16 Mei 2008

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS

Setelah pintu tertutup

setelah pintu rumah tertutup dan langkahku membekas di halaman,

maka makin terasa jauh berpisah antara aku dan kau. kenangan-

kenangan tersapu waktu. hanya suaramu yang masih melekat

di telingaku, tapi tinggal desah

aku harus pergi. melepas masa lalu di halaman, di pintu rumahmu

aku titip namaku. sebagai pengembara kini kuhapus setiap ingatan

pada rumah. membunuh keinginan untuk pulang. aku begitu

setia pada setiap jalan yang akan membawaku jauh pergi. di sepatuku

hanya tergambar trotoar ataupun persimpangan. lampu-lampu jalan

memancar dari ujung sepatuku. bahkan keringat yang tumbuh di aspal

kini mengekal di telapakku.

lebih baik melepuh seluruh kakiku kalau aku akan bahagia sekiranya

tak ada bayangan rumah atau angan pulang di kepalaku. serupa

kunang-kunang, aduhai, berkelindan dekat di mataku.

biarkan aku jauh pergi karena dengan melupakan pulang

aku tetap akan sampai di depan gerbang!

Menjemputmu

jemput aku, katamu. aku pun bawakan selembar tangan bersayap, akan

kumasukkan kau ke dalamnya. melipat jadi senapas. sebab kau tak lagi

terpisah dari dalam sayapku. “mau terbang ke mana kalau berakhir juga

ke dalam sayap ini?”

mesti tak kutahu dengan apa kau akan setia di dalam sayap ini. menembus

waktu, melampaui padang dan lautan. “jika kau di bukit pasti sudah sejak

dulu kudaki untuk menjemputmu, tapi kau sudah turuni lereng dan

bersemayam di padang dan lautan.”

mesti dengan apa kuyakini kau, kujemput ketika matahari dari timur

di matamu dan cahaya senja di rambutku, saat itu tak sayap tak ada

juga belum tercipta padang, laut, maupun bukit. kecuali aku terbangun

dari penciptaan, kau dalam keadaan letih tertidur di sisiku. kuraba

pinggangku, dan kurasakan ada yang raib. “sebenarnya aku tak bernaung

apalagi keluar dari pinggangmu,” katamu setelah kedua matamu

bercahaya

lalu aku menjemputmu setiap waktu. baik saat letih atau sehat. apakah aku

sedang bersedih maupun tertawa. kita arungi laut, lampui padang, juga

daki bukit. “buka sayapmu, bawa terbang aku,” pintamu.

sejak itu selalu bersama. Kita….

Daun Penutup

jangan kausimpan daun-daun bekas penutup itu, perempuanku,

agar apel yang kumakan dan kini telah rimbun buahnya

tak mengundang kembali ular yang akhirnya kita tersasar

di antara bukit dan padang. aku akan semakin sedih jika

kita terpisah lagi. aku mencarimu di bawah sengat matahari,

dan kau memanggil-manggilku dari kejauhan. tertutup

dan terik matahari: tubuhmu peluh

harus dengan apa kuingatkan lagi, ketika daun-daun bekas

penutup itu kausimpan rapi. selalu katamu: daun-daun itu

adalah kenangan. dan sebagai ingatan, jangan sampai hilang.

tapi karena ingatan-ingatan akan masa silam itu aku tidak

pernah bisa merangkai kenangan baru. hanya berdiam atau

menghitung lembar-lembar daun, meski tak pernah tepat

hitungannya. aku tak lagi ingat sudah berapa kesalahan

dan kebenaran

kutabung dan kusia-siakan

Isbedy Stiawan ZS, lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Buku puisi terbarunya Laut Akhir (Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Ia bergiat di Dewan Kesenian Lampung sebagai Ketua I Bidang Teater dan Sastra. Pernah diundang pada Utan Kayu Literary Binnale Festival dan pada September 2007 diundang Ubud Writers and Readers Festival.

Tidak ada komentar: