13 Januari 2009

Sisi lain Potret TKW di Luar Negeri

Catatan atas novel Luka di Champs Elysees

Oleh Isbedy Stiawan ZS



INILAH novel yang mengapungkan sisi gelap kehidupan seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri—dalam novel ini dikisahkan di dua kota dunia: Ryadh dan Paris—bergaya realis; sehingga kita seperti membaca realita…
------


SATU lagi novel yang “mengharubiru” pembaca setelah dua novel best seller Ayat-Ayat Cintanya Habibburrahman Al-Syiraz dan Laskar Pelangi (Andre Hirata), yaitu Luka di Champs Elysees karya Rosita Sihombing (Lingkar Pena Publishing, Agustus 2008; 188).

Novel Luka di Champs Elysees memang tidak berkisah kesuksesan tokoh Fahri—bahkan sangat ideal—pada Ayat-Ayat Cinta atau Ikal yang mampu mewujudkan mimpinya semasa kanak-kanak ke Paris dalam Laskar Pelangi. Rosita Sihombing justru menelisik kehidupan kelam seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Lampung di belantara “surga dunia” kota Paris.

Inilah, kalau boleh dikatakan, novel yang mengangkat sisi lain yang kelam seorang TKW di luar negeri, sebagaimana ditulis pula di sampul depan: “Sebuah kisah haru nan menawan, tentang perjalanan seorang muslimah di negeri yang menakjubkan.”

Paris, semua orang memimpikan kota indah itu, namun di balik keindahannya menyimpan kekerasan hidup—apa lagi buat seseorang yang tinggal secara ilegal. Bagi Nyoto Prihanto, staf KBRI di Paris, mengaku tidak mudah untuk bertahan di kota itu. Begitu pula Karimah, tokoh dalam novel Luka di Champs Elysees ini yang cukup disapa Kari, sebagai warga ilegal di Paris hanya bisa bertahan tanpa tahu bagaimana nasibnya esok hari atau pulang karena kalah. Dan, Kari memilih pulang sambil meremas-remas semua impian kembali jadi TKW!

Novel karya Rosita Sihombing, kelahiran Tanjungkarang 24 Januari 1974 dan lulusan S1 Inggris Unila, mengungkap salah satu realita TKW dengan cara realis pula. Adalah Karimah—ibu berputri satu hasil perkawinan dengan Pardi yang pedagang tempe daun di Pasar Tugu—yang mengadu nasib sebagai TKW di Riyadh. Kari bekerja menjadi baby sitter 2 anak dari keluarga pasangan Alkahtani-Haifa.

Kari menerima perlakuan kasar dari majikannya, terutama Haifa (majikan perempuan). Sepertinya tiada hari tanpa kekerasan. Tidak melakukan kesalahan saja, apalagi teledor, tangan majikan dan benda tumpul akan mendarat di tubuhnya. Ia sudah tidak tahan bekerja di keluarga majikannya itu, namun meminta berhenti tidak mungkin sebab gajinya pun masih tertunda 3 bulan.

Pada musim semi, keluarga Alkahtani-Haifa berlibur ke Paris. Karimah diajak serta untuk mengurus Omar dan Nassar—kedua putra majikannya. Sebelum keberangkatan ke Paris, Kari banyak mendengar tentang kota dunia nan menakjubkan itu. Ia tergiur dan ingin sekali pada saat yang tepat melarikan diri dari cengkeraman majikan.

Niatnya itu terkabul. Tetapi bukan kebahagian diraihnya di negara Napoleon tersebut, melainkan ia kian masuk belantara pekat. Saat pelarian dari majikannya, dalam keadan tak sadar karena kecapaian dan luka, ia ditolong seorang lelaki berkewarganegaraan Aljazair.

Hamed, lelaki itu, dan pendatang gelap juga kelaknya menjadi teman serumah Kari tanpa diikat pernikahan. Ternyata, dari penuturan Kari sebenarnya banyak TKW Indonesia di Paris yang hidup seatap dengan lelaki lain tanpa ikatan perkawinan. Dari hidup sekamar dengan kekasihnya, tak jarang untuk menyewa apartemen yang mahal itu ditopang bersama.

Untunglah Kari tidak bernasib seperti temannya. Ia mendapatkan Hamed yang mengasihi dan menyayanginya. Bahkan ia harus melahirkan anak perempuan—kemudian diberi nama Maharani Karimah—walaupun hanya bernafas beberapa hari karena “kecelakaan”.

Sebenarnya Kari tak menginginkan kehamilan dari hubungan intin dengan Hamed. Tapi ketika hamil, Hamed memintanya agar tak menggugurkan. Alasannya, jika mereka punya anak akan memudahkan mendapatkan izin tinggal di Paris.

Dia melahirkan tanpa Hamed. Bahkan saat berjuang habis-habisan dari apartemen ke rumah sakit, Hamed tak menyertainya. Sudah sepekan lebih “dewa penyelamat” itu tidak pulang ke apartmen karena bertengkar. Hamed menginap di rumah temannya dan melampiaskan kekesalannya dengan mabuk-mabukan.

Hamed kesal pada keluarganya yang menolak kehadiran Kari, dan juga marah pada Kari karena selama hamil amat sensitif. Itu sebabnya, Kari tidak menyertakan nama Hamed di belakang nama Maharani—bayinya yang baru lahir ketika hendak didaftarkan di walikota—sebab Hamed tak juga kunjung bezuk. Kari berpikir bahwa Hamed tak akan mungkin kembali padanya, jadi untuk apa menyertakan namanya di belakang bayinya? Sementara ihwal penyertaan nama di belakang nama anak, bagi Hamed, adalah penting.

Hamed seperti juga Kari, sebenarnya sudah berkeluarga di negaranya. Itu sebabnya yang membuat Hamed tak mungkin dapat menikahi Kari. Begitu pula Karimah tak akan bisa mengikat perkawinan, sebab ia berstatus istri Pardi dan ibu dari Tari (putri berusia 6 tahun). Maka tatkala bayi yang baru lahir buah percintaannya dengan Hamed meninggal, Kari menerima dengan sedih dan suka.

Sepeninggal Maharani, keduanya berpisah. Kari menumpang di apartemen temannya (Enah) sedangkan Hamed dengan temannya senegara. Sebabnya biaya untuk menyewa terkuras untuk ongkos pemakaman bayi mereka seharga 2.000 euros.

Ditampung di apartemen Enah bukan hidup Kari bertambah mulus. Pasalnya, kekasih Enah asal India (Rafik) adalah tipe lelaki matakeranjang. Untuk menghindari pelecehan dari Rafik, Kari kerap keluar bersamaan temannya itu pergi bekerja dan pulang pada malam hari. Tujuan satu-satunya ialah Jalan Champs Elysees, kenangan saat tangannya terluka karena jatuh saat melarikan diri dari majikannya dan ditolong Hamed.

Artinya jalan yang menawan dan menakjubkan itu, selain menyimpan luka juga kenangan indah. Di kawasan ini pula, Kari tak sengaja bahkan seperti kebetulan, berjumpa dengan perempuan Indonesia bernama Imel (hal.150-154)

Dari informasi Imel, Kari mendapat semangat baru untuk mengurus surat-surat di KBRI demi kepulangannya ke Lampung. Situasi kebetulan juga terjadi di novel ini, Hamed menelepon Kari. Bahkan kekasihnya selama 2 tahun di Paris itu bersedia membelikan tiket pesawat ke Indonesia. Kari pulang sebagai orang yang kalah sekaligus pula menjadi pemenang atas dirinya sebelum benar-benar lebur ditelan buasnya Paris.

*
NOVEL Luka di Champs Elysees ini digarap sederhana, sehingga pembaca bisa mudah mengikuti alur tanpa melompat-lompat. Bahkan untuk flashback pun, mungkin Rosita khawatir alur cerita tak terkejar oleh pembacanya, ia perlu memberi penjelasan. Atau langsung dengan menyebut “Dua Tahun Silam”, misalnya. Bab-bab yang dibuat pun kentara kalau penulisnya tak mau berumit-rumit: “awal”, “masa lalu”, dan “kini”.

Saya tak hendak menyebut Rosita sebagai penulis (novel) pemula, sebab dalam kancah penulisan justru perempuan yang pernah jadi jurnalis di Sumatera Post ini sebagai “pemain lama”. Hanya saja, “di dunia cerita” saya baru mengetahui selepas novel ini terpublikasi.

Memang, dua atau tiga tahun lampau, saya pernah berjumpa dengan Rosita di Toko Buku Gramedia. Ia yang ditemani suaminya Patrick (warganegara Prancis) sedang memborong sejumlah buku sastra (novel dan kumpulan cerpen) di antaranya karya Pramudya Ananta Toer. Sejak perjumpaan itu pun lepas warta, dan tahu-tahu dari Lampung Post Rosita meluncurkan sebuah novel.

Cerita kegagalan para TKW, nasib buruk oleh kekerasan majikan terhadap TKW ataupun mendapat pelecehan seksual bahkan hingga tewas, terlalu kerap kita dapati dari pemberitaan media massa. Karena terlalu sering, kisah-duka para TKW di luar negeri seperti bukan lagi kabar aneh serta mengejutkan. Apa lagi, perempuan Indonesia yang ingin bekerja (dipekerjakan) di luar negeri terus mengalir.

Oleh sebab itu, membaca Luka di Champs Elysees sesungguhnya tak lagi mengejutkan, dan kita seperti disuguhkan sebuah laporan. Hanya laporan yang dibuat Rosita Sihombing ini menggunakan media sastra. Atau kalangan jurnalis menyebut jurnalisme sastra. Tetapi, sebab cerita yang dibuat Rosita ini bukan sepenuhnya realita, maka buku ini digolongkan karya fiksi (baca: novel).

Saya sejalan dengan pikiran Fira Basuki, sesungguhnya tema novel ini sederhana ditambah mimpi yang sederhana pula dibalut kata-kata yang sederhana. Ya. Kisah seorang perempuan sederhana dengan pikiran-pikirannya yang sederhana.

Dengan “kesederhanaan” itu, saya tak berharap banyak untuk menunggu ada “kejutan” di akhir cerita, sebab penyelesaian novel ini amatlah manis. Ending yang ditulis Rosita demikian:

“Segera kutemui keluargaku, kupeluk erat mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka lagi. Tiba-tiba tanganku tergerak membuka tas kecilku dan mengambil sebuah CD Champs Elysees yang bersampul biru dengan gambar Joe Dassin. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkannya di rumah. Aku yakin lagunya indah, seindah Champs Elysees, jalan yang tidak akan pernah kulupkan seumur hidupku. Au revoir, Champs Elysees! (hal. 186)

Mungkin karena saya menyukai “keliaran imajinasinasi”, tentu berharap surat Hamed yang tanpa sepengetahuan Kari dimasukkan ke dalam tasnya dan sempat mengundang reaksi kecil Pardi ketika surat itu jatuh di bandara Soekarno-Hatta, menjadi petaka bagi rumah tangganya.

Atau saya menginginkan sekali, dokter yang memeriksa bayi mereka yang meninggal itu melakukan visum secara medis kemudian menyeret pasangan itu berurusan dengan kepolisian. Tentu kisah pahit Karimah akan semakin panjang dan mencemaskan (mengharubiru?), tidak segampang seperti ini. Tetapi rupanya, penulis ingin menghindari konflik yang rumit dan panjang,

Karena bagian ini, saya anggap paling mengganggu, yakni ketika dokter tidak mencurigai kematian karena ajal atau kesengajaan. Apakah mungkin kematian yang tak wajar itu tanpa harus divisum, dan dokter cukup percaya mendengar cerita (laporan) Hamed?

Setahu saya untuk mengeluarkan surat kematian, tidak segampang dilakukan dokter tersebut. Harus ada hasil cek visum, bukan seperti menulis resep. Atau memang cara medis di Paris berbeda: dokter cukup mendengar laporan dari orang tuanya, setelah itu memberikan surat keterangan kematian.

Mungkin pula Rosita punya cara lain. Ia bukan tipe penghukum. Ia justru memberi kesempatan bagi Kari untuk bertobat dan membenahi kembali rumah tangganya yang sempat ditinggal dan dikhianati sepanjang 2 tahun.

Novel ini didominasi seting Paris. Padahal, sebagai pembaca, saya berharap banyak mendapatkan informasi tentang Riyadh. Pasalnya disebutkan bahwa Kari sebagai tenaga kerja di sana. Kecuali bandara King Khaled Riyadh, informasi lain mengenai Riyadh tidak diumbar-umbar penulis. Berbeda dengan Paris, sampai sekecil dan detail bahkan soal politik pilpres Prancis disingung. Saya pun mahfum. Rosita sudah cukup lama menetap di Paris karena mengikut suami.

Saking hafalnya, bahkan tentang jurusan kereta bawah tanah, novelis ini keasyikan sendiri. Walaupun akhirnya pembaca diuntungkan, itung-itung diajak rekreasi (turistik) di kota Paris. Pembaca seakan berada dekat dengan menara Eifel atau menyusuri Champs Elysees.

Rosita dalam hal ini memang piawai memindahkan hasil gambarannya tentang Paris ke dalam novel ini. Hal inilah yang membuat Luka di Champs Elysees menjadi menarik dan memikat. Kata-kata nan indah, narasi-narasi liris, rasa-rasanya yang menambah bagi novel ini betah dibaca.

Yang mengganggu pembacaan saya ialah kesalahan ketik, selain itu inkonsistensi Rosita. Misalnya, apakah ia sebagai tokoh aku ataukah pencerita, sebab di hal. 40 tiba-tiba Rosita menyebut: “Tidak lupa dia memberikan senyuman kepada petugas itu.” (tanda tebal dari saya). Seharusnya bukan dia melainkan aku. Ketidakkonsistensi lainnya, soal sebutan ibu ataukah mama? (lihat bab Nak, Ibu Pulang! hal. 175).

Novel ini tidak begitu tebal. Akibat ingin irit dalam berbagi cerita, Rosita kurang memberi informasi soal Enah dan Icha. Siapa kedua teman Karimah itu, dan bagaimana mereka bisa saling mengenal (berteman)? Apalagi pertemanan mereka sudah amat kental.

Awalnya saya menduga Karimah akan bermain ke rumah Imel setelah ia diberi kartu nama, setidaknya ingin lebih tahu banyak soal pengurusan kepulangannya yang diketahui memang tak mudah buat warga gelap di Paris. Imel sudah memberi rambu-rambu: “Oh ya, ini alamatku. Kalau ada masalah, hubungi aku, ya!” (153-154). Tetapi, jangankan bersilaturahmi ke rumah Imel, tokoh misteri yang dijumpai di taman itu tak lagi (di)muncul(kan).

Selebihnya asyik-asyik saja, karena Luka di Champs Elysees ini tidak berpretensi membuat kita mengerutkan dahi. Rosita cuma ingin menghibur pembacanya dengan pesona nan takjub atas Paris, seraya memasukkan pesan: jangan (pernah) bermimpi indah jadi TKW.

Saya kira, inilah catatan saya buat novel Luka di Champs Elysees Rosita Sihombing. Salam.


23 desember 2008; 03.06

--------------------------
* merupakan bahan bincang pada Diksusi Novel Luka di Champs Elysees karya Rita Sihombing di UKMBS (Unit Kegiatan Bidang Seni) Universitas Lampung, 27 Desember 2008. Tapil pembicara lain adalah Ari Pahala Hutabarat, penyair yang juga sutradara di KoBer.

Tidak ada komentar: