02 Agustus 2009

Membahanakan FK, Membumikan Budaya

Oleh Isbedy Stiawan ZS


TATKALA rekan Christian Heru Cahyo Saputro menulis “Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya” taklah membuat saya heran. Sejatinya memang wisata adalah (sebagai) kendaraan untuk melestarikan (ke)budaya(an).

Kemudian untuk menggerakkan wisata, tentu banyak cara atau harus ada kegiatan. Maka di Provinsi Lampung ada Festival Krakatau dan sejumlah festival lainnya. Jika di Yogyakarta maka ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), apabila Bali ada Pekan Kebudayaan Bali (PKB) dan seterusnya.

Masalahnya di kedua daerah (provinsi) itu lebih terasa bahananya, lebih jelas visi dan sasarannya. Sedangkan di Lampung, hingga Festival Krakatau (FK) ke 18—artinya sudah lebih 18 tahun karena setahun kalau tak salah pernah absen—belum terdengar bahananya. Lalu bagaimana mungkin akan membumikan (pelestarian) budaya?

Sudah berulang saya menulis soal ini. Mungkin akibatnya banyak yang kurang suka, tapi inilah kenyataannya. Saya kerap kecewa setiap FK digelar. Dimulai dengan pembukaan yang condong sangat seremonial, yakni mengundang para duta besar negara sahabat atau Eropa yang “mungkin” pula diongkosi lalu mengikuti pembukaan dan diajak jalan-jalan ke objek wisata, setelah itu ada tari-tarian di panggung kesenian yang diarsiteki secara megah. Kemudian ditutup dan lalu hilang.

Tahun 2009 ini diklaim FK punya teroboson, karena bisa mengundang 15 duta besar yang diajak ke Tampang Belimbing (Tambling) melalui udara. Amboy, benar-benar “dimanjakan” para dubes tersebut. Sebagaimana foto-foto yang saya saksikan, di Tambling itu para dubes juga “disuguhi” binatang buas.

Kemudian para dubes diajak pesiar ke Gunung Anak Krakatau. Dubes Amerika Serikat diwawancarai wartawan dan menyatakan kekaguman pada keindahan Gunung Anak Krakatau dan mengakui alam Lampung sangat indah dan berpotensi menjadi daerah tujuan wisata. Lantas, menjadi pertanyaan, setelah dubes itu meninggalkan Lampung apakah ada tindaklanjutnya? Ini yang mestinya diburu.

Saya sependapat dengan Christian Heru Cahyo Saputro, tampaknya gelar FK selama ini terkesan hanya seromoni dan rutinitas. Sebuah kegiatan yang tiap tahun diadakan karena sudah dianggarkan dalam APBD provinsi.

Serangkaian kegiatan yang mendukung, seperti Pemilihan Muli Meghanai dan sebagainya hanyalah pundi-pundi hadiah untuk menentukan kabupaten/kota mana yang menjadi juara umum dan berhak membawa pulang piala gubernur.

Sehingga tujuan utama mengikuti berbagai event kesenian yang belum tentu “prestasi” melainkan hanya “prestise”. Dampaknya memang luar biasa, terjadi kecurangan di berbagai bidang kesenian dan salah satunya misalnya pada pemilihan Muli Meghanai 2009.

Sementara itu, pelestarian kebudayaan seperti tidak tersentuh. Apatah lagi mengangkat kesenian yang nyaris ditinggalkan masyarakat setempat. Sebenarya Lampung memiliki banyak kekayaan seni, di antaranya warahan, dadi, ataupun cangget bakha. Apakah hal itu sudah disentuh kemudian dipromosikan di hadapan wisatawan, utamanya para duta besar yang hadir?

Aneh sekali apabila para wisawatan dan 15 duta besar negara sahabat yang hadir hanya disuguhi sambutan-sambutan yang terkesan seremoni. Sementara selama perjalan yang memakan waktu berjam-jam menuju Gunung Anak Krakatau ataupun kembali, tidak ditampilkan kesenian yang khas Lampung.

Padahal, para bule terutama yang menyukai traveling wisata sangat membutuhkan hal-hal yang unik dan eksotis, bukan seperti dilakukan dalam FK XIX yang konon menampilkan musik dangdut. Di sinilah kealpaan panitia FK XIX, sehingga meski sudah ke 18 seakan tak bisa mendulang pundi dari pasar pariwisata.

Saya teringat pada 2008 diundang dalam pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia Papua. Saat itu bertepatan Festival Kebudayaan Papua. Sungguh, saya benar-benar disguhi aroma eksotis masayarakat pedalaman. Dan, seperti saya ketahui kemudian, mereka mendatangi festival itu hanya untuk menampilkan keseniannya harus berhari-hari di dalam perjalanan, karena ditempuh melalui laut, sungai, dan pegunungan.

Dalam helat festival di Papua, ternyata tidak disiapkan piala karena memang dalam kesenian sejatinya tidak bisa dinilai secara matematis. Tetapi, mengapa masyarakat (seni) pedalaman Papua rela menempuh perjalanan berhari-hari? Dan para seniman pedalaman Papua itu saat tampil tidak mengecewakan.

Begitu pula tatkala Pekan Budaya Bali yang benar-benar berlangsung selama sepekan, ternyata juga diikuti para seniman tradisi dari berbagai pelosok desa. Hal sama ketika Festival Kesenian Yogyakarta digelar, selama sepekan berbagai kegiatan seni, baik tradisi hingga muasir, dipertontonkan.

Hal inilah yang tampaknya kurang tergarap. Panitia FK XIX hanya terfokus pada seremoni pembukaan, penutupan, Lampung Expo—meski digelar oleh lembaga lain—serta tur Gunung Anak Krakatau. Setelah itu tanpa evaluasi, misalnya berapa jumlah hunian hotel-hotel di Bandarlampung selama FK digelar? Begitu pula dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya para pengrajin khas Lampung?

Sangat disayangkan, justru konon para duta besar diberi kenang-kenangan. Bukan sebaliknya, biarkan mereka amencari oleh-oleh khas Lampung sehingga terasa dampaknya bagi masyarakat. Maka belajarlah sungguh-sungguh dari event-event serupa di daerah lain, bukan cuma jalan-jalan…



*) sudah dimuat Harian Lampung Post, Jumat, 31 Juli 2009

Tidak ada komentar: