulan setelah kunyatakan mencintainya dan ia menerima, aku pun melamarnya. Teman-teman sepermainanku di masa kanak-kanak tak bisa menyembunyikan perasaan irinya karena aku mampu menundukkan hati Martina. Walau rasa iri mereka tidak lantas berbuah dengki. Buktinya mereka tetap mau membantu menyiapkan pesta pernikahan kami.

Ketika Ayu duduk di kelas 2 SD, Martina meninggal. Ia ditakdirkan lebih dulu ke pangkuan Tuhan. Aku tak tahu penyakit apa yang dideritanya sehingga istriku meninggal lebih cepat. Hanya, yang pernah kudengar perbincangan seorang dokter dengan suster sewaktu di rumah sakit, Martina mengidap kanker rahim. Terlambat ketahuan, sudah stadium 3. Aku memakluminya, sebab Martina adalah perempuan perkasa. Tak pernah sekalipun ia mengeluhkan rasa sakit. Ia tidak memanjakan penyakit, tak mau ke puskemas jika terasa badannya agak lain.

Martinya hanya meringis sebentar saat ia sulit buang air kecil, bahkan ketika tiga hari tak juga bisa kencing ia tak banyak mengeluh. Sewaktu ia kencing pada hari keempat dan yang keluar adalah air bercampur darah, ia cuma bilang, “Aku pendarahan.”

Saat itu aku tak bisa membiarkan pikiran-pikirannya. Segera kubawa ke rumah sakit di kota. Ia pun diopname selama sepekan. Di rumah sakit ketika berkumpul semua keluarganya, ia memintaku agar menjual tanah miliknya.

“Kalau tanah itu tak dijual, dari mana uang membayar pengobatanku ini,” katanya, ketika ia melihatku menggeleng.

Sebenarnya aku akan mencoba cari pinjaman ke keluargaku. Martina tetap bersikeras supaya secepatnya tanahnya itu dijual. Akhirnya aku mengalah.

“Yang sepetak untuk modal sekolah Banu dan Ayu,” kataku padanya.

Sisa tanah Martina itu yang kemudian digarap Bandu. Dia tanami singkong dan tanaman lainnya. Ia jual di pasar sepekan sekali. Sementara sepetak tanah warisan keluargaku, kutanami cabai, pisang, dan lain-lain tanaman. Dari hasil kebun dua petak tanah milik kami itulah, aku bisa menyekelohkan Banu dan Ayu, juga untuk makan kami sehari-hari. Walaupun terkadang mengutang dulu di warung mbok Sinah atau mencari penghasilan lain dengan mengoret rumput tetangga.

Sepeninggal Martina, perhatianku sepenuhnya kepada keluarga. Peran yang selama ini dilakukan Martina, aku yang melakukan. Seperti mencuci pakaian, memasak air setiap pagi, dan dibantu Bandu atau Banu kami pun memasak. Soal lauk-pauk cukup mengambil di kebun, juga kalau ingin makan ikan bisa di ambil di kolam belakang rumah.

Sampai sekarang aku tak punya pikiran ingin mengganti peran Martina bagi ketiga anakku. Aku tidak yakin perempuan lain akan bisa menyamai apa yang telah diperbuat Martina selama ini. Apalagi kekhawatiranku untuk menyerahkan anak-anakku—terutama Ayu yang masih membutuhkan kasih sayang dan manja itu—kepada ibu tiri. Sekiranya mau, aku yakin, pasti bisa kudapati segera.

Tetapi, aku lebih mencintai anak-anakku. Selain itu, inilah saatnya harus kutunjukkan pada keluarga Martina kalau aku bukan menikahi hartanya, tapi karena aku benar-benar mencintai Matina. Dan cinta itu tak dapat terganti oleh siapa pun, begitu Martina meninggal. Bahkan, kalau saja Martina tak berkeras tak akan kujual tanahnya. Aku masih bisa berusaha dengan cara lain untuk mendapatkan uang.

Hanya keluarga Martina selalu memandangku sebelah mata. Ia tetap mendugaku negatif. Bandu pernah melapor, Paklik Martono seperti tak yakin kalau aku bisa bertahan menduda. “Jangan-jangan ubak kamu sudah beristri jauh sebelum umakmu mennggal,” kata Kak Martono seperti disampaikan Bandu.

Ya, ampun! Sampai kapan mereka menuduhku seperrti itu. Fitnah itu sudah menyebar di warung-warung bahwa aku sudah menjual sepetak tanah Martina untuk menikah lagi.

“Makanya ia hanya menjual sepetak, karena yang sepetak sudah dijual ketika Martina masih hidup. Untuk apa lagi, kalau bukan buat kawin!”

Aku balas fitnah keluarga Martina dengan tetap menduda. Kutunjukkan dengan cara memperhatikan sepenuhnya anak-anakku—bukankah ketiga anakku adalah keponakan Martono dan cucu dari orang tua Martina?—dengan tidak menggantikan perempuan lain menjadi ibu tirinya,

Sampai akhirnya, Bandu izin hendak mengubah nasib keluarga kami dengan mencari kerja di Malaysia. Semula tak kuberi izin, karena aku tak mau dianggap tak bertanggung jawab pada anak. Berkali-kali kukatakan pada Bandu, lebih baik tinggal bersama-sama di rumah ini meski harus pontang-panting. Lebih baik hujan batu di sini, ketimbang hujan emas di negeri orang. Entah dari mana kalimat itu kudapat. Sebab, intinya, aku tidak mengizinkan Bandu ke luar negeri sebagai tenaga kerja.

Bandu tetap bersikeras. Ia tetap akan bekerja di Malaysia. Sebagai buruh sekalipun. Ia juga sudah menemui paklik Martono dan menjelaskan semua keinginannya. Kak Martono setuju, artinya merestui.

“Daripada kamu ikut ubakmu jadi petani lagi, paklikmu setuju kau bekerja di Malaysia. Setidaknya kau tahu luar negeri, kamu bisa pintar bahasa Inggris,” kata Martono. “Tapi jangan lupa oleh-oleh buat paklikmu kalau kamu pulang nanti.”

“Untuk pakcikmu juga jangan pula kaulupa,” timpal pakcik Anwar, adik Martina.

“Buat Nining3) cukup baju kurung,” kata nenek Bandu—mertuaku.

Bandu hanya mengangguk sekali untuk menjawab ketiga harapan mereka. Sebelum pamit, paklik Martono masih saja sempat mengingatkan, sekiranya aku tak mengizinkannya ke luar negeri segera lapor kepadanya. “Paklikmu akan datangi ubakmu. Seharusnya dia berterimakasih kau mau memikirkan keluarga, siapa tahu dengan begrtu berubah nasib kalian.”

Martono bekerja di kelurahan sebagai kepala tata usaha. Ia pegawai negeri sipil. Sedangkan Anwar menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah di kampung kami. Karena itu pula mereka menganggap rendah keluargaku. Ketika Martina masih hidup, tak luput campur tangan mereka di keluargaku. Padahal di hadapannya, kami tak pernah meletakkan tangan di bawah.

Bandu akhirnya terbang ke Malaysia. Serombongan dengan tenaga kerja lainnya dari bebagai daerah di Indonesia. Kata Bandu, sekitar 113 TKI baik perempuan maupun lelaki. Setiba di Kualalumpur nanti, jelas Bandu, mereka ditampung dulu sebelum disebar ke berbagai negara bagian. Tetapi Bandu mendapat pekerjaan di Kualalumpur.

“Cuma aku tak tahu ubak, apa kerjaanku nanti.”

“Tak usah pilih-pilih, yang penting kaucintai setiap pekerjaanmu,” kataku.

Bandu mengangguk.

BULAN keempat, aku menerima paket dari Bandu. Sebuah kardus besar. Beberapa bungkus berisi pakaian sudah ditulis untuk siapa ia berikan. Aku hanya mengeluarkan dari kardus, lalu memisah-misahkan yang untuk kami dan buat keluarga Martina, juga tetangga sebelah.

Ketika Banu membawa kiriman Bandu untuk Martono, ia seperti mencurigaiku telah mengambil haknya. “Apa iya Bandu hanya ngasih segini buat paklikmu? Ubakmu mengambilnya ya?” tanya Martono sinis seperti diceritakan Banu.

“Tidak, paklik. Memang hanya segitu,” jawab Banu.

Anwar mengangguk lalu menyalak, “Aku juga tak percaya Bandu cuma mengirim ini. Untuk apa habis-habiskan ongkos untuk mengirim paket kalau isinya begini. Harganya murah lagi.”

“Kiriman kak Bandu untuk paklik, pakcik, dan nining memang hanya ini. Sudah kak Bandu tulis namanya, jadi tak mungkin ubak mengambilnya. Kak Bandu juga mengirim untuk Banu, Ayu, ubak, dan tetangga sebelah,” jelas Banu ketakutan.

“Banyak untuk ubak kamu? Seharusnya paklik yang dapat banyak. Paklik yang kasih semangat waktu dia mau pergi. Kalau ubakmu cuma bisa mencegah.”

“Saya tak tahu soal itu, paklik. Sungguh pakcik. Aku permisi pulang.”

“Ya. Sampaikan terima kasih nining pada Bandu dan ubakmu ya,” Nining yang menjawab.

Sejak kiriman paket dan uang melalui wesel itu, Bandu tak lagi berkabar. Aku berkali-kali mengirim surat ke alamat seperti yang tertulis di paket ataupun wesel, tak pernah ada balasan. Biro tenaga kerja yang mengirim Bandu sudah kuhubungi, mereka pun kehilangan jejak setelah Bandu keluar dari pekerjaannya yang pertama.

“Kami akan coba hubungi kedutaan besar kita di sana. Setiap warga Indonesia pasti berhubungan dengan KBI di Kualalumpur,” kata salah satu staf penyalur TKI.

Benarkah? Aku tidak tahu soal itu. Biro penyalur TKI itu kemudian mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah. Alasannya, sudah dihubungi semua biro penyalur dan penampungan TKI, namun tak satu pun yang mengetahui keberadaan Bandu. Apakah dia masih di Kualalumpur, sudah menyeberang ke Thailand ataupun Singapura? Itulah kepasrahan yang terakhir kuterima dari pimpinan biro penyalur TKI yang membawa Bandu ke Malaysia.

Kini aku benar-benar khawatir. Was-was. Tak tahu di mana Bandu menetap. Tak jelas rimbanya. Martono makin mengipas-ngipas. Ia menakut-nakuti. Ia bilang, mungkin Bandu masuk Malaysia tanpa surat-surat. Akhirnya ditangkap pihak keamanan di sana. Biasanya yang tertangkap kepolisian kerajaan Malaysia, pasti dicambuk sebelum dijebloskan ke tahanan.

“Kau lihat apa Bandu punya surat-surat sebelum berangkat?” tanya Martono ingin menghindar dari tanggung jawabnya.

“Saya lihat sendiri ia mengurus surat-surat setelah diterima biro penyalur itu,” jawabku.

“Bukan itu maksud saya,” potong Martono. “Sudah pasti surat-suratnya tidak ketinggalan?”

Aku mengangguk.

“Jangan-jangan biro yang membawanya ilegal?”

Ah. Aku menggeleng-geleng. Mengembus napas setelah kuhirup dalam. Aku tak tahu, apa arti ilegal yang dikatakan Martono. Sebenarnya aku ingin mencari tahu arti itu, namun karena aku sudah enggan berhadapan dengan Martono akhirnya aku diam. Dengan cara itu kuharap ia akan meninggalkan rumahku ini.

Harapanku terwujud. Martono dan Anwar pamit. Tetapi, masih juga menyampaikan sesuatu:

“Bagaimana caranya kau harus bisa ke Malaysia, kau cari tahu keberadaan Bandu. Jangan sampai jejaknya pun tidak pernah kita ketahui. Ingat itu,” katanya. Ia tambahkan lagi, ”Kau tanyakan langsung pada kedutaan besar kita di sana. Sebab aku tidak percaya pada biro TKI, mereka tak akan menolong. Namanya perusahaan, tak akan mau rugi dan susah-susah hanya mengurus seorang TKI. Masih bertumpuk urusan mereka.”

Aku terdiam. Wajahku menunduk. Badanku lemas. Mungkin kak Martono benar. Biro penyalur TKI hanya mengurus kepergian, sedangkan masalah hilang di negeri orang, mati dianiaya, bunuh diri, ataupun berbunuhan sesama TKI bukan lagi urusannya. Setiap biro penyalur TKI hanyalah mencari keuntunghan. Dan, itu didapat saat mencari, menyeleksi, dan mengirim para TKI ke negara yang di tuju. Setelah itu, masing-masing TKI menanggung sendiri risikonya kalau ada. Termasuk berjuang tentang besar upah yang diterimanya. Berjuang menghadapi kerasnnya hisdup, dan seterusnya.

Ternyata kabar dari Bandu tak juga kunjung tiba. Sampai tahun ketiga aku terus menunggu berita keberadaannya. Kutepis setiap pikiran terburuk tentang Bandu. “Mungkin ia terlalu sibuk bekerja, jadi lupa mengirim surat,” aku membatin.

Benarkah? “Barangkali tempat kerjanya jauh dari kota, makanya ia tak sempat mengirim surat,” gumamku lagi.

Tetapi kekhawatiran demi kekhawatiran kian menumuk di hatikua. Sulit sekali kuhilangkan. Berkali-kali kudengar berita di televisi soal para TKI di luar negeri. Seperti mati gantung diri di apartmen, dianiaya majikan, hamil akibat diperkosa anak majikan, ditangkapi polisi karena pendatang haram, sampai perkelahian antara TKI dengan warga asli ataupun pertikaian antarTKI karena berebut rezeki.

Rasa was-was, khawatir, dan takut semacam itu lalu menggumpal. Akhirnya dengan uang tak begitu banyak, kusambangi biro penyalur TKI yang mengirim Bandu. Di hadapan pimpinan biro itu, aku tak sanggup lagi menahan perasaanku itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Kepadanya aku sungguh-sungguh berharap bisa berangkat ke Malaysia untuk menemui Bandu, atau setidaknya tahu nasibnya. Semula keberatan, tapi karena berkali-kali kudesak bahkan mengancam tak akan keluar dari kantor itu sebelum aku diberangkatkan, akhirnya mereka mengurus surat-suratku. Setelah itu aku diantar ke Malaysia.

Dengan menyewa taksi dari bandara ke Kedutaan Besar Indonesia di Kualalumpur, pikiranku makin kalut. Supir taksi yang juga warga Indonesia—ia mengaku dari Pekanbaru, Riau—seperti tak akan kering lidahnya bercerita soal nasib TKI di Malaysia. Kali ini aku bukan mendengar dari televisi, tapi langsung dari saksi hidup tentang nasib para TKI.

Ia menunjuk perkebunan sawit yang terhampar sepanjang dari kawasan bandara hingga mendekati perkotaan. “Di perkebunan sawit yang kita liwati tadi, dulunya kuburan masal….”

“Maksud bapak?”

“Banyak tenaga kerja kita di sini yang mati, lalu dikubur begitu saja di sana.”

“Ah…” aku hanya mendesah.

“Ini bukan cerita kosong, puan. Perkebunan sawit itu dulunya adalah hutan,” ia mulai bercerita lagi.

“Nah, para tenaga kerja yang mati karena saling berbunuh atau berkelahi ya dikubur di sana. Kerajaan Malaysia tak mau repot-repot mengurus. Ia perintahkan saja para TKI yang melihat agar segera menguburkan di hutan yang ada,” supir taksi itu berhenrti sejenak, menunggu respon kami.

Pegawai biro penyaluir TKI yang menemaniku tak berkomentar. Aku lebih suka ingin mendengar cerita dari supir taksi itu.

“Sebenarnya yang paling bengis TKI di sini berasal dari Timur,” ujarnya kemudian. Ia tak menyebut suatu daerah tertentu di Tanah Air. ”Kalau urusan perut mereka terusik atau diganggu, tak segan-segan mereka membunuh. Lalu mayatnya dibuang di hutan.”

“Apa hubungannya dengan perkebunan sawit?” pegawai biro penyalur TKI bertanya.

Aku diam.

“Sampai kini pun kebiasaan membuang atau mengubur mayat TKI yang mati dan tidak punya identitas, ya di dalam perkebunan sawit itu setelah hutan di sini dibabat dan ditanami pohon sawirt,” jawabnya ringan. “Biasanya setelah dibunuh seluruh identitas mayat dibuang dulu, supaya dianggap oleh kepolisian sebagai pendatang haram. Dengan begitu tak terlacak, dan mudah sekali untuk dikubur begitu saja di hutan atau di perkebunan sawit4),” cerita supir taksi itu yang amat fasih berbahasa melayu.

Supir taksi itu juga bercerita bagaimana perantau dari Indonesia yang mengadu nasib di Chow Kit Road—lidah orang Indonesia di sana menyebut Cokit—sebuah kawasan berdagang buah-buahan, baju, dan lain-lain berharga murah. Kehadirtan perantau Indonesia di Chokit dianggap telah mengganggu mata pencarian warga asli, sehingga kerap terjadi perkelahian di tempat itu. Persoalan di kawasan itu sampai pula ke Kerajaan Malaysia. “Bukan tak mungkin perkelahian di sana menelan korban juga. Hanya saja tak ada kabar di kemanakan mayatnya,” cerita tetap berwajah sangat santai, seperti tak begitu penting bagi dia.

Sementara bagiku amat sangat penting. Ya. Tiba-tiba seluruh tubuhku menggeremang. Pundakku bergidik. Lunglai. Sepertinya aku tak mampu lagi meneruskan perjalanan ke KBI. Sepertinya aku benar-benar kehilangan kata, jika bertemu staf Kedubes RI untuk urusan TKI di Malaysia. Apa yang akan kutanya lagi tentang Bandu?

Lampung, Desember 2007-April 2008



1) ubak artinya ayah (bahasa Sumsel)

2) umak, artinya ibu

3) Nining, artinya nenek

4) Cerita supir taksi ini tentang nasib TKI yang terkadang tak lagi ketahuan keberadannya di Malaysia, saya peroleh dalam perjalanan dari GAPENA Malaysia ke bandara Kualalumpur—terminal Air Asia, Agustus 2007..

Tidak ada komentar: