17 Mei 2008

Surat dari Hutan Jati



Cerpen Isbedy Stiawan ZS


LELAKI sepuh itu kini merasa terganggu. Masa pertapaannya yang sudah dilalui bertahun-tahun, apakah harus gagal hanya karena seorang anak muda jahil? Pikirnya.

Tetapi, kejahilan tak berdasar itu jika dibiarkan berisiko besar bagi kesepuhannya. Orang-orang akan tidak percaya lagi pada kesaktian dan kewibawaan yang dimilikinya. Ia tak lagi dihormati dan disegani, ia akan kehilangan kesempatan dianuti seluruh negeri. Padahal antara nama dan ketokohan sudah tak terpisah dari dirinya. Bahkan mengekal?

Kau tahu siapa lelaki sepuh itu, yang tak satu pun orang di negeri ini tak mengenal apalagi tak tahu padanya?setidaknya mengenal nama sepuh sakti: dari tangannya banyak tercipta tembang-tembang semacam macapatan atau kaba atau sejenisnya, ia juga pemikir yang tiada tandingan di jagat intelektual negeri ini?pendapatnya selalu dibenarkan dan dijadikan acuan oleh orang-orang lain; dan ia pun petapa yang diyakini amatlah suci dan memiliki sebuah padepokan kanuragan dan olahseni.

Padepokan yang didirikannya dengan kesadaran untuk mengabdi dan menyucikan jiwa dan akalnya itu, kini kerap dikunjungi banyak orang yang ingin berlatih serta sekadar bertapa. Setiap hari tak terlalu sedikit orang berada di padepokan itu: merenung, bermantra, berdiskusi, membaca kitab-kitab kuno dan mutakhir; dan masih banyak lagi.

Dan lelaki sepuh itu tak pernah terusik dalam pertapaannya. Sebab ia memiliki beberapa orang wali untuk mengurus padepokan dan santri-santri lainnya. Hanya sesekali ia duduk berhadapan dengan para wali dan santrinya. Itu pun tak banyak kata keluar dari bibirnya. Sesekali mengangguk untuk membenarkan atau menggeleng jika ia tak sependapat, selebihnya ia nikmati pertemuan dengan wali dan santrinya. Meski begitu, jika ada kesepakatan yang harus diputuskan atas nama padepokan, ia tidak boleh dilupakan.

Hukumnya haram kalau keputusan yang tidak diketahui Respati, kata seorang wali di sana.

Harap maklum, setiap keputusan harus ada goresan tangannya. Dianggap tidak kuat bahkan cacat secara padepokan, tanpa ada dibubuhi tanda tangannya. Sementara itu, surat-surat yang tidak berimbas pada nama pedepokan, cukuplah diketahui wali yang telah disepakati mewakili padepokan. Termasuk wali yang dipercaya untuk bertugas di luar padepokan, kecuali memberi tahu (melapor), sedangkan risiko baik dan buruk ditanggung wali itu sendiri.

Ternyata cukup ampuh untuk mempertahankan wibawa padepokan (dan tentu saja wibawa Respati). Para wali yang bertugas nyambi d luar padepokan sampai sejauh ini masih memberi kontribusi menguntungkan bagi padepokan. Seluruh ruang dan peluang anak negeri berada dalam genggaman Padepokan Respati. Padepokan itu yang menentukan dan mentahbis seseorang bisa berharga atau tidak, mau diakui atau dipinggirkan, dan seterusnya.

Padepokan itu berada di tengah-tengah hutan jati. Untuk mencapai tempat pertapaan Respati, harus melewati beberapa pematang, hutan kecil, beberapa sungai baik kecil maupun besar, menyisir pinggiran sungai yang airnya sangat sejuk, kemudian sedikit mendaki perbukitan, barulah bentangan hutan jati yang amat sangat lebat. Batangnya menjulang tinggi dan besar. Sedangkan padepokan terlindung oleh pagar terbuat dari potongan jati yang sangat tinggi. Karena itu, jika kau berada di luar pagar tak akan terlihat kehidupan yang berlangsung di dalamnya.

Itu sebabnya, penghuni padepokan dianggap orang-orang terasing; layaknya komunitas kubu. Mereka sengaja mengisolasi diri. Tidak suka bergaul dengan orang-orang di luar padepokan. Kelompok tersendiri. Komunitas Padepokan Hutan Jati. Tapi, jangan sangka kalau mereka bodoh lantaran kurang bergaul. Justru pintar dan cerdas-cerdas. Meski pergaulan mereka pada tetangga kurang harmonis, namun persetubuhan pemikiran dengan orang-orang di luar sana sangat menggembirakan. Seperti pepatah walau lidah lokal, tapi otak tetap global.

Introvert? Mungkin 'ya' jika berhadapan denganmu. Akan tetapi, sesungguhnya mereka cuma hati-hati karena merasa ilmu dan pengetahuan itu sangat sulit didapat. Kalau kau pintar, mungkin mereka anggap akan berbahaya bagi kehidupan padepokan.

Respati sebagai suhu di padepokan itu, tidak akan pernah tergeser oleh kekuatan apa pun. Kesuhuannya itu akan abadi. Sebab itu bukan jabatan politis seperti biasa kau temukan di pemerintahan atau legislatif, bisa berganti-ganti karena kepentingan seseorang dan kroni-kroninya. Pepatah di dunia politik 'tiada teman abadi tak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan' sesungguhnya tak berlaku di dalam kehidupan padepokan.

Respati ya Respati. Ia sebagai pendiri, suhu, pemimpin padepokan, dan petapa sakti. Itu kata seorang wali yang lain. Ia selalu diberi kepercayaan untuk mempertemukan seluruh ahli kanuragan dan ahli tembang sejagat. "Seperti saya, saya juga tidak tergantikan. Kecuali saya tak lagi di padepokan ini atau meninggal dunia," kata Matahari.

"Begitulah keputusan yang sudah kami sepakati di sini," sambung Tangga Awan, wali Respati lain yang ditugasi memilih para cantrik di seantero negeri.

Artinya para wali di padepokan itu akan selalu tunduk dengan segala kesepakatan yang telah disepakati. Tidak ada yang berani coba-coba memberontak, bergunjing setelah keputusan diketuk, tidak boleh iri pada tugas sesama wali, apalagi sampai menjelek-jelekkan padepokan dan isinya kepada orang luar. Respati adalah muara, adalah pusat. Bagaikan sebuah gasing, ia boleh berputar sekehendaknya. Namun tidak dibenarkan keluar dari lingkaran, yakni bernama Respati. Moto padepokan 'ke dalam saling membangun, keluar saling membela' benar-benar digenggam kukuh.

Apa yang terjadi di dalam padepokan, tak bisa ditilik mata paling tajam dan mampu menembus apa pun. Padepokan itu layaknya sebuah negeri di dalam negeri. Cuma kehidupan di dalam sana, siapa yang tahu? Maksudnya dalam laut bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa yang bisa tahu? Soalnya, sekali lagi. Hutan jati yang membalutnya. Pagar batang jati yang menyembunyikan kehidupan di dalamnya.

Itu sebabnya, kalau pun sekiranya di antara penghuni padepokan saling tukar pasangan pun maka kasus itu tak akan sampai terdengar oleh orang luar. Jika saja Respati memberi kebebasan setiap wali dan cantriknya bebas memilih agama dan keyakinan adalah sah-sah saja, dan tak akan terendus oleh orang luar. Atau apabila Respati hendak membebaskan seks di padepokan, aroma itu pun tak akan tercium oleh siapa pun. Sesungguhnya itu sudah berlangsung lama sekali.

***

MAKA ketika sekelompok orang hendak menghancurkan padepokan dan memenggal leher Respati serta memenjara para pengikutnya, Respati benar-benar merasa terusik. Pertapannya terganggu oleh ulah segelintir orang, yang dianggapnya, ingin mencari ketenaran atau merebut ketenaran dan kewibawaan.

"Mereka sudah keterlaluan. Mengganggu orang yang sedang bertapa. Artinya sudah mengangkangi hak-hak kebebasan orang lain. Harus dilawan!"

"Sabar sepuh," kata Matahari ingin membendung amarah sepuhnya itu.

"Benar Pak Tua," Tangga Awan menambahkan. Ia mendukung saran rekannya.

"Apa untungnya jika Mbah Respati menanggapi anak-anak kecil itu? Mereka akan semakin besar kepala. Mereka akan terkenal...." Jok Pekik ikut menimpali.

Respati urung. Ia mengangguk kecil. Membelai janggutnya yang tak begitu lebat. Lalu mengelus-elus rambutnya yang nyaris botak. Tetapi, karena wajahnya masih menyimpan amarah, makin tampak seperti wajah monyet yang biasa setiap pagi bergantungan di pohon jati di belakang salah satu bangunan padepokan: tempat Respati selama ini bertapa.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Respati meminta saran dari para walinya.

"Diamkan saja. Itu akan menguntungkan suhu. Artinya nama suhu akan semakin menjulang: dicatat dan dibicarakan banyak orang," kata wali Wibawa.

Respati kembali mengangguk. Ia menurunkan amarahnya hingga ke titik nol. Kembali ke joglonya untuk meneruskan pertapaannya.

***

TETAPI apa yang dilakukannya tak berlangsung lama. Orang-orang yang menggugatnya kian bertambah dan menjadi-jadi. Bahkan sudah tidak beradab. Respati membatin. Meneror dengan segala fitnah, menyebar kebusukan ke berbagai sudut dan papan pengumuman ataupun selebaran berantai.

"Mereka sudah keterlaluan. Tak bisa lagi dibiarkan. Amat menjengkelkan. Bahkan menjijikkan. Mereka menyebar fitnah seperti anak-anak yang mencoret-coret di dinding kakus!" kata Respati geram. Kali ini dengan nada meninggi. Tak bisa lagi menahan amarahnya.

"Jadi, bagaimana suhu?"

"Apa yang harus kita lakukan sepuh?"

"Apakah kita lawan juga dengan selebaran berbau fitnah, wahai mbah Respati?"

"Tidaaaakkk!" teriak Respati.

Sungguh bertahun-tahun mereka mengenal dan bergaul dengan Respati, baru kali ini suaranya meninggi seperti itu, melebihi ringkikan kuda yang terluka karena dipecundangi saisnya. Mereka terheran-heran. Tak percaya.

Apakah ini adalah penampakan asli sang Respati? Pikir mereka.

Wajah Respati memerah. Degup nafasnya membara. Kedua telapak tangannya mengepal. Entah siapa pula yang akan menjadi sasaran tinjunya. Para wali mulai siaga: memasang kuda-kuda untuk sekadar mengelak apabila ketupat bengkulu Respati benar-benar melayang. Atau ada yang malah siap-siap untuk langkah seribu.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" sesaat kemudian setelah merasa Respati sudah bisa mengontrol amarahnya, Matahari memberanikan diri bertanya.

"Yang saya inginkan, buat surat. Dan sebarkan ke seluruh negeri ini. Minta saran mereka apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi orang-orang yang memfitnah saya. Setiap saran yang diterima akan langsung saya cermati. Dan bagi saran yang baik akan saya turuti, sedangkan si penyaran akan mendapatkan hadiah dari padepokan!"

"Siap sepuh!"

"Dilaksanakan mbah Respati!"

"Dengan senang hati kami akan laksanakan apa yang Mbah Respati perintahkan..."

"Lakukan sekarang!" perintah Respati.

Para wali dan cantrik, tak satu pun yang tidak mengangguk.

Dan baru sekali ini Respati bertindak perintah kepada wali-walinya. Meski para wali dan cantrik terheran-heran, tetap memaklumi perasaan Respati yang sedang memendam amarah, dendam, dan gundah gulana tentu saja. Soalnya, baru kali ini kewibawaannya terusik. Seperti dipertanyakan, seakan diragukan dan dicurigai?

***

SURAT Respati yang bertajuk "Surat dari Hutan Jati" itu akhirnya disebar ke berbagai penjuru di seantero negeri, melalui media apa saja. Ada yang ditempel di setiap pohon, dinding rumah, perempatan jalan, baliho di kantor desa, sampai ke padepokan-padepokan yang ada, termasuk media informasi lainnya.

Surat itu bisa dibaca siapa saja karena bukan lagi surat rahasia. Isi surat itu demikian:

Saudara-saudara yang saya hormati,

Masa pertapaan saya yang cukup lama kini terusik oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak beradab. Mereka menyebar fitnah, baik kepada saya maupun ke Padepokan Hutan Jati, yang intinya bahwa kami dianggap telah menyebarkan aliran sesat yang sangat berbahaya bagi persendian peradaban.

Padepokan Hutan Jati difitnah sebagai 'kampoeng' yang hendak mendirikan negara dan ajaran-ajaran tersendiri. Tidak lagi berjalan di atas rel dan norma-norma yang berlaku di masyarakat luar padepokan. Fitnah yang amat keterlaluan dan sulit sekali dimaafkan ialah bahwa kami dituduh penganut aliran payudara dan selangkangan. Setiap yang beraroma kelamin perempuan dituding penyebarnya adalah Padepokan Hutan Jati.

Selain itu Padepokan Hutan Jati dituding telah menerima bantuan dari orang-orang luar. Menciptakan keintiman yang harmonis terhadap pendonor meski harus mengorbankan masyarakat luas.

Para pemfitnah memobilisasi massa di berbagai pertemuan dan kesempatan dengan cara-cara keji, hanya untuk mendukung pendapat mereka. Dengan atau atas nama demokrasi serta ingin meluruskan sejarah perpadepokan, mereka melakukan pula segala cara untuk meruntuhkan Padepokan Hutan Jati. Mereka menghujat tapi bukan untuk menemukan titik kebenaran, melainkan demi pembenaran.

Oleh karena itu, melalui Surat Hutan Jati ini, saya Respati dan pemimpin/penanggung jawab Padepokan Hutan Jati menyatakan semua tuduhan, tudingan, hujatan, dan fitnah itu tidak benar adanya. Saudara bisa berkunjung dan melihat langsung ke padepokan kami.

Akhirnya, saya meminta saran dari saudara-saudara: apa yang harus saya lakukan? Apakah melawan atau menyeret para pemfitnah tersebut ke jalur hukum, ataukah harus saya diamkan? Mengingat memang saya terlalu sibuk hanya untuk mengurus soal-soal seperti itu. Terlalu banyak pekerjaan yang lebih besar daripada sekadar meladeni tudingan tak bertang jawab yang cenderung fitnah itu.....

Salam saya, Respati--Padepokan Hutan Jati"

Setelah membaca Surat dari Hutan Jati itu, kenapa kau tersenyum? ***

Lampung, September-Oktober 2007



Dimuat di Media Indonesia Silakan Kunjungi Situsnya! 11/04/2007

Tidak ada komentar: