Setelah pintu tertutup
setelah pintu rumah tertutup dan langkahku membekas di halaman,
maka makin terasa jauh berpisah antara aku dan kau. kenangan-
kenangan tersapu waktu. hanya suaramu yang masih melekat
di telingaku, tapi tinggal desah
aku harus pergi. melepas masa lalu di halaman, di pintu rumahmu
aku titip namaku. sebagai pengembara kini kuhapus setiap ingatan
pada rumah. membunuh keinginan untuk pulang. aku begitu
setia pada setiap jalan yang akan membawaku jauh pergi. di sepatuku
hanya tergambar trotoar ataupun persimpangan. lampu-lampu jalan
memancar dari ujung sepatuku. bahkan keringat yang tumbuh di aspal
kini mengekal di telapakku.
lebih baik melepuh seluruh kakiku kalau aku akan bahagia sekiranya
tak ada bayangan rumah atau angan pulang di kepalaku. serupa
kunang-kunang, aduhai, berkelindan dekat di mataku.
biarkan aku jauh pergi karena dengan melupakan pulang
aku tetap akan sampai di depan gerbang!
Menjemputmu
jemput aku, katamu. aku pun bawakan selembar tangan bersayap, akan
kumasukkan kau ke dalamnya. melipat jadi senapas. sebab kau tak lagi
terpisah dari dalam sayapku. “mau terbang ke mana kalau berakhir juga
ke dalam sayap ini?”
mesti tak kutahu dengan apa kau akan setia di dalam sayap ini. menembus
waktu, melampaui padang dan lautan. “jika kau di bukit pasti sudah sejak
dulu kudaki untuk menjemputmu, tapi kau sudah turuni lereng dan
bersemayam di padang dan lautan.”
mesti dengan apa kuyakini kau, kujemput ketika matahari dari timur
di matamu dan cahaya senja di rambutku, saat itu tak sayap tak ada
juga belum tercipta padang, laut, maupun bukit. kecuali aku terbangun
dari penciptaan, kau dalam keadaan letih tertidur di sisiku. kuraba
pinggangku, dan kurasakan ada yang raib. “sebenarnya aku tak bernaung
apalagi keluar dari pinggangmu,” katamu setelah kedua matamu
bercahaya
lalu aku menjemputmu setiap waktu. baik saat letih atau sehat. apakah aku
sedang bersedih maupun tertawa. kita arungi laut, lampui padang, juga
daki bukit. “buka sayapmu, bawa terbang aku,” pintamu.
sejak itu selalu bersama. Kita….
Daun Penutup
jangan kausimpan daun-daun bekas penutup itu, perempuanku,
agar apel yang kumakan dan kini telah rimbun buahnya
tak mengundang kembali ular yang akhirnya kita tersasar
di antara bukit dan padang. aku akan semakin sedih jika
kita terpisah lagi. aku mencarimu di bawah sengat matahari,
dan kau memanggil-manggilku dari kejauhan. tertutup
dan terik matahari: tubuhmu peluh
harus dengan apa kuingatkan lagi, ketika daun-daun bekas
penutup itu kausimpan rapi. selalu katamu: daun-daun itu
adalah kenangan. dan sebagai ingatan, jangan sampai hilang.
tapi karena ingatan-ingatan akan masa silam itu aku tidak
pernah bisa merangkai kenangan baru. hanya berdiam atau
menghitung lembar-lembar daun, meski tak pernah tepat
hitungannya. aku tak lagi ingat sudah berapa kesalahan
dan kebenaran
kutabung dan kusia-siakan
Isbedy Stiawan ZS, lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Buku puisi terbarunya Laut Akhir (Januari 2007) dan Lelaki yang Membawa Matahari (Juli 2007). Ia bergiat di Dewan Kesenian Lampung sebagai Ketua I Bidang Teater dan Sastra. Pernah diundang pada Utan Kayu Literary Binnale Festival dan pada September 2007 diundang Ubud Writers and Readers Festival.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar